Hukum Tata Negara - Test Repository

  Farkhani, S.H. S.HI., M.H HUKUM TATA NEGARA

Pergantian Kepala Negara Persepektif Siyasah Islamiyah dan Konstitusi Negara Republik Indonesia Pergantian Kepala Negara Persepektif Siyasah Islamiyah dan Konstitusi Negara Republik Indonesia

  

Penulis:

Farkhani, S.HI, S.H., M.H.

  

Editor:

Evi Ariyani

  

Tata Letak:

Taufiqurrohman Iltizam

  

Cover:

naka_abee

  

Cetakan I: Oktober 2016

Diterbitkan atas kerjasama :

  Farkhani, S.HI., S.H., M.H.

  Hukum tata Negara; Farkhani, S.HI., S.H., M.H.; Editor: Evi Aryani; Solo: Pustaka Iltizam; 2016 180 hlm.; 20,5 cm

  ISBN: 978-602-7668-74-4

Kata Pengantar

  Selama negara itu berdiri, perbincangan, wacana dan perde- batan seputar hukum ketetangeraan akan terus bergulir dan me- narik untuk diperhatikan. Hubungan antar lembaga negara dengan lembaga negara lainnya dan kewenangan-kewenangannya sampai pada persoalan pemimpin dan kepemimpinan negara. Salah satu alasan bahwa memperbincangkan tetap menarik adalah karena di dalam ilmu ini sering kali muncul kejutan-kejutan yang berbeda antara teori dan praktik dari masa kemasa. Memiliki keterkaitan antara hukum dan politik yang sangat erat, saling berkelindan dan terkadang saling menjegal satu sama lainnya. Akan tambah me- narik bila kemudian diikut-ikutkan dalam pembentukan negara wellfare yang menjadi tujuan semua negara di dunia.

  Lebih dari itu, terkadang diktum suci agama dan berbagai tafsirnya ikut meramaikan persoalan di sekitar hukum ketatane- garaan. Islam yang diyakini sebagai agama yang omnipresent, turut pula berbicara tentang negara dan kepemimpinan negara. Islam telah fasih berbicara negara dari aspek norma dan praktik kenega- raan sejak hijrahnya Nabi Saw. ke Madinah. Para sarjana muslim juga turut andil dalam teorisasi negara dan kepemimpinannya.

  Sejarah Indonesia merdeka juga tidak lepas dari perdebatan dan praktik mencari bentuk negara yang ideal. Suasana politik yang belum stabil sampai lepas tahun 1965 serta pergantian kepemimpi- nan negara yang selalu melenceng dari konstitusi mewarnai per- jalanan bangsa ini.

  Buku yang hadir dihadapan pembaca ini, tidak akan memba- has segala perbincangan dalam ranah hukum tata negara. Buku ini mencoba untuk berbicara tentang agama dan negara beserta pem- impinnya. Dalam hal kepemimpinan negara ada dua cara pandang yang dipakai; kaca mata agama (Siyasah Islamiyah) dan kaca mata konstitusi negara Republik Indonesia. Terutama dalam hal pen- gangkatan kepala negara dan pemberhentiannya.

  Harapannya buku dapat menjadi rujukan dan/atau pengayaan bagi siapapun yang ingin atau sedang belajar tentang hukum tata negara. Akhirya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat studi hukum tata negara dengan segala aspek bahasannya.

  Selanjutnya penulis berkeyakinan bahwa buku ini kurang dari sempurna, untuk itu mengharapkan masukan yang konstruktif ter- hadap buku ini agar lebih bermanfaat bagi siapa saja yang memba- canya dan terhindar dari kesalahan.

  Wallahu al-musta’an Sukoharjo, Maret 2016 Penulis

  Farkhani, S.H., S.HI, M.H

  

Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................... 3

Daftar isi ..................................................................................... 5

  b. Sistem pemerintahan parlementer ..........................................38

  3. Pandangan Al-Mawardi ............................................................54

  2. Pandangan Al-Farabi ................................................................52

  1. Pandangan Ibnu Khaldun ........................................................49

  

B. Pandangan Ulama Politik Islam Klasik tentang Konsep Negara .49

  

3. Khilafah.......................................................................................47

  2. Qaum dan Jamaah .....................................................................47

  

1. Al-Ummah .................................................................................42

  BAB II KONSEP NEGARA DALAM ISLAM DAN PANDANGAN ULAMA POLITIK ISLAM .................... 41

A. Konsep Negara dalam Islam ............................................................41

  a. Sistem pemerintahan presidensial...........................................35

  

BAB I TEORI, SEJARAH DAN BENTUK NEGARA .................. 9

A. Teori Negara Menurut Filsuf Barat ..................................................13

B. Sejarah Terbentuknya Negara ...........................................................20

  2. Sistem Pemerintahan ................................................................34

  1. Bentuk-bentuk pemerintahan .................................................27

  

C. Bentuk atau Sistem Pemerintahan Negara ......................................27

  6. Teori Hukum Alam ...................................................................27

  5. Teori Historis..............................................................................26

  4. Teori Organis..............................................................................25

  3. Teori Kekuatan ...........................................................................24

  2. Teori Ketuhanan ........................................................................22

  1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory ) ..................... 20

  

C. Praktek Kenegaraan dalam Sejarah Peradaban Islam ...................56

  

BAB III KONSEP NEGARA PERSPEKTIF POLITISI INDONESIA

DAN PRAKTEK KETATANEGARAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ................................................ 63

A. Konsep Negara dalam Persepektif Politisi Indonesia ...................63

  1. Konsep negara menurut Tan Malaka ......................................64

  2. Konsep negara menurut Soekarno ..........................................68

  3. Konsep negara menurut Kartosuwiryo ..................................70

  

B. Praktek Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia ....................74

  1. Falsafah Pancasila dalam bernegara ........................................74

  2. Bentuk negara Indonesia ..........................................................77

  3. Sistem Pemerintahan Indonesia ..............................................78

  

BAB IV PERDEBATAN ISLAM; AGAMA DAN NEGARA ......... 81

A. Percikan Pemikiran Ulama Siyasah; Relasi Antara Islam dan Negara .............................................................................................84

B. Madinah Sebagai Negara ...................................................................90

BAB V KEPEMIMPINAN DALAM HUKUM TATA NEGARA .. 95

A. Konsep tentang Pemimpin, Kepemimpinan dan Lahirnya Pemimpin ............................................................................................97

  1. Pemimpin dan Kepemimpinan ...............................................98

  2. Pengertian kepemimpinan .....................................................107

  3. Teori dan tipologi kepemimpinan .........................................109

  

B. Pemimpin Negara dalam Hukum Tata Negara ............................115

  1. Teori kontrak sosial .................................................................115

  2. Teori kekuasaan absolut ..........................................................116

  BAB VI LANDASAN TEOLOGIS DAN YURIDIS KEPEMIMPI- NAN NEGARA DALAM ISLAM DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA ................................................. 121

A. Landasan Teologis Pemimpin Negara dalam Islam .....................121

B. Landasan Yuridis Kepemimpinan Negara dan Hukum Tata

Negara Indonesia ..............................................................................132

  

BAB VII PENGANGKATAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD

1945 PRA DAN PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH) ...... 135

A. Pengangkatan Kepala Negara Sebelum dan Setelah Amandemen

UUD 1945 .........................................................................................138

B. Pengangkatan Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara

Islam (Siyasah Islamiyah) ................................................................146 BAB VIII PEMBERHENTIAN KEPALA NEGARA MENURUT UUD 1945 PRA DAN PASCA AMANDEMEN DAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH ISLAMIYAH) ................................................................. 151

A. Pemberhentian Kepala Negara Menurut UUD 1945 Sebelum

dan Sesudah Amandemen .............................................................152

  B. Pemberhentian Kepala Negara Menurut Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Islamiyah) ................................................................160

C. Nilai-Nilai Substansi Islam dalam Pengangkatan dan

Pemberhentian Kepala Negara di Inonesia ...................................172

Daftar Pustaka ............................................................................... 176

BAB I TEORI, SEJARAH DAN BENTUK NEGARA Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa

  fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pemikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak (Miriam Budiardjo, 1989: 30)

  Teori dan konsep tentang negara begitu beragam, namun yang menjadi akar pijakan negara adalah satu yaitu masyarakat yang terdiri atas indivdu-individu manusia. Untuk itu sebagai pen- gantar untuk memahami negara secara baik, maka memahami konsep masyarakat dengan baik adalah sebuah keharusan. Negara merupakan gejala kehidupan dari individu-individu manusia yang berkelompok (komune) dalam sebuah entitas dan wilayah tertentu dengan maksud menjaga dan mempertahankan eksistensi serta ke- berlangsungannya dalam persaingannya dengan entitas kelompok manusia lainnya.

  Kebutuhan akan adanya organisasi masyarakat, dalam hal ini dapat ditujukan pada organsasi masyarakat yang disebut dengan negara telah dijelaskan dengan sangat argumentatif oleh sosiolog muslim, Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Ia mengatakan;

  “Organisasi masyarakat merupakan kebutuhan...alasan- nya adalah manusia diciptakan sedemikian rupa, hingga ia hanya dapat menopang hidupnya dengan bantuan makanan. Kemampuan setiap individu untuk memperoleh makanan disesuaikan dengan kebutuhannya. Untuk ini perlu menya- tukan usaha yang dilakukan bersama-sama dengan para pengikutnya. Melalui kerja sama, mereka akan memenuhi ke- butuhan pangannya sesuai dengan jumlah mereka. Terlebih lagi, setiap individu memerlukan pertolongan dari orang lain untuk meraih tujuannya. Oleh karena itu, Tuhan memberi karunia berupa organ tubuh tertentu kepada setiap binatang untuk mempertahankan diri. Sedangkan untuk kepentingan manusia, Tuhan telah memberikan karunia berupa pikiran dan tangan dan dengan bantuan pikiran tangan dapat bekerja dan menghasilkan perlengkapan hidup yang sama fungsinya dengan organ-organ pertahanan tubuh binatang. Jadi selama manusia tidak mau bekerjasama dengan sesamanya, dia tidak bisa mendapatkan makanan untuk mempertahankan hidup dan mendapatkan senjata untuk mempertahankan diri. Teta- pi tanpa itu semua, dia akan menjadi mangsa binatang buas dan spesiesnya akan punah. Tetapi, jika bekerjasama manusia akan memperoleh makanan untuk hidup dan senjata untuk mempertahankan diri. Dengan demikian terpenuhilah ke- inginan Tuhan untuk melindungi makhluk-Nya. Oleh kera- na itu, organisasi masyarakat penting untuk umat manusia, tanpa itu manusia tidak mampu mempertahankan diri.Sete- lah organisasi masyarakat tercapai, kemudian muncul kebu- tuhan untuk saling menahan diri dari kecenderungan untuk menyerang dan menekan sesamanya. Senjata yang dipakai manusia untuk mempertahakan diri dari kebuasan sesaman- ya ini tak pelak lagi tidak mampu membantu pertahanan, maka setiap manusia kemudian membentuk kesamaan dian- tara mereka. Untuk dapat tetap bertahan hidup diperlukan kekuatan mengekang dan harus mencari seseorang diantara mereka yang akan dipercaya memikul kekuasaan serta ke- wenangan, sehingga tak seorangpun akan diserang oleh pihak lain. Inilah apa yang disebut dengan istilah mulk (kedaulatan

atau kemandirian) yang ada disetiap manusia dan kehadiran- nya penting untuk eksistensi hidupnya (dalam Majid Khaduri, 1995: 5-6). Ilmu negara adalah ilmu sosial dan seluruh ilmu sosial pas- ti mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok yang ada tidak lain adalah karena adanya dua sifat yang saling bertentangan yang ada pada manusia itu sendiri; di satu pihak ingin bekerja sama dan di lain pihak memiliki kecender- ungan untuk bersaing dengan manusia lainnya. Kebutuhan pokok manusia juga terbagi dua, kebutuhan fisik dan kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan tersebut seyogyanya terpenuhi secara seimbang, agar kehidupan manusia terasa nyaman dan bahagia.

  Kebutuhan yang bersifat fisik biasanya beraneka ragam dan terus berkembang sesuai dengan perubahan dan kemajuan zaman, dan semua itu biasanya tidak dapat ditemukan hanya dalam satu kelompok manusia. Karenanya, untuk memenuhi apa yang menja- di kebutuhan fisiknya, manusia (orang) tidak cukup untuk berada atau menjadi bagian satu kelompok saja. Ia akan menjadi anggota pada kelompok-kelompok lainnya, agar apa yang menjadi kebutu- han fisiknya terpenuhi. Satu misal, bila seseorang ingin memenuhi kebutuhan ekonominya, maka ia akan membentuk kelompok atau asosiasi di bidang ekonomi. Bidang ekonomi banyak ragamnya, hak ini bisa membawanya menjadi anggota satu, dua atau lebih dari kelompok ekonomi.

  Adapun dengan kebutuhan spiritual, pemenuhannya tidak bisa disamakan dengan kebutuhan fisik. Satu model atau jenis kelompok spiritual (agama, kepercayaan atau yang lainnya), bi- asanya sudah dapat mewakili terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual.

  Masyarakat, menurut Selo Soemardjan adalah manusia yang berada dalam suatu kelompok yang bertempat tinggal pada ling- kungan tertentu dan menghasilkan kebudayaan. Terdapat bela- san sarjana yang memberikan definisi tentang masyarakat dengan dua titik temu utama; kumpulan individu manusia dan terorgani- sir. Apabila manusia dibiarkan mengejar kepentingannya berupa pemenuhan terhadap kebutuhan fisik saja misalnya, maka masing- masing akan bersaing secara bebas tanpa batas, tidak terukur dan cenderung akan mementingkan egosentrisnya agar kebutuhannya sendiri terlebih dahulu terpenuhi, bahkan bisa jadi menjadi tidak peduli pada manusia lain. Kondisi yang demikian jelas akan men- imbulkan beragam kerugian pada masyarakat itu sendiri, baik secara parsial maupun secara universal. Untuk kepentingan ini, biasanya kelompok-kelompok masyarakat itu memegangteguhi nilai-nilai luhur dan moral serta sistem kerja kolektif-efesian-efek- tif atau mematuhi aturan main (rule) dalam hidup berkelompok.

  Merujuk pada pengertian masyarakat yang disampaikan Selo Soemardjan, negara adalah hasil kebudayaan manusia. Karena ne- gara adalah hasil kreasi budi, karsa, karya dan rasa manusia. Dari definisi masyarakat dengan salah satu produk kebudayaannya yang berupa negara disatu sisi, dan disisi lain dengan muncul berbagai konsep, teori, definisi dan pemahaman terhadap lembaga yang bernama negara menimbulkan persoalan mengenai pembedaan antara masyarakat dan negara yang cukup sulit dibedakan secara teoritis. Bagi orang awam, masayarakat pada satu entitas atau dae- rah tertentu dengan sebuah (nama) negara sering kali disamakan, satu contoh adalah tentang reaksi orang Indonesia atas klaim orang Malaysia pada seni tari Reog dan seni lagu Rasa Sayange.

  Memahami teori atau konsep negara akan terasa lebih rumit lagi, bila menyertakan berbagai sudut pandang atau perspektif. Dari berbagai sudut pandang ini dapat saja memperkaya khazanah ilmu tentang negara sebagai sebuah sisi positifnya, pada sisi lain menjadi diskursus yang menyulitkan untuk disatukan cara pandangnya bila masing-masing mempertahankan cara pandangnya. Para sarjana sosiologi misalnya, memandang negara sebagai entitas nyata atau entitas sosiologis. Artinya wujud adanya lem- baga atau institusi negara adalah muncul dari kegiatan kolektif interdependensi antara individu-individu manusia yang hidup bersama. Adapun para sarjana hukum memandang negara sebagai sebuah fenomena hukum, yakni sebagai korporasi. Oleh karenanya pengertian negara dapat diambil setelah terebih dahulu para pakar hukum itu mendefinisikan makna dari korporasi itu. Perosalannya adalah ternyata banyak sekali korporasi, sehingga para ahli harus memberikan tekanan kekhususan pada norma yang dibentuknya agar lebih mudah mendefinisikan sebuah negara (Hans Kelsen, 2009: 261).

  Itulah dua arus besar tentang konsep dan teori tentang ne- gara. Keduanya sangat sulit disatukan, karena beda pijakan awalnya (ilmu). Selanjutnya, kita hanya akan mendapatkan konsep, teori atau definisi negara bila tidak berperspektif sosiologis, ia berpers- pektif hukum. Berikut ini adalah beberapa pandangan dari bebera- pa sarjana tentang konsep atau teori tentang negara.

A. Teori Negara Menurut Filsuf Barat

  1. Negara menurut Plato Plato adalah seorang filosof Yunani yang hidup antara tahun 427-347 S.M. Ia berasal dari keluarga aris- tokrasi yang memiliki peranan penting dalam kehidu- pan politik di Athena. Nama Plato sesungguhnya adalah Aristokles. Plato adalah nama panggilan yang diberikan oleh pelatih senamnya, karena ia memiliki dahi dan bahu yang lebar. Plato dalam bahasa Yunani berarti “si lebar”. Julukan yang diberikan pelatih senamnya ini be- gitu cepat tersebar dan di kemudian hari menjadi pangi- lannya sehari-hari bahkan dijadikan sebagai nama resmi pada seluruh karya yang diciptakannya. Ayahnya berna- ma Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kordus yang dikagumi oleh rakyat Athena. Ariston meninggal pada saat Plato masih kecil dan kemudian ibunya, Perik- tione menikah lagi dengan paman Plato yang bernama Pyrilampes, ia adalah seorang politikus yang disegani di Athena (J.H. Rapar, 2001: 37-38).

  Dari biografi singkatnya terebut, dapat dipahami apabila di kemudian hari Plato tumbuh menjadi seorang filosof politik. Pemahaman tentang negara, politik dan kekuasaan seringkali menjadi rujukan bagi para nega- rawan dan politikus pada masa-masa setelahnya, bahkan sampai sekarang.

  Pada zaman Plato hidup, peperangan dan perselisi- han antar elit penguasa seringkali terjadi. Kondisi inilah yang menjadikan hasrat untuk berkarir di bidang politik Plato menjadi pupus.

  Para penguasa yang menjalankan negara lebih me- mentingkan dirinya, bertindak anarkhis, menjadi otorit- er, haus kekuasaan, jabatan dan harta kekayaan dan ter- jebak dalam tindakan amoral lainnya. Sikap politisi dan penguasa yang buruk itu tidak hanya ketika negara men- ganut sistem oligarki-aristokrasi maupun demokrasi. Bahkan pada saat negara menganut sistem demokrasi, Socrates, guru yang sangat dikagumi, dihormati dan dicintai oleh Plato ditangkap dan dihukum mati den- gan dakwaan menyesatkan kaum muda. Hal ini pula yang menyebabkan Plato sangat kritis terhadap sistem demokrasi. Kiranya, kekecewaan yang menghantuinya ten- tang para penyelenggara negara, menjadi Plato berpikir secara sungguh-sungguh tentang konsep negara yang menurutnya ideal dan dapat dijalankan dengan tidak melahirkan para penguasa diktator di kemudian hari.

  Bagi Plato negara dan manusia memiliki kesamaan, oleh karena masalah moralitas harus dikedepankan dalam kehidupan negara, bahkan harus menjadi yang paling hakiki dalam kehidupan negara itu sendiri. Ka- rena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Dan nilai moral yang paling dikedepankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersedian calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedia lembaga pendidi- kan yang memadai.

  Berkenaan dengan konsep tegas Plato tentang ne- gara, baginya negara ideal adalah komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan. Plato pernah menga- takan, “negara ideal hakekatnya adalah suatu keluarga, di dalam negara kamu semua bersaudara, siapapun yang dijumpai seseorang ia akan mengira ia sedang berjumpa dengan saudara lelaki atau saudara wanita, atau ayah atau ibu, atau seorang putra atau putri...., karena itu ne- gara tidak terlalu kecil dan tidak terlalu luas.” (J.H. Ra- par, 2001: 54-55)

  Kesimpulan para ahli dari pemikiran Plato tersebut adalah bahwa pemikiran negara Plato sangat terwarnai oleh pemikiran gurunya, Socrates. Untuk mempertegas bahwa pemikiran Plato tentang negara itu sangat terpen- garuh oleh pemikiran Socrates, lihatlah cuplikan pemb- elaan Socrates pada saat ia disidang oleh 500 juri di Pen- gadilan Athena yang ditulis sangat baik oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apologia;

  “Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada sia- papun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada ke- baikan yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdi- anku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah menga- jak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik mau- pun individu. Inilah yang aku ajarkan” (www.islampos.

  com , diunduh pada tanggal 3 Juni 2014).

  2. Negara menurut Aristoteles Aristoteles adalah murid Plato, ia lahir pada tahun 384 SM di semenanjung Chalcidice-Mecodonia, sebuah kota koloni Yunani yang terletak di sebelah Utara Yu- nani. Aristoteles bukanlah keturunan bangsawan seperti gurunya Plato. Ia lahir dari keluarga menengah dimana ayahnya adalah seorang dokter keluarga kerajaan Meco- donia. Aristoteles diasuh sendiri oleh ayahnya di bidang kedokteran dengan harapan ia akan menggantikan ayah sebagai dokter keluarga kerajaan. Namun niat ayahnya itu tidak tercapai, karena ayahnya meninggal sebelum Aristoteles menyelesaikan pendidikannya di bidang ke- doteran.

  Sekitar satu abad sebelum masa Aristoteles, kaum Sofis telah menyebarkan ajaran tentang negara. Menu- rut mereka negara semata-mata adalah instrumen, suatu sarana atau mekanisme yang digunakan manusia untuk mencapai dan memperoleh segala sesuatu yang diingin- kannya. Namun menurut Arsitoteles, negara merupakan suatu persekutuan hidup politis, yang dalam bahasa Yu- nani disebut be koinonia politis, artinya suatu persekutu- an hidup yang berbentuk polis (negara kota) (J.H. Rapar, 2001 :167).

  Pandangan Aristoteles tentang negara itu hen- daknya berbentuk polis (negara kota) jelas mengikuti pandangan gurunya Plato. Karena negara kota adalah negara yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Negara yang terlalu kecil akan terlalu sulit untuk mem- pertahankan eksistensinya, sedangkan negara yang ter- lalu besar akan terlalu sulit untuk mengelolanya. Namun bagi Aristoteles, negara adalah persekutuan hidup dalam jenjang yang tertinggi, di atas apa yang disebut keluarga dan desa. Negara adalah persekutuan hidup yang paling berdaulat, melingkupi persekutuan-persekutuan hidup yang lebih kecil yang hidup dalam sebuah negara, negara menjadi pengendali, pengayom bagi seluruh manusia yang hidup didalamnya.

  Walaupun dalam pandangan Aristoteles negara diposisikan sebagai persekutuan hidup tertinggi yang memiliki kedaulatan absolut tetapi bukan dalam penger- tian yang diinginkan oleh ajaran staats absolutisme. Ne- gara hanya berkewajiban menata seluruh segi kehidupan (J.H. Rapar, 2001: 170).

  3. Negara menurut Hans Kelsen Hans Kelsen dikenal sebagai seorang ahli hukum yang sangat kompeten. Ia terlahir dari keluarga Yahu- di berbahasa Jerman pada tanggal 11 Oktober 1884 di Prague (sekarang menjadi ibu kota Cekoslowakia). Se- masa hidupnya ia adalah ahli hukum yang kaya pengala- man hidup, mengalami perubahan zaman dan mengha- dapi berbagai tantangan. Sampai saat ini tidak ada satu karya biografi yang komplit tentang Hans Kelsen, kecuali yang ditulis oleh murid sekaligus asistennya yang ber- nama Rudolf Aladar Metall dengan judul “Leben und Werk” yang terbit pada tahun 1969 (Nicoletta Bersier Ladavac, 1998: 391). Kelsen berhasil menerbitkan buku pertamanya tahun 1905 dengan judul Die Staatslehre des Dante Alighieri, dan meraih gelar Doktornya di bidang hukum setahun kemudian.

  Pada tahun 1911, Kelsen mengajar di bidang hu- kum publik dan filsafat hukum di University Of Vienna. Kelsen mendapatkan gelar profesor penuh bidang Hu- kum Publik dan Hukum Administrasi tahun 1919. Pada tahun 1920 Kelsen dipercayai untuk menjadi penyusun Konstitusi Austria yang kemudian draft konstitusi terse- but ditetapkan tanpa perubahan berarti menjadi Konsti- tusi Austria. Setahun kemudian, Kelsen ditunjuk men- jadi anggota Mahkamah Konstitusi Austria. Perang dunia kedua yang meletus di Eropa mem- buat Kelsen pada tahun 1940 memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, dan mengajar di Harvard University sampai tahun 1942. Kemudian pada tahun 1945, Kelsen menjadi warga Negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Comission di Washington, yang tugas utamanya adalah menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg.

  Selama hidupnya, Kelsen menerima 11 (sebelas) gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai universitas di dunia. Hans Kelsen sang pencetus THE PURE THEO-

  

RY of LAW (teori hukum murni) itu meninggal dunia

  di Berkeley pada tanggal 19 April tahun 1973 di usia 92 tahun, meninggalkan sekitar 400 karya (http://arlo12.

  wordpress.com ).

  Sebagai seorang ahli hukum dan pencetus teori hu- kum murni, maka pandangan Hans Kelsen tentang ne- gara tidak akan jauh dari basis teori yang dicetuskannya. Baginya, negara dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, sebagai korporasi. Maka untuk menentukan definisi negara dapat ditentukan setelah menentukan terlebih dahulu definis korporasi.

  Menurut Hans Kelsen, negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional, dan negara sebagai badan hukum adalah suatu personifi- kasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini. Oleh karena itu, persoalan negara adalah persoalan tatanan hukum nasional (Hans Kelsen, 2009: 261). Walaupun ne- gara dipersepsikan sebagai komunitas yang terdiri dari manusia-manusia, janganlah memandang negara dari aspek sosiologisnya, tetapi tetap dari aspek hukumnya karena persoalan negara adalah persoalan hukum.

B. Sejarah Terbentuknya Negara

  Mariam Budiardjo dan Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah sebuah alat (agency), yaitu alat yang diberikan we- wenang untuk mengatur dan mengendalikan segala sendi kehidu- pan bersama dalam satu daerah tertentu dan memiliki kedaulatan. Bila negara dinyatakan sebagai alat, maka negara tidak dapat berdi- ri, bergerak, dan melakukan kegiatan apapun bila tidak ada organ yang menggerakkannya. Organ yang menggerakannya adalah tan- gan-tangan yang disebut dengan pemerintah. Pemerintah terdiri dari individu-individu yang berasal dari masyarakat yang memiliki keahlian tertentu dan dipercaya untuk menjalankan negara dengan mekanisme dan wewenang tertentu. Rentetan ‘peristiwa’ itu men- unjukan bahwa ada proses terjadi atau terbentuknya sebuah nega- ra. Dalam ilmu politik dan/atau ilmu negara, proses yang demikian itu dapat disebut sebagai sejarah terbentunya negara.

  Merujuk pada statemen di muka bahwa negara dapat dika- takan sebagai entitas sosiologi dan entitas hukum, menuntut pada munculnya pendekatan dan teori tentang terbentuknya negara. Ada beberapa pendekatan dan teori yang berkaitan dengan sejarah terbentuknya negara;

  1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory ) Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat ini be- ranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan pada perjanjian- perjanjian yang terjadi dalam masyarakat. Teori ini adalah teori yang tertua dan terpenting mengenai asal-usul negara. Melihat proses terbentuknya negara melalui teori ini, jelas dapat ditangkap bahwa negara merupakan entitas sosiologis. Karena negara berawal dari individu-individu, berkembang membentuk entitas kelompok terkecil sampai akhirnya terus membesar menjadi sebuah negara. Peralihan dari satu fase individu ke fase kelompok, berkumpulnya antar kelompok dan menjadi besar membentuk negara, dapat di- pastikan bahwa kohesi yang terjadi adalah akibat adanya perjanjian dari yang paling sederhana sampai pada yang rumit.

  Untuk menjelaskan teori ini, ada beberapa pakar yang memi- liki pengaruh besar dalam pemikiran politik tentang negara, dian- taranya Thomas Hobbes, John Locke dan JJ. Rousseau.

  Thomas Hobbes mengemukakan bahwa lahirnya negara ada- lah dengan adanya kesepakatan untuk membentuk negara, maka rakyat menyerahkan semua hak yang mereka miliki sebelumnya secara alamiah (sebelum adanya negara), untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan negara. Setelah itu Hobbes menentukan kedudukan antara negara dan masyarakat. Hobbes menekankan bahwa setelah terbentuknya negara dari perjanjian masyarakat dan adanya peny- erahan hak masyarakat kepada negara, maka kedudukan negara lebih tinggi dari masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa kekua- saan dan kedaulatan negara lebih besar dari rakyat, absolut atau mendekati absolut. Konsekuensinya, negara harus mampu menjaga masyarakatnya tetap tertib dan teratur, sejahtera dan merasa aman dari berbagai kemungkinan yang mengancam. Bila negara mampu melaksanakannya maka masyarakat wajib patuh pada aturan ne- gara.

  John Locke merumuskan teori kontrak sosialnya dalam buku-

  

nya yang berjudul Two Treaties of Government. Dalam buku terse-

but, Locke menyebutkan bahwa masyarakat dan pemerintah terikat

dalam kontrak sosial dengan mempertahankan sistem kehidupan

yang teratur dan seimbang serta ketertiban umum. Menurut Locke,

masyarakat terikat untuk menerima dan mengikuti keputusan yang

  

ditetapkan oleh pemerintah yang berdaulat selama pemerintah

yang berdaulat tersebut tidak menyimpang dari batas – batas dasar

dan struktur yang membentuk kontrak sosial antar masyarakat

dan pemerintah. selain itu, hukum alam yang dikemukakan Locke

bersifat normatif dimana hukum alam tersebut memerintahakan

bagaimana seseorang seharusnya bersikap, bukan bagaimana sebe-

narnya ia bersikap (Noer 1997: 119).

  Sama halnya dengan Hobbes, setelah negara terbentuk maka

kedudukan, wewenang, kekuasaan dan kedaulatan negara lebih

tinggi dari masyarakat. Perbedaan antara Locke dengan Hobbes

dalam persoalan ini adalah pada sisi absoltisme negara atas rakyat.

Menurut Locke, kekuasaan adalah hasil dari perjanjian sosial atau

kontrak sosial dan kekuasaan tersebut tidak bersifat mutlak. Pada

teori kontrak sosial Locke dijelaskan bahwa kekuasaan berasal dari

hasil kesepakatan warga dengan penguasa negara yang dipilihnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah berasal dari

Tuhan yang turun secara turun – temurun serta kekuasaan bu-

kan atas dasar teks kitab suci (Firdaus Syam, 2007), Adapun Jean

  Jacques Rosseau dalam bukunya yang terkenal Du Contract Social (1762), menyatakan bahwa dasar berdirinya sebuah negara beraw- al dari adanya suatu perjanjian atau kesepakan untuk membentuk negara, tetapi rakyat tidak sekaligus harus menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur negara. Agar partisipasi rakyat da- pat tersalurkan maka rakyat wajib memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam pemerintahan yang didirikan serta menyusun bi- rokrasi pemerintah secara lebih partisipatif ( http://agil-asshofie.

  blogspot.com/2011/11/

  ). Kiranya teori inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya pemilihan umum di seluruh belahan dunia.

  2. Teori Ketuhanan Teori ini lebih terkenal dengan sebutan teori teokratis. Teori ini bersifat universal, ada di belahan dunia Barat dan Timur den- gan sejarah dan karakternya masing-masing, secara teoritik mau- pun dalam praktik. Sebagai jalan termudah untuk mengidentifikasi sebuah negara teokrasi dapat merujuk pada definisi yang diberi- kan oleh Ryder Smith, yaitu jika sebuah negara menuntut untuk dijalankan oleh satu atau banyak dewa (tuhan) (Majid Khadduri, 1995: 13). The Oxford Dictionary mendefinisikannya sebagai ben- tuk pemerintahan yang didalamnya Tuhan (sifat ketuhanannya) dimanifestasikan dalam diri raja atau penguasa saat itu. Dan orang yang dianggap pertama mengenalkan istilah teokrasi adalah Fla- vius Josephus (37-100 M).

  Inti dari teori ini adalah bahwa negara dibentuk oleh Tuhan melalui titah-Nya dalam kitab suci atau melalui sabda manusia- manusia pilihan-Nya yang diutus kepada manusia dan dalam ben- tuk praktik politik ketatanegaraan. Pemimpin-pemimpin negara adalah wakil Tuhan yang menjalankan pemerintahan dan hanya bertanggung jawab pada Tuhan.

  Doktrin atau teori teokrasi pada tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah men- ganggap diri-Nya sebagai “penguasa” atas hambanya. Perwakilan- Nya di dunia (raja, khalifah) hanya sebagai kekuatan eksekutif. Oleh sebab itu hukum ketuhanan dianggap sebagai sumber ke- wenangan pemerintah dalam proses pengawasan di bawah sistem- sistem bersangkutan. Keberadaan hukum mendahului negara dan menjadi dasar berdirinya negara. Oleh sebab itu hukum bukan Tu- han, namun hukum Tuhanlah yang sebenarnya mengatur (Majid Khadduri, 1995: 14). Sampai pada satu pemahaman, pelanggaran terhadap kekuasaan merupakan pelanggaran terhadap Tuhan.

  Berdasar pada paparan di atas, Majid Khadduri lebih suka me- nyebutnya nomokrasi ketuhanan, karena negara harus berjalan dan terbentuk di atas hukum Tuhan. Walaupun sama-sama mendasar- kan pada hukum Tuhan, negara nomokrasi ketuhanan (teokrasi) Islam berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Dalam agama Islam, khalifah adalah pemimpin pemerintahan (eksekutif) sekaligus pemimpin spiritual.

  3. Teori Kekuatan Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa ne- gara yang pertama terbentuk karena adanya kekuasaan dan kekua- saan itu didapat dari kekuatan yang berasal dari orang-orang yang paling kuat dan berkuasa atas mereka yang lebih lemah. Dalam ba- hasa yang lain, negara adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara berbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudu- kan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan penaklukan.

  Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap se- bagai faktor tunggal yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pembentuk negara itu. Dalam teori ini pula kekuatan mem- buat hukum (might makes right). Kekuatan adalah pembenarannya dan raisond`etre-nya adalah negara.

  Doktrin kekuatan merupakan hasil analisa anthropo-sosiolo- gis dari pertumbuhan suku-suku bangsa dimasa lampau, terutama suku-suku bangsa yang bertentangga terus-menerus berada dalam keadaan permusuhan dan pertikaian. Semula kelompok etnis yang ditaklukan itu juga dimusnahkan, tetapi lambat laun penakluk mempertahankan kelompok yang ditaklukan itu dan itulah me- nandakan saat lahirnya negara.

  4. Teori Organis Teori organis ini mengibaratkan atau mempersamakan ter- bentuknya negara sama dengan terbentuknya makhluk hidup.

  Organ-organ atau komponen-kompononen yang ada pada negara dianggap sebagai sel-sel yang sama fungsi dan peranannya dalam makhluk hidup.

  Kehidupan korporasi dari negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk hidup itu. Fisiologi negara sama dengan fisiologi makhluk hidup, terutama dalam konteks kelahiran, pertumbuhan, perkembangan dan kematiannya. Doktrin organis dari segi isinya dapat digolong- kan ke dalam teori-teori organisme moral, organisme psikis, or- ganisme biologis dan organisme sosial.

  Teori organisme moral secara singkat dapat dipahami bahwa negara adalah “naturproduksi”, satu kesatuan organis yang meli- puti semua warga masyarakat sebagai bagian esensial dari kesatuan organis negara. Negara tidak dibuat oleh manusia, tetapi merupa- kan produk moral dari kodrat manusia sebagai makhluk moral. Te- ori organisme psikis menuturkan bahwa negara tidak hanya terdiri dari wujud fisik keberadaan masyarakatnya. Satu kesatuan organ- isme yang ada pada negara memiliki atribut-atribut kepribadian rohani, mental spiritual sebagai manusia. Maka pertumbuhan dan perkembangan negara dapat dipersamakan dengan perkembangan intelektual dan kepribadian individu.

  Teori organisme biologis timbul sebagai salah satu manifes- tasi dari pertumbuhan ilmu-ilmu biologi yang muncul pada abad ke-19. Negara diselidiki dengan menggunakan metode-metode dan penggolongan-penggolongan ilmu biologi itu, karena antara negara dan makhluk hidup terdapat persamaan-persamaan dalam anatomi, fisiologi dan patologinya. Jadi asal mula, perkembangan, struktur dan aktifitas negara diselidiki berdasarkan pada kelahiran, struktur dan fungsi-fungsi organisme biologis. Adapun teori organ- isme sosial lahir bersamaan dengan lahirnya ilmu sosiologi. Ajaran negara sebagai organisme sosial terkait erat hubungannya dengan ajaran organis dari masyarakat dan persekutuan-persekutuan lain- nya. Masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan yang bersi- fat organis.Negara sebagai slaah satu bentuk perkelompokan sosial juga bersifat organis.

  5. Teori Historis Teori historis atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga so- sial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Sebagai lembaga sosial yang dipe- runtukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu dan tuntutan-tuntutan zaman.

  Teori historis diperkuat dan telah dibenarkan oleh penye- lidikan historis dan etnologis-antropologis dari lembaga-lembaga sosial bangsa-bangsa primitif di benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Perlu ditambahkan bahwa pada saat ini, teori historislah yang umum diterima oleh sarjana-sarjana ilmu politik sebagai teori yang paling mendekati kebenaran tentang asal mula negara.

  Sekalipun teori historis pada umumnya mencapai persesuaian paham mengenai pertumbuhan evolusionistis dari negara, namun dalam beberapa hal masih juga terdapat perbedaan pendapat, mis- alnya, apakah yang mendahului negara itu keluarga dan suku yang didasarkan atas sistem keibuan? Serta bagaimanakah peranan fak- tor-faktor kekeluargaan, agama, dan lain-lain dalam pembentukan negara? (Dede Rosyada dkk, 2004: 51-52).

  6. Teori Hukum Alam Teori hukum alam menyatakan bahwa negara terjadi karena kehendak alamiah manusia, karena manusia yang adi kodratinya sebagai makhluk sosial yang suka berkumpul dengan manusia lain- nya dengan pendorong adanya kesamaan dalam hal-hal tertentu.

  Dan negara merupakan lembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang dapat dirasa- kan oleh manusia yang berkumpul tersebut. Penganut teori ini ada- lah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino.

C. Bentuk atau Sistem Pemerintahan Negara

  1. Bentuk-bentuk pemerintahan Sub judul tersebut sengaja dibuat seperti itu karena ada semacam kegaduhan dalam penggunaan istilah untuk mengidenti- fikasi dan mengklasifikasikan cara kerja atau manajemen pemerin- tah sebuah negara menjalankan negaranya.

  Dalam kepustakaan ilmu politik dibedakan antara bentuk pemerintah dan bentuk negara, tetapi perbedaan ini merupakan masalah dalam ilmu politik yang belum selesai. Kranenburg dan Grabowsky lebih mengutamakan bentuk negara daripada bentuk pemerintahan, sedangkan Garner dan Gilchrist mengutamakan bentuk pemerintahan daripada bentuk negara. Konklusinya, bila membicarakan bentuk pemerintahan sebuah negara berarti itu pula bentuk negaranya dan demikian sebaliknya.

  Bentuk negara atau pemerintahan dari sebuah negara men- jadi penting sebagai identitas negara dan dalam ranah pergaulan internasional. Di dunia ini dihuni oleh lebih dari 200 negara den- gan berbagai sistem politik yang dianutnya. Tidak semua negara di dunia mempunyai bentuk yang sama. Perbedaan ini menyebabkan pula perbedaan bentuk pelaksanaan hubungan internasional mas- ing-masing negara. Bagaimana bentuk suatu negara adalah urusan negara itu sendiri. Hukum internasional tidak mempunyai hak atau wewenang untuk ikut menentukan bentuk suatu negara. Suatu ne- gara memilih bentuk negaranya sesuai dengan aspirasinya sendiri dan boleh saja merubah haluan karena kebutuhannya sendiri atau sebab suasana politik tertentu yang terjadi dalam urusan dalam negerinya.

  Secara garis besar, bentuk negara dan pemerintahannya terba- gi menjadi 2 (dua), yaitu monarki dan republik, dengan model ken- egaraan kesatuan atau federasi (serikat), plus model negara kota.

  1. Monarki (kerajaan, kesultanan) Kata monarki berasal dari bahasa Yunani, “monos” yang berarti satu dan “archein” yang berarti pemerintah. Negara monarki dipimpin oleh seorang penguasa negara dengan seb- utan raja, ratu, kaisar sultan atau emir. Bentuk negara ini ada- lah yang tertua di dunia. Pada negara yang berbentuk monar- ki, raja, ratu, kaisar, sultan atau emir berkuasa sepanjang hayatnya. Ia akan digantikan apabila sudah wafat atau pada satu kondisi yang mana ia sudah tidak mampu atau tidak in- gin meneruskan kekuasaannya. Pada umumnya penggantinya adalah dari garis keturunannya yang utama yang mendapat gelar putra atau putri mahkota. Pada negara dengan sistem monarki tertentu, seperti Kerajaan Malaysia, kekuasaan raja dibatasi waktunya hanya lima tahun dan digilirkan pada pen- guasa negara bagiannya (persekutuan).

  Biasanya pada negara monarki; raja, ratu, kaisar, sultan atau emir hanya sebagai simbol negara dan kekuasaannya sangat terbatas. Perdana menteri sebagai kepala pemerinta- han yang memiliki banyak kekuasaan dan wewenang dalam menjalankan roda pemerintahan negara monarki. Masa kepemimpinan perdana menteri dibatasi hanya dalam waktu tertentu.

  Dalam perkembangannya, sekarang sistem monarki ter- bagi lagi menjadi 4 (empat); monarki absolut, monarki konsti- tusional, monarki parlementer dan monarki demokrasi.

  a. Monarki absolut Monarki absolut adalah negara yang dipimpin oleh kepala negara (raja atau sebutan lainnya) yang memiliki kewenangan absolut (tidak terbatas). Kewenanganya meliputi seluruh sistem kekuasaan yang ada pada negara itu, kekuasaan eksutif, yudikatif dan legislatif ada ditan- gannya. Pada masa dahulu segala titahnya dan perbua- tannya harus dipatuhi oleh siapapun dan menjadi hu- kum bagi rakyatnya. Keberadaan perdana menteri hanya sebagai simbol saja, karena pada prinsipnya kekuasaan dan kontrol terhadap negara ada dalam wewenang pe- nuh pada satu penguasa negara.

  Diantara negara-negara yang menganut sistem monarki ansolut adalah Arab Saudi, Qatar, Oman, Bru- nai Darussalam dan Swaziland.

  b. Monarki konstitusional Berbeda dengan monarki absolut, dalam negara monarki konstitusional, kekuasaan raja dibatasi oleh undang-undang dasar (konstitusi negara). Raja, ratu, kaisar, sultan atau emir hanya sebagai simbol negara, ia memiliki peranan tradisional yang pada kalanya pan- dangannya terhadap penyelenggaraan negara berbeda dengan perdana menteri dan dapat saja mendorong atau mengusulkan pergantian perdana menteri kepada parle- men.

  Terjadinya proses monarki konstitusional pada ne- gara monarki karena 2 (dua) hal;

  1. Ada kalanya perubahan menjadi monarki konstitu- sional datang dari inisiatif raja itu sendiri karena ia takut kekuasaannya akan runtuh/dikudeta. Contoh untuk kasus ini adalah Jepang.

  2. Ada pula yang berubah menjadi monarki konstitu- sional karena adanya revolusi rakyat terhadap raja.

  Contohnya; Inggris yang melahirkan Bill of Right I tahun 1689, Yordania dan Denmark (sitongjona- tan-jonatan.blogspot.com).

  c. Monarki parlementer Dalam monarki parlementer, negara dikepalai oleh raja dengan menempatkan parlemen (DPR) sebagai pe- megang kekuasaan tertinggi. Jatuh tegaknya pemerintah tergantung kepercayaan parlemen terhadap perdana menteri dan para menterinya. Perdana menteri dan ka- binetnya bertanggungjawab kepada parlemen adapun raja hanya sebatas simbol saja yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Contohnya adalah Malaysia, Ing- gris, Thailand dan Belanda.