Ketidakadilan gender dan sikap perempuan dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif : suatu tinjauan sastra feminis - USD Repository

KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN DALAM NOVEL BIBIR MERAH KARYA ACHMAD MUNIF SUATU TINJAUAN SASTRA FEMINIS

  Skripsi Diajukan Untuk Memenui Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Disusun oleh :

  B. Yogi Dwi Hartanto 024114040

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Skr i psi i n i say a per sembahkan kepada: Al l ah y an g M aha Esa y an g sel al u member kahi

Bapak Paul us Sami di dan Ibu Ci ci l i a Supat mi y at i y an g kuci n t ai dal am

hi dupku .

  

Motto

Dedal an e gun a l awan sekt i

Kudu an dap asor

  

Wan i n gal ah l uhur wekasan e

Tumun gkul a y en di pun dukan i

Bapak den si mpan gi

An a cat ur mun gkur

  

Un t uk men capai kemul i aan

Har us r en dah hat i

M en gal ah un t uk men an g

M au men er i ma n asehat

  

M en ghi n dar i per sel i si han

Ti dak men y ebar fi t n ah

(M i j i l )

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa sekripsi yang telah saya tulis

ini adalah hasil inspirasi dan imajinasi saya sendiri. Saya tidak memuat karya orang

lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, daftar pustaka, sebagaimana

layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta Penulis B. Yogi Dwi Hartanto

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : B. Yogi Dwi Hartanto

  Nomor Mahasiswa : 024114040

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN

DALAM NOVEL BIBIR MERAH

KARYA ACHMAD MUNIF

SUATU TINJAUAN SASTRA FEMINIS

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-

ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media

lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 05 Mei 2009 Yang menyatakan (B. Yogi Dwi Hartanto)

  

ABSTRAK

Dwi Hartanto, Yogi. 2009. Ketidakadilan Gender dan Sikap Perempuan dalam

  Novel Bibir Merah Karya Achmad Munif. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma Studi ini menganalisis bentuk ketidakadilan gender dan sikap perempuan

yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif. Tujuan dari penelitian

ini 1), mendiskripsikan relasi gender 2), mendiskripsikan ketidakadilan gender dan 3)

mendiskripsikan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah.

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sastra

feminis, pendekatan ini digunakan untuk menganalisis karya sastra yang berkaitan

dengan perempuan. Berdasarkan teori sastra feminis, relasi gender, ketidakadilan

gender, dan sikap perempuan dapat dianalisis.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

deskriptif. Melalui metode analisis deskriptif penulis mendiskripsikan fakta- fakta

yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi, mengumpulkan dan memilih

data yang berkaitan dengan masalah, lalu menganalisis dan menjelaskan

ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Langkah pertama menganalisis relasi

gender langkah kedua menjelaskan ketidakadilan gender dan sikap perempuan.

  Hasil analisis relasi gender dalam novel Bibir Merah berupa relasi tokoh

perempuan dengan laki- laki yang meliputi, Lurah Koco dengan Rusminah, Lurah

Koco dengan Rusmini, Lurah Koco dengan perempuan-perempuan Desa Kapur, dan

Saburosan dengan Rusminah.

  Melalui relasi gender, ditunjukan dua manifestasi ketidakadilan gender yang

berupa kekerasan, steriotipe dan subordinasi terhadap perempuan. Berdasarkan

pemahaman mengenai ranah kekerasan, kerasan dalam novel Bibir Merah

digolongkan menjadi dua yaitu kekerasan publik dan kekerasan domestik. Ada pun

bentuk kekerasan yang lebih dominan dalam novel adalah kekerasan publik yang

berupa kekerasan seksual dan kekerasan emosional. Sedangkan steriotip terlihat

melalui pelabelan perempuan sebagai pribadi yang lemah. Sementara manifestasi

ketidakadilan gender yang berupa subordinasi, terlihat melalui tersingkirnya

perempuan dan hilangnya pengakuan status sosial perempuan dalam masyarakat.

Sedangkan pada pembahasan sikap perempuan akibat ketidakadilan gender, terdapat

tiga bentuk sikap yang dominan yaitu a) sikap perempuan sebagai subjek

(Rusminah), merupakan gambaran perempuan yang bersikap tegar, teguh, dan

pantang menyerah. b) sikap perempuan sebagai objek (Rusmini), merupakan

gambaran perempuan yang selalu kalah, menyerah, dan pasrah terhadap nasib. c)

sikap penolakan perempuan tanpa mengubah setatus sosial dan status ekonomi;

bentuk sikap ini terlihat dalam diri perempuan-perempuan Desa Kapur terutama

Mbok Karto dan Yu Ginah.

  

ABSTRACT

Dwi Hartanto, Yogi. 2009. The Gender Discrmination and Women Behavior in a

  Novel titled Bibir Merah by Achmad Munif. A Thesis. Yogyakarta: Indonesia n Literature. Literature Faculty. Sanata Dharma University.

  This study, analyzed the form of gender discrimination and woman behavior

in a novel titled Bibir Merah by Achmad Munif. The purposes of this research were:

(1) describe the relation of the gender, (2) explain the gender discrimination and

woman behavior in Bibir Merah novel.

  This research used the feminist literature approach. This approach was used

to analyze the literature work that has relation with women. Based on the feminist

literature theory, gender relation, gender discrimination and woman behavior could

be analyzed.

  This research used descriptive analyze method as the method. Through this

method, the writer described the facts related to the problem, collected and chose the

data, then analyzed and explained the gender discrimination and wome n behavior.

First step, analyzed the gender relation. Next step, explained the gender

discrimination and women behavior.

  The result of the analysis on gender relation in Bibir Merah novel was in a

form of relation between men and women, which were Lurah Koco with Rusminah,

Lurah Koco with Rusmini, Lurah Koco with women in Kapur village and Saburosan

with Rusminah)

  Through gender relation, it was shown two discrimination gender

manifestations. They were in form of violence, stereotype and subordination toward

women. Based on the understanding about the nature of violence in Bibir Merah

novel, there were two kinds of violence. They are public and domestic violence. The

most dominant violence in that novel was the public one, which was sexual and

emotional violence. Meanwhile the stereotype can be manifestation of discrimination

gender that is subordination, can be seen through the woman and the lost of social

status achievement in the society. Meanwhile, in the discussion about the woman

attitude because of the discrimination gender, there were three form of dominant

attitude. They were a.) woman behavior as subject (Rusminah), the description of

stiff, strict and never give up woman, b.)woman behavior as object (Rusmini, the

description of the lost, easy to give up woma n, c.) the woman rejection without

change economic and social status. This kind of attitude can be seen in women in

Desa Kapur, especially Mbok Karto and Yu Ginah.

  

Kata Pengantar

Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan kehendak-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Ketidakadilan Gender

dan Sikap Perempuan” dalam Novel Bibir Merah karya Achad Munif sebuah

pendekatan Sastra Feminis . Skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa bimbingan

dan semangat dari semua pihak untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1.

  Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan kehendak-Nya 2. Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S, M.Hum, selaku Dosen pembimbing satu yang telah membagikan ilmunya kepada saya.

  3. Ibu Dra. Fr Tjandrasih Adji, M. Hum selaku pembimbing dua yang telah banyak memberikan banyak masukan kepada saya.

  4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Bapak Drs. B.Rahmanto, M.Hum., Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum., Bapak Drs. Ari Subagyo, M. Hum., Bapak FX Santoso, MS., Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum.

  5. Bapak Paulus Samidi dan Ibu Cicilia Supatmiyati terimakasih atas segala pengorbanan, doa, nasihat, kebaikan, kesabaran, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

  6. Teman-teman seperjuangan, Fani, Eli, Ira, Agus (Bonet), Robet (Jeblox), Dian (Catax), Ardi (Keos), Bangun dan semua teman-teman angkatan 2002 kalian semua sangat sepesial.

  7. Teman-teman KKN 2006; Haksi, Rani, Runi, Budi, Linda, Punto, dan Taji terimakasih atas persahabatan kalian.

  8. Keluarga FX Suhartono, Bulik Sup, dik Ema dan dik Barli yang telah memberikan dukungan kepada penulis

  9. Teman-teman Bengkel Sastra, Aji (Ompong), Jaya (Sapi), Marta (Simbek), Dominikus (Domex), terimakasih atas persahabatan dan inspirasinya.

  10. Dik Ike yang telah memberikan motivasi, cinta dan perhatian. Kamu sangat sepesial buat aku.

  11. Teman-teman Mudika Serayon Kulon Progo. Persaudaraan kita tidak akan pernah aku lupakan.

  12. Keluarga Pak Eko, Bu Endar dan Candra.

  13. Seluruh pihak administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

  14. Seluruh staf dan karyawan UPT perpustakan Universitas Sanata Dharma.

  15. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terimakasih dukungannya.

  Saya telah berusaha sebaik mungkin sebagaimana pengalaman hidup yang

saya jalani, namun saya menyadari masih ada kekurangan dan keterbatasan

kemampuan. Apabila terdapat saran untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini saya

sangat berterimakasih .

  Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada pengetahuan khususnya di bidang Sastra Indonesia di masa yang akan datang.

  Terimakasih Penulis

  

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iv

MOTTO .................................................................................................. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA........................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................. vii

ABSTRACT .................................................................................................. viii

KATA PENGANTAR...................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................

  1

1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................

  1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................

  7

1.3 Tujuan Penelitian......................................................................

  7

1.4 Manfaat Penelitian....................................................................

  8

1.5 Tinjauan Pustaka ......................................................................

  8

1.6 Kerangka Pemikiran .................................................................

  9 1.6.1 Kritik Sastra Feminis.............................................................

  9 1.6.2 Gender ..................................................................................

  11 1.6.2.1 Relasi Gender ...............................................................

  14 1.6.2.2 Ketidakadilan Gender...................................................

  16 1.6.3 Sikap Perempuan ...................................................................

  19

  1.7 Metodologi Penelitian.... ...................................................

  48 Bab III KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN 3.1 Pengantar ............................................................................

  66 3.4 Rangkuman.........................................................................

  65 3.3.3 Sikap Perempuan-Perempuan Desa Kapur .................

  62 3.3.2 Sikap Rusmini ............................................................

  3.3 Sikap Perempuan akibat ketidakadilan gender................... 61 3.3.1 Sikap Rusminah...........................................................

  3.2.3 Kekerasan Terhadap Perempuan ................................. 55

  54

  51 3.2.2 Steriotipe Terhadap Perempuan ..................................

  3.2 Ketidakadilan Gender......................................................... 50 3.2.1 Subordinasi Terhadap Perempuan...............................

  50

  40 2.6 Rangkuman........................................................................

  20 1.7.1 Pendekatan ......................................................................

  35 2.5 Saburosan dengan Rusminah .............................................

  32 2.4 Lurah Koco dengan Perempuan-Perempuan Desa Kapur.

  24 2.3 Lurah Koco dengan Rusmini.............................................

  23 2.2 Lurah Koco dengan Rusminah ..........................................

  22 Bab II RELASI GENDER DALAM NOVEL BIBIR MERAH 2.1 Pengantar ...........................................................................

  22 1.7.5 Sistematika Penyajian .....................................................

  21 1.7.4 Sumber Data ....................................................................

  21 1.7.3 Teknik Analisis Data .......................................................

  20 1.7.2 Metode Penelitian............................................................

  71

  BAB 1V PENUTUP .........................................................................................

  73 4.1 Kesimpulan.........................................................................

  73 4.2 Saran ...................................................................................

  77 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

  78 LAMPIRAN ..................................................................................................

  80

Bab 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Pada dasarnya karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan gagasan. Karya sastra sebagai media merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungan, realitas sosial yang terjadi dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang dimungkinkan menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris (Sugihastuti 2007:81)

  Rampan via Sugiastuti (2007:82) mengatakan bahwa penciptaan sebuah karya sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

  Adapun dalam sebuah karya sastra hal-hal yang digambarkan dalam masyarakat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin antar semua anggotanya. Secara sederhana karya sastra mengambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

  Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, relasi laki-laki dan perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan tiap-tiap jenis kelamin. Ada pun dalam proses ini dikuatkan oleh realitas dalam banyak kebudayaan bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan perempuan, hal ini membuktikan bahwa interaksi yang terjalin menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan yang lain. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan bahkan pada masyarakat (Sugihastuti, 2007: 82).

  Sementara itu, kaum perempuan secara umum dirugikan dengan pembakuan peran gender. Secara hukum pembakuan peran gender telah dilegitimasi oleh negara, dimana suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dengan demikian peran perempuan secara resmi diakui sebagai peran domestik yaitu mengatur urusan rumah tangga, merawat anak dan melayani suami ( Soelaeman, 1995: 32-33).

  Akan tetapi, peran pembakuan gender lebih lanjut sangatlah merugikan kaum perempuan kelas bawah (miskin). Hal ini dikarenakan bahwa pembakuan peran gender menyebabkan perempuan miskin menerima ketidakadilan ganda, yaitu bahwa kaum perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan gender atau kekerasan melainkan perempuan juga mengalami ketidakadilan karena posisi sosial mereka yang berada pada lapisan bawah masyarakat (Soelaeman, 1995 : 31 ).

  Anggapan bahwa perempuan sebagai manusia kelas dua menjadi alasan yang mendasar bagi laki-laki lebih leluasa untuk mengeksploitasi sesuai dengan keinginannya. Ada pun bagi masyarakat tradisional perempuan merupakan salah satu kebutuhan hidup, sama seperti halnya sebuah rumah dan propertinya (Husain, 2005: 56) sedangkan bagi masyarakat beradab, perempuan merupakan budak dan bergantung pada pemiliknya yang mengambil keuntungan dari pekerjaannya (Husain, 2005: 56-57).

  Menurut Bhasin via Sugiastuti (2007: 93) patriarkhi merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan. Dalam patriarkhi melekat idiologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah bagian milik laki-laki. tidak terkemuka (kurang) sedangkan kaum laki-laki mempunyai peran dominan dalam berbagai hal baik itu formal maupun informal. Ada pun pada dasarnya dominasi laki-laki tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan yang antara lain bidang sosial, politik, sosiokultural, dan religi.

  Sementara itu budaya patriarkhi sangatlah berhubungan dengan peran antara kaum perempuan dan laki-laki. Hal ini nampak dalam berbagai bidang yang mayoritas dikuasai oleh kaum laki-laki. Dalam usaha persamaan hak perempuan mencoba membuktikan ia bisa melakukan yang menjadi porsinya.

  Adapun Andre Harjana (1981:71) menyatakan bahwa karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan mengangkat persoalan sosial dalam masyarakat. Karya sastra tidak lepas dari keadaan sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Karya sastra dapat dipengarui oleh latar belakang sosial budaya, agama, dan pandangan hidup pengarangnya. Oleh karena itu, karya sastra berpotensi mengembangkan wawasan mengenai manusia dan segenap masalahnya.

  Salah satu contoh dari masalah kehidupan yang diangkat seorang pengarang dalam karyanya adalah permasalahan gender. Gender sesungguhnya berkaitan dengan budaya (Abdullah, 1997:186). Gender muncul karena perkembangan pola pikir manusia mengenai kedudukan wanita bersama laki-laki dalam kehidupanya. Dalam gender dikenal sistem hierarki yang menciptakan kelompok-kelompok itu saling tergantung bahkan bersaing untuk mempertahankan kekuasaan masing-masing. sastra. Dengan demikian, ada hubungan antara karya sastra dengan gender. Dalam penelitian ini akan dikaji novel sastra yang mengandung masalah gender. Selanjutnya membahas wanita dalam karya sastra akan lebih mengena apabila dijembatani oleh apa yang disebut feminisme.

  Feminisme dan gender kerap menjadi topik sebuah cerita dalam sebuah karya sastra. Begitu pula dalam novel Bibir Merah karya Ahmad Munif, pengarang mencoba menceritakan sisi kehidupan kaum perempuan miskin yang tertindas karena dominasi laki-laki. Selain itu melalui tokoh utama Rusminah, konflik gender dan feminisme sangat kental. Peristiwa pemerkosaan dan fitnah sebagai dukun santet, membawa ia bangkit menjadi seorang penyanyi siter. Karena peristiwa tersebut ia harus terjun dalam dunia prostistusi. Rusminah sosok gadis desa itu seolah ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa ia mampu mengembalikan harga dirinya yang pernah diinjak-injak oleh laki-laki.

  Pengarang novel ini adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Dalam dunia sastra Achmad Munif termasuk pengarang yang produktif, selain itu ia juga aktif menulis beberapa artikel di media masa. Karya-karya sastranya antara lain; ”Tembang-tembang” (Femina),Padang Perburuan” (Minggu Pagi), ”Pasir

  

Pantai” (Kedaulatan Rakyat), ”Birunya Langit Jogya” (Anita), ”Bayang-bayang

hitam ” (Kartini), ”Tandak dan Pria Idaman lain, Serta Primadona” (Surabaya Pos ),

  ” Tikungan” (Republika), ”Angin pantai Selatan dan Jalan Kehidupan” (Republika), Sedangkan karya novelnya yang telah diterbitkan antara lain Merpati Biru,

  

Perempuan Jogya sang Penindas , Primadona, Kasidah Lereng Bukit, Kembang

Kampus dan terbanglah Merpati yang diterbitkan oleh Navila dan Gitanagari. Selain

  itu ia juga penulis skenario yang produktif, karya-karyanya antara lain Opera Sabun

Colek , Bayangan Ratu Pantai Selatan, Badai pasti Berlalu dan Sirkuit Kemelut.

  Sedangkan dua kumpulan cerpennya masing-masing berjudul Tanda-tanda

  Kebesaran Allah dan Kehormatan Ibu

  Penelitian ini mengunakan pendekatan sastra feminis. Sastra feminis merupakan cara-cara pemahaman karya sastra yang dikaitkan dengan proses produksi maupun resepsi (Ratna, 2004:184). Secara umum Feminis merupakan gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2004:184-185). Selain itu pengertian gender sendiri adalah perbedaan pria dan wanita akibat konstruksi masyarakat yang dibuat oleh manusia dan dapat berubah sesuai tempat, waktu, dan budaya. Wanita dikategorikan memiliki sifat-sifat seperti emosional, pasif, inferior (bergantung) lembut dengan peran yang terbatas pada bidang keluarga. Semua sifat tersebut diwariskan karena sifat-sifat feminis berbeda dengan laki-laki yang memiliki sifat rasional, aktif, superior, berkuasa, keras serta mendominasi (menguasai) dalam masyarakat. Sifat-sifat tersebut dinilai sebagai wawasan dan sifat-sifat maskulin

  Dari penjelasan di atas diperoleh suatu pemahaman tentang masalah linguistik, kedua istilah tersebut tergolong dalam kelas kata yang berlawanan arti satu sama lain. Secara epistimologi istilah feminisme berakar dari istilah female yang merunjuk pada jenis kelamin perempuan.Pelabelan negatif atau pensteriotipan wanita ke dalam gender itulah yang memicu munculnya feminisme termasuk dalam perkembangan dunia sastra yang ditandai dengan bermunculnya karya-karya sastra yang bertema wanita. Karya-karya sastra semacam itu dikenal dengan karya sastra feminis.

  Sementara alasan peneliti menganalisis novel Bibir Merah karya Achmad Munif sebagai bahan penelitian, dikarenakan bahwa novel tersebut cenderung menganggkat persoalan sosial terutama ketertindasan perempuan akibat sistem patriarkhi yang membuat ketidakadilan dan diskriminasi gender.

  Penelitian ini menganalisis masalah gender yang ada dalam novel Bibir

  

Merah, yang terdiri dari bagaimana relasi gender, ketidakadilan gender dan sikap perempuan dalam novel Bibir Merah. Masalah-masalah inilah yang ingin dibahas oleh peneliti sebagai bagian dari analisis sastra feminis.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah-masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1.2.1 Bagaimana relasi gender dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif?

  Merah k arya Achmad Munif ?

  1.2.3 Bagaimana sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif ?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1.3.1 Mendiskripsikan relasi gender yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif.

  1.3.2 Mendiskripsikan ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif.

  1.3.2 Mendiskripsikan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif.

1.4 Manfaat Penelitian

  1.4.1 Manfaat teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengembangan kritik sastra di Indonesia dengan pendekatan sastra feminis.

  1.4.2 Manfaat praktis: menambah wawasan tentang feminisme yang tergambar dalam karya sastra khususnya novel Bibir Merah karya Achmad Munif.

  Agustina. S (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Citra Wanita” dalam

  

Novel Bibir Merah karya Acmad Munif suatu Tinjauan Sastra Feminis,

  menyimpulkan bahwa citra wanita dapat dilihat dari aspek fisik yaitu wanita diceritakan sebagai mahkluk yang lemah dan tidak berdaya. Selain itu wanita juga tergambar sebagai wanita yang feminim yang dapat dilihat dari caranya berhias, berpakaian, dan bertingkah laku.

  Selain itu Agustina. S (2006) juga menjelaskan citra wanita yang tergambar dalam tokoh utama Rusminah yang tidak pernah menyerah melawan kejamnya dunia, citra dalam keluarga tercitrakan sebagai insan yang banyak memikul tanggung jawab. Sedangkan citra wanita dalam masyarakat yaitu wanita yang diperlakukan sewenang- wenang dan sesuka hati oleh kaum laki-laki, martabat wanita pada novel tersebut dicitrakan sangat rendah, kurang memiliki kemampuan, bodoh, acuh tak acuh pada lingkungan, namun anggapan tersebut dapat diubah menjadi wanita yang maju sesuai dengan perempuan feminim.

  Berdasarkan skripsi Agustina. S (2006) peneliti tertarik menganalisis lebih jauh bagaimana persoalan ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Dengan mengetahui persoalan ketidakadilan gender akan terlihat bagaimana relasi dan sikap perempuan dalam sistem sosial masyarakat tersebut.

1.6 Kerangka Pemikiran

1.6.1 Kritik Sastra Feminis

  Feminisme menurut Goefe via Sugihastuti (2007:93) merupakan teori tentang kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.

  Bhasin via Sugihastuti (2007:93) menjelaskan bahwa patriarkhi berarti kekuasaan bapak atau patriach. Secara umum istilah ini digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki (patriarkhi), yang antara lain kekuasaan laki-laki untuk menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarkhi membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai superordinatnya.

  Istilah pendekatan sastra feminis merupakan cara-cara pemahaman karya sastra baik dalam kaitannya dengan cara-cara memahami karya sastra dengan proses produksi maupun resepsi (Ratna, 2004:184). Adapun dalam pengertian yang lebih luas feminisme merupakan gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2004:185).

  Pada dasarnya teori feminisme merupakan alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat kaitannya dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Teori ini juga memaparkan konflik kelas dengan feminisme yang memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antar kelompok yang lemah dengan kelompok yang patriarkhi (Ratna, 2006:186).

  Dalam perkembangannya, teori sastra feminis tidak hanya melakukan gerakan pada satu negara saja akan tetapi gerakan perempuan ini terjadi hampir di seluruh dunia. Feminis menganggap bahwa gerakan ini merupakan kesadaran perempuan terhadap hak-hak kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki (Ratna, 2006: 186-187).

  Selain itu Nancy Fcott (via Murniati, 1998:XXVII) mengatakan bahwa tujuan dari feminis adalah 1) menentang adanya posisi hierarkis di antara jenis kelamin, persamaan bukan hanya kuantitas tetapi mencakup juga kualitas, 2) feminisme menggugat adanya perbedaan yang mencampuradukkan seks dan gender, sehingga perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat.

  Dalam usaha persamaan hak, kaum feminis menilai adanya ketidakadilan gender hal itu antara lain; marginalisasi, stereotip, subordinasi, beban ganda dan kekerasan perempuan. Adapun Jajanegara (2000:4) mengatakan bahwa tujuan feminis adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan derajat laki-laki.

1.6.2 Gender

  Roeman via Sugiarti (2003) menyatakan bahwa gender adalah konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi sosial.

  Hubungan sosial membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Perubahan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan yang dapat dipertukarkan.

  Sementara seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

  Misalnya bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki pensifatan seperti: memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma.

  Sedangkan perempuan memiliki alat produksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Organ-organ tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki

  

(male) dan perempuan (female) yang secara permanen tidak berubah dan merupakan

  ketentuan biologis sejak lahir atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Dengan kata lain, seks dipahami sebagai pemaknaan terhadap jenis kelamin yang bersifat biologis, alamiah, dan tidak bisa diubah dalam kondisi, situasi, budaya, dan tradisi apa pun. Artinya pemahaman seks tidak mengenal batas ruang dan waktu (Fakih, 1998 & 2001).

  Stereotipe tersebut, tanpa disadari telah mengantar keduanya dalam posisi yang tidak setara atau timpang. Perempuan secara sosial ditekankan perannya di sektor domestik, karena fungsi reproduksinya memungkinkan perempuan untuk mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan fungsi reproduksi yang demikian itu, perempuan dikonstruksikan untuk berperan sebagai pengasuh dengan perempuan, diharapkan dan dikonstruksikan secara sosial untuk menjadi pencari nafkah keluarga, bekerja di luar rumah, dan menjadi pelindung keluarga (Hayati, 2002).

  Adapun menurut Oakly via Fakih (1997:71) gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yaitu perbedaan jenis kelamin (seks) yang merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda, sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikontradiksikan secara sosial, yaitu perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses yang panjang. Caplan (Fakih, 1997:72) menyatakan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu, gender bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat dan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah.

  Gender menentukan berbagai pengalaman hidup yang bisa kita singkap. Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Gender bisa menjadi satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kepribadian seseorang dalam hidupnya (Sugiarti: 2003) perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali amat penting dalam menentukan posisinya keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki merupakan konsekuensi dari pendifinisian perilaku gender yang semestinya oleh masyarakat.

  Berbicara mengenai gender, secara tidak langsung memerlukan keterlibatan laki-laki untuk memahami dan mendukung perubahan dalam hubungan gender yang akan diperlukan jika keseimbangan yang lebih adil dan setara antara jenis kelamin dalam masyarakat tercapai.

  Konsep gender pada dasarnya merupakan sifat yang melekat pada kaum laki- laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1996:8). Adapun Murniati (2002:15) mengatakan bahwa pada dasarnya gender merupakan perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.

1.6.2.1 Relasi Gender

  Pada dasarnya posisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superordinat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, relasi dengan perempuan dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriakal guna memperkuat hegemoni terhadap kedudukan perempuan (Sugihastuti, 2007:122).

  Ada pun Fakih (1996: 84) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interse) dan kekuasaan (power), ada pun dalam setiap hubungan sosial selalu terdapat hubungan kaum laki-laki dan perempuan. meskipun demikian, bahwa gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan.

  Sugihastuti (2007:4-5) mengatakan bahwa, seks dan gender menyatu melalui pandangan masyarakat yang mencoba untuk memadu-padankan cara bertindak dengan kodrat biologis. Berdasarkan pandangan di atas terlihat adanya relasi laki-laki dan perempuan yang melahirkan idiologi gender yang membuahkan budaya patriarkhi. Budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan, keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan (Nunuk, 1996:75). Perbedaan gender ini telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas pada posisi yang disandang oleh kaum perempuan (Sugihastuti, 2007: 278). Menurut Fakih via Sugihastuti (2007:278-279) perbedaan gender didasarkan pada anggapan dan penilaian oleh konstruksi sosial yang menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat kultural yang membutuhkan proses panjang yang telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sedangkan menurut Nunuk (1996:XIX) perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan berproses melalui budaya lanjut, pandangan itu kemudian dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan demikian, laki-laki diakui dan dikukuhkan untuk menguasai perempuan, kemudian hubungan laki-laki dan perempuan yang hierarkis dianggap sudah benar.

  Adapun menurut Wahjana (2000) dominasi yang dimiliki laki-laki terhadap perempuan menjadi suatu hal yang sudah semestinya karena itu merupakan bagian dari kejantanan dan kekuasaan laki-laki. Dengan melakukan tindak kekerasan maka laki-laki dapat mengurangi emosi dan tekanan yang dialaminya. Sedangkan rasa rendah diri dan keingginan perempuan untuk didominasi adalah suatu hal yang tidak terelakan dalam hubungan perempuan dan laki-laki.

  Relasi heirarkis antara laki-laki dan perempuan tersebut berdampak pada ketidakadilan perempuan yang terdiri dari beberapa hal antara lain; pertama perbedaan dan pembagian gender, termanifestasikan dalam bentuk subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki terutama menyangkut soal pengendalian kekuasaan.

  Kedua, perbedaan dan pembagian gender membentuk stereotip terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Ketiga, perbedaan gender mengakibatkan timbulnya kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun secara mental. Keempat, sosialisasi citra posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan tersebut menimbulkan anggapan pada kaum perempuan sendiri, bahwa kondisi dan posisi yang telah ada bagi diri mereka merupakan sesuatu yang normal dan kodrati (Sugihastuti, 2007: 279)

1.6.2.2 Ketidakadilan Gender

  berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengkibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya. Persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Ketidakadilan gender terbentuk karena adanya oposisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender yang berdampak pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut membawa hubungan yang dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan (Sugihastuti, 2001:122).

  Selain itu hubungan laki-laki dan perempuan yang dibentuk berdasarkan pemahaman mengenai superioritas, pada akhirnya perempuan tidak hanya memunculkan perilaku inferior dalam hubungannya dengan laki-laki akan tetapi, perempuan juga membentuk citra inferior dan mendorong diri sendiri kepada posisi subordinat (Sugihastuti, 2001:122-123). Sedangkan Fakih (1997) menyatakan bahwa ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem.

  Berdasarkan relasi gender yang ada, ketidakadilan gender dapat bersifat a) langsung, yaitu bahwa perlakuan terbuka dan berlangsung baik disebabkan perilaku, sikap, nilai, norma ataupun aturan yang berlaku; b) tidak langsung, bahwa seperti peraturan sama tetapi pelaksanaanya menguntungkan jenis kelamin tertentu; c) sistemik, yaitu bahwa ketidakadilan gender berakar dalam sejarah, norma atau (Fausi,2008).

  Dari relasi gender di atas Fakih (2006) membagi manifestasi ketidakadilan gender menjadi berikut:

  1. Subordinasi perempuan (penomorduaan), pandangan yang memposisikan perempuan dan karya-karya lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu dan tidak berani memperlihatkan kemampuanya. Sedangkan bagi laki-laki menyebabkan mereka sah untuk tidak memberi kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh.

  2. Marginalisasi perempuan, merupakan penempatan perempuan ke pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomerduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin.

3. Stereotipe terhadap perempuan, merupakan citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada.

  Pelabelan negatif perempuan selalu berdampak negatif bagi perempuan hal itu bahkan menimbulkan diskriminasi dan pada akhirnya dibatasi, dipersulit, dan dimiskinkan oleh stereotipe. Pandangan stereotipe masyarakat terhadap perempuan tersebut yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan membakukan tersebut.

  4. Kekerasan terhadap perempuan; Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan seseorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan mengarahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan baik secara fisik, seksual, atau psikologis pada perempuan atau sekelompok perempuan. Termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik.

  Menurut Sugihastuti (2007: 203) menyebutkan kekerasan terhadap perempuan dibedakan menjadi dua yaitu kekerasan publik dan kekerasan domestik. Kekerasan publik merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau relasi berdasarkan perkawinan dengan perempuan yang menjadi korban tindakanya dengan tidak memperhitungkan ranah terjadinya tindak kekerasan sedangkan kekerasan domestik merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga.

  Berdasarnakan manifestasi ketidakadilan gender menurut Fakih (2006) di atas, peneliti hanya menganalisis persoalan ketidakadilan gender yang berhubungan dengan isi cerita, yang terdiri dari subordinasi, dan kekerasan terhadap perempuan.

1.6.3 Sikap Perempuan

  Pada dasarnya sikap merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan sederhana, sikap merupakan respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan (Anwar, 1995:5). Sikap sosial pada dasarnya terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih pada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antara individu sebagai anggota kelompok sosial.

  Menurut Sarwono (1976) sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bertindak pada situasi tertentu. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauh, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Lebih lanjut sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman, sehingga dapat berubah- ubah sesuai dengan keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan pada saat yang berbeda-beda.