FILSAFAT KETUHANAN MENURUT FILOSOFIS mazhab

TUGAS RANGKUMAN
FILSAFAT KETUHANAN MENURUT PARA FILOSOF

DISUSUN OLEH

MUDRO

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS SAMAWA
2015

FILSAFAT KETUHANAN MENURUT PARA FILOSOF
A. FILSAFAT YUNANI
1. Tuhan Menurut Socrates
Sebagai seorang ahli fikir, ia turut membahas masalah Ketuhanan dengan logika yang
simpel dengan menetapkan adanya wujud Tuhan yang wajib disembah. Ia memiliki
sistem pengetahuan manusia tentang Tuhan, yakni ada dua jalan. Pertama, berdasar pada
bukti-bukti alam. Kedua, dengan alasan-alasan sejarah.Melalui bukti-bukti alam dengan
membentangkan peristiwa-peristiwa alam itu sendiri. Sedangkan melalui alasan sejarah,
dengan mengemukakan tabiat manusia yang dengan sendirinya tertarik kepada Tuhan

yang menjadikan, mengatur, dan memelihara manusia.
Socrates mengatakan bahwa Tuhan sangat besar perhatiannya kepada makhlukmakhluk-Nya. Ia juga mengakatan: “Bagaimanakah engkau mengatakan bahwa Tuhan
tidak memperhatikan makhluk-Nya, padahal engkau mengetahui bahwa Tuhan sudah
memberikan sifat-sifat khas untuk manusia, yang tidak terdapat pada makhluk lainnya.
Engkau wahai makhluk yang beroleh dua macam nikmat yang mahal sekali, apakah
engkau mengira bahwa Tuhan tidak memperhatikan engkau dan tidak menyelenggarakan
keperluanmu? Apalagi yang belum disebutkan Tuhan bagi engkau supaya insyaf akan
yang demikian itu?
Demikian dalil ‘akal yang dikemukakan oleh Socrates tentang kepastian Tuhan dan
tentang perlunya manusia menyembah Tuhan.
Socrates pada zamannya adalah orang yang berjuang untuk melarang penyembahan
berhala dan menyuruh manusia menyembah Tuhan Yang Maha Esa serta berbuat kebaikan
dan menghentikan kemungkaran. Rajanya adalah juga penyembah berhala, akan tetapi raja
tidak marah pada Socrates, disebabkan Socrates di mata raja adalah orang yang baik
perbuatannya. Akan tetapi, tindakan Socrates itu, membuat marah para kepala agama
penyembah berhala dan berusaha memakai nama rakyat banyak untuk menyalahkan
Socrates. Sebelas orang hakim rakyat menyuruh Socrates memilih hukumannya untuk
mati, kemudian Socrates memilih racun untuk kematiannya.
Demikian Socrates telah menjalani hukuman itu dengan tenang dalam
mempertahankan kepercayaannya dengan teguh. Ia mati dengan keyakinan dirinya tentang

Esanya Tuhan Yang Maha Pencipta. Begitulah Socrates memahami konsep agama atau
kepercayaan tentang adanya Tuhan dan Keesaan Tuhan
2. Tuhan Menurut Plato
Plato, seorang filosof dari Athena di zaman Yunani Kuno, mulai mengenalkan alam
berpikir baru tentang realitas kebenaran abadi. Bagi Plato, di alam semesta ini terdapat
sesuatu yang kekal dan abadi. Dengan demikian, eksistensi para dewa dipertanyakan
kembali. Apakah para dewa memiliki kekekalan dan keabadian sebagaimana yang
dimaksud oleh Plato?. Untuk menjawab pertanyaan ini, Plato juga tidak dapat
menggambarkan secara spesifik. Namun, ketika ia mulai mengalihkan perbincangan
terkait dengan para dewa dengan menyebut entitas baru, yakni Tuhan.
Ia menggambarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang niscaya tetap memiliki kekuatan
untuk melakukan segala sesuatu. Dengan keadaan niscaya, Tuhan tidak dapat berbuat
apapun selain dari yang ia lakukan. Tuhan oleh plato dikatakan tidak menciptakan segala
sesuatu selain hanya yang baik.

Bagi orang beragama yang percaya kepada adanya Tuhan yang satu menjadi jawaban
tersendiri dari gagasan Plato. 1. Mengapa Tuhan yang Adil menciptakan manusia yang
jahat, dan mengapa yang diciptakan bukan hanya manusia yang baik saja? 2. Mengapa
orang yang jahat sesudah mati masuk ke neraka untuk selama-lamanya sedang hidupnya di
dunia hanya sebentar? Bagi orang awam gagasan Plato ini bukan jawaban yang

meyakinkan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mitos tentang goa ala Plato menggambarkan bahwa Tuhan (matahari) adalah bentuk
nyata dari semunya dunia yang dilihat oleh manusia selama hidupnya. Cahaya matahari
melambangkan keindahan bentuk Tuhan yang pada awalnya orang yang melihat akan
merasa perih atas pancaran sinar yang baru dilihat oleh mata. Namun pada kenyataannya
manusia lebih memilih dalam keadaan semu goa dibandingkan untuk memilih kebenaran
yang sesungguhnya (idea).
3. Tuhan Menurut Aristoteles
Di dalam metafisika Aristoteles membedakan antara bentuk dan materia. Hal ini ada
hubunganya dengan perbedaan antara “kemungkinan” dan “kenyataan”. Materia yang
bersih, murni, dianggap sebagai kemungkinan untuk menjadi bentuk. Semua perubahan
yang pada umumnya disebut perkembangan mempunyai bentuk lebih banyak dibanding
sebelumnya. Dia katakan, bahwa Tuhan adalah bentuk murni dan kenyataan murni maka
itu padanya tidak ada perubahan.
Pembuktian Aristoteles tentang adanya Tuhan berdasarkan atas prinsip bahwa adanya
sesuatu harus ada penyebabnya yang pertama (hukum kausalitas). Gerak harus timbul dari
satu titik dan titik ini sendiri harus tidak bergerak, harus langgeng, substantif dan nyata.
Dan Tuhan hidup, langgeng dan merupakan kebaikan tertinggi maka kehidupan dan
kelanggengan adalah keberadaan Tuhan.
B. FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

1. Tuhan Menurut Plotinus
Menurut Plotinus di dalam fikiran terdapat tiga realitas:
a. The one (Yang Esa) adalah Tuhan dalam pandangan philo yaitu suatu realitas yang
tidak mungkin dapat difahami melalui metode sains dan logika. Yang Esa itu adalah
puncak semua yang ada, ia cahaya di atas cahaya dan tidak mungkin mengetahui
esensinya yang hanya diketahui bahwa ia itu pokok atau prinsip yang berada dalam
akal dan jiwa. Ia adalah pencipta semua yang ada.
b. The mind (nous) adalah gambaran tentang yang Esa dan di dalamnya mengandung
idea-idea Plato yang merupakan bentuk asli objek. Kandungan nous adalah benarbenar kesatuan dan untuk menghayatinya kita harus melalui perenungan.
c. The soul adalah realitas ketiga dalam filsafat Plotinus yang mengandung satu jiwa
dunia dan banyak dunia kecil.
2. Tuhan Menurut Augustinus
Terpisah dari Tuhan tidak ada realitas, ungkapan ini tidak sulit difahami bila kita
menganggap bahwa esensi adalah hanya milik Tuhan, jadi hanya Tuhan yang memilikinya
hal ini menunjukkan bahwa hakikat yang sebenarnya adalah sebab awal hanya Tuhanlah
yang merupakan sebab awal.

Menurut Augustinus dalam kita mencari kebenaran, keindahan, kebaikan, mengenal
Tuhan hendaknya meyakini bahwa seseorang itu ada dan tidak diragukan lagi. Setelah itu
ia mampu mengenal Tuhan dan mempelajari tentangnya yang dibimbing oleh konsep yang

absolut. Menurutnya keesaan itu adalah Tuhan jadi Tuhan itu ditemukan dengan rasa
bukan dengan proses pemikiran dan Tuhan itu di atas segala jenis. Sifat Tuhan yang paling
penting ialah kekal, bijaksana, mahakuasa, tidak terbatas, maha tahu, maha sempurna dan
tidak dapat diubah (Tuhan itu kuno tetapi selalu baru).
C. FILSAFAT ISLAM
1. Tuhan Menurut Al-Ghozali
Menerangkan bahwa ada sepuluh pendapat filosof yang dianggap menyimpang dari
Islam: 1. Tuhan tidak mempunyai sifat; 2. Tuhan mempunyai substansi sederhana dan
tidak mempunyai hakikat (mahiyah); 3. Tuhan tidak mempunyai partikular (juz’iyyat); 4.
Tuhan tidak diberi sifat genus dan differentia; 5. Planet adalah bintang yang bergerak
dengan kemauan; 6. Jiwa planet mengetahui juz’iyyat; 7. Hukum alam tidak dapat
berubah; 8. Pembangkitan jasmani tidak ada; 9. Alam ini qadim, dan; 10. Alam ini kekal.
Tiga diantara ke sepuluh pendapat itu menurut Al-Gozhali membawa kepada kekufuran
yaitu : 1. Alam qodim (tidak mempunyai permulaan); 2. Tuhan tidak mengetahui
partikular; 3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Pemikiran rasional itu yang mungkin saja menimbulkan akibat negatif bagi Islam dan
umat Islam, tetapi mungkin juga Al-Ghazali yang benar bahwa pendapat itu dapat
membawa kepada kekufuran akan tetapi, pemikiran rasional itu ternyata telah menunjang
perkembangan budaya dalam Islam. Perkembangan itu terutama terjadi selama abad ke-8
sampai dengan abad ke-13. Pada masa-masa ini berkembanglah penerjemahan karya

yunani kedalam bahasa arab atas dorongan khalifah Al-mansyur dan Harun Al-rasyd,
kemudian Al-ma’mun. Berdirilah perguruan Bait Al-hikmah yang selain pusat
penerjemahan, juga menjadi pusat perkembangan filsafat dan sains. Kepala penerjemahan
di Bait Al-hikmah ialah Hunain Ibn Ishaq Al-ibad (809-877), orang nasrani. Hunain juga
mengajarkan menerjemahkan. Muridnya ada sembilan puluh orang, mereka
menerjemahkan buku-buku Yunani seperti karry, galant, hipokrates, ptolemeus, euplid,
dan aristoteles yang mencakup pengetahuan filsafat, kedokteran, matematika, fisika,
botani, ekonomi dan lain-lain.
2. Tuhan Menurut Al-Khindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang
keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan
tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun
hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species.
Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang
Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu
berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang
hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang
terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan

dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan
filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi

roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir.
Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat
eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang
telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat
kedua dari aktualitas.Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai
sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu,
menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam
aktualitas
3. Metafisika Ibnu Sina
Pemikiran metafisika Ibnu Sina bertitik tolak kepada pandangan filsafatnya yang
membagi tiga jenis hal yaitu: 1. Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab
lain untuk kejadiannya, selain dirinya sendiri yaitu tuhan; 2. Berkehendak kepada yang
lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikan; 3. Makhluk mungkin, yang ada
bisa pula tidak ada, dan ia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya maksudnya bendabenda yang tidak berakal seperti: pohon, air, batu, tanah, dll.
Dalam membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta.
Ibnu Sina mengatakan dalam bukunya “Al Isharat”, “titik dan pandangan argument orang

terhadap wujud yang pertama, keesaannya kemahaagungannya, tidak berkehendak kepada
sesuatu yang lain selain dari ciptaannya atas makhluk itu sendiri, tanpa pandangan
betapapun ciptaan dan bentuknya, meskipun ciptaannya dipandang sebagai tanda adanya
tuhan. Orang akan lebih mengerti dengan lebih kuat dan baik terhadap tuhan, karena
adanya makhluk berarti adanya Tuhan. Adanya pandangan segala makhluk, dapat
dibenarkan pendapat tentang adanya Tuhan.
Sesuatu ada yang dibutuhkan adalah keadaan yang masuk akal, bukanlah hal yang
mustahil. Ada yang dibutuhkan ini adalah Tuhan Yang Maha Esa. Segala ada yang lain itu
adalah mungkin akan tetapi sebagian darinya diperlukan oleh ada dan sebagiannya tidak
diperlukan. Mereka ini mempunyai akal yang terpisah antara yang satu dengan yang lain.
Dari bentuk sempurna kebutuhan pada bentuk yang tidak sempurna dan mungkin. Yang
dimksud dengan bentuk sempurna dan kebutuhan itu adalah tuhan. Jalan pikiran yang
disusun oleh ibnu Sina: 1. Akal terpisah; 2. Bentuk; 3. Jasmani; 4. Benda dan kejadian.
Dalam setiap ukuran itu terdapat berbagai jenis makhluk yang berbeda dalam susunan
kejadiannya, Akal terpisah mempunyai susunan ke atas dan ke bawah, yang paling tinggi
adalah akal terpisah atau sebab pertama. Yang terendah adalah akal ke sepuluh yang
disebut sebagai wakil akal, masuk ke dalam alam turun-temurun dan rusak. Akal pertama
mengalir dari apa yang dibutuhkan dengan jalan pelimpahan, yang kedua melimpah dari
yang pertama demikian terus menerus sampai pada akal yang kesepulul. Tuhan adalah
akal murni yang mengetahui dirinya sendiri.