Contoh Makalah Tentang Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS

(1)

MAKALAH HIV Kelompok D4

Pembimbing : Dr.Yanti

Allya Inayatul R 1310211003 Nabila Tiara S 1310211010 Okkie Sena 1110211032

Zenia Ladia 1310211043

Khairunnisa Adawiyah 1310211084

Annisa Nahlia 1310211199

Aulia Khairunnisa 1310211114

Mulki Hakam 1310211122

Akahfi Harifudin 1310211138 Gita Kristy Saraswati 1310211164 Sekar Putri Andini 1310211175

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL“VETERAN” JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami tutorial D4selaku penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah ini kami lakukan untuk pembelajaran dan memenuhi standar penilaian dan juga sebagai acuan belajar kami untuk ujian SOCA.Makalah ini berisi materi mengenai Leukemia. Dalam proses penyusunan laporan ini kami telah memperoleh banyak dorongan dan bantuan baik berupa bimbingan maupun berupa sumbangan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat dr. YantiHarjono H, MKM selaku pembimbing tutorial D4, serta rekan-rekan lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritikdan saran yang bersifat membangun.

Kami berharap, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami sendiri sebagai penyusun pada khususnya. Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan.Terimakasih.


(3)

Tutorial D4

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan krisis dalam berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan.

Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.

Seseorang yang mengidap penyakit HIV tidak selalu terkena infeksi oportunistik. Resiko infeksi ini dapat dicegah dengan tetap menjaga kebersihan dan menghindari

sumber kuman. Selain itu, dengan meminum obat yang dipergunakan untuk meningkatkan imunitas mencegah terjadinya infeksi oportunistik ini. Cara terbak untuk mencegah IO adalah adalah dengan penggunaan ART.


(4)

B. Tujuan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi serangkaian tugas dari case “Human Imunodefiency Virus”. Selain itu juga untuk menambah ilmu pengetahuan, dan sebagai media untuk belajar bagi yang membacanya.


(5)

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

B. BASIC SCIENCE

VIRUS HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS)

 Termasukkedalam virus RNA  Famili Retrovirus - Lentivirus SIFAT-SIFAT PENTING

- RNA

• Rantai tunggal

• Terdiri dari dua molekul polaritas negatif yang identik VIRION


(6)

• Simetri kapsid ikosahedral

• Virion tersusun atas tujuh jenis protein utama

• Diameter virion 80-130 nm

• Morfogenesis virus terdiri melalui proses budding di membran plasma

SIFAT-SIFAT UMUM  Virus RNA berinti tunggal

 Berat molekul sebesar 6-10 x 106 Dalton  Besar partikel virus adalah 100 nm

 Punya peplos atau selubung dengan nukleokapsid yang terbentuk ikosahedral  Punya enzim reverse transcriptase (RT), yaitu enzim polimerase DNA SIFAT-SIFAT KHUSUS

 Morfologi

- Membentuk tonjolan pada permukaan sel.

- Virion matang bentuknya hampir bulat

- Selubung luar atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis-ganda yang banyak mengandung tonjolan protein.

- Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein : gp120 dan gp41. (gp=glikoprotein, nomer=masa protein dalam ribuan dalton)

- Gp120 selubung permukaan eksternal duri Gp41 bagian trans membran

- Ada protein matriks p17 mengelilingi segmen bagian dalam membran virus

- Inti di keliling oleh p24

- Di dalam kapsid p24 terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase, integrase, dan protease yang sudah terbentuk.

 Densitas

1,16-1,17 dalam gradien sukrosa  Struktur anti genik


(7)

Ada HIV-I DAN HIV-II yang mempunyai persamaan spesifik terhadap limfosit T4  Asam nukleat

Mempunyai RNA yang terdiri dari dua subunit identik (9200 pasang basa) dengan tiga gen utama (gag, pol, dan env) serta beberapa gen tambahan (LTR, tat, rev, vif, vpr, vpu, dan nef)

MEKANISME INFEKSI

IMUNOLOGI DASAR Pendahuluan

Imunologi (imun: kebal dan logos: ilmu) : ilmu yang mempelajari kekebalan tubuh.


(8)

Imunitas

: perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sistem imun

: Sel-sel dan molekul yang terlibat dalam perlindungan Respon imun

: respon untuk menyambut agen asing (antigen), misalnya virus.

Beberapa agen asing seperti allergen dapat menyebabkan penyakit sebagai konsekuensi akibat menginduksi respon imun.

Klasifikasi:

-pengenalan self dan non-self.

-imunitas umum dan spesifik = alamiah dan adaptif = bawaan dan didapat, -imunitas seluler dan humoral

Komponen Darah

- ERITROSIT (SEL DARAH MERAH): 5.0x106/mm3 - TROMBOSIT (PLATELET) : 2.5x105/mm3 - LEKOSIT (SEL DARAH PUTIH) : 7.3x103/mm3

- GRANULOSIT: -NETROFIL : 50-70% -EOSINOFIL : 20-40%

-BASOFIL : 1-6%

- AGRANULOSIT : -LIMFOSIT : 1-3% -MONOSIT : <1%


(9)

BARRIER ANATOMI Faktor Mekanis

BAWAA

DIDAPAT

IMUNITAS

BAWAAN

BARIER

ANATOMI

BARIER

SELULER

BARIER

HUMORAL

Biologis

Mekanis

Kimiawi

Komplemen

Laktoferin&Transf

erin

Interferon

Lisozim

Interleukin

Neutrofil

Makrofag

Sel NK &

LAK

Eosinofil


(10)

Contoh:

• Jaringan epitel (kulit dan mukosa) sangat impermeabel terhadap agen-agen infeksi, kecuali jika terjadi kerusakan, misalnya terluka. Desquamasi kulit melepaskan bakteri dan agen lainnya.

Gerakan:silia, batuk dan bersin

Aliran:air mata, saliva dan urin

Mukus: pada saluran pencernaan dan pernafasan

Peristaltik: membebaskan saluran pencernaan dari mikroorganisme Faktor Kimiawi

Contoh:

Sekresi lambung, sekresi vaginal dan keringat bersifat asam (pH<7)

menghambat pertumbuhan bakteri

Enzim-enzim perncerna protein dapat membunuh beberapa patogen

• Folikel rambutsebum dengan kandungan asam laktat dan asam lemak yang dapat menghambat bakteri patogenik dan jamur.

Lisozim dan fosfolipase pada saliva, air mata, sekresi hidung, dan perspirasi :enzim yang merusak dinding sel bakteri Gram positif sehingga sel mengalami lisis.

Surfaktan pada paru beraksi sebagai opsonin yang memicu fagositosis partikel oleh sel-sel fagosit

Faktor Biologis Contoh:

Flora normal (mayoritas bakteri) pada kulit dan saluran pencernaan mencegah kolonisasi bakteri patogenik dengan mengeluarkan substansi toksik atau dengan bersaing

mendapatkan nutrien.

Flora normal menciptakan kesesuaian ekologis dalam tubuh, dan menghasilkan baktoriosidin, defensin, protein kationik dan laktoferin yang merusak bakteri lain.


(11)

BARRIER HUMORAL Sistem Komplemen

• Mekanisme pertahanan non spesifik humoral utama

• Terdiri atas >20 protein, yang dapat diaktifkan untuk merusak bakteri.

• Sekali komplemen diaktifkan maka dapat memicu peningkatan permeabilitas vaskuler, rekrutmen fagosit serta lisis dan opsonisasi bakteri.

• Menyelubungi mikroba dengan molekul-molekul yang membuatnya lebih mudah ditelan oleh fagosit.

• Mediator permeabilitas vaskuler meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga dapat menambah aliran plasma dan komplemen ke lokasi infeksi, juga mendorong

marginasi (fagosit menempel di dinding kapiler). Sekali fagosit bekerja, mereka akan mati. Sel-sel mati ini bersama jaringan rusak dan air membentuk pus


(12)

Sistem Koagulasi

Produk sistem koagulasi:

• mampu meningkatkan permeabilitas vaskuler

• agen kemotaksis untuk sel-sel fagositik.

• anti mikrobial langsung, misalnya beta-lisin (protein yang dihasilkan oleh trombosit selama koagulasi)

• menyebabkan lisis beberapa bakteri Gram positif dengan aksi sebagai detergen kationik.

Laktoferin dan Transferin


(13)

jenis protein ini merupakan nutrien esensial bagi bakteri). Lisozim

Lisozimmerusak dinding sel bakteri Interferon

Interferon adalah protein yang dapat membatasi replikasi virus di dalam sel BARRIER SELULER

Netrofil

• Merupakan sel pertama yg dikerahkan ke tempat bakteri masuk dan berkembang.

• Biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 7-10 jam sblmberigrasi ke jaringan.

• Lisosom ada hidrolase asm, mieloperoksidase, dan lisozim+laktoferin


(14)

• Merupakan sel fagosit yg didistribusikan secara luas sekali di organ limfoid atau organ lainnya.

• Monosit memiliki beberapa fungsi: - Fagositosis/bakterisidal - Aktivasi vaskuler sel epitel - Antiviral

- Anti-tumor

- Presentasi limfosit dan aktivasi limfosit - Produksi komponen komplemen

- Modelling dan perbaikan jaringan Makrofag

-Merupakan monosit yang terus hidup dalam jaringan lalu kemudian menetap

-Berbentuk khusus yang bergantung dari jaringan yg ditempati, dan dinamakan sesuai dgn lokasi jaringan:

- usus:makrofag intestial

- kulit: sel dendritik atau sel Langerhans - paru: makrofag alveolar(sel Langhans) - jaringan ikat: histiosit

- hati: sel Kuppfer - ginjal; sel mesangial - otak: sel mikroglia - tulang: osteoklas Eusinofil

• Juga bisa sebagai agen fagositik

• Mengandung granul (MBP, ECP, EDN, EPO) bersifat toksismenghancurkan sel sasaran


(15)

• Eosinofil memiliki protein di dalam granula sel yang efektif untuk membunuh parasit-parasit tertentu.

• Fungsi lain: memakan kompleks antigen-antibodi Basofil

• Mrpkn agen granulosit paling sdiki ditemukan di dalam tubuh (<0,5%)

• Granul2nya mengandung histamin, heparin, leukotrien, dan ECF.

• Degranulasinya dipacu oleh peningkatan IgE Sel NK

• Sel NK merupakan limfosit granular besar yg membunuh sel sasaran melalui ADCC atau lisis yang menggunakan mekanisme melalui Fas atau perforin


(16)

SISTEM IMUN DIDAPAT

Sel T

Sel T killer

Sel T Helper

Sel T

Memor

SEL T

SEL B

Sel B Plasma

Sel B

Memor

IMUNITAS

DIDAPAT


(17)

Ada beberapa macam sel T:

Sitotoksik atau Sel T Killer (CD8+) :

mengeluarkan limfotoksin yang menyebabkan lisis sel.

Sel T Helper (CD4+) :

pengelola, mengarahkan respon imun.

mengeluarkan limfokin yang merangsang sel T Killer dan sel B untuk tumbuh dan membelah diri,

memicu netrofil,

memicu makrofag untuk menelan dan merusak mikroba.

Sel T Supressor:

menghambat produksi sel T Killer jika tak dibutuhkan lagi.

Sel T Memory:

mengenal dan merespon patogen Sel B

Sel B : limfosit yang memainkan peran penting pada respon imun humoral yang berbalik pada imunitas selular yang diperintah oleh Sel T.

• Fungsi utama sel B adalah untuk membuat antibodi. Sel B adalah komponen sistem kekebalan tiruan.

KELAS KELAS IMUNNOGLOBULIN

• IgG proporsi 76%

• IgM proporsi 8%

• IgA proporsi 15%

• IgD proporsi 1%


(18)

IgG

• Rantai berat gamma

4 subkelasIgG1, IgG2, IgG3 dan IgG4.

• Terbanyak pada serum, terbanyak pada daerah ekstravaskuler

• Transfer plasentalSatu-satunya Ig yang dapat menembus barier plasenta menuju janin dan memberikan imunitas pada masa-masa awal kehidupan bayi.

• Mengikat komplemen.

• Berikatan dengan sel (makrofag, monosit, netrofil dan beberapa limfosit memiliki Fc reseptor yang berikatan dengan regio Fc pada IgG). Sel yang terikat IgG lebih mengenal antigen. Ig menyiapkan antigen agar mudah ditelan oleh fagosit. Opsonin IgM

• Rantai berat Mu

• Imunoglobulin terbanyak ketiga dalam serum

Igpertama dibuat oleh fetus. (Ig pertama dibuat oleh sel B virgin saat distimulasi oleh antigen).


(19)

• Pengikat komplemen terbaikberstruktur pentamer. Maka IgM sangat efisien untuk melisiskan mikroorganisme

• Fungsi aglutinasi terbaik karena berstruktur pentamer. Oleh karena itu IgM sangat membantu untuk menggumpalkan mikroorganisme untuk dikeluarkan

• Berikatan dengan beberapa sel

• Merupakan Ig pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen. IgA

• Rantai berat alfa

2 subkelasIgA1 dan IgA2.

Ig terbanyak kedua dalam serum

Ig terbanyak pada sekresi (air mata, saliva, kolostrum, mukus). IgA penting untuk imunitas lokal.

• Tidak mengikat komplemen

• Berikatan dengan beberapa sel (netrofil dan limfosit) IgD

• Rantai berat delta.

• berjumlah sedikit dalam serum

• Secara primer IgD ditemukan pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen.

• Tidak mengikat komplemen IgE

• Rantai berat epsilon.

• Paling sedikit terdapat dalam serum.

• Terikat sangat kuat dengan Fc reseptor basofil dan mast cell sebelum berinteraksi dengan antigen.

• Terlibat dalam reaksi alergi (akibat terikat kuat dengan basofil dan mast cell). Pengikatan alergen ke IgE pada sel menimbulkan pelepasan berbagai mediator yang mengakibatkan gejala alergi.


(20)

• Melawan parasit cacing. Eosinofil berikatan dengan IgE kemudian menyelubungi cacing lalu membunuhnya.

• Tidak mengikat komplemen KONSEP IMUNODEFISIENSI

GAMBARAN UMUM DEFISIENSI IMUN Definisi imun –curiga bila :

–↑kerentanan terhadap infeksi rekuren, kronis dgn ciri- ciri : •Sebab tidak biasa (oportunistik)

•Flora normal

•Mikroba lingkungan biasa

–Respon buruk terhadap terapi antibiotik ppp •Manifestasi lain berupa :

– Diare kronis

–Hepato –splenomegali

–Autoantibodi atau penyakit autoimun

•Defisiensi imun :

a.Primer, dengan dasar genetik, relatif jarang

b.Sekunder, lebih sering, ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir •Tersering mengenai : (peny yg menyertai)

a.Sel limfosit B : infeksi bakteri rekuren spt otitis media, pneumonia rekuren b.Sel limfosit T : kerentanan meningkat thd virus, jamur dan protozoa

c.Fagosit : infeksi sistemik oleh bakteri yg dalam keadaan biasa mempunyai virulensi rendah, infeksi bakteri piogenik


(21)

1. Defisiensi komplemen

•Komponen komplemen diperlukan untuk ppp membunuh kuman, opsonisasi,

kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi •Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat spt infeksi bakteri yg rekuren

dan peningkatan sensitivitas thd penyakit autoimun •Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter

•Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung dari komponen yg kurang

a. Defisiensi komplemen kongenital

1. Defisiensi inhibitor esterase C1 (C1 INH ( deficiency) •->angioedem herediter : edem lokal sementara seringkali

•Menimbulkan aktivitas C1 tdk dapat dikontrol dan produksi kinin yg meningkatkan permeabilitas kapiler

•C2a dan C4a juga dilepas yg merangsang sel mast melepas histamin di daerah dekat trauma yg berperan pada edem lokal

•Kulit, saluran cerna dan nafas dapat terkena dan menimbulkan edem laring yg fatal 2. Defisiensi C2 dan C4

•Penyakit serupa LES, disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yg komplemen dependen

3. Defisiensi C3

•Reaksi berat yg fatal terutama yg berhubungan dgn infeksi piogenik spt streptokok dan stafilokok

4. Defisiensi C5


(22)

5. Defisiensi C6, C7, C8

•Kerentanan thd septikemi meningokok dan pg gonokok •infeksi neseria, sepsis, artritis dan ↑ DIC

b. Defisiensi komplemen fisiologik

•Ditemukan pada neonatus : kadar C3, C5 dan faktor B masih rendah c. Defisiensi komplemen didapat

•Disebabkan oleh depresi sintesis

• Misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein / kalori •Meningkat resiko infeksi salmonela dan pneumokok i.Defisiensi Clqrs

•Terjadi bersamaan dgn penyakit autoimun (LES) •Sangat rentan thd infeksi bakteri

ii.Defisiensi C4

• Ditemukan pd beberapa penderita LES iii.Defisiensi C2

•Paling sering terjadi •Terdapat pd penderita LES iv.Defisiensi C3

• Infeksi bakteri rekuren

•Pada beberapa penderita disertai dgn glomerulonefritik kronik v.Defisiensi C5-8

•Kerentanan yg meningkat thd infeksi terutama Nesseria vi.Defisiensi C9

•Sangat jarang

•Tidak menunjukkan infeksi rekuren, mungkin karena lisis masih dapat terjadi walau pengaruh C8 tanpa C9 meskipun perlahan-lahan


(23)

2. Defisiensi interferon dan lisozim a.Defisiensi interferon kongenital

•Dapat menimbulkan infeksi mononukleosis ygfatal yg fatal b.Defisiensi interferon dan lisozim didapat

Dapat ditemukan pada malnutrisi protein / kalori

3. Defisiensi sel NK a.Defisiensi kongenital

•Telah dilaporkan pada penderita dengan) osteoporosis (defek osteoklas dan monosit) •Kadar IgG, IgA dan kekerapan autoantibodi biasanya meningkat

b.Defisiensi didapat

•Terjadi akibat imunosupresi atau radiasi 4. Defisiensi sistem fagosit

• Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuankomplemen bantuan komplemen

•Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang

•Resiko infeksi meningkat bila jumlah fitt500/3 fagosit turun smp < 500 /mm3 •Defisiensi ditekankan terhadap sel PMN

a. Defisiensi kuantitatif

•Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan : –Penurunan produksi

•Depresan sumsum tulang (kemoterapi) •Leukemia

•Kondisi genetik (defek perkembangan sel progenitor) progenitor) –Peningkatan destruksi

•Fenomena autoimun akibat pemberian obat (quinidine, oksasiklin) •Hi persplenisme dng ciri fungsi destruksi limpa berlebihan


(24)

b. Defisiensi kualitatif

•Dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan / memakan dan membunuh mikroba intraseluler

i. Chronic granulomatous disease

•Ditemukan defek neutropil dan ketidak mampuan membentuk peroksid hidrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya

•Infeksi rekuren berbagai mikroba, baik negatif gram maupun positif gram • Penyakit linked resesif

ii. Defisiensi glucosa-6-phosphate dehydrogenase

• Akibat defisiensi generasi nicotinamide adenine dinucletide phosphate dehydrogenase (NADPH) •Tidak dibentuk peroksidase yg diperlukan untuk membunuh kuman intraseluler

•Kerentanan yg tinggi terhadap kuman yg biasanya mempunyai virulensi rendah iii. Defisiensi mieloperoksidase

•Peroksidase ditemukan dalam granul sitoplasma (neutrofil) dan dilepas ke fagosom melalui proses degranulasi yg diikuti dgn fagositosis

• Proses ini terganggu

•Ditemukan infeksi mikroba rekuren terutama kandida albicans dan S. aureus iv. Sindroma Chediak-Higashi

• Neutrofil mengandung lisosom besar abnormal yg dapat bersatu dgn fagosom, ttp terganggu,sehingga dlm kemampuan melepas isinya, sehingga proses menelan dan menghancurkan mikroba terlambat •Ditandai dgn infeksi rekuren, piogenik, terutama streptokok dan stafilokok

v. Sindroma Job

•Kemotaksis neutrofil terganggu

•Berupa pilek berulang, abses stafilokok, eksim kronis dan otitis media osdaottseda vi. Sindroma Leukosit malas (lazy leucocyte)


(25)

•Jumlah neutrofil menurun, respons kemotaksis dan respon inflamasi terganggu •Rentan terhadap infeksi mikoba berat

vii. Defisiensi adhesi leukosit

•Leukosit menunjukkan defek adhesi dgn jg permukaan endotel dan antar leukosit, kemotaksis dan aktivitas fagositosis yg buruk

•Infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka B. Defisiensi imun spesifik

• Gangguan dalam sistem imun spesifik dpt terjadi kongenital, fisiologik dan didapat 1. Defisiensi kongenital atau primer

->sangat jarang terjadi

a. defisiensi imun primer sel B

– Dapat berupa gangguan perkembangan sel B

->Tidak ada semua Ig atau satu kelas atau subkelas Ig i . X-linked hypogama globulinemia

•Tidak adanya Ig dari semua kelas

•Pre-sel B yg ada dalam kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yg matang •Bayi laki-laki usia 5-6 bulan mulai infeksi bakteri berulang

ii. Hipogammaglobulinemia yg sementara

– Kadang-kadang bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan cukup meskipun kadar IgM dan IgA normal

–Karena sel T belum matang

–Pada bayi (6-7 bulan) dan membaik sendiri pd usia 16-30 bulan iii. Common variable hypogammaglobulinemia

–Mengandung sel B tetapi tidak mampu berkembang jadi sel plasma yg memproduksi Ig –Penyakit dapat timbul setiap saat (biasanya usia 15- 35tahun) 35 tahun)

–Peningkatan kerentanan terhadap infeksi kuman piogenik


(26)

–Penurunan kadar satu atau lebih Ig sedang yg lain normal atau meningkat –Defisiensi IgA selektif (sering ditemukan)

->infeksi sino-pulmoner dan gastrointestinal rekuren yg disebabkan virus atau bakteri – Defisiensi IgM atau IgG selektif ->jarang ditemukan

b. Defisiensi imun primer sel T

•Sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa •Dpt juga menyebabkan gangguan produksi Ig

i. Aplasia timus kongenital (sindroma di George)

– Disebabkan defek dalam perkembangan embrio, baik kelenjar timus maupun kelenjar paratiroid terkena

–Sel T tidak ada / sedikit dalam darah, kelenjar getah bening dan limpa ii. Kandidiasis mukokutan kronik

–Kemampuan sel T yg kurang untuk memproduksi MIF dalam respons terhadap antigen / kandida –Infeksi jamur bisa non patogenik seperti kandida albicans pd kulit dan selaput lendir

c. Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yg berat i. Severe combined immunodeficiency disease

–Merupakan penyakit akibat gangguan sel T dan sel B (lifiti) (limfositopenia)

–Rentan thd infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoa terutama CMV, pneumonitis karini dan kandida

ii. Sindroma Nezelof

–Imunitas sel T nampak jelas menurun

–Defisiensi sel B variabel dan disgammaglobulinemia

–Respon antibodi terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada – Rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba


(27)

–IgM serum rendah, kadar IgG normal sedang IgA dan IgE meningkat

–Jumlah sel B normal, tidak memberikan respon thd antigen polisakarida untuk memproduksi antibodi

–Mengenai usia muda dgn gejala trombositopenia, eksim dan infeksi rekuren iv. Ataksia telangiektasi

–Penyakit autosomal resesif mengenai syaraf, endokrin dan sistem vaskuler

–Ciri klinisnya berupa gerakan otot yg tidak terkoordinasi dan dilatasi pembuluh darah kecil terlihat di sklera mata, limfopenia, penurunan IgA, IgE dan kadang-kadang IgG v. Defisiensi adenosin deaminase

–Meningkatnya kadar bahan toksik berupa ATP dan deoxyATP dalam sel limfoid

2. Defisiensi imun spesifik fisiologik a. kehamilan

–Terjadi peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yg dibentuk trofoblast

–Defisiensi imun selular dapat diturunkan pada kehamilan b. usia

i. Usia tahun pertama

–Sistem imun balita masih belum matang

–Pada non radang, sel T semua, sel naif dan tidak memberi respons yg adekuat thd antigen

–Antibodi janin disintesis pada awal minggu ke 20 tetapi kadar IgG dewasa baru dicapai pd usia 5 thn

ii. Usia lanjut

–Atrofi timus dgn fungsi yg menurun. Jumlah sel T naif dan kualitas respon sel T menurun


(28)

spesifisitas antibodi di autoantigen asing, isotype antibodi dari IgG dan IgM, dan afinitas antibodi dari tinggi menjadi rendah

3. Defisiensi imun didapat atau sekunder a. malnutrisi

–Malnutrisi protein / kalori ->atrofi timus dan jaringan limfoid sekunder, depresi respons sel T thd antigen dan sel alogenik, pengurangan sekresi limfokin, gangguan respons thd uji kulit hipersentivitas tipe lambat lambat

b. infeksi

–Infeksi virus, bakteri dapat menekan sistem imun –Malaria dan rubela kongenital ->defisiensi antibodi g

–Kehilangan imunitas seluler terjadi pd penyakit campak, mononukleosis, hepatitis virus, sifilis, bruselosis,lepra, tuberkulosis milier dan parasit

c. obat, trauma, tindakan kateterisasi d. penyinaran

–Dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfosit – Dosis rendah menekan aktivitas sel Ts

e. penyakit berat

–Menyerang jaringan limfoid : penyakit Hodgkin, mieloma multiple, leukemia, limfosarkoma

–Uremia menekan sistem imun

– GGK dan diabetes ->defek fagosit sekunder

f. kehilangan imunoglobulin – Pada nefrotik sindrom, diare, luka bakar g. stress


(29)

INFEKSI OPORTUNISTIK

Definisi

Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu (misal: gangguan sistem imun) menjadi patogenik.

Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti bakteri, parasit, jamur, dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat tertentu, kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan.

Infeksi oportunistik HIV yang paling sering

Hampir semua penyakit dapat menjadi IO pada penderita HIV jika sistem imun mulai lemah. Berikut ini adalah IO pada HIV yang paling sering.

a. Kandidosis: infeksi jamur pada mulut, tenggorokkan atau vagina

b. CMV (Cytomegalo Virus): infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan

c. Herpes Simpleks Virus (HSV): menyebabkan herpes pada mulut dan kelamin. d. Malaria

e. Mycobacterium Avium Complex (MAC): infeksi bakteri yang dapat menyebabkan demam berulang, seluruh badan terasa tidak enak, masalah pencernaan, dan kehilangan berat badan yang berlebihan

f. Pneumocytis Carinii Pneumonia: infeksi jamur yang dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) yang gawat.

g. Toksoplasmosis: infeksi protozoa yang menyerang otak

h. Tuberculosis: infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkan meningitis.

KANDIDOSIS ORAL

Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik di rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari jamur Kandida albikan. Kandida albikan ini sebenarnya


(30)

merupakan flora normal rongga mulut, namun berbagai faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh maupun pengobatan kanker dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen.

Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan dan interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral dikelompokkan atas tiga, yaitu :.

1. Akut, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : a. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut

Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai thrush, pertama sekali dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada umumnya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak. Penderita kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis seperti ini sering diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien yang

mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi. Diagnosa dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan

mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan.

b. Kandidiasis Atropik Akut

Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral mengelupas dan tampak sebagai bercak-bercak merah difus yang rata. Infeksi ini terjadi karena pemakaian antibiotik spektrum luas, terutama Tetrasiklin, yang mana obat tersebut dapat mengganggu keseimbangan ekosistem oral antara Lactobacillus acidophilus dan


(31)

Kandida albikan. Antibiotik yang dikonsumsi oleh pasien mengurangi populasi Lactobacillus dan kemungkinkan Kandida tumbuh subur. Pasien yang menderita Kandidiasis ini akan mengeluhkan sakit seperti terbakar.

2. Kronik

a. Kandidiasis Atropik Kronik

Disebut juga “denture stomatitis” atau “alergi gigi tiruan”. Mukosa palatum maupun mandibula yang tertutup basis gigi tiruan akan menjadi merah, kondisi ini

dikategorikan sebagai bentuk dari infeksi Kandida. Kandidiasis ini hampir 60% diderita oleh pemakai gigi tiruan terutama pada wanita tua yang sering memakai gigi tiruan selagi tidur

b. Median Rhomboid Glositis

Median Rhomboid Glositis adalah daerah simetris kronis di anterior lidah ke papila sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior dan sepertiga posterior lidah. Gejala penyakit ini asimptomatis dengan daerah tidak berpapila

3. Keilitis Angularis

Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut mulut, dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut. Keilitis angularis ini dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi.

Gambaran Klinis:


(32)

- Esophageal kandidiasis: nyeri substernal, perasaan ada yang menghalangi dan membengkak.

Diagnosis

Menemukan pseudohifa pada kultur rongga mulut dengan pemberian KOH 10% Pengobatan:

- Oral thrush: clotrimazole 10 mg tablet hisap atau nistatin

- Esophageal candidiasis: fluconazole (100-200mg/dL) atau itraconazole (200mg/dl), caspofungin, micafungin, amfotericin B (sebagai alternatif)

ENSEFALITIS SITOMEGALOVIRUS Etiologi dan Penularan

Sitomegalovirus merupakan virus DNA yang tergolong famili herpetoviridae. CMV merupakan patogen opportunistik. Resiko CMV tertinggi adalah pada saat jumlah CD4 di bawah 50/mcl. Manusia adalah satu-satunya inang yang diketahui untuk cytomegalovirus. Penularan memerlukan kontak langsung dari orang ke orang. Virus mungkin dikeluarkan dalam urin, air liur, air susu, dan sekresi servikal dan dibawa dalam sel darah putih yang bersirkulasi. Penyebaran secara oral dan pernapasan kemungkinan merupakan jalur utama penularan sitomegalovirus. Virus ini dapat menyebar melalui placenta, melalui transfusi darah, melalui transplantasi organ, dan melalui kontak seksual.

Tanda dan Gejala

Demam akut dengan kerusakan jaringan parenkim sistem saraf pusat yang menimbulkan kejang, kesadaran menurun, atau tanda-tanda neurologis fokal. Gejala yang timbul pada sistem saraf tepi termasuk lemas pada lengan dan kaki, masalah pendengaran dan keseimbangan, tingkat mental yang berubah, demensia, neuropati perifer, koma dan penyakit retina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Infeksi CMV pada urat saraf tulang belakang dan saraf dapat mengakibatkan lemahnya tungkai bagian bawah dan beberapa paralisis,


(33)

nyeri bagian bawah yang berat dan kehilangan fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan penyakit lambung-usus.

Diagnosis

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis ensefalitis CMV :

1. Pungsi Lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal

Hasil pemeriksaan cairan menunjukkan cairan yang jernih, tekanannya tinggi, banyak mengandung sel darah putih dan protein, kadar gulanya normal.

2. Elektroensefalografi (EEG)

Hasil EEG yang abnormal, kemungkinan adalah suatu ensefalitis, tetapi hasil EEG yang normal tidak bisa menyingkirkan diagnosis ensefalitis.

3. CT Scan dan MRI

CT Scan dan MRI dikerjakan untuk memastikan bahwa penyebab dari timbulnya gejala bukan karena abscess otak, stroke, atau kelainan struktural (tumor, hematoma, aneurisma) Jika diduga suatu ensefalitis, CT Scan / MRI ini dikerjakan sebelum pungsi lumbal untuk mengetahui adanya peningkatan intrakranial.

4. Biopsi otak

5. Pemeriksaan darah : Pemeriksaan serologis untuk mengukur kadar antibodi terhadap virus.


(34)

Bilateral and symmetric diffuse hypodensity in the periventricular white matter without any mass effect.

Penatalaksanaan

Pengobatan ensefalitis sitomegalovirus pada pasien dengan AIDS membutuhkan obat khusus terhadap CMV dan pemulihan fungsi kekebalan melalui penggunaan terapi anti retroviral (ART). Untuk virus CMV nya dapat diberikan asiklovir (5mg/kgBB 2 kali sehari parenteral selama 14-21 hari, selanjutnya 5mg/kgBB sekali sehari dianjurkan sampai CD4>100 sel/ml). Sedangkan pengobatan kausatif dapat diberikan diazepam 10-20 mg iv untuk mengatasi kejang, dan dapat pula diberikan manitol 20% untuk anti udem serebri.

ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (TOKSOPLASMOSIS OTAK) Etiologi dan Penularan

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.


(35)

Tanda dan Gejala

Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.

Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.

Diagnosis

 Pemeriksaan Serologi

Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal

Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein

 Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR)

Mendeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti


(36)

terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.

 CT scan

Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.

 Biopsi otak

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

Penatalaksanaan

Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin

menghambat penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat


(37)

mengakibatkan anemia. Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk mencegah anemia.

Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang mengalami toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4 naik menjadi di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat dihentikan

MENINGITIS KRIPTOKOKUS Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan menyebar ke otak dan saraf tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di bawah 50.

Tanda dan Gejala

Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala ini muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40% penderita. Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural, dapat terjadi dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di kulit, abses prostat dan hepatitis.

Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum tulang


(38)

belakang dapat dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India (70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah dan LCS (95-100% positif). LCS jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin (+).

Penatalaksanaan

Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul flusitosin. Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal.

Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.

Pencegahan

Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah meningitis kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak meresepkannya:

 Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati  Flukonazol adalah obat yang sangat mahal


(39)

 Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal (resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan amfoterisin B.

DIAGNOSIS BANDING INFEKSI OPORTUNISTIK SSP PADA PASIEN AIDS

PATOGEN IMAGING PEM.PENUNJANG LAIN

Ensefalitis toksoplasm osis, CD4<100 Lesi massamultipel/kdg-kdg single

pada CT/MRI, biasanya pada basal ganglia, ring enhancement pada CT

IgG serum terhadap toksoplasmosis (+)

Meningitis criptokokus , CD4<100

Nonspesifik LCS : tekanan tinggi, kadar glucosa rendah, protein, antigen kriptokokus (+) kultur (+)

Lainnya : antigen serum biasanya juga (+) Meningitis

Tuberkulosi s

Nonspesifik (lesi massa jarang)

dengan abnormalitas pada CXR

LCS: protein, kadar glucosa rendah, pleositosis, kultur acid-fast bacteria (+) sediaan hapus selalu (-)

Sifilis Nonspesifik LCS: protein dan

WBC,VDRL(+) Ensefalitis

HSV

edema, focal haemorrhage biasanya pada lobus medial

temporal/inferior frontal

LCS: limfositik, pleositosis, protein, PCR HSV


(40)

HIV, CD4<200

atrofi difus, patchy/diffuse white matter changes on T2-weighted MRI pd stadium lanjut

Lainnya: beta-2 mikroglobulin LCS, HIV RNA tinggi pada semua kasus

PML,CD4<100 Single/multiple focal/diffuse white matter lesions tanpa ring enhancement

LCS: PCR untuk virus JC DNA

Limfoma primer SSP, CD4<100

Single/multiple lesions pd CT/MRI,

ring enhancementpd CT

Biopsi otak/LCS sitologi (+), LCS PCR EBV (+)

Tuberculosis

Tuberculosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yaitu bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB biasanya mempengaruhi paru – paru, tetapi kadang – kadang dapat juga mempengaruhi organ tubuh lain, terutama pada penderita HIV dengan CD4 dibawah 200.

 TB primer terjadi setelah terinfeksi TB untuk pertama kali. Insiden TB primer progresif sangat tinggi pada pasien HIV + dengan derajat imunosupresi lanjut. Imunosupresi menyebabkan pasien tidak mampu membentuk reaksi imunologi yang diperantarai sel T CD4 untuk menahan infeksi.

 TB sekunder merupakan penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitasi. Umumnya muncul karena reaktivasi lesi primer dorman

Pengobatan antiretroviral dan pengobatan TB


(41)

TB paru dengan CD4 di bawah 200 atau limfosit total di bawah 1.200, atau TB di luar paru

Mulai OAT.

Mulai ART segera setelah tidak ada keluhan dengan OAT

TB paru dengan CD4 200-350, atau CD4/limfosit tidak diketahui

Mulai OAT.

Mempertimbangkan ART setelah selesai fase intensif OAT

TB paru dengan CD4 di atas 350 Mulai OAT.

Mempertimbangkan ART setelah terapi TB selesai

HIV Testing. A. Pendahuluan.

 Untuk mengetahui secara pasti apakah seorang terinfeksi HIV.  Secara garis besar untuk memastikan diagnosis maka dilakukan :

i. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV.

ii. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. B. Pemeriksaan Antibodi.

 Pemeriksaan dilakukan setelah masa jendela.

 Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi sampai timbulnya antibodi.  Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi.

 Jadi jika tes dilakukan pada masa tersebut kemungkinan akan menghasilkan hasil yang negatif.

 Untuk itu perlu dilakukan kembali 3 bulan kemudian.

 Teknik yang dilakukan adalah teknik ELISA dan Western blot.

C. Teknik ELISA.

Pendahuluan.

i. Uji serologi yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV karena ELISA bereaksi terhadap antibodi dalam serum


(42)

dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar.

Indikasi .

i. Pasien yang ingin di tes.

ii. Pasien dengan resiko tinggi (Sex bebas,penggunaan jarum suntik, pekerja sex).

iii. Pasien yang dengan kondisi dan infeksi seperti Sarkoma Kaposi serta pneumonia.

iv. Wanita hamil, untuk membantu pencegahan virus ke bayi . v. Pasien dengan infeksi yang tidak biasa seperti gonnorhea.  Prosedur.

i. Well dilapisi atau ditempeli antigen.

ii. Sampel darah (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.

iii. Antibodi yang sesuai akan menempel dengan antigen yang ada di well. iv. Dicuci dengan bufer washer untuk menghilangkan antibodi yang tidak

berikatan dengan antigen yang pada well.

v. Ditambahkan konjugat seperti peroksidase alkali. Konjugat ini akan menguatkan ikatan antigen-antibodi.

vi. Dibiarkan dalam waktu yang ditentukan.

vii. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.

viii. Diberikan stop solution untuk menghentikan proses sebelumnya . ix. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang

disebut ELISA reader hingga mendapatkan hasil. D. Teknik Western Bolt.

 Merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi protein spesifik dari kumpulan protein ekstra sel.

 Terdapat 3 prinsip :

i. Pemisahan seusai ukurannya. ii. Pemindahan ke lapisan padat.

iii. Penandaan target protein untuk memudahkan observasi .  Prosedur :


(43)

1. Cucilah sel yang ada di labu kultur jaringan dengan penambahan PBS (Phospate buffered saline) kemudian goyangkan. Lalu sisihkan PBS tersebut.

2. Tambahkan kembali PBS kemudian gunakan cell scraper untuk. memisahkan sel. Ambil di pipete larutan tersebut dan masukan ke microsentrifuge tubes.

3. Sentrifusikan pada 1500 RPM selama 5 menit dan lepaskan supernatant.

4. Tambahkan 180 uL ice cold cell lysis buffer dan 20 uL fresh protease inhibitor cocktail .

5. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu dingin. Kemudian spinasikan untuk 10 menit pada 12.000 RPM di 4 derajat C. 6. Pindahkan supernatant ke tabung dan simpan di suhu -20

derajat C.

7. Yakinkan konsentrasi protein dengan menggunakan spektrofotometer.

ii. Sample Preparation

1. Letakan 50 ug ekstrak protein di setiap well. 2. Tambahkan larutan buffer dan ratakan well.

3. Panaskan sampel selama 5 menit di suhu 100 derajat C. iii. Gel Preparation.

1. Setelah preparat sudah menjadi gel solution, letakan di tempat gel (gel solidification).

2. Lakukan secara hati-hati hingga berada di garis hijau pada gel solidifaksi tersebut. Tambahkan H20 di atasnya. Tunggu 15-30 menit sampai gel tersolidifikasi.

3. Buang air yang tadi ditambahkan lalu lapiskan gel tersebut dengan separating gel .

4. Masukan comb, untuk memastikan tidak ada gelembung air. 5. Tunggu kembali hingga gel tercampur dengan merata. iv. Elektroforesis.


(44)

1. Tuangkan preparat tadi ke elektroforator.

2. Tambahkan gel tersebut ke dalam eketroforator dan jangan lupa untuk hubungkan power supply.

3. Yakinkan bahwa preparat buffer tersebut tertutupi dengan gel seluruhnya, dan pastikan tidak ada gelembung air.

4. Tambahkan marker (6uL) di setiap sampel.

5. Operasikan dalam 60V kemudiam 140V selama 1 jam.

v. Elektrotransfer.

1. Potonglah 6 filter helaian dan 1 PDVF (Polyvinylidene Fluoride) di ukuran yang sama.

2. Basahkan spons dan helaian tersebut pada buffer tersebut. Kemudian basahkan PDVF dengan metanol.

3. Buatlah sandiwch transfer a. Sponse

b. 3 kertas saringan c. Gel PVDF d. 3 kertas saringan.

4. Tempatkan sandwich di apparatus, kemudian tambahkan buffer kembali dan pastikan seluruh permukaan sandwich tertutup oleh buffer.

5. Letakan elektroda di atas sandwich dan pastikan PVDF membran terletak diantara gel dan elektrode.

6. Tunggu selama 90 menit. vi. Blocking and intubasi antibodi

1. Tutupi membran dengan 5% susu milk di TBST selama 1 jam. 2. Tambahkan antibodi primer di 5% BSA (Bovine Serum

Albumin) dan inkubasikan sepanjang malam dengan 4 derajat C di pengocok/shaker.

3. Cucui membran dengan TBST selama 5 menit. Lakukan ini 3 kali.


(45)

4. Tambahkan antibodi sekunder di 5% susu skim di TBST dan inkubasikan selama 1 jam.

5. Cuci membran TBST selama 5 menit. Lakukan ini 3 kali. 6. Siapkan larutan ECL. Inkubasikan membran selama 1-2 menit. 7. Lihat hasilnya di ruangan yang gelap.

vii. Recipe

1. Larutkan larutan ini di 800 ml H2O : a. 8.8 g NaCl

b. 0.2 g KCl c. 3 g Tris base

2. Tambahkan 500 ul Tween-20 3. Buatlah pH jadi 7.4

4. Tambahkan 1L H20

5. Sterilkan dengan filtrasi atau autoklaf E. Hasil

 Hasil positif tidak selalu pasien tersebut terkena infeksi HIV. Namun pada beberapa penyakit seperti sifilis dan lupus juga menghasilkan hasil yang positif.

 Umumnya, hasil ELISA yang positif akan dilanjutkan dengan hasil western blot. Jika pada western blot memberikan hasil yang positif, dapat didiagnosis pasien tersebut terkena infeksi HIV.

 Apabila tes western bolt negatif maka terdapat kesalahan pada pemeriksaan tes ELISA.

 Hasil tes yang negatif belum tentu tidak adanya infeksi HIV, karena harus memperhatikan masa jendela.

 Jika pemeriksaan tes ELISA dan western bolt menghasilkan hasil yang negatif namun terdapat manifestasi klinik yang sesuai dengan HIV pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan tes lainnya seperti tes untuk mengetahui keberadaan HIV.

F. Pengukuran sel CD4+

 Pada sistem imun normal, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600-1200/ul darah.


(46)

 Dilakukan pengukuran segera setelah infeksi.

 Segera setelah infeksi virus primer, hitung limfosit CD4+ turun dibawah kadar normal karena HIV melakukan replikasi dengan menggunakan sel inang CD4+ sehingga terjadi lisisnya sel CD4+.

 Pengaruh CD4+ terhadap HIV

 Menurut CDC, pasien yang memiliki hitung limfosit CD4+ kurang dari 200/ul dapat menjadi penyakit indikator AIDS karena pasien tersebut mengalami imunosupresi yang berat dan beresiko tinggi terjadi keganasan serta infeksi oportunistik.

BAB III

PENUTUP


(47)

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.

31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.

Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.

Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006


(49)

2. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006

3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006 4. Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke.

Diunduh dari http://www.spirita.or.id

5. Yayasan Spirita. Agustus 2010. Meningitis Kriptokokus. Di unduh dari http://spiritia.or.id/li/bacali.php?.


(1)

1. Tuangkan preparat tadi ke elektroforator.

2. Tambahkan gel tersebut ke dalam eketroforator dan jangan lupa untuk hubungkan power supply.

3. Yakinkan bahwa preparat buffer tersebut tertutupi dengan gel seluruhnya, dan pastikan tidak ada gelembung air.

4. Tambahkan marker (6uL) di setiap sampel.

5. Operasikan dalam 60V kemudiam 140V selama 1 jam.

v. Elektrotransfer.

1. Potonglah 6 filter helaian dan 1 PDVF (Polyvinylidene Fluoride) di ukuran yang sama.

2. Basahkan spons dan helaian tersebut pada buffer tersebut. Kemudian basahkan PDVF dengan metanol.

3. Buatlah sandiwch transfer a. Sponse

b. 3 kertas saringan c. Gel PVDF d. 3 kertas saringan.

4. Tempatkan sandwich di apparatus, kemudian tambahkan buffer kembali dan pastikan seluruh permukaan sandwich tertutup oleh buffer.

5. Letakan elektroda di atas sandwich dan pastikan PVDF membran terletak diantara gel dan elektrode.

6. Tunggu selama 90 menit. vi. Blocking and intubasi antibodi

1. Tutupi membran dengan 5% susu milk di TBST selama 1 jam. 2. Tambahkan antibodi primer di 5% BSA (Bovine Serum

Albumin) dan inkubasikan sepanjang malam dengan 4 derajat C di pengocok/shaker.

3. Cucui membran dengan TBST selama 5 menit. Lakukan ini 3 kali.


(2)

4. Tambahkan antibodi sekunder di 5% susu skim di TBST dan inkubasikan selama 1 jam.

5. Cuci membran TBST selama 5 menit. Lakukan ini 3 kali. 6. Siapkan larutan ECL. Inkubasikan membran selama 1-2 menit. 7. Lihat hasilnya di ruangan yang gelap.

vii. Recipe

1. Larutkan larutan ini di 800 ml H2O : a. 8.8 g NaCl

b. 0.2 g KCl c. 3 g Tris base

2. Tambahkan 500 ul Tween-20 3. Buatlah pH jadi 7.4

4. Tambahkan 1L H20

5. Sterilkan dengan filtrasi atau autoklaf E. Hasil

 Hasil positif tidak selalu pasien tersebut terkena infeksi HIV. Namun pada beberapa penyakit seperti sifilis dan lupus juga menghasilkan hasil yang positif.

 Umumnya, hasil ELISA yang positif akan dilanjutkan dengan hasil western blot. Jika pada western blot memberikan hasil yang positif, dapat didiagnosis pasien tersebut terkena infeksi HIV.

 Apabila tes western bolt negatif maka terdapat kesalahan pada pemeriksaan tes ELISA.

 Hasil tes yang negatif belum tentu tidak adanya infeksi HIV, karena harus memperhatikan masa jendela.

 Jika pemeriksaan tes ELISA dan western bolt menghasilkan hasil yang negatif namun terdapat manifestasi klinik yang sesuai dengan HIV pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan tes lainnya seperti tes untuk mengetahui keberadaan HIV.

F. Pengukuran sel CD4+

 Pada sistem imun normal, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600-1200/ul darah.


(3)

 Dilakukan pengukuran segera setelah infeksi.

 Segera setelah infeksi virus primer, hitung limfosit CD4+ turun dibawah kadar normal karena HIV melakukan replikasi dengan menggunakan sel inang CD4+ sehingga terjadi lisisnya sel CD4+.

 Pengaruh CD4+ terhadap HIV

 Menurut CDC, pasien yang memiliki hitung limfosit CD4+ kurang dari 200/ul dapat menjadi penyakit indikator AIDS karena pasien tersebut mengalami imunosupresi yang berat dan beresiko tinggi terjadi keganasan serta infeksi oportunistik.

BAB III

PENUTUP


(4)

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.

31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.

Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.

Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006


(6)

2. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006

3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006 4. Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke.

Diunduh dari http://www.spirita.or.id

5. Yayasan Spirita. Agustus 2010. Meningitis Kriptokokus. Di unduh dari http://spiritia.or.id/li/bacali.php?.