PROFIL KEMAMPUAN PRA BERHITUNG TUNAGRAHITA DI SLB KARYA ASIH SURABAYA.

(1)

SKRIPSI

Oleh:

SAHIROH NIM D94211077

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


(2)

(3)

(4)

(5)

vii Oleh: SAHIROH ABSTRAK

Kemampuan pra berhitung merupakan serangkaian kemampuan dasar yang wajib dilalui siswa untuk dapat mempelajari kemampuan selanjutnya yakni kemampuan bilangan dan berhitung. Kemampuan dasar tersebut meliputi kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi. Setiap siswa memiliki kemampuan pra berhitung yang berbeda dikarenakan kecerdasan yang dimiliki juga berbeda. Anak berkebutuhan khusus seperti tunagrahita memiliki kemampuan pra berhitung berbeda dengan kemampuan anak reguler seusianya karena dari tingkat kecerdasan yang dimiliki juga berbeda pula. Dalam kegiatan pembelajaran guru sebaiknya mengetahui kemampuan dasar siswa tunagrahita agar dapat membantu mereka dalam mempelajari keterampilan matematika yaitu berhitung dengan metode yang sesuai. Meninjau keterangan tersebut, peneliti hendak mendeskripsikan kemampuan pra berhitung yang meliputi empat kemampuan dasar tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah, bagaimana profil kemampuan pra berhitung tunagrahita di SLB Karya Asih Surabaya?

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tempat penelitan di SLB Karya Asih Surabaya kelas VIII dengan ketentuan satu subjek untuk tiap-tiap kategori tunagrahita yaitu tunagrahita sedang dan ringan. Jadi total semua subjek adalah dua siswa. Metode pengumpulan data dilakukan dengan tes pra berhitung dan wawancara. Sedangkan teknik analisis data meliputi analisis data hasil tes pra berhitug dan wawancara dengan langkah-langkah pengumpulan data, reduksi data, display data dan kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa anak tunagrahita sedang memiliki kemampuan pra berhitung kurang sedangkan tunagrahita ringan memiliki kemampuan pra berhitung cukup baik untuk mempelajari keterampilan matematika berikutnya.

Kata Kunci: Tunagrahita, Kemampuan Pra Berhitung, Klasifikasi, Ordering, Seriasi, Korespondensi, Konservasi.


(6)

ix

SAMPUL LUAR ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Batasan Penelitian ... 5


(7)

x

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kemampuan Pra Berhitung ... 9

B. Pengertian Tunagrahita... 12

C. Klasifikasi Tunagrahita ... 16

D. Kemampuan Pra Berhitung Tunagrahita ... 21

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 23

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

C. Subjek Penelitian ... 25

D. Prosedur Penelitian ... 26

E. Metode Pengumpulan Data ... 27

F. Instrumen Penelitian ... 28

G. Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Profil Anak Tunagrahita ... 31

B. Analisis Deskriptif Hasil Penelitian ... 33

1. Kemampuan Pra Berhitung pada S1 a. Kemampuan Klasifikasi S1 ... 33

b. Kemampuan Ordering S1 ... 44

c. Kemampuan Seriasi S1 ... 50

d. Kemampuan Korespondensi S1 ... 54


(8)

xi

b. Kemampuan Ordering S2 ... 64

c. Kemampuan Seriasi S2 ... 69

d. Kemampuan Korespondensi S2 ... 72

e. Kemampuan Konservasi S2 ... 74

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 76

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 81

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(9)

1 A. Latar Belakang

Anak adalah amanah dan anugerah dari Allah SWT bagi pasangan orang tua di muka bumi ini. Oleh karena itulah, para orang tua berkewajiban untuk menjaga anak dengan sebaik-baiknya dan membekali hidupnya dengan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan. Ilmu yang akan menjadikan anak berguna bagi kelangsungan hidupnya di masa depan.

Tugas orang tua terhadap pendidikan anaknya ialah

membimbing anak dalam menghadapi pertumbuhan dan

perkembangannya. Sebagian anak berkembang lebih cepat, sebagian lagi anak berkembang biasa saja dan anak lainnya berkembang lebih lambat. Perubahan ini dipengaruhi oleh usia anak, tingkat kematangan anak, dan pengalaman anak.1 Maksudnya, anak-anak dengan usia yang sama mengalami perkembangan yang berbeda sebab tingkat kematangan dan pengalaman tiap anak yang mungkin berbeda. Namun perkembangan anak berkesinambungan dalam tahapan atau urutan tertentu dengan laju yang tidak sama antara anak satu dengan anak lainnya.2

Berdasarkan perkembangan anak itulah, anak

dikategorikan menjadi anak dengan kemampuan di atas rata-rata dan anak berkebutuhan khusus. Pada penelitian ini, peneliti akan membahas anak berkebutuhan khusus. Pemberian nama/istilah anak berkebutuhan khusus dengan sebutan anak idiot, anak autis, namun tidak sedikit menyebutnya dengan anak tunagrahita. Di sini peneliti tidak membahas perbedaan dari istilah-istilah tersebut. Peneliti akan membahas anak berkebutuhan khusus dengan istilah anak tunagrahita.

1 Janice J. Beaty, Observasi Perkembangan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana, 2013), 2.


(10)

Berdasarkan realitas yang terjadi di tengah masyarakat tidak sedikit anak tunagrahita yang tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana anak-anak yang lain seusianya. Ada anak tunagrahita yang hanya dibiarkan orang tuanya begitu saja karena kemampuan otaknya yang tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah umum yang disebabkan ketidaktahuan orang tua tentang pendidikan anak tunagrahita di sekolah khusus, ada juga anak tunagrahita yang dikirim oleh orang tuanya ke pondok sosial karena tidak sanggup untuk mendidik anak yang berkebutuhan khusus.

Berkaitan dengan itu, negara menjamin pendidikan tiap anak termasuk anak dengan penyandang tunagrahita yang tercantum dalam UU RI No 23 Tahun 2002 Bab III Pasal 9 ayat 2 “Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus”3 Jadi setiap anak berhak mendapatkan pendidikannya dan peraturan itu berlaku bagi seluruh anak Indonesia tidak terkecuali anak dengan penyandang tunagrahita.

Anak tunagrahita ialah anak-anak yang mengalami kesulitan dalam hal belajar dan penyesuaian diri pada lingkungannya serta permasalahan keterampilan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Keterampilan yang dimaksud ialah baca tulis dan kemampuan berhitung (matematika). Kemampuan matematika anak tunagrahita sangat kurang bila dibandingkan dengan kemampuan matematika anak seusianya karena fungsi intelektual (tingkat kecerdasan) yang mereka miliki di bawah rata-rata anak normal. Oleh karena itu, pembelajaran matematika dalam hal ini mengajarkan mengenal bilangan dan belajar berhitung dasar saja yang masih sangat sederhana sulit sekali diberikan kepada anak penyandang tunagrahita terutama tunagrahita kategori berat.

Matematika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menggunakan proses berfikir logis dan bernalar. Maka dari itu cukup sulit mengajarkan keterampilan matematika dalam hal mengenal lambang bilangan dan keterampilan berhitung kepada

3 Redaksi Sinar Grafika, UU Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Tahun 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 7.


(11)

anak tunagrahita karena kemampuan kognitifnya yang kurang, “sehingga bagi yang bermasalah dalam kemampuan kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika belajar matematika atau berhitung”.4 Namun keterampilan/kemampuan matematika tetap harus diberikan kepada setiap anak untuk bekal kehidupannya kelak karena keterampilan matematika atau berhitung sangat berguna dalam memecahan permasalahan-permasalahan di kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti di SLB Karya Asih tingkat sekolah menengah pertama terdapat dua siswa dalam satu kelas dengan kemampuan yang berbeda. Sebut saja dua siswa tersebut adalah anak A dan B. Menurut keterangan guru yang mengajar di kelas anak yang bersangkutan, anak A adalah anak kategori C (tunagrahita ringan) sedangkan anak B adalah anak kategori C1 (tunagrahita sedang). Tentunya tingkat kemampuan kognitif anak A lebih baik daripada anak B. Diketahui anak A sudah dapat mengenal bilangan dan berhitung dasar yang cukup baik. Sedangkan anak B, dia mengalami sangat kesulitan jika harus mengingat bilangan 1-10 dan melakukan perhitungan. Dapat dikatakan kemampuan matematika anak C setara dengan anak SD awal sedangkan kemampuan matematika anak C1 setara dengan anak TK. Maka dari itu, untuk memberi pengajaran kepada anak tunagrahita tersebut dalam hal pelajaran matematika atau berhitung maka harus sesederhana mungkin sama halnya pembelajaran yang diterapkan di sekolah dasar maupun taman kanak-kanak yaitu pembelajaran dengan melibatkan benda-benda konkrit.

Kesulitan anak tunagrahita pada pelajaran matematika yaitu lamban/lambat memahami konsep lambang bilangan dan berhitung. Hal itu disebabkan karena anak tunagrahita belum menguasai beberapa keterampilan pra syaratnya atau pra berhitung, padahal konsep lambang bilangan dan berhitung merupakan tahapan setelah tahap pra berhitung. Menurut Piaget, “Keterampilan pra berhitung meliputi keterampilan klasifikasi,

4Runtukahu, “Pengaaran Pra Berhitung Untuk Anak Tunagrahita Sedang”, diakses dari http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_plb_0610307_chapter1.pdf, pada tanggal 14 Agustus 2015.


(12)

ordering & seriasi, korespondensi, dan konservasi.”5 Agar anak dapat memahami lambang bilangan dan keterampilan berhitung maka anak terlebih dahulu memahami materi pra berhitung sehingga sangat penting bagi para pendidik atau guru mengetahui kemampuan pra berhitung anak agar dapat mengetahui langkah apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengembangkan kemampuan matematik anak dalam hal ini mengenalkan lambang bilangan dan keterampilan berhitung.

Berdasarkan uraian alasan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Profil Kemampuan Pra Berhitung Tunagrahita di SLB Karya Asih Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dapat disusun sebagai berikut:

1. Bagaimana profil kemampuan pra berhitung anak tunagrahita kategori anak C1 di Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya?

2. Bagaimana profil kemampuan pra berhitung anak tunagrahita kategori anak C di Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Jika dilihat dari rumusan masalah yang telah disusun di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan profil kemampuan pra berhitung anak tunagrahita kategori anak C1 di Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya.

2. Untuk mendeskripsikan profil kemampuan pra berhitung anak tunagrahita kategori anak C di Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya.

5 Jendral Abbaz, “Pembelajaran Pra Berhitung bagi Tuna Grahita Sedang”, diakses dari http://jendralabaz.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-pra-berhitung-pada-anak.html, pada tanggal 28 Juli Agustus 2015.


(13)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah:

1. Sebagai referensi siswa tunagrahita untuk mengetahui sekaligus meningkatkan penguasaan kemampuan/keterampilan pra berhitungnya sehingga memudahkan memahami ke tahap selanjutnya yaitu pemahaman konsep lambang bilangan dan keterampilan berhitung.

2. Sebagai referensi guru matematika Sekolah Luar Biasa (SLB) sehingga dapat memperbaiki rancangan proses pembelajaran yang sesuai dalam meningkatkan kemampuan/keterampilan berhitung dan konsep lambang bilangan pada anak tunagrahita dengan memerhatikan penguasaan keterampilan/kemampuan pra berhitung anak.

3. Bagi peneliti sebagai calon guru, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bahwa keterampilan/kemampuan pra berhitung itu sangat penting bagi tunagrahita dalam menanamkan konsep lambang bilangan dan berhitung.

4. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menambah wawasan pengetahuan dan dapat pula dijadikan sebagai acuan dalam melakukan suatu penelitian yang serupa.

E. Batasan Penelitian

Adapun batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Subjek penelitian yang diambil ada 2 siswa tunagrahita yaitu

1 siswa kategori C1 (tunagrahita sedang) dan 1 siswa kategori C (tunagrahita ringan), siswa SLB Karya Asih Surabaya Tingkat Sekolah Menengah Pertama. Hal itu diputuskan karena keterbatasan jumlah murid di sekolah tersebut sehingga hanya 2 murid yang dijadikan sebagai subjek penelitian.

2. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan berbagai alat peraga sederhana sebagai media penelitian, seperti kartu-kartu warna, benda geometri berbentuk bangun datar, media gelas dan air, benda-benda sekitar (alat tulis, permen, tali dan sebagainya).


(14)

3. Kemampuan/keterampilan klasifikasi pada penelitian ini yaitu mengelompokkan objek (benda) berdasarkan warna, bentuk dan ukuran.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda dan keambiguan (ketidakjelasan) arti pada istilah-istilah dalam penelitian ini maka perlu adanya pendefinisian istilah-istilah sebagai berikut:

1. Profil adalah suatu gambaran secara umum maupun secara terperinci tentang keadaan siswa berkaitan dengan potensi yang terdapat di dalam setiap individu.6

2. Tunagrahita atau keterbelakangan mental adalah sebuah kondisi kemampuan mental yang terbatas di mana individu (1) memiliki IQ yang rendah, lazimnya di bawah 70 dalam tes kecerdasan tradisional, (2) memiliki kesulitan beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari, dan (3) menunjukkan karakteristik-karakteristik ini di usia 18 tahun.7

3. Anak C adalah kategori anak tunagrahita ringan sedangkan anak C1 adalah kategori anak tunagrahita sedang.8

4. Tunagrahita ringan adalah anak tunagrahita yang memiliki IQ berkisar antara 55 – 70

5. Tunagrahita sedang adalah anak tunagrahita yang memiliki IQ antara 40 – 54.

6. Kemampuan/keterampilan pra berhitung meliputi

kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi, dan konservasi.9

7. Klasifikasi adalah suatu kegiatan mengelompokkan objek (benda) menurut sifat-sifat khususnya. Sifat khusus ini dapat berupa warna, bentuk, ukuran maupun berat.

6“Metodologi Penelitian”, diakses dari

http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_pbio_050495_chapter3.pdf pada tanggal 25 Agustus 2015 pukul 18.34

7 John Santrock, “Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid I “ Translated by Mila Rachmawati & Anna Kuswanti (Jakarta: Erlangga, 2007), 339.

8 Istilah Anak Tunagrahita di SLB 9 Jendral Abbaz, Loc. Cit


(15)

8. Ordering (mengurutkan) adalah kemampuan mengurutkan objek (benda) berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan.

9. Seriasi adalah menyusun objek (benda) berdasarkan ukurannya mulai dari yang terendah sampai yang paling tinggi atau dari yang terkecil sampai yang terbesar dan sebaliknya.

10. Korespondensi adalah kemamuan/keterampilan memahami bahwa jumlah satu set objek (benda) pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set objek (benda) pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik objek (benda) tersebut.

11. Konservasi adalah banyaknya objek (benda) dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan meskipun letaknya berubah.

G. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab yaitu sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang berisikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan landasan berfikir berdasarkan fenomena dan kajian pendahuluan sebagai acuan dalam pelaksanaan penelitian. Komponen pendahuluan menunjukkan bahwa proporsi atau laporan hasil penelitian telah menyangkut beberapa aspek penting seperti: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, definisi operasional dan sistematika pembahasan.

2. BAB II KAJIAN PUSTAKA

Merupakan bagian kedua yang berisikan dasar-dasar teoritis dalam penelitian. Kajian pustaka dimaksudkan sebagai landasan dalam membuat kerangka berfikir terhadap fokus penelitian. Berisi tentang kajian tentang anak tunagrahita, kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi, dan konservasi serta kemampuan pra berhitung anak tunagrahita.


(16)

3. BAB III METODE PENELITIAN

Merupakan bagian ketiga yang berisikan tentang jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian dan analisis data.

4. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Merupakan bagian keempat yang berisi hasil dan pembahasan penelitian tentang profil kemampuan pra berhitung pada anak tunagrahita kategori C1 dan kategori C sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian.

5. BAB V SIMPULAN DAN SARAN


(17)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kemampuan Pra Berhitung

Piaget berpendapat bahwa proses berfikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berfikir intelektual konkrit ke abstrak secara berurutan melalui empat tahap, yakni tahap kepandaian sensori-motorik yang berlangsung dari lahir – 2 tahun, tahap pemikiran pra operasional berlangsung mulai usia 2 – 7 tahun, tahap operasi-operasi berpikir konkrit berlangsung mulai usia 7 – 11 tahun dan tahap operasi-operasi berfikir formal berlangsung mulai usia 11 tahun – dewasa. Pada usia 2 – 7 tahun anak pada tahap pemikiran pra operasional. Pada tahap ini, anak,-anak belajar berpikir menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah namun pikiran mereka masih belum sistematis dan tidak logis.1 Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda menurut aturan tertentu (seriation) dan membilang (counting).2 Pada tahapan ini proses berfikir anak lebih mengarah kepada pengalaman yang bersifat konkrit daripada pemikiran yang logis, sehingga jika anak melihat beberapa objek yang kelihatannya berbeda, maka ia akan mengatakan berbeda.

Menurut Tjutju Soendari, mendefinisikan keterampilan pra aritmetika (pra berhitung) yaitu keterampilan kognitif dasar yang harus dikuasai siswa sebelum siswa mempelajari matematika formal.3 Menurut Piaget bahwa “Keterampilan pra berhitung

1 Kurnia Hidayati, “Pembelajaran Matematika Usia SD/MI Menurut Teori Belajar Piaget”, Cendekia Vol. 10 No. 2, (Tahun 2012), 293.

2 Ibid.

3Tjutju Soendari, “Asesmen Pra Aritmetika”, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141980032-TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkuliahan/Materi_asesmen/ASESMEN_PRA_BER HITUNG.ppt_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf, pada tanggal 14 Agustus 2015.


(18)

meliputi keterampilan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi, dan konservasi”4

Kemampuan/keterampilan pra berhitung terdiri dari kemampuan/keterampilan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi, dan konservasi. Adapun definisi keempat kemampuan/keterampilan tersebut sebagai berikut:

a. Klasifikasi (mengelompokkan)

Piaget mengatakan bahwa klasifikasi adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai sebelum belajar bilangan. Kemampuan/keterampilan klasifikasi

melibatkan hubungan persamaan, perbedaan, dan

pengkategorisasian (categorizing) objek menurut sifat-sifat khususnya. Sifat khusus ini dapat berupa warna, bentuk, ukuran, dan berat.5

Klasifikasi adalah kemampuan mengelompokkan objek berdasarkan karakteristik yang dimiliki objek tersebut (warna, bentuk atau ukuran).6 Tujuan pembelajaran klasifikasi pada anak, yaitu: 7

a. Klasifikasi merupakan kegiatan intelektual dasar untuk memahami lambang-lambang bilangan yang meliputi persamaan dan perbedaan.

b. Seorang anak yang belum mampu

mengkategorikan objek-objek berdasarkan ciri-cirinya maka ia akan sulit untuk mempelajari bilangan.

b. Ordering (mengurutkan) dan Seriasi (menyusun)

Mengurutkan (ordering) adalah kemampuan mengurutkan objek berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan. Ordering merupakan kemampuan yang dikuasai anak dalam mengurutkan dan menghitung setiap objek hanya satu kali secara berurutan sehingga terdapat proses keteraturan dengan tujuan mengantarkan siswa dalam menguasai keterampilan

4 Jendral Abbaz, Pembelajaran Pra Berhitung bagi Tuna Grahita Sedang”, diakses dari http://jendralabaz.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-pra-berhitung-pada-anak.html ,pada tanggal 14 Agustus 2015.

5 Jendral Abbaz, Loc. Cit 6 Tjutju Soendari, Loc. Cit. 7 Ibid.


(19)

membilang.8 Misalnya, anak mengurutkan objek berdasarkan pola warna atau pola bentuk.

Sedangkan kemampuan/keterampilan seriasi adalah suatu keterampilan menyusun objek (benda) berdasarkan ukurannya mulai dari yang terendah sampai yang paling tinggi atau atau dari yang paling pendek sampai yang paling panjang atau dari yang terkecil sampai yang terbesar dan sebaliknya. Tujuan dari keterampilan ordering ini ialah untuk membandingkan, memahami lambang sama dengan “=”, tidak sama dengan “<” dan “>”, serta menghantarkan pada pemahaman sifat transitif urutan (jika a = b; b = c; maka a = c; jika a < b, b < c, maka a < c).9

c. Korespondensi (menilai jumlah dua objek yang berbeda) Pengertian korespondensi menurut Mercer dan Mercer adalah keterampilan memahami bahwa jumlah satu set objek pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set objek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik objek tersebut. Korespondensi ialah kemampuan dalam memahami jumlah dari kelompok-kelompok objek yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tujuan siswa memiliki persepsi bahwa suatu objek akan memiliki nilai yang sama sekalipun karakteristik objek tersebut berbeda, misal satu baju sama dengan satu celana.10

d. Konservasi

Mercer dan Mercer mengatakan bahwa konservasi adalah banyaknya objek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan meskipun letaknya berubah. Konservasi bilangan menunjuk pada adanya persepsi bahwa jumlah suatu kelompok objek akan tetap sekalipun perubahan posisi atau tempat.11 Anak pada konservasi dilandasi oleh observasi dari pengalaman dengan objek-objek nyata tetapi sudah mulai menggeneralisasikan objek-objek tersebut.12

8 Tjutju Soendari, Loc. Cit. 9 Ibid.

10 Tjutju Soendari, Loc. Cit. 11 Ibid.

12 Herman Hudojo, Mengajar Belajar Matematika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 46.


(20)

B. Pengertian Anak Tunagrahita

Tunagrahita terdiri dari kata tuna dan grahita. Dalam kamus bahasa Indonesia kata tuna memiliki arti luka; rusak; kurang; tidak memiliki.13 Sedangkan kata grahita memiliki arti memahami; mengerti.14 Tunagrahita berarti cacat pikiran; lemah daya tangkap; idiot.15 Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental (Mental Retardation) yang berarti keterbelakangan mental. Keterbelakangan mental adalah sebuah kondisi kemampuan mental yang terbatas di mana individu: (1) memiliki IQ yang rendah, lazimnya di bawah 70 dalam tes kecerdasan tradisional, (2) memiliki kesulitan beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari, dan (3) menunjukkan karakteristik-karakteristik ini di usia 18 tahun.16

Di Amerika istilah untuk tunagrahita yaitu Mental Retardation. Di Inggris menggunakan istilah Mentally retarded sedangkan di New Zealand menggunakan istilah resminya ialah intelektually handicappeed. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) istilah yang digunakan mentally retarded atau intellectually disabled. Dari semua istilah yang dipergunakan di beberapa negara tersebut mengandung arti yang sama yaitu semuanya menunjuk kepada anak yang memiliki fungsi intelektual (tingkat kecerdasan) di bawah rata-rata.

Definisi menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 72 tahun 1991, anak yang berkebutuhan khusus yang mengalami retardasi mental disebut sebagai Tunagrahita.17 Menurut Nunung Apriyanto, anak tunagrahita adalah anak yang secara siginifikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya.18 Anak tunagrahita secara siginifikan

13 Meity Taqdir Qodratillah dkk, Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2011), 578.

14 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 375.

15 Ibid, halaman 1223.

16John Santrock, “Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid I Translated by Mila Rachmawati & Anna Kuswanti (Jakarta: Erlangga, 2007), 339.

17 Esthy Wikasanti, Mengupas Therapy Bagi Para Tuna Grahita: Retardasi Mental Sampai Lambat Belajar, (Jogjakarta: Redaksi Maxima, 2014), 12.

18 Nunung Apriyanto, Seluk-Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya, (Jogjakarta: Javalitera, 2012), 21.


(21)

memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak normal pada umumnya, maknanya bahwa perkembangan kecerdasan (Mental Age atau disingkat dengan MA) anak berada di bawah pertumbuhan usia sebenarnya.19

Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih rendah) yang bermula sebelum usia 18 tahun disertai penurunan fungsi adaptif maksudnya penurunan akan kemampuan individu tersebut untuk secara efektif menghadapi kebutuhan untuk mandiri yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.20

Data dari American Psychiatric Association (APA) 2000, sekitar 1-3 dari jumlah penduduk menyandang tunagrahita yang dapat dijumpai di lingkungan sekitar tempat tinggal yang mencakup rentan fungsi kognitif dan sosial.21 Anak tunagrahita merupakan anak yang kebutuhan khusus yaitu anak yang secara signifikan mengalami kelainan fisik, mental, intelektual, sosial, emosional dalam proses perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.22

Definisi lain tentang anak tunagrahita yang sekarang banyak digunakan para ahli pendidikan berkebutuhan khusus adalah dikemukakan oleh American Asociation Mentall Deficiency (AAMD) yang diketuai oleh Rick Heber, mengembangkan definisi tunagrahita versi AMMD dan revisi keenam dipimpin oleh ketua komite Herbert Growsman pada tahun 1973 dan ditetapkan pada tahun 1977 yang mana definisi ini diterima secara luas sampai sekarang.23

Definisi yang dikemukakan oleh Heber (tahun 1959 dan direvisi tahun 1961) adalah Mental Retardation refers to subavarage general intellectual functioning which originates

19 Ibid, halaman 22.

20 Rathus dalam Psikologi Abnormal, sebagaimana dikutip oleh MazBow.madicastore.com, Diposkan Selasa 17 November 2009.

21 Ibid.

22 Fatonah, Skripsi: Kemandirian Pada Anak Tunagrahita: Studi Kasus di Kawasan Jambangan Surabaya”, (Surabaya: Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2010), 4-5.


(22)

during the developmental periode and is associated with impairement in adaptive behavior.24 Tunagrahita menunjuk pada fungsi intelektual (tingkat kecerdasan) berada di bawah rata-rata pada umumnya yang berlangsung selama masa perkembangannya dan disertai dengan hambatan dalam perilaku adaptif.

Sedangkan pengertian tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded yang meliputi fungsi intelektual lamban yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku.25 Selain tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, anak tunagrahita memiliki ciri khusus yaitu kendala dalam perilaku adaptif. Baroff & Olley, “Children with mental retardation can be at a significant disadvantage in our society”26

Growssman mendefinisikan ketunagrahitaan sebagai berikut: Mental retardation refers to significantly subavarage general intellectual functioning resulting in or associated with impairements in adaptive behavior and manifested during the developmental period.27 Anak tunagrahita yaitu fungsi intelektual umum yang secara nyata berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dengan tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa perkembangannya.28

Berdasarkan ulasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa definisi dari anak tunagrahita adalah anak yang memiliki daya tangkap yang lamban/lambat atau keterbelakangan perkembangan mental yaitu funsgi intelektual (tingkat kecerdasan) umum berada di bawah rata-rata anak normal yang dapat dilihat dari tidak/kurang mampunya anak untuk belajar dan dalam hal

perilaku adaptifnya yang berlangsung pada masa

perkembangannya yaitu pada usia 18 tahun ke bawah.

24 Ibid.

25 Rossa Turpuk Gabe.Anak Tuna Grahita dan Perkembangannya, FT-UI, 2008, hlm. 7

26 Jeffrey J Haugaard, Child Psychopathology, (Singapure: The McGraw-Hill Companies, 2008), 396.

27 Nunung Apriyanto, Op. Cit, halaman 25.

28 Aryono, Skripsi: Pengelolaan Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi SMP Negeri 29 Surabaya”, (Surabaya: Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 22.


(23)

Jadi anak yang masuk dalam kategori retardasi mental/keterbelakangan mental atau sering disebut dengan tunagrahita yaitu jika:

a. Tingkat kecerdasan (fungsi intelektual) umum di bawah rata-rata anak normal;

b. Terjadi kendala dalam perilaku adaptif;

c. Gejala retardasi mental terjadi pada masa perkembangannya yaitu pada usia 18 tahun ke bawah. Keterbelakangan mental biasanya dikaitkan dengan fungsi intelektual atau tingkat kecerdasan seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan untuk melihat suatu pola dan menggambarkan hubungan antara pola di masa lalu dan pengetahuan di masa depan.29 Tingkat kecerdasan sesorang dapat kita ketahui dengan alat ukur berupa tes yang dalam psikologi disebut dengan tes IQ (Integensi Quotient).

Tes IQ ini difungsikan untuk mengukur sekaligus mengetahui seberapa dewasanya sesorang dalam berpikir, beradaptasi dan memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan mengetahui tingkat kecerdasan yang dimiliki anak itu sendiri, maka dapat dijadikan acuan bagi para orang tua dan tenaga pengajar dalam menentukan dengan bijak layanan pendidikan dan pelatihan yang sesuai bagi anak tuna grahita.30

Anak tunagrahita merupakan individu yang utuh dan unik yang pada umumnya memiliki potensi atau kekuatan dalam mengimbangi kelainan yang disandangnya. Mereka yang tergolong mental retardation atau tunagrahita mempunyai latar belakang hendaya berat dan sangat berat yang disebabkan oleh faktor-faktor kelelahan, emosional, dan penderitaan atau kelaparan pada ibu hamil.31

Secara umum seseorang yang mengalami ketunagrahitaan disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal (keturunan) dan eksternal (lingkungan). Berikut penyebab tunagrahita:32

29 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2011), 391.

30 Stella Stillson Slaughter, The Mentally Retarded Child And His Parent, (New York: Harper And Brothers, 1960), 22.

31 Bandi Delphie, Pendidikan Anak Autistik, (Sleman: PT Intan Sejati Klaten, 2009), 1.


(24)

Tabel 2.1 Faktor Ketunagrahitaan Genetis /

Keturunan

a. Kelainan pada kromosom ke-21: Down Syndrome

b.Kelainan pada kromosom ke-15: Patau's Syndrome

Gangguan metabolisme dan

gizi

a. Gangguan metabolisme asam amino dan enzyme/Phenylketonuria

b.Kekurangan tyroxin/cretinisme c. Infeksi dan keracunan kehamilan d.Campak Jerman/Rubella e. Sphilis bawaan dalam janin

f. Bayi prematur yang mengalami

kekurangan aliran darah pada

plasenta/Syndrome Gradivity Trauma dan zat

raidoaktif

a. Kelahiran yang sulit dan menggunakan tang

b.Penyinaran/sinar X pada kelahiran c. Kelahiran bermasalah, kejang dan nafas

pendek

Lingkungan a. Kurangnya kesadaran orang tua akan pendidikan dan kesehatan

b.Kurangnya nutrisi/gizi c. Kurangnya Stimulus

C. Klasifikasi Tunagrahita

Klasifikasi untuk anak tunagrahita bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu maupun perubahan pandangan terhadap keberadaan anak tunagrahita.33 Hallahan dan Kaufan mengklasifikasi keterbelakangan mental berdasarkan IQ, sebagai berikut:34

33 Nunung Apriyanto, Op. Cit, halaman 30. 34 John Santrock, Op. Cit, halaman 39.


(25)

Tabel 2.2

Klasifikasi Tunagrahita Berdasarkan IQ Tipe

Keterbelakangan Mental

Rentang IQ Persentase Keterangan

Ringan 55-70 89 Mampu didik

Sedang 40-54 6 Mampu latih

Berat 25-39 4 Dirawat

Sangat Berat Di bawah 25 1 Dirawat

Dari tabel klasifikasi di atas menjelaskan bahwa mayoritas anak tunagrahita masuk dalam tipe ringan. Namun, tipe ini bukanlah alat prediksi yang sempurna. Tes IQ tersebut tidak dapat mengukur/mengetahui kemampuan yang dimiliki anak. Ada kemampuan khusus yang tidak berhubungan langsung dengan tingkat kecerdasannya. Anak tunagrahita dapat memiliki kemampuan lebih dalam bermusik dan menggambar.35

Adapun penggolongan anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran sebagai berikut:36

a. Educable merupakan, anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan. Dalam bidang akademik setara dengan anak regular pada sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD);

b. Trainable merupakan, kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri dan penyesuaian sosial sangat terbatas kemampuannya untuk mendapatkan pendidikan secara akademik;

c. Custodia merupakan, dengan pemberian latihan yang terus-menerus dan khusus dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif.

Sedangkan American Association Mental Retardation (AAMR) mengembangkan klasifikasi tunagrahita yang berbeda ditinjau berdasarkan tingkat dukungan yang dibutuhkan oleh anak

35 Rossa, Loc. Cit.


(26)

tunagrahita dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Adapun kategori-kategori dukungannya adalah37

Tabel 2.3

Klasifikasi Tunagrahita Berdasarkan Tingkat Dukungan Kadangkala Dukungan diberikan hanya saat diperlukan.

Individu mungkin memerlukan dukungan yang periodik atau dalam jangka pendek selama masa transisi kehidupan (seperti kehilangan pekerjaan atau krisis media yang akut). Dukungan bisa berintensitas rendah atau tinggi.

Terbatas Dukungan dilakukan secara intens dan relatif konsisten dari waktu ke waktu. Dukungan ini bersifat terbatas tapi tidak sporadis. Dilakukan lebih sedikit staff dan biaya dibandingkan dukungan-dukungan yang lebih intensif. Dukungan-dukungan ini diperlukan untuk membantu proses adaptasi dari periode sekolah ke masa dewasa.

Ekstensif Dukungan dicirikan oleh keterlibatan reguler (sehari-hari) di beberapa tempat (seperti di rumah saat bekerja) dan tidak ada batas waktu (contoh, dukungan dalam kehidupan di rumah). Pervasif Dukungan konstan, sangat intens dan diberikan

secara lintas tempat. Dukungan ini bersifat seusia hidup, umumnya melibatkan lebih banyak campur tangan para staf dibandingkan dengan dukungan-dukungan yang lain.

Selain itu, secara klinis anak tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciri-ciri jasmaniah yaitu:38

a. Sindrom Down atau Sindroma Mongoloid merupakan kelainan genetik yang terjadi pada kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas merupakan kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan

37 Ibid, halaman 340. 38 Ibid, halaman 33.


(27)

mental. Down sindrom memiliki ciri wajah yang khas yaitu wajah mongol dan mata sipit serta memiliki kulit kering, kasar dan tebal.

b. Hydrocephalus yaitu ukuran kepala besar dan berisi cairan; c. Microcephalus yaitu ukuran kepala terlalu kecil dan

Makrocephalus yaitu ukuran kepala yang terlalu besar.

Anak tunagrahita berbeda dengan anak autistik jika ditinjau berdasarkan ketidakmampuan koginitifnya. Kebanyakan anak autistik mempunyai kemampuan kognitif lebih baik daripada anak tunagrahita.39 Anak tunagrahita terdapat baik itu di kota maupun di desa, di lingkungan orang kaya maupun di lingkungan orang miskin.

Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan tingkat intelegensi, anak tunagrahita yang dapat dididik dan dilatih di Sekolah Luar Biasa (SLB) yakni anak C dan anak C1. Anak C adalah anak tunagrahita ringan dan anak C1 adalah anak tunagrahita sedang.40 Sedangkan anak tunagrahita berat dan sangat berat, mereka adalah anak dengan kategori dirawat dan membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan kegiatan pokok di kehidupan sehari-hari seperti, bantuan untuk berdiri, duduk, makan, mandi dan lain-lain.

James D Page yang dikutip oleh Nunung Apriyanto menguraikan karakteristik anak tunagrahita sebagai berikut:41

1) Kecerdasan, kapasitas belajarnya sangat terbatas teruatama untuk hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote-learning) bukan dengan pengertian. 2) Sosial, dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus,

memelihara, dan memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus, disingkirkan dari bahaya dan diawasi waktu bermain dengan anak lain.

3) Fungsi-fungsi mental lain, mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa dan sukar mengungkapkan kembali suatu ingatan. Mereka menghindari berpikir, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat kresi baru. 4) Dorongan dan emosi, perkembangan dan dorongan emosi anak

tunagrahita berbeda-beda sesuai daengan tingkat ketunagrahitaan masing masing. Kehidupan emosinya lemah,

39 Bandi Delphie, Op. Cit. halaman 22.

40 Istilah Anak Tunagrahita Ringan dan Sedang di SLB 41 Nunung Apriyanto, Op. Cit, halaman 33-34.


(28)

mereka jarang menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.

5) Organisme, struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara di usia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan di antaranya banyak yang mengalami cacat bicara.

Sedangkan karakteristik anak tunagrahita menurut Brown42 1. Lamban dalam mempelajari yang baru, mempunyai

kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau berkaitan dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan terus menerus.

2. Kesulitan dalam menggeneralisasikan dan mempelajari hal-hal yang baru.

3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat.

4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak tunagrahita berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu dan mendongakkan kepala.

5. Kurang dalam menolong diri sendiri. Sebagian dari anak tunagrahita berat sangat sulit mengurus diri sendiri, seperti: berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.

6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler tetapi anak tunagrahita berat tidak melakukan dalam hal memberikan perhatian terhadap lawan main. 7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak

anak tunagrahita berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya: memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-benturkan kepala dll.


(29)

D. Kemampuan Pra Berhitung Tunagrahita

Guru sebagai pendidik sebaiknya memahami setiap siswa didiknya mengenai kesulitan belajar anak tunagrahita baik kategori anak C1 (tunagrahita sedang) maupun anak C (tunagrahita ringan). Kesulitan belajar yang dialami anak tunagrahita dalam keterampilannya dalam berhitung dapat diiidentifikasi dari kurang atau tidak dikuasainya beberapa keterampilan pra syaratnya atau pra berhitung yang meliputi empat kemampuan intelektual dasar yaitu kemampuan dalam klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi. Anak tunagrahita dengan kemampuan yang berbeda tentunya memiliki kemampuan pra berhitung juga yang tidak sama.

Maka dari itu, dengan guru mengetahui kemampuan pra berhitung anak, guru dapat merancang pembelajaran yang tepat dan sesuai untuk meningkatkan dan mengembangkan matematik siswa dalam berhitung.


(30)

(31)

23 A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Mardalis menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku, yang di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau tidak.1 Penelitian deskriptif ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti.2 Sedangkan kualitatif dipandang sebagai gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang alami.3

Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti akan mendeskripsikan mengenai kemampuan pra berhitung yang meliputi kemampuan/keterampilan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi pada anak berkebutuhan khusus yaitu tunagrahita. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data kualitatif yang diambil dari hasil tes pra berhitung dan wawancara.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlangsung pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Sedangkan sekolah luar biasa yang menjadi tempat penelitian adalah Sekolah Luar Biasa Karya Asih (SLB Karya Asih) yang berlokasi di jalan Margorejo Sawah 59E Surabaya. Sekolah luar biasa Karya Asih adalah sekolah khusus untuk anak penyandang retardasi mental atau keterbelakangan mental atau disebut dengan tunagrahita. Sekolah luar biasa ini

1 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 26.

2 Ibid.

3 Juliansyah Noor, Metode Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 34.


(32)

terdiri dari tiga tingkatan pendidikan yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Namun yang jadi batasan penelitian ini, peneliti memilih Sekolah Luar Biasa Karya Asih di tingkat sekolah menengah pertama kelas VIII. Berikut jadwal penelitiannya:

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

No Tanggal Waktu Kegiatan

1 26 Mei 2015 08.00 –

selesai

Permohonan izin observasi dari kampus kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya

2 27 Mei 2015 08.00 –

selesai

Penyerahan surat izin observasi dari kampus kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya, melakukan survei sekolah dan observasi awal serta

permohonan penentuan

subjek penelitian

3 19 Oktober

2015

08.00 – selesai

Permohonan izin penelitian dari kampus kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya

4 21 Oktober

2015

08.00 – selesai

Penyerahan surat izin penelitian dari kampus kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya 5 19 dan 21

Oktober 2015

08.00 – selesai

Permohonan validasi

instrumen penelitian kepada

dosen Pendidikan

Matematika, ahli psikologi

dan guru matematika

Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya


(33)

6 17, 18, 25 November dan 01 Desember 2015

09.30 – selesai

Pelaksanaan tes kemampuan

pra berhitung dan

wawancara kepada anak C1 dengan down sindrom dan anak C.

C. Subjek Penelitian

Pada saat peneliti melakukan survei sekolah luar biasa yang akan dijadikan tempat penelitian, peneliti sekaligus mengajukan permohonan subjek penelitian kepada guru SLB Karya Asih yaitu semua siswa kelas VIII Sekolah Menegah Pertama Luar Biasa (SMPLB) Karya Asih Surabaya yang terdiri dari 2 siswa yang keduanya memiliki kemampuan yang berbeda berdasarkan rekomendasi dari guru wali kelas VIII sekaligus guru pengajar mata pelajaran matematika serta data hasil pemeriksaan psikologi siswa. Diambilnya subjek penelitian hanya 2 siswa karena keterbatasan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut. Siswa yang pertama adalah siswa dengan kategori anak C1 yaitu siswa dengan kemampuan anak tunagrahita sedang dan berdasarkan karakteristik fisiknya, siswa pertama ini adalah anak down sindrom. Sedangkan siswa yang kedua adalah siswa dengan kategori anak C yaitu siswa dengan kemampuan anak tunagrahita ringan dan berdasarkan karakteristik fisiknya tidak jauh berbeda dengan anak regular.

Pengambilan dua subjek tersebut cukup mewakili klasifikasi anak tunagrahita yang mampu didik dan latih di sekolah luar biasa yaitu anak tunagrahita sedang dan anak tunagrahita ringan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan pra berhitung masing-masing anak tunagrahita.

Berikut identitas subjek penelitian:

1. Nama Inisial : AAA

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir/Usia : 01 Februari 1998/17 Tahun

Klasifikasi : Anak C1 (Tunagrahita Sedang)

Kelas : VIII

Alamat : Jl. Wonocolo Gang 8 Nomor 32


(34)

2. Nama Inisial : AR

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir/Usia : 06 Februari 1997/18 Tahun

Klasifikasi : Anak C (Tunagrahita Ringan)

Kelas : VIII

Alamat : Jl. Sidosermo Dalam 8A Surabaya

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilaksanakan meliputi tiga tahap yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data. Adapun penjelasan masing-masing tahapannya ialah sebagai berikut:

a. Tahap persiapan

Pada tahapan ini, kegiatan yang akan dilakukan antara lain:

1) Menentukan sekolah luar biasa yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian.

2) Meminta izin kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya untuk melakukan observasi awal.

3) Membuat kesepakatan dengan guru mata pelajaran matematika Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya mengenai subjek penelitian.

4) Menyusun instrumen penelitian berupa lembar soal tes pra berhitung dan daftar pertanyaan untuk kegiatan wawancara kepada siswa tunagrahita. 5) Melakukan validasi instrumen yang telah dibuat

kepada dosen Pendidikan Matematika, ahli psikolog dan seorang Guru Matematika Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya.

6) Menyerahkan surat izin penelitian dari kampus kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya.

7) Melakukan kesepakatan dengan Guru Matematika Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya mengenai waktu pelaksanaan penelitian.


(35)

b. Tahap pelaksanaan

Pada tahapan ini, kegiatan yang akan dilakukan yaitu: melaksanakan tes pra berhitung dan wawancara kepada subjek penelitian yaitu anak kategori C1 atau anak tunagrahita sedang dengan karakteristik fisik anak down sindrom dan anak kategori C atau anak tunagrahita ringan.

c. Tahap analisis data

Tahapan selanjutnya setelah tahap pelaksanaan sudah dilaksanakan ialah tahap analisis data. Data yang didapat dari tahap pelaksanaan yakni data hasil tes pra berhitung dan wawancara semi terstruktur.

E. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

1. Metode Tes

Dalam penelitian ini metode tes digunakan untuk mengetahui kemampuan pra berhitung meliputi kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi. Setelah lembar soal tes yang divalidasi oleh validator, maka selanjutnya tes tersebut diujikan kepada subjek penelitian. Pelaksanaan tes tersebut diujikan kepada masing-masing subjek di waktu yang berbeda karena waktu pelaksanan tes yang cukup lama dan kemampuan dari kedua subjek pun juga berbeda sehingga data yang diperoleh diharapkan akan sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Metode Wawancara

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara semi terstruktur, karena berkaitan dengan subjek yang diteliti adalah anak-anak berkebutuhan khusus yakni anak tunagrahita yang dalam kemampuan berbicaranya terbatas sehingga tidak

memungkinkan peneliti menggunakan wawancara

terstruktur. Pada metode wawancara ini, peneliti mengharapkan suatu penjelasan proses atau cara-cara subjek dalam menyelesaikan tes pra berhitung.


(36)

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang diperlukan pada penelitian ini berupa a. Lembar Soal Tes

Lembar soal tes pra berhitung yang terdiri dari empat tes kemampuan yang meliputi tes kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi. Lembar pedoman tes berupa lembar kisi-kisi, lembar butir-butir soal & kriteria keberhasilan serta Lembar Kerja Siswa (LKS). (Terlampir)

Pada penelitian ini, tes pra berhitung yang akan diajukan berupa tes kinerja. Maksudnya, tes di mana siswa diminta untuk menunjukkan kemampuannya dalam klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi. Tes ini terdiri dari empat tes kemampuan yang meliputi kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi.

b. Daftar Pertanyaan

Berisikan daftar pertanyaan untuk kegiatan wawancara semi terstruktur kepada siswa tunagrahita. Mengingat subjek yang akan diwawancara adalah anak berkebutuhan khusus, pertanyaan yang dibuat harus menggunakan bahasa sesederhana mungkin sehingga dipahami oleh subjek penelitian (Terlampir).

Sebelum instrumen penelitian tersebut digunakan, maka perlu dilakukan validasi agar tes tersebut valid dan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan peneliti:

(1) Membuat draf instrumen penelitian.

(2) Mengkonsultasikan draf instrumen yang telah dibuat kepada dosen pembimbing, jika disetujui maka langkah selanjutnya yaitu mengajukan validasi kepada validator.

Validator instrumen yaitu:

1. Ahli Psikologi khusus yang menangani anak tunagrahita,

2. Dosen Prodi Pendidikan Matematika

3. Guru Matematika Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya.


(37)

(3) Meminta validasi kepada validator yaitu dosen pendidikan Matematika, ahli bidang psikolog dan guru matematika Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya agar mendapatkan instrumen yang valid dan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

G. Analisis Data

Analisis data, menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. 4 Pada penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah analisis data dengan model interaktif yang dikemukakan oleh Miles & Huberman. Teknik analisis data model interaktif Miles & Huberman terdiri atas empat tahapan yang harus digunakan yaitu:

1. Pengumpulan data

Proses pengumpulan data dilakukan sepanjang penelitian berlangsung. Pada penelitian ini, data yang didapat berupa hasil tes pra berhitung dan wawancara.

2. Reduksi data

Setelah data yang didapat cukup untuk dianalisis dan diproses. Langkah selanjutnya yaitu reduksi data. Inti dari reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis.5 Hasil dari tes dan wawancara diubah menjadi bentuk tulisan.

Hasil tes diformat menjadi bentuk lampiran hasil tes dan hasil wawancara diformat menjadi transkrip wawancara.

Gambar 3.1 Format Hasil Data

4 Ibid, halaman 280.

5Haris Herdiansyah, Op. Cit, halaman 165.

Hasil Tes Tabel Hasil tes Hasil


(38)

3. Display data

Display data merupakan semua data yang sudah

dikelompokkan dan diformat menjadi bentuk tulisan sehingga memudahkan untuk mengambil suatu kesimpulan. Pada penelitian ini, display data memaparkan hasil tes pra berhitung dan transkrip wawancara yang selanjutnya akan dianalisis. Analisis mengenai kemampuan pra berhitung anak tunagrahita yang meliputi empat kemampuan yaitu kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi pada masing-masing kategori anak yaitu anak C1 dan anak C.

4. Kesimpulan/verifikasi

Setelah tahap display data, langkah selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan mengenai kemampuan anak dalam pra berhitung, sehingga didapat data profil anak tunagrahita dalam kemampuan pra berhitung: klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi.


(39)

31

Pada Bab IV ini, peneliti akan mendeskripsikan data dan hasil penelitian tentang permasalahan yang telah dirumuskan pada BAB I, yakni Profil Kemampuan Pra Berhitung Tunagrahita Anak C1 dan C di Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya. Hasil penelitian ini diperoleh melalui teknik tes pra berhitung meliputi empat tes kemampuan yaitu tes kemampuan klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi dengan total soal 30 serta dalam pelaksanaannya disertai dengan wawancara bersifat semi terstruktur dengan subjek penelitian untuk menghasilkan data yang lebih detail mengenai kemampuan pra berhitung tunagrahita. Dari hasil tes pra berhitung dan wawancara yang didapat kemudian dianalisis. Analisis ini terfokus pada anak tunagrahita dengan kemampuan sedang dan ringan.

Agar pembahasan lebih sistematis dan terarah maka peneliti membagi ke dalam tiga bahasan, antara lain:

1. Profil Anak Tunagrahita

2. Analisis Deskriptif Hasil Penelitian 3. Pembahasan Hasil Penelitian

A. Profil Anak Tunagrahita 1. Profil AAA

AAA adalah salah satu siswa laki-laki di Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya kelas VIII. Siswa berusia 18 tahun ini merupakan siswa berkebutuhan khusus yaitu tunagrahita sedang. Pada BAB II telah dijelaskan bahwa tunagrahita sedang adalah anak tunagrahita yang memiliki IQ berkisar antara 40-54 yang mampu latih. Selain itu, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang tertuang dalam lampiran dokumentasi laporan hasil pemeriksaan psikologi menyatakan bahwa AAA mendapatkan diagnosa down sindrom. (Terlampir)

Pada BAB II menjelaskan bahwa anak dengan down sindrom atau sindrom down memiliki ciri-ciri wajah yang khas yaitu wajah mongol dan mata sipit. Dalam kesehariannya, AAA menggunakan kacamata untuk membantunya melihat karena memiliki mata minus.


(40)

Di bidang akademis, AAA mengalami banyak kesulitan, seperti kesulitan membaca, menulis dan berhitung. Berdasarkan keterangan dari guru pengajarnya, AAA kesulitan dalam membaca dan menulis. Kesulitannya dalam membaca dan menulis karena dia mengalami kesulitan dalam mengingat/menghafal huruf serta kesulitan yang lain yaitu kesulitan berhitung karena AAA belum mampu mengingat simbol-simbol bilangan. AAA dapat mengucapkan secara berurutan (membilang) bilangan 1-10, namun tidak dapat mengingatnya.

2. Profil AR

AR adalah salah satu siswa perempuan kelas VIII Sekolah Luar Biasa Karya Asih Surabaya, teman satu kelas AAA. AR kelahiran 6 Februari 1997 dan tahun ini menginjak usia 19 tahun. Walaupun satu kelas dengan AAA, kemampuan akademisnya di atas kemampuan AAA. AR merupakan anak tunagrahita ringan yaitu anak tunagrahita yang memiliki IQ berkisar antara 70 – 55yang mampu latih. Berdasarkan penjelasan dari guru yang mengajarnya di kelas, AR sudah dapat mengenal huruf dan bilangan. Namun dalam membaca, AR masih mengeja dan AR juga sudah mengenal bilangan apapun namun jika dihadapkan dengan bilangan yang besar terkadang salah mengucapkannya.

Berdasarkan jasmani atau fisiknya, AR tidak ada perbedaan dengan anak reguler. AR sama halnya dengan anak-anak pada umumnya. Dia dapat bermain bersama teman-temannya, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar seperti anak pada umumnya. AR tumbuh menjadi anak yang periang, murah senyum dan baik kepada sesama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa peneliti mengambil seorang siswa dari masing-masing

kemampuan anak tunagrahita yang didasarkan

penjelasan/keterangan dari guru kelas dan hasil pemeriksaan psikologis siswa, sehingga diperoleh subjek penelitian sebagai berikut:


(41)

Tabel 4.1

Daftar Nama Subjek Penelitian

No Nama

Klasifikasi Tunagrahita

Kode Subjek

1. AAA C1 S1

2. AR C S2

Tes pra berhitung yang terdiri dari 30 soal dan lembar observasi yang telah divalidasi oleh dosen Pendidikan Matematika, ahli psikologi SLB dan guru Matematika SLB kemudian diujikan kepada dua subjek tersebut pada tanggal 17 November – 01 Desember 2015 pada jam 09.30 sampai selesai di SLB Karya Asih Surabaya.

B. Analisis Deskriptif Hasil Penelitian

Analisis deskriptif data penelitian adalah analisis pada data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan tes pra berhitung serta wawancara semi terstruktur dengan subjek penelitian yang terdiri dari 2 anak yaitu 1 anak tunagrahita sedang (anak C1) dan 1 anak tunagrahita ringan (anak C). Berdasarkan hasil tes dan wawancara dengan subjek penelitian maka peneliti dapat menganalisis masing-masing kemampuan pra berhitung pada masing-masing anak tunagrahita sebagai berikut.

1. Kemampuan Pra Berhitung pada S1 a. Kemampuan Klasifikasi pada S1

Keterampilan/kemampuan klasifikasi, yaitu

kemampuan dalam mengelompokkan objek/benda

berdasarkan sifat-sifat khususnya. Berdasarkan sifat khususnya, pada penelitian ini klasifikasi dibuat menjadi tiga bagian antara lain:

 Klasifikasi-1 (mengelompokkan objek/benda

berdasarkan warna),

 Klasifikasi-2 (mengelompokkan objek/benda


(42)

 Klasifikasi-3 (mengelompokkan objek/benda berdasarkan ukuran).

1) Mengelompokkan Objek Berdasarkan Warna pada S1

Peneliti menganalisis bahwa S1 belum dapat mengelompokkan benda berdasarkan warna benda dari benda yang disediakan. Hal itu dapat dilihat dari tabel 4.2 hasil tes pra berhitung klasifikasi-1 butir soal nomor 1 – 4 berikut.

Tabel 4.2

Hasil Tes Pra Berhitung Klasifikasi-1 S1 Program Pra

Berhitung

Butir-Butir Soal Kemampuan Keterangan Dapat Tidak

Dapat Klasifikasi-1  Mengelompok-kan objek berdasarkan warna

1. Anak diminta mengelompok-kan objek berdasarkan warna yang sama 2. Anak diminta

mengelompok-kan dua warna dari objek yang ditunjuk 3. Anak diminta

mengelompok-kan tiga warna dari objek yang ditunjuk 4. Anak diminta

mengelompok-kan empat warna dari objek yang ditunjuk     Tidak dapat membedakan warna benda dan kesulitan dalam menyebutkan nama warna.


(43)

Berdasarkan tabel di atas, total ada empat tes yang diberikan untuk mengelompokkan

objek/benda berdasarkan warna dari

mengelompokkan objek berdasarkan warna yang

sama, mengelompokkan dua warna objek,

mengelompokkan tiga warna objek hingga

mengelompokkan empat warna objek, semuanya tidak dapat diselesaikan dengan tepat.

Kesulitan S1 dalam membedakan warna-warna benda serta keterbatasan dalam mengingat nama warna benda menjadi faktor penyebab S1 tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan tersebut. Hal itu didukung dari kutipan wawancara pada soal 1, yakni tes mengelompokkan objek berdasarkan warna yang sama:

P : “Ini (menunjukkan kartu merah dan biru) sama atau beda?”

S1.1 : “Beda” P : “Kenapa beda?”

S1.2 : “Putih” (menunjuk kartu merah) “Kuning” (menunjuk kartu biru)

P : “Apa warna kartu yang dipegang itu?” (kartu hijau dan kuning)

S1.3 : “Putih”

P : (mengambil 1 kartu kuning dan 1 kartu hijau) “Sama atau tidak?”

S1.4 : “Iya”

P : “Iya itu sama atau tidak?” S1.5 : “Putih” (menunjuk kartu kuning) P : “Putih. Kalau yang ini (kartu hijau)?” S1.6 : “Putih”

P : “Ini (dua kartu kuning)” S1.7 : “Putih”


(44)

Gambar 4.1

S1 Membandingkan Objek Dua Warna

Tes mengelompokkan benda berdasarkan warna belum dapat diselesaikan dengan benar. Hal itu dapat dilihat dari seringnya S1 mengelompokkan benda beda warna seperti hijau dan kuning dalam satu kelompok warna yang sama.

Gambar 4.2

S1 Mengelompokkan Objek Warna Biru dan Kuning

Selain itu, kemungkinan juga karena S1 tidak mengerti apa yang diperintahkan. Seperti pada soal 2, yaitu untuk mengelompokkan benda


(45)

berwarna merah dan kuning, S1 mengambil dan meletakkan berbagai warna kartu di atas meja seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.3

S1 Mengumpulkan Berbagai Warna Objek

Ketidakkonsistenan jawaban yang diberikan seperti menyebutkan nama warna-warna yang selalu berubah, contoh warna merah kadang dibilang kuning, putih, merah, abang dan dari semua warna yang ada yang sering disebut yaitu warna kuning. S1 lebih familiar dengan warna kuning maka dari itu semua warna hampir disebut dengan kuning. Berikut hasil wawancara yang mendukung:

Soal 2

S1.8 : (mengambil kartu-1: merah) “Putih” S1.9 : (mengambil kartu-2: kuning) “Kuning” S1.10 : (mengambil kartu-3: merah) “Putih” S1.11 : (mengambil kartu-4: hijau) “Kuning” S1.12 : (mengambil kartu-5: biru) “Hijau” S1.13 : (mengambil kartu-6: kuning) “Kuning” S1.14 : (mengambil kartu-7: merah) “Kuning” S1.15 : (mengambil kartu-8: biru) “Hijau” S1.16 : (mengambil kartu-9: hijau) “Kuning” S1.17 : (mengambil kartu-10: biru) “Kuning” S1.18 : (mengambil kartu-11: kuning) “Kuning” S1.19 : (mengambil kartu-12: merah) “Kuning”

P : “Sama atau beda?” (menunjukkan kartu kuning dan hijau)


(46)

S1.20 : “Beda”

“Kuning” (menunjuk kartu kuning) “Kuning” (menunjuk kartu hijau) P : “Sama atau beda?”

S1.21 : “Abang” (menunjuk dua kartu merah) P : “Abang, sama atau enggak?” S1.22 : “Enggak”

Soal 3

P : “Apa birunya gak ada?”

S1.23 : “Gak ada” (kenyataannya kartu biru ada)

Ketidakkonsisten jawaban S1 juga terlihat dari saat menjawab pertanyaan yang cenderung mengulang kata terakhir dari pertanyaan tersebut (S1.20, S1.22 dan S1.23). S1 cenderung mengatakan sesuatu yang merupakan pengulangan dari apa yang dia dengar. Intinya S1 suka menirukan ucapan bahkan tindakan yang dia dengar/lihat.

S1 kesulitan dalam membedakan warna kuning dan hijau sehingga S1 mengelompokkan kedua warna tersebut menjadi satu kelompok warna yang sama tetapi dia mampu membedakan warna merah dengan warna yang lain dan berhasil mengelompokkan 4 kartu berwarna merah dari 5 kartu merah walaupun S1 belum dapat mengingat nama warna merah dengan baik.

2) Mengelompokkan Objek Berdasarkan Bentuk pada S1

Peneliti menganalisis bahwa S1 belum dapat mengelompokkan benda berdasarkan bentuk benda dari benda yang disediakan. Hal itu dapat dilihat dari tabel 4.3 hasil tes pra berhitung klasifikasi-2 butir soal nomor 5 – 9 berikut.


(47)

Tabel 4.3

Hasil Tes Pra Berhitung Klasifikasi-2 S1 Program Pra

Berhitung

Butir-Butir Soal Kemampuan Keterangan Dapat Tidak

Dapat Klasifikasi-2  Mengelompok-kan objek berdasarkan bentuk

5. Anak diminta mengelompok-kan objek berdasarkan bentuk yang sama

6. Anak diminta mengelompok-kan objek berbentuk lingkaran 7. Anak diminta

mengelompok-kan objek berbentuk persegi 8. Anak diminta

mengelompok-kan objek berbentuk segitiga 9. Anak diminta

mengelompok-kan objek berbentuk persegi panjang      Tidak dapat membedakan bentuk persegi dan persegi panjang dan tidak bisa mengenal nama-nama bangun datar

Berdasarkan tabel di atas, S1 hanya mampu menyelesaikan 1 soal dari 5 soal yang ada dalam mengelompokkan objek/benda berdasarkan bentuk

yaitu S1 mampu menyelesaikan tugas


(48)

lingkaran. Di samping itu, S1 belum mampu mengelompokkan objek berdasarkan bentuk yang sama, mengelompokkan objek berbentuk persegi, mengelompokkan objek berbentuk segitiga dan mengelompokkan objek berbentuk persegi panjang. Satu tugas dapat diselesaikan dengan benar dibandingkan dengan empat tugas yang tidak dapat diselesaikan, menyimpulkan S1 belum mampu mengelompokkan benda berdasarkan bentuk.

Gambar. 4.4

S1 Mengelompokkan Objek Berdasarkan Bentuk yang Sama

Ketidakmampuan S1 dalam

mengelompokkan bentuk benda disebabkan karena S1 tidak memahami apa yang diperintahkan yaitu tidak memahami kata ‘mengelompokkan’ atau ‘mengumpulkan’ benda, dapat dilihat pada gambar. 4.4 bagaimana S1 menyelesaikan tugas ini. Selain itu, S1 belum memahami nama bentuk-bentuk benda bangun datar seperti lingkaran, persegi, segitiga dan persegi panjang.

Hal itu dapat dilihat dari jawaban S1 yang sering menyebutkan warna kuning setiap ditanya bentuk bendanya apa dan juga setiap mengambil benda. Hal itu mendeskripsikan bahwa S1 belum paham apa yang ditanyakan sehingga terfokus hanya


(49)

pada warna benda tersebut dan warna yang sering S1 sebut untuk menyatakan bentuk benda yaitu ’kuning’ karena dari awal tes pun, kuning adalah istilah/nama warna yang familiar dan diingat. Berikut cuplikan wawancaranya yang mendukung

Soal 5

S1.24: (memegang lingkaran biru dan merah) “Kuning” P : “Bentuknya apa?”

S1.25: (mengambil persegi panjang biru) “Hijau” S1.26: (mengambil persegi merah dan biru) “Biru” P : “Apa bentuk benda itu? (menunjuk dua segitiga) S1.27: “Pink, Kuning”

S1.28: (mengambil persegi hijau, persegi kuning, persegi panjang hijau dan persegi panjang kuning) “Kuning” P : “Sama tidak bentuknya?” (menunjukkan dua segitiga) S1.29: “Kuning, Hijau”

P : “Sama tidak bentuknya” (menunjukkan 4 benda berbentuk lingkaran)

S1.30: “Iya, Kuning”

P : “Apakah bentuknya sama, benda ini dan benda ini?” (menunjukkan benda berbentuk persegi dan persegi panjang)

S1.31: “Kuning”.

Dalam prosesnya S1 mampu

mengelompokkan beberapa benda berbentuk tertentu jika jumlahnya terbatas atau berjumlah sedikit. Jika bendanya banyak, S1 hanya mampu mengumpulkan 2 hingga 4 benda saja, tidak semua. Selain itu, S1 kesulitan dalam membedakan benda berbentuk persegi dan persegi panjang. Benda yang bentuknya sangat berbeda seperti lingkaran dan segitiga S1 mampu membedakan namun saat dihadapkan dengan benda yang hampir mirip bentuknya seperti persegi

dan persegi panjang, S1 belum dapat

membedakannya.

3) Mengelompokkan Objek Berdasarkan Ukuran pada S1

Peneliti menganalisis bahwa S1 belum dapat mengelompokkan benda berdasarkan ukuran benda dari benda yang disediakan. Hal itu dapat dilihat dari


(50)

tabel 4.4 hasil tes pra berhitung klasifikasi-3 butir soal nomor 10 – 12 berikut.

Tabel 4.4

Hasil Tes Pra Berhitung Klasifikasi-3 S1 Program Pra

Berhitung

Butir-Butir Soal Kemampuan Keterangan Dapat Tidak

Dapat Klasifikasi-3  Mengelompok-kan objek berdasarkan ukuran

10. Anak diminta mengelompok-kan objek yang berukuran kecil 11. Anak diminta

mengelompok-kan objek yang berukuran sedang 12. Anak diminta

mengelompok-kan objek yang berukuran besar    Dapat membanding-kan 2 hingga 3 benda beda ukuran dan menunjukkan mana benda yang paling kecil dan paling besar tapi tidak dengan yang berukuran sedang namun belum dapat mengelompok-kan nya. Berdasarkan tabel di atas yang berisikan 3 butir soal antara lain mengelompokkan objek yang berukuran kecil, besar dan sedang. Dari ketiga soal tersebut, semuanya tidak dapat diselesaikan dengan

benar. Dalam prosesnya S1 mampu/dapat

membandingkan dan menunjukkan mana objek berukuran kecil maupun objek yang berukuran besar dari dua objek yang ditunjuk dengan syarat bentuk benda harus sama jika bentuk bendanya tidak sama, S1 terlihat bingung menjawabnya.


(51)

Gambar. 4.5

S1 Mengelompokkan Objek Berukuran Besar

S1 belum dapat mengumpulkan semua benda yang berukuran kecil, besar maupun sedang dari benda-benda yang tersedia. Hanya beberapa benda berukuran kecil maupun besar yang dapat dikumpulkan S1. Selain itu penggunaan dalam bahasa Jawa juga membantu S1 dalam memahami kata-kata karena S1 di rumah terbiasa berbahasa Jawa. Walaupun seperti itu, S1 masih bisa dan memahami berbahasa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari cuplikan wawancara yang mendukung.

Soal 10

S1.32: “Cilik” (mengambil segitiga kecil dan besar) P : “Dari dua benda ini, manakah yang paling kecil?”

(menunjukkan segitiga kecil dan besar itu) S1.33: (menunjuk segitiga kecil)

P : “Manakah yang paling kecil?” (menunjukkan segitiga sedang dan besar )

S1.34: (menunjuk segitiga ukuran sedang) “Kuning” P : “Manakah yang paling kecil?” (menunjukkan segitiga

sedang dan kecil) S1.35: (menunjuk segitiga kecil)


(52)

b. Kemampuan Ordering pada S1

Keterampilan/kemampuan ordering, yaitu

kemampuan dalam mengurutkan objek/benda

berdasarkan tipe atau pola tertentu. Pada penelitian ini ordering dibuat menjadi 3, antara lain:

Ordering-1 (mengurutkan objek/benda berdasarkan pola warna),

Ordering-2 (mengurutkan objek/benda berdasarkan pola bentuk dan mengurutkan objek/benda berdasarkan pola warna dan bentuk), serta

Ordering-3 (menghitung objek/benda hanya sekali secara berurutan).

1) Mengurutkan Objek Berdasarkan Pola Warna pada S1

Peneliti menganalisis bahwa S1 belum dapat mengurutkan benda berdasarkan pola warna dari benda yang disediakan. Hal itu dapat dilihat dari tabel 4.5 hasil tes pra berhitung ordering-1 butir soal nomor 13 – 15 berikut.

Tabel 4.5

Hasil Tes Pra Berhitung Ordering-1 S1 Program

Pra Berhitung

Butir-Butir Soal Kemampuan Keterangan Dapat Tidak

Dapat Ordering-1  Mengurut-kan objek berdasar-kan pola warna

13. Anak diminta mengurutkan objek berdasarkan 2 pola warna 14. Anak diminta

mengurutkan objek berdasarkan 3 pola warna   Kesulitan mengingat warna benda dan tidak paham perintah ordering


(53)

15. Anak diminta mengurutkan objek berdasarkan 4 pola warna

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa soal 13, 14 dan 15 S1 tidak dapat menyelesaikannya. Tiga soal tersebut antara lain mengurutkan objek berdasarkan 2 pola warna, 3 pola warna dan 4 pola warna. S1 belum dapat mengurutkan benda berdasarkan pola ukuran warna karena dari awal tes pada tes klasifikasi benda berdasarkan warna S1 mengalami kesulitan dalam membedakan warna dan mengingat nama atau istilah warna benda. Hal itu dapat dilihat dari pengambilan kartu warna dan penyebutan nama warna yang tidak konsisten. Walaupun telah diberikan model/contoh sebagai petunjuk pengerjaan, S1 tetap tidak dapat

menyelesaikannya dengan baik. Apa yang

dilakukannya lebih kepada mengelompokkan warna benda seperti warna yang ada dicontoh, tidak sampai mengurutkan warna benda tersebut sesuai apa yang diinstruksikan. Itu menandakan S1 memahami bahwa mengurutkan itu sama dengan mengelompokkan atau mengumpulkan.

Pengelompokkan yang dilakukan S1 pun tidak sepenuhnya tepat karena ada kartu beda warna dijadikan satu kelompok warna yaitu kartu kuning dan kartu hijau karena mengingat dari awal tes pun S1 sulit membedakan warna hijau dan kuning. Hal itu dapat dilihat dari hasil pengerjaan S1 dalam mengurutkan kartu berdasarkan 3 pola warna pada gambar 4.6 di bawah ini.


(54)

Gambar 4.6

S1 Mengurutkan Objek Berdasarkan Pola Warna

Ketidakpahamanan anak dalam mengenal warna benda mempengaruhi anak dalam memahami keterampilan selanjutnya yaitu mengurutkan benda berdasarkan pola warna.

Gambar. 4.7

S1 Mengurutkan Objek Berdasarkan 4 Pola Warna


(55)

2) Mengurutkan Objek Berdasarkan Pola Bentuk pada S1

Peneliti menganalisis bahwa S1 belum dapat mengurutkan benda berdasarkan pola bentuk dari benda yang disediakan. Hal itu dapat dilihat dari tabel 4.6 hasil tes pra berhitung ordering-2 butir soal nomor 16 – 19 berikut.

Tabel 4.6

Hasil Tes Pra Berhitung Ordering-2 S1 Program Pra

Berhitung

Butir-Butir Soal Kemampuan Keterangan Dapat Tidak

Dapat Ordering-2  Mengurut-kan objek berdasarkan pola bentuk

16. Anak diminta mengurutkan objek berdasarkan 2 pola bentuk 17. Anak diminta

mengurutkan objek berdasarkan 3 pola bentuk 18. Anak diminta

mengurutkan objek berdasarkan 4 pola bentuk 19. Anak diminta

mengurutkan berdasarkan objek pola warna dan bentuk     Kesulitan memahami bentuk benda dan tidak paham perintah ordering


(1)

mengurutkan dan menyusun benda berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga anak diharapkan nantinya akan mudah dalam diajarkan lambang matematika.

 Korespondensi ialah memahami bahwa banyaknya objek suatu tempat akan sama banyaknya dengan objek pada tempat lain yang memiliki karakteristik berbeda. Pada kemampuan ini, anak mulai diajarkan memahami sesuatu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak C1 belum cukup memahami kesamaan nilai suatu objek dari beberapa kelompok objek yang berbeda karakteristiknya. Hal itu dapat dilihat dari belum dapat menghubungkan keterkaitan jumlah objek dengan lambang bilangan yang sesuai. Sedangkan anak C sudah mampu menguasai kemampuan ini.

 Konservasi, ini adalah tahapan paling sulit pada anak. Walaupun seperti itu, anak C mampu mengkonservasi benda namun belum dapat mengkonservasi benda zat cair (air) bila dipindahkan ke tempat lain. Berbeda halnya dengan anak C1, belum dapat mengkonservasi benda. Butuh latihan terus-menerus diberikan untuk dapat menguasai kemampuan ini karena mengingat anak C1 yang diperlukan adalah latihan yang intens sehingga terbiasa dan dapat memahaminya.


(2)

(3)

81

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa pada tingkat SMP, anak C1/tunagrahita sedang memiliki kemampuan pra berhitung yang masih kurang. Sedangkan tunagrahita ringan memiliki kemampuan pra berhitung cukup baik untuk mempelajari keterampilan matematika berikutnya.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut :

1. Subjek pertama yaitu anak C1/tunagrahita sedang dam down sindrom belum dapat menguasai kemampuan/keterampilan pra berhitung, maka dari itu guru sebaiknya menekankan pembelajaran materi pra berhitung yang meliputi empat kemampuan dasar: klasifikasi, ordering & seriasi, korespondensi dan konservasi sebagai pra syarat dalam mengajarkan kemampuan/keterampilan matematika selanjutnya yaitu konsep bilangan dan berhitung. Pembelajaran pra berhitung pada tunagrahita sedang dapat diterapkan dengan menggunakan metode permainan yang dirancang semenarik mungkin dengan memanfaatkan media-media sederhana yang ditemui dalam sehari-hari seperti kartu-kartu warna, benda-benda berbentuk bangun datar dll karena pembelajaran dengan bermain adalah salah satu metode pembelajaran yang sangat cocok bagi anak.

2. Selain itu, berdasarkan simpulan di atas subjek kedua yaitu tunagrahita ringan/anak C mampu menguasai kemampuan pra berhitung namun masih kesulitan dalam mengurutkan objek dalam tes ordering. Maka dari itu, alahkah baiknya jika anak C disamping tetap melanjutkan pembelajaran matematika berdasarkan kurikulum yang ada juga diikutsertakan dalam pembelajaran pra berhitung bersama-sama anak C1, dengan harapan agar antara anak C dan C1 dapat saling bekerja sama


(4)

82

dengan baik dalam menguasai semua keterampilan pra syarat atau pra berhitung.

3. Pada penelitian ini subjek penelitian yang diambil hanya 2 siswa karena keterbatasan subjek C dan C1 di SLB, maka dari itu peneliti menyarankan pada penelitian berikutnya untuk mengambil beberapa subjek dari masing-masing subjek C dan C1 agar memperoleh profil kemampuan pra berhitung yang lebih baik.


(5)

83

Apriyanto, Nunung. Seluk-Beluk Tunagrahita Strategi Pembelajarannya. Jogjakarta: Javalitera. 2012.

Aryono. Skripsi: “Pengelolaan Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan

Khusus di Sekolah Inklusi SMP Negeri 29 Surabaya”.

Surabaya: Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 2012.

Beaty, Janice J. Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana. 2013.

Delphie, Bandi. Pendidikan Anak Autis. Sleman: PT. Intan Sejati Klaten.2009.

Fatonah. Skripsi: “Kemandirian Pada Anak Tunagrahita: Studi Kasus di

Kawasan Jambangan Surabaya”. Surabaya: Institut Agama

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 2010.

Gabe, Rossa Turpuk. Anak Tuna Grahita dan Perkembangannya. FT-UI. 2008.

Grafika, Redaksi Sinar. UU Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Tahun 2002). Jakarta: Sinar Grafika. 2003.

Haugaard, Jeffrey J. Child Psychopathology. Singapure: The McGraw-Hill Companies. 2008

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. 2011.

Hidayati, Kurnia. 2012. “Pembelajaran Matematika Usia SD/MI Menurut Teori Belajar Piaget, Jurusan Tarbiyah STAIN”, Cendekia Vol. 10 No. 2. 2012.

Hudojo, Herman. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.

Jahja, Yudrik. Psikologi Perkembangan Edisi Pertama. Jakarta: Kencana. 2011.

Khotimah, Chusnul. Skripsi: “Profil Intuisi SIswa Kelas VIII dalam

Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari

Kecenderungan Kepribadian”. Surabaya: Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya. 2014.

Lapindus, Ira M. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1982.

Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara. 1995.


(6)

84

Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodelogi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2009.

Noor, Juliansyah. Metode Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.

Qodratillah, Meity Taqdir dkk. Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Santrock, John. “Perekembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid I”

Translated by Mila Rachmawati & Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga. 2007.

Slaughter , Stella Stillson. The Mentally Retarded Child And His Parent. New York: Harper And Brothers. 1960.

Wikasanti, Esthy. Mengupas Therapi Bagi Para Tuna Grahita: Retardasi Mental Sampai Lambat Belajar. Jogjakarta: Maxima. 2014.

Wiyani, Novan Ardy. Buku Ajar Penanganan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Ar-ruzz Media. 2014.

http://jendralabaz.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-pra-berhitung-pada-anak.html, diakses pada tanggal 24 Juli 2015 pukul 20.09

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/1956021 41980032\TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkuliahan/ Materi_asesmen/ASESMEN_PRA_BERHITUNG.ppt_%5BC ompatibility_Mode%5D.pdf diakses pada tanggal 14 Agustus 2015 pukul 08.23

http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_plb_0610307_chapter1.pdf diakses pada tanggal 14 Agustus 2015 pukul 09.44

http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_pbio_050495_chapter3.pdf diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 pukul 18.34