Hubungan Frekuensi Antenatal Care Dengan Angka Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah Di RSUD Pandan Aarang Boyolali.

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan salah satu masa paling penting dalam kehidupan
wanita. Setiap ibu akan menjaga kandungannya dengan baik. Sebagian besar
ibu di dunia melakukan antenatal care untuk menjaga kehamilannya. Antenatal
care adalah segala perawatan yang diterima ibu hamil dari pusat kesehatan.
Perawatan ini bersifat individual sesuai kebutuhan dan keinginan ibu sangat
diperhatikan dalam perawatan ini (Banta, 2003).
Ibu hamil mendapat pelayanan antenatal care sesuai standar paling sedikit
empat kali, dengan distribusi satu kali pada trimester pertama, satu kali pada
trimester kedua, dan dua kali pada trimester ketiga (Peranginangin, 2006). Ibu
hamil dapat melakukan pemeriksaan ini di dokter ahli kebidanan, dokter
umum, bidan, dan perawat yang telah mendapat pelatihan antenatal care.
Tempat pemeriksaan dapat di rumah sakit, klinik ataupun pusat kesehatan

primer seperti Puskesmas. Selain tempat-tempat di atas antenatal care juga
dapat dilakukan di Posyandu, Polindes, Pos obat desa maupun setiap sarana
kesehatan yang tersedia di tempat itu (Depkes RI, 1993; Peranginangin, 2006).
Antenatal care merupakan sarana screening awal kondisi bayi yang akan
lahir. Kondisi bayi yang lahir antara lain bayi lahir dengan berat badan normal,
atau rendah. Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas bayi lahir
dengan berat badan rendah. Bayi lahir dengan Berat Lahir Rendah (BBLR)
commit to user
1

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id
2

adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa
memandang usia kehamilan. Bayi berat lahir rendah merupakan salah satu
faktor yang memegang peranan penting dalam kematian bayi terutama saat
masa perinatal. Angka kematian pada BBLR dapat menjadi cermin derajat
kesehatan dari suatu masyarakat. Bayi ini lebih mudah untuk menjadi sakit jika

dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal (Setyowati,
1996).
Dalam upaya penurunan kematian bayi, Indonesia mengalami kemajuan
yang cukup signifikan beberapa dekade terakhir. Pada tahun 1960, Angka
Kematian Bayi (AKB) Indonesia berjumlah 128 per 1000 kelahiran hidup.
Angka ini berangsur-angsur turun menjadi 68 per 1000 kelahiran hidup pada
1989, 57 per 1000 kelahiran hidup pada 1992 dan 46 per 1000 kelahiran hidup
pada 1995. Pada dekade 1980-an rata-rata penurunan empat persen pertahun,
pada dekade 1990-an terjadi sedikit peningkatan menjadi lima persen pertahun.
Meskipun telah terjadi peningkatan yang memuaskan, tingkat kematian bayi di
Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di
ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari
Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (Central Bereau of Statistic,
2000; GOI-UNICEF, 2000; Saifuddin, 2002).
Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003
Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki jumlah tertinggi yaitu 103 per 1000
kelahiran hidup dan Provinsi D.I.Yogyakarta 23 per 1000 kelahiran hidup
menempati posisi terendah. Hal ini menunjukkan masih terdapat kesenjangan
commit to user


perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id
3

kualitas dan kwantitas pelayanan kesehatan di provinsi-provinsi di Indonesia.
Sekitar 57% dari kematian tersebut terjadi pada bayi berumur kurang dari satu
bulan dan penyebab utamanya ialah gangguan perinatal BBLR. Diperkirakan
terdapat 400.000 bayi lahir dengan berat badan rendah setiap tahunnya (Depkes
RI, 2004). Adapun menurut Depkes RI (2005) angka kejadian BBLR di Jawa
Tengah pada tahun 2003 adalah 2,02% dari total jumlah kelahiran. Pada tahun
2011 berdasarkan catatan rekam medik RSUD Pandan Arang Boyolali,
terdapat total 1832 kelahiran dengan 248 kelahiran bayi berat lahir rendah dan
1584 kelahiran bayi berat lahir cukup.
Dari uraian di atas dapat diketahui angka kejadian BBLR masih tinggi di
Indonesia, dan berat badan saat lahir sangat menentukan pertumbuhan dan
perkembangan anak selanjutnya. Oleh karena itu, keadaan ibu saat hamil
perlu diperhatikan, hal ini dapat dilakukan dengan antenatal care. Di Boyolali
mayoritas penduduknya tinggal di pedesaan sehingga akses informasi yang
diperoleh kurang maksimal. Hal ini mengakibatkan tingkat kesadaran

pentingnya antenatal care kurang dan mengakibatkan terjadinya BBLR di
Wilayah Kerja RSUD Pandan Arang Boyolali, karena kunjungan antenatal
care kurang dari standar yang ditetapkan pemerintah (4 kali) merupakan faktor
risiko terjadinya BBLR . Di sini, peneliti ingin mengetahui hubungan frekuensi
antenatal care dengan kejadian BBLR di RSUD Pandan Arang, karena rumah
sakit ini merupakan rumah sakit rujukan untuk kasus BBLR di Kabupaten
Boyolali dan terdapat kurang lebih 100-120 kelahiran di rumah sakit ini tiap
commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id
4

bulannya. Jadi peneliti bisa mengambil sampel yang cukup untuk
melaksanakan penelitian.
B. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan frekuensi

antenatal care dengan kejadian


BBLR di RSUD Pandan Arang Boyolali?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan frekuensi antenatal care dengan kejadian BBLR di
RSUD Pandan Arang Boyolali.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Meninjau lebih jauh dan memberi bukti empirik tentang hubungan
frekuensi antenatal care dengan kejadian BBLR.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca
dan masyarakat tentang hubungan frekuensi antenatal care dengan
kejadian BBLR.
b. Diharapkan dapat meningkatkan kesadaran ibu hamil akan pentingnya
antenatal care pada masa kehamilan.
c. Sebagai bahan acuan dan sumber pemikiran untuk penelitian
selanjutnya.

commit to user