STUDI KOMPARASI STATUS WALI WASI DALAM PERKAWINAN MENURUT MAZHAB MALIKI DAN MAZHAB SHAFI’I.

STUDI KOMPARASI STATUS WALI WA@S}I@ DALAM PERKAWINAN MENURUT
MADZHAB MA@LIKI DAN MADZHAB SHA@FI’I@

SKRIPSI

Oleh
AKROM AULADI
C51211160

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Hukum Keluarga Islam
Surabaya
2015

ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Studi Komparasi Status Wali Wa@s}i@ dalam
Perkawinan Menurut Madzhab Ma@liki dan Madzhab Sha@fi’i‛ ini merupakan hasil
penelitian pustaka yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang
bagaimana pendapat Madzhab Ma@liki dan Madzhab Sha@fi’i@ tentang status wali

wa@s}i@ dalam perkawinan. Serta persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab
Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.
Data penelitian dikumpulkan dengan teknik dokumen (reading text). data
yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif
yaitu memaparkan pendapat kedua Mazhab tentang status wali wa@s}i@ dalam
perkawinan, kemudian membandingkan antara keduanya sehingga ditemukan
persamaan dan perbedaan. Sedangkan pola pikir yang digunanakan adalah
deduktif yaitu dari teori yang bersifat umum dianalisis dari persamaan dan
perbedaan sehingga bisa diambil beberapa kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa Mazhab Ma@liki
berpendapat bahwasanya wa@s}i@ merupakan bagian dari wali dalam pernikahan, dan
statusnya sama dengan ayah sehingga mempunyai hak ijba@r dan lebih
didahulukan daripada wali kerabat yang lain. Sedangkan menurut Mazhab Sha@fi’i@
wa@s}i@ tidak termasuk dalam kategori wali, karena orang yang berhak untuk
menjadi wali secara runtut sudah diatur, sehingga ketika wali yang lebih berhak
meninggal dunia maka secara otomatis perwalian berpindah kepada wali yang
lain.
Persamaan pendapat antara Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ terletak
pada landasan hadis yang dijadikan dasar oleh kedua Mazhab yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berisi tentang peran wa@s}i@. Sedangkan

perbedaan pendapat kedua Mazhab ini terletak pada metode istinba@t} hukum
Imam Ma@lik yaitu qaul sah}ab@ i serta analogi antara wakil nikah dengan wali wa@s}i@,
juga berdasarkan pemahaman dari hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar sehinggga Mazhab Ma@liki beranggapan bahwasanya wali wa@s{i@ berhak
untuk menjadi wali dalam perkawinan. Sedangkan dengan berdasarkan
pemahaman dala@lah lafdhiyah dan petunjuk hadis dari Abdullah bin Umar
Mazhab Sha@fi’i@ beranggapan bahwasanya wa@s{i@ tidak termasuk dari wali yang
berhak untuk menikahkan seorang perempuan.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini penulis lebih cenderung sependapat
dengan pernyataan bahwa wa@s}i@ berhak untuk menikahkan seorang
perempuan,karena kedudukan wa@s}i@ sama dengan wakil nikah. Sehingga status
wali wa@s}i@ seperti status ayah.

vi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... iii
PENGESAHAN ................................................................................................... iv
MOTTO ................................................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TRANSLITERASI .............................................................................. xi
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi dan batasan masalah ................................................ 9
C. Rumusan masalah........................................................................ 10
D. Kajian pustaka.............................................................................. 10
E. Tujuan penelitian ......................................................................... 14
F. Kegunaan hasil penelitian ............................................................ 14
G. Definisi operasional ..................................................................... 15
H. Metode penelitian ........................................................................ 16
I. Sistematika pembahasan .............................................................. 20


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH
A. Pengertian dan dasar hukum wali nikah ..................................... 21
B. Strukturalisasi dan syarat-syarat wali nikah .............................. 26

ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III

STATUS WALI WA@S}I@
MAZHAB SHA>FI’I>

MENURUT MAZHAB MA>LIKI DAN

A. Status Wali Wa@s}i@ Menurut Mazhab Ma>liki> ............................. 33
1. Biografi Imam Ma@lik ........................................................... 33

2.

Wali Wa@s}i@ Menurut Mazhab Ma@liki .................................... 42

3.

Metode istinba@t} Mazhab Ma@liki tentang Status Wali

Wa@s}i@ dalam Perkawinan....................................................... 47
B. Status Wali Wa@s}i@ Menurut Mazhab Sha@fi’i ............................. 48
1. Biografi Imam Sha@fi’i@ .......................................................... 48
2.

Wali Wa@s}i@ menurut Mazhab Sha@fi’i .................................... 57

3.

Metode Istinba@t} Mazhab Sha@fi’i@ tentang Status Wali

Wa@s}i@ dalam Perkawinan....................................................... 64

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT MAZHAB MA@LIKI DAN MAZHAB SHA@FI’I@
TENTANG STATUS WALI WA@S}I@ DALAM PERKAWINAN

A. Analisis Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@
tentang Status Wali Wa@s}i@ dalam Perkawinan ............................ 64
B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab
Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang Ketentuan Perwalian
Khususnya Status Wali Wa@s}i@ dalam Perkawinan....................... 72
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 77

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PENULIS

x


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
A. Konsonan
No
1.

Arab
‫ا‬

Indonesia


Arab

‫ط‬

Indonesia
t}

2.

‫ب‬

B

‫ظ‬

z}

3.

‫ت‬

T


‫ع‬



4.

‫ث‬

Th

‫غ‬

Gh

5.

‫ج‬

J


‫ف‬

F

h}

‫ق‬

Q

6.
7.

‫خ‬

Kh

‫ؾ‬


K

8.

‫د‬

D

‫ل‬

L

9.

‫ذ‬

Dh

‫م‬

M

10.

‫ر‬

R

‫ن‬

N

11.

‫ز‬

Z

‫و‬

W

12.

‫س‬

S

‫ق‬

H

13.

‫ش‬

Sh

14.

‫ص‬

s}



‫ي‬

Y

‫ض‬
15.
d}
Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers.

Disertasions (Chicago and London: The University of Chicago
Press. 1987).

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Tanda dan
Huruf Arab
__َ__

Nama

Indonesia

fath}ah

A

__ِ__

Kasrah

I

__ُ__

d}amah

U

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika

hamzah

berh}arakatsukun

atau

didahului

oleh

huruf

yang

berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a’> (‫)اقتضاء‬
2. Vokal Rangkap (diftong)
Tanda dan
Huruf Arab
‫َ ْي‬
‫ُ ْو‬

Contoh

Nama

Indonesia

Ket.

fath}ah dan ya’

ay

a dan y

fath}ah dan wawu

au

a dan w

: bayna

( ‫) بين‬

: mawd}u’>

( ‫) موضوع‬

3. Vokal Panjang (mad)
Tanda dan
Nama
Huruf Arab
fath}ah dan alif
‫َ ا‬

Indonesia

Ket.

a>

a dan garis di atas

‫ِي‬

kasrah dan ya’

i>

i dan garis di atas

‫ُ و‬

d}ammahdan wawu

u>

u dan garis di atas

Contoh

: al-jama>’ah

(‫)الجماعة‬

: takhyi}>r

(‫)تخيير‬

: yadu>ru

(‫)يدور‬

xii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa hidup berpasang-pasangan, berjodohjodoh adalah fitrah segala makhluk Allah, termasuk manusia. Melalui makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT
menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi
ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan
itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud
peraturan-peraturan yang kemudian disebut sebagai hukum perkawinan.1
Perkawinan merupakan salah satu dari hukum agama yang kemudian
disebut sebagai fikih, dan kitab-kitab fikih dalam bentuk awalnya terdiri dari
empat bagian, yaitu iba@dat, mua@malat, muna@kaha@t, dan jina@yat. Fikih

muna@kaha@t sebagai salah satu pembahasan fikih dalam pendapat umat Islam
merupakan sesuatu yang berasal dari Allah dan harus dijalankan dalam rangka
meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.2 Perkawinan dalam Islam tidaklah
semata-mata sebagai kontrak keperdataan saja, tetapi juga mempunyai nilai
ibadah, karena termasuk sunah Nabi yang manfaatnya sangat besar baik secara
1
2

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2013), 13.
Amir syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), 19.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

lahir maupun batin. Perkawinan mempunyai tujuan yang mulia yaitu agar suami
istri bisa menjalani kehidupanya dengan tenteram dan nyaman. Hal itu
sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran yang dikenal dengan istilah saki@nah

mawaddah wa rahmah. Hal ini sebagaimana telah Allah SWT jelaskan dalam
QS. al-Ru@m ayat 21:

ِ
ِ ‫وِمن آياتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أَزو‬
‫ك‬
َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َم َوَد ًة َوَر ََْةً إِ َن ِِ ذَل‬
ً َْ ْ
ْ ْ َ َ
َ ْ َ
ٍ ‫آي‬
َ٣٧ُ ‫ات لَِق ْوٍم يَتَ َف َك ُرو َن‬
َ
‚Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir‛ 3

Sebagaimana hukum-hukum agama yang lain, perkawinan dalam Islam
juga mempunyai aturan-aturan tersendiri, karena pada dasarnya hukum itu
identik dengan rukun dan syarat. Rukun dan syaratlah yang menentukan sebuah
perbuatan itu sah atau tidaknya dari segi hukum. Dalam perkawinan rukun dan
syarat tidak boleh ditinggal, artinya perkawinan tidak sah bila antara rukun
ataupun syarat tidak lengkap. 4
Wali pengantin wanita adalah rukun dalam pernikahan, karena seorang
wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebab dia tidak memiliki
otoritas untuk itu baik secara langsung, dengan izin atau melalui pengganti
orang lain. Tujuan adanya persyaratan wali dalam pernikahan adalah demi
3
4

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2010), 572.
Amir syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., 9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

menjaga dan melindungi seorang wanita, karena ia mudah tertipu dan terkecoh.
Sehingga tidak dibenarkan menguasakan urusan pernikahan kepada sesama
wanita. Jika wanita kawin tanpa adanya wali, maka nikah tersebut batal, dan
pernikahannya tidak sah.5 Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:

ٍ
ِ
ِ
‫ت بِغَ ِْْ إِ ْذ ِن‬
َ َ‫صلَى الُ َعلَْي ِه َو َسلَ َم أَنَهُ ق‬
ْ ‫ال أمَُا ْامَرأَة نَ َك َح‬
ِ ِ‫َع ْن َعائ َشةَ َرض َي اللَهُ َعْن َها َع ِن الن‬
َ ‫َب‬
ِ
ٍ َ َََ‫اطل ُث‬
ِ
ِ
ِ
‫ فَِإ ِن ا ْشتَ َج ُروا‬،‫اب ِمْن َها‬
َ ‫ َوإِ ْن َد َخ َل َِا فَالْ َم ْه ُر ََا َِا أ‬، َ‫ث َمَرات‬
َ ‫َص‬
ُ ‫َولَيِ َها فَن َك‬
ٌ َ‫اح َها ب‬
.‫يث َح َس ٌن‬
َ َ‫ َوق‬،‫ي‬
‫ِ لَهُ» َخَر َجهُ الت ِْرِم ِذ م‬
ٌ ‫ َح ِد‬:‫ال فِ ِيه‬
َ ِ‫ِ َم ْن ََ َو‬
‫فَال مس ْلطَا ُن َوِ م‬
‚Perempuan manapun yang menikah tanpa izinnya wali maka nikahnya
batal, nikahnya batal, nikahnya batal, ketika pasangan tersebut sudah
melakukan jima’ maka mahar yang sudah diberikan sepenuhnya menjadi
hak perempuan, ketika walinya enggan untuk menikahkan, maka walinya
berganti ke hakim, karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak punya
wali.‛ 6

Dari hadis yang diriwayatkan Sayyidah ‘A@isyah di atas Imam Sh@afi’i@@
berpendapat bahwasanya tidak sah nikah tanpa adanya wali.7 Sependapat
dengan Imam Sha@fi’i@, Imam Ma@lik berpendapat bahwasanya tidak sah nikah
tanpa adanya wali, dan Imam Ma@lik menempatkan wali sebagai syarat dalam
perkawinan. Akan tetapi Imam Abu H}ani@fah, Zu’far, Sya’biy, Zuhri@
berpendapat bahwasanya nikahnya seorang perempuan balig tanpa adanya wali
dianggap sah dengan syarat calon suami tersebut sekufu’8. Pendapat Imam Abu
H}anifah, Zufar, Sya’biy, Zuhri ini berdasar pada realitanya perempuan balig
5

Muhammad Zuhaily, fiqh munakahat, Muhammad Kholison, ( Surabaya: Imtiyaz, 2013 ), 128.
Muhammad bin Idri@s, al-Umm, V, (Beirut: Da@r el Ma’rifat, 1990) , 13.
7
Ibid.
8
Abu@ al Wa@lid al Qurthuby@, Bida@@yah al- Mujtahid Wa Niha@yah al- Muqtasid, III, (Kairo: Da@r el
Hadi@s, 2004), 36.
6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

berhak untuk melakukan sendiri segala aktifitas transaksi seperti jual beli,
sewa, gadai dan lain sebagainya.9
Pembahasan siapa yang kemudian berhak menjadi wali untuk menikahkan
seorang perempuan juga memunculkan perbedaan pendapat. Imam H}anafi
berpendapat bahwasanya perwalian itu hanya mengenal istilah wali mujbir10,
hal ini didasarkan pada perkataan yang diriwayatkan dari sahabat Ali@. Wali

mujbir ini ditinjau dari kedekatan hubungan persaudaraan antara wali dengan
orang yang akan dinikahkannya. Sehingga menurut Imam H}anafi yang paling
berhak menjadi wali adalah: golongan anak, golongan ayah, golongan saudara,
golongan paman, orang yang memerdekakan budak, kemudian Imam atau
Hakim. Imam H}anafi menempatkan golongan anak pada golongan pertama
yang paling berhak menjadi wali, karena pada dasarnya anak merupakan orang
yang paling dekat dan juga orang yang paling disayang.11
Imam Ma@lik ketika membahas terkait dengan urutan wali hanya
mengelompokkan menjadi dua kategori, yaitu wali mujbir dan wali ghairu

mujbir. Wali mujbir diklasifikasikan sesuai dengan urutannya sebagaimana
yang dijelaskan di bawah ini:12

9

Wahbat Az-Zuhayli@, al-Fiqh al-Isla@m Wa Adillatuhu..., IX, 6699.
Wali mujbir adalah seorang wali yang mempunyai hak untuk menikahkan tanpa meminta izin dari
anaknya. Hak dari wali tersebut berlaku ketika anak tersebut masih perawan (belum pernah
menikah).
11
Wahbat Az-Zuhayli@, al-Fiqh al-Isla@m Wa Adillatuhu..., 6705.
12
Ibid., 6708.
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

1.

Majikan seorang budak, walaupun majikannya tersebut perempuan.
Majikan tersebut mempunyai hak ijba@r bagi budak perempuan atau budak
laki-lakinya dalam urusan perkawinan, dengan syarat tidak menimbulkan
bahaya dikemudian hari bagi budak tersebut. Seperti halnya menikahkan
mereka pada orang yang mempunyai penyakit seperti lepra ataupun belang.
Maka majikan tidak memiliki hak ijba@r padanya. Dalam hal ini majikan
lebih didahulukan daripada ayah.

2.

Ayah, baik dia orang yang cerdas ataupun orang yang bodoh.

Dalam hal

menikahkan seorang gadis walaupun gadis itu tergolong perawan tua yang
telah berumur sampai enam puluh tahun lebih. Ayah berhak menikahkan
anaknya dengan hak ijba@r walaupun tanpa mahar mithli, ataupun calonnya
tesebut tidak sekufu’.
3.

Orang yang diwasiati ayah ketika ayah sudah meninggal dengan tiga
ketentuan yaitu: 1. ketika seorang ayah telah menjelaskan pada wa>s}i@ siapa
orang yang akan menjadi suami anaknya. Contohnya ketika ayah berkata
pada Wa>s}i@ :‛nikahkanlah anakku dengan fulan‛. Atau ketika seorang ayah
dengan jelas menyebutkan hak ijba@r ketika berwasiat, contohnya: ‛paksalah
anak saya untuk menikah‛ ataupun dengan menyebutkan secara jelas kata
yang mengandung makna menanggung seperti :‛nikahkanlah anak saya
sebelum balig dan sesudahnya‛, ataupun ‚nikahkanlah anak saya terserah
dengan apa yang kamu inginkan‛ 2. Dengan catatan bahwa mahar anak

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

tersebut tidak boleh kurang dari mahar mithli. 3. Bahwasanya calon
suaminya bukanlah orang yang fa@siq.
Sedangkan wali ghairu

mujbir atau perwalian yang sifatnya fakultatif

terdiri dari golongan anak kebawah, golongan kakek, golongan saudara ayah
golongan paman.13 Pendapat Imam Ma@lik dalam urutan wali ini didukung oleh
pendapat Imam H}anbal.14
Membahas ketentuan wali Imam Sha@fi’i@ sependapat dengan Imam Ma@lik
yaitu dengan mengklasifikasikannya menjadi dua kategori, yaitu Wali Mujbir,
dan wali ghairu mujbir. Menurut Imam Sha@fi’i@, yang termasuk dari kategori
wali mujbir adalah : ayah, kakek, dan majikan seorang budak. Pendapat ini
tentunya berbeda dengan Imam Ma@lik . Sedangkan wali ghairu mujbir menurut
Imam Sha@fi’i@ yaitu ayah, kakek, dan seterusnya dilanjutkan oleh ahli waris
‘as}abah.15
Berbeda dengan Imam Ma@lik yang berpendapat bahwasanya golongan
wali ghairu mujbir dikatakan sebagai wali yang bersifat opsional, artinya tidak
diharuskan untuk mendahulukan wali yang pangkat kekerabatannya lebih dekat.
Imam Sha@@fi’i@ mewajibkan adanya urutan wali dengan runtut, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Zakariya al-Ans}o@ ri@ dalam kitab al-Minha@j terkait urutan
wali, beliau menjelaskan ketika ada wali yang lebih dekat maka harus
13

Ibid., 6708.
Ibid., 712.
15
Ibid., 6711.
14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

didahulukan,16 artinya ketika masih ada kerabat yang lebih dekat maka kerabat
tersebut yang berhak untuk menjadi wali. Dari beberapa penjelasan tersebut
Imam Sha@fi’i@ tidak memberikan keterangan secara tersurat terkait dengan
perwalian yang disebabkan oleh wasiat seorang ayah.
Perbedaan terkait dengan status wali wa>s}i@ tidak lepas dari pendapat ulama’
Mazhab Ma@liki dan Sha@@fi’i@ terkait masalah Wis}a@yah atau kadang-kadang
disebut dengan wila@yah, atau al wa>s}i@yah al ‘ahdiyah. Wis}a@yah merupakan
amanat yang diberikan seseorang kepada pihak lain agar melaksanakan pesanpesannya sesudah ia meninggal dunia, seperti melunasi hutang-hutangnya,
menagih piutang yang menjadi miliknya, menjaga dan menafkahi anak-anaknya
dan lain sebagainya.17
Imam Sha@@fi’i@ sendiri sepakat terkait dengan hukum Wis}a@yah. Dalam kitab

Fiqh al-Minnha@j ‘ala Mazhab Imam Sha@fi’i@ terdapat sebuah keterangan yang
memperbolehkan hukum Wis}a@yah, bahkan dalam kitab tersebut disebutkan
bahwasanya hukum asal Wis}a@yah adalah sunnah. 18
Ketika membahas lebih spesifik terkait dengan Wis}a@yah terkait hak
perwalian dalam nikah, seperti seorang ayah mengatakan kepada wa>s}i@, ‚saya
mengangkat anda sebagai wa>s}i@ untuk menikahkan anak perempuan saya si Anu,

16

Sulaiman al-Bujairomi, Ha@siyat al-Bujairomi, III, (Beirut: Da@r el Fikr, 1995), 340.
Muhammad Jawwa@d Mughni@, Fiqh Lima Mazhab, terj. Masykur A.B, dkk (Jakarta: lentera, 2012),
525.
18
Musthofa al Khin, Musthofa al bugho@, Fiqh Minha@@j ‘ala Madzhab Imam Sha@@fi’i@, V, (Damaskus:
Da@r el Qalam, 1992), 59.
17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

atau anak laki-laki saya, si Anu‛ Imam Ma@lik

mengatakan: hal itu boleh

dilakukan. Sedangkan Imam Sha@@fi’i@ tidak menjelaskan secara tersurat terkait
kebolehan berwasiat untuk menjadi wali dalam perkawinan. 19
Dari berbagai keterangan di atas yang menjelaskan berbagai macam
pendapat tentang wali, penulis hanya membatasi pendapat pada Imam Ma@lik
dan Imam Sha@fi’i@ saja yang kemudian diikuti oleh pengikutnya yaitu Mazhab
Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@, karena penulis sangat tertarik dengan pendapat
kedua Mazhab tersebut. Pada dasarnya Imam Ma@lik dan Imam Sha@@fi’i@ sepakat
bahwasanya wali merupakan rukun dalam perkawinan, akan tetapi kedua Imam
ini berbeda pendapat terkait siapa saja yang berhak dan yang lebih didahulukan
menjadi wali terutama dalam menyikapi wali wa>s}i@. Imam Ma@lik menyatakan
bahwa wali wa>s}i@ dikategorikan sebagai wali mujbir dan lebih didahulukan
menjadi wali daripada wali nasab. Sedangkan Imam Sha@@fi’i@ tidak menempatkan
wali wa>s}i@ sebagai orang yang berhak untuk menjadi wali dalam perkawinan.
Perbedaan pendapat tentang status wali wa>s}i@ ini menjadi sebuah diskusi
yang menarik karena bersangkutan dengan sah tidaknya akad yang dinikahkan
oleh wali tersebut. Dari berbagai literatur yang ditemukan, Ulama’ Mazhab
Sha@fi’i@ tidak menempatkan wali wa>s}i@ sebagai wali dalam urutan perwalian
sehingga ketika wali wa>s}i@ ini menjadi wali pada perkawinan seorang
perempuan, maka hukumnya tidak sah. Imam Ma@lik justru menempatkan wali
19

Ibid.,529.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

wa>s}i@ ini pada kedudukan ayah, sehingga lebih diprioritaskan dan bahkan
mempunyai hak sebagaimana haknya wali mujbir.
Untuk itulah penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
bagaimana status wali wa>s}i@ menurut Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@ dengan
judul ‚Studi Komparasi status wali wa>s}i@ dalam perkawinan menurut Mazhab
Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Terkait dengan latar belakang masalah di atas, beberapa masalah dalam
penelitian ini dapat diidentifikasi dalam unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pengertian wali menurut Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@
2. Macam-macam wali menurut Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@
3. Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang urutan wali serta
implikasinya
4. Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang wali wa>s}i@
5. Persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@
tentang status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.
Agar pembahasan dalam skripsi ini fokus, maka penulis membatasi
pembahasan hanya pada masalah:
1. Pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa>s}i@ dalam
perkawinan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

2. Persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@
tentang status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali

wa>s}i@ dalam perkawinan?
2. Apa persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@
tentang status wali wa>s}i@ dalam perkawinan?

D. Kajian Pustaka
Tinjauan pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang
sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan diteliti penulis.
Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian ini
bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian
sebelumnya.20
Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang perwalian diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. ‚Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazdhab dan Hukum Positif ‛ yang
ditulis oleh Achmad Hadi Sayuti, mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Syarif

20

Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, Cet. IV, 2012), hal. 9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

Hidayatullah Jakarta, 2011. Skripsi ini membahas tentang perbedaan
pendapat terkait status wali dalam perkawinan menurut Imam Sha@fi’i@ dan
Imam H}anafi, yang kemudian dikorelasikan dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia. Skripsi ini mempunyai kesimpulan bahwa antara Imam
Sha@fi’i@ dan Imam H}anafi mempunyai alasan tersendiri dan sebagai warga
negara Indonesia seharusnya mengikuti aturan dalam KHI yang mana lebih
condong pada pendapat Imam Sha@fi’i@.21
2. ‚Studi Analisis Pendapat Imam Malik tentang Wali Washi dari Bapak Lebih
didahulukan sebagai Wali Nikah Daripada Wali Nasab‛ skripsi yang ditulis
oleh Khoirul Jaza Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2008.
Skripsi ini menganalisis pendapat Imam Malik terkait dengan kewajiban
mendahulukan Wali Was}i daripada wali nasab. Analisis ini lebih diarahkan
ke metode istinbat} hukumnya Imam Ma@lik. Dalam metodologi istinbatnya,}
Imam Ma@lik lebih mengedepankan amal ahli madinah dan qaul s}aha@bat
daripada qiya@s. Faktor setting sosial juga dijadikan penulis sebagai alasan
terkait pendapat Imam Ma@lik tentang hukum wali wa>s}i@, sehingga penulis
dalam kesimpulannya menegaskan kembali bahwa wali was}i lebih
didahulukan daripada wali nasab. 22

21

Achmad Hadi Sayuti, ‚Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazdhab dan Hukum Positif ‛ (Skripsi-UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011).
22
Khoirul Jaza, ‚Studi Analisis Pendapat Imam Malik tentang Wali Washi dari Bapak Lebih
didahulukan sebagai Wali Nikah Daripada Wali Nasab‛ (Skripsi-- IAIN Walisongo, Semarang,
2008).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

3. ‚Analisis Pendapat Imam al-Syafi’i tentang Wali Nikah Bagi Janda di
Bawah Umur‛ skripsi yang ditulis oleh Abdul Ghufron Fakultas Syariah
IAIN Walisongo Semarang, 2010. Skripsi ini menjelaskan tentang pendapat
Imam Sha@fi’i@ terkait dengan wajib tidaknya wali bagi janda yang masih di
bawah umur. Penelitian ini mempunyai kesimpulan bahwa masih tetap
diperlukan adanya wali bagi janda yang masih di bawah umur, karena
menurut penulis hal itu masih relevan dengan realitas kehidupan masa kini,
dan tentunya berdasar pada hadis Nabi yang berbunyi: tidak diperbolehkan
nikah tanpa adanya wali.23
4. ‚Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti Musdah Mulia)‛. Skripsi ini
ditulis oleh Ahmad Khadik Sa’roni mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga, 2014. Skripsi ini mengkaji terkait pendapat Siti
Musdah Mulia tentang tidak diharuskannya wali dalam sebuah pernikahan.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwasanya pendapat Siti Musdah Mulia ini
pada dasarnya merujuk pada pendapat Imam H}anafi tentang tidak
diwajibkannya wali bagi perempuan yang telah dewasa.24
Dari penelitian yang sudah ada, memang telah banyak karya tulis yang
membahas secara umum tentang wali. Akan tetapi dari beberapa penelitian
yang dilakukan, yang memfokuskan pada pengkajian terkait wali was}i hanya
23

Abdul Ghufron, ‚Analisis Pendapat Imam al-Syafi’i tentang Wali Nikah Bagi Janda di Bawah
Umur‛ (Skripsi-- IAIN Walisongo Semarang, 2010).
24
Ahmad Khadik Sa’roni, ‚Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti Musdah Mulia)‛. (Skripsi-UIN Sunan Kalijaga, 2014).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

skripsi yang ditulis oleh Khoirul Jaza Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, yakni tentang Pendapat Imam Malik tentang wali wa>s}i@ dari bapak
lebih didahulukan sebagai wali nikah daripada wali nasab. Penelitian tersebut
mangkaji wali wa>s}i@ ditinjau lebih khusus kepada metodologi istinbat} hukum
Imam Ma@lik yang lebih mengedepankan amal ahli madinah dan qaul s}aha@bi@,
dengan hanya berlandaskan hadis-hadis tentang wali yang masih umum.
Sedangkan dalam skripsi ini mengkaji status wali wa>s}i@ menurut Imam Ma@lik
dan Imam Sha@fi’i@. Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang, kedua
Imam Mazhab ini menempatkan wali dalam posisi yang penting dalam
pernikahan, akan tetapi dalam hal wali wa@s@ }i@ kedua Imam Mazhab ini
mempunyai pendapat yang berbeda, penulis akan membahas perwalian
khususnya wali wa>s}i@ dalam perkawina menurut Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@
melalui telaah metode pengambilan hukumnya dan dasar hukumnya. Jadi dari
beberapa penelitian terdahulu belum ada yang mengkhususkan pembahasan
tentang studi komparasi status wali wa>s}i@ menurut Imam Ma@lik dan Imam
Sha@fi’i@.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk mengetahui pendapat Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang
status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.
2. Untuk mmengetahui persamaan dan perbedaan pendapat Mazhab Ma@liki dan
Mazhab Sha@fi’i@ tentang status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang- kurangnya
untuk dua hal:
1. Secara teoritis, diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
dalam bidang perkawinan khususnya mengenai perwalian yakni tentang
status wali wa>s}i@ menurut Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@.
2. Secara praktis, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam masalah
perwalian dalam hukum perkawinan bagi masyarakat Islam di Indonesia.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

G. Definisi Operasional
Untuk menghindari pemahaman dan interpretasi yang tidak sesuai
dengan judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan beberapa maksud
dari variabel penelitian sebagai berikut:
Studi komparasi

: jenis penelitian yang membandingkan dua pendapat
atau lebih dari suatu variable (objek tertentu). Jenis
penelitian ini dilatarbelakangi karena belum adanya
kesepakatan yang mantap di kalangan para ahli
hukum.25

Wali was}i@ dalam perkawinan

menurut Mazhab

Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@.
b. Data tentang dasar hukum Mazhab Ma@liki dan Mazhab Sha@fi’i@ tentang
status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.

2. Sumber data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber data
Sekunder, karena pada dasarnya penelitian normatif (kepustakaan) lebih
banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di

29

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 91.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

perpustakaan yang nantinya mencakup bahan hukum primer, sekunder,
tertier30.
a.

Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang menjadi bahan
utama

dalam

sebuah penelitian,

dalam penelitian

ini

penulis

menggunakan karya outentik Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@@ yaitu:
1) al-Mudawwanah al-kubra@
2) al-Umm
b.

Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer31. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan bahan hukum dari pendapat pengikut Imam Ma@lik yang
berupa kitab-kitab sebagai berikut@:
1) Bida@yah al-Mujtahid karya Ibnu Rushd
2) As}l al-Mada@rik oleh Syiha@buddi@n al-Baghdadi@
3) Syarah} as} S}agi@r dan Syarah} al Kabi@r karya Abu@ al-Barakah Sa’idi@
Ah}mad ad-Dardiri@
Didukung juga oleh kitab karangan pengikut Sha@fi’i@@ seperti:
1) al-Muhadhab oleh Abu@ Ish}aq@ Ibra@him as-Syirazi@

30
31

Ibid.
Ibid,98

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

2) kitab al-Majmu@’ Sharh al-Muhadhab oleh Ima@m Nawawi@
3) Tuhfah al-Muhta@j oleh Ah}mad bin Hajar al-Haitami
4) Ha@siyah al Bujairami@ karya Sulaima@n al-Bujairami@
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti:
1) Kamus
2) Ensiklopedia hukum Islam

3. Teknik pengumpulan data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik
dokumenter (reading text). Teknik dokumen sendiri

menurut Holsti

merupakan teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha
menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dan
sistematis.32 teknik ini dilakukan dengan cara menelaah teori-teori,
pendapat-pendapat, serta pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam media
cetak ataupun online, khususnya buku-buku yang menunjang dan relevan
dengan permasalahan yang dibahas. Terdapat dua macam dokumen yakni
dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dalam hal ini penulis lebih banyak
akan memakai dokumen pribadi, yakni catatan atau karangan seorang secara
32

Ibid., 210.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaannya.33
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan data yang terkumpul,
mengatur, mengurutkan, dan mengelompokkannya, kedalam suatu pola,
kategori, dan urutan dasar. Untuk menganalisis data yang telah
dikumpulkan. penulis menggunakan teknik deskriptif komparatif dengan
pola pikir deduktif.
Teknik deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk
membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki.34

Pendekatan

deskriptif

komparatif

dipergunakan

untuk

mengetahui pendapat Imam Ma@lik dan Imam Sha@fi’i@ terkait status wali wa>s}i@
dalam perkawinan. Selanjutnya, deskripsi tersebut dianalisis menggunakan
pola pikir deduktif.
Dengan teori-teori yang bersifat umum mengenai status waliwa>s}i@ dalam
perkawinan dalam hukum Islam, kemudian dianalisis dari persamaan dan
perbedaan kedua pendapat sehingga bisa diambil beberapa kesimpulan.

33
34

Ibid.,208.
Moh. Nazhir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), 62.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

I.

Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah kepada tercapainya tujuan
yang ada, maka penulis membuat sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian
dan sistematika pembahasan.35

Bab kedua, merupakan kerangka teoritik mengenai tinjauan umum tentang
wali nikah yang meliputi pengertian wali nikah, dasar hukum, strukturalisasi
perwalian serta syarat wali dalam perkawinan.

Bab ketiga, merupakan kerangka teoritik mengenai wali wa>s}i@ menurut
Mazhab Ma@liki dan Sha@fi’i@ yang meliputi sekilas tentang Imam Ma@lik dan
Imam Sha@fi’i@, mulai tempat tinggal, keadaan lingkungan, riwayat pendidikan,
nama-nama guru beliau, kitab-kitab karya beliau, pendapat dan dasar hukum
beliau tentang status wali wa>s}i@ dalam perkawinan.

Bab keempat, merupakan analisis komparatif terhadap pendapat Mazhab
Ma@liki dan Sha@fi’i@ tentang status status wali was}i dalam perkawinan. Dan
analisis terhadap persamaan dan perbedaan kedua mazhab tentang status wali

wa>s}i@ dalam perkawinan.
Bab kelima, merupakan penutup yang memuat kesimpulan.
35

Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, cet.ke-IV, 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG WALI NIKAH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah
Wali secara bahasa bermakna mencintai dan pertolongan sebagaimana
firman Allah SWT:

ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ٍ ‫ض ُه ْم أ َْولِيَا ُ بَ ْع‬
‫يمو َن‬
ُ ‫ات بَ ْع‬
ُ َ‫َوالْ ُم ْؤمنُو َن َوالْ ُم ْؤمن‬
ُ ‫ض يَأْ ُم ُرو َن بالْ َم ْع ُروف َويَْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمْن َك ِر َويُق‬
1

ِ
ِ
َ١٧ُ ‫يم‬
َ ‫ال‬
َ ِ‫صَةَ َويُ ْؤتُو َن الَزَااةَ َويُ ِطيعُو َن اللَهَ َوَر ُسولَهُ أُولَئ‬
ٌ ‫ك َسيَ ْر ََُ ُه ُم اللَهُ إ َن اللَهَ َع ِز ٌيز َحك‬

Artinya: ‚Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛

Sedangkan menurut istilah wali adalah orang yang berhak dan berkuasa
untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada dibawah
perwaliannya karena dianggap tidak mampu atau tidak cakap hukum.2
Dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan wali adalah perwalian yang
menyangkut pribadi seseorang, yakni dalam masalah perkawinan. Abdurrahma@n

1
2

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2010), 266.
Wahbah al-Zuhayli@, al-Fiqh al-Isla@@m wa Adillatuhu, IX, (Beirut: Da@@r el Fikr, 1995), 6690, 6709.

21

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

al-Jazi@ry@ mendefinisikan wali sebagai orang yang menjadikan perkawinan itu
sah sehingga perkawinan tanpa adanya wali hukumnya tidak sah.3
Dasar hukum dari adanya wali terdapat dalam al Qur’an surat al-Baqarah
ayat 232 yang berbunyi:

ِ ‫وإِ َذا طَلَ ْقتم النِسا فَب لَ ْغن أَجلَه َن فََ تَعضلُو َن أَ ْن ي ْن ِكحن أ َْزواجه َن إِ َذا تَراضوا ب ي نَ هم بِالْمعر‬
‫وف‬
ُ ُ ْ
َُ َ َ ْ َ
ُ َ َ َ َ َ ُُ
َ
ُ ْ َ ْ ُ َْ ْ َ َ
ِ
ِ ‫ظ بِِه من َاا َن ِمْن ُكم ي ْؤِمن بِاللَ ِه والْي وِم‬
َ ‫اآخ ِر َذلِ ُك ْم أ َْزَاى لَ ُك ْم َوأَطْ َه ُر َواللَهُ يَ ْعلَ ُم َوأَنْتُ ْم‬
َ ‫َذل‬
َ ُ‫ك ي‬
ْ َ ُ ‫وع‬
َْ َ
ُ ُْ
4

َ٣٢٣ُ ‫تَ ْعلَ ُمو َن‬

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.‛
Ayat ini merupakan khita@b kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai
hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.5
Surat an-Nur ayat 32 yang berbunyi:

ِ ِ ْ َ‫صاِِْن ِمن ِعب ِاد ُام وإِمائِ ُكم إِ ْن ي ُكونُوا فُ َقرا ي ْغنِ ِهم اللَه ِمن ف‬
ِ
ِ
ُ‫ضله َواللَه‬
َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ‫َوأَنْك ُحوا اليَ َامى مْن ُك ْم َوال‬
ْ ُ ُ ُ ََ
6

ِ ِ
َ٢٣ُ ‫يم‬
ٌ ‫َواس ٌع َعل‬

Artinya: ‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
3

Abdurrahman al-Ja@zi@ri@, al-Fiqhu ‘Ala@@ al-Madha@@hib al-Arba’ah, (Lebanon: Da@r el-Kutub al Alamiyah,
2003) 29.
4
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2010),46.
5
Abu@ al Wa@lid al Qurthuby@, Bida@@yah al- Mujtahid wa Niha@yah al- Muqtasid, III, (Kairo: Da@r el
Hadi@s, 2004), 37.
6
Departemen Agama RI, al-Quran dan …,494.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.‛
Sedangkan hadis yang menjelaskan tentang wali nikah diantaranya sebagai
berikut:

‫ َع ِن‬،‫وسى‬
َ َ‫ ق‬،‫َحدَثَنَا ابْ ُن أَِب ُع َمَر‬
َ ‫ َع ْن ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم‬،‫ َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج‬،َ‫ َحدَثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَ ْي نَة‬:‫ال‬
ٍ
ِ َ ‫ أَ َن رس‬،َ‫ عن عائِ َشة‬،َ‫ عن عروة‬،‫ي‬
ِْْ َ‫ت بِغ‬
َ َ‫صلَى اللَهُ َعلَْي ِه َو َسلَ َم ق‬
ْ ‫ أَمَُا ْامَرأَة نَ َك َح‬:‫ال‬
َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ِ ‫المزْ ِر‬
َ ‫ول ال‬
َُ
ِ
ِ
ِ ِ
ِ ِ
ِ ِ ِ ِ
ِ
‫استَ َح َل‬
ْ ‫ فَِإ ْن َد َخ َل َِا فَلَ َها الْ َم ْه ُر َِا‬،‫اح َها بَاط ٌل‬
ُ ‫ فَن َك‬،‫اح َها بَاط ٌل‬
ُ ‫ فَن َك‬،‫اح َها بَاط ٌل‬
ُ ‫إ ْذن َوليِ َها فَن َك‬
7

‫يث َح َس ٌن‬
ٌ ‫ َ َذا َح ِد‬.ُ‫ِ لَه‬
َ ِ‫ِ َم ْن ََ َو‬
‫ فَِإ ْن ا ْشتَ َج ُروا فَال مس ْلطَا ُن َوِ م‬،‫ِم ْن فَ ْرِج َها‬

Artinya: ‚Ibnu Abi@ Umar telah meriwayatkan hadis, diceritakan oleh
Sufya@n bin ‘Uyaiynah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaima@n bin Mu@sa@, dari Zuhri@,
dari Urwah, dari Sayyidah A@isyah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
‚Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal,
nikahnya batal, nikahnya batal, jika mereka sudah melakukan hubungan
suami istri maka mahar menjadi hak istri sebagai ganti atas kehalalan
perbuatan tersebut, apabila wali menolak untuk menikahkannya maka
hakim merupakan wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.‛ Hadis ini
adalah hadis H}asan.

:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،ُ‫وحدَثَنَا قُتَ ْيبَة‬
َ َ‫ ق‬،‫َحدَثَنَا َعلِ مي بْ ُن ُح ْج ٍر‬
َ ‫ َع ْن أَِب إِ ْس َح‬،ِ‫يك بْ ُن َعْب ِد ال‬
ُ ‫َخبَ َرنَا َش ِر‬
ْ ‫ أ‬:‫ال‬
َ ‫اق‬
،‫ي‬
َ َ‫ ق‬،‫وحدَثَنَا ُمَ َم ُد بْ ُن بَشَا ٍر‬
ٍ ‫ َحدَثَنَا َعْب ُد الَر ََْ ِن بْ ُن َم ْه ِد‬:‫ال‬
َ ‫ َع ْن أَِب إِ ْس َح‬،َ‫َحدَثَنَا أَبُو َع َوانَة‬
َ ‫اق‬
ِ ‫اق وحدَثَنَا عب ُد‬
ِ ِ
ٍ
‫س‬
َ َ‫ ق‬،‫ال بْ ُن أَِب ِزيَ ٍاد‬
َْ َ َ ‫ َع ْن أَِب إِ ْس َح‬،‫يل‬
َ ‫َع ْن إ ْسَرائ‬
َ ُ‫ َع ْن يُون‬،‫ َحدَثَنَا َزيْ ُد بْ ُن ُحبَاب‬:‫ال‬

7

Abu@@ ‘I@sa@ Muhammad bin ‘I@sa@ at-Turmudzi@, Sunan at-Turmudzi@, II, (Beirut: Da@r el Ghorbi al-Isla@mi@,
!998), 398.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

ِ ُ ‫ال رس‬
َ َ‫وسى ق‬
َ ‫ َع ْن أَِب إِ ْس َح‬،‫اق‬
َ ‫بْ ِن أَِب إِ ْس َح‬
ُ‫صلَى اللَه‬
َ ‫ول ال‬
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ ‫ َع ْن أَِب ُم‬،َ‫ َع ْن أَِب بُْرَدة‬،‫اق‬
8

ِ
ٍ ِ‫ ََ نِ َكا َ إََِ بَِو‬:‫َعلَْي ِه َو َسلَ َم‬

Artinya: ‚‘Ali@ bin Hujrin telah meriwayatkan hadis, beliau berkata: Shari@k
bin Abdillah telah memberi kabar kepada saya, dai Abi@ Ish}ak@ , dari
Muhammad bin basha@r berkata: telah meriwayatkan kepada saya
‘Abdurrah}man bin Mahdiy, dari Isra@i@l, dari Abi@ Ish}ak dari Abdullah bin Abi@
Ziya@d berkata: telah menceritakan kepada saya Zaid bin H}uba@b, dari Yu@nus
bin Abi@ Ish}ak@ , dari Abi@ Ish}ak, dari Abi@ Burdah, dari Abi@ Musa@ berkata:
Rasulullah SAW telah bersabda: ‚tidak sah suatu perkawinan tanpa adanya
wali‛
Ulama’ fikih sepakat bahwasanya wali merupakan syarat atas sah tidaknya
perkawinan. Ketika keberadaan wali ada dalam proses perkawinan maka
nikahnya sah dan langgeng. Akan tetapi ketika dalam perkawinan tersebut tidak
dihadiri wali, maka menurut pendapat jumhu@r
Sedangkan

menurut

ulama’

H}anafiyah

ulama’ nikahnya batal.

perkawinan

tersebut

dapat

ditangguhkan.9
Pendapat yang pertama yaitu yang disampaikan oleh Imam Abu@ H}ani@fah
dan Abu@ Yu@suf yang menjelaskan bahwa nikahnya orang yang merdeka dan
balig serta berakal tetap sah walau tanpa ada restu dari wali. Perempuan
tersebut berhak untuk menjadi wali untuk perkawinannya sendiri ataupun orang
lain. Akan tetapi ketika dia menjadi wali untuk perkawinannya sendiri
sedangkan perempuan tersebut masih mempunyai wali as}obah disyaratkan calon
suaminya harus sekufu’ agar supaya perkawinan tersebut sah dan terus menerus,
8
9

Ibid., 398.

Wahbah al-Zuhayli@, al-Fiqh al-Isla@@m wa Adillatuhu…, IX, 6690.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

karena ketika perempuan tersebut menikahi seseorang yang tidak sekufu’ maka
walinya

mempunyai

hak

untuk

menggugat

perkawinan

tersebut

dan

menyebabkan hakim membatalkan perkawinannya. Hak menggugat tersebut
berlaku sampai perempuan yang bersangkutan melahirkan seorang anak,
ataupun hamil. Hal itu dikarenakan untuk menjaga proses pendidikan anak,
keutuhan rumah tangga menjadi faktor utama lahirnya pendidikan yang baik
untuk anak. Pendapat tersebut, yang pertama didasarkan pada hadis ‫َح مق‬
َ ‫"ال َُِّ أ‬

ِ ِ ِ ِ
ِ
"‫ َوإِ ْذنُ َها ِص َماتُ َها‬،‫مر ِِ نَ ْف ِس ِها‬
ُ ْ‫ َوالْبكُْر تُ ْستَأ‬،‫ بنَ ْفس َها م ْن َوليِ َها‬yang menjelaskan tentang tidak
diwajibkannya wali bagi seorang janda, al-ayyimu diartikan oleh Imam H}anafi
sebagai orang yang tidak mempunyai suami baik itu gadis maupun janda. Alasan
yang kedua, karena seorang perempuan yang sudah dewasa berhak untuk
melakukan semua transaksi secara mandiri baik dalam hal jual beli, sewa
menyewa, gadai dan yang lainnya, maka sudah seharusnya seorang perempuan
berhak untuk menikahkan dirinya sendiri.10
Pendapat yang kedua yang disampaikan oleh jumhu@r menyatakan
bahwasanya perkawinan tidak sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak
berhak menjadi wali, baik menjadi wali untuk perkawinannya sendiri, orang lain,
ataupun mewakili orang lain dalam suatu perkawinan. Pendapat ini merupakan
pendapat dari sebagian besar sahabat seperti Ibnu Umar, Ali@, Ibn Mas’u@d,