PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI PADA PEMERINTAHAN DESA KALIMO’OK KEC. KALIANGET KAB. SUMENEP).

(1)

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI

Diajukan Oleh : ASTRI FURQANI

0962020029

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”

JAWA TIMUR

SURABAYA

2010


(2)

(STUDI PADA PEMERINTAHAN DESA KALIMO’OK KEC. KALIANGET KAB. SUMENEP)

Yang disusun oleh :

ASTRI FURQANI

NPM : 0962020029

Telah Dipertahankan Di Depan Dosen Penguji

Pada Tanggal 05 Januari 2011

Dan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama

Dr. Sri Trisnaningsih, M.Si

Anggota Dewan Penguji

Prof. Dr. H. Djohan Mashudi, SE. M.Si

Pembimbing Pendamping Dr. Indrawati Yuhertiana, MM.Ak

Drs. Ec. Munari, MM Dra. Ec. Siti Sundari, M.Si

Surabaya, 05 Januari 2011

UPN ”Veteran” Jawa Timur

Program Pasca Sarjana Direktur,


(3)

(4)

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul

PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI PADA PEMERINTAHAN DESA KALIMO’OK KEC. KALIANGET KAB. SUMENEP)”.

Peneliti menyusun tesis ini dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk menyelesaikan program studi Magister Akuntansi pada Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

Peneliti menyadari bahwa dealam penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman peneliti. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati peneliti mengharapkan kritikan guna perbaikan penelitian selanjutnya. Untuk itu pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP. Selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Prof. Dr. Djohan Mashudi, SE, MS. Selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(5)

4. Ibu Dr. Sri Trisnaningsih, M.Si. selaku Pembimbing I dan Drs. Ec. Munari, MM. Selaku Pembimbing II.

5. Seluruh dosen dan Staf Program Pasca Sarjana Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

6. Bapak Kepala Desa Kalimo’ok beserta perangkatnya, juga kepada Ketua BPD atas bantuan dan kesediaannya untuk memberikan informasi kepada peneliti melalui wawancara sebagai instrumen pengukuran dalam penelitian ini.

7. Suamiku tercinta, Fatah Firdaus, atas dukungan dan bantuannya yang tak terhingga bagi saya dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Untuk kedua orang tuaku atas Do’a dan kasih sayangnya selama ini. 9. Rekan rekan mahasiswa akuntansi angkatan X atas kerjasama dan

supportnya bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu dari awal sampai akhir penelian ini.

Akhirnya peneliti berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam menbangun keilmuan khususnya di bidang akuntasi pemerintahan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Surabaya, Desember 2010 Peneliti


(6)

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK... v

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB II: KAJIAN TEORI DAN EMPIRIK 2.1 Penelitian Terdahulu... 8

2.2 Pengertian Good Governance... ..14

2.3.Pengertian Responsibilitas, Transparansi dan Akuntabilitas.. 18

2.4.Pengertian Desa... 21

2.5.Keuangan desa... 26

BAB III: METODE PENELITIAN 3.1 Fokus Penelitian ... ... 33

3.2.Waktu dan Lokasi Penelitian...33

3.3.Sumber Data... 34

3.4.Pengumpulan Data... 35


(7)

BAB IV: DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 42

4.2. Proses Pengelolaan Keuangan Desa... 46

BAB V. PEMBAHASAN 5.1 Transparansi Pengelolaan Keuangan Desa ... 59

5.2. Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa ... 63

5.3. Responsibilitas Pengelolaan Keuangan Desa... 67

5.4. Implikasi Hasil Penelitian... 75

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 81

6.2. Saran... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN


(8)

Disusun Oleh : Astri Furqani, SE

ABSTRACT

In Permendagri No. 37/2007 on Guidelines for village financial management that village financial management is the overall activities including planning, budgeting, administration, reporting, accountability and financial control village. Also mentioned village finances are managed based on the principles of transparent, accountable, participatory and performed with an orderly and disciplined budget.

The purpose of this research is to investigate the application of transparency, accountability, and responsibilityinfinancial management of the villages Kalimo'ok in thesub-district Kalianget district Sumenep. From the results of research on the Financial management of the Village Kalimo'ok sub-district Kalianget district Sumenep, transparency occurs onlywhen theplanningalone. Almostall ofthe processdoes notsatisfythe principle of responsibility because there are some things in the process that does not comply with Permendagri No. 37/2007. While accountability is very low because because the responsibility does not involve the community and BPD (Badan Permusyawaratan Desa/ Village Consultative Bodies).

From the research results recommended that each village financial management process carried out in accordance with Permendagri No. 37/2007 which meet the principles of transparency, accountability and responsibility. Also required the active involvement of village communities and the need for socialization Kalimo'ok back and technical training on financial management of the village to the Government of the Village and BPD.

Keywords: Permendagri, transparency, accountability, responsibility, finance.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia sebagai sebuah negara yang dibangun diatas dan dari desa. Istilah desa sering kali identik dengan masyarakatnya yang miskin, tradisionalis, dan kolot. Namun sebenarnya desa mempuyai keluhuran dan kearifan lokal yang luar biasa. Desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh. Sejak lama, desa telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial masing-masing. Sampai saat ini pembangunan desa masih dianggap seperempat mata oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa terutama pembangunan sumber daya manusianya sangat tidak terpikirkan. Sebagaimana tercantum dalam UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah yang menyebutkan Desa (atau dengan nama lain) sebagai sebuah pemerintahan yang otonom dengan diberikannnya hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi dana desa, pemilihan kepala desa (kades) serta proses pembangunan desa. Oleh karena itu, Desa dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan.


(10)

Pengelolaan keuangan dan ekonomi desa dapat dijadikan sebagai sebagai knowledge based society, paling tidak dapat merasukkan banyak hal, merasukkan tentang peraturan desa sampai sejauh mana kita sudah memenuhinya, apakah telah sesuai dengan arah tujuan yang dikehendaki, apa manfaat yang bisa dihasilkan bagi pemerintah daerah, pemerintah desa pelaku usaha, masyarakat maupun lembaga. Jadi sangat penting dalam menghadapi gerakan yang penuh tantangan, dan itulah yang di sebut good governance, sehingga dengan semua metodologi sistem pengelolaan ekonomi keuangan di desa dapat bergulir melalui policy statenya, melalui skenarionya sampai membangun suatu mekanisme pembangunan yang berorientasi pada desa.

Diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2007 tentang pengelolaan keuangan desa memberikan landasan bagi semakin otonomnya desa secara praktik, bukan hanya sekedar normatif. Dengan adanya pemberian kewenangan pengelolaan keuangan desa (berdasarkan Permendagri 37/2007) dan adanya Alokasi Dana Desa (berdasarkan PP 72/2005), seharusnya desa semakin terbuka dan responsibilitas terhadap proses pengelolaaan keuangan.

Dalam Ketentuan Umum Permendagri No. 37/2007 disebutkan bahwa Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran,


(11)

penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan desa. Sehingga dengan hak otonom tersebut harapannya desa dapat mengelola keuangannya secara mandiri. Baik mengelola pendapatan dan sumber-sumber pendapatan juga mengelola pembelanjaan anggaran. Akan tetapi, pada kenyataannya sangat banyak desa yang belum dapat memanfaatkan keistimewaannya tersebut. Ketergantungan dana dari pemerintah pusat maupun daerah masih sangat kuat. Desa belum dapat mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan desa dengan berbasis pada kekayaan dan potensi desa setempat.

Penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) seharusnya diisi dengan kegiatan/ program-program yang dibutuhkan oleh masyarakat, semisal kegiatan pembangunan fisik. Akan tetapi kadangkala pelaksanaan dari kegiatan pembangunan fisik tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan yang tercantum dalam APBDesa (Volume kurang, kualitas kurang dll), bahkan ada yang sama sekali tidak/ belum dilaksanakan.

Sebenarnya, pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam APBDesa tidak akan terjadi apabila ada keterlibatan aktif masyarakat mulai dari tahap perencanaan (Musrenbangdes), pelaksanaan dan pengawasan pembangunan hingga pertangunggjawabannya. Namun, yang terjadi memang


(12)

masih sangat susah dalam melibatkan peran aktif masyarakat, sebab ternyata dari hasil belajar bersama dengan masyarakat, mereka tidak terlibat aktif memang karena tidak pernah diajak (http://kaumbiasa.com/otonomi-desa.php).

Gambaran diatas sudah tidak sesuai lagi dengan Permendagri No. 37/2007 dalam pasal II yang menyebutkan bahwa keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Hal tersebut merupakan langkah penting yang patut didukung guna terwujudnya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki peranan penting dalam merepresentasikan semua aktivitas dan kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan daerah. Karena transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bentuk efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam kaitan ini maka responsibilitas, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa diartikan sebagai bagian dari suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang menyediakan informasi keuangan yang terbuka bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada unit organisasi pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan


(13)

melalui laporan keuangan pemerintah secara periodik. Menurut IRE Yogyakarta (http: // www.ireyogya.org /ire.php? about = booklet-15.htm), good governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi :

 Penyusunan APBDes dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

 Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.

 APBDes disesuaikan dengan kebutuhan desa.

 Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan.

 Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.

Segala bentuk permasalahan yang terjadi dalam pemerintahan desa dapat memberi dorongan bagi kita untuk melakukan perubahan pada tata kelola pemerintahan desa secara lebih baik agar di masa datang, desa dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi, kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional Indonesia (Reformasi Birokrasi).

Desa Kalimo’ok di Kecamatan Kalianget Kabupaten

Sumenep, juga mempunyai gambaran yang hampir sama dengan gambaran diatas dalam melaksanakan kegiatan yang meliputi


(14)

perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan desa secara transparan, akuntabel, responsibilitas sehingga terwujud Good Governance.

Berdasarkan paparan diatas maka peneliti berniat untuk mengambil judul penelitian Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Mewujudkan Good Governance (Studi Pada

Pemerintahan Desa Kalimo’ok Kecamatan Kalianget Kab.

Sumenep).”

2. Perumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu bagaimanakah penerapan transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas dalam pengelolaan keuangan desa Kalimo’ok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep ?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas dalam pengelolaan keuangan desa di desa Kalimo’ok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep.


(15)

4. Manfaat Penelitian

Dari tujuan diadakannya penelitian tadi, maka manfaat penelitian ini yaitu :

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu masukan yang bermanfaat bagi Pemerintahan Desa di Kabupaten Sumenep, khususnya Pemerintahan Desa Kalimo’ok dalam Pengelolaan Keuangan Desa.

2. Sebagai Bahan Referensi bagi Pemerintah Kabupaten Sumenep dalam merumuskan kebijakan Pengelolaan Keuangan Desa.

3. Penelitian ini dapat digunakan debagai bahan referensi bagi penelitian lain yang akan mengembangkan penelitian dalam kajian Pengelolaan Keuangan Desa..


(16)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN EMPIRIK

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian oleh Zetra (2009) dengan judul ” Strategi Pengembangan Kapasitas SDM Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah”. Penelitian ini merupakan studi kasus di delapan Kabupaten Kota di Sumatera Barat. Yang menjadi pokok persoalan dalam riset ini adalah mengapa transparansi dan akuntabilitas keuangan ini menjadi penting? Perubahan apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan? Bagaimana penerapannya di daerah? Apa strategi yang tepat untuk mengembangan kapasitas SDM Pemerintah Daerah dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan peneliti di 10 SKPD di delapan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2008 dan awal 2009 ini, ditemukan bahwa masih sulit bagi aparatur di daerah menyampaikan laporan keuangan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel, tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan.


(17)

Penelitian lain oleh Dharmawan (2006) dengan judul ”Pembaruan Tata Pemerintahan Desa: Transformasi Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan. (partnership-based rural governance reform)”. Penelitian ini dilakukan dalam kegiatan studi-aksi sepanjang tahun 2006 di lima provinsi di Indonesia (Naggroe Aceh Darussalam/NAD, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali dan Papua).

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah tentang seperti apa dan bagaimanakah format sistem tata pengaturan pemerintahan desa (lokalitas) yang sistematis itu (boleh) diwujudkan, sehingga sebagai “infrastruktur kelembagaan” lokal, organisasi pemerintahan desa menampilkan karakter yang kokoh, kuat, dan mandiri (mampu menyelesaikan semua persoalan-persoalan di tingkat lokalitas tanpa banyak mengandalkan bantuan dari luar sistem), bermartabat (keberadaannya diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat, kredibel dan berwibawa), kompeten (struktur organisasinya efektif dan efisien dalam menyelesaikan berbagai pemasalahan), dan terpercaya (bersih dari sindroma Kolusi-Korupsi-dan-Nepotisme/KKN, transparan, serta akuntabel).

Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa organisasi pemerintahan desa menghadapi persoalan pada dua sisi sekaligus yaitu institusi-organisasi pemerintahan dan human-actors. Sehingga dibutuhkan yang pertama Rekonstruksi dan


(18)

pengembangan kapasitas struktur atau kelembagaan-kelembagaan pemerintahan desa. yang kedua perbaikan atau perbesaran kapasitas kapabilitas entrepreneurial dan manjerial manusia

Perbedaan Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah yang pertama, dalam mewujudkan Good Governance tidak hanya dalam rangka untuk peningkatan transparansi dan akuntabilitas saja, tetapi dilakukan pengembangan dengan menambahkan peningkatan responsibilitas. Dimana peningkatan responsibilitas tersebut tidak termasuk hal yang dibahas oleh penelitian sebelumnya. Kedua, difokuskan pada pengelolaan keuangan desa, karena penelitian-penelitian sebelumnya jarang sekali yang fokus pada pengelolaan keuangan desa.

Untuk lebih jelasnya perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini dapat dilihat dalam mapping sebagai berikut :


(19)

Kapasitas SDM Pemerintah Daerah dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah

menjadi penting? Perubahan apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan

transparansi dan akuntabilitas keuangan? Bagaimana

penerapannya di daerah? Apa strategi yang tepat untuk

mengembangan kapasitas SDM Pemerintah Daerah dalam mewujudkan

delapan Kabupaten/Kota di

Sumatera Barat pada tahun 2008 dan awal 2009 ini, ditemukan bahwa masih sulit bagi aparatur di daerah menyampaikan laporan keuangan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel, tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan


(20)

keuangan daerah. 2 Dharmawan (2006) ”Pembaruan Tata

Pemerintahan Desa: Transformasi Struktur dan Agensi

Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan

Kemitraan.

(partnership-based rural governance reform)

seperti apa dan bagaimanakah format sistem tata pengaturan pemerintahan desa (lokalitas) yang sistematis itu (boleh) diwujudkan

bahwa organisasi pemerintahan desa menghadapi persoalan pada dua sisi sekaligus yaitu institusi-organisasi pemerintahan dan human-actors. Sehingga dibutuhkan yang pertama Rekonstruksi dan pengembangan kapasitas struktur atau kelembagaan-kelembagaan pemerintahan desa. yang kedua perbaikan atau

perbesaran kapasitas kapabilitas entrepreneurial dan manjerial manusia


(21)

Keuangan Desa dalam mewujudkan Good Governance (Studi Pemerintahan Desa

Kalimo’ok Kec.

Kalianget Kab. Sumenep)

transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas dalam pengelolaan keuangan Desa Kalimo’ok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep ?


(22)

2.2. PengertianGoodGovernance

Governance dan good governance banyak didefinisikan berbeda menurut para ahli, namun dari perbedaan definisi dan pengertian tersebut dapat ditarik benang merah yang dapat mengakomodasi semua pendapat para ahli tersebut. Governance

dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan – urusan publik (Mardiasmo, 2004:17). Sedangkan menurut World Bank,

governance adalah “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society“, dimana

world bank lebih menekankan pada cara yang digunakan dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk kepentingan pembangunan masyarakat (Mardiasmo,2004:17). Menurut United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance

adalah “the exercise of political, economic and administrative

authority to manage a nation’s affair at all levels“. Dari definisi

UNDP tersebut governance memiliki tiga kaki (three legs), yaitu : 1. Economic governance meliputi proses pembuatan keputusan

(decision making processes) yang memfasilitasi terhadap

equity, poverty dan quality of live.

2. Political governance adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan.

3. Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan (Sedarmayanti, 2003:4).


(23)

Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing – masing. State

berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik (Sedarmayanti, 2003:5). UNDP mendefinisikan good governance

sebagai “the exercise of political, economic and social resources for development of society“ penekanan utama dari definisi diatas

adalah pada aspek ekonomi, politik dan administratif dalam pengelolaan negara ( http://www.scribd.com/doc/4606676/Good-Governance).

Pendapat ahli yang lain mengatakan good dalam good governance mengandung dua pengertian sebagai berikut. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini, good


(24)

governance berorientasi pada :

1. Orientasi ideal, Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti : legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control.

2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien. (Sedarmayanti, 2003:6)

Sedangkan menurut UNDP karakteristik pelaksanaan good governance meliputi (Mardiasmo,2004:18) :

1. Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta partisipasi secara konstruktif.


(25)

2. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan public secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

4. Responsiveness. Lembaga – lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholders.

5. Consensus of orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.

6. Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

7. Efficiency and effectiveness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).

8. Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan

9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan

Dari kesembilan karakteristik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu penciptaan transparansi, akuntabilitas publik dan value for money (economy, efficiency dan effectiveness).


(26)

2.3. Pengertian Responsibilitas, Transparansi dan Akuntabilitas

2.3.1. Pengertian Responsibilitas

Responsibilitas adalah menyangkut pelaksanaan kegiatan organisasi publik sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik secara eksplisit maupun secara implisit (Dwiyanto, 1995). Manajemen suatu organisasi yang responsibel adalah digunakan untuk memeriksa (checking) apakah standar pelayanan sudah tepat, dan bagaimana standar tersebut segera diimplementasikan dengan baik. Dengan demikian responsibilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standar pelaksanaan kegiatan apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila di rasa sudah tepat, manajemen memiliki responsibilitas untuk mengimplementasikan standar-standar tersebut.

Sementara itu, Lenvine (1990) mengatakan bahwa Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.


(27)

2.3.2. Pengertian Transparansi

Transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang - undangan (KK, SAP,2005)

Transparansi berarti terbukanya akses bagi seluruh masyarakat terhadap semua informasi yang terkait dengan segala kegiatan yang mencakup keseluruhan prosesnya melalui suatu manajemen sistem informasi publik. Dengan adanya informasi yang terbuka maka akan memudahkan kontrol sosial dari warga.

2.3.3. Pengertian Akuntabilitas

Akuntabilitas dimaknai sebagai pertanggungjawaban suatu lembaga kepada publik atas keberhasilan maupun kegagalan melaksanakan misi / tugas yang telah diembannya. (http://id.wikipedia.org).

Seperti yang dikemukakan The Liang Gie dkk., akuntabilitas (accountability) adalah kesadaran dari seorang pengelola kepentingan publik untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa menuntut untuk disaksikan


(28)

oleh pihak-pihak lain yang menjadi sasaran pertanggungjawabannya.

Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah para pejabat politik tersebut selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. (http://halilintarblog.blogspot.com/2009/08/pelayanan.html).

Akuntabilitas berkenaan dengan pertanggungjawaban keberhasilan dan kegagalan pencapaian misi organisasi. Inilah yang membedakan akuntabilitas dengan responsibilitas. Sementara responsibilitas adalah ditentukan oleh faktor internal organisasi yang berhubungan dengan kewajiban melaksanakan wewenang atau amanah yang diterima, sedangkan akuntabilitas mempertanggungjawakan pelaksanaan wewenang atau amanah tersebut terhadap


(29)

faktor eks-ternal organisasi yaitu stakeholders atau elected officials.

2.4. Pengertian Desa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.

2.4.1. Pembentukan Desa ( Pembagian Administratif Desa)

Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua


(30)

desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.

Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil.

Desa yang berubah statusnya menjadi Kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Desa mempunyai ciri budaya khas atau adat istiadat lokal yang sangat urgen.

2.4.2. Kewenangan desa.

Adapun kewenangan desa menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut :

 Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa

 Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan


(31)

yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.

 Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

 Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.

2.4.3. Pemerintahan Desa

Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

2.4.4. Kepala Desa

Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat menjadi calon Kepala Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sebagai berikut :


(32)

1. Bertakwa kepada Tuhan YME

2. Setia kepada Pacasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah

3. Berpendidikan paling rendah SLTP atau sederajat 4. Berusia paling rendah 25 tahun

5. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa 6. Penduduk desa setempat

7. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun

8. Tidak dicabut hak pilihnya

9. Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan

10. Memenuhi syarat lain yang diatur Perda Kab/Kota 2.4.5. Perangkat Desa

Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota.

Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.


(33)

2.4.6. Badan Permusyawaratan Desa

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

2.4.7. Lembaga kemasyarakatan

Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan, yakni lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Hubungan kerja antara lembaga


(34)

kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.

2.5. Keuangan desa

Menurut Peraturan menteri dalam negeri Nomor 37 tahun 2007 Tentang Pedoman pengelolaan keuangan desa Menteri dalam negeri, Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan desa.

Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa adalah Kepala Desa yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan desa. Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa yang selanjutnya disebut PTPKD adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh Kepala Desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa. Bendahara adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh Kepala Desa untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayarkan dan mempertanggungjawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa


(35)

Menurut Peraturan menteri dalam negeri Nomor 37 tahun 2007 Pasal 2 Keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud diatas, dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

2.5.2. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa

Menurut Peraturan menteri dalam negeri Nomor 37 tahun 2007 Pasal 3 Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintah Desa adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dan mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Kepala Desa mempunyai kewenangan :

a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa c. menetapkan bendahara desa

d. menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa

e. menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa.

Kepala Desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelolaan


(36)

Keuangan Desa (PTPKD). Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) adalah Perangkat Desa, terdiri dari:

a. Sekretaris Desa; dan b. Perangkat Desa lainnya.

Sekretaris Desa bertindak selaku koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Sekretaris Desa mempunyai tugas:

a. Menyusun dan melaksanakan Kebijakan Pengelolaan APBDesa.

b. Menyusun dan melaksanaan Kebijakan Pengelolaan Barang Desa.

c. Menyusun Raperdes APBDesa, perubahan APBDesa dan pertanggung jawaban pelaksanaan APBDesa.

d. Menyusun Rancangan Keputusan Kepala Desa tentang Pelaksanaan Peraturan Desa tentang APBDesa dan Perubahan APBDesa.

Kepala Desa menetapkan Bendahara Desa dengan Keputusan Kepala Desa.

2.5.3. Struktur APBDesa

Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari Anggaran


(37)

Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa), bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari APBD.

Menurut Peraturan menteri dalam negeri Nomor 37 tahun 2007 Pasal 4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) terdiri dari:

a. Pendapatan Desa; b. Belanja Desa; dan c. Pembiayaan Desa.

Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud di atas, meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahunn anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Pendapatan Desa terdiri dari:

a. Pendapatan Asli Desa (PADesa); b. Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota; c. Bagian dari Retribusi Kabupaten/Kota; d. Alokasi Dana Desa (ADD);


(38)

e. Bantuan Keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa lainnya; f. Hibah;

g. Sumbangan Pihak Ketiga.

Belanja desa sebagaimana dimaksud di atas, meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja Desa terdiri dari:

a. Belanja langsung, dan b. Belanja tidak langsung

Belanja Langsung sebagaimana dimaksud diatas terdiri dari:

a. Belanja Pegawai;

b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Modal;

Belanja Tidak Langsung sebagaimana dimaksud diatas terdiri dari:

a. Belanja Pegawai/Penghasilan Tetap; b. Belanja Subsidi;

c. Belanja Hibah (Pembatasan Hibah); d. Belanja Bantuan Sosial;


(39)

f. Belanja Tak Terduga;

Pembiayaan desa sebagaimana dimaksud di atas, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pembiayaan Desa sebagaimana dimaksud di atas, terdiri dari:

a. Penerimaan Pembiayaan; dan b. Pengeluaran Pembiayaan.

Penerimaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud di atas, mencakup:

a. Sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA) tahun sebelumnya.

b. Pencairan Dana Cadangan.

c. Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan. d. Penerimaan Pinjaman

Pengeluaran Pembiayaan sebagaimana dimaksud di atas, mencakup:

a. Pembentukan Dana Cadangan. b. Penyertaan Modal Desa.


(40)

Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Fokus Penelitian

Penetapan fokus penelitian dalam pendekatan kualitatif sangat erat kaitannya dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Permasalahan yang ditentukan terlebih dahulu merupakan pedoman dalam menentukan fokus penelitian. Fokus penelitian dilapangan dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan masalah dan penemuan masalah baru dilapangan. Dengan penetapan fokus penelitian yang jelas dan mantap seorang peneliti dapat membuat keputusan yang tepat tentang data mana yang diperlukan dan mana yang tidak.

Dengan memperhatikan uraian diatas serta bertitik tolak dari rumusan masalah, maka fokus penelitian ini dikemukakan sebagai berikut yaitu mekanisme pengeloaan keuangan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pengawasan.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan selama 3 (tiga) minggu, yang akan dimulai pada bulan minggu ketiga November sampai dengan minggu pertama Desember 2010. Lokasi Penelitian adalah Desa Kalimo’ok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Pemilihan


(42)

lokasi ini dilakukan berdasarkan atas pertimbangan karena penelti sering mendengar informasi mengenai kurang terbukanya akses informasi mengenai pengelolaan keuangan Desa Kalimo’ok.

3.3. Sumber Data

Sesuai dengan masalah dan fokus penelitian, maka sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.3.1. Informan

Dalam penelitian kualitatif, informan adalah responden yang dijadikan sampel dan merupakan orang yang sengaja dipilih berdasarkan pemikiran logis karena dipandang sebagai sumber data atau informasi yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.

Pemilihan informan yang tepat dengan informasi yang akurat merupakan pilihan yang dilakukan oleh peneliti. Untuk mengumpulkan data awal, pertama-tama peneliti menghubungi Kepala Desa Kalimo’ok, selaku Pimpinan tertinggi di Desa dan Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa, yang dipandang sebagai informan awal yang menguasai persoalan-persoalan tentang pengelolaan keuangan desa. Selanjutnya Sekretaris Desa sebagai Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD),


(43)

Bendaharawan Desa dan Ketua BPD (Badan Perwakilan Desa).

Untuk melengkapi data yang terkait dengan masalah-masalah yang ada dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dari Kasi Pemerintahan Kecamatan Kalianget selaku pembina Desa di Kecamatan Kalianget. Peneliti juga mengumpulkan data dari Tokoh masyarakat setempat, yang dianggap bisa mewakili dari unsur masyarakat. Diharapkan dari informan-informan ini, diperoleh data-data maupun ungkapan-ungkapan yang lengkap mengenai Pengelolaan Keuangan Desa Kalimo’ok. 3.3.2. Peristiwa

Yaitu berbagai peristiwa atau kejadian yang diobservasi dan berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian.

3.3.3. Dokumen

Yaitu dokumen yang relevan dengan masalah atau fokus penelitian.

3.4. Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data, ada tiga proses kegiatan yang dilakukan, yaitu :


(44)

Dalam tahap ini peneliti mendatangi Kantor Kepala Desa Kalimo’ok untuk melapor dan memperkenalkan diri kepada Kepala Desa dengan menunjukkan surat ijin penelitian. Selanjutnya peneliti menyampaikan maksud dan tujuan sekaligus berkenan untuk mendapatkan ijin tentang rencana penelitian yang akan dilakukan.

Dalam tahap ini pula, peneliti berusaha untuk memperoleh berbagai informasi dari berbagai pihak yang mengetahui tentang pengelolaan keuangan desa di lokasi penelitian.

Agar proses memasuki lokasi penelitian ini dapat berlangsung dengan baik, maka peneliti berusaha untuk menjalin hubungan yang akrab dengan informan. Selanjutnya untuk mendapatkan data yang mendalam dan valid dari para informan, peneliti melakukan adaptasi dan proses belajar dengan/ dari para informan tersebut dengan berlandaskan hubungan yang etik dan simpatik.

b. Ketika berada di Lokasi Penelitian (getting along)

Dalam tahap ini peneliti berusaha melakukan pendekatan secara pribadi yang akrab dengan para informan guna memperoleh informasi yang lengkap dan mendalam. Selanjutnya, peneliti berusaha untuk menangkap makna, memahami dan menganalisa informasi yang diperoleh dari berbagai informan sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan.


(45)

c. Mengumpulkan Data (logging the data).

Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan tiga macam teknik :

1. Wawancara mendalam (in-depth interview)

Wawancara mendalam dilakukan baik secara terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide), maupun wawancara tidak terstruktur dalam arti dilakukan secara terbuka yang memberikan keleluasaan kepada informan untuk memberikan informasi dan data yang sebenarnya dan obyektif.

2. Observasi

Observasi dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung guna melengkapi data yang telah dikumpulkan sebelumnya.

3. Dokumentasi

Adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan masalah maupun fokus penelitian yang sudah ditetapkan. Dokumen tersebut diantaranya adalah profil desa, profil aparatur desa, struktur organisasi, serta berbagai data dan informasi proses perekrutan aparatur desa, Peraturan Desa tentang APBDes serta data-data lain yang dapat menunjang bagi penelitian ini.


(46)

3.5. Analisis Data

Menurut Sugiyono (2010) dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisis data merupakan langkah terakhir penelitian sebelum melakukan penarikan suatu kesimpulan.

Analisis data ini terdiri dari:

1. Data dari wawancara, observasi dan dokumentasi diorganisir kesamaan dan perbedaannya sesuai dengan pertanyaan penelitian.

2. Data yang sudah diorganisir ditentukan temanya. 3. Mencari keterkaitan antar tema.

4. Interpretasi atas temuan sesuai dengan keterkaitan antar tema dengan menggunakan teori yang relevan.

5. Hasil interpretasi dituangkan dalam deskriptif analitik kontekstual

3.6. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti sebagai instrumen (human instrument) yang berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan


(47)

pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (sugiyono : 60). Peneliti disini dibantu dengan media buku catatan, tape recorder, kamera dan lain-lain.

3.7. Keabsahan Data

Menurut Sugiyono (2010) uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas interbal), transferability (validitas eksternal), dependability (reabilitas) dan confirmability (obyektifitas). Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu: 1. Kredibilitas

Apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, per debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.


(48)

Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu: a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan

peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.

b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.

d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat. e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji

kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.


(49)

2. Transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.

3. Dependability yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.

4. Konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.

3.8. Das Sollen dan Das Sein

Menurut Yuhertiana (2009 : 18), masalah dapt menjadi faktor yang dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan. Ketika dinyatakan “ada permasalahan”, berarti sebenarnya “ada kesenjangan“ antara das sollen dan das sein. Das sollen adalah yang ideal, yang seharusnya, yang normatif, dengan bahasa sederhana “katanya teori”. Das sein adalah paktiknya, senyatanya, realitanya, faktanya.


(50)

BAB IV

DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Desa Kalimo’ok

Menurut sumber sejarah desa Kalimo’ok berasal dari dua buah kata yaitu Kali berarti sungai dan mogok artinya macet atau tidak ada aliran lagi sungai berikutnya yang merupakan sungai paling ujung. Pada jaman Belanda Kalimogok ini dijadikan tempat perlindungan atau persembunyian para tentara belanda. Lokasi persembunyian tersebut masih berdiri kokoh sampai saat ini yang diberi nama ”BENTENG” tepatnya disebelah timur daya balai desa Kalimo’ok.

4.1.2 GeografiWilayah

Letak Desa Kalimo’ok berada dalam posisi yang sangat strategis merupakan jalur lintas yang menghubungkan antara kota dalam wilayah kabupaten Sumenep dan jalan menuju Lapangan Udara Trunojoyo-Sumenep serta jalur menuju Pelabuhan Kalianget Jangkar. Luas Wilayah Desa Kalimo’ok Kecamatan Kalianget 58.2 Km dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :


(51)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Marengan Daya - Sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Kalianget Barat - Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Kertasada - Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Poja.

4.1.3 Tata Guna Lahan

Semakin tingginya tingkat kemauan masyarakat dalam mengolah lahan yang dimilikinya maka semakin tinggi pula tingkat pendapatannya. Telah menjadi kenyataan lahan yang dimiliki oleh masyarakat Kalimo’ok yang sebelumnya berupa tegalan dan sawah yang tidak produktif maka sekarang berkat kemajuan teknologi lahan tersebut menjadi produktif. Lahan tegalan pada umumnya berada pada lokasi Dusun Temor Lorong sedangkan Lahan sawah berada pada lokasi Dusun Barak Lorong dan Dusun Brambang.

1. Dusun Temor Lorong terdiri dari : 2 RW dan 6 RT

 RT 01/ RW I

 RT 02/ Rw I

 RT 06/ Rw I

 RT 03/ Rw II


(52)

2. Dusun Barak Lorong terdiri dari: 1 Rw dan 2 RT

 RT 07/ RW III

 RT 08/ RW III

3. Dusun Brambang terdiri dari : 1 RT

 RT 09/ RW III

4. Dusun Perumahan terdiri dari: 1 RW dan 3 RT

 RT 01/ RW I

 RT 01/ RW I

 RT 01/ RW I

4.1.4 Demografi atau Data Kependudukan

No Dusun RT/RW Jmh KK Jmh Jiwa

KK Miskin

Jmh Jiwa Miskin

1 Temor Lorong

1/1 220 840 128 154 2/I 165 660 78 206 3/II 162 670 100 124 4/II 164 420 82 180 5/II 162 450 120 174 6/I 124 264 40 170 2 Barak

Lorong

7/III 248 662 120 158 8/III 284 680 168 285 3 Brambang 9/III 168 248 64 90


(53)

2/IV 76 228 12 30 3/IV 72 348 38 78 4/IV 60 312 36 80

TOTAL 2001 6128 1002 1759

4.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi masyarakat kalimo’ok dapat digambarkan sebagai berikut :

 Tingkat pendidikan sangat rendah akibat dari ketidakmampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

 Tingkat pendapatan perkapita sangat rendah yang disebabkan karena mata pencaharian masyarakat tidak tetap.

 Usaha kecil sulit berkembang karena modal usaha yang pas-pasan yang terkadang modalnya kurang akibat memenuhi kebutuhan pokok yang semakin mahal

 Lahan pertanian tidak produktif pada musim kemarau karena sumber mata air kering, hanya bias berproduktif pada musim hujan saja.


(54)

4.1.6 Fasilitas Sarana dan Prasarana

Kondisi jalan Kampung banyak yang rusak dan becek pada musim hujan sehingga tidak bias dilewati untuk melakukan kegiatan ekonomi. Jalan kampung gelap karena kurangnya penerangan sehingga sering terjadi pencurian hewan ternak serta alat-alat pertanian. Kondisi rumah penduduk yang kurang baik sehingga banyak yang terjangkit penyakit waktu musim hujan.

4.2. Proses Pengelolaan Keuangan Desa

Dalam pengelolaan keuangan desa, Pemerintah Desa harus berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 merupakan “kitab sucinya” pengelolaan keuangan desa, karena di dalam peraturan tersebut sudah tercantum semua hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan keuangan desa.

Dalam Permendagri tersebut, pengelolaan keuangan desa merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan desa. Berikut ini proses pengelolaan keuangan desa sesuai dengan permendagri No. 37/2007 :

 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa) (pasal 5) :


(55)

1. RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan penjabaran dari visi dan misi dari Kepala Desa yang terpilih; 2. Setelah berakhir jangka waktu RPJMD, Kepala Desa terpilih

menyusun kembali RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;

3. RPJMDesa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatas ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Desa dilantik;

4. Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menyusun RKPDesa yang merupakan penjabaran dari RPJMDesa berdasarkan hasil Musyawarah Rencana Pembangunan Desa;

5. Penyusunan RKPDesa diselesaikan paling lambat akhir bulan Januari tahun anggaran sebelumnya.

 Penetapan Rancangan APBDesa (Pasal 6) :

1. Sekretaris Desa menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa berdasarkan pada RKPDesa;

2. Sekretaris Desa menyampaikan rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada Kepala Desa untuk memperoleh persetujuan;

3. Kepala Desa menyampaikan rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas kepada BPD


(56)

untuk dibahas bersama dalam rangka memperoleh persetujuan bersama;

4. Penyampaian rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 3 di atas, paling lambat minggu pertama bulan November tahun anggaran sebelumnya;

5. Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas, menitikberatkan pada kesesuaian dengan RKPDesa;

6. Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 3 di atas, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi;

7. Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa sebagaimana dimaksud ayat 2 diatas, ditetapkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBD Kabupaten/ Kota ditetapkan.

 Evaluasi Rancangan APBDesa (Pasal 7) :

1. Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (7) diatas, harus menetapkan Evaluasi Rancangan APBDesa paling lama 20 (dua puluh) hari kerja;

2. Apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, melampaui batas waktu dimaksud, Kepala Desa dapat menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa;


(57)

3. Dalam hal Bupati/Walikota menyatakan hasil evaluasi Raperdes tentang APBDesa tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Kepala Desa bersama BPD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi;

4. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa dan BPD, dan Kepala Desa tetap menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa, Bupati/Walikota membatalkan Peraturan Desa dimaksud dan sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBDesa tahun anggaran sebelumnya;

5. Pembatalan Peraturan Desa dan pernyataan berlakunya pagu tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atas, ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota;

6. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) di atas, Kepala Desa harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Desa dan selanjutnya Kepala Desa bersama BPD mencabut peraturan desa dimaksud;


(58)

7. Pencabutan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6) di atas, dilakukan dengan Peraturan Desa tentang Pencabutan Peraturan Desa tentang APBDesa;

8. Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBDesa tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atas, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

 Pelaksanaan APBDesa (Pasal 8) :

1. Semua pendapatan desa dilaksanakan melalui rekening kas desa;

2. Khusus bagi desa yang belum memiliki pelayanan perbankan di wilayahnya maka pengaturannya diserahkan kepada daerah;

3. Program dan kegiatan yang masuk desa merupakan sumber penerimaan dan pendapatan desa dan wajib dicatat dalam APBDesa.

4. Setiap pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah;

5. Kepala desa wajib mengintensifkan pemungutan pendapatan desa yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya;

6. Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan desa;


(59)

7. Pengembalian atas kelebihan pendapatan desa dilakukan dengan membebankan pada pendapatan desa yang bersangkutan untuk pengembalian pendapatan desa yang terjadi dalam tahun yang sama.

8. Untuk pengembalian kelebihan pendapatan desa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada belanja tidak terduga;

9. Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) di atas, harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah;

 Pelaksanaan APBDesa (Pasal 9) :

1. Setiap Pengeluaran belanja atas beban APBDesa harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah;

2. Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan oleh Sekretaris Desa atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti dimaksud;

3. Pengeluaran kas desa yang mengakibatkan beban APBDesa tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan desa tentang APBDesa ditetapkan menjadi peraturan desa;

4. Pengeluaran kas desa sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak termasuk untuk belanja desa yang bersifat mengikat dan belanja desa yang bersifat wajib yang ditetapkan dalam peraturan kepala desa;


(60)

5. Bendahara desa sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Pelaksanaan APBDesa (Pasal 9)

1. Sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA) tahun sebelumnya, merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk: a. menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan

lebih kecil dari pada realisasi belanja;

b. mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung;

c. mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.

2. Dana cadangan.

a. Dana cadangan dibukukan dalam rekening tersendiri atau disimpan pada kas desa tersendiri atas nama dana cadangan pemerintah desa.

b. Dana cadangan tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan lain diluar yang telah ditetapkan dalam peraturan desa tentang pembentukan dana cadangan. c. Kegiatan yang ditetapkan berdasarkan peraturan desa


(61)

apabila dana cadangan telah mencukupi untuk melaksanakan kegiatan.

 Perubahan APBDesa (Pasal 11) :

1. Perubahan APBDesa dapat dilakukan apabila terjadi:

a. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar jenis belanja.

b. Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA) tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan.

c. Keadaan darurat d. Keadaan luar biasa

2. Perubahan APBDesa hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.

3. Perubahan APBDesa terjadi bila Pergeseran anggaran yaitu Pergeseran antar jenis belanja dapat dilakukan dengan cara merubah peraturan desa tentang APBDesa.

4. Penggunaan SiLPA tahun sebelumnya dalam perubahan APBDesa, yaitu Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA) tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan.

5. Pendanaan Keadaan Darurat. 6. Pendanaan Keadaan Luar Biasa.


(62)

7. Selanjutnya Tata cara pengajuan perubahan APBDesa adalah sama dengan tata cara penetapan pelaksanaan APBDesa.

 Penatausahaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Desa (Pasal 12) :

1. Kepala Desa dalam melaksanakan penatausahaan keuangan desa harus menetapkan Bendahara Desa.

2. Penetapan Bendahara Desa sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas, harus dilakukan sebelum dimulainya tahun anggaran bersangkutan dan berdasarkan keputusan kepala desa;

 Penatausahaan Penerimaan (pasal 13)

1. Penatausahaan Penerimaan wajib dilaksanakan oleh Bendahara Desa;

2. Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, menggunakan:

a. Buku kas umum;

b. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan; c. Buku kas harian pembantu;

3. Bendahara Desa wajib mempertanggungjawabkan penerimaan uang yang menjadi tanggungjawabnya melalui laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada Kepala Desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;


(63)

4. Laporan pertanggungjawaban penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas, dilampiri dengan:

a. Buku kas umum

b. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan; c. Bukti penerimaan lainnya yang sah.

 Penatausahaan Pengeluaran (Pasal 14) :

1. Penatausahaan Pengeluaran wajib dilakukan oleh Bendahara Desa;

2. Dokumen penatausahaan pengeluaran harus disesuaikan pada Peraturan Desa tentang APBDesa atau Peraturan Desa tentang Perubahan APBDesa melalui pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP);

3. Pengajuan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas, harus disetujui oleh Kepala Desa melalui Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD);

4. Bendahara Desa wajib mempertanggungjawabkan penggunaan uang yang menjadi tanggung jawabnya melalui laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada Kepala Desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;

5. Dokumen yang digunakan Bendahara Desa dalam melaksanakan penatausahaan pengeluaran meliputi:

a. Buku kas umum;


(64)

c. Buku kas harian pembantu.

 Pertanggungjawaban Penggunaan Dana (Pasal 15) :

1. Laporan pertanggungjawaban pengeluaran harus dilampirkan dengan:

a. Buku kas umum

b. Buku kas pembantu perincian obyek pengeluaran yang disertai dengan bukti-bukti pengeluaran yang sah

c. Bukti atas penyetoran PPN/PPh ke kas negara.

 Penetapan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa (pasal 16) :

1. Sekretaris Desa menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dan Rancangan Keputusan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban Kepala Desa;

2. Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, menyampaikan kepada Kepala Desa untuk dibahas bersama BPD;

3. Berdasarkan persetujuan Kepala Desa dengan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, maka Rancangan Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dapat ditetapkan menjadi Peraturan Desa;


(65)

4. Jangka waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

 Penyampaian Laporan Pertanggung-jawaban Pelaksanaan APBDesa (Pasal 17) :

1. Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dan Keputusan Kepala Desa tentang Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) di atas, disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat;

2. Waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Desa ditetapkan.


(66)

BAB V PEMBAHASAN

Diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2007 tentang pengelolaan keuangan desa memberikan landasan bagi desa dalam menjalankan hak otonomnya, sehingga harapannya desa dapat mengelola keuangannya secara mandiri. Sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum Permendagri No.37/2007 bahwa Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan desa. Dimana pelaksanaannya juga harus sesuai dengan azas pengelolaan keuangan desa yang berdasarkan azas-azas transparansi, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran.

Guna terwujudnya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki peranan penting dalam merepresentasikan semua aktivitas dan kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan daerah, maka pengelolaan keuangan desa merupakan langkah penting yang patut didukung. Karena transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas pengelolaan keuangan desa merupakan salah satu bentuk efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance).


(67)

Pencapaian efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) memanglah tidak mudah, banyak faktor berpengaruh terhadapnya, sehingga proses pelaksanaan pengelolaan keuangan desa banyak yang tidak sesuai dengan Permendagri No.37/2007. Sehingga kenyataan yang terjadi, sebagian penerapan pengelolaan keuangan desa masih belum memenuhi azaz-azaz transparansi , akuntabilitas , partisipatif dan disiplin anggaran.

Berdasarkan fokus penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini akan disajikan hasil penelitian melalui wawancara langsung dengan informan yang telah dipilih. Adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut :

5.1. Transparansi Pengelolaan Keuangan Desa

Berdasarkan Permendagri No.37/2007 pengelolaan keuangan desa meliputi tahapan perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan desa. Yang mana pelaksanaannya harus berdasarkan azas-azas pengelolaan keuangan desa yang salah satunya adalah azas transparansi. Pemerintah desa seharusnya dapat memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui semua informasi yang terkait dengan segala kegiatan yang mencakup keseluruhan prosesnya dan atas


(68)

yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang – undangan, sehingga hal ini dapat dijadikan kontrol sosial bagi warga.

Namun pada kenyataannya proses tranparansi pengelolaan keuangan desa Kalimo’ok hanya terjadi pada saat di awal saja yaitu pada saat proses perencanaan. Salah satu tahapan dalam perencanaan keuangan desa adalah pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Musrenbangdes diselenggarakan pada awal tahun anggaran. Pelaksanaan Musrenbangdes melibatkan semua aparat Pemerintah Desa, BPD beserta tokoh masyarakat. Dalam musrenbangdes, semua peserta dapat secara bebas mengemukakan saran, usulan kegiatan dan lain-lain.

Hal ini terungkap dari wawancara dengan informan Bapak M yang menyatakan bahwa :

“ Musrenbangdes dilaksanakan pada awal tahun anggaran dan dalam pelaksanaannya melibatkan BPD serta tokoh masyarakat

Desa Kalimo’ok” (Hasil wawancara 30 Nopember 2010).

Sebagaimana disampaikan oleh informan yang lain Bapak R yang menyatakan bahwa :

“ Pelaksanaan Musrenbangdes biasanya pada awal tahun dan


(69)

masyarakat juga diundang dan dilibatkan dalam musrenbangdes”

(Hasil wawancara 30 Nopember 2010).

Dari pernyataan diatas, transparansi dalam proses perencanaan (musrenbangdes) dapat dikatakan sudah cukup baik karena telah melibatkan BPD dan masyarakat lainnya.

Namun setelah proses perencanaan (musrenbangdes), masyarakat maupun BPD sebagai wakil masyarakat kurang dilibatkan dalam proses penganggaran maupun penentuan kegiatan dalam APBDesa. Salah satunya yang paling nampak adalah, transparansi dalam penentuan lokasi kegiatan fisik yang dianggarkan dalam APBDesa, dimana selama ini lokasinya hanya ditempatkan di sekitar tempat tinggal Kepala Desa dan pendukungnya ketika Pilkades lalu.

Hal ini terungkap dalam wawancara dengan informan Bapak A, yang menyatakan bahwa :

“ lokasi kegiatan fisik lako etempatagi e temor, e semmakna

bungkona kalebun. Cakna kalebunna dhina maolle tao masyarakat

se mele sengko’ “(Hasil wawancara 22 Desember 2010).

Setelah proses penganggaran dalam APBdesa, maka selanjutnya adalah pelaksanaan APBDesa tersebut. Dalam proses pelaksanaan APBDesa ini, Aparat Pemerintah Desa cenderung tertutup dalam memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan pelaksanaan kegiatasn-kegiatan yang tercantum dalam


(70)

APBDesa tersebut. Hal ini Sebagaimana disampaikan oleh salah satu informan, Bapak A, yang menyatakan bahwa :

“ Selama ini kami tidak pernah dilibatkan dalam pelaksanaan

kegiatan dalam APBDesa. Pelaksanaannya hanya berputar-putar di orang-orang tertentu saja atau orang-orang Kepala Desa. Kami pernah menanyakan tentang pelaksanaan kegiatan APBDesa ke Pihak Desa dan Kecamatan tapi tidak ada jawaban yang jelas dan

cenderung menutup informasi.” (Hasil wawancara 22 Desember

2010).

Juga hasil wawancara dari informan R, yang menyatakan bahwa :

“Yang saya tahu, kegiatan ADD dilaksanakan. Secara pastinya

saya tidak tahu, karena informasi mengenai hal tersebut cenderung

tertutup “ (Hasil wawancara 22 Desember 2010).

Kurangnya transparansi pada pengelolaan keuangan desa mengakibatkan rendahnya pengawasan masyarakat. Padahal tahap Pengawasan pengelolaan keuangan desa mutlak dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan keuangan desa benar-benar telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengawasan dari masyarakat nyaris tidak terdengar. Hal ini disebabkan karena sulitnya masyarakat mendapatkan akses informasi mengenai APBDesa.


(71)

Dari beberapa pernyataan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kurangnya transparansi dalam proses pelaksanaan keuangan Desa Kalimo’ok karena hanya melibatkan orang-orang tertentu saja dan akses informasi mengenai hal

tersebut cenderung tertutup. Walaupun dalam Permendagri No. 37/2007 tidak disebutkan mengenai kewajiban untuk membuka

akses informasi mengenai pelaksanaan APBDesa kepada masyarakat luas, akan tetapi, sebagai wujud transparansi semua orang berhak untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan dalam APBDesa. Hal ini juga dimaksudkan agar masyarakat luas bisa mengontrol pelaksanaan kegiatan dalam APBDesa, apakah sudah sesuai dengan aturan atau seperti yang sudah tercantum dalam APBDesa.

5.2. Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa

Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Akuntabilitas dalam proses pengelolaan keuangan desa dapat dilakukan dalam hal pelaporan atau pertanggungjawaban hasil pelaksanaan APBDesa. Hal yang paling mudah dilihat seberapa akuntabel pemerintah desa tersebut dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan desa adalah pada saat proses pengawasan.


(72)

dari pihak Pemerintah Kabupaten Sumenep. Pemerintah Kabupaten Sumenep menyerahkan tanggung-jawab pengawasan pengelolaan keuangan desa kepada Inspektorat. Setiap tahun Inspektorat turun ke Desa Kalimo’ok untuk melakukan pengawasan, termasuk juga pengawasan langsung ke lokasi/ tempat kegiatan.

Hal ini terungkap dari wawancara dengan informan Bapak M, yang menyatakan bahwa :

“ Pengawasan pelaksanaan APBDesa setiap tahunnya dilakukan

oleh Inspektorat. Mereka datang kesini dan memeriksa semua administrasi pengelolaan keuangan. Mereka juga turun ke lokasi kegiatan fisik untuk mengecek kesesuaian kegiatan fisik tersebut dengan RAB yang tercantum dalam APBDesa. Dari hasil pengawasan inspektorat ada saja salahnya, tapi kesalahannya hanya administrasi, bukan kegiatan yang tidak dilaksanakan. “(Hasil wawancara 23 Desember 2010)

Hasil wawancara dengan salah satu informan, yang tidak mau disebutkan namanya, seorang pegawai yang mengetahui mengenai pelaksanaan pengawasan Pengelolaan keuangan desa, menyatakan bahwa :

“ Saya bersama beberapa orang anggota tim pengawasan, telah

melakukan pengawasan untuk pelaksanaan keuangan desa


(73)

pelaksanaannya serta pertanggung-jawabannya. Pada saat dilakukan pengawasan, tim menemukan beberapa temuan yang selanjutnya dijadikan sebagai bahan laporan kami. Yang pertama,

temuan yang bersifat administratif, Desa Kalimo’ok tidak

mempunyai arsip dari SPJ Penggunaan dana ADD tahap II sehingga tim sulit untuk mengevaluasi pertanggung-jawaban

pelaksanaan APBDesa Kalimo’ok. Yang kedua, setelah dilakukan

pengecekan fisik ke lapangan, ditemukan adanya kegiatan fisik yang belum dilaksanakan 100 %, padahal seharusnya pada saat itu tahun anggaran 2009 sudah berlalu beberapa bulan. Hal ini diakui oleh Kepala Desa dan sebagai solusinya Kepala Desa membuat surat pernyataan kesanggupan menyelesaikan kegiatan tersebut dalam waktu beberapa bulan ke depan. Baru-baru ini saya pernah lewat di lokasi tersebut, ternyata kegiatan tersebut sudah

dilaksanakan 100 % “ (Hasil wawancara 28 Desember 2010).

Seharusnya, sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan desa, Pemerintah Desa Kalimo’ok melibatkan peran serta masyarakat dan BPD sebagai wakil dari masyarakat dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap pengelolaan keuangan desa. Akan tetapi pengawasan dan kontrol dari BPD dan masyarakat nyaris tidak terdengar. Hal ini disebabkan karena sulitnya masyarakat mendapatkan akses informasi mengenai APBDesa.


(74)

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak A yang menyatakan bahwa :

“ Kalau disini repot mau tanya macam-macam pada pihak desa,

bahkan kita tanya ke pihak kecamatan juga kesulitan. Seandainya ada papan proyek saja kita bisa melakukan pengawasan”. (Hasil wawancara 24 Desember 2010).

Hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Bapak A, Bapak R menyatakan bahwa :

“ sebenarnya kita bisa saja menanyakan berapa alokasi dana untuk

setiap kegiatan, tapi ya mau gimana lagi semunya tertutup bahkan kita dicurigain yang macam- macam. Bahkan pihak LSM saja tidak berani kalau tanya ini dan itu didesa ini. Bagi saya lebih baik diam daripada nanti jadi masalah dan cuma membuat saya jadi mangkel. Saran saya, seharusnya ada pemberian sanksi jika ditemukan

adanya ketidakberesan dalam proses ini. “ (Hasil wawancara 24

Desember 2010).

Dari beberapa pernyataan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengelolaan keuangan desa Kalimo’ok masih belum akuntabel. Hal ini dikarenakan tidak ada proses pertanggungjawaban langsung kepada masyarakat/ BPD mengenai apa hasil yang telah dicapai/ dilaksanakan dalam pengelolaan keuangan desa, bahkan ketika masyarakat ingin melakukan kontrol dan pengawasan, pihak Pemerintah Desa tertutup dalam


(1)

eksplisit maupun secara implisit. Dalam Permendagri No. 37/2007, disebutkan bahwa kewajiban Penatausahaan Keuangan desa adalah tanggung jawab Bendahara Desa yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Desa. Penatausahaan disini adalah dalam hal penerimaan dan pengeluaran desa. Bendahara Desa wajib mempertanggungjawabkan penerimaan uang yang menjadi

tanggungjawabnya melalui laporan pertanggungjawaban

penerimaan dan pengeluaran kepada Kepala Desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

APBDesa wajib dibuatkan pertanggung-jawaban

pelaksanaannya. Pembuatan pertanggung-jawaban pelaksanaan APBDesa merupakan tugas dari Sekretaris Desa. Sekretaris Desa

menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dan Rancangan Keputusan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban Kepala

Desa. Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud diatas,

menyampaikan kepada Kepala Desa untuk dibahas bersama BPD. Selanjutnya dengan persetujuan BPD, ditetapkan menjadi Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa.

Proses Pengawasan Keuangan Desa

Pelaksanaan prinsip good governance yang transparan,


(2)

pengawasan pengelolaan keuangan desa. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan keuangan desa benar-benar telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sebagai kontrol sosial dari masyarakat terhadap kinerja pemerintahan desa.

. .


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Transparansi dalam pengelolaan keuangan desa Kalimo’ok,

hanya terjadi pada saat proses perencanaan saja

(Musrenbangdes), setelah itu pada saat proses pengelolaan keuangan cenderung tertutup untuk diakses masyarakat. Hal ini dikarenakan pihak Pemerintah Desa selaku pengelola keuangan desa tidak mau membuka diri terhadap segala hal mengenai pengelolaan keuangan desa, utamanya dalam hal pelaksanaan dan pertanggung-jawaban APBDesa.

2. Pertanggung-jawaban Pengelolaan keuangan desa Kalimo’ok

tidak memenuhi prinsip akuntabilitas, karena pembuatan laporan pertanggung-jawaban tersebut tidak melibatkan BPD dan masyarakat sehingga hasil dari pelaksanaan Keuangan Desa tidak dapat dinilai dan dikritisi oleh masyarakat.

3. Hampir semua proses pengelolaan keuangan Desa Kalimo’ok, mulai dari proses perencanaan sampai dengan pengawasan tidak memenuhi prinsip Responsibilitas, yaitu tidak sesuai dengan tata administrasi aturan yang ada (Permendagri No.


(4)

37/2007). Hal ini dikarenakan SDM yang ada di pemerintahan desa masih belum mumpuni dalam pengelolaan keuangan.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi yang sekiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan, khususnya dalam

mendorong penerapan good governance dalam pengelolaan

keuangan Desa Kalimo’ok, antara lain :

1. Kepada Pemerintah Desa Kalimo’ok agar dalam setiap proses pengelolaan keuangan desa melibatkan peran serta aktif masyarakat, tidak hanya pada saat Musrenbang saja tetapi selalu terbuka/transparan dalam setiap proses pengelolaan tersebut, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan APBDesa. Misalnya untuk kegiatan fisik, ada papan proyek. Dalam hal ini, salah satu contohnya dalam pelaksanaan PNPM

Mandiri Perkotaan yang ada di desa Kalimo’ok, dimana

masyarakat dilibatkan secara aktif dalam setiap proses mulai dari awal sampai akhir sehingga masyarakat merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap setiap proses pelaksanaan kegiatan.

2. Untuk memenuhi prinsip akuntabilitas, hendaknya pemerintah desa mengadakan pertemuan rutin yang mengundang


(5)

masyarakat untuk membahas tentang kegiatan yang akan dilaksanakan dan yang telah dilaksanakan.

3. Untuk memenuhi prinsip responsibilitas, kepada Pemerintah

Desa Kalimo’ok dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa hendaknya mengikuti pedoman atau aturan yang sudah ada, yaitu Permendagri No. 37/ 2007. Yang salah satunya segera menyusun RPJMDesa, karena RPJMDesa merupakan pedoman mendasar dalam pengelolaan keuangan desa yang akan menentukan arah kebijakan pembangunan Desa.

4. Kepada Pemerintah Kabupaten Sumenep, agar lebih

meningkatkan lagi proses sosialisasi dan pelatihan teknis tentang pengelolaan keuangan desa yaitu Permendagri No. 37/ 2007, sehingga diharapkan aparat pemerintah desa dan BPD dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya. 5. Kepada Pemerintah Kabupaten Sumenep, dalam hal ini Bupati Sumenep agar dalam pertanggung-jawaban pelaksanaan APBDesa apabila ditemukan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan aturan hendaknya diberikan sanksi tegas.


(6)

Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan

Halim Abdul, 2004. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat , Jakarta

Mardiasmo, 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005 Tentang Desa

Sedarmayanti, 2003. Good Governance (kepemerintahan yang baik)

dalam rangka otonomi daerah upaya membangun organisasi

efektif dan efisien melalui restrukturisasi dan pemberdayaan, Mandar Maju, Bandung

Sugiyono dkk, 2010. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R&D, Alfabeta : Bandung

UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Yuhertiana, Indrawati, 2009. Panduan Kualitatif Bagi Pemula,

EurekaSmart Publishing

Zetra, Aidinil, 2009. Startegi Pengembangan Kapasitas SDM

Pemerintahan Daerah dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah

http: // www.ireyogya.org /ire.php? about = booklet-15.htm

http://id.wikipedia.org

http://halilintarblog.blogspot.com/2009/08/pelayanan.html

http://syukriy.wordpress.com/2008/06/16/pengelolaan-keuangan-desa-apa-yang-baru/


Dokumen yang terkait

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN APBDES UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG GOOD GOVERNANCE Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan APBDes Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Good Governance (Studi Kasus Di Desa Banyuurip Kecamatan Klego Kabupaten

0 2 15

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN APBDES UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG GOOD GOVERNANCE Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan APBDes Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Good Governance (Studi Kasus Di Desa Banyuurip Kecamatan Klego Kabu

0 6 20

PENDAHULUAN Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan APBDes Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Good Governance (Studi Kasus Di Desa Banyuurip Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Tahun 2016).

0 5 8

IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD GOVERNANCE DI PEMERINTAHAN DESA Implementasi Prinsip Good Governance Di Pemerintahan Desa (Studi Kasus di Kantor Kepala Desa Gedongan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen).

0 4 15

IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD GOVERNANCE DI PEMERINTAHAN DESA Implementasi Prinsip Good Governance Di Pemerintahan Desa (Studi Kasus di Kantor Kepala Desa Gedongan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen).

0 2 10

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMERINTAHAN DESA DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DI DESA LARAS KECAMATAN BANDAR HULUAN KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 1 23

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KINERJA PEMERINTAHAN DESA DALAM MEWUJUDKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DI TINGKAT DESA (STUDI KASUS DI DESA MANUNGGAL KECAMATAN LABUHAN DELI KABUPATEN DELI SERDANG).

0 1 23

RELASI ANTARA KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

0 0 13

TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNACE DI DESA KALIBELO KABUPATEN KEDIRI

0 0 19

PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI PADA PEMERINTAHAN DESA KALIMO’OK KEC. KALIANGET KAB. SUMENEP)

0 0 15