Citra tiga generasi perempuan dalam novel Tarian Bumu karya Oka Rusmini : analisis kritik sastra feminis - USD Repository

CIITRA TIGA
A GENERA
ASI PEREM
MPUAN
D
DALAM
NOVEL TAR
RIAN BUM
MI KARYA
A OKA RUS
SMINI
A
ANALISIS
K
KRITIK
SA
ASTRA FE
EMINIS

Skripssi
Diiajukan untuuk Memenu

uhi Salah Saatu Syarat
M
Memperoleh
Gelar Sarjaana Sastra Inndonesia
m Studi Sasstra Indonessia
Program

Oleh
h
Suusana Widy
yaningsih
0241140
018

PR
ROGRAM STUDI
S
SAS
STRA IND
DONESIA

JURUSA
AN SASTRA
A INDONE
ESIA
FA
AKULTAS SASTRA
UNIVERS
SITAS SAN
NATA DHA
ARMA
Y
YOGYAKA
ARTA
2010
0

i

Skripsi


CITRA TIGA GENERASI PEREMPUAN
DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI
ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS

Oleh
Susana Widyaningsih
NIM: 024114018

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum.

tanggal 19 Juli 2010

Pembimbing II

Drs. B. Rahmanto, M. Hum.


tanggal 19 Juli 2010

ii

Skripsi
CITRA TIGA GENERASI PEREMPUAN
DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI
ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS

Dipersiapkan dan disetujui oleh
Susana Widyaningsih
NIM: 024114018

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
Pada tanggal 28 Juli 2010
dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap


Tanda Tangan

Ketua

: Drs. B. Rahmanto, M. Hum.

................................

Sekretaris

: Drs. Hery Antono, M. Hum

................................

Anggota

: Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum.

................................


S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum.

................................

Drs. B. Rahmanto, M. Hum

................................

Yogyakarta, 31 Juli 2010
Dekan Fakultas Sastra

Dr. I . Praptomo Baryadi, M. Hum.
iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau
menjadi bijak di masa depan. (Amsal 19:20)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:


Sang Gembala Baik, Yesus Kristus
Ayahanda (alm) Agustinus Djumadi Hadi Susanto
dan Ibunda Agustina Sutarmi, sumber kekuatanku
Serta semua orang yang kukasihi

iv

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa penulis panjatkan atas
segala limpah karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian
sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena
itulah kritik dan saran dari berbagai pihak akan penulis terima guna lebih
tersempurnakannya penelitian ini. Penulis juga berharap skripsi ini bermanfaat

bagi pembaca.
Akhirnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yaitu:
1. S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum. sebagai dosen pembimbing I, terima kasih
atas bimbingan, masukan dan kesabaran yang selama ini diberikan kepada
saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum. sebagai dosen pembimbing II, terima kasih
telah meluangkan waktu guna memberi masukan dan bimbingan dalam
menyelasaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen Jurusan Sastra Indonesia, yang dengan pengertian dan sabar
membimbing saya selama menempuh pendidikan di Jurusan Sastra
Indonesia.
4. Keluarga yang selalu memberi dukungan sepenuh hati sehingga skripsi ini

vi

dapat selesai.
5. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuk mendukung dan mengingatkan
betapa berharganya waktu.
6. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2002.

7. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
banyak membantu dan memberi dukungan sampai skripsi ini selesai.

Yogyakarta, 31 Juli 2010

Penulis

vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang telah saya
tulis ini adalah hasil dari imajinasi dan inspirasi saya sendiri. Saya tidak mengutip
hasil karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan-kutipan dan
daftar pustaka, sebagaimana layaknya membuat karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2010

Penulis


Susana Widyaningsih

viii

ABSTRAK

Widyaningsih, Susana. 2010. CITRA TIGA GENERASI PEREMPUAN
DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI
ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS. Skripsi (S-1). Yogyakarta:
Program Studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas
Sastra. UNIVERSITAS SANATA DHARMA.
Penelitian ini mengkaji citra perempuan pada tiga generasi yang
menghadapi persoalan kehidupan manusia bersinggungan dengan adat yang sudah
terpakem, mentradisi, dan tidak boleh dilanggar, kekangan adat, dominasi lakilaki, keprestisiusan kaum bangsawan-khususnya di Bali, juga kemiskinan. Tujuan
dari penelitian ini adalah mendeskripsikan identifikasi tiga generasi tokoh
perempuan (dan tokoh perempuan lain) serta mendeskripsikan citra tiga generasi
perempuan pada novel Tarian Bumi.
Dengan menggunakan teori kritik sastra feminis penulis hasilkan
pembahasan mengenai identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dalam novel

Tarian Bumi dan citra tiga generasi perempuan dalam novel tersebut. Dari hasil
analisis diketahui ada dua golongan (kasta) yang diceritakan yaitu brahmana dan
sudra. Identitas sebagai bangsawan (brahmana) dan non-bangsawan (sudra)
sangat berpengaruh pada tiga generasi perempuan dalam teks Tarian Bumi.
Kebangsawanan mutlak untuk dipertahankan. Namun, apabila seorang perempuan
bangsawan melanggar pakem tersebut ia harus menerima konsekuensi logis yaitu
keluar dari kastanya kemudian “turun” mengikuti kasta suaminya. Sementara
untuk perempuan non-bangsawan, menjadi seorang bangsawan atau memiliki
identitas bangsawan merupakan suatu hal yang menjadi dambaan mereka.
Citra tiga generasi perempuan yang meliputi perempuan brahmana dan
sudra secara terintegrasi disimpulkan sebagai berikut. Tiga generasi perempuan
brahmana secara umum dicitrafisikkan: cantik, menarik, dan sempurna.
Perempuan brahmana dicitrapsikiskan sebagai pribadi yang menjunjung tinggi
nilai kebangsawanan. Identitas diri sebagai “bangsawan” sangat prestisius dan
mutlak dipertahankan. Sementara citra sosial perempuan brahmana yang meliputi
lingkup domestik dan publik adalah sebagai berikut. Dalam lingkup domestik,
ix

atau keluarga, perempuan brahmana apabila tidak memiliki saudara kandung lakilaki, otomatis akan menjadi ahli waris atau sentana. Menjadi sentana membuat
seorang perempuan berkuasa dan berhak memutuskan segala sesuatu di griya
Dalam lingkup publik, identitas brahmana memberikan nilai tersendiri di
masyarakat. Kaumnyalah yang berhak menyelenggarakan berbagai ritual adat atau
pun memimpin upacara keagamaan serta menjadi pemutus suatu ketentuan.
Citra fisik perempuan sudra digambarkan dalam sosok perempuan
kampung, kasar dan tidak menarik. Mereka dicirtapsikiskan sebagai perempuanperempuan miskin dan bodoh Citra perempuan sudra dalam lingkup domestik,
mereka hanya dapat menjadi abdi di griya para bangsawan, tidak berhak atas apa
pun. Senada dengan lingkup domestik, pada lingkup publik perempuan sudra
tidak memiliki peran apa pun di masyarakat. Perempuan sudra harus bekerja keras
untuk mendapat tempat di masyarakat dan mendapat kemapanan ekonomi yang
layak.

x

ABSTRACT
Widyaningsih, Susana. 2010. Woman Imagery Of Three Generation in
Tarian Bumi Novel By Oka Rusmini Analysis Feminist Literary
Criticsm. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program,
Indonesian Literary Department, Indonesian Literature Faculty,
SANATA DHARMA UNIVERSITY.
This research analyzes woman imagery of three generations in Tarian
Bumi who face some problem of human life that has been in connect with local
custom and should not be violated, customary restraint, male domination, prestige
of nobleman-especially in Bali, and also proverty. This research aimed to describe
identify three generation of woman character (and other woman) and describe
woman imagery of that.
By using the theory of feminist literary criticsm i discussed about
identify woman character in this novel and woman imagery of three generation
too. There’s two class (caste) in text: brahmanacaste and sudracaste. Identify as a
nobleman (Brahmanaman) and non-nobles (Sudraman) strongly affected for
woman in this novel. Nobility is absolutely maintained. However, when a
nobleman (brahmana women) breaking the grip she had to accept the logical
consequence that’s out of her caste then “down” following her husband’s caste. In
defiance of the importance in the Balinese hierarchy of a woman not lowering the
status of the whole family by marrying beneath her. Meanwhile, for the nonnobles (sudra women) became a nobleman or brahmanacaste is a matter that be
their dream.
Woman imagery of three generation which covered brahmanawoman
and sudrawoman was integrated with the conclusion as followed. Generally three
generation of brahmanawoman have a physical image in description as so
beautiful, exiting and perfect. Brahmanawoman in psyche image as a man who
uphold the principles of personal nobility. Self-identify as a “noble” is so
prestigious and so absolutely maintained. While the social image of
brahmanawoman include domestic and public sphere are as follow. In domestic
sphere or family, if a brahmana woman haven’t male siblings she will
automatically become a heirs or sentana. Be a heirs became a woman to hold the
xi

power and to have the right for decide something in home (griya). In public
sphere, identify of brahmana provide it’s own value in society. The nobility who
have the right to carry out of various rituals or to lead some religious ceremonies
and also have the right decide a certainty.
Physical image of sudra woman in description a rough uninteresting
village woman. They in psyche image as poorly woman and stupid too. In
domestic sphere, they just be a servant in house of brahman, not reserve for
anything. And, in the public sphere, sudrawoman not have any role in society.
They must work haed to find a place in society and to get decent economic life
too.

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ vii
ABSTRAK .....................................................................................................viii
ABSTRACT ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................................ 4
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................. 4
1.5 Landasan Teori ............................................................................................. 4
1.5.1 Kritik Sastra Feminis .................................................................... 5
1.5.2 Identifikasi Tokoh ......................................................................... 7
1.5.3 Citra Perempuan ............................................................................ 8

xiii

1.6 Metode Penelitian ........................................................................................ 8
1.6.1 Pengumpulan Data ........................................................................ 8
1.6.2 Metode Penelitian ......................................................................... 9
1.6.3 Sumber Data .................................................................................. 9
1.7 Sistematika Penyajian .................................................................................. 9
BAB II IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN
DAN TOKOH TOKOH PEREMPUAN LAIN DALAM
NOVEL TARIAN BUMI .................................................................. 11
2.1 Pengantar .................................................................................................... 11
2.2 Konsep Kasta dan Griya ............................................................................ 12
2.3 Identifikasi Tiga Generasi Tokoh Perempuan dan Tokoh Perempuan
Lain dalam novel Tarian Bumi ................................................................. 13
2.4.Tokoh Perempuan Brahmana atau Bangsawan .......................................... 14
2.4.1 Perempuan Generasi I Ida Ayu Sagra Pidada ............................. 14
2.4.2 Perempuan Generasi II Luh Sekar ayau Jero Kenanga ............... 19
2.4.3 Perempuan Generasi III Ida Ayu Telaga Pidada ......................... 27
2.5 Tokoh Perempuan Sudra atau Non-Bangsawan ......................................... 39
2.5.1 Luh Sari ....................................................................................... 39
2.5.2 Luh Dalem ................................................................................... 41
2.5.3 Luh Kerta dan Luh Kerti ............................................................. 48
2.5.4 Luh Gumbreg .............................................................................. 51
2.5.5 Luh Sadri ..................................................................................... 55
2.5.6 Luh Kenten .................................................................................. 58

xiv

2.5.7 Luh Kambren ............................................................................... 67
2.5.8 Luh Dampar ................................................................................. 75
2.5.9 Luh Kendran ................................................................................ 79
2.6 Rangkuman ................................................................................................ 82
BAB III CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL TARIAN BUMI ........ 86
3.1 Pengantar ................................................................................................... 86
3.2 Citra Perempuan ......................................................................................... 87
3.2.1 Citra Perempuan Bangsawan .................................................................. 88
3.2.1.1 Citra Diri .................................................................................. 88
3.2.1.1.1 Citra Fisik .............................................................................. 88
3.2.1.1.2 Citra Psikis ............................................................................ 90
3.2.1.2 Citra Sosial ............................................................................... 97
3.2.1.2.1 Citra dalam Lingkup Domestik ............................................. 97
3.2.1.2.2 Citra dalam Lingkup Publik .................................................. 98
3.2.2 Citra Perempuan Sudra ......................................................................... 100
3.2.2.1 Citra Diri ................................................................................. 100
3.2.2.1.1 Citra Fisik ............................................................................ 100
3.2.2.1.2 Citra Psikis .......................................................................... 101
3.2.2.2 Citra Sosial ............................................................................. 103
3.2.2.2.1 Citra dalam Lingkup Domestik ........................................... 103
3.2.2.2.2 Citra dalam Lingkup Publik ................................................ 104
3.3 Citra Tiga Generasi Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka
Rusmini ................................................................................................... 105

xv

3.4 Rangkuman .............................................................................................. 108
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 112
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 112
4.2 Saran ......................................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 119
LAMPIRAN

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Karya

sastra

sebagai

hasil

dari

budaya

manusia

senantiasa

mengkomunikasikan berbagai pengalaman-pengalaman yang dialami oleh
manusia. Karya sastra berisi tentang bagaimana seseorang dalam hidup ini
mengalami, merasakan, dan mengatasi romantika hidup dalam jiwanya. Melalui
karya sastra yang diciptakan tidak jarang dapat tergambar seluruh muatan batin
diri manusia. Gambaran-gambaran itu terekspresikan lewat pengarang yang
mempunyai ide untuk menciptakan suatu karya berdasarkan muatan batin tersebut
sebagai wujud tertulis dari buah pikir seorang pengarang.
Bali merupakan salah satu daerah yang mempunyai tradisi begitu kuat
dan penuh fenomena. Dengan novel Tarian Bumi (selanjutnya ditulis TB), Oka
Rusmini berusaha menggambarkan Bali yang sesungguhnya. Nuansa Bali sebagai
kawasan masyarakat etnik tercermin dari budaya dan masyarakatnya. Lewat tokoh
Telaga, didobraklah konsep-konsep Bali yang masih sangat terjaga.
Dikisahkan bahwa Luh Sekar, seorang perempuan dari kasta sudra
sangat ingin menikah dengan lelaki dari kasta brahmana. Cita-citanya terkabul
manakala ia bisa bersanding dengan Ida Bagus Ngurah Pidada. Setelah menikah,

1

nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Dari pernikahannya ini
lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada (Telaga). Dalam pandangan Telaga, kasta
brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga pun tertarik pada seorang lelaki
jaba alias kasta rendah bernama Wayan Sasmitha. Sampai akhirnya Telaga hamil
dan menanggalkan gelar kebangsawanannya untuk hidup bersama Wayan.
Kebingungan Telaga untuk memilih membela ibunya atau neneknya, dan
banyaknya rintangan yang dihadapi Telaga membuat atmosfer pemberontakan
terasa. Bias masalah kasta dengan segala aturan dan peraturannya mewarnai
kehidupan Telaga yang ingin didobraknya dengan tidak meninggalkan unsur religi
Hindu di dalamnya. Segala kemewahan sebagai seorang keturunan bangsawan
ditanggalkan demi Wayan Sasmitha, walau kehidupan khas sudra serba
kesusahan, namun Telaga bahagia dengan pilihannya. Keteguhannya yang ikhlas
membuatnya bertahan mewujudkan impian bahagia dengan Wayan Sasmitha
walau hanya dalam waktu yang sebentar.
Luh Sekar, ibu Telaga pun juga diceritakan sebagai seorang perempuan
sudra yang sangat mengagungkan nilai kebangsawanan. Tokoh Ida Ayu Sagra
Pidada, mertua Luh Sekar, seorang putri bangsawan kaya yang juga
mengagungkan

nilai-nilai

kebangsawanan,

serta

tokoh-tokoh

lain

yang

memberikan penilaian terhadap perempuan itu sendiri membuat novel ini sarat
dengan penceritaan dan pencitraan manusia yang disebut perempuan.
Novel TB juga menceritakan bagaimana perempuan pada tiga generasi
tercerita menghadapi persoalan kehidupan manusia bersinggungan dengan adat
yang sudah terpakem, mentradisi, dan tidak boleh dilanggar. Kekangan adat,

2

dominasi laki-laki, keprestisiusan kaum bangsawan, dan kemiskinan pun
diungkap pula dalam novel ini. Begitu pula dengan kekuatan, kemandirian dan
kegelisahan para perempuan juga disertakan.
Hal-hal inilah yang menarik penulis untuk memilih novel TB sebagai
bahan kajian penelitian. Berdasarkan uraian di atas penulis terdorong untuk
meneliti citra tiga generasi perempuan dalam novel TB. Hal lain yang mendorong
penulis meneliti novel TB adalah sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti
tentang citra tiga generasi perempuan pada novel TB ini. Relevan dengan topik
yang diteliti, maka penulis menggunakan pendekatan kritik sastra feminis.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan
sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dan tokoh
perempuan lain dalam novel TB?
1.2.2 Bagaimanakan citra tiga generasi perempuan dalam novel TB?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan identifikasi tiga generasi tokoh perempuan dan
tokoh perempuan lain dalam novel TB.

3

1.3.2 Mendeskripsikan citra tiga generasi perempuan dalam novel TB.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis
1.4.1.1 Penelitian ini memperluas aplikasi kritik sastra feminis.
1.4.1.2 Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan apresiasi
sastra karya Oka Rusmini pada novel Tarian Bumi.

1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan menambah wawasan mengenai
studi tentang perempuan melalui karya sastra.
1.4.2.2 Penelitian ini diharapkan memperkaya studi budaya
khususnya budaya Bali.

1.5 Landasan Teori
Untuk menjawab pertanyaan tentang citra perempuan pada teks sastra
Tarian Bumi, akan digunakan teori kritik sastra feminis yang dikemukakan oleh
Djajanegara khususnya kritik ideologis. Penggunaan teori ini digunakan sebagai
dasar penelitian novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

4

1.5.1 Kritik Sastra Feminis
Menurut Djajanegara (2000 : 27) kritik sastra feminis berasal dari hasrat
para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita dan untuk
menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan
wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta
disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan.
Kritik sastra feminis sendiri memiliki beberapa ragam. Ragam kritik
sastra feminis yang dikemukakan oleh Djajanegara (2000 : 28 - 36) adalah sebagai
berikut. Pertama adalah kritik ideologis, kritik sastra feminis ini melibatkan
wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian
pembaca wanita adalah citra dan stereotipe wanita dalam karya sastra. Kritik ini
juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita
sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik
sastra.
Ragam kedua yaitu gynocritics atau ginokritik yang mengkaji masalah
perbedaan. Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus,
dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan tulisan laki-laki. Ragam kritik sastra
feminis yang selanjutnya adalah kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra
feminis-Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa
kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Kritik sastra feminis-

5

Marxis mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam karya-karya
sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas yang tenaganya dimanfaatkan
untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran.
Kritik sastra feminis-psikoanalitik adalah ragam keempat. Kritik sastra
feminis-psikoanalitik diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis
percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau
menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada
umumnya merupakan cermin penciptanya.
Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik feminis-lesbian
yang hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Tujuan kritik sastra feminis ini
adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna
lesbian. Tujuan penting dari kritik sastra feminis ragam ini adalah agar para
pengkritik mampu membentuk suatu kanon sastra lesbian dari karya-karya masa
silam. Kemudian, dari kanon sastra lesbian tersebut para pengkritik dapat
mengembangkan suatu tradisi menulis sastra lesbian dan strategi membaca dari
sudut pandang lesbian, yang dapat diterapkan baik pada teks-teks lama maupun
pada teks-teks modern.
Ragam kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminisetnik. Ragam kritik sastra feminis-etnik adalah kritik sastra yang dilakukan oleh
para feminis - wanita - kulit hitam Amerika dan wanita Amerika keturunan Cina
yang ingin membuktikan keberadaanya beserta karya-karyanya agar diketahui,
dilihat dan diperhatikan.
Dari ragam kritik sastra feminis di atas salah satu ragam kritik sastra

6

feminis adalah kritik ideologis. Ragam kritik sastra feminis pada dasarnya
merupakan cara menafsirkan suatu teks yaitu satu di antara banyak cara yang
dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekalipun (Djajanegara, 2000 : 28).
Relevan dengan hal itu maka dalam penelitian ini kritik sastra feminis yang
digunakan untuk menganalisis teks TB adalah kritik ideologis. Jadi citra
perempuan yang menjadi topik kajian ini dianggap ideologi dari teks sastra TB.

1.5.2 Identifikasi Tokoh
Identifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penetapan
atau penentuan identitas (orang, benda, dsb); mengidentifikasi(kan) menetapkan
atau menentukan identitas (orang, benda, dsb) (Poerwadarminta, 2007 : 432). Dan
identifikasi tokoh menurut Djajanegara dalam pendekatan kritik sastra feminis
(2000 : 51) meliputi tiga tahap. Tahap-tahap itu yaitu pertama mencari kedudukan
tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat, mencari tujuan hidupnya, mengetahui
perilaku dan watak serta mencari pendiriannya yang terungkap lewat ucapan
(dialog) si tokoh. Tahap kedua dengan meneliti tokoh lain, terutama tokoh lakilaki yang berkaitan dengan tokoh wanita dan tahap ketiga yaitu dengan
mengamati sikap penulis (Oka Rusmini), pandangan serta pendiriannya melalui
karyanya ini. Dalam tahap ini akan dirumuskan citra perempuan dalam novel TB
yang merupakan hasil analisis terhadap sikap, pandangan, dan pendirian penulis
dalam karya tersebut sekaligus hasil analisis tahap ini dapat merupakan konstruksi
ideologi teks TB.

7

1.5.3 Citra Perempuan
Citra adalah gambar; rupa (Poerwadarminta, 2007 : 240). Citra
perempuan dalam kritik sastra feminis meliputi citra diri dan citra sosial.Citra diri
meliputi citra fisik dan psikis. Citra fisik berkaitan dengan perawakan tokoh
misalnya seorang tokoh digambarkan tinggi dan cantik sedangkan citra psikis
berupa perilaku dan watak tokoh. Citra sosial dibedakan dalam lingkup keluarga
dan publik. Mengarahkan pada eksistensi dan peran tokoh perempuan sebagai
individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat, serta pandangan sekitar tokoh
perempuan mengenai si tokoh perempuan tersebut (Sugihastuti, 2005: 74 - 195).
Dualisme represantasi perempuan baik dalam lingkup keluarga dan
publik dapat menjadi sumber pengungkap citra perempuan. Perempuan bisa
distereotipekan dalam dua hal. Menurut Barker dua hal itu adalah ideal dan
menyimpang. Ideal mengasuh dan maternal. Perempuan di rumah, sebagai istri,
cenderung pasif, dapat menerima kontrol laki-laki dan mengabdi pada mereka.
Sedangkan menyimpang mendominasi laki-laki, berontak, lepas dari kekangan
laki-laki (2009 : 265).

1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mencatat data-data yang diperlukan
untuk analisis teks serta melalui pencarian di laman yang terkait dengan kajian
penelitian.

8

1.6.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berpangkal dari analisis teks
untuk mengungkapkan penerapan kritik sastra feminis serta citra perempuan
dalam novel TB. Dalam kajian penelitian ini, penulis mencoba menangkap dan
menganalisis kritik ideologis dan citra perempuan tokoh novel TB yang menjadi
ideologi dari teks sastra TB. Penyampaian hasil analisis teks sastra Tarian Bumi
ini menggunakan metode deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau penelitian
pada saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya
(Nawawi, 1985 : 63).

1.6.3 Sumber Data
Judul novel

: Tarian Bumi

Pengarang

: Oka Rusmini

Penerbit

: Indonesiatera

Tahun terbit

: 2004, cetakan ke IV

Tebal

: 224 halaman

1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dalam penelitian ini merupakan penerapan dari
kritik sastra feminis yang dikemukakan oleh Djajanegara. Bab satu berisi

9

pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sistematika penyajian. Bab
dua berisi penerapan kritik sastra feminis pada novel TB tahap satu dan dua yang
meliputi (1) identifikasi tokoh wanita (pada tiga generasi); mencari kedudukan
tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat, mencari tujuan hidupnya, mengetahui
perilaku dan watak serta mencari pendiriannya yang terungkap lewat ucapan
(dialog) si tokoh, (2) meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang berkaitan
dengan tokoh perempuan. Bab tiga berisi penerapan kritik sastra feminis tahap
ketiga, yaitu mengamati sikap penulis (Oka Rusmini), pandangan serta
pendiriannya untuk menampilkan citra perempuan novel TB yang merupakan
ideologi teks sastra TB. Bab empat berisi kesimpulan dan saran.

10

BAB II

IDENTIFIKASI TIGA GENERASI TOKOH PEREMPUAN
DAN TOKOH PEREMPUAN LAIN DALAM NOVEL TARIAN BUMI

2.1 Pengantar
Novel Tarian Bumi adalah novel yang sarat penceritaan dan pencitraan
perempuan. Dari pembacaan penulis, penulis menemukan delapan belas tokoh
perempuan, sembilan tokoh laki-laki, dan beberapa tokoh lain yang tidak
disebutkan namanya. Dalam bab II ini akan dibahas penerapan kritik sastra
feminis pada novel TB yakni identifikasi tokoh wanita; mencari kedudukan tokohtokoh itu di dalam masyarakat, mencari tujuan hidupnya, mengetahui perilaku dan
watak serta mencari pendiriannya yang terungkap lewat ucapan (dialog) si tokoh
serta dengan meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang berkaitan dengan
tokoh wanita dalam teks TB.
Adanya wacana tentang perempuan yang terstereotipekan sebagai
golongan kelas dua memang tidak pernah habis untuk dikaji. Demikian pula
masih adanya tradisi bahwa perempuan ada di bawah laki-laki, menguatkan
tindakan untuk menekan - memarginalkan - kaum perempuan itu sendiri. Dengan
demikian mengkelasduakan, menekan, dan tindakan yang serupa seolah menjadi

11

penghegemonian sikap atas tindakan tersebut. Oka Rusmini dengan karyanya ini
mencoba mengungkap apa yang terjadi dengan kaum perempuan yang merasakan
tindakan tersebut. Lewat tokoh-tokohnya, digambarkan manusia perempuan yang
berani memberontak adat yang telah mentradisi dan mampu menjalani
konsekuensi yang harus diterima.
Pada bab ini akan dipaparkan hasil kajian tahap satu dan dua. Fokus
pembahasan pada tahap satu yaitu identifikasi tiga generasi tokoh perempuan
(brahmana dan sudra). Pembahasan tahap dua yaitu meneliti tokoh laki-laki yang
disajikan secara terintegrasi pada bahasan identifikasi tokoh perempuan.

2.2 Konsep Kasta dan Griya
Poerwadarminta (2007 : 527) memberikan batasan kasta sebagai
golongan orang menurut tingkat kedudukannya dalam masyarakat Hindu, ada
empat kasta yakni brahmana, kesatria, waisya, dan sudra. Sedangkan Ngarayana
membedakan keempat tingkatan dengan catur varna karena dalam Veda (weda)
sama sekali tidak mengenal sistem kasta dan tidak ada satu kalimat pun dalam
Veda yang menulis kata “kasta”. Catur Varna hanya didasarkan oleh kerja dan
kualitas seseorang. Catur Varna membagi manusia kedalam 4 bagian yaitu: (a)
brahmana adalah mereka yang memiliki kecerdasan tinggi, mengerti tentang kitab
suci, ketuhanan dan ilmupengetahuan. Para Brahmana memiliki kewajiban
mengajarkan ajaran ketuhanan dan ilmupengetahuan ke masyarakat. Brahmana
juga memiliki kewajiban sebagai penasehat pada kaum kesatria dalam

12

melaksanakan roda pemerintahan. (b) ksatria adalah mereka yang memiliki sikap
pemberani, jujur, tangkas dan memiliki kemampuan managerial dalam dunia
pemerintahan, (c) vaisya (atau waisya) adalah mereka yang memiliki keahlian
berbisnis, bertani dan berbagai profesi lainnya yang bergerak dalam bidang
ekonomi, dan (d) sudra adalah mereka yang memiliki kecerdasan terbatas,
sehingga mereka lebih cenderung bekerja dengan kekuatan fisik, bukan otak.
Contoh profesi sudra adalah pembantu rumah tangga, buruh angkat barang,
tukang becak dan sejenisnya. Griya adalah rumah tempat tinggal kasta brahmana
(Rusmini, 2004: 7).

2.3 Identifikasi Tiga Generasi Tokoh Perempuan dan Tokoh Perempuan
Lain dalam Novel Tarian Bumi
Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel Tarian Bumi mencakup dua
golongan besar yaitu brahmana dan sudra. Delapan belas tokoh yang ditemukan
dari pembacaan penulis adalah (1) Ida Ayu Sagra Pidada, (2) Luh Sekar atau Jero
Kenanga, (3) Ida Ayu Telaga Pidada, (4) Luh Sari, (5) Luh Dalem, (6) Luh Kerta
dan Luh Kerti - kembar, (7) Luh Gumbreg, (8) Luh Sadri, (9) Luh Kenten, (10)
Luh Kambren, (11) Luh Dampar, (12) Ida Ayu Ketut, (13) Ida Ayu Bulan dan Ida
Ayu Made - saudara kandung, (14) Luh Kendran, (15) Perempuan tua berpakaian
serba putih, (16) Ibu dari Luh Kenten - tidak disebutkan namanya, (17) Ibu dari
Ida Ayu Sagra Pidada - tidak disebutkan namanya, (18) Para perempuan yang
sering mencuri pandang ke Sekar.

13

Berikut akan penulis bahas identifikasi tiga generasi tokoh perempuan
dan tokoh perempuan lain dalam teks TB.

2.4 Tokoh Perempuan Brahmana atau Bangsawan
Tiga generasi tokoh perempuan brahmana atau bangsawan ini adalah Ida
Ayu Sagra Pidada, Luh Sekar atau Jero Kenanga, dan Ida Ayu Telaga Pidada.

2.4.1 Perempuan Generasi I Ida Ayu Sagra Pidada
Ida Ayu Sagra Pidada seorang bangsawan tulen yang berkarakter keras.
Baginya kebangsawanan harus tetap dipertahankan sesuai dengan adat dan tradisi
para leluhur. Sebuah aib apabila seorang bangsawan menikah dengan kasta
dibawahnya (sudra). Waktu mudanya, ia adalah perempuan tercantik di desanya.
Ia menikah dengan Ida Bagus Tugur karena dijodohkan oleh orang tuanya dengan
alasan karena ialah satu-satunya keturunan yang dimiliki keluarga. Dia meninggal
satu bulan setelah anak laki-laki satu-satunya yang bernama Ida Bagus Ngurah
Pidada meninggal di tempat pelacuran.
Ida Ayu Sagra Pidada diceritakan sebagai seorang perempuan tua yang
memiliki

keagungan

tinggi,

karena

dalam

tubuhnya

dewa-dewa

telah

memercikkan keagungan, kecantikan, dan keanggunan (Rusmini, 2004 : 14). Dia
adalah seorang putri bangsawan kaya yang sejak kecil selalu bahagia, apa pun
yang dimintanya selalu terpenuhi. Berayahkan seorang pendeta dan ibunya
seorang perempuan yang sangat kaya dan cantik. Keadaan inilah yang

14

menyebabkan Ida Ayu Sagra Pidada mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat
dibandingkan perempuan lainnya. Watak kerasnya terbawa sampai ia sudah
bercucu. Kata-kata kasar, caci maki dan sumpah serapah selalu terucap untuk
menantunya - Luh Sekar (yang kemudian menjadi Jero Kenanga), seorang sudra
yang dianggapnya tidak bisa membahagiakan anak laki-lakinya. Karakter keras itu
makin menjadi-jadi saat anak laki-lakinya ditemukan mati di tempat pelacuran.

(1)

“Biarlah dia pergi Kenanga! Makin cepat makin baik. Dulu
kupikir kau bisa menjadi perempuan yang dibutuhkan anakku. Nyatanya
kau tidak mampu! Untuk apa air matamu? Simpanlah baik-baik. Tidak
ada gunanya. Kelak air mata itu kauperlukan untuk sebuah peristiwa
besar yang lain, bukan untuk menangisi laki-laki yang kaunikahi ini. Kau
dengar kata-kataku!” Suara Nenek terdengar tegas. Tidak ada air mata,
tak ada tangisan di depan jasad anak satu-satunya itu (Rusmini, 2004:
24).

Pada akhirnya Ida Ayu Sagra Pidada mempunyai pemikiran dan harapan
yang berkaitan dengan “perbaikan nasib” perempuan. Pemikiran dan harapan itu
diucapkan pada cucunya, Ida Ayu Telaga Pidada, dalam dua kutipan berikut.

(2)

(3)

“Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh
sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu
ketenangan, cinta dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang
memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan
coba-coba mengambil resiko.”(Rusmini, 2004: 21).
“Apa saja yang dilakukan Kenanga di kamarmu?” Suara
nenek Telaga terdengar ketus.
“Kami bicara banyak, Tuniang.”
“Tentang apa?”
“Tentang banyak hal.”
“Hati-hati kau mendengar nasihatnya. Jangan-jangan
didikannya akan membuatmu sesat!”
“Tuniang!”
“Aku bicara yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin
seorang penari joged yang tubuhnya biasa disentuh laki-laki menasihati
cucucku dengan baik.” (Rusmini, 2004: 91-92).

15

Pernyataan Ida Ayu Sagra Pidada pada kutipan (2) menyiratkan bahwa
perempuan harus berani mengambil sikap dalam hidup, perempuan harus tegas,
dan perempuan harus mandiri Perempuan tidak selalu harus tergantung pada lakilaki atau suami, melainkan harus bisa mandiri dengan mengembangkan potensi
dirinya tanpa ada kekangan. Pada kutipan (3) ia memberi tekanan pada cucunya
supaya si cucu bisa lebih baik dari dirinya dan ibunya.
Pada bagian tersebut secara jelas Ida Ayu Sagra Pidada merendahkan
kaum perempuan, ini sangat bertentangan dengan feminisme (kutipan (3)).
Feminisme menolak perendahan perempuan. Perempuan harus bisa setara dengan
laki-laki inilah yang didukung feminisme, kesetaraan gender. Ida Ayu Sagra
Pidada membicarakan menantunya, Luh Sekar atau Jero Kenanga, secara sinis
bahwa seorang perempuan penari (penari joged) biasa dijamah oleh laki-laki yang
berarti itu melecehkan martabat perempuan itu sendiri. Namun karena bias
tingkatan kasta yang berlaku menjadikan ini sesuatu yang lumrah dilakukan oleh
Ida Ayu Sagra Pidada karena ia adalah seorang Brahmana sedangkan menantunya
seorang Sudra. Perempuan yang erat dikaitkan dengan urusan dapur tampak juga
pada diri Ida Ayu Sagra Pidada pada kutipan (4) ketika ia mulai menyiapkan
makan pagi dan makan malam untuk Tugur, suaminya.

(4)

“Lama-lama Nenek mulai berubah, terlebih setelah karier laki-laki itu
makin tinggi. Nenek mulai menyiapkan makan pagi dan makan malam.
Nenek ingin menunjukkan bahwa status Kakek di rumah sama dengan
dirinya.” (Rusmini, 2004: 19).

16

Perjodohannya dengan Ida Bagus Tugur membuat Ida Ayu Sagra Pidada
bak pahlawan bagi Ida Bagus Tugur. Namun kenyataan bertentangan sama sekali.

(5)

Terwujudnya impian itu telah membuat Ida Bagus Tugur
merasa baru memiliki kekuasaan yang sesungguhnya. Laki-laki itu lupa,
dia punya seorang anak laki-laki. Dia juga lupa telah beristri. Dia lupa,
bahwa pernah nyentanain.
Uang dan kedudukan membuat Kakek seperti terlepas dari
himpitan kemiskinan. Himpitan keluarga istrinya yang sering sekali dia
anggap merendahkan derajatnya sebagai laki-laki. Padahal Nenek telah
berusaha menempatkan laki-lakinya sederajat dengan laki-laki lain di
griya (Rusmini, 2004: 17-18).
“Memang, dulu Nenek merasa sangat bersalah. Dia selalu
menempatkan dirinya sebagai perempuan terhormat, karena berkat
dirinyalah Kakek bisa mendapatkan jabatan seperti saat ini. Dulu, dia
juga memandang sebelah mata pada laki-laki itu. Dan kakek tetap
menjalankan tugasnya dengan baik. Hormat pada Nenek, hormat pada
orang tua Nenek. Dia juga menjalankan fungsinya sebagai laki-laki
terhadap perempuan dengan baik.” (Rusmini, 2004: 19).

(6)

Di Bali tradisi nyentanain masih berlaku. Nyentanain adalah perkawinan
dengan seorang perempuan yang telah dijadikan ahli waris, yang berarti
perempuanlah yang berkuasa di rumah maka pihak perempuan dipandang sebagai
laki-laki dan sebaliknya yang laki-laki dipandang sebagai pihak perempuan. Ida
Ayu Sagra Pidada ada dalam posisi ini. Namun karena makin besar rasa cintanya
pada Ida Bagus Tugur, ia mulai berubah dan sadar akan kewajiban sebagai
seorang perempuan kebanyakan. Bahkan ketika Ida Bagus Tugur mulai jarang di
rumah ia takut menanyakan ke mana saja Ida Bagus Tugur pergi karena ia takut
ditinggalkan.
Penilaian tokoh lain - terutama tokoh laki-laki atas diri Ida Ayu Sagra
Pidada tidak ada yang menyebutkan secara langsung baik itu dalam dialog
ataupun dalam uraian cerita. Namun pada bagian awal novel ada pernyataan yang

17

menyiratkan penilaian terhadap diri Ida Ayu Sagra Pidada yaitu kutipan berikut
ini.

(7)

“Orang-orang griya juga heran kenapa Nenek tidak
menolak. Belakangan mereka baru tahu, sesungguhnya Nenek sangat
mencintai laki-laki pilihan keluarga besar itu.” (Rusmini, 2004: 22-23).

Asumsi penulis dari kutipan tersebut adalah bahwa “orang-orang griya” bisa perempuan bisa juga laki-laki - yang memberikan penilaian terhadap Ida Ayu
Sagra Pidada itu. Kutipan (7) menyiratkan bahwa tokoh Sagra Pidada adalah
orang yang pandai menyembunyikan sesuatu dan ia adalah sosok yang cenderung
tertutup terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Masih oleh orang-orang griya,
Tugur suami Sagra bukan laki-laki yang tepat untuk Sagra karena perbedaan
pandangan antara Tugur dan Sagra.
Menurut pandangan orang-orang griya, Sagra tidak bisa menerima
apabila ada laki-laki dan perempuan bangsawan brahmana dinikahkan dengan
sesama kerabat di griya tersebut. Sagra telah menganggap para lelaki di griya
seperti saudara sendiri. Namun ketika Sagra dinikahkan dengan Tugur, Sagra mau
karena Sagra diam-diam mencintai Tugur juga.
Keberadaan

Tugur

sebagai

suami

yang

“diminta”

oleh

Sagra

membuatnya bersikap pasif pada Sagra. Tugur tidak bahagia dengan kondisi
nyentanainnya sehingga Tugur pun menduakan Sagra dengan seorang perempuan
penari, seorang janda Sudra beranak dua (tidak disebutkan namanya dalam teks
TB). Kenyataan seperti ini membuat Sagra takut ditinggalkan Tugur.
Adanya pandangan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan

18

rajin tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga menyebabkan semua pekerjaan
kerumahtanggaan

dibebankan

pada

perempuan.

Pada

keluarga

Tugur

kemungkinan besar hal tersebut tidak dialami Sagra, istrinya, karena di sini peran
Tugur dianggap sebagai perempuan. Namun, karena adanya pandangan seperti di
atas lambat laun Sagra pun mulai mengerjakan “pekerjaan” perempuan tersebut.
Selama Tugur hidup dengan Sagra, ia tak merasakan bahagia karena
adanya adat nyetanain tadi. Kebahagiaan Tugur adalah bersama dengan
perempuan simpanannya. Pernyataan di atas secara tersirat mengungkapkan
keinginan Tugur agar bisa bahagia menurut caranya sendiri bukan bahagia karena
diatur atau dipaksakan oleh suatu sistem adat seperti nyentanain yang dialami
oleh Tugur dan Sagra.

2.4.2 Perempuan Generasi II Luh Sekar atau Jero Kenanga
Luh Sekar atau Jero Kenanga, seorang perempuan sudra anak dari lakilaki yang diceritakan terlibat gerakan yang tidak jelas (anak PKI) dan tidak
disebutkan namanya dengan Luh Dalem. Mempunyai adik tiri kembar bernama
Luh Kerti dan Luh Kerta. Ia berambisi untuk menjadi perempuan terhormat
(bangsawan). Segala cara ditempuhnya dengan usaha keras untuk mencapai
keinginannya. Setelah berhasil menjadi istri dari Ida Bagus Ngurah Pidada, ia
harus berlaku seperti bangsawan tulen. Sifat ambisiusnya ini diberlakukan juga
kepada anaknya (Ida Ayu Telaga Pidada) dengan tuntutan bahwa anaknya harus
bisa menari dan harus bisa menjadi istri dari seorang Ida Bagus. Menurutnya
menikah dengan seorang Brahmana derajat hidup seorang Sudra akan lebih baik

19

dan terpandang di masyarakat sehingga mampu keluar dari jerat kemiskinan.
Berikut ini adalah kutipan yang menyatakan hal tersebut.

(8)
(9)

(10)

“Aku capek jadi perempuan miskin, Luh. Tidak ada orang
yang bisa menghargaiku.” (Rusmini, 2004: 27).
“Aku capek miskin, Kenten. Kau harus tahu itu. Tolonglah,
carikan aku seorang Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar, aku
siap!” (Rusmini, 2004: 27).
“Kalau Meme, Meme banyak menderita. Meme pernah tidak makan
satu hari. Belum lagi menjadi perempuan yang tersisih. Meme banyak
berjuang keras untuk hidup ini.” (Rusmini, 2004: 93).

Tiga kutipan di atas menunjukkan bahwa hidup seorang Sudra sangat
menderita, bisa disebut miskin. Sistem kasta menempatkan Sudra berada di bawah
sehingga kaum Sudra banyak dijadikan pekerja di griya kaum Brahmana.
Keadaan demikian membuat Luh Sekar kerap nekad dan berambisi untuk menjadi
perempuan terhormat. Tujuannya hanya satu yaitu menjadi istri dari seorang Ida
Bagus. Sadar dengan keadaan fisiknya yang memungkinkan dia menjadi penari
maka Luh Sekar pun juga berambisi menjadi penari.

(11)

(12)

(13)

(14)

“Apa pun yang akan terjadi dengan hidupku, aku harus jadi
seorang rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan lakilaki itu, aku tak akan pernah menikah!” Suara Luh Sekar terdengar penuh
keseriusan (Rusmini, 2004: 26).
“Aku tak peduli! Aku malah berdoa dan memohon setiap
purnama, bulan terang, dan tilem, bulan mati, agar para dewa tahu apa
yang kuinginkan!” (Rusmini, 2004: 26-27).
“Aku ingin jadi penari Kenten.” Suatu hari dia berkata
sungguh-sungguh pada Luh Kenten sahabatnya yang dia percaya
(Rusmini, 2004: 31).
Luh Sekar rela melakukan apa saja agar menjadi Jero Kenanga,
perempuan terhormat. Perempuan paling cantik yang diakui bahwa
kecantikannya luar biasa bisa membuatnya mendapatkan apa saja yang
dia inginkan (Rusmini, 2004: 150-151).

20

Pendirian dan watak kukuhnya akan sebuah keinginan menjadi
perempuan terhormat, lepas dari jerat kemiskinan dan keadaan tertekan sebagai
seorang Sudra lebih terungkap lewat kutipan berikut.

(15)

“Dengar baik-baik. Untuk mewujudkan keinginan itu kita
harus yakin bahwa kita sungguh-sungguh menginginkannya. Aku marah,
Kenten, marah sekali! Tidakkah para tetua adat desa ini menyadari bahwa
aku layak jadi penari? Aku layak jadi perempuan terhormat. Kau harus
yakin bahwa keinginanku akan terkabul. Kalau kau yakin, dewa-dewa
pasti akan menolong kita. Ayo, Kenten, konsentrasilah. Demi aku. Aku
capek jadi perempuan melarat. Aku capek melihat keluargaku tidak dapat
tempat dalam masyarakat ini. Aku capek tersisih. Sakit, sakit sekali
menjadi orang seperti aku. Aku ingin jadi orang nomer satu. Perempuan
yang pantas mengambil keputusan untuk orang banyak. Ayolah,
Kenten!” Sekar menatap mata Luh Kenten (Rusmini, 2004: 48-49).

Sistem kasta menempatkan Sudra ada di bagian paling bawah dalam
hierarki kekastaan. Perbedaan kelas yang ada dalam masyarakat mengerucut ke
tindakan menekan dan memarginalkan perempuan di dalam lingkungan keluarga
ataupun di luar keluarga. Pun juga dalam hal perkawinan. Adat yang sangat
dipengaruhi oleh sistem kasta mengharuskan perkawinan sedapat mungkin
dilakukan dengan yang berkasta sama (antara satu kasta saja). Menikah dengan
sesama kasta bertujuan untuk menjaga kemurnian ras keluarga bangsawan.
Apabila seorang anak perempuan dari kasta bangsawan menikah (kawin) dengan
laki-laki dari kasta lebih rendah dianggap memalukan serta menjatuhkan harga
diri seluruh keluarga si perempuan.
Penilaian terhadap Luh Sekar antara lain diungkapkan oleh tokoh Kenten
dan mertua Luh Sekar - Ida Ayu Sagra Pidada. Kenten menilai Sekar sebagai
perempuan cantik yang mempunyai banyak keinginan dan ambisi yang terlalu

21

tinggi (untuk menjadi seorang penari dan menjadi istri dari seorang Ida Bagus).
Dua kutipan berikut memperjelas pendapat Kenten tentang Luh Sekar.

(16)

(17)

“Dengarkan aku! Kau cantik, Sekar. Sangat cantik! Kau
pandai menari. Aku akan memberi tahu bahwa seorang laki-laki
brahmana sering menanyakan dirimu….”
“Siapa Kenten? Apa dia sungguh-sungguh tertarik padaku?”
“Kau! Sabar dulu.”
“Jangan berbelit-belit. Siapa dia? Aku akan mengabdi
padanya. Apa dia sanggup mengangkat derajatku dari kemiskinan dan
penghinaan orang-orang?” Suara Luh Sekar terdengar sangat getir.
“Entahlah.”
“Siapa dia, Kenten?” Luh Sekar merajuk.
“Ngurah Pidada.” (Rusmini, 2004: 28).
“Kau adalah bintang joged. Sekar. Kau cantik. Hanya
matamu sering tidak hidup. Kau seperti tidak ada ketika menari. Hanya
itu kekuranganmu.” Suara Kenten terdengar samar-samar (Rusmini,
2004: 57).

Dua kutipan tersebut merupakan pendapat dari Luh Kenten, sahabat
Sekar.
Kutipan (18) berikut ini adalah penilaian Sagra Pidada atas diri Sekar.

(18)

“Aku bicara yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin
seorang penari joged yang tubuhnya biasa disentuh laki-laki menasihati
cucuku dengan baik.” (Rusmini, 2004: 92).

Sedangkan untuk penilaian tokoh lain terutama tokoh laki-laki atas diri
Sekar antara lain diungkapkan oleh Wayan Ranten yang merasa iba atas peristiwa
yang menimpa ibu Luh Sekar sehingga Wayan Ranten mau bersusah payah
menolong Sekar menyeret babi yang hendak dijual di Pasar Kumbasari. Pendapat
lain datang dari Ngurah Pidada yang akhirnya memperistri Sekar. Memang tidak
diungkapkan lewat dialog, namun secara tersirat ada penilaian dari Ngurah Pidada

22

pada diri Sekar bahwa Sekar cantik dan hal ini terbukti dengan seringnya Ngurah
Pidada datang ketika Sekar menari dan seringnya Ngurah Pidada menyelipkan
uang tambahan untuk Sekar.

(19)

Di antara seluruh laki-laki muda yang ada di desa hanya
Ngurah Pidada yang sering memberinya banyak uang. Bahkan uang itu
cukup untuk menambal empat mulut dalam keluarga Luh Sekar selama
seminggu. Luh Sekar tidak perlu lagi berpikir harus menjual daun pisang
ke pasar hanya untuk membeli beras setengah liter dan sedikit ikan asin
(Rusmini, 2004: 28-29).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ngurah Pidada memperhatikan
Sekar - untuk kemudian memperistrinya. Tidak terungkapkan lewat dialog, namun
kiranya dapat disimpulkan bahwa menurut Ngurah Pidada, Sekar layak menjadi
istrinya.
Penilaian lain adalah dari Ida Bagus Tugur yang merupakan mertua lakilaki Sekar. Ketika Sekar telah mempunyai anak bernama Telaga, caranya
mendidik anaklah yang tidak disetujui Tugur. Sekar yang waktu ini telah berganti
nama menjadi Jero Kananga (jero adalah nama yang harus dipakai perempuan
kebanyakan yang menikah dengan lelaki bangsawan), memaksakan kehendak dan
keinginan-keinginannya pada Telaga. Berikut adalah pernyataan Tugur tentang
Sekar.

(20)