STUDI KOMPARATIF TEKNIK MUJADALAH DR. ZAKIR NAIK DAN DR. WILLIAM CAMPBELL DALAM VIDEO “DEBAT AL-QUR’AN DAN INJIL PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN.

(1)

STUDI KOMPARATIF TEKNIK MUJADALAH DR. ZAKIR NAIK DAN

DR. WILLIAM CAMPBELL DALAM VIDEO “DEBAT AL-QUR’AN DAN

INJIL PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN”

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Muhammad Faizin

NIM. B01212021

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Muhammad Faizin, NIM. B01212021, 2016. Studi Komparatif Teknik Mujadalah Dr. William Campbell dan Dr. Zakir Naik dalam Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan”

Ada tiga persoalan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu: (1) Bagaimana teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dalam video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan”, (2) Bagaimana teknik mujadalah Dr. William Campbell dalam video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan”, (3) Bagaimana perbandingan teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell dalam video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan”

Untuk mengidentifikasi persoalan tersebut secara mendalam dan menyeluruh, dalam penelitian ini digunakanlah pendekatan kualitatif dan data penelitian diperoleh dari hasil telaah dan kajian video yang dicatat secara sistematis. Tahap selanjutnya dianalisis dengan menggunakan deskriptif komparatif yaitu membandingkan teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell. Maka dalam mengkaji rumusan masalah di atas peneliti dapat menyimpulkan.

1. Teknik mujadalah yang dilakukan oleh Dr. Zakir Naik meliputi; teknik penyampaian yang diperkuat dengan dalil, Ilustrasi/kiasan/gambaran, mematahkan pendapatatau alsan dengan serang balik, argumentatif dan logis, suara keras dan jelas, sistematis dan logis, apologetik dan elentika 2. Teknik mujadalah yang dilakukan oleh Dr. William Campbell meliputi; teknik penyampaian yang diperkuat dengan dalil, persiapan materi, bahan pendukung yang argumentatif, menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran, mematahkan pendapat atau alasan dengan serang balik, metode apologetik dan elentika dan thematik dan obyektif. 3. Komparasi antara teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell menunjukkan bahwa, keduanya sama-sama menggunakan teknik penyampaian yang diperkuat dengan argumentasi/dalil. Namun ada perbedaan yang menunjukkan bahwa Dr. Zakir Naik lebih menyeimbangkan antara argumentasi dari pikiran (intuisi) sendiri dan dalil al-Qur’an, Injil dan Hadits (otoritas). Sedangkan Dr. William Campbell lebih cenderung menggunakan argumentasi pikiran (intuisi) yang merujuk pada buku-buku dan hasil penelitian maupun observasi dari para ilmuwan yang dikembangkan bahasannya dengan ilustrasi, gambaran dan kiasan. Keduanya menggunakan teknik mematahkan pendapat/alasan dengan serang balik. Dalam hal menyanggah argumentasi Dr. William Campbell lebih menggunakan argumentasi dari pihak sendiri (Apologetik) dari pada argumentasi dari pihak lawan

(Elentika). Lain halnya Dr. Zakir Naik yang cenderung lebih menggunakan metode Elentika dari pada Apologetik.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Definisi Konsep ... 13

F. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Mujadalah ... 20

1. Pengertian Mujadalah ... 20

2. Metode dan Teknik Mujadalah ... 27

3. Tujuan Mujadalah ... 43

4. Mujadalah dalam Dakwah ... 46

B. Hakekat Debat ... 65

1. Pengertian dan Penggunaan Debat ... 65

2. Teknik Debat ... 69

3. Macam-macam dan Bentuk Debat ... 79

4. Debat dalam Perspektif Al-Qur’an ... 83


(7)

BAB III : METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 89

B. Subyek Penelitian ... 91

C. Jenis dan Sumber Data ... 91

D. Tahap-tahap Penelitian ... 93

E. Teknik Pengumpulan Data ... 96

F. Teknik Analisis Data ... 98

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 100

BAB IV : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Peyajian Data ... 102

1. Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan” ... 102

2. Profil Dr. William Campbell ... 107

3. Profil Dr. Zakir Naik ... 110

4. Deskriptif Materi Debat Dr. William Campbell dan Dr. Zakir Naik ... 116

B. Analisis Data ... 139

1. Teknik Mujadalah Dr. William Campbell ... 140

2. Teknik Mujadalah Dr. Zakir Naik ... 148

3. Komparasi Teknik Mujadalah Dr. William Campbell dan Dr. Zakir Naik ... 156

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 172

B. Saran ... 173

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 : Komparasi Teknik Mujadalah Dr. Zakir Naik dan


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa selalu ingin berhubungan dengan manusia lainnya, ia selalu ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Dengan rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi. Sejak bayi, manusia sebagai makhluk homo sociologicus (makhluk sosiologis), yaitu manusia yang hidup bersama dengan manusia lainnya, hidup berdampingan dan bermasyarakat, sejak bangun tidur dan tidur lagi, secara kodrati senantiasa terlibat dalam proses komunikasi. Terjadinya komunikasi merupakan bukti konsekuensi dan eksistensi terjadinya interaksi sosial1 atau hubungan sosial dalam masyarakat. Pendeknya, segala hal yang diungkapkan seseorang dalam melakukan komunikasi merupakan pesan tersendiri. Itulah sebabnya di mana ada kehidupan maka di situlah terdapat komunikasi.2

Dramaturgi Goffman mengasumsikan bahwa bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain yang disebit impression management atau pengelolaan pesan, yakni teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk menampilkan kesan tertentu orang akan mempresentasikan dirinya dengan atribut atau tindakan tertentu, seperti berpakaian, tempat tinggal, cara berbicara, cara

1

Interaksi Sosial adalah hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Lihat, Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2011), h. 35.

2

Stepen R, Seni Mendengar dan komunikasi yang Efektif (Pepustakaan Nasional: Klick Publishing, 2011, h.


(10)

2

berjalan, asesoris rumah tangga, dan sebagainya. Ketika melakukan kontak dan komunikasi, seseorang akan mengelola dirinya agar tampak seperti apa yang dikehendakinya, sementara orang lain yang menjadi mitranya juga melakukan hal yang sama. Setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain, sehingga ia menjadi Aktor yang menunjukkan penampilannya untuk membuat kesan bagi lawannya.3 Dengan kata lain, manusia adalah makhluk komunikasi. Tatkala berhubungan antar sesama di ruang publik, manusia tidak bisa dilepaskan dengan kebutuhan simbol-simbol komunikasi. Tujuannya tidak lain agar manusia satu dengan lainnya bisa saling memahami dan bekerja sama.4

Komunikasi sama halnya dengan aktivitas bernafas atau hal yang otomatis terjadi begitu saja sehingga pelaku komunikasi tidak memiliki kesadaran untuk melakukan secara efektif.5 Komunikasi memiliki peran penting di berbagai aspek kehidupan. Sebagai kalangan meyakini bahwa komunikasi itu adalah kunci kesuksesan. Meski belum ada survei mengenai hal ini, beberapa bukti di lapangan bisa ditemukan. Banyak organisasi dan institusi publik sukses meraih penghargaan karena kepiawaian “juru bicara” dalam menjembatani kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak. Tak heran, bila di banyak negara di dunia, peran juru bicara sangat menentukan, tak terkecuali di Indonesia.6

Dalam pandangan Islam, komunikasi dipandang sebagai karunia yang sangat besar dari Allah SWT. Kemampuan berbicara merupakan modal utama

3

Acep Aripudin Pengembangan Metode Dakwah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 20.

4

Fitriana Utami, Dewi Public Speaking (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) , h. 108-109.

5

Stephen R, Seni Mendengar dan Komunikasi yang Efektif, h. 25.

6


(11)

3

manusia untuk mewujudkan tujuan mereka diciptakan yaitu habl min Allah

dan habl min al-nas. Pada habl min Allah manusia diwajibkan beribadah kepada Allah SWT melalui sholat dan ibadah lainnya.7 Pada pelaksanaan sholat itu sendiri itu merupakan wujud eksistensi komunikasi yang disebut

komunikasi spiritual yaitu antara manusia dengan Allah SWT.8 Pada habl min al-nas, komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat fundamental dalam kehidupan bermasyarakat sebagai alat saling mengenal, saling melengkapi sebagai wujud persaudaraan. Menurut Lasswel ada tiga penyebab dasar mengapa manusia berkomunikasi, yaitu hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya, upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan upaya melakukan tranformasi warisan sosialisasi.9

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang diturunkan kepada baginda Rasulullah Muhammad saw. untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia karena Islam itu membawa rahmat bagi seluruh alam bila diterapkan di tengah-tengah umat manusia. Oleh karenanya mengemban dakwah Islam adalah misi agung dan mulia untuk kesejahteraan umat manusia bahagia dunia dan akhirat bagi yang mengikuti dengan penuh kesungguhan dan menyeluruh.10

7

Al-Qur’an 51:56.

8

Salah satu keistimewaan surat al-Fatihah adalah terjadinya dialog (komunikasi spiritual manusia dengan Allah SWT. Setiap penggal ayat yang kita bacamendapat jawaban langsung dari Allah SWT. Selengkapnya lihat. Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Sholat Bahagia (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), h. 47.

9


(12)

4

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai kitab dakwah yang berisikan ajakan untuk mentaati dan mengikuti ajaran agama Islam. Allah SWT menjdikan Islam sebagai jalan yang sarat dengan petunjuk bagi manusia. Hal ini berarti dalam realitas dakwah, al-Qur’an berada dalam atmosfer dakwah. Al-Qur’an menegaskan mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam dakwah, yang menampakkan berbagai metode berikut teknik pelaksanaannya, yang mengadili dan menghadapi keraguan dan kebohongan yang dihadapkan kearah dakwah, baik dengan cara yang lembut maupun cara yang keras dan tegas. Pada saat yang sama, al-Qur’an juga membina pribadi para juru dakwah dan menguatkan batin serta mentalitas mereka, serta mengarahkan mereka ke langkah-langkah yang benar dan lurus.11

Islam adalah agama dakwah, yaitu adalah agama yang selalu mendorong pemeluknya melakukan dakwah. Dakwah merupakan suatu upaya untuk menumbuhkan kecenderungan pada apa yang diserukan yaitu Islam.12 Yang terpenting dalam dakwah adalah bagaimana mendapatkan respon atau efek positif dari mitra dakwah.13 Mitra dakwah merupakan tolak ukur dari keberhasilan berdakwah. Bagaimanapun besar kharisma seorang da’i menurut penilaian dirinya, belum tentu sama dengan penilaian mitra dakwah. Bahkan tidak sedikit da’i dicemohkan bahkan ditolak oleh masyarakat. Ini karena ketidak terampilan da’i dalam menghadapi mitranya.14 Padahal dalam dakwah terdapat bermacam-macam dan beraneka ragam metode, sesuai kebutuhan

11

Abdul Aziz Dkk, Jelajah Dakwah (Yogyakarta: Gama Media, 2006), h. 72.

12

N. Fakih Syarif H, Menjadi Da’i Yang Dicintai (Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2011), h. 2.

13

Efek adalah apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut, misalnya bertambahnya pengetahuan, terhibur, adanya perubahan akhlak dari mazmumah ke mahmudah. Lihat. Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 71.

14


(13)

5

setiap manusia. Orang lapar butuh makan, orang haus butuh minum, orang bodoh butuh pintar. Dari ketiga macam contoh kebutuhan tersebut, sudah berbeda alternatif solusinya semua kebutuhan manusia tersebut harus dijadikan pilihan dalam metode dakwah.15

Cukup banyak langkah atau metode yang ditempuh para da’i dalam menyampaikan dakwah, seperti ceramah, diskusi, bimbingan, penyuluhan, nasehat dan panutan, yang secara keseluruhan dapat diterapkan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. M. Quraish Shihab mengingatkan, bahwa metode yang baik tidak menjamin hasil yang baik secara otomatis. Keberhasilan dakwah ditunjang oleh seperangkat syarat, baik dari pribadi da’i materi yang dikemukakan dan sebagainya.16

Metode Dakwah sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS. An-Nahl (16/70): 125, diantaranya ialah dengan mujadalah. Selama ini konsep mujadalah disamping masih berserakan di berbagai tempat, rumusannya pun bervariasi, demikian pula terjadinya perbedaan pandangan kepada siapa mujadalah itu harus diperhadapkan, belum adanya konsepsi mujadalah secara metodologis yang difokuskan dalam kerangka dakwah.

Secara operasional mujadalah dapat didefinisikan sebagai usaha memperkuat pernyataan yang dipersoalkan dengan menggunakan argumentasi dan tujuan tertentu. Bila argumentasi logis dan bertujuan menegakkan kebenaran, ia termasuk kategori terpuji (mahmudah). Sebaliknya, bila argumentasinya emosional dan bertujuan mempertahankan kebatilan, ia termasuk kategori tercela (mazmumah). Dengan demikian dapat

15

Sheh Sulhawi Rubba, Islamisasi ala Indonesiawi (Sidoarjo: Garisi, 2014), h. 101.

16

Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an dan Pen Wahyu dalam kehidupan Masyaraka,t (Bandung: Mizan 1995), h. 194.


(14)

6

dikatakan bahwa mujadalah pada hakikatnya adalah pernyataan yang sangat kuat. Karena, ia telah diperkuat dengan permasalahan (yang diperselisihkan), argumentasi dan tujuan yang tegas.

Al-Qur’an surah al-Nahl 125 memberikan gambaran bahwa, dakwah dirumuskan dengan pendekatan sebuah metode yang khas. Salah satu sisi memberikan status hukum kegiatan dakwah, akan tetapi di sisi lain Allah memberikan jalan keluar dalam penerapannya. Pada ayat tersebut Allah SWT pertama kali menggunakan redaksi “bi-Alhikmah”yang seakan-akan bahwa metode tersebut adalah tumpuan pokok dalam semua pendekatan dakwah dengan memahami siapa, apa, mengapa, bagaimana, dan kapan dakwah diberikan dan diterapkan serta “bi-Almauidzoh” dan “bi-Almujadalah” pun ternyata dibarengi dengan lafazh “akhsan. Kesemuanya tersebut mengasumsikan pemberian jalan keluar pendekatan dakwah dengan memahami sisi; psycologis, sosiologis bahkan fisiologis manusia.17

Mujadalah dalam penggunaannya yang luas, bisa digunakan dalam berbagai bidang. Bidang politik misalnya, setiap kali ada rancangan undang-undang yang mau disyahkan menjadi undang-undang-undang-undang baru, perlu diperdebatkan di parlemen terlebih dahulu. Sewaktu ada pemilihan presiden, diadakan debat di depan layar televisi, tentang program kerja yang akan masing-masing kandidat. Setiap calon diberikan kesempatan menyampaikan kekuatan atau kehebatan programnya, dan juga menunjukkan kelemahan program lawannya. Para pemirsa televisi dapat menentukan pilihan mana yang dinilai lebih baik untuk pilihan nantinya.

17


(15)

7

Keutamaan metode debat adalah terletak pada kemenangannya dalam mempertahankan benteng Islam. Bila menang debat, dimungkinkan mereka akan mengakui kebenaran dan bersedia memeluk agama Islam. Namun sebaliknya metode debat sangat membahayakan bila mengalami kekalahannya dalam perdebatan. Seperti halnya Kyai Haji Bahaudin yang berdebat dengan Antonius (Pastor Katolik), di saat debat keadaan sangat rawan (bahaya) sebab antara keduanya saling mempertahankan kebenarannya masing-masing. Bahkan sebelum berdebat diadakan perjanjian antara keduanya, yang mana perjanjian itu berisi pelelangan ideologi (agama) yaitu bila Bahaudin menang Antonius mau masuk Islam dan sebaliknya, keadaan debat makin rawan.18

Dalam hubungan sesama manusia inilah manusia dihadapkan dengan warna-warna sosial, yang kadangkala apabila disikapi secara berlebihan ataupun berbeda pandangan, maka akan terjadi benturan yang akan mengakibatkan sebuah konflik, baik konflik pribadi ataupun bahkan dapat merembut terhadap konflik sosial. Kenyataan ini pula adalah sunatullah

berlaku terhadap diri manusia sebagai makhluk yang dinamis. Sebagai sunatullah lagi-lagi da’i dihadapkan pada kompleksitas manusia. Oleh sebab itu, perbedaan tersebut haruslah disepakati secara arif dan bijak oleh da’i, karena dengan cara tersebutlah da’i akan memicu untuk berfikir, bertindak dan berpijak.19

Tujuan penggunaan teknik mujadalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam pelaksanaan dakwah sesuai dengan apa yang

18

Asmuni Syukur, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 143-144.

19


(16)

8

diharapkan; yaitu pihak lawan mau menerima terhadap argumen-argumen yang diberikan dan akhirnya merubah dan ataupun mengikuti terhadap dakwah yang disampaikan. Karena terkadang masih banyak para da’i yang masih belum mengetahui teknik mujadalah dalam Islam sehingga para da’i tidak mampu mengatasi persoalan yang rumit di mana lawan bicara tidak mau menerima atau bahkan mencaci terhadap da’i. Oleh karena itu peneliti bermaksud agar para da’i dalam proses debat tetap pada konsentrasi, menyejukkan dan tidak boleh terpancing oleh pihak lawan.

Pergeseran budaya dan perubahan masyarakat secara umum perlu diwaspadai oleh berbagai kalangan, termasuk para rohaniawan, mubaligh, atau da’i.20 Lain halnya dengan fenomena perdebatan yang dilakukan oleh Dr. Zakir Naik seorang pembicara umum Muslim India dengan Dr. William Campbell seorang Missionary Kristen dengan topik “al-Qur dan Injil dari sudut pandang ilmu pengetahuan”. Diskusi yang diselenggarakan oleh ICNA di Chicago, USA tersebut bukan bertujuan untuk menghasut, menghina, memprovokasi, atau melecehkan salah satu agama, melainkan mengkaji lebih jauh bagaimana al-Qur’an dan Injil menjelaskan fenomena Ilmu Pengetahuan (science). Keduanya membicarakan dugaan kesalahan ilmiah di dalam kitab suci dengan menggunakan teknik debatnya masing-masing. Debat istimewa tersebut mampu membongkar segala kesalahan ajaran kristen secara ilmiah dan konkrit, sampai dilaporkan ada ratusan orang non muslim yang memeluk agama Islam setelah menyaksikan perdebatan tersebut.21

20

Abdul Aziz Dkk, Jelajah Dakwah (Yogyakarta: Gama Media, 2006). h. 45-46.

21

Khaled Ahmed (2006-01-08) WORD FOR WORD: William Campbell versus Zakir Naik Daily Times (http://id.m.wikipedia.org/Zakir_Naik2009. Diakses pada tanggal 30-Juni 2009)


(17)

9

Peneliti merasa tertarik untuk meneliti Teknik mujadalah antara Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell. Di sisi lain Dr. Zakir Naik lebih mengutamakan seni debat dan meyakinkandari pada subyek pembicaraan. Dia beralasan itu dikarenakan Allah meminta hamba-Nya untuk berdebat dam bermusyawarah dengan orang-orang. Kualitas ceramah yang dimiliki Dr. Zakir Naik sudah banyak terbukti. Di antaranya dia pernah berbicara di hadapan satu juta orang di Kerala, India. Di Mumbai, ceramahnya selalu di datangi oleh 200-300.000 orang dan di luar India bisa mencapai 10-50.000 orang.22 Sebaliknya Dr. William Campbell seorang bertaraf ‘Ulama’ Kristen. Dia adalah seorang yang kritis kepada ajaran Islam dan al-Qur’an dan pernah menulis buku tentang menghina al-Qur’an bertajuk “ The Qur’an and the Bible in the Light of History and Science.” Dalam buku tersebut Dr. William Campbell menghina al-Qur’an dengan mengatakan fakta-fakta di dalamnya bertentangan dengan sains manakala ayat-ayat Bible menunjukkan fakta sains. Dia juga mencabar orang Islam untuk menjawab dakwaan beliau.23

Meskipun Dr. Zakir Naik biasa berbicara kepada ratusan hadirin dan terkadang ribuan hadirin, rekaman video dan DVD ceramahnya (debat) sudah banyak didistribusikan, diposting di berbagai situs internet dan beredar di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Menurut peneliti video yang lebih dikenal dan diminati oleh banyak orang adalah video yang bertemakan “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan”. Video tersebut dibilang sangat kontroversi, lengkap pembahasan maupun durasi yang terhitung sekitar tiga jam, lebih lama jika dibandingkan video-vedeo debat

22

Dr. Zakir Naik:”Ancaman Terbesar Islam bukan Kristen, Tapi sekulerisme” (www.suaramedia.com. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2010)

23


(18)

10

lainnya yang pernah mereka alami. Maka dari itu, peneliti merasa lebih mudah dan efektif dalam meneliti video debat tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa debat antara Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell memungkinkan memiliki perbedaan teknik mujadalah (debat) sehingga sangat menarik untuk diteliti. Berpijak dari latar belakang ini, maka timbullah ide untuk mengadakan penelitian dengan judul Studi Komparatif Teknik Mujadalah Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell dalam Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan.”


(19)

11

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penggunaan teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dalam Video debat al-Qur’an dan Injil perspektif ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana penggunaan teknik mujadalah Dr.William Campbell dalam video debat al-Qur’an dan Injil perspektif ilmu pengetahuan?

3. Bagaimana komparatif teknik mujadalah antara Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell dalam video debat al-Qur’an dan Injil perspektif ilmu pengetahuan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini: 1. Memperolah pemahaman tentang penggunaan teknik mujadalah Dr. Zakir

Naik dalam video debat al-Qur’an dan Injil perspektif ilmu pengetahuan. 2. Memperoleh pemahaman tentang penggunaan teknik mujadalah

Dr.William Campbell dalam video debat al-Qur’an dan Injil perspektif ilmu pengetahuan.

3. Memperoleh pemahaman tentang komparatif teknik mujadalah antara Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell dalam video debat al-Qur’an dan Injil perspektif ilmu pengetahuan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian tentang teknik mujadalah pada aplikasi tidak lepas dari perilaku manusia sehari-hari karena secara kodrati manusia adalah makhluk berbicara, dan selalu menginginkan respon dari lawan bicara. Oleh karena itu, manfaat hasil penelitian ini secara umum sebagai konsep yang sangat


(20)

12

aplikatif dan signifikan bagi siapa saja yang terlibat dalam proses komunikasi.

Adapun secara khusu manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek (keilmuan) teoritis dan aspek praktis.

1. Aspek keilmuan (teoritis).

Pada aspek ini, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang akan dijadikan reference serta pedoman bagi para akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, para praktisi dakwah (da’i) serta pembaca secara umum dalam rangka menambah wawasan tentang teknik mujadalah. Juga sebagai sumbangsih untuk menambah khasanah literatur dirasah islamiah di perpustakaan pusat UIN Sunan Ampel Surabaya di bidang konsentrasi dakwah, Selama ini konsep mujadalah disamping masih berserakan di berbagai tempat, rumusnya pun bervariasi, demikian pula terjadinya perbedaan pandangan kepada siapa mujadalah itu harus diperhadapkan, belum adanya konsepsi mujadalah secara metodologis yang difokuskan dalam kerangka dakwah.

2. Aspek terapan (praktis)

Pada aspek terapan (praktis) hasil penelitian ini tentu sangan compatible dan aplikatiable dalam kegiatan dakwah secara umum dan pablic speaking secara khusus. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat diaplikasikan oleh para praktisi dakwah maupun para akademisi komunikasi penyiaran islam yang terdiri dari mahasiswa maupun dosen,


(21)

13

guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, para da’i, penyuluh agama dan masyarakat secara umum.

E. DEFINISI KONSEP

Dalam pembahasan ini perlulah kiranya peneliti membatasi sejumlah konsep yang diajukan dalam penelitian dengan judul, “Studi Komparatif Teknik Mujadalah Dr. Zakir Naik dan Dr. WilliamCampbell dalam Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan.” Adapun definisi konsep dari penelitian ini antara lain:

1. Teknik Mujadalah

Berdasarkan firman Allah di dalam QS. An-Nahl:125, berdebat patut dijadikan sebagai metode dakwah. Namun perlu diketahui bahwa debat (mujadalah) yang dimaksud di sini adalah debat yang baik, adu argument dan tidak tegang (ngotot) sampai terjadi pertengkaran. Sebab salah satu ciri berdebat adalah mencari kemenangan dan bukan mencari kebenaran, sehingga tidak jarang terjadi bila berdebat mengakibatkan pertengkaran atau permusuhan.24

Teknik mujadalah haruslah dipahami sebaik mungkin, agar dalam pelaksanaan sesuai dengan yang diharapkan; yaitu pihak lawan mau menerima terhadap argumen-argumen yang diberikan dan akhirnya merubah ataupun mengikuti terhadap dakwah yang disampaikan.25 Para juru dakwah yang tidak berpengalaman acapkali menimbulkan kebencian para pendengar karena sifat mereka yang suka bertengkar, suka bercekcok, dan menganggap dirinya selalu benar. Seorang pendebat

24

Asmuni Syukur, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 143-144.

25


(22)

14

haruslah bersifat rendah hati, wajar, ramah, dan sopan tanpa kehilangan kekuatan dalam argumen-argumennya. Karena mereka menghadapi kemungkinan dan bukan kepastian, mereka harus yakin bahwa tidak mengemukakan sesuatu yang tidak ingin dan tidak dapat diterima oleh para pendengar. Lalu, mereka harus yakin bahwa para pendengar dapat diyakinkan dengan jalan menunjang segala pernyataan dengan fakta-fakta26.

Teknik mujadalah dan berbagai etikanya dalam al-Qur’an antyara lain dapat dicontohkan melalui kisah nabi Ibrahim dengan orang tuanya. Sebagaimana tergambar dalam QS. Maryam (19/44): 41-48 yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Isi dari materi dialog tersebut singkat, padat, logis dan sistematis.27 Kata-kata hendaklah dipergunakan sedikit dan sesingkat mungkin. Kebertele-teklean atau kepanjang lebaran akan mengakibatkan suatu usul menjadi tidak praktis dan mengakibatkan salah pengertian28. Contoh pernyataan “Segala warga negara Indonesia yang setia hendaklah diizinkan mempraktikkan hak-haknya sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu memberikan suara pada pemilihan umum”. Dapat disingkatkan dan

26

Fakta ialah bahan yang dipakai untuk membuat percaya atau meyakinkan kebenaran atau kepalsuan, ketetapan atau kekeliruan, kebajikan atau ketololan sebauah dalil. Fakta adalah istilah teknik yang mengacu pada bahan yang diberikan pembela dalam usahanya mendukukung argumentasinya di pengadilan. Fakta yang sah mungkin dapat merupakan pengakuan saksi mata, dokumen tertulis, atau barang bukti seperti pistol, pisau atau baju. Lihat Lihat Ernest G. Bormann, Nancy C. Bormann, Retorika Suatu Pendekatan Terpadu (PT. Gelora Aksara Pratama, 1991), h. 196-197.

27

Aswadi Syuhadak, “Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah” (Gresik: Dakwah Digital Press, 2007), h. 150.

28

Henry Guntur Tarigan, Berbicara Sebagai Keterampilan Berbahasa, Cet. Ke-II, (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung, 2008), h. 101.


(23)

15

dipadatkan menjadi “Segala warga Indonesia yang setia hendaklah diizinkan memilih secara tetap”. Usul-usul yang tidak sitematis, rumit dan berbelit-belit menyebabkan analisis yang sukar. Semakin singkat dan tersusun secara runtut maka semakin bergunalah bagi perdebatan yang sedang berlangsung.

b. Teknik penyampaiannya diperkuat dengan dalil dan argumentasi,29 serta menghindarkan diri dari emosi. Para anggota debat tidak mengizinkan diri mereka berbuat marah karena adanya sindiran tajam ataupun tuduhan tidak langsung dari para lawan mereka.30 c. Subyek dakwah harus sudah mempersiapkan diri dengan ilmu

penetahuan yang cukup dan iman yang kuat atau tangguh. Hal ini dapat menimbulkan keberanian untuk menghadapi setiap reaksi yang datang dari pihak penerima dakwah. Dalam perdebatan, pihak yang telah jelas kesalahannya dan lemah argumentasinya dapat dipastikan akan mengalami kekalahan.31

d. Sikap lemah lembut, baik dalam percakapan maupun dalam tindakan tetap menjadi persyaratan pokok dan paling

29

Dalam beberapa hal yang penting, argumentasi yang baik memiliki gaya tarik bujukan yang kuat terhadap banyak orang. Argumentasi dapat dihubungkan dengan pokok masalah yang ditampilkan sebagai pertanyaan terhdap kenyataan. Para pembela, misalnya, mungkin berargumentasi

mengenai peristiwa yang terjadi di masa lampau, seperti apakah John Doe melakukan pembunuhan terhadap istrinya dengan sengaja dan direncanakan ? lainnya mungkin akan memperdebatkan apakah Presiden Kennedy dibunuh oleh pembunuh tunggal atau masih adakah tentara Amerika yang telah dianggap sebagai orang hilang di Vietnam yang samapai sekarang masih hidup. Kita juga boleh berargumentasi dan meramalkan kenyataan yang akan terjadi di masa depan, seperti apakah dalam waktu dua puluh tahun mendatang akan terjadi perang nuklir, atau apakah pemerintah federal, akan mampu membayar hutangnya. Lihat Ernest G. Bormann, Nancy C. Bormann, Retorika Suatu Pendekatan Terpadu (PT. Gelora Aksara Pratama, 1991), h. 192.

30

Dalam buku Henry Guntur Tarigan, Berbicara Sebagai Keterampilan Berbaha . Daya tahan ampuh yang bersifat lelucon humor memang diperlukan, tapi serangan-serangan yang bertubi-tubi terhadap pribadi para lawan tidak dibenarkan sama sekali.

31


(24)

16

menentukan.32 Sikap tenang dan santai serta sopan santun terhadap para lawan dan para pendengar akan menimbulkan kesan yang paling baik. Pada peristiwa pembicara harus mengingat bahwa tujuan utamanya adalah komunikasi langsung dan persuasif dengan para pendengarnya. Harus dijaga benar-benar agar tujuan utama ini jangan tersingkir oleh hal-hal kecil yang tidak penting sama sekali.33

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami teknik mujadalah dalam penelitian ini mencakup beberapa pokok pikiran sebagai berikut:

a. Teknik penyampaiannya diperkuat dengan argumentasi atau dalil.

b. Menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran.

c. Mematahkan pendapat/alasan dengan serang balik d. Apologetik dan elentika.

32

Aswadi Syuhadak, “Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah” (Gresik: Dakwah Digital Press, 2007), h. 150.

33


(25)

17

2. Video debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan

Video debat dengan topik “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan” merupakan sebuah kajian yang mengupas bagaimana Al-Qur’an dan Injil menjelaskan fenomena ilmu pengetahuan (science).

Diskusi yang diselenggarakan oleh ICNA di Chicago (USA) ini bukan bertujuan untuk menghasut, menghina, memprovokasi atau melecehkan salah satu agama, melainkan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana al-Qur’an dan Injil menjelaskan ilmu pengetahuan. Diskusi antar panelis dan tanya jawab dengan audience berlangsung seru dan riuh rendah dan aplaus.

Pembicara dari agama Islam adalah Dr. Zakir Naik, seorang ulama muda brilian dari India yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dakwah dan kajian Islam. Dia adalah kristolog sejati yang hafal al-Qur’an dan Injil. Sementara pembicara dari agama Kristen adalah Dr. William Campbell dari Pennsylfania (USA). Ia adalah seorang Penginjil yang belajar bahasa Arab di Maroko, berumur 84 tahun dan belajar Al-Qur’an sejak lama. Ia mengarang buku “The Qur’an dan the Bible in the Light of History and Science.”34

Zakir Naik telah mengadakan banyak perdebatan dan ceramah di seluruh dunia. Salah satu populer di antaranya adalah debat Zakir Naik dengan William Campbell pada 1 April 2005, topiknya adalah Islam dan Kristen dalam konteks ilmu pengetahuan, di mana keduanya membicarakan dugaan kesalahan ilmiah di dalam kitab suci. Debat

34


(26)

18

istimewa tersebut mampu membongkar segala kesalahan ajaran kristen secara ilmiah dan konkrit, sampai dilaporkan ada ratusan orang non muslim yang memeluk agama Islam setelah menyaksikan perdebatan tersebut.35 Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka peneliti tertrik untuk meneliti debat yang dilakukan oleh Dr. Zakir Naik dan William Campbell di dalam video ‘youtube’ maupun dalam bentuk VCD yang sudah banyak didistribusikan di berbagai lapisan masyarakat.

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Skripsi ini disusun berdasarkan sistematiaka penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Merupakan landasan umum dari penelitian ini. Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah yang menjadi sentra kajian, dikemukakan tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab II Kajian Teori. Bagian yang menguraikan berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain: konsep tentang metode dakwah yang dispesifikkan pada teknik mujadalah dan disertai penelitian terdahulu.

Bab III Metode Penelitian. Bagian yang menguraikan berbagai metode yang dipakai dalam penelitian ini, antara lain: jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpul data, teknik analisis data dan teknik keabsahan data.

35

Khaled Ahmed (2006-01-08) WORD FOR WORD: William Campbell versus Zakir Naik Daily Times. Retrieved on 2009-07-30. Diakses pada tanggal 11-08-2015, 21:45.


(27)

19

Bab IV Penyajian data dan analisis data. Penyajian data seputar video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan”, profil Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell. Pemaparan tentang (1) Teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dalam Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan.” (2) Teknik mujadalah Dr. William Campbell dalam Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan.” (3) Analisis penelitian dan relevansi temuan penelitian mengenai komparasi teknik mujadalah antara Dr. Zakir Naik dan Dr. William Campbell dalam Video “Debat Al-Qur’an dan Injil Perspektif Ilmu Pengetahuan dengan teori.

Bab V Penutup. Antara lain berisi kesimpulan dari hasil kajian terhadap permasalahan yang ada, yang kemudian diakhiri dengan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.


(28)

20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian tentang Mujadalah 1. Pengertian Mujadalah

Secara etimologis, term yang berakar dari huruf-huruf jim-dal-lam

menurut catatan ibn-Faris mempunyai pokok pengertian upaya memperkuat sesuatu dan membatasinya dari kemungkinan meluasnya pembicaraan yang sedang terjadi. Kata ”jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.36

Dari segi leksikalnya, Husayn Yusuf memberikan arti mujadalah dengan al-Munaqasyah waal-mukhasyamah, yakni meminta penjelasan terhadap suatu masalah dengan secukupnya dan memenangkan perbantahan dengan argumentasi. Perdebatan selalu menggunakan cara yang lebih tegas, karena targetnya adalah memperoleh menang.37 Sebab salah satu ciri berdebat adalah mencari kemenangan dan bukan mencari kebenaran, sehingga tidak jarang terjadi bila berdebat mengakibatkan pertengkaran atau permusuhan.38 Ungkapan ini sejalan dengan ibn Manzur yang mengartikannya dengan al-munazarah wa al-mukhasamah (perbedaan, perbantahan dan pertengkaran). Lebih tegas lagi al-Ragib dalam mufradat fi alfaz al-Qur’an mengartikan

36

Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah (Gresik: Dakwah Digital Press, 2007), h. 30.

37

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2009), h. 390.

38


(29)

21

mujadalah (al-jidal) dengan mufawadat ‘ala sabil munaza’at wa al-mughalabah (perundingan atau permusyawaratan dengan cara perdebatan dan berebut kemenangan). Menurutnya, pengertian ini berasal dari memintal, memperkuat jalinan atau pukulan yang menjatuhkan dari seseorang kepada lainnya.39

Lebih ditegaskaan lagi, bahwa kata wajadilhum (bantahlah) menunjukkan agar seorang aktivis dakwah senantiasa meluruskan pandangan yang salah, dan menolak setiap pendapat yang tidak sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi cara menolaknya harus dengan cara yang cerdas, dalam arti lebih baik dengan cara billati hiya ahsan. Jika tidak, penolakan itu akan menjadi tidak berguna bahkan tidak mustahil akan menyebabkan mereka semakin kokoh dengan kebatilan yang mereka tawarkan.40

Mujadalah dalam pengertian terminologi sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli ilmu agama Islam, ternyata berlainan pendapat. Akan tetapi, pada prinsipnya pendapat mereka tidak sampai keluar dari makna pokok yang tercakup dalam term mujadalah, bahkkan pendapatnya dapat dikatakan saling mempertegas keberadaan makna pokoknya. Hal ini dapat dicermati melalui beberapa definisi yang mereka kemukakan. Ibn-Sina dalam sebuah tulisannya mengartikan mujadalah (al-jidal) dengan upaya memperoleh penemuan yang dapat dijadikan hujjah terhadap segala sesuatu yang sedang tersebar (berkembang), sehingga ketika memberikan jawaban tidak dipertentangkan. Sementara itu Hujjat al-Islam al-Ghazaliy dalam kitab

Ikhya’ ‘Ulum al-Din mengartikan sebagai keinginan untuk mengalahkan dan

39

Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, h. 30.

40


(30)

22

menjatuhkan seseorang dengan menyebutkan cela yang terdapat pada perkataannya, bahkan dengan menisbahkannya pada aib dan kebodohan. Karena itu, perdebatan bisa untuk kebaikan dan kejahatan. Perdebatan tidak akan berakhir kecuali salah satu pihak mengakui kekalahannya.41

Pendapat Ibn-Sina tampaknya lebih dekat dengan pengertian yang ditulis oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, yaitu: mengetahui etika munazarah yang dilakukan oleh para imam mazhab fiqh dan lainnya. Demikian juaga, al-Tabataba’iy, ia mendefinisikan mujadalah dengan diperselisihkan kepada tegaknya kebenaran dengan tanpa kekerasan. Melainkan dengan cara-cara yang dapat ia terima dan atau dapat diterima oleh pihak lainnya. Lebih lanjut al-Maragiy memberikan arti mujadalah al-hiwar wa al-munazarah li iqna’ al-mu’anid’ (jawaban dan perdebatan untuk memuaskan penentangnya). Keempat pengertian ini kelihatannya lebih menekankan pada etika bermujadalah dengan argumentasi ilmiah dan dapat dibenarkan oleh syariat maupun lainnya,42 yang diharapkan mampu bermujadalah dengan cara yang baik. Maksudnya adalah berdiskusi dengan cara yang paling baik dari cara debat (mujadalah) yang ada.43

Berbeda dengan itu, Manna’ Khalil al-Qattan, ia lebih cenderung pada pengertian yang dikemukakan al-Ghazaliy dan al-Ragib al-Asfahaniy sebagaimana telah disebutkan di atas. Menurutnya, mujadalah berarti perundingan atau permusyawaratan dengan cara perdebatan dan berebut kemenangan untuk memperkuat pertentangan. Pengertian semacam ini dapat dikategorikan bentuk mujadalah yang terlarang. Al-Ghazaliy sendiri

41

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 390.

42

Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, h. 30.

43


(31)

23

menegaskan bahwa mujadalah yang bertujuan mengalahkan, memperoleh keunggulan dan popularitas serta pelecehan merupakan sumber akhlaq yang tercela di sisi Allah, tapi terpuji bagi Iblis. Mujadalah dalam pengertian ini menurut at-Tabataba’iy tidak termasuk konteks dakwah. Sedang, mujadalah dalam konteks dakwah bagi Sayyid Qutb berada dalam mempertahankan kebenaran dan menolak kebatilan.

Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikatakan Mohammad Hashim Kamali bahwa mujadalah sangat tergantung pada maksud yang dikandungnya. Mujadalah dapat mempunyai aspek positif dan dapat diterapkan pada argumentasi yang berusaha menggali perbedaan-perbedaan dalam suatu pendapat untuk tujuan yang logis. Jika maksud yang menyertainya baik, maka ia termasuk kategori positif. Kalau sebaliknya, hal itu justru menjadi tercela,44 jika perdebatan lebih mengarah ke pertikaian yang diakibatkan karena perbedaan kepentingan dan mengesampingkan aspek kemanusiaan, bahkan yang terjadi hampir di setiap sudut kehidupan, telah melahirkan hidup tidak sehat.45

Menurut Husayn Yusuf Musa, implikasi mujadalah pada awalnya berkiprah dalam menentang perwujudan yang haq (benar). Kemudian, hal itu dijadikan sebagai pelengkap syari’ah dalam menjelaskan sebagai alasan yang lebih tepat. Menurutnya, mujadalah dipandang terpuji (mahmudah) manakala ia berada dalam konteks menegakkan kebenaran. Kalau tidak, maka ia termasuk yang tercela (mazmumah).

44

Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, h. 34.

45

Syukriadi Sambas, Acep Aripudin, Dakwah Damai (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 39.


(32)

24

Hal serupa dengan konteks mujadalah yang bermaksud menentang kebenaran dengan kebatilan selain yang tersebut di atas dapat ditemukan diseluruh term-term mujadalah dalam al-Qur’an, kecuali pada empat tempat, yaitu: QS. Hud (11/52): 74; Nahl (16/70): 125’ Ankabut (29/85); dan al-Mujadilah (58/105): 1.

Term mujadalah dalam QS. Hud (11/52): 74 menjelaskan dialog (tanya jawab) antara Nabi Ibrahim dengan malaikat tentang siksaan yang akan ditimpakan oleh Allah kepada kaum Lut. Mujadalah (dialog) semacam ini benar-benar dalam konteks melaksanakan perintah Allah, bahkan Nabi Ibrahim bermaksud untuk berusaha mengakhirkan siksa yang akan menimpa kaum Lut dengan penuh kasih sayangnya. Para malaikat berusaha melaksanakan perintah dari Allah. Wal hasil, tidak ada satupun yang dapat menghalangi kehendak Allah, sehingga terjadilah siksaan yang menimpa kepada kaum Lut. Sungguhpun demikian, mujadalah seperti ini bukan sesuatu yang terlarang atau berdosa.

Lebih lanjut, term mujadalah yang berbentuk fi’il amr (verba yang mengandung perintah) ditemukan hanya sekali dalam al-Qur’an, yaitu: QS. al-Nahl (16/70): 125 sebagai berikut:

ْﺎ ر

ﻰ إ عْدا

ﻮھ ر ن إ ْ أ ﻲھ ﻲ ﺎ ْ ﮭْدﺎ و ﺔ ْا ﺔ ﻈ ْﻮ ْاو ﺔ ْ

ﺪ ْﮭ ْﺎ ْ أ ﻮھو ﮫ

ْ ﺿ ْ ْ أ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhamnu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.


(33)

25

Ibn Badis menegaskan bahwa perintah mujadalah dalam ayat di atas menunjukkan kewajiban yang harus ditegakkan oleh orang-orang Islam, sebagaimana kewajiban mereka dalam menegakkan dakwah dengan hikmah

dan mau’izah hasanah. Menurutnya, dakwah merupakan perintah asasi, dasar, esensial (kebutuhan Daruriybi al-zat atau a) sedang mujadalah merupakan perintah yang bersifat aksidental (kebutuhan Aridiy) adalah menangkal dengan cara yang lebih baik terhadap orang-orang yang mengingkari dakwah). Dalam hal ini, al-Raziy menyatakan: dakwah pada bagian penghujung awalnya (al-hikmah) berkaitan dengan kesempurnaan tentang hakekat dan keyakinan, sedang penghujung pada bagian akhir (al-mujadalah) berkaitan dengan kekurangan dalam memperoleh pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan. Dalam pada itu, sesuatu yang berada di antara keduanya (al-maw’izah) bisa terkait dengan bisa terkait dengan hikmah atau dengan al-mujadalah. Mujadalah dalam pendapatnya terbagi atas dua bagian. Pertama , mujadalah dengan menggunakan argumentasi yang populer dan berpredikat baik. Kedua, mujadalah dengan menggunakan argumentasi yang rusak dan salah, demikian pula tentang cara-cara yang ditempuhnya.46

Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa metode dakwah itu hanya dua saja, yaitu hikamah dan mauidzah hasanah, sedangkan metode diakusi (mujadalah) yang baik atau terbaik hanyalah diperlukan untuk menghadapi onyek dakwah yang bersifat kaku dan keras, sehingga ia mungkin mendebat, membantah dan sebagainya. Dengan kata lain debat adalah mempertahankan pendapat dan ideologinya itu diakui kebenaran dan

46


(34)

26

kehebatannya oleh musuh (orang lain).47 Pendapat ini barangkali berangkat dari sebuah persepsi bahwa dakwah itu bersifat ofensif karena berupa ajakan atau mengundang pihak lain, sehingga relevan bila menggunakan metode hikmah dan mauidzah hasanah, sementara diskusi (mujadalah) bersifat defensif. Mujadalah yang dimaksud di sini adalah merupakan cara terakhir yang digunakan untuk berdakwah, manakala kedua cara sebelumnya tidak mampu. Lazimnya cara ini digunakan untuk orang-orang yang taraf berpikirnya cukup maju dan kritis seperti Ahli al-Kitab yang memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya48

Term mujadalah dengan berbagai tinjauannya, terutama tinjauan terminologis yang dikemukakan oleh para ahli ilmu agama Islam, kemudian diperkuat melalui pemahaman dari term-term mujadalah dalam al-Qur’an berikut kandungan maknanya, maka secara operasional mujadalah dapat didefinisikan sebagai usaha memperkuat pernyataan yang dipersoalkan dengan menggunakan argumentasi dan tujuan tertentu. Bila argumentasinya logis dan bertujuan menegakkan kebenaran, ia termasuk kategori terpuji

(mahmudah). Sebaliknya, bila argumentasinya emosional dan bertujuan mempertahankan kebatilan, ia termasuk kategori tercela (mazmumah).

Dengan demikina dapat dikatakan bahwa mujadalah pada hakikatnya adalah pernyataan yang sangat kuat. Karena, ia telah diperkuat dengan permasalahan (yang diperselisihkan), argumentasi dan tujuan yang tegas. Pengertian

47

Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, h. 142.

48


(35)

27

operasional ini mengandung beberapa unsur pokok dan maksud sebagai berikut:49

a. Usaha sekelompok orang dalam menghadapi sesuatu yang dipermasalahkan. Termasuk di dalamnya mencakup kelompok tertentu, materi dan permasalahannya.

b. Cara-cara yang dipergunakan untuk menyampaikan pendapat atau gagasan, baik berupa sikap, ucapan, tulisan, analogi, pencegahan atau penangguhan terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini, ia meliputi mufawadah, muhawarah, munazarah, musyawarah, munaza’ah, mukhasamah dan mumarah.

c. Argumentasi atau hujjah dalam berpendapat, baik yang bersifat mendukung atau menolak argumentasi lainnya sekaligus berakhir dengan suatu kesimpulan tertentu.

d. Etika dan aturan-aturan yang terkait dengan berlangsungnya mujadalah.

e. Tujuannya bisa mengarah pada sesuatu yang positif maupun negatif.

2. Metode dan Teknik Mujadalah

Abd al-Badi Saqr memberikan saran-saran kepada juru dakwah yang terlibat dalam mujadalah, yang antara lain dapat disarikan sebagai berikut. 1. Mempersiapkan pendirian dan menyampaikan dengan perkataan yang

sebaik-baiknya dan tidak berlebihan. Menjauhkan terjadinya perdebatan yang sengit itu lebih baik dari pada ia turut terlibat di dalamnya. Dalam

49


(36)

28

hal yang demikian, hendaknya ia lebih memerankan profesinya sebagai juru dakwah bukan sebagai pembicara-pembicara lainnya.

2. Berkhidmat dalam memberikan jawaban atas pertanyan-pertanyaan adalah suatu tindakan yang bijaksana, demikian pula jawaban yang ringkas lagi padat yang disertai dengan teknik-teknik tertentu yang tajam. Karena itu, jawaban hendaknya sesuai dengan pertanyaan, tidak lebih dan tidak kurang. Jawaban yang sederhana itu hendaknya juga dapat memecahkan persoalan atau masalah, serta dapat mengilhaminya untuk tetap mendapat kemuliaan di kalangan mereka.

3. Tidak mencampuri sesuatu yang bukan bidang spesialisasi anggota diskusi. Sekiranya terpaksa harus mencampurinya, maka perkataan hendaknya disesuaikan serta disertai dengan isyarat atau penjelasan bahwa anda belum mempelajarinya secara detail dan mendalam. Perkataan yang menyatakan saya tidak tahu adalah termasuk sebagian dari ilmu.

4. Lemah lembut dan berhati-hati, yakni menaruh perhatian dan mendengarkan sungguh-sungguh dalam sebuah diskusi agar informasi-informasi yang dikemukakan dalam forum diskusi tersebut menjadi pelajaran bagi anggota diskusi, bahkan seseorang dapat mengambil faedah dari hal tersebut. Dalam pada itu, seseorang anggota diskusi juga harus hati-hati terhadap adanya pancingan-pancingan yang berusaha untuk memperuncing perdebatan yang sengit.


(37)

29

5. Berbudi yang baik, seperti: tidak memutus pembicaraan orang yang sedang berbicara, menyebutkan nama orang dengan sebutan yang sebaik-baiknya dan tidak membeda-badakan antara satu dengan yang lainnya. 6. Kesimpulan dalam diskusi (mujadalah) hendaknya berkecenderungan

memperoleh hasil yang dilakukan dengan tingkatan yang paling utama. Jika melihat pembahasan atau penelitian menuju ke arah tersebut, memang hal itulah yang dikehendaki. Jika tidak, maka diskusi diarahkan pada penarikan kesimpulan secara hati-hati dan tidak menyia-nyiakan waktu dalam mendiskusikan sesuatu yang tidak ada manfaatnya.50

Al-qur’an menggariskan bahwa bahwa salah satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode mujadalah yang lebih baik. Mujadalah dengan metode akhsan ini adalah dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi. Kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaan dari kedua belah pihak, sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula. 51

Mujadalah dalam al-Qur’an dengan metode dialogis dan sebagai etikanya antara lain dapat dicontohkan melalui kisah Nabi Ibrahim dengan orang tuanya sebagaimana tergambar dalam QS. Maryam (19/44): 41-48 yang pada intinya mengandung beberapa pokok pikiran sebagai berikut.

a. Isi materi dari dialog itu singkat, padat, logis, dan sistematis. b. Teknik penyampaiannya diperkuat dengan dalil dan argumentasi,

serta menghindarkan diri dari emosi.

50

Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, h. 147

51


(38)

30

c. Subyek dakwah sudah mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan yang cukup dan iman yang kuat atau tangguh. Hal ini dapat menimbulkan keberanian untuk menghadapi setiap reaksi yang datang dari pihak penerima dakwah.

d. Sikap lemah lembut, baik dalam percakapan maupun dalam tindakan tetap menjadi persyaratan pokok dan paling menentukan.52

Metode dan teknik bermujadalah juga dapat diperhatikan melalui hadits Rasul saw. yang antara lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dari Abu Umamah sebagai berikut.

‘Abu Umamah berkata: Ada seorang pemuda datang menemui Nabi saw seraya berkata: Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku melakukan zina. Orang-orangpun mengerumuni pemuda itu dan membentaknya, seraya berkata: “Muh, muh! (dengan maksud mencelanya). Rasulullah saw seraya bersabda: suruhlah ia mendekatimu. Pemuda itupun mendekati Rasulullah saw sampai benar-benar dekat, kemudian ia duduk. Beliau bertanya kepadanya: “apakah kamu suka jika perzinahan itu dilakukan atas ibumu?”. Ia menjawab; “Tidak, demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu’. Beliau berkata: “begitu pula semua manusia, mereka tak suka hal ittu terjadi pada ibu mereka. Lalu, beliau berkata lagi; apakah kamu suka hal itu terjadi pada anak putrimu? Ia menjawab: “tidak, demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu”. Beliau berkata: “begitu pula setiap manusia, mereka tidak suka hal itu terjadi pada diri anak putrinya. Beliau berkata: “apakah kamu suka bila hal itu terjadi pada saudara putrimu? Ia menjawab, “tidak, demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu”. Beliau berkata:”begitu pula semua manusia, mereka juga tidak suka hal itu terjadi pada diri saudara putrinya. Beliau berkata: “apakah kamu suka hal itu terjadi pada bibimu (dari ayah)?”. Ia menjawab: “tidak biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu. Beliau berkata: “begitu pula semua manusia mereka juga tidak suka hal itu terjadi pada bibinya (dari ayah)nya. Beliau berkata: “begitu pula semua manusia juga tidak suka hal itu terjadi pada bibinya (dari ibu). Ia menjawab: “tidak, demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu”. Beliau berkata: “begitu pula semua manusia juga tidak

52


(39)

31

suka hal itu terjadi pada bibinya (dari ibu)”. Kemudin beliau meletakkan yangan pada pemuda itu seraya berdo’a : “Ya Allah ! ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan peliharalah kehormatannya”. Selanjutnya pemuda itu tidak pernah berbuat penyimpangan.53

Hadits di atas menunjukkan bahwa dakwah Rasulullah saw. yang secara dialogis tersebut mencakup sikap yang lemah lembut, penuh kasih sayang, sistematis, logis dan efektif serta mencapai hasil yang maksimal.54

Sejak di Mekkah sampai dengan hijrah ke Madinah, Nabi sering berhadapan dengan tamu-tamu maupun kerabat yang datang untuk mempertanyakan berbagai hal, misalnya serombongan tamu yang terdiri dari para pendeta Nasrani Abessinia (Habasyah) yang berjumlah 70 orang. Merka dikirim oleh al Najasyi, raja mereka, juga dari berbagai daerah di luar jazirah Arab. Tamu itu ada yang sudah muslim dan ada yang non muslim. Yang muslim umumnya ingin memperdalam agam Islam langsung dari maka sistem pembelajarannya juga menggunakan dialog dan diskusi-diskusi, sementara yang non muslim banyak berdiskusi dengan Nabi dalam masalah-masalah agama.

Diskusi (mujadalah) yang pernah dilakukan Nabi antara lain dengan kaum musyrikin Mekkah, Yahudi di Madinah, Nasrani dan sebagainya. Pengalaman diskusi Nabi dengan kaum Nasrani dan Najran tentang kedudukan Isa. a. s. Karena mereka tetap meyakini bahwa Isa itu Tuhan, maka Nabi saw. menawarkan untuk mengadakan “perang sumpah”

(mubahalah), akhirnya membuat mereka tidak berani melakukannya dan

53

Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, h. 151.

54


(40)

32

bersedia berdamai dengan Nabi dengan dengan membayar jizyah (iuran keamanan).

Al-qur’an telah memberikan perhatian khusus kepada Ahli al-Kitab yaitu melarang berdebat (bermujadalah) dengan mereka kecuali dengan cara terbaik. Sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Ankabut ayat 46:

يﺬ ﺎ ﺎ آ اﻮ ﻮ و ْ ﮭْ اﻮ ظ ﺬ ا إ ْ أ ﻲھ ﻲ ﺎ إ بﺎ ْا ْھ

أ اﻮ دﺎ و

ْ ْ إ لﺰْ أو ﺎ ْ إ لﺰْ أ

نﻮ ْ ﮫ ْ و ﺪ او ْ ﮭ إو ﺎ ﮭ إو

Artinya: “Dan janganlah kamu sekalian berdebat dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali dengan orang-orang dzalim dari mereka” dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".

Dari ayat tersebut, terlihat bahwa al-Qur’an menyuruh kaum muslimin (terutama juru dakwah) agar berdebat dengan Ahli al-Kitab dengan cara yang baik, sopan santun dan lemah lembut, kecuali jika mereka telah memperlihatkan keangkuhan dan kezaliman yang keluar dari batas-batas kewajaran.

Sayyid Qutub menyatakan bahwa dalam menerapkan metode diskusi (mujadalah) dengan cara yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut:55

55


(41)

33

1. Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekkan, karena tujuan mujadalah bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai kepada kebenaran.

2. Tujuan diskusi (mujadalah) semata-mata untuk menunjukkan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah.

3. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri. Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa tetap dihargai dan dihormati.56 Selain cara mujadalah yang telah disinggung di atas, ada cara lain yang diperuntukkan bagi manusia yang berwatak dan suasana kewajaran (pembangkang). Pada saat tertentu, Rasulullah saw. berhadapan dengan sikap permusuhan dan celaan serta hinaan. Dengan demikian, semestinyalah untuk bersikap tegas pula untuk mematahkan kebatilan mereka hadapkan,57

Syariat Islam berputar pada siklus logika yang benar, pemikiran yang lurus, perdebatan yang lebih baik dan berorientasi pada pencapaian kebenaran demi kebaikan dan kemaslahatan umat, dalam koridor yang diperbolehkan Allah swt. Berikut ini beberapa landasan dan etika berdialog (bermujadalah) menurut Islam.

1. Kejujuran

Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai kebenaran, menjauhu kebohongan, kebathilan dan pengaburan. Al-qur’an menyebutkan berbagai macam dialog yang

56

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, h. 51.

57

Asep Muhyddin, Metode Pengembangan Dakwah, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 84-85


(42)

34

terjadi antara Rasul dan kaumnya, dan antara orang-orang yang berbuat kerusakan. Jika dicermati seseorang akan mendapatkan bahwa orang lain yang cinta kebaikan selalu berkata benar dan menutup rapat pintu kebohongan. Dengan keberanian ini, segala kebatilan akan lenyap. Hal ini dapat dilihat yang terjadi antara Nabi Musa dan Fir’aun dalam al-Qur’an Surah 42-54 dan al-Qur’an Surah al-Syu’ara 10-40.

2. Thematik dan obyektif

Maudhu’iyyah (tematik) dan objektif dalam menyikapi permasalahan, artinya tidak keluar dari tema utama dari sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan mencapai sasaran yang diinginkan. Dan hal ini dapat dilihat pada firman Allah dan sunnah Rasul-Nya, di antaranya QS. al-A’raf 28-29, saba, ayat 3 dan lainnya.

3. Argumentatif dan logis

Diskusi/dialog adalah bertujuan akhir agar lawan menyadari atau mengikuti dari pada apa yang pembicara inginkan. Maka sangatlah nisbi apabila di dalam menyuguhkan bantahan atau alasan tidak masuk akal. Oleh sebab itu jawaban yang argumentatif dan logislah yang mampu membawa lawan untuk menerimanya.

Uraian materi harus sistematis dan logis bermaksud semua atau bagian-bagian yang pembicara uraikan mesti saling terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan (sistem) dan sesuai dengan hukum logika (alur pikiran ilmiah). Tujuannya yaitu untuk membantu membentuk pola pikir


(43)

35

pendengar supaya mudah mendapatkan pengertian dan materi yang pembicara sampaikan.58

Sesorang yang mengerjakan suatu proyek penting yang bersifat membujuk atau argumentatif akan menguraikan konklusi utama dan pokok masalah yang mendukung. Sama seperti seorang pembela yang menguraikan laporan singkat tentang kasus yang dihadapi. Dengan mengikuti garis besar, seorang dengan jelas dapat melihat hubungan antara alasan dan konklusi, dan kemudian memutuskan apakah hubungan tersebut sesuai dengan logika,59

4. Bertujuan untuk mencapai kebenaran

Setiap individu ataupun kelompok harus mencapai satu tujuan yaitu menampakkan dan menjelaskan kebenaran masalah yang diperselisihkan, meskipun kebenaran itu datang dari pihak lawan dialog. Ini dapat kita lihat sahabat Abu Bakar as-Siddiq menerima usulan Umar bin Khattab yang menerima usulan Umar tentang pengumpulan muskhaf al-Qur’an yang sebelumnya Abu Bakar menolaknya.

5. Tawadhu’

Di dalam berdiskusi kadang terjadi rasa ketidaktawadhu’an dalam mengemukakan pendapat atau alasannya, karena ia merasa paling benar, paling bisa, apalagi paling berkuasa. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana Nabi Sulaiman dengan rendah hati menerima alasan seekor

58

Gentasri Anwar, Retorika Praktis Teknik dan Seni Berpidato (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 93-94.

59

Ernest G. Bormann, Nancy C. Bormann, Retorika Suatu Pendekatan Terpadu (PT. Gelora Aksara Pratama, 1991), h. 193.


(44)

36

burung Hud-hud yang saat itu terlambat dalam apel pasukan, dan Nabi Sulaiman mengancam akan menyembelihnya. Akan tetapi, setelah datang burung Hud-huid dengan penuh keberanian berkata, “saya telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui. Mendengar alasan tersebut Nabi Sulaiman menerima dengan tawadhu’ bahkan menyuruh burung Hud-hud untuk menyampaikat surat ke Ratu Bilqis.

Memeberi kesempatan kepada pihak lawan tanpa mengurangi hak bicaranya dan menjelek-jelek kepribadiannya. Di samping itu memberikan kebebasan lawan untuk menanggapi ide-ide dan pikiran yang dituangkan.adalah langkah terpuji yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana Allah memberikan kesempatan kepada iblis untuk mengemukakan alasannya karena tidak mau sujud kepada Nabi Adam. Dan lihat pada contoh Rasulullah dalam berdiskusi seperti telah dijelaskan sebelumnya.60

Oleh karena itu, metode dakwak “Mujadalah/Dialog” yang merupakan bagian integral dakwah, haruslah dipahami sebaik mungkin, agar dalam pelaksanaan sesuai dengan apa yang diharapkan: yaitu pihak lawan mau menerima terhadap argumen-argumen yang diberikan dan akhirnya merubah ataupun mengikuti terhadap dakwah yang disampaikan. Berikut cara atau teknik dalam bermujadalah:

a. Mempersiapkan materi

Tujuan dakwah secara khusus adalah untuk mengembangkan Islam dan merubah perilaku manusia ke jalan yang baik demi

60


(45)

37

kebahagiaan dunia dan akhirat dengan cara mendorong objek dakwah untuk menerima Islam sebagai agama sekaligus pedoman dalam hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, di dalam penggunaan metode mujadalah/dialog ini, hendaklah da’i mempersiapkan sedini mungkin dengan memahami materi (dakwah) sehingga dapat bertindak secara profesional, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan agar argumen yang disampaikan dapat diterima oleh objek dakwah.

b. Mendengarkan pihak lawan dengan arif, bijak dan seksama

Langkah ini diambil agar memberikan kesan yang pertama begitu menggoda, tidak menyinggung perasaan dan akhirnya da’i tidak hanya mengerti akan tetapi memahami terhadap apa yang disampaikan lawan bicara, sehingga langkah ini menentukan terhadap apa yang menjadi argumen da’i berikutnya. Hal ini dicontohkan Allah swt. ketika berdialog dengan malaikat dan iblis (makhluk yang dilaknat Allah) ketika hendak menciptakan manusia dan memberikan sujud (hormat), akan tetapi ternyata Allah seakan-akan mendengarkan dengan seksama, walaupun itu iblis sekalipun (QS. al-Hijr (15): 28-40, surah Shad: 82-83, al-Isra’: 62, an-Nisa’: 119, al-A’raf: 16-17 dan al-Hijr 41-42. Hal ini juga dicontohkan dialog Rasulullah dengan orang musyrik seperti yang disampaikan di atas, serta dicontohkan Nabi Sulaiman saat dialog dengan pasukan semutnya, seperti termaktub di dalam al-Qur’an surah an-Naml (27): 20-23.


(46)

38

Mendengar adalah kegiatan yang lebih dari sekedar mendengar kata-kata yang diucapkan oleh orang lain. Kegiatan ini mengharuskan seseorang sebagai pendengar untuk memusatkan perhatian hanya kepada orang yang sedang berbicara kepada orang itu. Seorang itu harus mendengarkan kata-katanya, juga memperhatikan nada suara, kecepatan, dan emosi yang menyertai kata-kata tersebut. Dengan melakukan hal ini maka anda bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai informasi yang berusaha disampaikan oleh lawan bicara.61

c. Menggunakan ilustrasi, kiasan atau gambaran.

Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yakin terhadap argumen yang di sampaikan. Kata-kata yang sudah umum hendaknya menggantikan istilah-istilah yang masing asing dan belum biasa. Ilustrasi-ilustrasi yang menyolok akan menghilangkan ketegangan mendengar serta memekarkan penalaran. Bahkan analogi-analogi yang bersifat figuratif pun amat berguna untuk menarik perhatian kepada suatu argumen dan dalam pencerahan pikiran, kalau mereka tetap mengarahkan pemikiran menuju keaslian atau ketulenan usul tersebut.62

Ilustrasi berguna untuk melengkapi dan memperjelas setiap uraian pembicaraan alam semesta yang termaktub dalam QS. al-Ghasiyah: 17-20, kisah Nabi Ibrahim ketiak menghancurkan patung sesembahan Raja Namruj lalu membiarkan patung yang lebih besar

61

Stephen R, Seni Mendengar dan Komunikasi yang Efektif, (tt, Klik Publishing 2011), h. 59.

62

Henry Guntur Tarigan, Berbicara Sebagai Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung, 2008), h. 110.


(47)

39

dan dikalungi kampak di lehernya. Ketika Nabi Ibrahim ditanya Raja Namruj, Nabi Ibrahim berkata “patung yang besar itulah yang menghancurkannya”.

Tujuan pembicara memberikan ilustrasi yang tepat adalah untuk menghidupkan materi yang disampaikan dalam hati dan jiwa audience, sehingga pendengar seolah-olah dapat merasakan langsung apa yang disampaikan pembicara. Tapi, jangan memberikan ilustrasi secara sembrono dan ingat waktu yang teredia. Di sini benar-benar dituntut kemampuan seni dari seorang pembicara.63

Di dalam buku ‘Retorika Modern’karangan Jalaluddin Rahmat, dijelaskan bahwa A.R, Sjahab sudah mengembangkan bahasan dengan menggunakan penjelasan contoh dan ilustrasi hipotesis. Semua teknik pengembangan bahasan dapat dikelompokkan dalam enam bahasan.64

1) Penjelasan

Di sini penjelasan berarti keterangan yang sederhana dan tidak terinci. Penjelasan mempersiapkan pendengar kepada keterangan penunjang lainnya.

2) Analogi

Analogi ialah perbandingan antara dua hal atau lebih untuk menunjukkan persamaannya atau perbedaannya. 3) Contoh

63

Gentasari Anwar, Retorika Praktis Teknik dan Seni Berpidato, h. 95.

64


(48)

40

Manusia sukar menerima hal-hal yang abstrak. Contoh dapat mengkongkretkan gagasan, sehingga mudah dipahami. 4) Testimoni

Testimoni ialah pernyataan ahli yang dikutip untuk menunjang suatu pembicaraan.

5) Statistik

Statistik adalah angka-angka yang dipergunakan untuk menunjukkan perbandingan kasus dalam jenis tertentu. 6) Perulangan

Perulangan bukan hanya sekedar menyebut kembali kata-kata yang telah diucapkan, tapi juga menyebutkan gagasan yang sama dan kata-kata yang berbeda.

d. Mematahkan pendapat atau alasan dengan serang balik.

Langkah ini diambil apabila lawan sudah melampaui batas akan tetapi tetap memperhatikan norma-norma dan etika dalam berdialog. Hal ini dapat dilihat kisah Nabi Ibrahim ketika dialog dengan Raja Namruj tentang Tuhan. Ibrahim berkata; “Tuhanku dapat menghidupkan dan mematikan”, Raja Namruj berkata; “Aku bisa menghidupkan dan mematikan” (lalu diperintahkannya dua orang untuk maju di depan raja yang satu dibiarkan hidup dan yang satunya dibunuh), lalu Nabi Ibrahim berkata; “Tuhanku menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah dari barat,” akhirnya raja Namruj terdiam, (dapat dilihat QS. al-Baqarah 258).


(49)

41

Dialog atau diskusi kadang menghadapi pihak lawan yang mudah menerima argumenyang kita sampaikan. Dialog yang demikian kadang terjadi dalam satu agama (seagama) dan tidak fanatik dengan paham yang dianutnya. Dialog yang demikian hanya membutuhkan argumen dari pihak kita atau disebut dengan metode

“apologetik. Akan tetapi, kadang menghadapi pihak lawan yang susah atau tidak mau menerima terhadap argumen yang kita sampaikan dan biasanya dialog ini dilakukan dengan lain agama atau pihak yang fanatik. Oleh sebab itu, sebuah cara berdialog ini harus mempergunakan cara “elentika” atau memberikan argumen dengan cara argumen dari pihak lawan.

f. Jangan marah

Sesorang diskusi/dialog kadang-kadang dihadapkan dengan persoalan yang rumit di mana lawan bicara tidak mau menerima atau bahkan mencaci terhadap da’i. oleh karena itu, da’i tidak boleh terpancing untuk marah. Karena yang terjadi adalah kebuntuan dialog tersebut, dan ini berarti kebuntuan dakwah. Padahal tidak ada kata berhenti dalam dakwah, walaupun dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Oleh karena itu, da’i tetap pada konsentrasi, menyejukkan dan tidak boleh terpancing. Apabila mereka tidak mau menerima pendapat (al-Qur’an dan al-Hadits) maka kembalikan sepenuhnya kepada Allah. Seperti halnya QS. al-Ankabut: 46, dan


(50)

42

dialog Rasulullah saw. dengan orang kafir yang akhirnya turun surah al-Kafirun.65

Dengan demikian, jelaslah etika dan cara dakwah yang Qur’ani yang harus menjadi pegangan setiap da’i dalam melakukan tugas dakwahnya, sesuai kondisi yang dihadapi, yaitu sifat arif dan lembut, atau keras dan kasar. Dengan cara demikian, dakwah akan muncul ke permukaan. Orang mukmin pun akan terikat dan mendorong para penentang dakwah untuk mengakui kebenaran dakwah yang disampaikan kepada mereka.66

3. Tujuan Mujadalah

Tujuan mujadalah pada khususnya ialah berusaha untuk menghindarkan berbagai malapetaka yang akan menimpa pada seseorang atau kaum tertentu. Hal ini antara lain tergambar pada usaha-usaha nabi Ibrahim untuk menunda bencana yang akan ditimpakan oleh Allah kepada kaum Lut dengan harapan agar mereka itu diberi kesempatan untuk beriman dan bertaubat dari berbagai penyimpangan sebagaimana yang terkandung QS. Hud (11/52): 73-73.

Menurut tafsir an-Nasafy tujuan mujadalah diharapkan bisa menyadarkan hati membangunkan jiwa dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.67 Dalam konteks dakwah, para ahli tafsir berlainan pendapat ketika

65

M. Munir (ed.), Metode Dakwah (Jakarta: Kencana, 2009), h. 334.

66

Asep Muhyddin, Metode Pengembangan Dakwah, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 87.

67


(51)

43

menentukan tujuan yang dicapai dalam mujadalah, terutama ketika menjelaskan. Terhadap kandungan QS. al-Nahl (16/70): 125. Sungguhpun demikian, tampaknya pendapat mereka itu saling terkait dan melengkapinya. Dalam hal ini, al-Barusawiy menjelaskan bahwa mujadalah dimaksudkan untuk menerangkan kebenaran seseorang yang menentangnya dengan cara-cara yang lebih sempurna. Menurut al-Maraghiy, tujuan mujadalah ialah untuk memuaskan orang-orang yang menentang. Tujuan itu menurut Sadiq Hasan Khan adalah untuk menolak orang-orang yang sudah tidak berkenan menggunakan munazarah dalam agama.

Hal serupa dikemukakan oleh Badis. Menurutnya tujuan mujadalah dalam dakwah untuk menangkal dan menolak dengan cara-cara yang paling baik terhadap orang-orang menentang dan melawan dakwah, tterutama ketika berhadapan dengan lawan-lawan yang menggunakan cara-cara kebatilan untuk mematahkan dan menghancurkan dakwah. Misalnya mereka yang terkandung dalam QS. al-Mu’min (40/60):5 dan QS. al-Taubah (9/113): 67. QS. al-Mu’min tersebut menggambarkan orang-orang kafir yang selalu berusaha untuk menghancurkan kebenaran dengan kebatilan. Sedang, QS. at-Taubah ayat 67 mencerminkan orang-orang munafik baik laki-laki maupun perempuan yang sama-sama berusaha untuk melakukan kemungkaran dan mencegah yang makruf.68

Usaha-usaha orang kafir dan munafik tersebut sudah jelas berlawanan dan bertolak belakang dengan aktivitas dakwah dan usaha-usaha orang yang beriman, yaitu memerintah yang makruf dan mencegah yang mungkar. Hal

68

Aswadi Syuhadak, “Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah” (Gresik: Dakwah Digital Press, 2007), h. 150.


(52)

44

ini antara lain tercermin dalam QS. Ali Imran (3/89): 104 dan 110 serta QS. at-Taubah (9/114):71. Lebih al-Qasimiy menegaskan bahwa tujuan mujadalah dalam dakwah ialah menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan serta bukan tujuan lainnya. Oleh karena itu, metode alternatif ini mengajak dan menyadarkan para juru dakwah untuk menghadapi berbagai realitas tantangan yang akan dihadapinya, yakni beragam sifat mad’u dalam menanggapi seruan ke jalan Ilahi. Ada yang bersikap menerima (mu’min), acuh tak acuh, bahkan menolak secara terbuka (kafir), dan ada pula yang menolak secara diam-diam.69

Al-Qurtubiy menegaskan tujuan mujadalah sehubungan dengan QS. al-Ankabut (29/85): 46, yaitu menyeru kepada ahli kitab menuju jalan Allah swt. dengan memberikan peringatan, hujjah dan ayat-ayat Allah, serta mengharap agar mereka berkenan untuk beriman, bukan melalui jalan kekerasan dan kebengisan.

Sesungguhnya dakwah yang dilakukan Nabi-Nabi (seperti Musa a.s dan para Rasul sesudahnya, sampai kepada Nabi Muhammad saw.) adalah merupakan mata rantai yang tidak terputus karena berasal dari Tuhan yang satu, dan punya tujuan satu yaitu mengembalikan manusia yang sesat dan menuntun mereka ke jalan Allah serta mendidik mereka dengan ajaran-Nya.70

Keterangan di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa tujuan aktivitas mujadalah dalam dakwah adalah pertahanan yang kuat bagi orang-orang yang berda di jalan Allah swt. dengan berusaha menolak orang-orang-orang-orang yang menentang-Nya melalui cara-cara yang terbaik dan memuaskan serta

69

Asep Muhyddin, Metode Pengembangan Dakwah, h. 84.

70


(53)

45

mengharap kepadanya agar mereka bersedia untuk kembali di jalan Allah swt sehingga mereka itu benar-benar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat sebagaimana tercermin di penghujung akhir QS. Ali Imran (3/89): 104, yaitu “merekalah yang beruntung”.

Tujuan dialog terpuji (mujadalah) pertama kali dimaksudkan bukan mengajak mereka beriman dalam arti mengimani kerasulan Nabi Muhammad saw. tapi untuk berislam, hidup damai berdampingan dengan umat muslim dan bersama mewujudkan kehidupan manusiawi dan beradab. Tujuan dialog (mujadalah) ini adalah mencari titik temu (common platform, arab: kalimat al-sawa). Yang dapat mempererat kebersamaan di tengah banyaknya perbedaan atau pertentangan.71

4. Mujadalah dalam Dakwah

Pengertian mujadalah dalam dakwah sekaligus unsur-unsur yang terkandung di dalamnya menunjukkan adanya sebuah proses dalam dakwah, karena proses itu sendiri pada dasarnya dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan atau perbuatan yang mengandung maksud tertentu. Proses mujadalah yang dimaksud dalam bagian ini adalah rangkaian unsur-unsur mujadalah dalam rangka menegakkan kebenaran di jalan Allah swt. Sungguhpun demikian, unsur-unsur mujadalah juga dapat diperkuat malalui analisis terhadap QS. al-Nahl (16/70): 125.

Sebagaimana yang telah disinggung ketika dibahas pengertian

mujadalah pada sub bab di atas, bahwa huruf dalam klausa berfungsi sebagai ‘atf (kata penghubung) antara perintah mujadalah dengan

71

Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwa: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 1011), h. 207.


(1)

166

Tabel 4.1

Komparasi Teknik Mujadalah Dr. William Campbell dan Dr. Zakir Naik Temuan Dr. William Campbell Dr. Zakir Naik

Argumentasi diperkuat dengan dalil Ilustrasi Mematahkan Pendapat/Alasan dengan Serang Balik

Apologetik dan Elentika

Hampir seimbang antara penggunaan argumentasi dari pikiran (intuisi) dari pada kitab suci/wahyu (otoritas). Atau cenderung lebih banyak menggunakan argumentasi dari hasil pemikiran, buku-buku dan hasil penelitian.

Jarang memberikan ilustrasi dan lebih sering memberikan suatu fakta maupun bukti secara langsung.

Seringkali mematahkan pendapat dan alasan dengan serang balik.

Lebih banyak menggunakan argumentasi dari pihak sendiri (Apologetik) dari pada argumentasi dari pihak lawan (Elentika).

Seimbang antara penggunaan argumentasi dari kitab suci (wahyu) atau keseimbangan antara argumentasi yang merujuk dari al-Qur’an, Hadits maupun Injil dan argumentasi dari pemikiran sendiri (intuisi)

Sering memberikan ilustrasi dalam meyakinkan argumen yang disampaikan. Terutama saat menjawab sanggahan dari lawan.

Seringkali mematahkan pendapat/alasan dengan serang balik.

Lebih banyak menggunakan argumentasi dari pihak lawan (Elentika) dari pada

argumentasi dari pihak sendiri (Apologetik).


(2)

167

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah, pembahasan data yang telah diperoleh

serta analisa data yang dilakukan secara mendalam, maka peneliti

menemukan kesimpulan bahwa:

1. Teknik mujadalah yang dilakukan oleh Dr. William Campbell

meliputi; teknik penyampaian yang diperkuat dengan dalil, persiapan

materi, bahan pendukung yang argumentatif, menggunakan

ilustrasi/kiasan/gambaran, mematahkan pendapat atau alasan dengan

serang balik, metode apologetik dan elentika serta thematik dan

obyektif.

2. Teknik mujadalah yang dilakukan oleh Dr. Zakir Naik meliputi;

teknik penyampaian yang diperkuat dengan dalil,

Ilustrasi/kiasan/gambaran, mematahkan pendapatatau alsan dengan

serang balik, argumentatif dan logis, suara keras dan jelas, sistematis

dan logis, apologetik dan elentika.

3. Perbandingan antara teknik mujadalah Dr. Zakir Naik dan Dr. William

Campbell menunjukkan bahwa, keduanya sama-sama menggunakan

teknik penyampaian yang diperkuat dengan dalil. Namun ada

perbedaan yang menunjukkan bahwa Dr. Zakir Naik lebih

menyeimbangkan antara argumentasi dari pikiran (intuisi) sendiri dan

dalil al-Qur’an, Injil dan Hadits (otoritas). Sedangkan Dr. William

Campbell lebih cenderung menggunakan argumentasi pikiran (intuisi)


(3)

168

dari para ilmuwan yang dikembangkan bahasannya dengan ilustrasi,

gambaran dan kiasan. Keduanya menggunakan teknik mematahkan

pendapat/alasan dengan serang balik. Dalam hal menyanggah

argumentasi, Dr. William Campbell lebih menggunakan argumentasi

dari pihak sendiri (Apologetik) dari pada argumentasi dari pihak lawan

(Elentika). Lain halnya Dr. Zakir Naik yang cenderung lebih

menggunakan metode Elentika dari pada Apologetik.

2. Saran

1. Kajian keilmuan semacam ini hendaknya terus dikembangkan dan

ditingkatkan sehingga dapat menjadi bekal terkhusus bagi para juru

dakwah untuk lebih menguasai teknik debat (mujadalah) yang sesuai

dengan norma-norma dan nilai-nilai agama. Sehingga diharapkan

dapat menciptakan debat (mujadalah) yang tidak semakin lama

semakin kurang sehat dan menimbulkan pertikaian.

2. Hendaknya penelitian selanjutnya adalah penelitian yang lebih

mendalam pada masing-masing unsur teknik mujadalah seperti halnya

(teknik penyampaian yang diperkuat dengan dalil, mematahkan

pendapat/alasan dengan serang balik, ilustrasi, serta metode

Apologetik dan Elentika). Sehingga dapat ditemukan variasi-variasi


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, Gentasri, Retorika Praktis Teknik dan Seni Berpidato, 1995, Jakarta: Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, 2010,Yogyakarta: Rineka Cipta

Aripudin Acep, Pengembangan Metode Dakwah, 2011, Jakarta: Rajawali Pers

Aziz Abdul Dkk, Jelajah Dakwah, 2006, Yogyakarta: Gama Media

Aziz, Moh. Ali, Ilmu Dakwah, 2009, Jakarta: Kencana

Aziz, Moh. Ali, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, 2014, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi, 2008, Jakarta: Kencana

Bormann, Ernest, G. Nancy, Bormann, C., Retorika Suatu Pendekatan Terpadu, 1991, PT. Gelora Aksara Pratama

Dewi, Fitriana Utami, Public Speaking, 2013, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Husaini, Usman dan Purnomo, Akbar, Setiadi, Metodologi Penelitian Sosial, , 1996, Jakarta: Bumi Aksara

Ismail, Ilyas dan Hotman, Prio, Filsafat Dakwa, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, 2011, Jakarta: Kencana Predana Media Group

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, 1991, Jakarta : PT Gramedia

Muhyddin, Asep, Metode Pengembangan Dakwah, 2002, Bandung: CV Pustaka Setia

Mulyana Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, 2008, Bandung: Widya Padjadjaran

Munir M, Metode Dakwah, 2009, Jakarta: Kencana


(5)

Muriah, Siti, Metodologi Dakwah Kontemporer, 2000,Yogyakarta: Mitra Pustaka

Nawawi Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, 1985, Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Rahmat, Jalaluddin, Retorika Modern, 2012, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

R. Stepen, Seni Mendengar dan komunikasi yang Efektif, 2011, Pepustakaan Nasional: Klick Publishing

Rubba, Sulhawi, Islamisasi ala Indonesiawi, 2014, Sidoarjo: Garisi

Sambas, Syukriadi, Aripudin, Acep, Dakwah Damai, 2007, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Saputra, Wahidin, Pengantar Ilmu Dakwah, 2011, Jakarta Rajawali Press

Shihab, M. Quraish, Membumikan Alqur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,1995, Bandung: Mizan

Sukayat, Tata Quantum Dakwah, 2009,Jakarta: Rineka Cipta

Sulthon, Muhammad, Desain Ilmu Dakwah, 2007,Semarang: Pustaka Pelajar

Surwandono dan Ahmadi, Sidiq, Resolusi Konflik di Dunia Islam, 2011, Yoyakarta: Graha Ilmu

Syarif, N. Faqih, Kiat Menjadi Da’i Sukses, 2015, Bandung: Remaja Rosda Karya

Syuhadak, Aswadi, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, Debat Diskusi Musyawarah Perspektif Al-Qur’an, 2007, Gresik: Dakwah Digital Press

Syukur, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, 1983, Surabaya: Al-Ikhlas

Tarigan, Henry Guntur, Berbicara Sebagai Keterampilan Berbahasa, 2008, Bandung: Penerbit Angkasa Bandung

Tim Penyususn, Panduan Penulisan Skripsi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, 2012, Surabaya: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Usman, Husaini dan Setiadi Akbar, Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial,1996, Jakarta: Bumi Aksara


(6)

Non Buku

Alfurqandahsyat.com/vcd-kristologi/vcd-debat-alquran-injil.

Dr. Zakir Naik:”Ancaman Terbesar Islam bukan Kristen, Tapi sekulerisme”.www.suaramedia.com.

http://Wikipedia.org/wiki/Zakir_Naik. Religios Dialogue of Spiritual Elightenment.

Khaled Ahmed (2006-01-08) WORD FOR WORD: William Campbell versus Zakir Naik Daily Times. Retrieved on 2009-07-30.