Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007.
______________ Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977
______________. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972.
Ahmad. “Ketentuan dan Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)”, 2010
Abdurrasyid Priyatna, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977.
Bungin, Burhan Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Bagus, Ida dkk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta : CV Mitra Karya, 2003.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011.
Istanto, F. Sugeng, “Hukum Internasional” Univesitas Atma Jaya Yogyakarta,1998
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta, 2010.
Likada, Frans. Masalah Lintas di Ruang Udara, Binacipta, Bandung, 1987. Kristanto, Philip. Ekologi Industri,Penerbit Andi, Yagyakarta, 2002.
Markas Besar TNI AU, Buku Panduan Perwira Hukum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Jakarta, 2000.
(2)
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2011.
Martono, H. K. dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Martono,K. Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, Bandung, 1999.
Nugroho, Yuwono Agung, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Jakarta, Bumi Intitama, 2006.
Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Rudy, T. May. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002.
Ruwantissa Abeyratne, In Search of Theoretical Justification for ADIZ, Springer Science+Business Media, LLC 2011
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.
Ibrahim, Johny Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Surbaya, 2005.
Staens, Jill dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Suradinata, Ermaya. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI,Suara Bebas, Jakarta, 2005.
Suherman,E. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984. Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
(3)
Peraturan Perundang-Undangan
Charter of The United Nations (Piagam PBB).
Chicago Convention of 1944: Convention on International Civil Aviation. International Air Transport Agreement (IATA)
Paris Convention of 1919: Convention relating to the Regulation of Aerial navigation.
The Outer Space treaty of 1967.
Konvensi Chicago 1944
Tokyo Convention 1963: Convention on Offences and Certain OtherActscommitted on Board Aircraft
United Nation Convention On the Law of The Sea (UNCLOS)1982
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Lihat Robert E.Riggs,1988;366-387; A. Le Roy Bennet, 1988 ; 455-480.
Convention on Commercial Aviation,signed at hanava on 20 February 1928
Convention on the territorial sea and the contigous zone, Lihat Muchtar K.,1983 : 209-216.
Buku Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksanaan Operasi Udara TNI AU. Cetakan IV Tahun 2011
Jurnal
Agus Pramono, Wilayah Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara Dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia,
(4)
Internet
Ivanrifkyw.blogspot.co.id/2013/01/kedaulatan-teritorial-makalah-hukum.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)
Diansicute.blogspot.co.id/2011/12/kedaulatan-teritorial.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)
Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online] file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum _Udara_dan_Luar_Angkasa.pdf diakses 21 Januari 2016
Jambilawclub.blogspot.co.id/2011/01/sekelumit-tentang-hukum-udara-nasional.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)
Try Sutrisno Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional,
http://www.academia.edu/11336205/ (diakses tanggal 1 Maret 2016 Lautanopini.com/2014/03/08/jalinan-adiz-dan-keamanan-kawasan/(diakses
tanggal 1 Maret 2016)
Dewysrinurlatifah.wordpress.com/hukum/hukum-internasional/ (diakses tanggal 1 Maret 2016).
Hipatioss.blogspot.co.id/2015/02/hukum-ruang-udara-dan-ruang-angkasa.html?view=sidebar (diakses tanggal 1 Maret 2016)
Foreignaffairs.Com/Articles/140367/David-A-Welch/Whats-An-Adiz (diakses pada 13 Maret 2016
http://id.wikipedia.org/wiki/Alur_Laut_Kepulauan_Indonesia_(ALKI) (diakses tanggal 1 Maret 2016)
(5)
BAB III
PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVERSI PARIS 1919
A. Air Defence Identification Zone (ADIZ)
Air Defence Identification Zone (ADIZ) adalah suatu ruang udara tertentu yang didalamnya pesawat harus memberikan identifikasi sebelum memasuki wilayah yang dimaksud. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi kebiasaan internasional (customary international law).42Setiap Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri (Self Defence) dan pengawasan terhadap kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak negara didunia termasuk Amerika membuat/menetapkan zona petunjuk pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ). Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar sampai ratusan kilometer di wilayah udara bebas sesuai dengan kepentingan negara dalam upaya mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin datang dari udara.43
ADIZ (Air Defence Identification Zone) atau Zona Identifikasi Pertahanan Udara, adalah wilayah udara suatu negara yang melintasi suatu daratan atau lautan. Wilayah udara tersebut mencakup: 44
42
Markas Besar TNI AU, Buku Panduan Perwira Hukum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Jakarta, 2000, hal. 8.
43
Hipatioss.blogspot.co.id/2015/02/hukum-ruang-udara-dan-ruang-angkasa.html?view=sidebar (diakses tanggal 1 Maret 2016)
44
Ruwantissa Abeyratne, In Search of Theoretical Justification for ADIZ, Springer Science+Business Media, LLC 2011.
(6)
1. Melampaui wilayah udara dari Negara tersebut, untuk mempermudah control mereka atas pesawat-pesawat asing.
2. Kewenangan untuk mendeklarasikan ADIZ tidak diberikan atau dilarang oleh perjanjian internasional, maupun hukum internasional.
Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk semua penerbangan.
Biasanya daerah ini adalah daerah militer atau daerah latihan atau daerah-daerah obyek vital nasional, serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada daerah-daerah tertentu lainnya. ADIZ merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam ADIZ negara itu. yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara. ADIZ adalah wilayah di mana semua pesawat terbang sipil atau militer yang melintas harus melaporkan diri kepada pengawas penerbangan militer. Sistem pelaporannya berbeda dengan sistem pengaturan lalu lintas udara sipil. Karena tujuannya untuk pertahanan udara di wilayah negara, tentu saja
(7)
sistem ini didukung oleh sistem radar yang terkoneksi dengan sistem persenjataan pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.
Sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang diberi nama : Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Canada itu maksudnya untuk, in the interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone” (CADIZ).
Pada dasarnya, setiap Negara mendeklrasikan ADIZ demi mewujudkan National Interest mereka. Dengan adanya ADIZ maka, Setiap pesawat yang masuk ke dalam wilayah ADIZ tersebut, harus meminta izin atau mendapat izin dari Negara tersebut. Jika tidak maka akan dianggap sebagai ancaman. AS sendiri sudah mendeklasrasikan wilayah ADIZ mereka semenjak tahun 1950an. AS mendeklarasikan ADIZ mereka di masa perang dingin untuk mengantisipasi serangan dari Uni Soviet. Sampai saat ini, AS sudah memiliki lima zona ADIZ mereka yaitu: Zona Pantai Timur, Pantai Barat, Alaska, Hawaii, dan Guam.45
45
Foreignaffairs.Com/Articles/140367/David-A-Welch/Whats-An-Adiz (diakses pada 13 Maret 2016
(8)
B. Status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut Hukum Udara Internasional
Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan hukum dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan ijin dari negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Ruang udara sepenuhnya tunduk kepada kedaulatan (sovereignty) yang lengkap dan eksklusip dari negara kolong
(subjacent state) sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).46
Konvensi Chicago 1944 tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “complete and exclusive”. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif (exclusive) adalah
46
Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta : CV Mitra Karya, 2003, hal. 294
(9)
negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.
Seperti diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara.
Setiap Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri (Self Defence) dan pengawasan terhadap kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak negara didunia termasuk Amerika membuat/menetapkan zona petunjuk pertahanan udara
(10)
atau ADIZ. Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar sampai ratusan kilometer di wilayah udara bebas sesuai dengan kepentingan negara dalam upaya mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin datang dari udara. Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk semua penerbangan. Biasanya daerah ini adalah daerah militer atau daerah latihan atau daerah-daerah obyek vital nasional, serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada daerah-daerah tertentu lainnya. ADIZ merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam ADIZ negara itu. yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara. ADIZ adalah wilayah di mana semua pesawat terbang sipil atau militer yang melintas harus melaporkan diri kepada pengawas penerbangan militer. Sistem pelaporannya berbeda dengan sistem pengaturan lalu lintas udara sipil. Karena tujuannya untuk pertahanan udara di wilayah negara, tentu saja sistem ini didukung oleh sistem radar yang terkoneksi dengan sistem persenjataan
(11)
pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.
C. Penerapan ADIZ di Berbagai Negara
Air Defense Identification Zone (ADIZ) Tiongkok Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan berpijak dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: „the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan izin dari Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).47
Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimiliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “ complete and exclusive ”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ini bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan secara penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya,
47
Ida Bagus Rahma Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta, CV Mitra Karya, 2003, hal. 294
(12)
dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif
(exclusive) adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.
Batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara. Wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line), yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982. Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan ADIZ.
Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan
(13)
dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri
(self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB.48 Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB Pasal 51. Pasal itu berbunyi: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi Pasal 51 memang tidak
48
Yuwono Agung Nugroho, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Jakarta, Bumi Intitama, 2006, hal. 94-95.
(14)
menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Rosalyn Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). D.W. Bowett misalnya mengatakan bahwa Pasal 51 diartikan hak untuk membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO, pada chapter 3 tentang Airspace Organization ayat 3.3.4 Special Designated Airspace
yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.49
Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara-negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara
49
Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hal. 103
(15)
mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Setelah Amerika Serikat dan Kanada menerapkan ADIZ untuk wilayah udaranya, pada tanggal 23 November Tiogkok melakukan hal yang sama untuk wilayah udaranya.
Penggunaan ruang dan aset udara untuk target pencapaian tujuan militer saat invasi Irak telah menandai secara signifikan pentingnya penguasaan ruang dan kekuatan udara. Penguasaan atas ruang udara terkait juga pada kewenangan untuk menetapkan ADIZ yang hingga saat ini tidak diatur oleh lembaga internasional. Dasar penerapan ADIZ adalah terjaminnya hak suatu negara untuk menciptakan prakondisi bagi setiap pergerakan udara. Dengan itu, pesawat apa pun yang mendekati sebuah wilayah udara nasional dapat diminta untuk mengidentifikasikan diri. 50 ADIZ mencantumkan wilayah udara atas daratan dan lautan di mana identifikasi, lokasi, dan kontrol akan pergerakan pesawat diperlukan bagi kepentingan keamanan nasional. Beberapa negara malah menetapkan ”extended ADIZ zone” yang melampaui wilayah udara negara lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk memantau dan menindak pesawat asing berawak atau tidak yang ditengarai memiliki potensi berbahaya. ADIZ pertama kali ditetapkan AS setelah Perang Dunia II.
Diikuti beberapa negara antara lain Kanada, India, Jepang, Pakistan, Norwegia, Inggris, RRC, Korea Selatan, dan ROC. Umumnya, zona ADIZ mencakup wilayah tak terbantahkan atas kedaulatan suatu negara dan tidak
50
Lautanopini.com/2014/03/08/jalinan-adiz-dan-keamanan-kawasan/(diakses tanggal 1 Maret 2016)
(16)
tumpang tindih. Karena umumnya ditetapkan secara unilateral, terjadi beragam model penerapan pada aplikasinya. Misalnya AS tidak pernah mengakui hak negara pesisir untuk menerapkan prosedur ADIZ bagi pesawat asing untuk memasuki wilayah udara nasional.
Jepang satu-satunya negara yang menerapkan ekspansi atas ADIZ-nya (1972 dan 2010). Korea Selatan baru memperluas zona identifikasi wilayah udara nasionalnya hingga 666.480 km2menyikapi eskalasi terkait China ADIZ (CADIZ) pada akhir 2013. Selain menetapkan ADIZnya di Laut China Timur, secara tegas China juga mewajibkan semua pesawat sipil dan nonsipil untuk mengidentifikasi diri ketika mendekati zona CADIZ. 51
Kemhan China bahkan menetapkan penerapan “langkah-langkah darurat defensif” oleh AU PLA untuk pesawat yang tidak mau memberikan identifikasinya (Bitzinger, 2013). Sesungguhnya, langkah nyata China akan penerapan ADIZ dan aturan mainnya merupakan reaksi atas aksi kebijakan AS di kawasan dengan ”US Strategic Pacific”yang merupakan elemen kunci evolusi kekuatan-militer di mana akan membawa perubahan signifikan terhadap aliansi AS di kawasan. Pemerintah China secara strategis menetapkan CADIZ untuk dapat mengantisipasi beberapa kemampuan baru terkait teknologi terkini militer AS antara lain pesawat tempur F- 35, Sistem Tempur Aegis, serta pesawat surveillance MQ-4C TRITON yang memiliki kemampuan pemindaian 360 derajat dan memiliki sistem identifikasi otomatis yang jelas akan menjadi senjata mata-mata utama tak berawak. IMQ-C4 akan mulai beroperasi pada 2015 dengan lima
51
(17)
basis operasi untuk mengawasi Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Korea Utara, dari ketinggian 60.000 kaki selama 24 jam nonstop. Australia yang menjadi aliansi utama AS di kawasan sudah sejak lama juga mengoperasikan satelit stasiun pelacakan dikenal sebagai fasilitas Joint Defence Space Research/Pine Gap. Satelit ini menjadi kontributor kunci untuk jaringan global surveillanceECHELON.
Pemerintah Indonesia menjadi sorotan tersendiri dalam ‘diam’-nya menanggapi masalah ADIZ di Laut China Timur. Sebenarnya momentum ini dapat digunakan oleh Presiden SBY untuk menetapkan ADIZ Indonesia segera secara unilateral agar mampu melegitimasi ulang kepemimpinan SBY dalam masa-masa terakhir jabatannya. Pertama, ADIZ dapat menjadi faktor karakteristik dan psikologis karena seorang pemimpin hebat harus mampu berorientasi pada kebijakan luar negeri untuk menunjukkan kemampuannya berperan di luar masalah domestik negara. Kedua, ADIZ dapat menjadi cara meningkatkan nasionalisme. Ketiga,ADIZ dapat dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan peran Indonesia dalam memperluas proyeksi kekuatan menghadapi kebijakan ‘Rebalancing AS’ yang sesungguhnya telah mengundang reaksi ‘Imbalancing’ kawasan. CADIZ dapat merupakan bagian dari strategi China untuk dapat menerapkan anti-access and area-denial jauh dari garis pantai China. AS dipastikan akan terseret dalam konflik atas ADIZ, di mana bobot kredibilitas aliansi AS untuk menjaga stabilitas kawasan akan diuji. Misalnya seberapa jauh AS akan berpihak pada Jepang atau Taiwan dalam sengketa militer serta bagaimana memainkan One China Policyatas Taiwan yang menjadi peace maker
(18)
utama di konflik Laut China Timur atas inisiatif Presiden Taiwan Ma Ying Jeaou (2012).52
Kekhawatiran yang mengemuka bahwa CADIZ juga akan diterapkan di Laut China Selatan dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara nasionalnya sendiri yang terabaikan. ”Claiming what is ours and defending what is ours”seharusnya menjadi semangat Indonesia dalam mengantisipasi masalah akan ruang udara selain wilayah perairannya. Langkah inisiasi unilateral ADIZ harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk melindungi kepentingan nasional atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengamanan atas ruang udara. Pemimpin Indonesia perlu meniru kepercayaan diri Jepang dengan ADIZ-nya yang tumpang tindih dengan Taiwan. ADIZ antara Taiwan dan Jepang membentang membagi wilayah udara di atas Pulau Yonaguni dan menjadikan daerah timur masuk ke wilayah Jepang dan daerah barat masuk ke wilayah ke Taiwan. ADIZ Jepang telah memperluas areanya hingga 12 mil laut dari baseline. Terkait klaim sepihak itu, PM Jepang Yukio Hatoyama tegas mengatakan norma-norma internasional atas demarkasi ADIZ terletak pada kebijaksanaan tiap negara sehingga wajar bagi Jepang untuk tidak meminta persetujuan Taiwan akan penetapan zonaADIZ- nya. Hatoyama dapat dijadikan contoh kriteria pemimpin yang diperlukan oleh negara suprastrategis seperti Indonesia.
Penerapan ADIZ Indonesia terbentang di atas Pulau Jawa, Pulau Bali dan sebagian wilayah Nusa Tenggara Barat dengan luas keseluruhan berbentuk empat
52
(19)
persegi panjang dengan ukuran lebar dari utara ke selatan 180 NM, dan panjangnya dari Barat ke Timur 390 NM, merupakan upaya pemerintah melakukan pengamanan wilayahnya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, pusat-pusat pemerintahan serta melindungi obyek vital nasional. Penetapan koordinat dan luas wilayah ADIZ Indonesia tercantum di Aeronautical Information Publication (AIP) pada lampiran XVI.53
53
Buku Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksanaan Operasi Udara TNI AU. Cetakan IV Tahun 2011
(20)
A. Pengaturan ADIZ dalam Hukum Udara Internasional
Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB.54
Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB Pasal 51. Pasal itu berbunyi: idak ada dalam Piagam ini akan merugikan hak yang melekat pertahanan diri individu atau kolektif jika serangan bersenjata terjadi terhadap Anggota PBB , sampai Dewan Keamanan telah mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional .
54
(21)
Langkah-langkah yang diambil oleh Anggota dalam pelaksanaan hak ini membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan tidak akan dengan cara apapun mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab dari Dewan Keamanan bawah Piagam ini untuk mengambil tindakan kapan seperti itu dianggap perlu untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.”
Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa Pasal 51 diartikan hak untuk membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO
(22)
(International Civil Aviation Organization), pada chapter 3 tentang Airspace Organization ayat 3.3.4 Special Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu negara.
Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara- negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.
B. Pengaturan ADIZ yang dibenarkan dalam Hukum Udara Internasional Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara- negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas-batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip hukum udara internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara. Pengaturan mengenai zona larangan terbang ini sendiri terdapat pada Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929 dan pada Konvensi Chicago 1944.
(23)
1. Konvensi Paris 1919
Zona larangan terbang diatur dalam Pasal 3 Setiap negara kena berhak untuk alasan militer atau kepentingan keselamatan publik untuk melarang pesawat dari negara kena lainnya , di bawah hukuman yang masing-masing pesawat pribadi dan orang-orang dari negara kena lainnya untuk penerbangan dari tawaran daerah-daerah tertentu dari wilayahnya . Dalam hal wilayah dan luasnya daerah-daerah yang dilarang harus diterbitkan dan diberitahukan terlebih dahulu untuk stat kontraktor lainnya. Pasal 4 Setiap pesawat menemukan dirinya di atas area yang dilarang harus, menyadari fakta memberikan sinyal marabahaya pada paragraf 17 Lampiran D dan tanah secepat mungkin di luar daerah dilarang di salah satu bandar udara terdekat dari negara secara tidak sah terbang di atas.
Menurut kedua pasal tersebut setiap negara berhak untuk menetapkan zona larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional dengan ancaman hukuman bilaman terdapat pelanggaran. Ketentuan ini sesuai dengan usul yang disampaikan oleh delegasi Prancis pada saat Konferensi Paris 1910.
Konferensi Paris 1910 Prancis mengusulkan negara kolong berhak melarang setiap penerbangan pesawat udara militer melalui ruang udara di atas wilayah udaranya (right of the subjacent state of deny passanger of foreign military and police aircraft trough such airspace), namun demikian zona larangan terbang tersebut tidak boleh diskriminasi anatar pesawat udara sipil nasional dengan atau pesawat udara sipil asing satu terhadap yang lain. Dalam hal terjadi pesawat udara sipil masuk zona larangan terbang, begitu menyadari berada dalam zona larangan
(24)
terbang secepatnya meninggalkan zona larangan terbang tersebut sebelumnya harus dipublikasikan kepada negara anggota lainnya.
Zona larangan terbang yang telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Konvensi Paris 1919 kemudian diubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengizinkan pesawat udara sipil nasional terbang di zona larangan terbang dalam hal sangat penting dan darurat. Demikian pula dikatakan dalam masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona larangan terbang seluruh atau sebagian wilayahnya.
Semua bentuk penerbangan dilarang terbang di zona larangan terbang. Bilamana hal ini dilakukan juga harus memberitahun China dan negara anggota Konvensi Paris 1919 lainnya. Menurut Pasal 4 Konvensi Paris 1919, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing berada di zona larangan terbang, segera mengirim tanda bahaya (distress) sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat diluar zona larangan terbang tempat pesawat udara tersebut terbang.
2. Konvensi Chicago 1940
Zona larangan terbang, di samping diatur dalam Konvensi Paris 1919, juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Berdasarkan Pasal 1 jo Pasal 9 Konvensi Chicago 1944.
Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 :
1. Each Contracting state may, for reason of military necessity or publich safety, restrict or prohibit uniformly the aircraft of other state from flying over certain areas of its territory, provided that no distinction in this respect is made between the aircraft of the state whose territory is involved, engaged in
(25)
international scheduled airlines service, and the aircraft of the other contracting states likewise engaged. Such prohibited area shall reasonable extent and location so as not to interference unnecessarily with navigation, description of such prohibited areas in the teritory of contracting states, as well as any subsequent alteration therein, shall be communicated as soon as possible to the other contracting states and to international civil aviation organization;
2. Each contracting states reserves also the right, in exceptional circumstances or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with immediate effect, temporary to ristrict or to prohibit flying over the whole or any part of its territory, on conditions that such ristriction or prohibition shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other states; 3. Each contracting state, under such regulations as it may prescribe, may
require any aircraft entering the areas contemplated in the subparagraphs (a) or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some designted airport within its territory.
Terjemahan
Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 :
1. Setiap negara dapat , untuk alasan kebutuhan militer atau keamanan publich, membatasi atau melarang seragam pesawat dari negara lain untuk penerbangan lebih dari daerah-daerah tertentu dari wilayahnya, asalkan tidak ada perbedaan dalam hal ini dibuat antara pesawat dari negara yang wilayah yang terlibat, terlibat dalam pelayanan penerbangan terjadwal internasional , dan pesawat dari negara-negara kontraktor lainnya juga terlibat . daerah terlarang seperti wajib batas wajar dan lokasi agar tidak campur tangan yang tidak perlu dengan navigasi , deskripsi daerah terlarang seperti di teritory negara kontraktor , serta setiap perubahan berikutnya di dalamnya , harus dikomunikasikan secepat mungkin ke negara anggota lainnya dan organisasi penerbangan sipil internasional.
2. Setiap kena cadangan negara juga kanan, dalam keadaan luar biasa atau selama periode darurat, atau untuk kepentingan keselamatan publik, dan
(26)
dengan segera, sementara untuk ristrict atau untuk melarang terbang di atas seluruh atau sebagian dari wilayahnya, pada kondisi yang ristriction atau larangan tersebut berlaku tanpa membedakan kebangsaan untuk pesawat dari semua negara-negara lain.
3. Setiap negara kena, di bawah peraturan seperti itu mungkin meresepkan, mungkin memerlukan pesawat memasuki wilayah dimaksud dalam sub ayat (a) atau ( b ) di atas untuk efek mendarat sesegera mungkin setelah di designted beberapa bandara dalam wilayahnya.
Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang atas pertimbangan keamanan umum, pertimbangan militer, asalkan tidak ada perlakuan yang bersifat diskriminatif antara pesawat negara nasional dengan negara asing atau pesawat udara asing satu terhadap yang lain. Penetapan zona larangan terbang atau pembatasan tersebut harus wajar dan tidak mengganggu penerbangan internasional. Rincian zona larangan terbang maupun pembatasan tersebut harus segara diberitahukan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional serta negara anggota lainnya. Dalam keadaan yang sangat mendesak atau darurat atau kepentingan keselamatan umum negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga berhak melarang seluruh maupun sebagian wilayah asalkan tidak bersifat diskriminatif. Bilamana pesawat udara menyadari di zona larangan terbang, segera meninggalkan zona larangan tersebut dan mendarat di Bandar udara atau pangkalan udara terdekat
(27)
Di Amerika Serikat, berdasarkan ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944, juga menetapkan zona larangan terbang sejauh 200 mil dari perbatasan Amerika Serikat yang dikenal sebagai ADIZ. Dalam jarak 200 mil terhitung sejak perbatasan Amerika Serikat, pesawat udara yang tidak dikenal harus menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan terbang (Canadian Air Defence Identification Zone- CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri. Pesawat udara negara (State Aircraft) yang mengejar tidak boleh menggunakan kekerasan, apalagi menembak pesawat udara sipil yang kesasar di zona larangan terbang, karena penembakan pesawat udara sipil tersebut bertentangan dengan hukum internasional, tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri, dan tidak sesuai dengan semangat yang tersirat dalam konvensi Chicago 1944. Menurut hukum internasional, pesawat udara sipil yang ditembak oleh pesawat udara negara (State Aircraft) merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), karena pesawat udara sipil tidak di persenjatai. Disamping itu, penembakan pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri
(Self Defend) yang mengajarkan bahwa perbuatan penembakan tersebut tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi, ajaran hukum bela diri (Self Defend)
mengatakan bahwa kalau seseorang akan memukul dengan rotan, kemudian di dahului dipukul dengan kayu dapat disebut membela diri (Self Defend).
(28)
semangat keselamatan penerbangan (Safety First) yang tersirat dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944 menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan terbang (CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri.
C. Penerapan ADIZ Overlapping terhadap wilayah Alur Laut Kepulauan ADIZ sebagai zona dimana pesawat udara yang masuk wilayah tersebut harus melaporkan rencana penerbangan (flight plan), pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dalam mendukung penegakkan ADIZ Indonesia dibutuhkan sistem pertahanan udara yang saling terintegrasi terdiri dari ATC, Kohanudnas, pesawat tempur sergap serta personel yang memonitor ADIZ. Sistem tersebut bekerja dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar keberadaan ADIZ Indonesia dapat efektif untuk menegakkan kedaulatan hukum dan kedaulatan di wilayah udara.
Salah satu cara untuk mempertahankan kedaulatan udara Indonesia dapat menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Xone/ADIZ). ADIZ digunakan untuk menangkal ancaman dari luar dengan cara mengidentifikasi setiap pesawat baik pesawat sipil maupun militer yang akan masuk ke wilayah udara suatu negara. ADIZ sudah digunakan oleh Amerika dan Canada. ADIZ digunakan untuk menunjang dan memperkuat sistem pertahanan
(29)
udara suatu negara atau sering disebut dengan asas bela diri (self defence).55 Asas bela diri dengan menggunakan ADIZ merupakan cara yang tepat dan proporsinal. Penetapan wilayah ADIZ dapat dimulai dari wilayah teritorial suatu negara hingga mencapai ruang udara diatas laut bebas yang berbatasan dengan negara itu.
Penetapan ADIZ tidak berdampak pada perluasan wilayah territorial suatu negara atas laut lepas. Penetapan ADIZ ini digunakan semata-mata untuk keamanan dan pertahanan negara dari ancaman yang masuk ke wilayah udara negara itu. Dampak dari penetapan ADIZ adalah setiap pesawat baik sipil maupun militer yang akan masuk ke wilayah negara itu akan melaporkan diri kepada pengawas penerbangan. Biasanya ADIZ dikelola oleh militer negara itu (Angkatan Udara negara itu). Meskipun sistem pelaporan ADIZ berbeda dengan pengaturan lalu lintas udara sipil. ADIZ akan lebih optimal dalam menangkal bahaya yang masuk dari wilayah udara bila sistem ADIZ ini diintegrasikan dengan sistem radar yang terhubung dengan sistem persenjataan pertahanan udara.56 Pemberlakuan ADIZ ini sejalan dengan teori penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory) yaitu kedaulatan suatu negara ditentukan oleh
55
Charter of the United Nations (1945), 892 UNTS 119, Pasal 51 “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence in an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
56
Ahmad. “Ketentuan dan Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)”, 2010, hal 19
(30)
kemampuan negara itu untuk mempertahankan dan menguasai ruang yang ada diatas wilayahnya atau disebut juga dengan ruang udaranya.57
Dalam konteks Indonesia penggunaan ADIZ ini sangat tepat mengingat: luas wilayah Indonesia; penetapan jumlah kepulauan yang masuk ke wilayah kedaulatan NKRI belum dapat dipastikan; sengketa perbatasan dengan negara tetangga belum dapat sepenuhnya diselesaikan. Penggunaan ADIZ ini seiring dengan pertahanan kedaulatan NKRI mengingat beberapa kali dari tahun 2009 sampai awal tahun 2011 tercatat 14 pelanggaran wilayah udara RI, wilayah udara Indonesia yang dilintasi oleh pesawat dari negara lain tanpa ijin dari Indonesia. Potensi ancaman bagi Indonesia yang wilayah udaranya sudah beberapa kali dilanggar oleh pesawat berbendera negara lain sangat tinggi.
Penggunaan ADIZ di Indonesia didukung oleh radar militer (TNI AU) yang berada di Tanjung Kait, Ranai, Tanjung Pinang, Pemalang, Congot, Cibalimbing, Ngeliyep, Ploso, Balikpapan, Kwandang, Tarakan, Lhokseumawe, Dumai, Sabang, Sibolga, Buraen, Tanjung Warari, Timika, Merauke, dan Saumlaki. Wilayah kedaulatan RI yang terdeteksi oleh radar militer belum seluruhnya. Sedangkan dukungan dari radar sipil berada di Soeta, Juanda, dan Ngurah Rai. Penggunaan ADIZ di Indonesia baru meliputi wilayah Jawa, Pulau Madura, sebagian kecil Sumatera Selatan, Lombok, Bali dan sebagian kecil Pulau Sumbawa bagian barat. ADIZ tidak berada di luar wilayah laut teritorial Indonesia. Ruang udara yang dapat terdeteksi baru sekitar 5.193.252 Km2 sehingga proteksi ADIZ di Indonesia belum optimal karena proteksi belum
57
Abdurrasyid Priyatna, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hal. 103
(31)
mencakup seluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Proteksi ADIZ di Indonesia hanya digunakan untuk melindungi ibukota negara yaitu Jakarta dan obyek vital di Jawa dan sekitarnya. Sedangkan obyek vital negara lainnya seperti di Papua, Kalimantan dan Sulawesi belum dapat diproteksi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang mempunyai hak penuh untuk mengatur segala urusan dalam negeri sedang dipertanyakan oleh sebagian pihak dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta merta diambil oleh Singapura. Namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam negeri secara tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya untuk mengatur lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura.58 Hal ini dapat dibaca sebagai pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam keamanan dan kedaulatan negara RI. Disisi yang lain Indonesia akan kehilangan pendapatan dari fee penerbangan yang melintas di wilayah udara Indonesia karena
fee ini akan masuk ke negara lain (Singapure) meskipun pesawat suatu negara melewati ruang udara Indonesia.
Sebagai negara kelautan (dalam hal ini Indonesia) membawa konsekuensi dalam penyediaan Archipelagic Sea Lane Passage
atau kemudian kita sebut sebagai Alur Laut Kepulauan dan rute penerbangan di atasnya, untuk perlintasan kapal laut maupun pesawat terbang asing. Hal demikian
58
Flight Information Region (FIR) adalah suatu ruang udara dengan batas-batas tertentu yang telah ditentukan dimana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan siaga (alerting service) diberikan. FIR Indonesia yang dikelola oleh Singapure berada di wilayah kepulauan Riau.
(32)
diatur dalam pasal 53 konvensi PBB tentang Hukum laut 1982/ UU Nomor 17 Tahun 1985.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALK.59
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia mengatur hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan :
1) Pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.
2) Pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke
59
http://id.wikipedia.org/wiki/Alur_Laut_Kepulauan_Indonesia_(ALKI) (diakses tanggal 1 Maret 2016)
(33)
kedua sisi dari garis sumbu dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulau-pulauan tersebut
3) Pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam PBB.
4) Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.
5) Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.
6) Pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia. 7) Pesawat udara asing, tennasuk kapal atau pesawat udara riset atau survey
(34)
boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.
8) Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus menaati dan menghormati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan.
Berdasarkan penetapan ADIZ yang dilakukan oleh Indonesia, hal ini kemudian menimbulkan permasalahan apabila dikaitkan dengan adanya penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pengaturan berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang telah ditetapkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002. ALKI I yang meliputi Selat Sunda dan Selat Lombok yang telah diajukan kepada International Maritime Organization (IMO) overlapping dengan ADIZ Indonesia yang di sekitar atas udara sebagian kecil Sumatera Selatan, Jawa dan Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil Pulau Sumbawa. Sehingga dalam praktek penerapan ADIZ, Indonesia juga harus memperhatikan ketentuan yang berlaku terkait ALKI.
Sebagai konsekuensinya, kedaulatan ruang udara NKRI yang utuh tersebut ternyata masih terdapat perdebatan dan pengecualian bahwa di atas ALKI diberikan hak lintas bagi pesawat udara asing tanpa izin. Ruang udara di atas ALKI, perlu mendapat perhatian khusus agar Indonesia tidak dirugikan. Penetapan ALKI yang terdiri dari 3 (tiga) alur, sampai kini belum diakui secara
(35)
dejure oleh International Maritime Organization (IMO). Pun demikian dengan PP no. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksankan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan di alur laut kepulauan yang telah ditetapkan. Belum diterimanya penetapan ALKI oleh IMO ini, menyebabkan beberapa negara pengguna ALKI berpotensi untuk memanfaatkan celah hukum yang ada pada Pasal 53 (12) UNCLOS 1982 yaitu menggunaan alur laut dan rute penerbangan di atasnya yang biasa digunakan untuk navigasi internasional yang sifatnya sama dengan alur bebas yaitu tanpa izin dari negara pemilik kedaulatan.
Berdasarkan uraian di atas, terhadap negara-negara yang memiliki Alur Laut Kepulauan seperti Indonesia, harus mendapat pengakuan dan kejelasan hukum dari Organisasi Internasional dalam hal ini International Maritime Organization (IMO). Serta perlu adanya kejelasan peran dan fungsi dengan diterapkannya ADIZ diatas kawasan tersebut sehingga di satu sisi negara memenuhi tuntutan internasional dengan disediakannya Alur Laut Kepulauan, dan di sisi lain negara tetap dapat menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah udaranya dengan menerapakan ADIZ di kawasan yang sama.
(36)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dalam bab V penulis menyimpulkan hasil pembahasan guna menjawab dan mengidentifikasi permasalahan yang ada diantaranya adalah :
1. Pengaturan hukum udara internasional, yaitu Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu: Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944Kebiasaan-kebiasaan Internasional, Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab dan Yurisprudensi. 2. Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris
1919, yaitu ketentuan yang harus penuhi antara lain Flight Information Region (FIR) dan Upper Flight Information Region (UIR) di mana Pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai jarak ketinggian 20.000 kaki, sedangkan pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai pada jarak ketinggian di atas 20.000 kaki. 3. Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan
kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919, Setiap negara berdaulat mempunyai wilayah kedaulatan yang dibatasi dengan batas daratan, perairan yang meliputi laut teritorial yang berhadap-hadapan dengan negara lain, laut teritorial yang berdampingan dengan laut lepas, landas kontingen
(37)
serta batas kedaulatan udara secara horisontal dan secara vertikal. Kedaulatan udara secara vertikal belum ada kata sepakat secara internasional. Dalam praktek batas kedaulatan udara tergantung dari kemampuan negara tersebut untuk mempertahankan kedaulatannya.
B. Saran
Setelah mengemukakan kesimpulan, selanjutnya penulis menyampaikan saran sebagai berikut
1. Perlu adanya suatu organisasi/lembaga internasional seperti ICAO untuk penerbangan sipil yang khusus mengatur setiap hal mengenai ADIZ, sehingga kehadiran lembaga yang khusus mengatur ketentuan dan batasan yang jelas mengenai ADIZ sangat diperlukan untuk memberikan keadilan bagi setiap Negara yang ada.
2. Disarankan adanya revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002, khususnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban pesawat udara asing yang melintas di wilayah udara Alur Laut Kepulauan Indonesia.
3. Untuk mendukung penegakan Hukum Udara, Pemerintah Republik Indonesia hendaknya dapat mendukung kebutuhan Alutsista dengan mempercepat program Minimum Essential Force, sehingga upaya mewujudkan ADIZ yang ideal dapat diterapkan secara efektif.
(38)
A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara 1. Sejarah hukum udara
Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910 setelah sejumlah balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas negara Perancis, yang mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu ancaman terhadap keamanannya. Sembilan tahun setelah Konferensi pertama tersebut dibentuklah Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan hak-haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.14
14
Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online]
file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum_Udara_dan_Luar_A ngkasa.pdf diakses 21 Januari 2016.
(39)
Konvensi Paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menjelaskan mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta terhadap ruang angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di atasnya.15 Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1 November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang berkaitan dengan lalu lintas komersial.16
Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum Antariksa (Outer Space Law). Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal
15
T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002, hal 31
16
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2011, 427-428
(40)
tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle. Prinsip pertama atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim atau diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai (equity).17 Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan damai ruang angkasa.
Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih tegas. Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space Treaty 1967, telah dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan perdata yang mengikat (Syahmin, 2012: 6). Beberapa pakar hukum internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang mengatur ruang yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang
17
Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, 228-229.
(41)
di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan dan berlaku, bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut, dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan dan alat-alat penunjungnya.18
Paul Fauchile berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah benar. Hal tersebut diasumsikan bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang berbeda. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi ketika pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas.19 Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang
18
Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007, hal 187
19
Abdulrrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972, hal 55.
(42)
udara di atas wilayahnya dan perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai bagi pesawat-pesawat asing.
2. Sumber hukum udara
Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai berikut:
a. Konvensi Paris 1919
Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya Konvensi Chicago.
Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.20
Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara
20
Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory.
(43)
lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5:
“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.21
Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan: “Setiap Negara melakukan di masa damai untuk sesuai kebebasan lintas damai di atas wilayahnya dengan pesawat dari kontraktor lain Serikat , asalkan kondisi yang ditetapkan dalam Konvensi ini yang diamati . Peraturan yang dibuat oleh Negara kontrak untuk pengakuan atas wilayahnya dari pesawat dari kontraktor lain Serikat harus diterapkan tanpa pembedaan kebangsaan”
Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang
21
(44)
lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.22
b. Konvensi Chicago 1944
Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik negara sekutunya maupun Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris.
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan: “Negara mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing. Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk
22
(45)
membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:
“Setiap Negara kena setuju bahwa semua pesawat dari kontraktor lain Serikat, menjadi pesawat tidak bergerak di bidang jasa penerbangan internasional dijadwalkan berhak, tunduk pada ketaatan terhadap ketentuan Konvensi ini, untuk membuat penerbangan ke atau transit non-stop di nya wilayah dan membuat berhenti untuk tujuan non-lalu lintas tanpa perlu mendapatkan izin sebelumnya, dan tunduk pada hak Negara diterbangkan lebih membutuhkan arahan. Setiap Negara tetap berhak, karena alasan keselamatan penerbangan, membutuhkan pesawat yang ingin melanjutkan lebih daerah yang tidak dapat diakses atau tanpa fasilitas navigasi udara yang memadai untuk mengikuti ditentukan rute, atau untuk mendapatkan izin khusus untuk penerbangan tersebut. Pesawat tersebut, jika terlibat dalam pengangkutan penumpang, kargo, atau surat untuk remunerasi atau menyewa pada selain layanan udara internasional terjadwal, juga harus, tunduk pada ketentuan Pasal 7, memiliki hak istimewa untuk mengambil atau pemakaian penumpang, kargo, atau surat, tunduk pada hak setiap Negara di mana embarkasi atau debit tersebut dilakukan untuk memaksakan peraturan-peraturan tersebut, kondisi atau keterbatasan karena dapat mempertimbangkan diinginkan”.
Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat
(46)
kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule
internasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi:
" Tidak ada layanan udara internasional yang dijadwalkan dapat dioperasikan di atas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau otorisasi lainnya dari Negara tersebut , dan sesuai dengan ketentuan izin atau otorisasi tersebut " .
Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral. Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konperensi Chicago, yaitu :
1. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944).
2. International Air Services Transit Agreement (IASTA). 3. International Air Transport Agreement (IATA).
4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).
5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement). 6. The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).
Sembilan puluh enam pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban bagi semua negara-negara peserta. Konvensi Chicago
(47)
1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan memasukkan Pasal 3 Bis, mengenai:
1) Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil (kemanusiaan).
2) Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat dibandar udara yang ditentukan
3) Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap pesawat udara sipil.
4) Setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh pesawat udara negara yang melakukan pencegatan.
5) Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara sipil, yang dengan sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.
Dalam melakukan penyergapan harus diperhatikan tata cara sebagaimana diatur dalam Attachment dari Annex 2 Rules of the Air. Untuk menjamin adanya tingkat keselamatan yang optimal bagi penerbangan maka negara melalui ICAO menetapkan standard dan recommended practices untuk bisa diikuti oleh setiap
(48)
negara dalam menyelenggarakan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya. Bila terdapat negara yang dalam menentukan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya berlainan dari standar yang ditetapkan ICAO, maka negara tersebut wajib memberitahukan perbedaannya tersebut kepada ICAO sehingga bisa diketahui oleh negara-negara lain. Daftar negara-negara yang mempunyai perbedaan pengaturan dari standar ICAO beserta isi perbedaannya dicantumkan dalam suplemen annex yang bersangkutan. Sedang bagi penerbangan di atas wilayah yang tidak termasuk kedaulatan suatu negara (laut lepas), ICAO menetapkan aturanketentuan pengaturan penggunaan ruang udara (annexes) yang direkomendasikan untuk diikuti oleh semua negara.
3. Perjanjian Warsawa Tahun 1929
Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “ Perjanjian Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :23 1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara
2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional. Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai limit tanggung jawab ganti rugi.
23
Jambilawclub.blogspot.co.id/2011/01/sekelumit-tentang-hukum-udara-nasional.html (diakses tanggal 1 Maret 2016).
(49)
B. Prinsip-Prinsip Hukum Udara Internasional
Prinsip-prinsip hukum udara internasional tertuang dalam Konvensi-konvensi Hukum udara Internasional yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Konvensi-konvensi tersebut muncul dari konferensi Internasional yang dilakukan negara-negara didunia yang menganggap perlu adanya aturan-aturan yang mengatur tentang ruang udara (space). Adapun prinsip-prinsip hukum udara internasional adalah sebagai berikut :
1. Prinsip kedaulatan wilayah udara.
Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi
(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memerhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya.24 Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan kedalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksanaanya, mengatur politik ke luar negeri maupun dalam negeri, negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing yang ada diwilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial lainnya. Menurut Konvensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat memenuhi unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat mengadakan
24
E. Suherman., Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung, 1984, hal 56.
(50)
hubungan internaional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun udara, walaupun persyaratan wilayah merupakan persyaratan mutlak untuk negara yang berdaulat.25
Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi teritorial (territorial jurisdiction principle) disamping prinsip-prinsip yuridiksi lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di udara seperti Konvensi Paris 1919,26Konvensi Chicago 1994,27 Konvensi Hanava 1928,28 Konvensi Jenewa 1958,29 Konvensi PBB 1982 (UNCLOS),30 dan Konvensi Wina 1961.31 Contohnya dalam Konvensi Paris 1919 mengatur tentang kedaulatan suatu negara terhadap wilayah udaranya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1, yang merupakan pasal utama yang berbunyi “Para pengagung anggota konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di ats wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk berdasarkan hukum kebiasaan internaional yang terjadi sejak Inggris melakukan
25
Konvensi Montevedeo 1993 persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a goverment and capacity to enter into relation with other States.
26
Convention Relating to the Reguation of Aerial Navigation, signed at Paris on 13 Oktober 1919.
27
Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944.
28
Convention on the Rights and Duties of States.
29
Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Lihat Robert E.Riggs,1988;366-387; A. Le Roy Bennet, 1988 ; 455-480.
30
Convention on Commercial Aviation,signed at hanava on 20 February 1928
31
Convention on the territorial sea and the contigous zone, Lihat Muchtar K.,1983 : 209-216.
(51)
tindakan sepihak (unilateral action) dalam The Aerial Navigation Act of 1911 yang diikuti oleh negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya perang dunia pertama 1918. The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara diatas wilayahnya
(Complete and exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai hak se The Aerial Navigation Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer.
Prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara diatas daratan maupun perairan tersebut dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang rumusannya : “The high contracting parties recognizw that every Power has complete and exclusive soverrignty over the air space above its territory. For the purpose of the present Convention, the territory of a state shall be understoos as including the national territory,both that of the mother country and of the colonies, and the territorial waters adjacent thereto”. Pencantuman prinsip kedaulatan atas wilayah udara diatas daratan dan perairan tersebut sesuai dengan penugasan Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Komisi Navigasi Penerbangan tersebut diarahkan memasukkan prinsip kedaulatan negara diatas daratan meupun perairan dan yuridiksi diatas wilayah udaranya.
2. Prinsip yuridiksi ruang udara.
Yuridiksi ruang udara diatur dalam Bab II Pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo 1963. Menurut Pasal 3 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan di dlam pesawat
(1)
LEMBAR PENGESAHAN
PENGATURAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) SEBAGAI PERWUJUDAN KEDAULATAN TERITORIAL
DITINJAU DARI KONVENSI PARIS 1919
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Erwin Douglas Sihombing 080200352
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Internasional
Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum
NIP. 195612101986012001
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum Dr.Sutiarnoto, SH., M.Hum
NIP. 195612101986012001 NIP. 195610101986031003
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ABSTRAK *Erwin Douglas Sihombing **Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum
***Dr.Sutiarnoto, SH., M.Hum
Air Defence Identification Zone (ADIZ) merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut.
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah pengaturan hukum udara internasional. Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris 1919. Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya.
Pengaturan hukum udara internasional, yaitu Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu: Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944Kebiasaankebiasaan Internasional, Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab dan Yurisprudensi. Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris 1919, yaitu ketentuan yang harus penuhi antara lain Flight Information Region (FIR) dan Upper Flight Information Region (UIR) di mana Pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai jarak ketinggian 20.000 kaki, sedangkan pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai pada jarak ketinggian di atas 20.000 kaki. Pengaturan Air Defence Identification Zone
(ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919, Setiap negara berdaulat mempunyai wilayah kedaulatan yang dibatasi dengan batas daratan, perairan yang meliputi laut teritorial yang berhadap-hadapan dengan negara lain, laut teritorial yang berdampingan dengan laut lepas, landas kontingen serta batas kedaulatan udara secara horisontal dan secara vertikal. Kedaulatan udara secara vertikal belum ada kata sepakat secara internasional.
Kata Kunci : Pengaturan, Air Defence Identification Zone *Erwin Douglas Sihombing, Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum, Dosen Fakultas Hukum USU ***Dr.Sutiarnoto, SH., M.Hum, Dosen Fakultas Hukum USU
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul PENGATURAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) SEBAGAI PERWUJUDAN KEDAULATAN TERITORIAL DITINJAU DARI KONVENSI PARIS 1919. Salah satu salah persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(4)
5. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak Sutiarnoto, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Kepada kedua orang tua saya Drs.T.Sihombing,Ak.MM dan D.Hasibuan , adik-adik saya Yessica Sihombing, Sere Sihombing, dan Miranda Sihombing beserta keluarga saya lainnya yang telah banyak memberikan dukungan, doa dan semangat yang senantiasa kepada saya.
9. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu.
10.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Medan, Maret 2016 Penulis
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II KETENTUAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL ... 18
A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara ... 18
B. Prinsip-Prinsip Hukum Udara Internasional ... 28
C. Tanggungjawab Wilayah Udara ... 38
BAB III PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ) DALAM KONVENSI PARIS 1919 ... 42
A. Air Defence Identification Zone (ADIZ) ... 42
B. Status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional ... 45
(6)
BAB IV PENGATURAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE
(ADIZ) SEBAGAI PERWUJUDAN KEDAULATAN
TERITORIAL DITINJAU DARI KONVENSI PARIS 1919 ... 57
A. Pengaturan ADIZ dalam Hukum Udara Internasional ... 57
B. Pengaturan ADIZ yang dibenarkan dalam Hukum Udara Internasional. ... 59
C. Penerapan ADIZ Overlapping terhadap wilayah Alur Laut kepulauan ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA