PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA DI SEKOLAH INKLUSI (SDN SIDOSERMO 1) SURABAYA.

(1)

PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA di SEKOLAH INKLUSI (SDN

SIDOSERMO 1) SURABAYA SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Fitri Yanuar Aini B07212050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG SISWA TUNAGRAHITA di SEKOLAH INKLUSI (SDN

SIDOSERMO 1 SURABAYA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Fitri Yanuar Aini B07212050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(3)

PERNIYATAAN

Dcngan

ini saya

mcn)atakm hahrva skripsi yang berjudurl "Pengarul, Per-mainan Kadu (laulbar l er-hadap I(elranlpuan Berhitlrrlg Anak Tlnlegralljta cli Sekolah lnklusi (SDN Sklosemro

l)

Surabaya' mcrupakan karya asii yang diajukar untuk mcnrpcrolch gclar Salma Psikologi di L-rnivelsitas Islarn Negeri Sunan Arnpcl Surabaya. Karya

ini

scpa jang pcngctahua[ sayr tiL]ak terdrpa{

karl,a atau pendapar yang pcmah ditlrlis atau ditclbitkan oleh or-ang luin. kecuali

yang secala tefiulis di acuh rlalam naskah rni dan disebutkan dalirrn dalial pustalia.

Sulabaya. 1.,1 Oktober' 2016


(4)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

PENGARUH PERMAINAN KARTU GAMBAR TERIIADA} KEMAMPUA]\

BERHITIJNG SISWA TUNAGRAHITA DI SEKOLATI INKLUSI

(SDN SIDOSERMO 1) SUR\DAYA

Yang disusun oleh t ilri Yanuar Aini (B07212050) 'lelah dipcrtahankan didepan Tirn Penguji

I'ada targgal 14 Oklobcr 2016

Mcngctahui.

Sholeh. M.Pd

Sustman Tim Penguji

NtP.t97 609222009 122001

Dr'. S. Khorrilatul Kholimah. M.Psi. Psikolog NtP. 1977111620080r 20 r 8

Pengu.ji IV

----'/-\

a

)-RiTmr f irhlf

s

Psi.. \1Si

NIP. I 9740312199990,-r1001

Penguii

II

Hrnritr R,,.r

idi

1rf Si t9620824t98'/03 t002

dan kesehatan

990021001


(5)

K[,N'I

ENTERIAN

AGANTA

IINJ\,'ERSITAS

ISLAXI

N[GERI

SLINAN .A.I'IPEL

S(IR,\BT\Y'{

PEITPT]S1'AKAAN

Jl Jend A Yani 1 I 7 SuJaba\ a 6011 7 Tclp 031-il1ll972Fa\03I-ltllll0ll

tr-r\{ai1. perpus !i uinsb\.ac id

LEMBAR ?ERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLII'ASI

KARYA II-A,IIAH L]NTUK KEPENTINGAN AI.ADEMIS

Sebagar sivitas akademiLa UIN Sunan Ampel Surabaya, lang bertanda tangn di bawah ini. srya: Najna

NJM

: Fitt YanLLar Ainl :807212050 Fa.L:l tasl]urusan :l,sikologl

E rrr il rddLcss : S1afir_s f(nj1irc. com

Deru pengembangn ilmu pengetahuan, menyetujui untrk membedkan kepada Petpustal,zan

UI\

Slman -Ampel Surabaya, Ha1< Bebas Royalt Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

MSkLipsi E Tesis -

Deserlasi

Ll

Lain lain

(...

.. .

) y:ng berjudul r

Pengaoh Penn2rnan Katu Gembar Terhadap Kemampuaa Berhitung Srswa Tunagrrhita di

Sekolah Inklusi (SDN Sidosermo 1) Surabaya

beseru permgkat yzrlg dipedukan (bila ada). Dengn Hah Bebas Royrlti Non Ekslusif ini Perpustataan UIN Suta,r Anpel Surabaya berhak melyimpan, mengalih-media/lormat-kan, mengelolaal'z delam bentuk pangLalan

daa

(database), mendistribusikannya, dan nrnempilkan/mempublikasikannya di Intemet

^ra\ ff\edL 1in sec.trr, fillltext LurtuJr kepenongan akademis tanpa perlu meminti ijin dari saya selama tetap mencantumk

n

nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau pener.bit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk meflangung secara pribadi, tanpa melibadqfl piluk Pcrpustalaar UIN Suflan Ampel Surabaya, segala befltuL Luntutan hukum ,vang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya rlniah saya ini.

Demikran pernyataan ini vang saya buat dengan sebenatrl.a.

Sunbaya,

3t

Ottob.t

2oV

Penulis

,rllry

(Fitd Yanuff Aini)


(6)

 

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh permainan kartu gambar terhadap kemampuan berhitung anak tunagrahita. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan eskperimen. Subjek penelitian berjumlah 2 anak dengan kriteria inklusi usia 1 SD, sehat, dan memiliki IQ dalam rentang 50-70 (tunagrahita ringan), penelitian ini menggunakan teknik Single Subject Research. Pemilihan modul (permainan kartu gambar) melalui expert jugment dengan dua ahli, yaitu ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi klinis. Alat tes yang digunakan adalah lembar observasi kemampuan berhitung yang terdiri dari 6 aitem yang menggunakan penyekoran sesuai kemampuan subjek. Hasil penelitian menggunakan teknik analisis visual grafik.  Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua instrumen yaitu instrumen perlakuan (panduan pembelajaran) dan instrumen pengukuran berupa lembar observasi skala interaksi sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode permainan kartu gambar efektif untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita.


(7)

 

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the effect of drawing card game against the numeracy skills of children with intellectual challenges. This research is a quantitative research using experimentation. Subjects numbered 2 children with 1 SD age inclusion criteria, healthy, and has an IQ in the range of 50-70 (mild mental retardation), this study using the technique of Single Subject Research. Selection module (card game images) through expert jugment with two experts, namely educational psychologists and clinical psychologists. Assay used is observation sheet numeracy consisting of 6-item using appropriate scoring ability of the subject. The results using a visual graph analysis techniques. In this study, researchers used two instruments, namely instrument treatment (study guides) and measuring instruments in the form of social interaction scale observation sheet. The results showed that the method of a card game image effectively to improve the numeracy skills of children with intellectual challenges.


(8)

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II Kajian Pustaka ... 10

1. Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan ... 10

a. Definisi Tunagrahita ... 10

b. Karakteristik Tunagrahita ... 12

c. Tipe Tunagrahita ... 17

d. Faktor Penyebab Tunagrahita ... 19

e. Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun klasikal 20 2. Kemampuan Berhitung ... 22

a. Pengertian Kemampuan ... 22

b. Pengertian Berhitung ... 23

c. Pengertian Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan ... 26

d. Kemampuan Kognitif anak usia 7-11 Tahun ... 28

3. Permainan Kartu Gambar ... 40

4. Pengaruh Permainan Kartu Gambar terhadap Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan ... 42


(9)

67

Hipotesis ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 44

1. Variabel Penelitian ... 44

2. Definisi Operasional ... 44

a. Variabel Kemampuan Berhitung ... 44

b. Variabel Permainan Kartu Gambar ... 45

B. Subjek Penelitian ... 45

C. Desain Eksperimen ... 46

D. Prosedur Eksperimen ... 51

E. Instrumen Penelitian ... 53

1. Alat Ukur ... 53

2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56

3. Validitas Eksperimen ... 59

F. Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Deskripsi Subjek ... 66

B. Deskripsi Dan Reliabilitas Data ... 67

C. Hasil ... 68

D. Pembahasan ... 126


(10)

68

A. Kesimpulan ... 199 B. Saran ... 119


(11)

   

BAB I PENDAHULUAN a. Latar belakang

Peserta didik dalam dunia pendidikan dapat kita temui anak pada umumnya dan anak berkebutuhan khusus. Anak pada umumnya adalah anak yang mampu mengikuti semua kegiatan belajar mengajar tanpa harus mendapatkan perhatian khusus. Sedangkan anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami gangguan atau hambatan dalam proses kegiatan belajar mengajar dan membutuhkan perhatian khusus baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

Amanat hak atas pendidikan bagi penyandang berkalinan atau ketunaan ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosioinal, mental, sosial” (UU Sisdiknas, 2003: 21)

Ketetapan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak penyandang kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran. Dengan memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkelainan untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, berarti memperkecil kesenjangan angka


(12)

   

partisipasi pendidikan anak normal dengan anak berkebutuhan khusus. Untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhannya, guru perlu memahami sosok anak spesial, jenis, karakteristik, etiologi penyebab berkebutuhan khusus, dampak psikologis serta prinsip-prinsip layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Hal ini dimaksudkan agar guru memiliki wawasan yang tepat tentang keberadaan anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak tunagrahita sebagai sosok individu masih berpotensi dapat terlayani secara maksimal.

Menurut Mumpuniarti (2007: 1) Salah satu penyebab problema belajar pada subyek didik adalah hambatan mental. Penyebab dari problema belajar pada

mereka ada yang dapat diamati segera (observable) atau yang tidak dapat diamati

(unobservable). Pada anak yang penyebab dapat diamati akan segara dilabel sebagai anak yang berkebutuhan khusus namun bagi penyebabnya tidak dapat diamati akan menimbulkan problem pendekatan di dalam layanan pendidikan. Hal itu dikarenakan perilakunya sehari-hari nampak seperti anak umumnya, tetapi mengalami hambatan di bidang akademik.

Permasalahan utama anak tunagrahita ringan terletak pada masalah mental atau psikis yaitu berkaitan dengan kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata, kemampuan berfikir rendah, perhatian juga daya ingatnya lemah, sukar berpikir abstrak, maupun tanggapan yang cenderung konkret visual dan cenderung cepat bosan. Mengingat berbagai kondisi atau hambatan yang dialami anak tunagrahita tersebut sangat komplek, maka pendidikan disesuaikan dengan kondisi dan


(13)

   

matematika yang meliputi kualitas perencanaan pembelajaran, kualitas proses pembelajaran, dan output yaitu prestasi belajar matematika. Matematika yang diperuntukkan bagi siswa tunagrahita terutama adalah kemampuan berhitung.

Ada dua alasan pentingnya keterampilan berhitung, yaitu:: ”kemampuan yang berharga untuk menentukan jawaban yang benar dalam tugas-tugas pemecahan masalah; dan membantu siswa untuk menentukan jawaban yang rasional dalam situasi kehidupan sehari-hari” (Mumpuniarti, 2007: 125).

Menurut Chaplin, ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan,

bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Berhitung merupakan bagian dari matematika, yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar (Depdiknas, 2007:1). Berhitung berasal dari kata hitung yang berarti membilang (menjumlahkan, mengurangi, membagi, memperbanyakkan dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 405).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung merupakan kesanggupan untuk menjumlahkan, mengurangi, membagi dan mengkali bilangan. Hal ini diawali dengan berhitung (menjumlah dan mengurangi) bilangan sederhana seperti seputar angkat 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 pada subjek (anak tuna grahita).


(14)

   

Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut sekitar 1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang penyandang disabilitas rungu wicara,402.817 orang penyandang disabilitas grahita/intelektual, 616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592 orang mengalami disabilitas ganda.

Peneliti memilih di SD dikarenakan ditemui beberapa siswa tunagrahita ringan yang masuk pada tahun ajaran baru dan duduk di bangku kelas 1 mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran berhitung. Disini peneliti menggunakan kartu gambar sebagai media untuk membantu kemampuan berhitung siswa tunagrahita ringan.

Pada tahapan perkembangan konkret (usia 7-11 tahun) proses penalaran

anak mengarah pada kemampuan berpikir logis. Piaget menyebutnya logical

operation. Piaget mengemukakan “Intellectual operation is an internalized system of actions that is fully reversible”, dimana anak membangun proses berpikir logis yang dapat diaplikasikan pada masalah-masalah konkret.

Menurut Piaget, salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki anak adalah logical mathematicaal knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh dari aktivitas berpikir tentang suatu objek dan peristiwa. Seperti halnya dengan physical knowledge, logical mathematicaal knowledge hanya dapat berkembang


(15)

   

jika anak memanipulasi objek namun berbeda cara membangunnya. Dalam proses penemuannya, anak tidak secara langsung menemukan logical mathematicaal knowledge, namun dibangun atas dasar pemahaman objek yang dimanipulasi. Misalnya naka diberi pelatihan tentang bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. Setiap bilangan disertakan dengan objek tertentu, misalnya bola: bilangan 1 disertai dengan 1 buah bola, bilangan 2 disertai 2 bola dan seterusnya. Pelatihan ini dilakukan sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu, sehingga anak pada akhirnya memahami konsep bilangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. Pemahaman ini sudah berupa pemahaman simbolik terhadap makan bilangan. Pengetahuan ini juga tidak diperoleh melalui aktivitas membaca dan mendengar, melainkan harus dilakukan dengan memanipulasi objek.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah Permainan Kartu Gambar dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak tuna grahita. Dan penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Pengaruh Permainan Kartu Gambar Terhadap Peningkatan Kemampuan Berhitung Anak Tuna Grahita”.

b. Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah Permainan Kartu Gambar Dapat Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita.


(16)

   

c. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Apakah Permainan Kartu Gambar Dapat Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita.

d. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka manfaat penelitian ini, yaitu :

a. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran, dalam rangka mengembangkan ilmu, khususnya Psikologi Pendidikan.

b. Manfaat secara praktis

1. Penelitian ini juga menjadi masukan agar para guru dapat

meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar.

2. Bagi para orang tua, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan

berhitung anak tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar.

3. Bagi para mahasiswa yang menempuh agar menjadi pengetahuan

baru tentang permainan kartu gambar yang dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan.


(17)

   

e. Keaslian Penelitian

Mengkaji beberapa permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk membantu meningkatkan kemampuan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan melalui permainan kartu gambar. Hal ini didukung dari beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang dilakukan. Berikut beberapa penelitian pendukung tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Suwarti dengan judul Penggunaan Kartu Gambar Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Anak Dalam Mengenal Konsep Bilangan Di Kelompok B Tk Rahayu Surabaya menunjukkan bahwa media kartu gambar dapat meningkatkan kemampuan kognitif anak dalam mengenal konsep bilangan pada anak kelompok B di TK Rahayu Surabaya.

Selain itu, penelitian Mei Setiorini, Abdul Huda dan Saichudin yang berjudul Pengaruh Pemanfaatan Media Kartu Kata Bergambar Terhadap Kemampuan Menulis Kalimat Siswa Tunarungu. Hasil penelitian ini bahwa ada pengaruh penggunaan media kata kartu diilustrasikan pada hasil dari kemampuan menulis kalimat pada siswa belajar.

Kemudian penelitian dari Viddynia Octrinava Mastur dengan judul Pengaruh Permainan Aktif terhadap Kemampuan Berhitung pada Anak Usia Prasekolah menunjukkan hasil terdapat pengaruh permainan aktif terhadap kemampuan berhitung anak usia prasekolah.


(18)

   

Selanjutnya penelitian dari Nuryani Putri, Solihin Ichas Hamid, dan Endah Silawati dengan judul Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak Usia Dini Melalui Permainan Kartu Angka Modifikatif dengan hasil bahwa kartu angka modifikatif dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak TK.

Ada juga penelitian dari Afri Maiyuli dengan judul Peningkatan Kemampuan Berhitung Anak Melalui Permainan Domino Di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Agam dengan hasil permainan domino dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak di Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Agam.

Beberapa penelitian internasional tentang permainan kartu gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung, antara lain: oleh Annette R Baturo,

Stephen Norton dan Tom J Cooper, dengan judul The Mathematics of

Indigenous Card Games: Implications for Mathematics Teaching and Learning menyatakan bahwa Pemahaman matematika siswa lebih berkembang setelah mengikuti permainan ini.

Penelitian mengenai kemampuan berhitung ini dilakukan juga oleh

Omep dengan judul Early literacy and numeracy matters Geraldine French,

Early Childhood Specialist hasil penelitiannya menyatakan bahwa pentingnya menanamkan kemampuan berhitung sejak dini.

Di lanjutkan penelitian dari Olatoye Mukaila Ayinde, dengan judul


(19)

   

Instructional Design Nettle yang menunjukkan bahwa permainan ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja peserta didik dalam matematika.

Juga ada penelitian dari Hedwig Gasteiger, dengan judul Opportunities

To Learn Mathematics While Playing Traditional Dice Games yang menunjukkan bahwa terdapat perkembangan pembelajaran matematika di TK

secara berkelanjutan.

Dari beberapa penelitian terdahulu tentang upaya meningkatkan

kemampuan berhitung di atas, peneliti lebih tertarik dengan permainan kartu gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan. Siswa akan bermain karu gambar dengan temannya, dalam satu permainan siswa akan bermain kartu gambar sambil belajar meningkatkan kemampuan berhitungnya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dari segi subjek, penelitian ini menggunakan subjek yang telah menginjak kelas 1 SD dan mengalami tunagrahita ringan. di mana penelitian yang menggunakan permainan kartu gambar di Indonesia banyak dilakukan untuk anak usia dini. Pada beberapa penelitian internasional, kartu gambar juga digunakan untuk anak usia dini.


(20)

 

BAB II Kajian Pustaka

A. Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan

1. Anak Tunagrahita Ringan

a. Definisi Tunagrahita

Istilah intellectual disability digunakan untuk

menggantikan mental retardation, karena tampaknya lebih

manusiawi, dan istilah ini telah disepakati oleh para pendidik di Amerika (Luckasson, dalam Omrod, 2011).

Para pendidik di Indonesia tampaknya lebih sepakat menggunakan istilah anak tuna grahita. Intellectual Disability atau

anak tuna grahita menurut definisi The American Association and Mental Retardation (AAMR) adalah “a disability characterized by significant limitation both in intellectual functioning and in adaptive behavior as expressed in conceptual, social and practical adaptive skill. The disability originates before the age 18. A complete and accurate understanding of mental retardation involves realizing that mental retardation refers to a particular state of functioning that begin in chilhood, has many dimensions and is affected positively by individualized support” (AAMR Ad Hoc Committe on Terminology and Classification, 2002)

Berdasarkan definisi tersebut, terdapat dua karakteristik penting yang terkandung didalamnya yaitu keterbatasan fungsi


(21)

   

intelektual dan keterbatasan dalam perilaku adaptif seperti berkomunikasi, merawat diri sendiri, dan keterampilan sosial.

Anak yang mengalami gangguan fungsi intelektual dan keterbatasan keterampilan berinteraksi dengan orang lain dapat diamati pada usia sebelum 18 tahun. Jika dipelajari secara cermat, tanda-tandanya telah dapat dilihat sejak usia kanak-kanak.

Menurut Pandji dan Wardhani (2013) Tunagrahita adalah individu yang memiliki tingkat integensiia yang berada dibawah rata-rata dengan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Istilah seperti cacat mental, dungu, bodoh, pandir, lemah pikiran adalah sebutan yang lebih dulu dikenal sebelum kata tunagrahita. Grahita sendiri artinya adalah pikiran dan Tuna adalah kerugian.

Menurut AAMD (American Association on Mental Defiency

: dalam Wikasanti, 2014), ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada dibawah rata-rata (normal) bersama dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.

Tunagrahita merupakan salah satu bentuk gangguan pada anak dan remaja yang dapat ditemui di berbagai tempat, yaitu suatu keadaan di mana anak mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan ditunjukkan oleh


(22)

   

kurang cakupnya mereka dalam memikirkan hal-hal yang bersifat akademik, abstrak, cenderung sulit dan berbelit-belit hampir pada segala aspek kehidupan serta mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri (Amin, M, 1955). Anak tunagrahita (retardasi mental) sangat membutuhkan layanan

pendidikan dan bimbingan secara khusus saat meniti tugas perkembangan di dalam hidupnya.

Papalia (2001) mengemukakan bahwa tunagrahita adalah kemampuan kognisi anak secara signifikan tidak berfungsi secara normal yang diindikasikan melalui nilai IQ berkisar atau dibawah ι0. Kemampuan beradaptasi sangat terbatas, seperti dalam berkomunikasi, keterampilan sosial, merawat diri sertatampak diusia 18 tahun.

b. Karakteristik Tunagrahita

Karakteristik tunagrahita ringan (Mumpuniarti, 2000) Karakteristik kognitif tunagrahita ringan adalah : 1. Mempunyai IQ berkisar 50-ι0.

2. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, maka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.

3. Kemampuan berpikir rendah, lambat perhatian dan ingatannya rendah.


(23)

   

4. Masih mampu untuk menulis, membaca, menghitung.

5. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi, sukar untuk diajak fokus. θ. Umur kecerdasannya apabila sudah dewasa sama dengan anak

normal yang berusia 12 tahun.

Karakteristik fisik tunagrahita ringan adalah anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.

Karakteristik sosial/perilaku adalah anak tunagrahita ringan mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.

Karakteristik emosi adalah anak tunagrahita ringan sukar berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis, asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik buruk. Tidak mampu mendeteksi kesalahan pada dirinya, sehingga acuh tak acuh.

Karakteristik motorik adalah anak tunagrahita ringan mengalami kelambatan dalam kemampuan sensorimotorik. Dalam berbicaranya banyak yang lancar, tetapi perbendaharan kata masih minim.


(24)

   

Selain itu, karakteristik anak tuna grahita adalah sebagai berikut (Beirne-Smith, Ittenbatch dan Patton, 2002, dalam Eggen dan kauchak, 2004) :

1. Memiliki pengetahuan umum yang sangat terbatas 2. Sangat sulit memahami ide-ide yang abstrak 3. Keterampilan menulis dan membaca sangat rendah 4. Strategi dalam upaya mengembangkan kemampuan

membaca dan belajar sangat rendah

5. Sangat sulit mentransfer ide tertentu ke dalam situasi nyata

θ. Keterampilan motorik berkembang sangat lambat ι. Keterampilan interpersonal sangat tidak matang

Kategori anak tunagrahita menurut tingkatan dan kemampuannya dikemukakan oleh Santrock (2009) dan di

http://medicastore.com/penyakit/92ι/keterbelakangan_mental.html, disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel Kategori anak Tunagrahita Tingkata n Kisaran IQ Kemampuan usia Prasekolah Kemampuan Usia Sekolah Kemampuan masa Dewasa Ringan 55-ι0 a. Dapat

membangun kemampuan a. Dapat mempelajari pelajaran Biasanya mencapai kemampuan


(25)

   

sosial dan komunikasi b. Koordinasi

otot sedikit terganggu c. Seringkali

tidak terdiagnosis

kelas θ pada akhir usia belasan tahun b. Dapat

dibimbing ke arah pergaulan sosial c. Dapat dididik

kerja dan bersosialisasi yang cukup, tetapi

memerlukan bantuan ketika mengalami stres sosial atau ekonomi

Moderat 40-54 a. Dapat berbicara dan belajar berkomunika si b. Kesadaran sosial kurang c. Koordinasi otot cukup a. Dapat mempelajari beberapa kemampuan sosial dan pekerjaan b. Dapat

belajar berpergian sendiri di tempat-tempat yang

a. Dapat memenuhi kebutuhan sendiri dengan melakukan pekerjaan yang tidak terlatih atau semi terlatih dibawah pengawasan


(26)

    dikenalnya dengan baik b.Memerlukan pengawasan dan bimbingan ketika mengalami stres sosial maupun ekonoi ringan Berat 25-39 a. Dapat

mengucapka n beberapa kata b. Mampu mempelajari kemampuan untuk menolong diri sendiri c. Tidak memiliki kemampuan a. Dapat berbicara atau belajar b. Dapat mempelajari kebiasaan hidup sehat yang

sederhana

a. Dapat memlihara diri sendiri dibawah pengawasan b. Dapat melakukan beberapa kemampuan perlindunga n diri dalam lingkungan yang


(27)

    ekspresif atau sedikit d. Koordinasi otot jelek terkendali Sangat berat Kurang dari 25 a. Sangat terbelakang b. Koordinasi ototnya sedikit sekali c. Mungkin memerlukan perawatan khusus a. Memiliki beberapa koordinasi otot b. Kemungkina n tidak dapat berjalan atau berbicara

a. Memiliki beberapa koordinasi otot dan berbicara b. Dapat

merawat diri tapi sangat terbatas c. Memerluka

n perawatan khusus

C. Tipe Tunagrahita

Tunagrahita dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok: 1. Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan (IQ 50-ι0)

Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan merupakan anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada


(28)

   

program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.

Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik adalah:

a. Membaca, menulis, mengeja dan berhitung

b. Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain

c. Keterampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara sederhana dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan. 2. Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang (imbecil IQ

30-50)

Anak tunagrahita mampu latih/tunagrahita sedang merupakan anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik.

Kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan yaitu:

a. Belajar mengurus diri sendiri (makan, pakaian, tidur, mandi sendiri)


(29)

   

b. Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah atau sekitarnya

c. Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja (sheltered workshop) dan dilembaga khusus

Kesimpulan yang dapat diambil adalah anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan

menurut kemampuannya.

3. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot IQ <30)

Anak tunagrahita mampu rawat merupakan anak tunagrahitta yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Selain itu anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.

D. Faktor Penyebab Tunagrahita

Mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan para ahli sudah berusaha membaginya menjadi beberapa kelompok. Ada yang membaginya menjadi dua gugus, yaitu indogen dan eksogen. Ada juga yang membaginya berdasarkan waktu terjadinya penyebab, disusun secara kronologis sebagai berikut faktor-faktor yang terjadi sebelum anak lahir (prenatal), faktor-faktor yang terjadi ketika anak


(30)

   

lahir (natal), dan faktor-faktor yang terjadi setelah anak dilahirkan (pos natal).

Penyebab terjadinya anak tunagrahita menurut Kirk (19ι0) a. Faktor endogen (faktor yang dibawa sejak lahir) yaitu faktor

ketidak sempurnaan dalam memindahkan gen.

b. Faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patalogis dari perkembangan normal seperti mengalami penyakit atau keadaan lainnya.

E. Pendampingan Tunagrahita secara individual maupun klasikal

1. Rekomendasi untuk Sekolah

Berperan aktif dalam meningkatkan kualifikasi guru untuk menangani anak berkebutuhan khusus dan memfasilitasi layanan pendidikan khusus.

2. Rekomendasi untuk Guru

a. Guru di sekolah inklusif diharapkan lebih sedikit banyaknya memahami konsep anak berkebutuhan khusus dan dapat membekali diri melalui pelatihan-pelatihan mengenai pendidikan inklusi dan konsep ABK, dengan memahami hal tersebut diharapkan mempermudah guru untuk memberikan pelayanan terhadap ABK sesuai dengan kebutuhan dan hambatannya, khususnya siswa dengan tunagrahita.


(31)

   

b. Sebagai bahan evaluasi untuk guru khususnya, guru di sekolah inklusi agar termotivasi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan yang baik dan sesuai bagi ABK, khususnya anak tunagrahita yang ada di sekolah-sekolah inklusi.

3. Rekomendasi untuk Orang Tua

a. Orang tua ABK bersikap respontif terhadap pendidikan dan perkembangan anak agar terciptanya perubahan dalam diri anak melalui program-program sekoalh inklusi.

b. Adanya wadah/forum bagi perkumpulan orang tua ABK di sekolah inklusi untuk berkerja sama dalam upaya mendidik anaknya dan mengevaluasi kinerja guru mengenai pelayanan anak tunagrahita di sekolah.

4. Pencegahan supaya anak tidak mengalami tunagrahita: a. Pencegahan primer

Dilakukan untuk meningkatkan kesehatan calon anak yaitu dengan imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan, konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan rutin, nutrisi yang baik, persalinan oleh tenaga kesehatan, memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga, pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat dan program pengentasan kemiskinan.

b. Pencegahan sekunder

Dilakukan deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan sekolah sehingga tindakan yang tepat segera diberikan,


(32)

   

dengan cara konseling individu dengan program pembimbing sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami stress.

c. Pencegahan tersier

Dilakukan dengan memberikan informasi berupa pendidikan kesehatan kepada orang tua dan anak mengenai masalah kesehatan yang terjadi berulang kali dengan penekanan pada kebutuhan gizi, kebersihan gigi, kebersihan tubuh, bahaya alkohol, narkotik, dan zat adiktif serta merokok.

B. Kemampuan Berhitung

a. Pengertian Kemampuan

Didalam kamus bahasa Indonesia (2015), kemampuan berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan). Kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan.

Menurut Chaplin (2011) ability (kemampuan, kecakapan,

ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan.

Kemampuan juga bisa disebut dengan kompetensi. Kata kompetensi berasal dari bahasa Inggris “competence” yang berarti


(33)

   

serta wewenang. Jadi kata kompetensi dari kata competent yang berarti

memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidangnya sehingga ia mempunyai kewenangan atau atoritas untuk melakukan sesuatu dalam batas ilmunya tersebut.

Pengertian-pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan (ability) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu

keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya.

b. Pengertian Berhitung

Berhitung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah melakukan hitungan (seperti menjumlahkan, mengurangi dan sebagainya) (Departemen Pendidikan Nasional, 2005, 359).

Permainan berhitung merupakan bagian dari matematika, diperlukan untuk menumbuh kembangkan ketrampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan juga dasar pagi pengembangan kemampuan matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar (Depdiknas, 200ι).

Keterampilan menghitung berkaitan dengan perkembangan berpikir anak. anak sedang berada pada tahap berpikir kongkret saja. Anak memahami bilangan tiga dari tiga buah jeruk. Ketrampilan menghitung juga mencakup koordinasi memegang dan menunjuk


(34)

   

benda, menyebut angka, dan mengingat urutannya. Ini memang cukup sulit bagi anak sehingga membutuhkan waktu lama baginya untuk secara sungguhsungguh mengenal bilangan yang mewakili sejumlah benda (Susilo,2011:109).

Hasan Alwi (2003:140) berpendapat bahwa berhitung berasal dari kata hitung yang mempunyai makna keadaan, setelah mendapat awalan ber- akan berubah menjadi makna yang menunjukkan suatu kegiatan menghitung (menjumlahkan, mengurangi, membagi, mengalikan dan sebagainya)´ Nyimas Aisyah (200ι:θ-5) menyatakan bahwa kemampuan berhitung dalam pengertian yang luas, merupakan salah satu kemampuan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa dalam semua aktivitas kehidupan manusia memerlukan kemampuan ini. Sedangkan menurut Peterson menyarankan bahwa, untuk memberikan penekanan pada makna dan pemahaman tersebut serta untuk mengembangkan kemampuan berpikir dengan tingkat yang lebih tinggi, maka pemecahan masalah dalam matematika tidak hanya merupakan bagian yang terintegrasi dalam pembelajaran, melainkan harus menjadi dasar atau inti dari kegiatan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa berhitung adalah suatu kegiatan atau sebuah cara menyenangkan untuk belajar memahami konsep bilangan.

Matematika pada hakekatnya merupakan cara belajar untuk mengatur jalan pikiran seseorang dengan maksud melalui matematika


(35)

   

seseorang dapat mengatur jalan pikirannya Suriasumantri (Ahmad Susanto, 2011:98). Dalam kaitannya, salah satu cabang dari matematika ialah berhitung. Berhitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti, penambahan, pengurangan, pembagian, ataupun perkalian. Untuk anak usia dini dapat menambah dan mengurangi serta membandingkan sudah sangat baik setelah anak memahami bilangan dan angka.

Keterampilan menghitung (arithmetic) diutamakan untuk anak

tunagrahita, karena itu sebagai bagian dari matematika yang dasar.Matematika mempunyai cabang geometri, aljabar, termasuk aritmatika. Aritmatika sebagai sub kategori dari matematika dan menunjuk kepada pelajaran tentang bilangan, menghitung, tanda-tanda hitung dan pengoperasian bilangan. Pada anak tunagrahita lebih diutamakan pada aritmetika. Pada bidang matematika lainnya seperti geometri, aljabar tergantung kondisi anak jika memungkinkan juga diajarkan.

Semua kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari perlu penggunakan matematika. Untuk itu, matematika yang dibelajarkan bagi anak tunagrahita ringan juga menopang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Bidang matematika itu antara lain : hitung bilangan dan operasinya, bangun geometri, pengukuran serta penggunaan uang dan waktu.


(36)

   

Belajar dengan menggunakan kemampuan intelektual di sekolah terdapat dalam mata pelajaran matematika. Menurut Teori pembelajaran Bruner dalam Pitadjeng (200θ: 29) belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsepkonsep dan struktur-struktur matematika. Senada dengan hal tersebut Sri Subarinah (200θ: 1) menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Menurut Antonius Cahya Prihandoko (200θ: 10) matematika berkenaan dengan struktur-struktur, hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang dikembangkan menurut aturan yang logis. Dengan demikian, belajar matematika hakikatnya belajar tentang konsep, struktur konsep dan hubungan antara konsep dan struktur konsep yang dipelajari.

Berdasarkan beberapa pendapat dari beberapa ahli tentang definisi berhitung dapat disimpulkan bahwa berhitung adalah suatu proses menjumlahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi angka-angka yang sesuai dengan tata cara yang sudah di tentukan sebelumnya.

c. Pengertian Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan

Bilangan dan Operasi Bilangan Bilangan adalah konsep matematika yang sangat penting untuk dikuasai oleh anak, karena akan menjadi dasar bagi penguasaan konsep-konsep matematika selanjutnya


(37)

   

pada jenjang pendidikan formal berikutnya. Bilangan adalah suatu obyek matematika yang sifatnya abstrak dan termasuk kedalam unsur yang tidak didefinisikan (underfined term). Untuk menyatakan suatu bilangan dinotasikan dengan lambang bilangan yang disebut angka. Bilangan dengan angka menyatakan konsep yang berbeda, bilangan berkenaan dengan nilai sedangkan angka bukan nilai melainkan suatu notasi tertulis dari sebuah bilangan. Sedangkan yang dimaksud dengan operasi bilangan pengerjaan pada nilai bilangan. Bilangan itu mewakili banyaknya suatu benda (Sudaryanti, 200θ:1).

Fungsi utama pengenalan matematika ialah mengembangkan aspek kecerdasan anak dengan menstimulasi otak untuk berpikir logis matematik. Operasi bilangan termasuk dalam hubungan matematis, setelah anak mampu berhitung, anak akan menyampaikanya secara matematis.

Operasi bilangan atau yang disebut juga aritmetika yang asli katanya dari bahasa Yunani α μό - arithnos yang berarti angka merupakan cabang matematika yang mempelajari operasi dasar bilangan. Operasi dasar aritmetika atau operasi dasar bilangan adalah penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian (http://id.wikipedia.org/wiki/Aritmetika).

Hal serupa dikemukakan pula oleh Sudaryanti (200θ:18) bahwa penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian merupakan


(38)

   

operasi bilangan yang sangat dasar. Namun, untuk anak tunagrahita ringaan kelas 1SD dapat menambah dan mengurang sudah sangat baik. Operasi bilangan diperkenalkan pada anak setelah anak memahami betul bilangan dan angka. Anak usia dini (tunagrahita kelas 1SD) dapat memahami operasi bilangan dengan cara yang sangat sederhana (Sudaryanti, 200θ:18).

Menurut Slamet Suyanto (2005:θ3), matematika bukan pelajaran ingatan melainkan mengembangkan kemampuan berpikir. Jika anak sudah mengenal bilangan dan memahami operasi bilangan maka anak telah berpikir logis dan matematis, meskipun dengan cara yang sangat sederhana.

Kemampuan anak tunagrahita saat kelas 1 SD, hampir sama dengan anak usia dni. Pada anak usia dini kemampuan yang akan dikembangkan diantaranya: (a) mengenali atau membilang angka; (b) menyebut urutan bilangan; (c) menghitung benda; (d) menghitung himpunan dengan nilai bilangan benda; (e) memberi nilai bilangan pada suatu bilangan himpunan benda; (f) mengerjakan atau menyelesaikan operasi penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan konsep dari konkret ke abstrak. (Ahmad Susanto, 2011:θ2).

d. Kemampuan Kognitif anak usia 7-11 Tahun

Menurut Piaget sejalan dengan perkembangan anak. Pemikiran anak secara konstan beradaptasi dalam situasi-situasi dan pengalaman baru. Terkadang anak melakukan asimilasi informasi baru ke dalam


(39)

   

kategori mental yang sudah ada. Misalnya seekor anjing gembala Jerman dan anjing terrier sama-sama masuk kedalam kategori anjing. Pada waktu yang lain, anak harus mengubah kategori mental mereka untuk mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru mereka, misalnya seekor kucing tidak dapat masuk ke dalam kategori anjing dan satu kategori baru dibutuhkan, yakni kategori untuk kucing. Menurut Piaget, kedua proses tersebut secara konstan berinteraksi sejalan dengan proses anak melalui empat tahap perkembangan kognitif.

Salah satu perkembangan kognitif tersebut adalah Tahap operasional konkret (usia ι-12). Pada tahap ini anak telah mengalami perkembangan signifikan dan mampu mengatasi beberapa keterbatasan yang dialami pada tahap sebelumnya. Mereka dapat memahami sudut pandang orang lain dan semakin sedikit membuat kesalahan logika. Meskipun demikian, menurut pengamatan Piaget, kemampuan baru ini umumnya dihubungkan dengan informasi yang konkret, yakni pengalaman aktual yang telah terjadi atau konsep-konsep yang memiliki arti yang dapat dipahami oleh anak. Pada tahap ini anak masih membuat kesalahan dalam berpikir saat diminta berpikir tentang ide-ide abstrak (patriotisme atau pendidikan masa depan) atau hal-hal yang secara fisik tidak tampak. Terlepas dari kekurangsempurnaan itu, pada tahun-tahun ini kemampuan kognitif anak berkembang pesat. Anak akan memahami prinsip-prinsip konservasi, konsep-konsep pemutar balikan serta hubungan sebab akibat. Mereka mempelajari operasi mental, seperti penambahan, pengurangan,


(40)

   

pembagian, dan perkalian. Mereka dapat mengelompokkan benda-benda (beringin adalah pohon, mawar adalah bunga) dan mengurutkan benda-benda secara urut dari yang terkecil ke yang terbesar, dari yang berwarna terang ke yang berwarna gelap, dari ke ukuran pendek ke ukuran tinggi. (Wade dan Travis, 200ι)

Piaget mengemukakan bahwa semua pengetahuan adalah hasil yang dibangun dari aktivitas yang dilakukan anak. Ada tiga jenis pengetahuan yang dikemukakan oleh Piaget yaitu physical knowledge, logical-mathematical knowledgedan social arbitrary knowledge.

1. Physical Knowledge

Physical Knowledge adalah pengetahuan yang berkaitan dengan

kepemilikan secara fisik, baik dalam bentuk objek maupun peristiwa, seperti bentuk, ukuran, berat dan lain sebagainya. Anak meemiliki pengetahuan mengenai benda fisik jika ia melakukan sesuatu terhadap benda fisik tersebut, misalnya ketika anak memanipulasi pasir. Misalkan saja anak bermain pasir, dan anak memasukkan pasir ke mulutnya, menuangkan pasir ke dalam gelas ataupun melumurkan pasir ke tubuhnya. Melalui kegitan tersebut maka anak menemukan dan membentuk pengetahuan tentang pasir, dan pengalaman ini anak asimilasikan ke dalam schematanya. Persyaratan membentuk physical knowledge adalah bahwa anak harus mampu memanipulasi objek seperti anak memanipulasi pasir. Pengetahuan tentang objek tidak dapat dilakukan hanya melalui aktivitas


(41)

   

membaca, mengamati gambar atau mendengarkan orang berbicara. Karena ini menggambarkan bentuk secara simbolik saja, namun harus melalui manipulasi objek.

2. Logical Mathematicaal Knowledge

Logical Mathematicaal Knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh dari aktivitas berpikir tentang suatu objek dan peristiwa. Seperti halnya dengan physical knowledge, logical mathematicaal knowledge

hanya dapat berkembang jika anak memanipulasi objek namun berbeda cara membangunnya. Dalam proses penemuannya, anak tidak secara langsung menemukan logical mathematicaal knowledge, namun dibangun

atas dasar pemahaman objek yang dimanipulasi. Misalnya naka diberi pelatihan tentang bilangan 1,2,3,4,5,θ,ι,8,9,10. Setiap bilangan disertakan dengan objek tertentu, misalnya bola: bilangan 1 disertai dengan 1 buah bola, bilangan 2 disertai 2 bola dan seterusnya. Pelatihan ini dilakukan sedemikian rupa dengan menggunakan metode tertentu, sehingga anak pada akhirnya memahami konsep bilangan 1,2,3,4,5,θ,ι,8,9,10. Pemahaman ini sudah berupa pemahaman simbolik terhadap makan bilangan. Pengetahuan ini juga tidak diperoleh melalui aktivitas membaca dan mendengar, melainkan harus dilakukan dengan memanipulasi objek.

3. Social Arbitrary Knowledge

Social Arbitrary Knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh


(42)

   

tentang aturan, hukum, moral, etika, nilai dan sistem bahasa. Pengetahuan tentang nilai kemanusiaan adalah pengetahuan yang meliputi semua sistem dalam budaya, yang menjadiacuan berperilaku bagi komunitas masyarakatnya. Social Arbitrary Knowledge tidak diperoleh seperti

pengetahuan physical knowledge dan logical mathematical knowledge,

akan tetapi diperoleh dari pola interaksi anak dengan limgkungan budayanya. Anak mendapat pengasuhan dari orangtua atau berinteraksi dengan orang-orang yang bermakana dalam proses perjalanan kehidupannya, dalam hal ini disebut dengan proses enkulturasi. (Pandeirot, Surna : 2014)

Piaget mengemukakan empat faktor yang berkaitan dengan perkembangan kognitif yaitu :

1. Maturation and heredity

Piaget meyakini bahwa faktor hereditas memegang peran penting dalam perkembangan kognitif, namun faktor hereditas saja tidak mungkin menjadikan perkembangan kognitif dapat optimal. Kematangan (maturation) adalah salah satu faktor yang turut menentukan perkembangan kognitif. Kematangan berperan sebagai potensi dasar yang memberi peluang dan berlangsung secara alamiah, dan perkembangan kognitif itu sangat dipengaruhi oleh anak dalam memanipulasi lingkungannya.


(43)

   

2. Active experience

Active experience adalah salah satu faktor dari empat faktor dalam

perkembangan kognitif. Masing-masing pengetahuan dibangun oleh anak yaitu physical knowledge, logical mathematical knowledge, dan social arbitrary knowledge. Bangunan pengetahuan ini mensyaratkan anak untuk

berinteraksi dengan lingkungannya. Active experience akan merangsang

terjadinya proses assimilation dan accomodation yang berdampak pada

perkembangan kognitif. 3. Social interaction

Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah

social interaction. Piaget berpendapat bahwa terjadinya pertukaran ide

atau pendapat diantara orang dalam masyarakat terutama orang-orang yang dipandang signifikan dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Perkembangan konsep atau schemata dapat diklasifikasikan sebagai:

a. Benda fisisk yang dapat ditangkap oleh indra (misalnya dapat dilihat, didengar, diraba atau diamati)

b. Benda yang tidak dapat dilihat dan tidak tampak pengamatan oleh mata.

Konsep pohon adalah sebuah benda fisik yang dapat dilihat, sedangkan konsep kejujuran tidak dapat diamati oleh mata. Anak mengembangkan kemampuannya dalam upaya memahami konsep tentang pohon yang disebut oleh Piaget sebagai physical knowledge, tetapi tidk


(44)

   

demikian halnya ketika anak membangun pengetahuannya tentang apa yang disebut kejujuran yang merupakan social arbitratry konowledge.

Pengetahuan ini harus dilalui anak melalui intraksinya dengan orang lain, dimasyarakat dalam budayanya. Interaksi anak dengan lingkungan dapat mendorong adanya ketidak seimbangan kognitif akibat upaya mempelajari physical dan logical mathematical knowledge. Jika anak ditempatkan pada lingkungan situasi tertentu dan terjadi konflik dalam konteks cara berpikir dengan orang dewasa, konflik ini sebenarnya menggiring anak untuk bertanya lebih jauh mengapa terjadi perbedaan pendapat dan inilah yang menyebabkan diseuilibrium. Interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, orang tua, dan orang lainnya akan memberi dampak signifikan terhadap perkembangan kognitif anak.

4. General progression of equilibrium

Maturation, experience, dan social interaction tidaklah cukup

untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Piaget mengemukakan dua hal yang penting yaitu :

a. Adanya koordinasi adalah aspek penting dalam mengembangkan keseimbangan.

b. Upaya membangun pengetahuan sebaiknya dilakukan melalui

trial and error dan regulasi diri. (Pandeirot, Surna : 2014)


(45)

   

e. The Stage of Concrete Operation

Pada tahapan perkembangan konkret (usia ι-11 tahun) proses penalaran anak mengarah pada kemampuan berpikir logis. Piaget menyebutnya logical operation. Piaget mengemukakan “Intellectual operation is an internalized system of actions that is fully reversible”, dimana anak membangun proses berpikir logis yang dapat diaplikasikan pada masalah-masalah konkret. Tidak seperti halnya pada tahap perkembangan praoperasional, anak pada tahapan operasi konkret tidak memiliki area dan liquid. Jika anak dihadapkan dengan masalah kesenjangan antara berpikir dan persepsi sebagaimana dengan masalah conservation, anak pada tahapan operasi konkret telah menggunakan kognisi dan logika dalam membuat keputusan yang berbeda dengan keputusan yang bersifat perseptual.

Usia ι-11 tahun adalah periode dimana beroperasinya seluruh aspek kognitif anak, dan mulai terbatasnya aktivitas intelektual yang dilalui anak pada usia tahapan perkembangan praoperasional. Yang menonjol pada tahapan perkembangan operasi konkret adalah muculnya kemampuan berpikir transformasi. Hal penting lagi adalah diperolehnya kemampuan dalam melakukan perhitungan dengan memahami makna kuantitas atau jumlah secara lebih akurat. Hal ini menunjukkan telah terjadi aktivitas mental anak, perilaku yang kooperatif, serta komunikasi yang dialogis dan tidak egois. Inilah tahapan anak yang mulai memasuki kehidupan sosial secara nyatadan kepekaan sosial anak mulai muncul.


(46)

   

Aktivitas bernalar yang menunjukkan perkembangan fungsi schemata telah tampak, terutama dalam membuat klasifikasi, konsep sebab akibat, pemahaman ruang dan waktu, serta pemahaman tentang arah dan kecepatan.

Pada tahap operasi kokret ini anak belum mencapai kemampuan berpikir tahap tertinggi, tetapi merupkan awal munculnya kemampuan berpikir yang mengarah pada logika yang masih berdasarkan realitas faktual. Anak belum memiliki kemampuan memecahkan masalah yang bersifat abstrak, dengan menguji hipotesis yang didasarkan pada masalah. Anak masih murni verbal, artinya memecahkan masalah tidak didasarkan pada fakta faktual dan juga belum memahami keterkaitan berbagai variabel yang menjadi dasar dalam menganalisis masalah tertentu. Dapat dikatakan bahwa tahap perkembangan praoperasional adalah transisi antara berpikir pralogis ke tahap berpikir logis secara optimal.

Berikut ini akan dulas beberapa karakteristik dari tahapan berpikir operasi konkret:

1. Egocentrism dan Socialization

Pada tahap perkembangan praoperasional, orientasi berpikir anak didominasi oleh berpikir egosentris, kurang memiliki kemampuan untuk mendengarkan kemampuan orang lain dan kurang tanggap terhapad penilaian orang lain, serta senantiasa didasarkan pada pendapat diri sendiri. Pada tahapan perkembangan operasi konkret, anak tidak lagi


(47)

   

berorientasi hanya pada kebenaran pendapat sendiri, serta secara sadar memeprtimbangkan pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat, menyadari bahwa perbedaaan itu pasti ada dan patut dihargai, dan juga mencari pembenaran berdasarkan pertimbangan orang lain. Kemampuan berbahasa telah dijadikan alat penting dalam upaya mengkomunikasikan pendapatnya. Anak telah menyadari bahwa keseimbangan itu hanya diperoleh melalui interaksi sosial yang diaplikasikan dalam perilaku sosial. Komunikasi anak telah bersifat dialogis, bukan monologis, sehingga terdapat pertukaran informasi yang konstruktif pada diri anak.

2. Centration

Pada tahap perkembangan operasi konkret, konsep berpikir anak tidak lagi didasarkan pada cara pandang sendiri, melainkan juga atas dasar pertimbangan dan pendapat orang lain. Anank telah mampu memahammi perbedaan pendapat sendiri dengan pendapat orang lain, dan berupaya mencari pemebenaran berdsaarkan pertimbangan orang lain. Sifatnya adalah de centered yang artinya anak telah memiliki kemampuan konkret yang mengarah pada solusi yang bersifat logis ke tahap pemecahan masalah yang aktual dan nyata.

3. Transformation

Pada tahap perkembanagn operasi konkret, anak telah mencapai tingkat berpikir yang secara fungsional telah memahami makna perubahan. Anak telah memiliki kemampuan memecahkan masalah, yang


(48)

   

termasuk masalah perubahan secara konkret dan menyadari makana dan hubungan antara setiap tahapan dimana terjadi perubahan.

4. Reversibility

Tahap perkembangan berpikir operasi konkret telah ditandai juga oleh kemampuan berpikir yang dapat memaknai secara benar sekalipun benda tertentu diacak atau tidak berurutan tempatnya. Anak tidak mengalami kesulitan jika diberi pemecahan masalah perhitungan, sekalipun bilangan yang dijadikan perhitungan diacak dan anak akan mampu memberi jawaban secara tepat. Begitu pula halnya jika anak dihadapkan dengan konsep tentang isi volume benda cair yang diisi dalam tabung yang bentuknya bebeda. Anak telah memiliki kemampuan untuk memahami isi dan tidak dipengaruhi oleh tempat dimana benda cair itu ditempatkan.

5. Conservation

Pada tahap perkembangan operasi konkret, anak telah memiliki kemampuan berpikir logis dan memecahkan masalah yang bersifat conservation. Kemampuan memahami keterkaitan antar fakta, mengikuti perubahan, pembalikan bilangan, dan bilangan acak menandakan bahwa anak telah berkembang dan memiliki kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Anak telah mampu memecahkan masalah perhitungan pada sekitar usia θ atau ι tahun.


(49)

   

Dasar pemikiran Bruner, yang mengarah pada perkembangan intelektual, sangat mirip dengan dasar pemikiran piaget, tetapi ada beberapa perbedaan yang penting dan cukup mendasar. Studi Piaget terutama berkenaan dengan penjelasan mengenai apakah yang terjadi, dia menjelaskan mekanisme apa yang terjadi didalam perkembangan intelektual, terutama dalam rangka menjernihkan penjelasan mengenai hal apa yang terjadi itu sendiri. Bruner,dilain pihak diliputi banyak pertanyaan kepada dirinya sendiri bagaimana dan mengapa perkembangan intelektual itu terjadi. Sementara Piaget menganggap bahwa proses pematangan yang terjadi merupakan faktor yang paling utama sedangkan kebudayaan dan pendidikan merupakan faktor penunjang, maka Bruner justru menempatkan kedua faktor terakhir tersebut sebagai faktor yang paling utama. Bruner tidak menyetujui pandangan Piaget yang menyatakan bahwa motivator utama atau pengaruh utama terhadap pertumbuhan intelektual adalah biologi, karena Bruner berpendapat bahwa apabila perkembangan bilogi menekan seseorang ke arah perilaku yang lebih dapat menyesuaikan diri, maka lingkungan pun akan menarik orang tersebut ke arah yang sama. Disini Bruner menekankan bahwa dia hanya melakukan studi terhadap anak tanpa menguji pengalaman mereka, dan lingkungannya pun dibatasi untuk memberikan gambaran yang tak lengkap. Piaget hanya menyatakan bahwa perkembangan intelektual intelektual melibatkan interaksi antar seseorang dengan lingkungannya,


(50)

   

sedangkan Bruner lebih menekankan penguat kemampuan anak dan menganggap bahwa lingkungan anaklah yang bertindak sebagai penguat.

Akan tetapi sama halnya dengan Piaget, Bruner yakin bahwa perkembangan pada diri anak itu sendirilah yang memainkan peranan aktif didalam perkembangan anak. Meskipun keluarga,sistem pendidikan, dan teman-teman anak tersebut secara nyata juga mempenaruhi perkembangan anak, namun anak membuat sendiri dunianya (Sense if the world). (Hardy dan heyes, 1988)

C. Permainan Kartu Gambar

a. Pengertian Permainan Kartu Gambar

Kartu juga merupakan alat bantu yang menggunakan indra penglihatan paling dominan. Kartu seringkali dimanfaatkan guru untuk memberi penguatan pada siswa (drilling) mengenai suatu konsep Bahasa

tertentu ataupun untuk memberi kesempatan siswa mempraktekan aspek Bahasa yang sudah dikenal oleh guru (Mahmuda, 2008).

Kartu bergambar merupakan media yang mempunyai peranan penting untuk memperjelas pengertian dan gambar dapat di hindarkan kesalahan pengertian antara apa yang dimaksud oleh guru dengan apa yang di tangkap oleh siswa (Tang La, 2008).

Luquit (dalam Piaget, 2010: ι2) mengklasifikasikan gambar sebagai permainan. Selain itu bahkan dalam bentuk awalnya tidak mungkin terdapat asimulasi bebas terhadap realitas pada skema subyek.


(51)

   

tetapi pada waktu gambar merupakan sebuah persiapan bagi akomodasi imitative, tetapi pada waktu lain adalah produk akomudasi tersebut. Antara citra grafis dan citra internal (“model internal”luquet), terdapat interaksi yang tak terkira banyaknya, karena kedua fenomena itu langsung berasal dari imitasi. Dengan demikian, realisme gambar melewati fase-fase yang berlainan. Luquet memakai frase “realism kebetulan” untuk mengacu realism tulisan cakar ayam yang mangkanya ditemukan pada saat sedang membuatnya. Lalu muncul “realisme gagal,” atau fase ketidak mampuan sintetis, yang didalamnya unsure salinan ditempatkan pada posisi sejajar, bukanya kordinasi keseluruha: topi jahu diatas kepala, atau kancing diatas tubuh . Orang kerdil, salah satu gambar anak-anak pertama yang paling lazim, melewati tahapan yang sangat menarik: gambar “manusia berudu,” yang terdiri dari kepala dilengkapi dengan anggota tubuh mirip garis (kaki), ataun dengan lengan dan kaki, tetapi tanpa badan.

Realisme intelektual di ganti kan oleh realisme visual, yang memunculkan dua karakteristik baru. Pertama, kini gambar hanya menggambarkan apa yang kelihatan dari suatu perspektif tertentu. Sebuah gambar tampak samping sekarang hanya memiliki satu matu, dan lai-lain, sebagaimana terlihat dari samping, dan bagian-bagian objek yang tersembunyi tidak lagi dihadirkan. Juga objek- objek pada latar belakang secara berangsur-angsur dibuat mengecil (garis-garis menyusut) dalam kaitanya dengan objek-objek dalam latar depan.


(52)

   

Kedua, objek dalam gambar diatur sesuai dengan perencanaan secara keseluruhan (potongan-potongan koordinator), dan proporsi geometrisnya (Piaget, 2010).

2. Pengaruh Permainan Kartu Gambar terhadap Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Ringan

Anak tunagrahita mampu didik/tunagrahita ringan merupakan anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.

Kartu bergambar merupakan media yang mempunyai peranan penting untuk memperjelas pengertian dan gambar dapat di hindarkan kesalahan pengertian antara apa yang dimaksud oleh guru dengan apa yang di tangkap oleh siswa (Tang La, 2008).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan permainan kartu gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak berkebutuhan khusus (Tunagrahita) di SD


(53)

   

Berikut ini penjelasan berupa gambaran skema visual adalah sebagai berikut.

Variabel X Variabel Y

Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti dapat menarik hipotesis yang akan di ambil dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Permainan Kartu Gambar Terhadap Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita di SD “ sebagai berikut :

Hipotesis akhir (Ha):

Kemampuan Berhitung Anak Tunagrahita Meningkat Melalui Permainan Kartu Gambar.

Per ai a  Kartu  Ga bar 

Ke a pua  Berhitu g  Dasar 


(54)

 

BAB III

METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen menurut Sugiyono (2013) adalah sebuah metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perilaku tertentu terhadap yang lain, dalam kondisi yang terkendalikan. Dalam penelitian eksperimen ada perlakuan (treatment).

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel. Variabel-variabel tersebut adalah :

a. Variabel terikat : Kemampuan Berhitung

b. Variabel bebas : Permainan Kartu Gambar

2. Definisi Operasional

a. Variabel Kemampuan Berhitung

Kemampuan berhitung merupakan suatu aktivitas menghitung mulai dari 1 sampai 10 yang dilakukan oleh siswa tunagrahita kelas 1 di SDN Sidosermo 1 Surabaya.

Instrumen pengumpulan data, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan lembar observasi sebagai instrumen pengumpulan data yang utama. Lembar observasi tersebut dibuat


(55)

   

b. Variabel Permainan Kartu Gambar

Kartu bergambar merupakan alat yang digunakan untuk membantu memperjelas suatu pengertian. Dalam permainan kartu gambar ini subjek akan diberikan beberapa kartu gambar yang berisikan tentang angka 1 sampai 10.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini berjumlah 2 anak Tunagrahita kelas 1 di SDN Sidosermo 1. Subjek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini ialah anak tunagrahita yang dudukdikelas 1 SD. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari : 1) responden adalah anak tunagrahita yang mampu berbahasa dan komunikasi, 2) responden yang orang tuanya bersedia menandatangani surat ijin penelitian, dengan data sebagai berikut :

1. Subjek pertama

Nama : ZR

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia :

Tempat Sekolah : SD Sidosermo 1

2. Subjek kedua

Nama : FH


(56)

   

Usia :

Tempat Sekolah : SD Sidosermo 1

C. Desain Eksperimen

Bentuk desain eksperimen ini adalah rancangan kasus tunggal ( single-case experimental design). Dalam single-case experimental, peneliti

mengobservasi perilaku satu individu utama (atau sejumlah kecil individu) sepanjang penelitian (Creswell, 2013).

Desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental design)

merupakan sebuah desain penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perlakuan (intervensi) dengan kasus tunggal. Kasus tunggal dapat berupa beberapa subjek dalam satu kelompok atau subjek yang diteliti adalah tunggal (N=1) (Latipun, 2006).

Desain eksperimen kasus tunggal, baik sampel kelompok maupun N=1, untuk kasus tertentu dianggap paling cocok untuk meneliti manusia, terutama apabila perilaku yang diamati tidak mungkin diambil rata-ratanya. Dalam beberapa kasus, rata-rata kelompok tidak dapat mencerminkan keadaan perilaku individu di dalam kelompok itu. Dengan kata lain, rata-rata kelompok tidak selalu mencerminkan keadaan individu-individu dalam kelompoknya. Kasus-kasus khusus demikian jika hendak dieksperimen yang paling memungkinkan adalah eksperimen kasus tunggal. Jadi di dalam penelitian ini, peneliti m elakukan pengukuran yang sama dan berulang-ulang untuk mempelajari seberapa banyakkah perubahan yang terjadi pada variabel


(57)

   

terikat (dependen) dari hari ke hari. Peneliti memilih desain ini karena

penekanan dalam penelitian ini adalah “clinical setting” atau pada efek terapi.

Alasan lain yang mendasari pemakaian desain ini ialah jumlah subjek penelitian yang sangat terbatas sehingga tidak dapat dilakukan komparasi antar kelompok (Latipun : 2006).

Suatu desain eksperimen kasus tunggal (single-case experimental design) diperlukan dan harus melakukan pengukuran keadaan awal sebagai

fungsi prates. Keadaan awal (baseline) merupakan pengukuran (beberapa)

aspek dari perilaku subjek selama beberapa waktu sebelum perlakuan. Rentang waktu pengukuran untuk menetapkan baseline ini disebut fase

keadaan awal (baseline phase). Fase keadaan awal ini memiliki fungsi

deskriptif dan fungsi prediktif. Fungsi deskriptif (descriptive function) adalah

fungsi untuk meramalkan level performansi (perilaku) subjek juka tidak ada

intervensi. Baseline berfungsi sebagai landasan pembanding untuk menilai keefektifan suatu perlakuan (Sunanto :2006).

Sumanto (1990; dalam Latipun, 2008) menjelaskan bahwa desain eksperimen kasus tunggal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu A-B-A withdrawal, baseline majemuk dan perlakuan berganti-ganti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain A-B-A withdrawal. Yang

dimaksud dengan withdrawal design adalah meniadakan perlakuan untuk

melihat apakah perlakuan tersebut efektif. Rancangan ini menerapkan observasi terus-menerus pada suatu individu utama. Target perilaku dari individu tersebut dibangun sepanjang waktu untuk kemudian dicari perilaku


(58)

   

utama yang menjadi garis dasar (baseline) untuk diteliti. Perilaku dasar ini

kemudian dinilai, di-treatment, sebelum pada akhirnya treatment tersebut

dihentikan di tahap akhir penelitian (Creswell, 2013). Pengertian baseline

(keadaan awal) ialah hasil pengukuran perilaku yang dilakukan sebelum

diberikannya sebuah perlakuan (intervensi), yang memungkinkan

dilakukannya pembandingan dan pengukuran terhadap efek-efek intervensi (Sunanto, 2005).

Desain A-B-A withdrawal pada dasarnya melibatkan fase baseline (A)

dan fase perlakuan (B). withdrawal berarti menghentikan perlakuan dan

kembali kepada baseline. Ada sejumlah variasi desai A-B-A withdrawal,

yang paling sederhana dan sering digunakan dalam penelitian perilaku yaitu desain A-B, A-B-A, dan A-B-A-B. Pada desain withdrawal ini, peneliti

menggunakan tipe variasi A-B-A, hal ini karena peneliti ingin melihat seberapa besar peningkatan kemampuan interaksi sosial pada anak autis (Latipun, 2006).

Desain A-B-A merupakan salah satu pengembangan dari desain dasar A-B, desain A-B-A ini telah menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas. Prosedur dasarnya tidak banyak berbeda dengan desain A-B, hanya saja telah ada pengulangan fase baseline. Mula-mula target behavior diukur secara kontinyu pada kondisi baseline (A1) dengan periode waktu tertentu kemudian pada kondisi intervensi (B). berbeda dengan desain A-B, pada desain A-B-A setelah pengukuran pada kondisi intervensi (B) pengukuran pada kondisi baseline kedua (A2) diberikan.


(59)

   

Penambahan kondisi baseline yang kedua (A2) ini dimaksudkan sebagai kontrol untuk fase intervensi sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan adanya hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel terikat. Secara umum desain A-B-A mempunyai prosedur dasar seperti pada gambar 2 di bawah ini (Sunanto, 2005).

Gambar 2. Prosedur Desain A-B-A

Desain A-B-A dilakukan dengan menambah fase baseline kedua

setelah fase perlakuan. Desain ini lebih baik dibandingkan dengan desain A-B. apabila selama fase perlakuan perilaku yang diamati menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan perilaku selama fase baseline, maka

dipandang sebagai efek suatu perlakuan.

Desain eksperimen yang digunakan adalah Single Subject. Rancangan ini menerapkan observasi terus-menenrus pada satu individu utama. Target perilaku dari individu tersebut dibangunsepanjang waktu untuk kemudian dicari perilaku utama yang menjadi garis dasar (baseline) untuk diteliti.

Tar

ge

t B

eh

a

io

Baseli e  A    I ter e si  B Baseli e  A  


(60)

   

Perilaku dasar ini kemudian dinilai, ditereatment, sebelum pada akhirnya treatment tersebut dihentikan ditahap akhir penelitian.

Baseline A Treatment Baseline A

O-O-X-X-X-X-X-X-X-X-O-O

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama 12 hari. Hari pertama dan kedua peneliti melakukan observasi dan wawancara tidak terstruktur kepada subjek. Hari ketiga hingga hari ke sepuluh subjek mendapat katu gambar dan mengikuti permainan. Di hari ke sebelas dan dua belas peneliti melakukan observasi dan wawancara kembali kepada subjek untuk mengetahui perkembangan subjek setelah mendapat permainan kartu gambar. Untuk pelaksanaan eksperimen setiap harinya diambil satu jam mata pelajaran ( 1 jam mata pelajaran = 40 menit).

D. Prosedur Eksperimen

Prosedur eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, antara lain:

1. Pra-Eksperimen

a) Pemberian Lembar Persetujuan Responden (informed consent)

kepada wali murid subjek penelitian.

b) Peneliti melakukan pengukuran dari hasil tes IQ, surat rekomendasi dari psikolog dan mengumpulkan data identitas subjek kelas 1 (Yang mengalami tunagrahita ringan).


(61)

   

c) Menentukan Guru inklusi. Peneliti membuat kesepakatan dengan guru inklusi untuk menjadi eksperimenter pelaksanaan eksperimen ini.

d) Memberikan briefing kepada 2 eksperimenter tentang tata cara

pelaksaan permainan kartu gambar yang sesuai dengan modul.

2. Pelaksanaan Eksperimen

a) Eksperimenter masuk pada kelas inklusi dengan kriteria tunagrahita ringan.

b) Eksperimenter memberikan penjelasan dan memberi contoh cara bermain kartu gambar.

3. Setelah eksperimenter memberikan penjelasan permainan kartu gambar

dan mengajak subjek penelitian bermain kartu gambar, setelah itu di tes oleh eksperimenter menggunakan lembar observasi berupa beberapa pertanyaan mengenai berhitung.

4. Post-Eksperimen

Semua jawaban yang disampaikan subjek kepada guru inklusi sebagai eksperimenter, akan langsung diteliti jawabannya. Kemudian eksperimenter akan memberi skor dari hasil jawaban yang diperoleh dari masing-masing subjek.


(62)

   

Berikut ini penjelasan berupa gambaran skema pelaksanaan eksperimen adalah sebagai berikut.

E. Instrumen Penelitian 1. Alat Ukur

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu instrumen perlakuan dan instrument pengukuran. Dalam hal ini instrument perlakuan menggunakan modul pelaksanaan metode permainan kartu gambar. Sedangkan instrumen pengukuran dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

Gambar 2. Prosedur Eksperimen

Eksperimenter memberikan cara bermain kartu gambar kepada subjek penelitian

Subjek melakukan eksperimen sambil dibimbing

oleh eksperimenter

Subjek menjawab pertanyaan yang diajukan oleh


(63)

   

a. Observasi

Menurut Elmira (dalam; Sulisworo dan Irfan, 2016) mengemukakan observasi adalah suatu aktivitas mengamati tingkah laku individu yang diikuti dengan mencatat hal-hal yang dianggap penting sebagai penunjang informasi tentang individu, khususnya informasi situasi sekarang.

Menurut Sulisworo dan Irfan ada 5 teknik pencatatan observasi yang umum digunakan dengan pendekatan kuantitatif. Kelima teknik tersebut antara lain Behavior Tallying dan Charting, Checklist, Frequency Counts, Time Sampling dan Ranting Scale.

1) BehaviorTallying dan Charting merupakan teknik pencatatan yang

bersifat closed method, dimana tidak ada data mentah untuk data yang telah

diamati. Namun, sudah merupakan data yang sudah jadi hasil dari pengamatan observer. Hampir semua pendekatan kuantitatif bersifat closed method, sehingga perlu digabung dengan teknik lain yang berupa narasi

sehingga data lebih komprehensif. Teknik ini dapat digunakan untuk mencatat secara spesifik suatu tingkah laku tertentu yang telah ditetapkan. Pada dasarnya charting atau graphing merupakan perluasan dari bentuk teknik behavior tallying yang model pencatatannya dalam bentuk diagram atau grafik.

2) Checklist adalah teknik pencatatan yang menyatakan keberadaan

atau ketidakberadaan sesuatu. Menurut Bentzen, (2000 dalam; Sulisworo dan Irfan, 2016) adalah suatu metode tertutup karena tidak adanya data mentah


(64)

   

atau kejadian yang digambarkan, yang ada hanyalah keputusan/inference pencatat yang berkaitan dengan kriteria.

3) Participation Charts merupakan teknik yang dapat digunakan

untuk mengobservasi sejumlah individu secara simultan mengenai partisipasi mereka pada suatu aktivitas tertentu. Teknik pencatatan ini biasanya digunakan dalam aktivitas yang memancing keterlibatan partisipasi antar individu sebagai bagian penting dari tingkah laku yang harus diobservasi.

4) Ranting Scales merupakan suatu alat ukur obsevasi yang berisi

daftar pernyataan atau tingkah laku dan alternatif jawaban dalam bentuk skala (kontinum). Teknik pencatatan ini digunakan apabila tingkah laku yang akan diobservasi telah diketahui dengan pasti dan dibutuhkan catatan mengenai frekuensi dan atau kualitas lain dari tingkah laku.

5) Narrative Description merupakan suatu teknik pencatatan

observasi yang memiliki karakteristik dasar berupa deskripsi tingkah laku yang digambarkan dalam bentuk narasi atau cerita.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik pencatatan observasi Behavior Tallying dan Charting untuk melakukan observasi. Pada

observasi ini diharapkan agar peneliti dapat mengamati secara langsung dan mencatat gejala-gejala yang terjadi di lapangan penelitian. Sebagai metode ilmiah observasi terlibat bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang fenomena-fenomena yang diselidiki. Peneliti melakukan observasi dengan menggunakan teknik pencatatan observasi


(1)

133

pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya.

Menurut penanggung jawab subjek (Guru inklusi), diketahui bahwa subjek 1 dan subjek 2 sedang menjalani terapi wicara disebuah instansi, karena selain mengalami hambatan dalam belajar subjek juga mengelami keterlambatan bicara. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran permainan kartu gambar efektif dalam meningkatkan kemampuan berhitunng pada anak tunagrahita.


(2)

1    

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini dapat di ambil kesimpulan bahwa permainan kartu gambar dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita. Metode permainan kartu gambar yang dilakukan dalam waktu dua minggu mampu meningkatkan beberapa aspek yaitu anak mampu menyebutkan angka 1 sampai 10, anak mengenali angka 1 sampai 10, anak mampu menghitung banyaknya benda, anak mampu menghitung banyaknya gambar. Sedangkan untuk indikator anak mampu berhitung dengan jari dan anak mampu berhitung abstrak tidak terdapat perubahan yang membaik..

B. Saran

1. Bagi Peneliti

Peneliti pada saat pre test, treatment dan post test diharuskan menggunakan kartu gambar yang sama untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengaruh permainan kartu gambar.

2. Bagi SDN Sidosermo 1 Surabaya

Disarankan bagi pihak sekolah untuk meneruskan permainan kartu gambar untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak tunagrahita ringan dalam rentang waktu yang lebih panjang. Sehingga mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Selain itu diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan


(3)

1    

pengetahuan bagi pihak SDN Sidosermo 1 Surabaya, sehingga memungkinkan dapat mengembangkan lagi metode permainan kartu gambar yang lain.

3. Bagi Guru Inklusi

Diharapakan agar guru inklusi lebih memperdalam lagi tentang metode permainan kartu gambar, sehingga nanti dapat mengembangkan dan menggunakannya untuk lebih mengetahui metode yang tepat dan efektif untuk anak. Dan juga memberikan tambahan informasi dan pengetahuan bagi guru inklusi bahwasanya masih banyak alternatif lain dalam mengembangkan kemampuan berhitung pada anak tunagrahita.

4. Bagi Keluarga

Disarankan untuk keluarga agar dapat membantu dalam proses belajar di rumah dengan menggunakan metode permainan kartu gambar untuk mengoptimalkan kemampuan berhitung anak tungrahita. Selain itu menambah informasi mengenai metode baru untuk pengembangan kemampuan berhitung anak tunagrahita, lebih sabar lagi dalam menjalankan suatu proses pengembangan potensi anak yang memiliki kecenderungan tunagrahita karena proses belajar anak yang memiliki kecenderungan tunagrahita memang membutuhkan waktu yang cukup lama.

5. Bagi Perkembangan Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya ada beberapa saran yang mungkin akan membantu mengembangkan dan mempermudah dalam mengadakan penelitian selanjutnya, yaitu :


(4)

1    

a. jika ingin menggunakan metode eksperimen dan subyeknya anak tunagrahita, supaya jauh-jauh hari menyusun dulu konsepnya, kalau bisa lakukan di awal semester ketika masuk dalam perguruan tinggi, sehingga untuk melakukan penelitian di lapangannya bisa mendapatkan waktu yang lebih lama, karena untuk melakukan eksperimen dengan subyek tunggal (single case) anak tunagrahita ringan membutuhkan minimal waktu 3 bulan agar dapat terlihat lebih jelas bagaimana hasilnya.

b. Peneliti selanjutnya supaya bisa lebih mengembangkan lagi tentang tema yang ada, mungkin bisa menguraikan lagi tentang metode-metode baru yang bisa membantu para orang tua atau masyarakat dalam hal mengembangkan potensi anak tunagrahita ringan.

c. Apabila ingin menggunkan tema yang sama diusahakan peneliti selanjutnya supaya dapat mengembangkan metode penelitian yang lain, sehingga bisa menambah wawasan bagi yang lainnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2012. Belajar Anak Berkesulitan. Jakarta : Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.

Ayinde, O. M. 2013.Impact of Instructional Object Based Card Game on Learning Mathematics: Instructional Design Nettle.

Azwar, S. (2013). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Azwar, S. (2013). Reliabilitas dan Validitas Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset.

Chaplin. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cooper, T.J, dkk. 2009 .The Mathematics of Indigenous Card Games: Implications for

Mathematics Teaching and Learning

Creswell, W. J. (2013). Research Design. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Endah, S. Dkk. 2007 .Meningkatkan Kemampuan Berhitung Anak Usia Dini Melalui

Permainan Kartu Angka Modifikatif.

Gasteiger, H. 2008.Opportunities To Learn Mathematics While Playing Traditional Dice Games

Ilahi, M,T.2013.Pendidikan Imklusi.Jogjakarta: Ar-Ruz Media

Maiyuli, A. 2012.Peningkatan Kemampuan Berhitung Anak Melalui Permainan

Domino Di Taman Kanak-Kanak Negeri Pembina Agam.

Mastur, V.O. 2011 .Pengaruh Permainan Aktif terhadap Kemampuan Berhitung pada Anak Usia

Omep. 2009.Early literacy and numeracy matters Geraldine French, Early Childhood Specialist.

Ormrod, E. J. (2008). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan

Berkembang Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Pandeirot, O. D. 2014. Psikologi Pendidikan 1. Jakarta : Erlangga.


(6)

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia.

Rohmitawati. 2007. Matematika Pertamaku Mengasah Kecerdasan Matematis Logis

Anak Sejak Usia Dini. http://www.bpkbdiy.com/id/upload/download_paud.php?id=15.

[diakses 13-07-2016]

Saichudin, dkk. 2009 .Pengaruh Pemanfaatan Media Kartu Kata Bergambar

Terhadap Kemampuan Menulis Kalimat Siswa Tunarungu.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Suwarti. 2007.Penggunaan Kartu Gambar Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif

Anak Dalam Mengenal Konsep Bilangan Di Kelompok B Tk Rahayu Surabaya

Wikasanti, E.. 2014. Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Redaksi Maxima

Yusuf, M. 2003. Pendidikan bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo: Tiga

Serangkai Pustaka Mandiri.

Wright, R. J., Martland, J., & Stafford, A. K. (2006). Early numeracy: assesment for teaching and intervention. London: Paul Chapman Publishing/Sage  


Dokumen yang terkait

PENGARUH PERMAINAN BALOK DAN PERMAINAN DAKON TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG PERMULAAN DITINJAU DARI KESIAPAN SEKOLAH Pengaruh Permainan Balok Dan Permainan Dakon Terhadap Kemampuan Berhitung Permulaan Ditinjau Dari Kesiapan Sekolah Siswa Tk B Paud Insan F

0 2 18

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG MENGGUNAKAN MEDIA PERMAINAN KARTU ANGKA Upaya Meningkatkan Kemampuan Berhitung Menggunakan Media Permainan Kartu Angka Bergambar Di Desa Gonilan Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

0 2 15

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG MENGGUNAKAN MEDIA PERMAINAN KARTU ANGKA Upaya Meningkatkan Kemampuan Berhitung Menggunakan Media Permainan Kartu Angka Bergambar Di Desa Gonilan Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

0 1 16

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN BERHITUNG MELALUI PERMIANAN KARTU HURUF, GAMBAR DAN ANGKA Peningkatan Kemampuan Membaca Dan Berhitung Melalui Permianan Kartu Huruf, Gambar Dan Angka Pada Pembelajaran Tematik (Bahasa Indonesia Dan Matematika) Pada Siswa

0 1 15

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG PERMULAAN MELALUI PERMAINAN KARTU ANGKA DAN GAMBAR PADA ANAK Peningkatan Kemampuan Berhitung Permulaan Melalui Permainan Kartu Angka Dan Gambar Pada Anak Di TK ABA Kraguman I Jogonalan Klaten Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 16

PENGARUH PENERAPAN METODE PERMAINAN "COCOKKAN KARTU" TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS I DI SLB C-G YPPCG SURAKARTA TAHUN AJARAN 2012/2013.

0 0 18

PROFIL KEMAMPUAN PRA BERHITUNG TUNAGRAHITA DI SLB KARYA ASIH SURABAYA.

7 18 92

Permainan Berhitung di Taman Kanak-kanak | SDN MANCAGAHAR 1 permainan berhitung

0 0 18

kemampuan berhitung siswa Sekolah Menyenangkan

0 0 4

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DENGAN BERMAIN KARTU REMI TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERHITUNG PADA TUNAGRAHITA RINGAN DI SDLBC AKW KUMARA II SURABAYA

0 0 18