HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN EKSTRAVERT DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR
HUBUNGAN ANTARA
KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN EKSTRAVERT
DAN SUBJECTIVE WELL-BEING
PADA REMAJA AKHIR
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh: Fanni Anindyati
NIM : 049114038
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
The grand essential of happiness are
something to do,
something to love,
and something to hope for..
(Allan K. Chalmers)
Happiness is a choice that requires effort at times.
(anonim)
Empat hal untuk dicamkan dalam kehidupan:
Berpikir jernih tanpa bergegas atau bingung,
Mencintai setiap orang dengan tulus,
Bertindak dalam segala hal dengan motif termulia,
Percaya kepada Tuhan tanpa ragu sedikitpun.
(Hellen Keller)
Karya ini kupersembahkan…
Teruntuk kedua orangtuaku
yang dengan tulus memberiku
kasih sayang tak berujung
Teruntuk eyang putri
yang selalu sabar mendukung dan mendoakanku
Teruntuk mbah kakung di sana,
Teruntuk kakak dan adik-adikku,
serta sahabat-sahabatku.
HUBUNGAN ANTARA
KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN EKSTRAVERT
DAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR
Fanni Anindyati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecenderungan
kepribadian ekstravert dan subjective well-being. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa-
mahasiswi Universitas Sanata Dharma yang berusia 18-22 tahun dengan karakteristik remaja akhir
yang berjumlah 100 mahasiswa. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara
kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being pada remaja akhir. Pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan metode skala modifikasi dari skala model Likert yang
terdiri dari dua bagian, yaitu: 1) Skala kecenderungan kepribadian ekstravert, 2) Skala subjective
well-being.Skala kecenderungan kepribadian ekstravert memiliki koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,869 dari 30 aitem. Skala subjective well-being memiliki koefisien reliabilitas
Alpha Cronbach sebesar 0,920 dari 48 aitem. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
analisis Product Moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif
antara tipe kepribadian ekstravert-introvert dan subjective well-being. (r = 0,550 dengan p = 0,000;
p < 0,01) Kata kunci: kepribadian ekstravert, subjective well-being, remaja akhir.
THE CORRELATION BETWEEN
EXTRAVERT PERSONALITY TENDENCY
AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN LATE ADOLESCENTS
Fanni Anindyati
ABSTRACT
The aim of this research was to find out the positive correlation between extravertpersonality tendency and subjective well-being in late adolescents. The subjects are 100 students
of Sanata Dharma University who has characteristic late adolescents. The ages of subjects are
about 18-22 years old. The proposed hypothesis is as follow there is a positive relationship
between extravert personality tendency and subjective well-being in late adolescents. The data
collected in this research was conducted two scales using modification scale from Likert scale
model. First, the extravert personality tendency scale. Second, the subjective well-being scale. The
reliability of extravert-introvert personality types scale tested by using reliability coefficient Alpha
Cronbach and obtained result for 0,869 of 30 items. The reliability coefficient Alpha Cronbach for
subjective well-being scale was 0,920 of 48 items. The research data were analyzed using
Pearson’s Product Moment analysis. The result showed that there was a positive correlation
between extravert-introvert personality types and subjective well-being (r coefficient was 0,550
with p=0,000; p < 0,01).Keywords: extravert personality, subjective well-being, late adolescents.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas petunjuk, berkat, perlindungan serta kasih yang berkelimpahan sehingga penulis dapat menyelesaikan satu tahap dalam proses kehidupan, yaitu skripsi. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang dengan tulus membantu penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan setulusnya kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberi berkat kekuatan, dan kasih yang tiada hentinya. Terima kasih atas kepercayaan yang Engkau berikan.
2. My biggest sponsorship in my life, Mama Sri Satiti Suci Rahayu dan Papa Didi Suhardi, thank you for giving me unconditional love. Terima kasih untuk doa, kasih sayang dan semua yang diberikan untuk penulis.
3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam menyelesaikan skripsi dan kegiatan akademik.
4. Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar memberikan masukan, waktu serta dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga untuk diskusi- diskusinya selama ini.
5. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M. Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberi arahan dan dalam kegiatan akademik maupun pada saat menyelesaikan skripsi.
6. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi. Terima kasih atas masukan dan arahan yang sangat berarti untuk karya tulis ini. Terima kasih juga untuk bimbingannya selama di P2TKP.
7. Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi., M.A. Terima kasih untuk masukan dan arahan yang sangat berarti untuk karya tulis ini.
8. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. Terima kasih untuk arahan dan bimbingan selama di P2TKP.
9. Semua Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mengajari banyak hal tentang psikologi.
10. Mas Gandung, Mba Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Gi’. Terima kasih untuk bantuan-bantuannya selama ini.
11. My sisters Suci Ardiani n Clara Ivana, my brother Krisna Ardian, terima kasih untuk dukungan, canda tawa, dan kejahilan kalian yang telah membuatku tersenyum. Semoga kita segera kumpul jadi satu ya.
12. Mbah Uti, terima kasih banyak ya Mbah untuk semuanya, dukungan, kasih sayang dan doa. Terima kasih juga untuk bulik Atik dan dek Iyan, bulik Wiwit, om Gandung, dek Tika serta dek Geras.
13. Fransiskus Catur Pandu Hasmoko. Terima kasih atas kasih sayang, dukungan, doa, waktu, pengertian, perhatian, kesabaran serta pengorbananmu. Segera menyusulku ya. Percayalah, semua akan indah pada waktunya.
14. Sahabatku Aurelia Tyas Reneng Ayomi, terima kasih untuk dukungan dan doanya. Akhirnya aku bisa nyusul kamu Yas. Kapan kita bisa ngobrol panjang seperti dulu lagi ya.
15. Sahabat-sahabatku di Psikologi, Elisabeth Ruri Suryani (makasih mba Rur untuk semuanya, akhirnya!), Lusia Wiji Astuti (ayo cepetan lulus, doaku menyertaimu), Gregoria Rosarheina (Ochaaa….kangen kowe!), Siska (akhirnya kita lulus juga,hehe), Ditha (makasih untuk bantuannya), Wulan dan Tinul (terus berjuang ya temans), Indra, Kadek, Ita, Yetty.
16. Sahabat-sahabat Foodlovers, Elisabeth Kartikasari (terima kasih untuk kecerewetan’mu, akhirnya aku lulus juga), Tri Sumaryati (terima kasih untuk semuanya), Novera Pamian (ayo ve, kamu pasti bisa), dan Gracy Sondang Marpaung (semangat ya Son. Terus berjuang!).
17. Pak Tony, mba Diana Pujihastuti, terima kasih untuk arahan dan bimbingannya selama di P2TKP. Teman-teman asisten P2TKP: Ruri, Indra, Wulan, Ucie, Ita, Tinul, Sumar, Pace, Mumun, Betty, Sari, Nora, Tya, Iin, Alma, Iie, Devi, Emak, Rona, Nur, Made, Clara, Reni, Anggi, Nia, Ika, Dian. Terima kasih untuk kebersamaan, canda, tawa, dan kerja samanya selama ini.
18. Keluarga Komunitas Majus: Bapak Bagas dan Ibu Henkie serta Chelsea dan Cheline, Lusi, Indra, Mba Lee-a, Yulis, Mba Lilis, Mba Ina, Bunda, Lilie, Lia Melina ‘Gery’, Mba Denok, Mba Erna, Mba Henny, Mb Anas, Vicky, Vincent, Elly, Ari, Tina, Mela, Frada, Ita, Viti. Terima kasih atas kenangan-kenangan yang telah kita lalui bersama.
19. Keluarga KKN Kuliner Pinggir 2007 Pak Dukuh, Ibu, serta Dek Ivan yang bersedia membagikan kehangatannya untuk kita. Mb Poppy ‘Imbing’, Ririn ‘Kebaw’, Inne ‘Inyul’, De’Ayoe, Mb Prima ‘Beserwaty’, ‘Pakle’ Darwin, Krisna ‘Pooh’, Angga ‘Jewel’ terima kasih atas kenangan- kenangan indah selama KKN. Semoga suatu hari nanti kita bisa kumpul ber-9 lagi.
20. Teman-teman yang menjadi subyek dalam penelitian penulis, terima kasih atas kerjasama dan dukungannya.
21. Teman-temanku Mba Melati, Mba Dhanie, Mba Mia, Mba Gothe’, Mba Ocha, Mba Ana, Mas Yovie’01. Pupung, Mas Iyus Atma (makasih atas pinjaman Oxfordnya). Mas Feri, Mas Teguh, Mas Toto (Ikom’03), Mas Diaz (P.Fis’03). Reagen, Dias, Nita, Dion, Once (Akakom).
22. Teman-teman EEC (English Extention Course) Sanata Dharma: Dini (kapan kita kemana?), Mba Murni, Mba Anty, Mba Iin, Helen, Fafa, Mas Benny, Fajar (ayo Chacha lagi, haha..), Mas Adi, Stephan, Mba Reta, Mba Ana, Mba Ros, Widuri, Nisa, Mba Asih, Mba Lia.
23. Teman-teman komunitas pendampingan anak Canista, terima kasih atas kenangan-kenangan indah yang telah kita lalui bersama.
24. Segenap pihak yang selalu mendukung dan memberi semangat penulis yang tidak bisa penulis ungkap satu per satu, terima kasih atas pengalaman hidup yang kualami bersama kalian.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, koreksi dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi semua pihak dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………………..…… ii HALAMAN PENGESAHAN…………………..…………………..………… iii HALAMAN MOTO…………. …………………..………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN …………..………………...……………….. v HALAMAN KEASLIAN KARYA…………………..……………….……… vi ABSTRAK…..…………………..…………………..…………………..….… vii ABSTRACT…………………..…………………..………………………….. . viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………………… ix KATA PENGANTAR…………………..…………………..………………... x DAFTAR ISI…………………..…………………..…………………..……… xv DAFTAR TABEL…………………..…………………..…………………….. xviii DAFTAR GAMBAR…………………..………………….....……………...... xix DAFTAR LAMPIRAN…………………..…………………..……………..... xx BAB I. PENDAHULUAN…………………..…………………..…………..
1 A. Latar Belakang Masalah…………………..…………………...
1 B. Rumusan Masalah……………………………………………..
6 C. Tujuan Penelitian……………………………………………...
7 D. Manfaat Penelitian…………………………………………….
7 BAB II. LANDASAN TEORI…………………..…………………………... 8
A. Subjective Well-Being…………………………………………..
8 1. Pengertian Subjective Well-Being…………………………..
8 2. Komponen Subjective Well-Being………………………….
9 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being...
12 B. Kepribadian…………………………………………………….
17 1. Pengertian Kepribadian…………………………………….
17 2. Struktur Kepribadian……………………………………….
19 3. Dimensi Ekstravert menurut Eysenck………………….
19 4. Aspek-aspek Kepribadian Ekstravert……………...……….
22 C. Remaja………………………………………………………….
24 1. Pengertian Remaja………………………………………….
24 2. Batasan Usia………………………………………………..
25 3. Perkembangan Remaja……………………………………..
26 D. Hubungan antara Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-Being pada Remaja Akhir…………………….
28 E. Skema Dinamika……………………………………………….
31 F. Hipotesis Penelitian Subjective Well-Being…………………….
31 BAB III. METODE PENELITIAN…………………..……………………….
32 A. Jenis Penelitian……………………………………….………...
32 B. Identifikasi Variabel……………………………………………
32 C. Definisi Operasional……………………………………………
32 1. Kepribadian Ekstravert……………………………………..
32
2. Subjective Well-Being………………………………………
33 D. Subyek Penelitian………………………………………………
35 E. Prosedur Penelitian……………………………………………..
36 F. Metode dan Alat Pengumpulan Data…………………………...
36 G. Uji Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ………………….
43 1. Uji Validitas………………………………………………..
43
2. Seleksi Aitem………………………………………………
43
3. Reliabilitas…………………………………………………
46 H. Metode Analisis Data………………………………………….
47 1. Uji Asumsi Data Penelitian………………………………...
47 2. Uji Hipotesis Penelitian…………………………………….
48 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………….
49 A. Pelaksanaan Penelitian…………………………………………
49 B. Deskripsi Subyek Penelitian……………………………………
49 C. Deskripsi Data Penelitian………………………………………
51 D. Analisis Data Penelitian………………………………………..
53 1. Uji Asumsi………………………………………………….
53 2. Uji Hipotesis………………………………………………..
55 E. Pembahasan…………………………………………………….
58 BAB V. PENUTUP…………………………………………………………...
64 A. Kesimpulan……………………………………………………..
64 B. Saran………………………………………..…………………..
65 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 67 LAMPIRAN…………………………………………………………………... 70
DAFTAR TABEL
TABEL 1. Skor Penilaian Skala Kepribadian Ekstravert……………….......38 TABEL 2. Blue Print Skala Kepribadian Ekstravert………………...............
39 TABEL 3. Skor Penilaian Skala Kepuasan Hidup secara Global..................
40 TABEL 4. Blue Print Skala Kepuasan Hidup secara Global..........................
41 TABEL 5. Skala Kepuasan hidup dalam domain khusus...............................
42 TABEL 6. Blue Print Skala Kepuasan hidup dalam domain khusus..............
42 TABEL 7. Skor Penilaian Skala Afeksi-positif dan Afeksi-negatif................
43 TABEL 8. Blue Print Skala Afeksi-positif dan Afeksi-negatif.......................
44 TABEL 9. Sebaran Aitem Skala Kepribadian Ekstravert (setelah uji coba).
46 TABEL 10. Sebaran Aitem Skala Subjective well-being (setelah uji coba) ..
47 TABEL 11. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia .............................
51 TABEL 12. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin...........
51 TABEL 13. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan IPK...........................
52 TABEL 14. Deskripsi Data Penelitian............................................................
53 TABEL 15. Hasil Uji Normalitas Sebaran......................................................
55 TABEL 16. Hasil Uji Linearitas.....................................................................
56 TABEL 17. Hasil Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Subjective well-
being ....................................................................................
57 TABEL 18. Hasil Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Aspek-aspek
Subjective well-being ..............................................................
58
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR
1. Skema Dinamika Hubungan antara Kecenderungan Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-Being pada Remaja Akhir……………………………………………….
31
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1.
82
89
88
87
86
85
84
LAMPIRAN 2. LAMPIRAN 3. LAMPIRAN 4. LAMPIRAN 5. LAMPIRAN 6. LAMPIRAN 7. LAMPIRAN 8. LAMPIRAN 9.
Skala Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-being…... Uji Reliabilitas Skala Kepribadian Ekstravert……………… Uji Reliabilitas Skala Subjective Well-being………………..
70
Data Demografi Subyek Penelitian………………………..
being ………………………………………………………… Distribusi Data Subyek Penelitian…………………………..
Mean Empirik Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-
………………………………………………………… Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Komponen Subjective Well-being ……………………………………….
being
Uji Asumsi Normalitas dan Linieritas……………………… Uji Korelasi Kepribadian Ekstravert dan Subjective Well-
80
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan yang bahagia merupakan keinginan setiap manusia pada
umumnya. Banyak peristiwa yang terjadi setiap harinya yang menunjukkan akan adanya kebutuhan manusia untuk mencapai keinginannya dengan cara masing-masing. Ada tukang becak yang rela bekerja dari pagi sampai malam sepanjang hari untuk bisa menafkahi anak dan istrinya, kemudian ada pedagang di pasar yang selalu bangun subuh setiap harinya, dan ada seorang guru yang menjual bajunya untuk membeli sebuah buku yang akan digunakan untuk mengajar. Selain itu ada pula masyarakat miskin yang rela mengantri dan bahkan berkelahi satu sama lain untuk mendapatkan sembako gratis, ada banyak pejabat pemerintahan yang korupsi, ada konflik yang memperebutkan kursi kepemimpinan di lembaga negara, dan masih banyak lagi peristiwa terjadi setiap harinya. Menurut Howard Cutler, MD fenomena atau gejala tersebut merupakan gerak hidup manusia menuju kebahagiaan (Kompas, 5 Mei 2008). Para filsuf berpendapat bahwa kebahagiaan merupakan tujuan akhir keberadaan atau eksistensi manusia di dunia. Oleh karena itu, kebahagiaan dinilai sebagai keinginan setiap orang.
Begitu banyak peristiwa hidup yang merepresentasikan suatu kebahagiaan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai kebahagiaan dicapai selama ini. Maslow menyatakan bahwa manusia akan mengalami pengalaman puncak (peak experience) yang salah satu cirinya adalah sering mengalami letupan emosi bahagia yang mendalam, yaitu ketika telah terpenuhinya lima kebutuhan mendasar manusia (Widyarini, M. M. N, 2004).
Maka dari itu, kebahagiaan sering disangkut-pautkan dengan kepuasan hidup. Akankah kepuasan hidup mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang? Kepuasan hidup terkait pula dengan segala aspek di dalam kehidupan.
Kesehatan, keluarga, uang, pekerjaan, persahabatan, dan lain sebagainya. Selain itu, seseorang yang merasa bahagia akan memiliki emosi yang positif. Salah satunya adalah dengan tersenyum dan selalu berpikir positif.
Kebahagiaan bersifat individual dan setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing, sehingga makna kebahagiaan akan dinilai berbeda satu sama lain. Maka, kebahagiaan untuk satu orang belum tentu bahagia untuk orang lain. Berdasarkan pengamatan, peneliti melihat bahwa kebahagiaan memiliki arti yang subyektif. Setiap orang dapat mengartikan secara berbeda tentang kebahagiaan. Seperti yang dikatakan oleh seorang mahasiswa bernama Linda (komunikasi pribadi, 08 September, 2008), yang berkata bahwa ia akan merasa bahagia nanti jika sudah lulus sarjananya, kemudiaan saat sudah mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan apa yang ia cita-citakan dan berpenghasilan besar. Berbeda pula dengan apa yang diungkapkan oleh Sari (komunikasi pribadi, 10 Agustus, 2008) seorang ibu rumah tangga yang merasa bahagia kalau sudah terbebas dari hutang. saat bisa memberi yang terbaik untuk orang yang disayangi, demikian yang diungkapkan oleh Rio, seorang karyawan swasta (komunikasi pribadi, 09 September, 2008). Ia pun menambahkan bahwa saat bahagia adalah saat ia merasa dicintai, saat bisa membantu orang lain yang kesusahan, saat bisa mensyukuri sesuatu dan saat lepas dari masalah. Selain itu, adapula orang yang sudah merasa bahagia hanya dengan membantu orang lain (Seligman, 2005). Pengalaman internal inilah yang dirasakan oleh individu dapat digambarkan melalui istilah yang disebut dengan subjective well-being atau SWB (dalam Diener, Suh, dan Oishi, 1997).
Menurut Park (dalam Puspasari, Rostiana, & Nisfian, 2004), subjective
well-being atau kebahagiaan (happiness) merupakan komponen inti dari hidup
yang baik (good of life). Individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi pada umumnya memiliki kualitas yang mengagumkan (Diener et al., 1997). Individu ini juga akan merasa puas akan hidupnya dan sering mengalami perasaan senang atau gembira serta jarang mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan. Suatu keadaan yang membahagiakan akan menimbulkan perasaan yang menyenangkan dan ditunjukkan dengan emosi yang positif. Sebaliknya individu dengan tingkat
subjective well-being yang rendah akan merasa tidak puas dengan hidupnya
dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan sehingga menimbulkan emosi negatif seperti kemarahan dan kecemasan.
Dalam Myers dan Diener (1995), individu yang merasa bahagia memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, orang yang bahagia menyukai diri mereka sendiri. Mereka merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, jarang berprasangka buruk, mampu bekerja sama, memiliki harga diri yang positif dan lebih sehat dibandingkan yang lain. Kedua, orang yang bahagia memiliki kendali atas dirinya sendiri. Mereka merasa lebih merasa berdaya ketika di sekolah, melakukan strategi coping lebih baik terhadap stres, dan hidup dengan lebih bahagia. Ketiga, orang yang bahagia biasanya optimis. Keempat, orang yang bahagia biasanya memiliki kepribadian ekstravert. Diener, Sandvik, Pavot, dan Fujita (1992) menambahkan bahwa dibandingkan dengan introvert, orang yang ekstravert lebih bahagia baik ketika sendiri maupun bersama dengan orang lain, bekerja pada pekerjaan non-sosial atau sosial, tinggal di daerah pedesaan atau perkotaan.
Warner Wilson, 1967 (dalam Diener et al., 1999) menemukan bahwa orang yang bahagia adalah orang yang muda, sehat, berpendidikan, berpenghasilan baik, ekstravert, optimis, bebas dari kekhawatiran, religius, menikah, memiliki pekerjaan yang baik, cita-cita sederhana, baik pria maupun wanita dan dalam range inteligensi yang luas. Penelitian lain tentang kepribadian dan subjective well-being yang dilakukan Francis (dalam Diener et al., 1999) juga menunjukkan bahwa kebahagiaan merupakan sesuatu yang disebut dengan stabil-ekstravert (Schimmack, Oishi, Radhakrishnan, Dzokoto, dan Ahadi, 2002). Penelitian tersebut dilakukan di lima negara yang memiliki keterbatasan penelitian sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya agar lebih memperhatikan faktor budaya. Subjek penelitian ini terdiri atas rentang usia antara 18 tahun sampai 38 tahun.
Dimensi kepribadian ekstraversi seperti yang diungkapkan Eysenck (1969, dalam Pervin, Daniel, dan Oliver 2005) merupakan perbedaan dalam reaksi-reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku sosial. Menurut Eysenck keunikan kepribadian ekstravert dan introvert terletak pada tingkah laku terhadap stimulus sebagai perwujudan karakter, temperamen, fisik, dan intelektual individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Eysenck juga mempercayai bahwa setiap individu pasti berada di antara kedua kontinum tersebut.
Eysenck (dalam Lina Abidin, 2003) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan ekstravert akan memiliki karakteristik sebagai orang yang ramah, suka bergaul, menyukai pesta, memiliki banyak teman, selalu membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara, serta tidak menyukai belajar, membaca atau melakukan kegiatan sendirian. Sebaliknya, kepribadian introvert memiliki karakter yang tidak banyak bicara, malu-malu, mawas diri, lebih menyukai membaca dibandingkan dengan bergaul dengan orang lain. Berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan kecenderungan dalam menghadapi situasi sosial.
Kepribadian ekstravert lebih suka merespon setiap kejadian dengan emosi yang positif, sedangkan kepribadian introvert biasanya akan merespon menambahkan bahwa kepribadian ekstravert-intravert merupakan dua dimensi dasar kepribadian yang memiliki peran penting dalam emosi positif dan negatif. Individu yang ekstravert biasanya memiliki banyak teman karena mereka merasa lebih nyaman ketika berinteraksi dengan orang lain daripada orang yang introvert. Menurut Myers dan Diener (1995) kebahagiaan biasanya menghasilkan perilaku yang ramah. Misalnya, orang yang ramah akan memiliki semangat yang tinggi dan merasa tenang atau santai dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa mereka menikah lebih cepat, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan memiliki banyak teman.
Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas, menjadi ketertarikan peneliti untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecenderungan kecenderungan kepribadian ekstravert dengan tingkat subjective well-being pada remaja akhir.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan pertanyaan berkut: “Apakah ada hubungan yang positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being pada remaja akhir?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif antara kecenderungan kepribadian ekstravert dan subjective well-being pada remaja akhir.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas konsep serta pandangan pengetahuan dalam ilmu Psikologi khususnya dalam hal subjective well-being (kesejahteraan subyektif) atau sering juga disebut dengan kebahagiaan dan kepribadian ekstravert. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah wacana mengenai kepribadian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well-being.
2. Manfaat Praktis Bagi mahasiswa pada umumnya, hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi mengenai subjective well-being sehingga lebih memahami perilaku sehari-hari sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian serupa.
BAB II LANDASAN TEORI A. Subjective Well-Being
1. Pengertian Subjective well-being
Subjective well-being atau kesejahteraan subyektif menurut Diener,
Suh, & Oishi (1997) adalah suatu bentuk evaluasi terhadap kehidupan yang terdiri dari evaluasi terhadap kepuasan hidup dan respon emosional.
Kepuasan hidup kemudian dibagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan dalam domain khusus seperti pekerjaan, persahabatan dan perkawinan. Sedangkan respon emosional terhadap suatu kejadian terdiri dari respon emosi yang positif misalnya perasaan gembira atau senang dan respon emosi negatif seperti merasa sedih dan marah.
Individu yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi menunjukkan adanya kepuasan hidup disertai dengan perasaan senang dan jarang memiliki emosi yang negatif seperti kemarahan atau kecemasan. Sebaliknya, individu dengan tingkat subjective well-being rendah biasanya merasa tidak puas dengan hidupnya, jarang merasa senang dan sering merasa sedih, kecewa ataupun marah dalam menyikapi suatu keadaan.
Subjective well-being dalam bahasa sehari-hari juga sering disebut
dengan kebahagiaan (happiness). Para ahli filsafat mengungkapkan bahwa kebahagiaan berarti mengetahui kebenaran dan menjaga kesehatan; kebersamaan dengan orang lain, dan bermeditasi (Myers & Diener, 1995).
Selain itu, menurut Vanden Bos (2007) subjective well-being diartikan sebagai berikut:
“A judgment that people make about the overall quality of their lives by summing emotional ups and downs to determine how well their actual life circumstances match their wishes or espectations concerning how they should or might feel.”
(Vanden Bos, 2007; h. 904) Pengertian di atas mengungkapkan bahwa kualitas hidup seseorang ditentukan berdasarkan apakah keadaan yang sebenarnya sesuai dengan apa yang diharapkan atau apa yang seharusnya dirasakan serta pengalaman emosional baik positif maupun negatif. Masih menurut VandenBos, istilah
well-being merupakan suatu keadaan yang bahagia, senang, rendahnya
tingkat stres, kondisi fisik dan mental baik serta memiliki kualitas hidup yang baik.
Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa
subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap
kepuasan hidup individu dimana kepuasan hidup tersebut terdiri dari evaluasi kognitif dan evaluasi afektif.
2. Komponen Subjective well-being Menurut Diener et al. (1997) komponen subjective well-being terdiri atas evaluasi kognitif dan evaluasi afektif. Berikut penjelasan masing-
1. Evaluasi Kognitif Bentuk evaluasi kognitif merupakan evaluasi terhadap kepuasan hidup individu yang kemudian dibagi lagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus. Kepuasan hidup secara global menggambarkan tentang ada atau tidaknya keinginan individu untuk mengubah kondisi hidupnya, kepuasan hidup saat ini, kepuasan hidup masa lalu, kepuasan hidup masa depan, dan pandangan orang lain tentang kehidupan seseorang yang bersangkutan (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Kepuasan hidup merupakan bagaimana individu mengevaluasi kehidupannya secara menyeluruh (Diener, 2005). Hal tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan tentang sesuatu yang luas, dimana individu melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukan sepanjang hidupnya.
Sedangkan kepuasan dalam domain khusus di dalam hidup antara lain pekerjaan, keluarga, waktu luang, kesehatan, finansial, diri sendiri dan persahabatan. Diener menambahkan bahwa hal ini mengindikasikan seberapa puas individu pada masing-masing domain, seberapa besar mereka menyukai hidup, apakah kehidupan yang sekarang sudah mendekati ideal, berapa banyak kenikmatan yang mereka alami, dan seberapa besar keinginan untuk mengubah hidup mereka.
2. Evaluasi Afektif Evaluasi afektif merupakan evaluasi individu terhadap suatu kejadian. Menurut Diener (2003, Puspasari, Rostiana & Nisfian, 2005) emosi dan suasana hati, yang keduanya disebut afeksi, menggambarkan evaluasi seseorang tentang kejadian-kejadian yang terjadi di dalam hidupnya. Afeksi positif ditandai dengan adanya emosi dan suasana hati yang menyenangkan seperti perasaan senang, gembira, bangga, kasih sayang, dan kebahagiaan. Emosi positif atau menyenangkan merupakan bagian dari subjective well-being karena emosi-emosi ini menggambarkan cara yang dilakukan individu untuk merespon suatu kejadian.
Sedangkan afeksi negatif terdiri dari emosi-emosi yang tidak menyenangkan seperti perasan bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, kemarahan, stres, depresi dan merasa cemburu atau iri hati. Diener menambahkan keadaan yang negatif lainnya seperti kesepian dan tidak berdaya juga menjadi indikator rendahnya subjective well-being. Frekuensi yang tinggi akan adanya emosi negatif juga dapat mengindikasikan bahwa individu percaya hidupnya akan berjalan dengan buruk. Akibatnya, emosi tersebut dapat mengganggu efektivitas keberfungsian hidup.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi sSbjective Well-Being Myers & Diener (1995) dan Diener et al. (1999) mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being yaitu:
1. Kepribadian Kepribadian merupakan salah satu faktor paling berpengaruh terhadap subjective well-being. Hal tersebut didukung oleh penelitian- penelitian yang menunjukkan bahwa kepribadian terbentuk karena faktor genetis dan lingkungan. Individu akan memiliki kecenderungan genetis untuk merasa bahagia atau tidak bahagia sehingga faktor genetis menjadi salah satu faktor pendukung subjective well-being.
Kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan individu adalah dimensi ekstravert. Eysenck (1997) berpendapat bahwa kepribadian tersebut memiliki perbedaan pada tingkat stimulasi otak, yaitu kondisi fisiologis yang diwarisi bukan dipelajari. Costa dan McCrae (1980) menemukan bahwa orang yang ekstravert memiliki emosi positif, sedangkan orang yang introvert memiliki emosi yang negatif. Di dalam penelitiannya, Larsen dan Ketelaar (1991) menambahkan bahwa kepribadian ekstravert memberikan respon emosi positif lebih banyak daripada kepribadian introvert dengan stimulus dan kejadian yang sama.
2. Kesehatan Kondisi yang sehat berhubungan positif dengan subjective well- akan semakin tinggi. Dengan kata lain, individu yang sehat secara fisik sudah tentu akan merasa nyaman dan bebas untuk melakukan suatu hal yang diinginkan. Namun, sehat secara fisik tidak cukup menunjukkan tingkat subjective well-being yang tinggi. Mehnert et al. (1990) menemukan bahwa 68% individu yang disable merasa puas dengan kehidupannya. Singkatnya, pengaruh kesehatan tergantung pada persepsi individu terhadap situasi yang mereka alami. Kondisi yang tidak sehat akan mengganggu pencapaian tujuan penting di dalam hidup.
3. Penghasilan Diener et al. (1999) mengungkapkan bahwa uang merupakan faktor cukup penting dalam mempengaruhi tingkat subjective well-being di beberapa negara. Haring, Stock dan Okun juga menambahkan adanya hubungan yang seimbang antara penghasilan dan well-being. Namun, banyak peneliti lain yang menemukan bahwa uang tidak selalu menjadi faktor utama. Faktor budaya menjadi dasar akan adanya perbedaan hasil penelitian tersebut. Di negara kaya banyak ditemukan responden yang memiliki tingkat subjective well-being tinggi, sedangkan di negara yang miskin kebanyakan responden memiliki subjective well-
being yang rendah. Pada dasarnya bukanlah kekayaan yang dijadikan
sebagai sumbangan terhadap subjective well-being, tetapi terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, air bersih dan jaminan individu yang menilai uang lebih tinggi daripada tujuan hidup yang lainnya merasa kurang puas dengan standard hidupnya.
4. Agama/kepercayaan Myers & Diener (1995) mengungkapkan bahwa orang yang aktif secara religius memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Pengalaman religius dapat membantu individu untuk merasakan makna hidup dengan baik selama melewati krisis. Orang yang religius biasanya tidak mudah depresi karena mereka memiliki pengalaman spiritual yang dipercaya sebagai sesuatu yang paling berpengaruh dalam hidup.
Myers juga mengungkapkan bahwa meningkatnya kebahagiaan dan kepuasan hidup diikuti dengan frekuensi ibadah. Individu yang memiliki kepercayaan yang lebih kuat juga menunjukkan kondisi yang lebih baik setelah perceraian, pengangguran, penyakit serius, atau kehilangan orang yang dicintai.
5. Pernikahan Survei yang dilakukan Wilson menunjukkan akan adanya hubungan yang positif antara pernikahan dan subjective well-being.
Orang yang sudah menikah memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi daripada orang yang tidak menikah, atau bercerai, tinggal terpisah, atau janda. Orang dewasa yang tidak menikah dan tinggal bersama sebagai suami-istri lebih bahagia daripada mereka yang tinggal sendiri.
Para peneliti masih mendebatkan tentang kepuasan pernikahan terletak pada kesejahteraan hidup secara keseluruhan baik pada pria maupun wanita.
Kepuasan pernikahan juga didukung oleh faktor-faktor seperti interaksi, ekspresi emosi, dan saling berbagi. Karakteristik budaya juga dapat mempengaruhi subjective well-being dan status pernikahan. Pada budaya individual pasangan yang tidak menikah akan lebih bahagia dan puas terhadap hidupnya daripada orang yang menikah atau single. Sebaliknya, pada budaya kolektivisme, kepuasan hidup orang yang tinggal bersama lebih rendah dan memiliki emosi yang negatif daripada orang yang menikah atau single.
6. Usia Kaum muda diprediksikan sebagai usia yang bahagia (Diener, et al.). Studi yang dilakukan oleh Herzog & Rodgers (1981) menunjukkan bahwa kepuasan hidup meningkat seiring dengan usia. Penemuan ini didukung pula oleh Butt (1987) bahwa di beberapa negara kepuasan hidup tidak menurun seiring dengan bertambahnya usia. Diener juga menemukan bahwa dari tiga komponen (kepuasan hidup, afeksi positif dan afeksi negatif) hanya afeksi positif atau afeksi yang menyenangkan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kata lain, usia dewasa akhir/lanjut usia memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada kaum muda, tetapi mereka memiliki respon emosi dan suasana hati yang negatif. Inglehart (dalam Myers et al.) menyatakan bahwa usia tidak mempengaruhi tingkat kebahagiaan individu.