MODEL DISKUSI SASTRA DI KELAS 5 SEKOLAH DASAR.
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
v
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang1.2
Indentifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
1.3
Tujuan Penelitian
1.4
Signifikansi dan Manfaat Penelitian
1.5
Asumsi
1.6
Hipotesis
1.7
Penelitian Sebelumnya yang Relevan
1
1
10
15
16
17
18
18
BAB II KAJIAN TEORI YANG RELEVAN2.1 Sastra dan Anak 2.2 Pembelajaran Sastra 2.3 Pengalaman Bersastra 2.4 Model Diskusi Sastra 2.4.1 Konsep Dasar 2.4.1.1 Teks
2.4 1.2 Diskusi
2.4.1.3 Lingkungan Belajar Kolaboratif 2.4.1.4 Asesmen Kinerja
2.4.2 Tujuan dan Asumsi 2.4.3 Konsep Model
21 21 28 39 47 47 47 49 53 55 63 66 BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi3.2.2 Sampel 3.3 Instrumen
3.3.1 Rencana Pembelajaran
3.3.2 Format Tugas Pembelajaran Murid 3.3.2 Format Observasi
3.4 Analisis Data
69 69 74 74 74 75 75 82 94 96
(2)
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengantar
4.2 Pengembangan Model Awal 4.2.1 Lokasi
4.2.2 Prosedur Pengembangan
4.2.2.1 Pengembangan Model Diskusi Sastra Edisi Pertama 4.2.2.2 Pengembangan Model Diskusi Sastra Edisi Kedua 4.2.2.2 1. Kegiatan Guru
4.2.2.2.2 Pengalaman Bersastra Murid dalam Diskusi
4.2.2.2.3 Wujud Pengalaman Bersastra Murid dalam Bentuk Respons 4.2.2.2.3.1 Respons Individual
4.2.2.2.3.2 Respons Kelompok
4.3 Model Diskusi Sastra Hasil Pemberlakuan Pertama dan Kedua 4.4 Pemberlakuan Model Diskusi Sastra Edisi Ketiga
4.5.Analisis Data 4.5.1 Kegiatan Guru
4.5.2 Pengalaman Bersastra Murid dalam Diskusi
4.5.3 Wujud Pengalaman Bersastra Murid dalam Bentuk Respons 4.5.3.1 Respons Individual
4.5.3.2 Respons Kelompok 4.5.4 Analisis Statistik
4.6 Siklus Model Diskusi Sastra 4.7 Pembahasan danTemuan 4.7.1 Pembahasan 4.7.2 Temuan 97 97 97 97 98 99 113 117 126 135 136 150 163 167 169 169 178 210 210 249 278 284 287 287 315 BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan 5.2 Rekomendasi
5.3 Saran bagi Peneliti Selanjutnya
321 321 334 338
DAFTAR RUJUKAN 340
DAFTAR LAMPIRAN 351
(3)
(4)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran sastra pada hakikatnya menuntut pelibatan membaca, mendengarkan, berbicara, dan menulis. Keempat kegiatan itu menjadi penting sebagai usaha penanaman pemahaman sastra kepada murid. Karya sastra sebagai karya kreatif menuntut pendekatan pembacaan secara kreatif juga. Kesalahan pendekatan terhadap karya sastra berakibat pada ketidakmenarikan karya sastra itu sendiri. Betapa banyak orang yang tertarik membaca karya sastra, juga begitu banyak orang yang tidak tertarik terhadap karya sastra. Para murid berada dalam keragaman seperti itu. Di antara mereka banyak yang menunjukkan minatnya terhadap sastra, juga tidak sedikit yang kurang peduli terhadap sastra. Keragaman ini dimungkinkan karena salah satu di antaranya pengaruh sajian guru pada saat menyelenggarakan pembelajaran sastra di kelas. Kekurangan guru adalah kekurangseriusan dalam menyiapkan pengajakan interaksi murid terhadap karya sastra. Karya sastra tidak akan berarti apa-apa bagi siapa pun selama tidak disiapkan dengan cara yang tepat untuk memperilakukannya. Sikap kita, sikap guru, sikap pembaca terhadap karya sastra berakibat pada taraf keberartian karya sastra tersebut. Oleh karena itu, sehubungan dengan pembelajaran sastra di sekolah guru menjadi unsur terpenting dalam penentuan keragaman sikap murid terhadap karya sastra. Penarikan minat merupakan tanggung jawab guru. Minat eksternal menjadi keharusan pewujudannya oleh guru. Murid berkemungkinan belum mempunyai pengetahuan kesastraan yang memadai,. Guru menjadi bagian tak terpisahkan
(5)
dari ketentuan penyikapan murid terhadap karya sastra yang dibicarakan di kelas.
Karya sastra selama ini, menurut pengamatan penulis, tidak dibicarakan. Sastra dianggap sebagai benda mati, dianggap sebagai alat, dianggap sebagai bahan pembelajaran yang memang seharusnya diajarkan kepada murid sesuai dengan pesan kurikulum. Pergerakan guru dibatasi dengan keinginan yang tertera dalam kurikulum. Penyikapan ini berakibat buruk terhadap irama pembelajaran di kelas. Pembelajaran sastra tidak dapat hanya dianggap sebagai bagian dari kurikulum yang harus diajarkan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, tetapi guru juga sebaiknya melihat sastra sebagai bagian dari yang dapat mempengaruhi keseluruhan kehidupan murid di sekolah dan terutama di masyarakat. Penyudutpandangan ini penting sebagai awal penentu arah pembelajaran sastra di sekolah. Pengecilartian akan peran karya sastra dalam keseluruhan kehidupan anak di sekolah berakibat pada ketidaksemangatan anak dalam menggeluti karya sastra. Fenomena itu tampak jelas dengan murid yang kurang menghargai sastra sebagai karya yang dapat mempengaruhi keberpikiran mereka, kebersikapan mereka, keberperilakuan keseharian mereka. Sastra bagi mereka sebagai pelengkap dalam proses pembelajaran di sekolah. Bagian yang seharusnya diselesaikan sebagai syarat kelulusan mereka. Padahal dalam kenyataannya banyak murid yang membaca komik, membaca cerita populer, membaca novel terjemahan. Situasi ini dapat dimanfaatkan guru sebagai awal yang baik untuk menggiring murid ke arah situasi kesastraan di sekolah dan diharapkan berlanjut di dalam kehidupan keseharian mereka.
Pandangan seperti di atas bermunculan sebagai akibat, salah satunya dan ini yang paling besar, kekurangmenarikan guru dalam mengolah
(6)
3
pembelajaran sastra. Murid sebenarnya mempunyai potensi berkepedulian terhadap karya sastra bila pengenalannya tepat: saat dan cara, tepat-materi, tepat-interaksi. Karya sastra menuntut dibicarakan karena ia berisi. Isi karya sastra tidak mungkin ditemukan jika kita tidak berusaha menemukannya. Karakteristik karya sastra seperti ini sebenamya merupakan tantangan bagi guru untuk berpikir bagaimana mengajak berpikir murid dalam proses pembelajaran sastra. Proses berpikir inilah yang semestinya menjadi prioritas pertimbangan utama guru pada saat dia memutuskan corak pembelajaran apa pun. Jadi, sebenamya inti pembelajaran sastra itu bagaimana murid dapat berpikir, berperasaan, dan berpengalaman pada saat berinteraksi dengan karya sastra. Pemberian kesempatan kepada murid seluas-luasnya menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembelajaran sastra. Pada intinya setiap guru mengajak belajar murid. Perlu diingat bahwa murid itu membawa sesuatu dalam dirinya. Sebelum masuk ke kelas, sebelum berinteraksi dengan materi di kelas murid telah membawa sesuatu yang dapat dijadikan pengayaan dan pemudahan pada saat pembelajaran berlangsung. Ketertarikan murid akan terwujud jika mereka mempunyai kepentingan untuk memperoleh jawaban, informasi, atau pengalaman sehubungan dengan apa yang ada dalam dirinya. Penuntutan ini seharusnya dapat dibaca guru. Apalagi karya sastra sangat berkemungkinan 'memuaskan' keinginan murid tersebut.
Karya sastra merupakan renungan penulisnya. Di dalamnya terdapat kekhususan. Apa yang ditulisnya telah mengalami proses pemilihan dari sekian pengalaman yang terdapat di dalam diri penulis. Karya sastra ditulis mengikuti cara khusus, cara yang tidak biasa. Karya sastra biasanya menyajikan keseharian hidup dengan cara yang tidak biasa (Damono. 2002: Teeuw, 1984).
(7)
Karakter ini sebenarnya menjadi tantangan bagi pembaca. Dalam proses pembelajaran, guru dapat mengubah karakter ini menjadi tantangan. Pengubahan inilah sebenarnya gambaran sikap guru terhadap karya sastra. Banyak guru yang sekedar menginformasikan isi karya sastra secara eksplanatori. Dalam kegiatan ini guru telah menghilangkan berbagai karakter karya sastra. Karakter ini dapat diubah menjadi tantangan yang mengasyikkan bagi pembaca. Persyaratan utama adalah guru harus menyediakan suasana, lingkungan yang menyebabkan murid masuk ke dalamnya. Guru seperti ini adalah guru yang berkompetensi memadai di bidang sastra. Bagaimanapun kualitas pembelajaran sastra sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas kompetensi guru di bidang sastra. Segalanya tidak akan berjalan baik, dalam pembelajaran sastra bila tidak diawali dengan niat bahwa karya sastra itu harus dihayati, dibaca ulang sebelum diinteraksikan kepada murid. Bekal ini menjadi permulaan yang berjanjikan berdampak pada berkualitasnya keberjalanan pembelajaran sastra di kelas. Jadi, sebenamya gurulah yang menentukan arah pembelajaran sastra. Ke mana gerakannya bergantung kepada niat guru. Keikutsertaan murid akibat dari tantangan yang disajikan guru. Guru dapat menyajikan tantangan bila dia sendiri telah menantangkan dirinya pada karya sastra. Kita dapat memberitahukan kenikmatan bergelut dengan karya sastra kepada murid manakala kita telah menjalaninya. Segi inilah yang masih tersisa pada pembelajaran sastra. Guru terkadang lupa membaca ulang atau membaca karya sastra. Mereka langsung memberikan perintah kepada murid untuk menikmatinya tanpa memberitahukan bagaimana cara menikmatinya dan mengapa harus menikmatinya, karena guru itu belum menggelutinya. Karya sastra akan menjadi sebuah tantangan jika dihayati, digeluti, dimaknai dengan
(8)
5
berbagai sudut pandang, dengan cara berbeda pandang dengan pengarangnya sekalipun.
Karya sastra menuntut keterlibatan seluruh kemampuan berbahasa. Pengawalan kebersentuhan pembaca (murid) dan teks harus dengan membaca. Pembacaan menjadi bagian utama. Menurut Rosenblatt (1978) teks itu hanya kertas dan tinta hitam. Dia tidak akan berarti sebelum dimaknai pembacanya. Penikmatan karya sastra sebagai teks dapat dihentikan pada tahap ini. Pembaca dapat menemukan berbagai kemungkinan dalam teks sesuai dengan apa yang diinginkannya bahkan kemungkinan bermunculan hal yang tidak diinginkannya setidaknya tidak pemah dipikirkan sebelumnya. Kebermunculan berbagai kemungkinan itu dapat terjadi karena karya sastra berkemungkinan berbeda tafsiran. la menjadi tidak tunggal. Dunia pengarang dan dunia pembaca berbeda. Pembacaan itu media utama untuk mengetahui keberbedaan tersebut. Pelanjutan pemahaman karya sastra dilakukan dengan penuangan dalam bentuk tulisan. Keberpikiran pada saat berinteraksi dengan teks akan makin terpahamkan seandainya dituangkan dalam bentuk tulisan. Kebertulisan pemaknaan menjadikan bermunculannya penambahan makna. Betapa pun akan berkejadian konstruksi makna kedua kalinya pascapembacaan. Mungkin ketiga atau keempat kalinya pemaknaan dapat terjadi. Hal itu bergantung kepada jeda yang memunculkan penentuan perenungan pascapembacaan. Keintensifan pemaknaan terjadi manakala kita masih berada dalam situasi keinteraksian dengan teks/karya sastra. Pemusatan pikiran, perasaan, dan pengalaman berjalan otomatis pada titik-tentu yang menjadi fokus kita dalam karya sastra.
Keberuntunan penelusuran karya sastra berlanjut pada arah pendengaran konstruksi makna pembaca lain. Pengungkapan konstruksi makna
(9)
atas karya sastra, teks yang dibacanya kepada orang lain akan mendapat balikan respons dari pembaca lain. Dalam situasi seperti itu terjadi keberlengkapan pemaknaan, kebertambahan atau keberkurangan. Dalam situasi seperti itu terjadi keberpengaruhan pemaknaan di antara peserta diskusi. Dalam situasi itu dibicarakan, dipertanyakan, diperkuatkan berbagai gagasan yang muncul pascabaca dan pascatulis konstruksi makna.
Keterlibatan semua aspek keterampilan berbahasa tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proses pemaknaan karya satra. Pemisahan di antara keterampilan tersebut berhubungan dengan kekuranglengkapan pemaknaan teks sastra. Unsur inilah yang tidak disadari telah terhilangkan dalam pembelajaran sastra. Pembacaan teks (karya sastra) berhenti pada pembacaan. Penulisan bukan kelanjutan dari pembacaan. Diskusi sastra jarang terlaksana dalam pembelajaran sastra. Padahal diskusi berpotensi menjadi alat efektif bagi pendorongan keberanian murid dalam menyampaikan respons. Peran guru dalam diskusi penting. Pertanyaan-pertanyaan guru kepada murid menjadi titik-asal sudut respons murid. Peran itu dapat dimainkan guru bila ia memahami teks. Guru mempunyai wawasan tentang keberbedaan latar belakang murid, pengetahuan murid. Pengetahuan sebelumnya dapat ditarik menyatu dalam respons murid secara lisan.
Diskusi merupakan bagian yang penting sebagai usaha pemahaman menyeluruh cerita, teks sastra yang dibacanya. Serpihan pemahaman personal dapat berkontribusi dalam lingkup sosial. Pemerhatian terhadap respons yang lain akan menjadi pengayaan respons masing-masing. Kebersamaan dalam usaha pemahaman tidak dengan sendirinya memunculkan kebersamaan dalam respons personal. Kepersonalan akan tetap memunculkan kemasing-masingan.
(10)
7
Kekhasan itu akan menjadi milik personal karena keberbedaan pengalaman, pemikiran, dan perasaan. Jadi, diskusi itu mungkin menjadi bagian dari pengayaan pemahaman. Pemahaman inilah yang menjadi tujuan pembacaan karya sastra, penulisan respons personal, perbincangan dalam lingkup sosial, dan penuangan respons pascadiskusi dalam bentuk respons sebagai wujud pengalaman bersastra murid.
Apa yang akan muncul dalam keterbukaan ruangan respons itu berkemungkinan memunculkan gagasan, pendapat, pikiran, perasaan, yang inkonvensional. Pembukaan kanal kebebasan ini diharapkan dapat menjadi wahana pencintaan murid terhadap teks sastra. Ruang inilah yang menjadi fokus studi ini.
Pencapaian tujuan di atas memerlukan perangkat yang dapat merekam respons murid itu. Perangkat tulis dan perangkat lisan. Kebersatuan itu dapat membergunakan mengetahui adanya keragaman respons, mungkin persamaan respons, mungkin juga respons tak terduga.
Bagaimana pengajaran sastra di sekolah dasar diselenggarakan? Penulis berkesempatan mengamati langsung beberapa guru mengajarkan sastra di sekolah dasar. Pada umumnya mereka memperlakukan karya sastra sebagai materi ajaran. Mereka berusaha menyampaikan materi itu agar dipahami oleh murid. Pemahaman dalam pengertian seperti yang diinginkan oleh guru, seperti tujuan yang telah ditentukan guru. Jadi, guru sebenamya mengajar untuk kepentingan guru- Pada umumnya mereka seperti tidak beranggapan sedang berhadapan dengan murid. Kehadiran murid di ruang kelas itu sebagai pelangkap unsur pengajaran dan pembelajaran. Gaya ini termasuk gaya mengajar tradisional. Gaya ini berpatokan kepada kepercayaan guru bahwa
(11)
murid memiliki tujuan dan kepentingan seperti yang telah direncanakan guru, seperti yang telah digariskan kurikulum. Gaya ini berakibat pada pengecekan kemampuan yang telah dimiliki murid yang berpatokan pada apa yang telah dibcrikan kepada murid. Situasi kesekolahan seperti ini diamati oleh Flander (1973) seperti dikutip oleh Brooks & Brooks, (1999). Flander menyatakan bahwa kelas-kelas di Amerika didominasi oleh pembicaraan guru. Murid tidak memperoleh kesempatan untuk berbicara. Amatan Flanders dilengkapi dengan pemyataan Ben-Peretz,(1990) seperti dikutip Brooks & Brooks, (1999). Dia menyatakan beberapa hal tentang pengajaran di kelas. Pertama, sebagian besar guru sangat menyandarkan pendapatnya pada buku teks. Sering, informasi guru disebarkan kepada murid secara langsung bersejajaran dengan informasi yang ditawarkan buku teks. Kedua, dalam kelas sebenamya tumbuh kesadaran kooperatif, tetapi guru mengecilkan keberanian murid untuk mewujudkannya. Hal ini tampak pada tugas yang terisolasi yang bermuatan pada keterampilan rendah, tidak mengarah pada kepemilikan kemampuan tinggi yang kelak dimiliki murid. Ketiga, kemampuan berpikir murid tidak dinilai pada hampir semua kelas. Pertanyaan yang diajukan kepada murid oleh hampir sebagian besar guru tidak mengarah kepada kemungkinan cara berpikir murid melalui isu yang rumit, tetapi pertanyaan itu diarahkan untuk mencari apakah murid mengetahui jawaban yang benar.
Bagaimana situasi pembelajaran di sekolah dasar, khususnya pembelajaran sastra? Pada umumnya pernyataan di atas akan berdata di kelas sekolah dasar di kota Cirebon. Para guru sangat percaya pada buku teks. Penulis kutipkan contoh penyajian materi sastra di kelas IV sekolah dasar. Materi
(12)
9
yang disajikan adalah Membaca Cerita Rakyat dan Membuat Ringkasan
Ceritanya. Tugas yang harus dikerjakan oleh murid terdiri atas tiga buah.
a. Bacalah cerita rakyat di hawah ini dengan lafal dan intonasi yang baik di depan kelas'
b. Bacalah pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban yang telah tersedia'
No. Jawaban Pertanyaan
1 Ajisaka
2 Gunung Kendeng 3 Medan Kumulan
4 Tanah seluas ikat kepalanya 5 Daging manusia
c. Buatlah ringkasan dari cerita di atas dengan bahasamu sendiri!
Tugas
Carilah cerita rakyat yang lain yang ada di daerahmu, kemudian baca di depan.
Bagaimana pelatihan itu akan mengungkapkan daya berpikir murid? Apa yang ditugaskan kepada murid tidak berhubungan dengan kepentingan murid. Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru dan beberapa murid apa yang ada dalam buku teks itu (buku penunjang itu) disajikan kepada murid, tanpa modifikasi. Mereka, para guru mempercayai apa yang ada dalam buku pelajaran tersebut sudah dipikirkan oleh penulisnya dan materi itu cocok disampaikan kepada murid. Pertanyaan di atas bahkan tidak menggiring murid untuk menemukan tema teks sastra yang disajikan. Oleh karena itu, pertanyaan itu kurang bermakna. Padahal pertanyaanlah yang menjadi dasar langkah pembelajaran selanjutnya.
(13)
1.2 Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Situasi pembelajaran seperti itu perlu diubah agar tidak berlarut sampai pada rasa ketidakbersalahan dan keberbedaan dalam kenyamanan bahwa hal itu benar dan perlu dipertahankan. Apa yang harus diperbaiki? Situasi itu memunculkan beragam masalah pengajaran dan pembelajaran sastra khususnya karena penulis mengadakan observasi dan interviu dalam hubungannya dengan kepentingan itu. Dalam pembelajaran di kelas sebenarnya ada sesuatu yang dapat dipertajam. Bagaimana guru melihat materi sastra adalah bagian yang pertama-tama perlu diluruskan agar sampai juga kepada murid bahwa sastra itu bukan sekedar bagian dari bahasa yang tetap sebagai pelengkap. Pada umumnya guru berpandangan bahwa sastra merupakan bagian dari bahasa. Padahal sastra semestinya dimandirikan. Ia bagian yang menuntut dikelola sendiri karena mempunyai kriteria yang berbeda dari bahasa meskipun tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran bahasa.
Para guru di kelas telah mempunyai dasar yang dapat dikembangkan, yaitu para guru yang senantiasa bertanya jawab dengan murid. Segi inilah yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sastra dengan cara meningkatkannya dalam bentuk diskusi. Permasalahannya diskusi seperti apakah yang cocok untuk pembelajaran sastra di sekolah dasar. Dari segi inilah penelitian akan dikembangkan. Sebuah diskusi tidak mungkin terarah tanpa bertujuan.. Diskusi diperlakukan sebagai alat dan sarana. Ia sebagai sarana pemahaman teks sastra.
Peneliti akan menemani para guru untuk mengembangkan pembelajaran sastra dengan model diskusi dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini.
(14)
11
Pertama, pilihan teks sastra. Masalah sastra untuk anak di Indonesia
belum menjadi perhatian. Buku kumpulan cerita anak yang ditangani dengan serius sampai kini belum ada bahkan mungkin belum dipikirkan. Beberapa sastrawan, beberapa peminat sastra telah membukukan karya sastra untuk orang dewasa. Beberapa penerbit secara khusus telah mengeluarkan kumpulan cerita pendek. Beberapa pengamatan khusus mengenai karya sastra (dewasa) telah banyak dilakukan dan dibukukan. Akan tetapi, masalah teks sastra anak jarang yang menyentuhnya. Tampaknya teks sastra anak identik dengan bacaan anak dan disejajarkan dengan komik (impor) yang diminati anak-anak. Sastra anak menjadi bagian dari masalah, kalau memang ada, karena anak-anak tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih sendiri.
Hingga saat ini semua mempercayai bahwa sastra anak ditulis orang tua untuk anak. Orang tua jugalah yang mengedit, mengilustrasi, mencetak, menerbitkan, mendistribusikan, memilihkan-nya di rumah atau di seko-lah, -sering kali— membacakannya, dan —sesekali- membicarakannya. Sastra anak adalah karya sastra yang dikonsumsi anak dan diurus serta dikerjakan oleh orang tua. Orang dewasalah yang membimbing anak dalam memilih dan mengusahakan bacaan yang baik bagi anak (Sarumpaet, 1976; Tomlinson, 1996). (Sarumpaet, 2002).
Data yang kurang berakibat pada sulitnya memilih teks sastra anak yang layak didiskusikan di kelas. Ini menjadi masalah serius jika kita tetap tidak beranggapan bahwa sastra anak itu ada dan perlu. Guru berkeharusan bekerja keras memilih teks sastra yang cocok untuk dipercakapkan di kelas. Kondisi ini menuntut persyaratan yang mesti terpenuhi oleh guru, yaitu keluasan bacaan sastra dan kemampuan menilai teks sastra berdasarkan kreteria tertentu; segi sastra, psikologi, kultural, dan pendidikan. moral, misalnya
Kedua, interaksi antara guru dan murid dalam situasi pembelajaran. Sastra itu bukan untuk diajarkan. Isi teks sastra sebaiknya ditawarkan, didialogkan, dipengalamankan. la mestinya dimaknai. Dengan prinsip-prinsip itu
(15)
pembelajaran bukan sesuatu yang statis. la akan menjadi dinamis. Guru dan murid berkesempatan luas mempercakapkan teks sastra, masalah ini yang kurang ditampakkan dalam pembelajaran sastra di sekolah dasar. Guru tidak berkehendak mengetahui bagaimana murid berinteraksi dengan teks sastra dan bagaimana murid menampakkan pemaknaannya. Padahal ini yang penting karena interaksi antara pembaca dan teks sastra bersifat personal. Kepersonalan ini akan menarik jika dibincangkan dengan sesama dalam situasi yang memungkinkan adanya keterbukaan dan kebebasan dalam bercerita. Tampaknya guru merasakan kesulitan untuk menampakkan respons personal murid karena berbagai alasan. Akan tetapi, cara yang tepat dapat menampakkan hal itu. Salah satu cara yang digunakan guru adalah pembelajaran melalui percakapan dalam suasana diskusi sastra. Pada kenyataannya guru telah melaksanakan percakapan dengan murid dalam kerangka tanya jawab. Akan tetapi, percakapan ini perlu ditajamkan sebagai media dalam pembalajaran yang bertujuan agar murid memperoleh pengetahuan atas usaha sendiri dengan bantuan guru.
Ketiga, pendekatan terhadap teks sastra. Ini masalah sikap guru terhadap teks. Bagaimana ia memperlakukan teks. Berdasarkan pengamatan penulis para guru sekolah dasar yang penulis amati memperlakukan teks sastra sebagai objek. Teks sastra diuraikan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk tugas dan dijelaskan hingga tuntas menurut pengetahuan para guru di hadapan murid. Para murid tidak berkesempatan menyampaikan apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya. Para murid berbicara sesuai dengan permintaan guru. Masalah yang muncul dalam situasi ini adalah bagaimana guru
(16)
13
memberikan kebebasan kepada murid untuk berinteraksi dengan teks sastra yang dibacanya..
Keempat, penciptaan kelas sebagai lingkungan belajar. Murid berkepribadian menarik. Setiap murid merupakan pribadi yang khas. Kemasing-masingan itu dapat menyibukkan guru yang berkeinginan semua murid aktif dalam situasi pembelajaran. Keberbedaan murid tersebut dapat difasilitasi dengan penyediaan kelas sebagai lingkungan belajar. Guru sebaiknya mempunyai kepercayaan bahwa para murid hadir di kelas karena mereka ingin belajar. Dengan cara seperti ini guru berkewajiban menciptakan kesempatan agar para murid dapat belajar dalam kondisi yang kondusif.
Kelima, bagaimana cara menggerakkan murid agar aktif berinteraksi
dengan teks sastra. Hal ini berhubungan dengan ketepatan bentuk tugas. Guru
biasanya mendisain tugas berdasarkan niat pengecekan pengetahuan murid tentang materi yang telah disampaikannya. Tugas itu biasanya dimaksudkan sebagai media kepentingan guru untuk mengetahui apakah murid telah membaca teks sastra atau belum. Tugas sebaiknya didesain untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan murid, apa yang sedang dirasakan murid.
Keenam, bentuk tanya jawab. Peran guru dalam pembelajaran di sekolah dasar masih dominan. Pergerakan arah pembelajaran banyak ditentukan oleh arahan guru. Diskusi akan sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam memilih pertanyaan yang diupayakan mendorong guru bergerak aktif dalam diskusi. Oleh karena itu, perlu dicari bentuk pertanyaan yang menyebabkan murid berpikir aktif-kritis sesuai dengan potensi yang ada pada diri murid.
Fokus penelitian itu adalah bagaimana cara menyelenggarakan diskusi sastra di sekolah dasar. Penyelenggaraan pembelajaran dengan cara diskusi di
(17)
sekolah dasar menjadi tantangan sendiri mengingat latar belakang murid yang belum terbiasa menyampaikan pendapatnya sendiri. Akan tetapi, kemungkinan keaktifan anak tetap ada. Murid sebenarnya mempunyai potensi untuk diaktifkan dalam situasi diskusi. Hal ini bergantung kepada kemampuan guru mengeluarkan potensi murid. Hal itu akan terwujud bila guru menggunakan dominasinya sebagai penentu situasi pembelajaran di kelas menggunakan cara yang tepat. Guru memperhitungkan berbagai aspek yang memungkinkan diskusi akan terwujud. Penyelenggaraan diskusi sastra secara matang dapat mengarahkan para murid berpengalaman bersastra.
Sastra sebagai sebuah karangan mengandung struktur dan isi. Cerita rekaan misalnya mengandung unsur intrinsik dan ektrinsik. Unsur-unsur itu berpotensi bermuatan masalah. Dalam karya sastra terdapat bagian-bagian yang dapat dijadikan masalah. Pemilihan sastra sebagai materi ajar perlu dilakukan. Langkah selanjutnya menentukan cara mengajar. Diskusi menjadi sarana penting untuk menguji pengetahuan murid, perhatian murid terhadap orang lain, cara pengungkapan gagasan dalam bentuk lisan, pembelajaran berkerja sama dengan orang lain, pembelajaran sumbang gagasan, pelatihan berpikir cepat, belajar memisahkan gagasan-gagasan. Diskusi sebagai model mengajar mempunyai kriteria tertentu yang berbeda dengan diskusi pada umumnya.
Apa yang harus diusahakan agar diskusi itu berjalan dengan lancar dan mendorong murid melibatkan diri dalam pengalaman bersastra? Pertanyaan yang disajikan bersumber pada teks sastra ditengarai berhubungan dengan murid, bersifat kontekstual.
Keterlibatan murid dalam diskusi perlu dipantau sebagai pengarahan jalannya diskusi dan pembelajaran pertanggungjawaban kebersamaan murid.
(18)
15
Oleh karena itu, instrumen menjadi bagian penting dalam pemantauan diskusi ini yang juga berfungsi sebagai alat penilaian.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas masalah pokok dalam penelitian ini adalah model diskusi bagaimanakah yang dapat menjadi sarana pengalaman bersastra murid.
Masalah pokok di atas dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian di bawah ini.
1. Dengan cara bagaimanakah agar teks sastra dapat mendorong pengalaman bersastra murid melalui diskusi?
2. Apakah bentuk respons murid dalam diskusi menggambarkan transaksi mereka dengan teks?
3. Apa yang terjadi dalam respons murid sebagai wujud pengalaman bersastra setelah mereka berdiskusi kelas?
4. Apa yang terjadi bila murid menyusun respons sebagai bentuk pengalaman bersastra secara berkelompok?
5. Bagaimanakah wujud diskusi sastra yang terjadi di kelas pada saat murid melakukan kegiatan bersastra?
6. Apakah penggunaan diskusi sastra sebagai media pengalaman bersastra dalam pembelajaran sastra di sekolah dasar efektif?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan model diskusi sebagai teknik pembelajaran sastra di sekolah dasar, yang efektif. Efektif diartikan bahwa model diskusi yang dikembangkan di samping mengarah pada bagaimana seharusnya memperlakukan karya sastra, bagaimana seharusnya para murid berinteraksi dengan karya sastra, juga menjadi sarana pengalaman bersastra. Penelitian ini
(19)
diharapkan menghasilkan bagaimana dialog sastra terwujud atau pola tanya jawab sastra di kelas, bagaimana mengungkapkan gagasan serta pemaknaan yang dilakukan murid, dan bagaimana hal-hal yang tidak terduga muncul dalam diskusi sastra.
1.4 Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Pembelajaran sastra di sekolah dasar menurut pengamatan penulis, selama ini belum ditangani dengan baik. Para murid mempunyai potensi diajak berapresiasi sastra dan berekspresi sastra. Guru bertugas memfasilitasi agar pengalaman bersastra murid itu menjadi terwujud dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu fasilitas untuk itu adalah diskusi. Diskusi di sekolah dasar menjadi bagian yang .penting untuk dikembangkan. Kebebasan berpikir dan keberbedaan pendapat dapat dilatihkan kepada murid dalam pembelajaran diskusi sastra. Pendiskusian karya sastra menjadi bagian penting yang dapat meneruskan pengembangan berpikir dalam berbagai aspek kehidupan murid dalam keseharian dan dalam mata pelajaran lainnya.
Secara teoretis hasil penelitian berkontribusi dalam hal pembelajaran sastra dengan model diskusi. Atas dasar ini diharapkan penelitian ini dapat mengungkapkan bagaimana sebaiknya tugas dalam pembelajaran sastra disusun, bagaimana tanya jawab dilaksanakan dalam diskusi sastra Melalui penelitian ini diharapkan tersusun teori tata cara pelaksanaan diskusi yang cocok untuk pembelajaran apresiasi sastra dan ekspresi sastra. Dari segi praktis diharapkan para guru dapat memperbaiki pembelajaran sastra berdasarkan hasil penelitian ini. Jangka panjangnya melalui penelitian diharapkan dapat berkontribusi dalam keterwujudan para murid mencintai sastra, menghargai sastra dengan beranggapan bahwa karya sastra itu berisi.
(20)
17
1.5 Asumsi
a. Membaca, diskusi, dan menulis tentang sastra membantu murid untuk lebih baik memahami makna teks dan bagaimana teks bermakna. Studi sastra menyediakan praktik dalam pemahaman membaca dan sangat membergunakan kosakata murid sebagaimana kemampuan mereka untuk sintesis dan berpikir kritis tentang materi yang mereka tanyakan untuk membaca (Beach & Marshall, 1991:17).
b. Beberapa studi menyebutkan bahwa terdapat data dalam keterlibatan proses pemahaman sastra produktif bersehubungan dengan problem kehidupan sehari-hari. (Langer,2000).
c. Pembaca pada umumnya merespons yang ditawarkan oleh teks, tetapi dalam waktu yang bersamaan dia harus menggambarkan pemilihan sumber simpanan-pengalamannya sendiri dan kesanggupan merasakan untuk menyiapkan dan menyusun substansi respons (Rosenblatt, 1978:43).
d. Inti pembelajaran adalah bagaimana membantu kinerja pembelajar sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya dan salah satu pembantuan untuk mewujudkannya adalah pembelajaran melalui percakapan. (Tharp & Galimore, 1991).
e. Murid lebih penting memahami kekuatan sastra, mereka mengerti kekuatan mempercakapkan tentang sastra (Probst, http://www. nputterson. net/probsl /um.html).
f. Sastra anak adalah alat yang berkekuatan untuk pembelajaran membaca kritis. (Collins, 1993).
(21)
1.6 Hipotesis
Model diskusi sastra efektif digunakan dalam pembelajaran sastra di kelas 5 sekolah dasar negeri Cirebon.
1.7 Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijangkau dan relevan akan dikemukakan di bawah ini. Penelitian ini berhubungan dengan diskusi sastra.
Marshall, Smagorinsky & Smith (1995) melaporkan hasil studi mereka tentang pembicaraan sastra dalam diskusi. Dari tiga studi yang mereka lakukan, dua di antaranya berhubungan dengan diskusi sastra, yaitu (1) teacher-led large
groups,(kelompok besar yang dipinpin guru) dan (2) teacher-orchestrated small group (kelompok kecil yang dipersiapkan guru. Berdasarkan hasil studi diperoleh
hasil bahwa terdapat perbedaan pelaksanaan diskusi pada kelas atas, kelas menengah, dan kelas rendah. Pada kelas atas diskusi menyerupai pertemuan pemain musik dan khususnya dalam hal berbagi kontribusi dan kesepakatan interpretasi. Murid-murid memberikan kontribusi dalam usaha saling melengkapi. Pembicaraan dalam diskusi berjalan dengan saling perhatian. Pada kelas menengah tanggapan juga muncul tegangan, tetapi tegangan diperluas karena wawasan sastra sebagai sarana personal pertumbuhan yang unik dirintangani oleh apa yang terdapat dalam diri mereka, hanya beberapa murid yang terlibat dalam sastra. Pada kelas rendah murid merasakan adanya tegangan bahkan.. Tujuan mereka mendorong murid dengan sastra pada tahap personal sering dirintangi oleh keduanya, yaitu oleh kekurangan persiapan murid dan oleh ketiadaan kemauan untuk terlibat pada sastra. Pada kelompok kecil diskusi berbeda dengan kelompok besar.
(22)
19
Godinho & Shrimpon (2002) melaporkan hasil penelitian tentang diskusi sastra dengan fokus pada (1) pengujian perbedaan pola-bicara yang digunakan anak laki-laki dan anak perempuan dalam diskusi kelompok dan tahap keterikataan mereka dalam proses diskusi, dan (2) mengidentifikasi pola-bicara guru yang mendukung dalam kelompok diskusi sastra. Penelitian ini dilaksanakan tiga sekolah yang berlokasi di bagian pinggir kota Melbourne. Dua puluh orang guru dan 120 murid terlibat dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis data, murid laki-laki mendominasi pembicaraan dalam diskusi. mengenai peran guru, guru sangat mengendalikan pembicaraan diskusi melalui dominasi mereka dalam pembicaraan. Guru berinisiatif bertanya, murid merespons pertanyaan murid, guru menilai atau meminta umpan balik respons murid.
Almasi, McKeown & Beck (1996) mengadakan studi untuk mengetahui pemahaman keterlibatan murid dan guru dalam usaha mengkonstruksi interpretasi bermakna selama diskusi sastra berlangsung di kelas. Data diperoleh dengan menggunakan videotape diskusi, catatan lapangan, dan interviu dengan murid-murid dan guru-guru dan data tersebut dianalisis secara induktif. Peristiwa keterlibatan pada saat guru dan murid menggunakan alat interpretatif untuk memilih, menghubungkan, dan menyusun informasi dalam teks untuk untuk mengkonstruksi interpretasi bermakna. Konteks kegiatan bersastra dan kultur kelas mempengaruhi keterlibatan membaca. Di sana terdapat kognitif, metakognitif, dan unsur motivasi keterlibatan amatan.
Roberts & Langer (2000) melaporkan hasil penelitian mengenai analisis diskusi sastra, yang melibatkan murid dengan pertimbangan matang dalam pengembangan, pendukungan, penganalisisan, dan pengayaan interpretasi mereka sendiri. Sebab pengajaran ini melibatkan guru yang mengundang dan
(23)
mendukung murid-murid dalam usaha mereka mencapai pemahaman mereka sendiri dan murid yang merespons dalam diskusi dengan bukti-bukti keterlibatan mereka dengan petikan teks itu berbeda dengan cara tradisional.
Hasil penelitian di atas menjadikan dasar penulis bahwa diskusi sastra dapat dilaksanakan dalam semua tingkat satuan pendidikan. Penelitian di atas belum menyentuh pendidikan dasar. Oleh karena itu, penulis terdorong melaksanakan diskusi sastra di tingkat dasar. Dari segi usia murid sekolah dasar mempunyai kemampan mengeluarkan pendapat. Menurut Piaget usia 7 – 11 ada pada usia operasional konkret. Pada usia itu anak-anak dapat berpikir abstrak sederhana, dapat mengklasifikasikan karakter secara sederhana sederhana. Murid mempunyai bekal untuk masuk ke wilayah diskusi sastra dalam perbincangan tentang cerita yang dibacanya.
(24)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Studi ini dilaksanakan dengan pendekatan penelitian dan pengembangan (research and develop-ment) yang mengacu pada Borg dan Gall (2003) dengan penyesuaian seperlunya sesuai dengan kondisi. Pendekatan penelitian tersebut menggunakan paradigma di bawah ini.
Gambar 3.1
PARADIGMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEGIATAN AWAL
PERENCANAAN R & D STUDI PENDAHULUAN
PENGEMBANGAN MODEL AWAL
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
PENGUJIAN OPERASIONAL
UJI COBA PRODUK AWAL
PENYUSUNAN ISI POKOK MODEL, MATERI, PROSEDUR SISTEM EVALUASI
UJI
LAP/OPERASIONAL
REVISI AKHIR UJI
ANALITIK
REVISI UJI LAP
TERBATAS REVISI
(25)
Dalam penelitian dan pengembangan ini, langkah-langkah tersebut dijabarkan secara lebih rinci sebagai berikut.
(2) Kegiatan awal meliputi beberapa kegiatan.
i. Pengumpulan informasi yang dilakukan dengan kegiatan observasi dan interviu. Pemerolehan informasi ditekankan pada pembelajaran sastra yang selama ini dilakukan di sekolah dasar. Observasi dilakukan secara langsung. Peneliti mengamati beberapa kali pembelajaran sastra. Interviu dilakukan dengan beberapa murid yang mengikuti pembelajaran sastra dan dengan guru pengajar. Observasi dan hasil interviu dimaksudkan sebagai dasar pemikiran dalam me-nentukan model diskusi sebagai teknik pembelajaran sastra sebagai produk yang diharapkan. Informasi sebagai dasar analisis kebutuhan. Apa yang dibutuhkan guru agar pembelajaran sastra bernuansa integrasi dengan keterampilan berbahasa dan sesuai dengan kognisi anak.
ii. Kajian pustaka. Kajian pustaka diarahkan pada kajian teori dan hasil riset. Eksplorasi teori dilakukan untuk mencari dasar penetapan model diskusi sebagai teknik mengajarkan sastra di sekolah dasar. Kajian teori meliputi (a) sastra dan anak, (b) pembelajaran sastra(c) pengalaman bersastra (d) diskusi sastra, (e) lingkungan belajar kolaboratif, dan (f) asesmen kinerja. Di samping itu, beberapa hasil riset yang berhubungan dengan pembelajaran sastra berdasarkan diskusi sastra akan dikaji. Kajian terhadap hasil riset sebagai pemerlengkapan dan dasar pengembangan model diskusi.
(26)
71
(2) Perencanaan penelitian dan pengembangan.
i. Penetapan jenis keterampilan yang akan dikaji. Pembelajaran sastra di sekolah dasar pada intinya bernuansa pengalaman bersastra yang mengandung dua hal penting, yaitu apresiasi sastra dan ekspresi sastra. Kedua kegiatan itu diintegrasikan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji apresiasi sastra melalui keterampilan berbicara (berdiskusi) dengan melibatkan pembacaan dan penulisan setelah dilaksanakan diskusi, kegiatan penyimakan dan pembicararaan pada saat diskusi dilaksanakan. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan ekspresi sastra yang meliputi kegiatan (1) menceritakan ulang,(2) memainkan peran, dan (3) menyusun selesaian. Kajian ditekankan pada (1) diskusi sastra yang dapat dilihat unsur-unsur pendukung diskusi tersebut, yaitu cara bertanya jawab, cara berkerja sama (kolaborasi), cara memperhatikan, cara berpikir, cara bersikap dan (2) pengaruh apa yang akan muncul pada pengalaman bersastra setelah diskusi dilaksanakan dan pada saat diskusi Unsur-unsur itu akan ditelaah dengan cara menyiapkan instrumen observasi diskusi dan istrumen pascadiskusi.
ii. Pengindentifikasian kegiatan pembelajaran dalam rangka penelitian dan pengembangan.
(3) Pengembangan model awal. Kegiatan ini meliputi (a) materi pembelajaran, (b) prosedur pembelajaran, dan (c) sistem evaluasi. Bahan ajar ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria dan dikaitkan dengan beberap aspek. Bahan ajar didasarkan pada kesesuaian dengan kognisi
(27)
anak, kualitas sastra anak, berkemungkinan mendorong anak berpikir kreatif dan mengembangkan imajinasinya. Kriteria tersebut sebagai dasar penentuan bahan ajar, materi sastra. Murid disiapkan dengan diberikan materi sederhana tentang alur dan karekter. Murid memerlukan pengetahuan itu agar mereka mampu mengapresiasi karya sastra yang dibacanya. Kajian sebagai kegiatan apresiasi sastra, akan dirahkan pada alur dan karakter. Unsur intrinsik tersebut sebagai instrumen agar murid berpedoman dalam berdiskusi yang akan diarahkan pada pemahaman isi, dihubung-kan dengan pengetahuan siap para murid, pengalaman, dan perasaan.
Pembelajaran sastra dilakukan dengan diskusi. Model diskusi inilah yang akan dikembangkan sebagai teknik mengajarkan sastra di sekolah dasar. Beberapa perangkat yang diharapkan dapat memperlancar diskusi disiapkan. Sebelum diskusi para murid dibekali dengan tata cara diskusi, tata cara penulisan catatan sastra, membaca teks sastra, dan cara merespons karya sastra. Adapun prosedur pembelajaran dimulai dengan pemilihan teks sastra sebagai bahan diskusi. Pemilihan teks sastra didasarkan pada petunjuk kurikulum 2004. Langkah selanjutnya membagikan cerita anak terpilih kepada murid. Mereka diminta mencatat beberapa bagian-penting yang akan diajukan dalam diskusi. Pada bagian ini guru telah merancang bentuk tugas pembelajaran. Sebelum diskusi para murid diminta mengisi kuis sekitar cerita pendek. Pertanyaan-pertanyaan untuk mengecek kegiatan baca. Di kelas guru membimbing murid dalam berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Para murid diminta mengemukakan catatan mereka sebagai bahan
(28)
73
diskusi. Pertanyaan-pertanyaan guru bersifat terbuka (open-ended
question).
Penilaian menggunakan asesmen kinerja. Keterampilan yang dinilai mencakup aktivitas diskusi, kualitas respons tulis dan respons lisan. (4.) Uji coba produk awal yang mencakup kegiatan (a) interviu dengan
beberapa guru bahasa Indonesia, para pakar pendidikan, para pakar sastra dan (b) uji analitik oleh guru bahasa Indonesia, ahli PBM, dan para pengawas sekolah. Langkah ini dilanjutkan dengan revisi.
(5.) Pengujian produk utama. Pengujian dilakukan secara terbatas. Diskusi sastra dilakukan dengan murid yang terbatas. Uji coba akan dilaksanakan beberapa kali. Percobaan ini mengarah pada revisi produk secara operasional.
(6.) Pengujian Lapangan secara operasional, mencakup kegiatan pemberlakuan model pada 4 sekolah dasar negeri di Cirebon.. Penelitian pmberlakuan dimaksudkan untuk menguji kefektifan model diskusi sastra. Penelitian eksperimen dilakukan dengan menggunakan rancangan static-group comparasion design sebagai berikut.
X O O
(Gall & Borg, 2003:403) Keterangan:
X : Perlakuan (model diskusi sastra) O : observasi pascaperlakuan (postes).
(29)
(7.) Kegiatan penyusunan laporan di dalamnya termasuk penyusunan model akhir dan rekomendasi.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh sekolah dasar negeri yang berada di Kota Cirebon. Jumlah sekolah dasar negeri di Cirebon adalah 137 buah yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu di Kecamatan Kejaksan 32 buah, di Kecematan Kesambi 35 buah, di Kecamatan Lemahwungkuk 21 buah, di Kecamatan Pekalipan 12 dan di Kecamatan Harjamukti 37 buah
3.2.2 Sampel
Sampel ditentukan dengan menggunakan sampel wilayah dan bertujuan (Arikunto, 1989:121). Setiap kecamatan diambil satu sekolah dengan kriteria yang sama, yaitu sekolah dasar negeri yang bertipe A. Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis menentukan sampel penelitian sebagai berikut.
1. Sekolah Dasar Negeri Bima yang berada di Kecamatan Kesambi. 2. Sekolah Dasar Negeri Kebon Baru IV yang berada di Kecamatan
Kajaksan.
3. Sekolah Dasar Negeri Pengampon I yang berada di Kecamatan Lemahwungkuk
4. Sekolah Dasar Negeri Pulasaren 2 yang berada di Kecamatan Pekalipan
5. Sekolah Dasar Negeri Galunggung yang berada di Kecamatan Harjamukti
(30)
75
3.3 Instrumen
3.3.1 Rencana Pembelajaran
Rencana pembelajaran disusun setiap kali pembelajaran. Setiap kelas dilakukan 6 kali pertemuan. Skenario pembelajaran berisi garis besar pembelajaran yang dijadikan pegangan guru. Guru diberikan keleluasan untuk memodifikasi dan berimprovisasi pada saat pembelajaran berlangsung.
Pada intinya rencana pembelajaran disusun berdasarkan tahapan model di bawah ini.
(31)
Gambar 3.2 Model Diskusi Sastra Edisi Pertama Langkah I. Membaca Teks
Langkah ini ditandai dengan beberapa kegiatan di bawah ini.
1. Membaca teks. Murid membaca teks yang sudah disiapkan. Sebelum murid membaca teks guru mengadakan pengecekan terhadap pengetahuan dan pengalaman yang dipunyai murid yang Langkah I : Prabaca
Guru mengecek kesiapan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki murid.
Langkah IX : refleksi Murid menyampaikan pendapat mengenai kesan pengalaman bersastra Langkah VII : Diskusi kelas
(laporan diskusi kelompok) Perwakilan kelompok menyampaikan/memperaga kan hasil diskusi kelompok Langkah V : Menulis respons 2
Tugas ini dikerjakan di rumah. Murid menulis respons 2
Langkah III L Menulis respons 1
Murid menjawab beberapa pertanyaan yang
berhubungan dengan teks
Langkah VIII : Diskusi kelas (membahas hasil diskusi kelompok) Langkah VI : Diskusi kelompok
Murid berdiskusi untuk respons lanjutan
Langkah IV : diskusi kelas Murid mendiskusikan respons I. Guru membim-bing dengan pertanyaan terbuka
Langkah II : Membaca teks Murid membaca teks yang telah disiapkan
(32)
77
berhubungan dengan teks yang akan dibacanya. Kegiatan ini dilaksanakan dengan teknik percakapan.
Dalam tahap ini guru melaksanakan dua kegiatan penting, yaitu sebelum murid membaca dan pada saat murid membaca. Sebelum murid membaca guru melaksanakan kegiatan
a. Mengaktifkan pengetahuan murid yang berhubungan dengan teks yang akan dibacanya.
b. Menyediakan latar belakang informasi yang penting
c. Mendiskusikan beberapa kosa kata kunci atau kata-kata yang mungkin menyulitkan murid.
d. Menyampaikan tujuan membaca dengan cara percakapan. Pada saat membaca guru melaksanakan kegiatan berikut. a. Membimbing cara membaca sastra secara efektif b. Membimbing murid dengan bertanya dan aktivitas
2. Menuliskan respons. Pada tahap ini murid melakukan kegiatan menuliskan responsnya terhadap teks sastra yang dibacanya. Penulisan respons Kegiatan bersastra murid dimbimbing dengan pertanyaan terbuka Pertanyaan yang disiapkan disesuaikan dengan teks yang dibaca, ditekankan pada ekplorasi isi dan dihubungkan dengan pengalaman dan pengetahuan murid dan mengarah pada pengalaman bersastra murid. Secara garis besar pertanyaan berhubungan dengan topik di bawah ini.
a. Menyusun ringkasan yang terdiri atas unsur (1) informasi yang relevan, (2) tokoh utama, (3) konflik, (4) peristiwa utama, dan (5) resolusi/solusi.
(33)
b. Memilih salah satu tokoh cerita. Dalam tahap ini murid melakukan kegiatan bersastra (1) murid diminta mencatat minimal dua sifat tokoh yang dipilihnya yang mirip dengan dirinya, dan (2) murid diminta mendaftarkan minimal dua sifat tokoh yang dipilihnya yang sangat berbeda dengan dirinya. Untuk memperkuat jawaban, murid diminta menyertakan bukti dengan mengutip bagian tertentu dari teks.
c. Menyusun peta cerita. Dalam kegiatan ini murid diminta menemukan (1) latar, (2) tokoh utama, (3) konflik, (4) peristiwa utama, dan (5) resolusi/solusi. Kemudian menyusun dalam rangkaian yang berhubungan kausalitas.
Semua respons murid ditulis dalam tugas pembelajaran yang sudah disiapkan.
Langkah II; Berdiskusi
1. Fokus pembicaraan. Diskusi ini sebagai sarana menyampaikan respons. Para murid diminta menyampaikan responsnya yang telah disiapkan setelah membaca teks. Murid diajak untuk menyampaikan responsnya. Urutan pembicaraan dalam diskusi disesuaikan dengan tugas belajar yang telah dikerjakan murid pada kegiatan sebelumnya. 2. Peran guru. Peran guru yang penting dalam diskusi adalah sebagai
fasilitator. Di bawah ini dirincikan perilaku guru sebagai fasilitator. a. Mendengarkan; mengikuti butir-butir yang dibicarakan murid,
bukan pikiran guru.
b. Mengamati; perhatian tidak diarahkan kepada isi, tetapi pada perilaku murid, misalnya siapa memperhatikan siapa, siapa yang
(34)
79
memberikan respons, siapa yang tidak memperhatikan, bagaimana cara menyampaikannya, dan sebagainya.
c. Menyediakan waktu jeda dan waktu diam. Murid memerlukan waktu berpikir. Kita harus melatih murid untuk berpikir kritis, menyiapkan jawaban-jawaban.
d. Mencatat dan memverifikasi apa yang dikatakan murid. Secara periodik diringkas atau dituliskan di papan tulis yang berintikan pengertian guru tentang apa respons para murid. Pada saat menulis di papan tulis gunakan kata atau frase yang singkat. Tunjukkan hubungan gagasan-gagasan dengan menggunakan diagram, misalnya.
e. Meminta contoh atau ilustrasi. Hampir semua orang menyetujui bahwa penggunaan contoh membantu belajar. Materi yang lebih kompleks dan abstrak dapat terbantu dengan ilustrasi.
f. Mendorong dan mengakui kontribusi murid. Keikursertaan murid dalam diskusi meningkatkan nilai mereka. Memberikan komentar positif atas ucapan murid mendorong mereka terus aktif. Pada saat mereka berpartisipasi, berpendapat panggillah nama mereka.. Dengan cara itu akan terjadi dialog antara guru dan murid.
g. Menyediakan sebuah ringkasan atau konklusi. Guru meng-ambil beberapa menit membantu ingatan murid dengan menyimpulkan apa yang dibicarakan dalam diskusi itu.
Di samping itu, guru pada saat diskusi berlangsung perlu melakukan tindakan sebagai berikut agar murid berpartisipasi.
(35)
h. Menciptakan perkiraan partisipasi. Guru harus mengatur tempat duduk yang memungkinkan mudah terjadi kontak antara murid juga guru mudah mengamati perilaku murid. Guru harus menarik murid ke arena pembicaraan misalnya dengan mengenalkan murid kepada teman-temannya atau menanyakan nama para murid.
i. Menjelaskan bagaimana partisipasi mempengaruhi nilai. j. Menghindari selalu malihat murid yang sedang berbicara
secara langsung. Guru harus mengetahui juga reaksi para murid
lain ketika salah seorang murid sedang berbicara. Oleh karena itu, penglihatan guru tetap harus menyebar, tidak hanya terfokus kepada murid yang sedang berbicara.
Pada saat diskusi berlangsung guru juga perlu memperhatikan jika muncul pertanyaan murid. Beberapa hal perlu diperhatikan oleh guru. k. Mengulang pertanyaan dengan cara memparafrasekannya.
Tindakan itu mempunyai dua tujuan, (1) murid yang lain dapat mendengarkan pertanyaan itu, dan (2) mengecek pemahaman guru tentang pertanyaan itu, jika murid yang bertanya berpendapat belum lengkap, ia akan mengulang lagi pertanyaannya dengan memperluasnya.
l. Mengalihkan pertanyaan. Guru dapat meminta murid lain untuk merespons pertanyaan itu, atau mungkin guru mengal-ihkan pertanyaan kepada kelas secara umum, meminta murid menjawab atau memberikan komentar, atau memperluas isu.
(36)
81
m. Meminta pertanyaan yang menyelidik. Guru mengarahkan murid menanggapi pada bagian tertentu.
n. Meningkatkan diskusi di antara murid. Guru berusaha meli-batkan murid untuk mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan temannya.
Pada saat mengajukan pertanyaan kepada murid, guru perlu memperhatikan beberapa hal berikut.
o. Gunakan pertanyaan terbuka. p. Ajukan pertanyaan konvergen.
Langkah III ;Kegiatan Pascadiskusi
Setelah berdiskusi murid melakukan dua kegiatan. Kegiatan pertama menulis repons kedua. Bentuk pertanyaan berbeda dengan respons pascabaca, tetapi intinya sama. Kegiatan kedua menindaklanjuti dari respons kedua yang diawali dengan diskusi kelompok. Tindak lanjut disesuaikan dengan isi respons yang telah dilakukan. Hubungannya dapat diurutkan sebagai berikut. Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan refleksi murid tentang pengalaman bersastra.
Tabel 3.1
Hubungan antarrespons
No. Respons Pascadiskusi Tindak Lanjut Respons Pasca diskusi
1. Menyusun ringkasan Menceritakan ulang 2. Memilih Tokoh Memerankan tokoh
3. Menyusun peta cerita Menyusun selesaian cerita versi sendiri
(37)
Untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan murid ditempuh empat langkah, yaitu (1) menilai respons tertulis setelah mereka membaca teks, (2) kegiatan diskusi, (3) respons kedua setelah mereka mengikuti diskusi, dan (4) respons tindak lanjut dari respons tulis yang meliputi, menceritakan kembali, memerankan tokoh yang dipilih, dan menyusun selesaian versi sendiri.
Format Tugas Pembelajaran Murid
Format tugas murid terdiri atas 6, yaitu (1) menyusun ringkasan, (2) menceritakan ulang, (3) memilih tokoh, (4) memerankan adegan peristiwa, (5) menyusun peta cerita, dan (6) mencipta peristiwa dalam bentuk dialog. Di bawah ini disajikan format yang dimaksud.
MENYUSUN RINGKASAN
Tugas Pembelajaran I
Judul Cerita : ………..
Pengarang : ………
……… ... ... ... ... ...
Ringkasan yang baik
1.mengandung peristiwa utama dan peristiwa pendukung yang terdapat dalam cerita.
2.mengandung tokoh utama dan tokoh bawahan 3.mengandung konflik dan solusinya
(38)
83
... ... ...
N a m a :
Kelas :
SD :
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK
1. Nama Kelompok :
2. Pokok Pembicaraan : Menyusun rangkaian peristiwa untuk penceritaan ulang
3. Nama Anggota : 1
2 3 4 5 6 4. Rangkaian peristiwa :
No. Peristiwa Tokoh yang Terlibat
Tempat Suasana
Menceritakan ulang harus memenuhi syarat berikut. 1. Menceritakan ulang mengandung unsur alur cerita secara lengkap
2. Menceritakan ulang mengandung tokoh utama yang terlibat dalam konflik utama cerita
3. Menceritakan ulang mengungkapkan cerita inti dan solusinya
(39)
Memilih Tokoh
Judul Cerita : ………. Pengarang : ……… Pilihlah tokoh cerita yang berkesan bagi kalian. Catat sekurang-kurangnya dua persamaan sifat tokoh yang kalian pilih dengan sifat kalian atau dengan orang yang kalian kenal. Catat sekurang-kurangnya dua perbedaan sifat tokoh yang kalian pilih dengan sifat kalian atau dengan orang yang kalian kenal. Perkuat jawaban kalian dengan bukti yang dikutip dari teks.
Tokoh Cerita yang Dipilih
Alasan Sifat Tokoh Cerita yang
Dipilih Kutipan dari Cerita untuk memperkuat Sifat Tokoh
Memilih tokoh harus memenuhi syarat berikut. 1.Memilih tokoh dengan menggambarkan sifat tokoh tersebut dengan rinci 2. Menggunakan bukti dari teks dengan lengkap
3.Menyebutkan dua sifat persamaan antara tokoh yang dipilihnya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya
4. Menyebutkan dua sifat perbedaan antara tokoh yang dipilih-nya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya
(40)
85
Nama yang Dibandingkan
dengan Tokoh (Jika dibandingkan dengan orang lain sebutkan hubungannya, misalnya teman, paman, tetangga)
Persamaan 1. 2. Perbedaan 1. 2.
N a m a :
Kelas :
SD :
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK
4. Nama Kelompok :
5. Pokok Pembicaraan : Memerankan tokoh
6. Nama Anggota : 1
2 3 4 5 6 5. Adegan yang Dipilih :
6. Pemeran :
Memerankan tokoh harus memenuhi syarat di bawah ini. 1. Memerankan tokoh yang dipilihnya sesuai dengan sifat tokoh itu. 2. Memerankan tokoh itu disertai dengan gerak dan mimik yang tepat. 3. Memerankan tokoh disertai dengan ucapan yang dikarangnya sendiri
secara tepat
4. Memerankan tokoh yang dipilihnya dengan sifat yang telah diramu dengan sifat yang dimiliki murid dengan tepat
(41)
No.
N a m a
Tokoh yang Diperankan
7. Agar pemeranan tokoh berjalan dengan baik, sebaiknya kelompok menentukan salah satu anggotanya sebagai pengatur adegan/sutradara atau narator. Kelompok menyiapkan naskah sederhana yang akan dibacakan narator.
8. Naskah sederhana disusun berdasarkan format di bawah ini!
Adegan Uraian
1
2
3
(42)
87
Menyusun Peta Cerita
Judul Cerita : ………
Pengarang : ………...
Konflik
Peristiwa Utama; Tulis 4 peristiwa dalam urutan yang teratur
Solusi
(43)
2. Apakah solusi yang diciptakan pengarang sesuai dengan harapan kalian? Tuliskan alasannya.
……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… 3. Buatlah saran kepada pengarang cara menyelesaikan cerita seperti yang
kamu harapkan.
……… ……….. ……… ……… ……… ……… ………
N a m a :
Kelas :
SD :
Peta cerita yang baik mengandung unsur-unsur di bawah ini. 1. Latar dan tokoh utama
2. Konflik utama cerita.
3. Minimal empat buah peristiwa utama
(44)
89
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK
Nama Kelompok :
Pokok Pembicaraan : Menyusun dialog
Nama Anggota : 1.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perhatikan adegan terakhir cerita “Guru Kami Tersayang”. Ada beberapa peristiwa sebelum cerita itu berakhir.
1. Anak-anak kelas V menolak Bu Anna untuk menjadi guru kelas mereka. Hanya Tonton yang setuju.
2. Anak-anak kelas V menyesal telah menolak Bu Anna setelah mengetahui yang sebenarnya tentang Bu Anna.
3. Anak-anak kelas V mengejar Bu Anna. Tetapi Bu Anna telah pergi.. A. Sekarang diskusikan dengan teman-teman kamu untuk menyusun peristiwa
dalam bentuk dialog berdasarkan cerita itu, misalnya dialog antara Bu Anna dengan keluarganya (kalian ciptakan tokoh lain, misalnya dalam keluarga itu ada orang tua (ibu dan bapak) Bu Anna, adik Bu Anna, . Dialog minimal teridiri atas 4 tokoh. Kalian boleh menggunakan tokoh cerita itu, misalnya apa yang dibicarakan oleh Tonton, Rani, Susan, Azzam.
B. Setelah kalian menyusun dialog itu, kalian bacakan di depan kelas. C. Format dialog
(45)
Tugas murid dinilai dengan menggunakan rubrik/kriteria penilaian. Secara rinci kriteria penilaian disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Peristiwa dalam bentuk dialog harus memenuhi syarat di bawah ini. 1. Peristiwa secara jelas berhubungan dengan cerita.
2. Peristiwa mengandung konflik baru dan berhubungan dengan cerita asal.
3. Peristiwa mengandung unsur sebab-akibat secara jelas. 4. Peristiwa mengandung solusi secara jelas
(46)
91
Tabel 3.2
Kriteria Penilaian Respons Ringkasan
Skor
8-10 5-7 2-4
1. Ringkasan berisi peristiwa utama dan peristiwa pendukung yang terdapat dalam cerita.
1. Ringkasan
mengandung tokoh utama dan beberapa peristiwa pendukung
1. Ringkasan berisi bebera-pa peristiwa yang terjadi dalam cerita.
2. Ringkasan
mengandung tokoh utama dan tokoh bawahan
2. Ringkasan berisi kegiat-an beberapa tokoh dalam cerita.
2. Ringkasan berisi kegiat-an tokoh utama dalam cerita 3. Ringkasan mengandung konflik dan solusinya. 3. Ringkasan mengandung konflik
3. Ringkasan tidak mengandung konflik
4. Ringkasan menggunakan kalimat sendiri
4. Ringkasan sebagian besar menggu-nakan kali-mat sendiri
4. Ringkasan sebagain kecil menggunakan kalimat sendiri
Tabel 3.3
Kriteria Penilaian Respons Menceritakan Ulang
Skor
8-10 5-7 2-4
1. Menceritakan ulang mengandung unsur alur cerita secara lengkap
1. Menceritakan ulang mengandung unsur alur tetapi kurang lengkap
1. Menceritakan ulang tidak mengandung unsur alur
2. Menceritakan ulang mengandung tokoh utama yang terlibat dalam konflik utama cerita
2. Menceritakan ulang mengandung tokoh utama yang terlibat pada konflik tambahan
2. Menceritakan ulang mengandung tokoh utama tetapi tidak terlibat dalam konflik
3. Menceritakan ulang mengungkapkan cerita inti dan solusinya
3. Menceritakan ulang mengungkapkan cerita inti tetapi tidak disertai dengan solusi
3. Menceritakan ulang tidak mengungkapkan cerita inti.
4. Menceritakan ulang menunjukkan kemampuan menyusun cerita
4. Menceritakan ulang kurang menunjukkan kemampuan menyusun cerita.
4. Menceritakan ulang tidak menunjukkan kemampuan menyusun cerita
(47)
Tabel 3.4
Kriteria Penilaian Respons Memilih Tokoh
Skor
8-10 5-7 2-4
1. Murid memilih tokoh dengan
menggambarkan sifat tokoh tersebut dengan rinci
1. Murid memilih tokoh dengan
menggambarkan sifat tokoh tersebut tetapi kurang rinci
1. Murid memilih tokoh dengan
menggambarkan sifat tokoh tersebut
2. Murid meng-gunakan bukti dari teks de-ngan lengkap
2. Murid menggunakan bukti dari teks tetapi tidak lengkap
2. Murid tidak
menggunakan bukti dari teks,
3. Murid menyebutkan dua sifat persa-maan antara tokoh yang dipilihnya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya.
3. Murid menye-butkan satu sifat persama-an persama-antara to-koh yang dipi-lihnya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya
3. Murid tidak
menyebutkan sifat persama-an antara to-koh yang dipi-lihnya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya 4. Murid menye-butkan
dua sifat perbedaan antara tokoh yang dipilih-nya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya
4. Murid menye-butkan satu sifat perbedaan antara tokoh yang dipilihnya dengan dirinya atau dengan orang yang
dikenalnya
4. Murid tidak
menyebutkan sifat perbedaan antara tokoh yang dipilihnya dengan dirinya atau dengan orang yang dikenalnya
Tabel 3.5
Kriteria Penilaian Respons Memerankan Tokoh
Skor
8-10 5-7 2-4
1. Murid memerankan tokoh yang dipilihnya sesuai dengan sifat tokoh itu.
1. Murid memerankan tokoh yang dipilihnya kurang sesuai dengan sifat tokoh itu.
1. Murid memerankan tokoh yang dipilih-nya tidak sesuai dengan sifat tokoh itu.
2. Murid meme-rankan tokoh itu disertai dengan gerak dan mimik yang tepat.
2. Murid memerankan tokoh itu disertai dengan gerak dan mimik yang kurang tepat.
2. Murid memerankan tokoh itu disertai dengan gerak yang tidak tepat.
(48)
93
Lanjutan Tabel 3.5 3. Murid memerankan
tokoh disertai
dengan ucapan yang dikarangnya sen-diri secara tepat
3. Murid memerankan tokoh disertai dengan ucapan yang
dikarangnya sen-tetapi kurang tepat
3. Murid memerankan tokoh disertai dengan ucapan yang dika-rangnya sendiri, tetapi tidak tepat
4. Murid memerankan tokoh yang dipilih-nya dengan sifat yang telah diramu dengan sifat yang dimiliki murid dengan tepat
4. Murid memerankan tokoh yang dipilih-nya dengan sifat yang telah diramu dengan sifat yang dimiliki murid, tetapi kurang tepat
4. Murid memerankan tokoh yang dipilih-nya dengan sifat yang telah diramu dengan sifat yang dimiliki murid, tetapi tidak tepat
Tabel 3.6
Kriteria Penilaian Respons Menyusun Peta Cerita
Skor
8-10 5-7 2-4
1. Peta cerita berisi latar dan tokoh utama
1. Peta cerita berisi tokoh utama
1. Peta cerita tidak berisi latar dan tokoh utama 2. Peta cerita berisi
konflik utama cerita.
2. Peta cerita berisi konflik cerita.
2. Peta cerita tidak berisi konflik cerita. 3. Peta cerita berisi 4
buah peristiwa utama
3. Peta cerita berisi 3 buah peristiwa utama,
3. Peta cerita berisi 2 buah peristiwa utama,
4. Peta cerita berisi solusi yang
disampaikan penulis secara lengkap
4. Peta cerita berisi solusi yang disampaikan tetapi penulis.tetapi kurang lengkap
4. Peta cerita tidak berisi solusi yang disampaikan penulis.
(49)
Tabel 3.7
Kriteria Penilaian Mencipta Peristiwa dalam Bentuk Dialog
N I L A I
8-10 5-7 2-4
1. Peristiwa secara jelas berhubungan dengan cerita. 2. Peristiwa
mengan-dung konflik baru dan berhubungan dengan cerita asal.
3. Peristiwa
mengandung unsur sebab-akibat secara jelas.
4. Peristiwa
mengandung solusi secara jelas
1. Peristiwa
berhubungan dengan cerita tetapi kurang jelas.
2. Peristiwa meng-andung konflik lanjutan.
3. Peristiwa meng-andung unsur sebab-akibat, tetapi kurang jelas.
4. Peristiwa
mengandung solusi tetapi kurang jelas
1. Peristiwa
berhubungan dengan cerita, tetapi tidak jelas
2. Peristiwa
mengandung konflik, tetapi tidak
berhubungan dengan cerita asal.
3. Peristiwa
mengandung unsur sebab-akibat, tetapi tidak jelas.
4. Peristiwa
mengandung solusi, tetapi tidak jelas
3.3.3 Format Observasi
Tabel 3.8
FORMAT OBSERVASI GURU
HARI, TANGGAL :
PUKUL :
Jenis Kegiatan
Rincian Kegiatan Guru Ya Tdk Respons Murid Prabaca 1. Mengaktifkan pengetahuan murid
yang berhubungan dengan teks yang akan dibacanya
2. Menyediakan latar belakang informasi yang penting
3. Menjelaskan kata kunci atau kata yang sulit dipahami murid.
4. Menyiapkan tujuan membaca
Saat baca 1. Membimbing cara membaca sastra secara efektif
2. Membimbing murid dengan bertanya dan aktivitas
Diskusi 1. Mendengarkan 2. Mengamati
(50)
95
Lanjutan tabel 3.8
3. Menyediakan waktu jeda dan waktu diam
4. Mencatat dan memverifikasi 5. Meminta contoh atau ilustrasi
6. Menyediakan sebuah ringkasan atau konklusi
7. Menciptakan perkiraan partisipasi 8. Menghindari selalu malihat murid
yang sedang berbicara secara langsung
9. Mengulang pertanyaan dengan cara memparafrasekannya
10. Mengalihkan pertanyaan
11. Meningkatkan diskusi di antara murid 12. Menggunakan pertanyaan terbuka 13. Mengajukan pertanyaan konvergen
Tabel 3.9
Format Pengamatan Kegiatan Diskusi Murid
HARI, TANGGAL :
PUKUL :
No. Perilaku Murid Frekuensi % Keterangan
1. Positif 1. Aktif berbicara 2. Menyampaikan
komentar yang relevan.
3. Menggunakan bukti.
4. Menarik murid yang lain ke dalam diskusi 2. Negatif 1. Tidak
memperhatikan atau
mengganggu peserta lain. 2. Interupsi 3. Menyampaikan
komentar yang tidak relevan 4. Memonopoli 5. Menyerang
pribadi peserta lain.
(51)
3.4 Analisis Data
Data berbentuk hasil kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model diskusi sastra yang diperoleh dengan instrumen skenario pembelajaran. Data kedua merupakan hasil pembelajaran murid setelah mengikuti diskusi sastra. Penulis jelaskan hubungan instrumen dan data dalam bentuk tabel di bawah ini
Tabel 3.10 Instrumen dan Data
NO. INSTRUMEN DATA JENIS DATA
1. Rencana pembelajaran Hasil kegiatan belajaran mengajar
Kualitatif 2. Format observasi guru Kegiatan guru di kelas Kualitatif 3’ Format observasi
murid
Kegiatan belajar murid pada saat diskusi
Kualitatif 4’ Format tugas
pembelajaran
Respons murid 1. Ringkasan
2. Penceritaan ulang 3. Pilihan tokoh 4. Bermain peran 5. Peta cerita
6. Peristiwa dalam bentuk dialog
Kualitatif
5. Format tugas pembelajaran
Skor respons murid Kuantitaif
Penulis menggunakan alat perekam audio dan perekam audio-visual untuk mendukung keakuratan data.
Data penelitian ini kuantitatif yang berbentuk skor dianalisis dengan menggunakan statistik dengan memanfaatkan komputer. Data kualitatif yang berbentuk naratif dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif-kualitatif..
(52)
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan
1. Pemerlakuan terhadap Teks
Teks dalam pembelajaran sastra menjadi inti. Kesalahan guru dalam menyajikan teks kepada murid akan berakibat pada kepasifan murid. Pembelajaran sastra harus selalu membincangkan teks. Dari teks itulah para murid diharapkan banyak belajar tentang berbagai hal. Kondisi kelas dapat menjadi arah pembelajaran berikutnya. Kondisi apa pun yang dikehendaki guru seyogyanyalah dimulai dengan apa yang diperbuatnya pada awal pembelajaran. Pembimbingan guru menjadi penentu pemahaman materi pembelajaran. Apa yang terjadi dengan pembalajaran sastra di sekolah dasar, sangat tergantung pada guru. Arah penentu kegiatan bersastra adalah gerak guru pada saat mengenalkan teks sastra. Teks sastra mesti dikenalkan kepada murid. Oleh karena itu, berbagai cara digunakan guru agar terjadi kontak antara murid dan teks sastra. Pembelajaran yang berhasil diawali dengan bagaimana memulai mengajak murid masuk ke dalam skenario pembelajaran yang telah disusun guru. Kontrol sepenuhnya ada pada guru. Apalagi di sekolah dasar sepenuhnya dikendalikan guru. Guru menjadi fokus pembelajaran .
Prinsip bahwa muridlah yang harus masuk ke dalam teks diterapkan guru di kelas percobaan. Pembukaan dengan mengenalkan gambar kepada murid merangsang murid untuk masuk ke wilayah teks. Siapa yang tidak senang gambar, apalagi murid sekolah dasar yang masih terbilang anak-anak. Gambar
(53)
bagi mereka memudahkan berbicara. Keterhubungan antara yang dilihat dengan yang dibayangkan akan terjalin dengan mudah. Tampaknya seperti itu. Akan tetapi, kenyataannya tidak selalu berjalan dengan mulus.
Gambar digunakan sebagai media bagi guru untuk membawa murid ke wilayah teks. Kegiatan bersastra dapat diterjadikan jika murid memahami teks sastra. Jadi, guru menyadari sulitnya mengajak murid ke dunia teks. Gambar yang tampaknya disengajakan pengarangnya dipasang sebagai bagian dari adegan cerita itu tidak dengan otomatis dapat dicerna murid. Guru memerlukan tenaga ekstra untuk mengajak murid ke dunia teks. Pikiran dan emosi murid harus dipaksa masuk ke dunia teks.
Pertanyaan dapat menggerakkan murid melangkah pada kegiatan tertentu. Arahnya telah ditentukan guru. Murid dapat bergerak ke mana pun bergantung pada apa yang dipunyainya; perasaan apa yang telah diperolehnya, pengetahuan apa yang telah dimilikinya. Guru menggerakkan murid ke arah kegiatan besastra dengan pertanyaan yang berhubungan dengan teks.
Pertanyaan-pertanyaan dijadikan ”perintah” arahan agar murid masuk ke dalam wilayah kegiatan bersastra. Mendekatkan murid kepada teks sastra dengan pertanyaan menampakkan dorongan yang cukup berarti. Murid digiring pada kondisi di mana mereka harus memperbincangkan teks sastra.
Pertanyaan guru bertahap. Murid diajak untuk membuka-buka arsipnya setelah mereka membaca teks. Pertanyaan guru mengarah pada pencarian pengalaman estetik murid. Kegiatan bersastra murid dibangkitkan dengan pertanyaan ekplorasi yang menyebabkan murid memaksakan diri berpengalaman bersastra dengan cara berinteraksi dengan teks. Teks dijelajahi melalui aliran peristiwa yang ada dalam cerita itu. Dengan cara demikian, teks
(1)
Ladousse, G. P. (2001). Using Literature in The Language Classroom; Whys and Wherefores. Institute for English Language Education.
Langer, J. & Close, E. (2000). Improving Literacy Understanding Though Classroom Conversation. http://cela.albany.edu
Langer, J. & Close, E. (2000). Teaching Midles and High School Students to Read and Write Well, Six Features of Effective Instruction. National Research Center on English Learning & Achievment. Tersedia pada http://cela.albany.edu
Langer, J.A. (2000).Guidelines for Teaching Middle and Hight School Students to Read and Write Well. National Research Center on English Learning & Achivement.. tersedia pada http://cela.albany.edu
Langer,J. A. (1991). A New Look at Literature Instruction. http://www.indiana.edu / ~eric_rec/ieo/digests/d65.html
Langer,J. A. (1994). A Response-Based Approach to Reading Literature http://cela. albany.edu/response/main.html
Langer,J. A. (1994). Process of Understanding Literature: An 8-Year Study http://cela.albany.edu/process/main.html
Langer,J. A. (1997). Thinking and Doing Literature: An 8-Year Study http://cela. albany.edu/think/main.html
Langer,J. A. (1997).Critical Thinking and English Language Arts Intruction http://cela.albany.edu/critical/main.html
Langer,J. A.& Robert D.R. (2000). Supporting The Process of Literary Understanding Analysis of a Calssroom Discussion Report Series 2.15. http://cela.albany. edu/support/index.html
Langer,J. A.(2000). Discussion as Exploration: Literature and Horizon
Possibilities. Report Series 6.3.
http://cela.albany.edu/discussion/index.html
Langer,J.A. (2000). Literary Understanding and Literature : Instruction Report Series 2.11. http://cela.albany.edu/literary/index.html
Longsreet, W.S. & Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millenium. Boston, London, Toronto, Sydney : Allyn and Bacon.
Madden, F. How Do We Connect Students with Literature? NCTE TeacherFest, October 1999.
Marek. (2000). The Experience of Reading Fiction for Graduate Profesional Education: A Phenomenological Study. `http://siim.emporia.edu.pna/ assortation/marek.pdf.
(2)
Marshall, J.D., Smagorinsky, P. & Smith, M.W. (1995). The Language and Interpretation: Patterns of Discourse in Discussions of Literature. NCTE Research Report No.27
Martino, A. “Responding in Journal” http://www.2cyberhelm.org/diversity/collab/ pdf/ journals:pdf
Marzano, R.J., Pickering, D. & McTighe, J. (1993) Assessing Student Outcomes Performance Assessment Using the Dimensions of Learning Model. McRel Institute.
McCormick, K. (1988). “First Steps” in “Wandering Rocks”:Students’Differences, Literary Transactions, and Pleasures. Home Online Issues. Tersedia pada http://www.hu.mtu.edu/reader/online/20/mcc20.html 01/07/2005
McKusick, D. (1997). Integrating Reading and Writing : Theory to Research to Practice. http://www.umck.edu/cad/node/nodidocs/97/conpop.
McLaughlin, M., Troustine, J., & Waxler, R.P.(1997). Success Stories: Life Skills Through Literature. Office Of Vocational and Adult Education, U.S. Departement of Education.
Mcllrath, D.A & Huitt, W.G. (1995). The Teaching-Learning Process: A Discussion of Models.
Mergel, B. (1998). Instructional Design & Learning Theory. http://usask.ca/ education/coursework/802papers/mergel/brenda.html
Mertler, C.A. (2001). Designing Scoring Rubrics for Your Classroom. Tersedia pada http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=7&n=25 3/17/2002
Mial, D.S. (1986). Emotion and the Self : The Context of Remembering. http:/www. ualberta.ca/~dmiall/reading/emotself.htm.
Miles, M.B.& Huberman,A.M.(1992). Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi.Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Moll, L.C. (eds) (1993). Vygotsky and Education, Instructional Implication and Application ofSociohistorical Psychology. Cambridge University
Moller, K.J. (2002). Providing Support for Dialogeu in Literature Discussions about Social Justice. National Council fo Teachers of English.
Moller, K.J. (2002). Providing Support for Dialoguein Literature Discussion about Social Justice. National Council of Teachers of English.
Moody, H.L.B. (1971). The Teaching of Literatuer. Longman.
Moskal, B.M. (2000). Scoring Rubrics: What, When and How? Tersedia pada http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=7&n=3 10/27/2001
(3)
Moskal, B.M. (2003). Recomendations for Developing Classroom Performance Assessment and Scoring Rubrics. Tersedia pada http://pareonline.net/getvn.asp?v=8&n=214. 14/11/2001
Murphy,E. (1997). Constructivist Teaching and Learning Models. http://www. ncrel.org/sdrs/areas/environment/drugfree/sa3const.htm
Musthafa, B. (2003). “Teori Membaca, Oreintasi Penelitian, dan Praktik Pembelajaran” dalam Revitalisasi Pendidikan Bahasa. A. Chaedar Alwasilah & Hobir Abdullah (penyunting). Bandung : STBA-YAPARI PRESS.
Nelms, B.F. (1988). Literature in the Classroom Readers, Text, and Context. Urbana, Illinois : National Council of Teacher of English.
Nelson, L.R. & Nelson, T.A.(1999) Learning History through Children’s Literature. Bloomington IN ERIC Clearinghouse for Sosial Studies/Sosial Sceince Education [ED435586].
Ngeow, K. & Kong, Y.S. (2003). Learning through Discussion; Disegning Tasks for Critical Inquiry and Reflective Learning. ERIC Digest. Tersedia pada http://www.ericfacility.net/databases/ERCI_Digests/ed477611.html. 15/6/04 Norris, J.M., Brown J.D, Hodson, T. & Yoshika, J. (1998). Designing Second
Language Perfomance Assessments. Hawai : Second Language Teaching & Curriculum Center.
Norton, D.E. (1983). Through the Eyes of Chil:An Introduction to Childrens Literature. Columbus, Toronto, London, Sydney : Charles E. Merril Publishing Company.
Nowlan, B. (2001). Introduction to The Critical Reading of Literature.Tersedia pada http://www.uwec.edu.ranowlan/intr_crit_rdg_lit_081400.htm 10/6/04 Panitz, T. (1996). A Definition of Collaborative vs Cooperative Learning.
http://www.city.londonmet.ac.uk/deliberations/collab.learning/panitsz2/htm 1/11/04
Parkinson, M. (2003). Structured Discussion Overview. Tersedia pada http:/odtl.dcu .ie/project/Structured_discussion?Structured Discussion Overview3.doc 08/09/03
Peha, S. (2003). Read Like a Reader, Read Like a Writer. Tersedia pada www.ttms.org
Pradl, G. (1984). Narratology: The Study of Story Structure. Eric-Digest. Di http://www.ericfcility.net/databases/ERIC_Digests/ed250698.html.
30/12/2003
Probst, R. Classroom Talk about Literature: Or, the Social Dimension. Tersedia pada http://www.npatterson.net/probst/vtm.html 1/5/04
(4)
Probst, R.E. (1987). Transactional Theory in the Teaching of Literature. http:/www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed284274.html
Probst, R.E. (1990). “Literature as Exploration and the Classroom” dalam Transactions with Literature. Edmund, J.F. & Jmaes, R.S. (penyunting)). Urbana, IL : NCTE.
Probst,R.E. (1988). Response and Analysis : Teaching Literature in Junior and Senior High School. Portsmouth: Heinemann Education Books Inc.
Pugh, S.L. (1988). Teaching Children To Appreciate Literature. http://www.ed. gov/databases/ED292108…inte Literature_ERIC Digest Number 1 html23 Purves, A. (1988). The Aesthetic Mind of Louise of Rosenblatt. http://www.hutmu.
edu/reader/online/20/intro.20.htm
Purves, A.C. (1986). Testing in Literature. http://www.ed.gov/databases/ERIC_ Digests/ed267453.html16/03/0013
Purves, A.C. (1990). Testing Literature: The Current State of Affairs.. http:// www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed321261.html23 April 200013& Reynolds, D. H. & McDiarmid, G. W. (Tanpa tahun). How Do Prospective
Teachers Think about Literature and the Teaching of Literature?
Roberts, D. R & Langer, J.A. (2000). Supporting the Process of Literary Understanding: Analysis of a Classroom Discussion. National Research Center of English Learning & Achievment, University at Albany State University od New York.
Rodriguez, P.H. (2003). Written Responses as a Tool for Literature Discussion Groups : “Using My Own Ideas”. Tersedia pada http://www.fcps.k12.va.us/DeerParkES/TR/Mywords/mywords.html
19/2/04
Romano, T. (1998). “Relationships with Literature” (English Education, vol. 30, No, 1, February 1998). National Council of Teacher of English.
Rosenblatt, L.M. (1976). Literature as Exkploration. New York:The Modern Language Association of America
Rosenblatt, L.M. (1978). The Reader, the Text, The Poem. Carbordale, IL : SIUP. Rosenblatt, L.M. (1988).Writing and Reading : The Transactional Theory.
Technical Report N. 13. University of California, Berkeley CA 94720 Rusyana, Y. (2002). Peta Konsep Kesastraan. Pusat Perbukuan, Departemen
(5)
Sarumpaet, R.K. (1976). Bacaan Anak-Anak, Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak serta Minat Anak pada Bacaannya. Jakarta : Pustaka Jaya
Sarumpaet, R.K. (2002). Sastra dan Anak : Penjajah dan Taklukannya. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Nasional XIII, HISKI, di Yogyakarta, 10 September 2002
Sauders, W.M. &Goldenberg, C. (1999). The Effects on Instructional Coversatios and Literature Logs on the Story Comprehension and Thematic Under-standing of English Proficient and Limited English Proficient Student. Ter-sedia pada http://repositories.edli.,org/crede/rschrpts/rro6
Sawyer, R.K. (2004). “Improvised Lessons: Collaborative Discussion in the Contructivist Classroom” (Teaching Education, Vol. 15, No. 2 June 2004) Sherry, L. & Myers, K.,M. (1998). The Dynamics of Collaborative Design.
http://carbon.cudenvers.edu/~Isherry/pubs/ieee.html. 5/4/04
Showalter, B. (2003). What Teaching Literature Should Really Mean. Tersedia pada http://chronicle.com/free/v49/i19/19b00701.htm 31/3/05
Simatupang, T.M. (1995). Pemodelan Sistem. Klaten :Nindita.
Smagorinsky, P. (2000). If Meaning is Constructed, What is It Made of?. http://www. coe.uga.edu/~smago/cattel.pdf.
Smith, P.E. (2001). “Collaboratif Teaching” (ADE Bulletin, 128, Spring 2001:60-65). Tersedia pada http://www.ade.org/ade/bulletin/n128/128060.htm 4/4/2005.
Stiggins, R.J. (1995). Sound Perfomance Assessments in the Guidance Context. ERIC Clearinghouse on Conceling and Student Services Greensboro. Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Toeri Sastra. Jakarata :
Pustaka Jaya.
Temple, C.& Collins, P.(eds.). (1992). Stories and Readers: New Perspectives on Literature in the Classroom. Norwood : Christopher-Gordon Publishers, Inc.
Temple, Ch. Why We Teach Literature. http://www.umi.edu/coe/ract/text/-resources/ wy_teach
Thanasoulas, D. (Tanpa tahun), What is Learner Autonomy and How Can it be
Fostered? Tersedia pada
http://www3.telus.net/linguisticsissues/learnerautonomy.html 6/7/04
Tharp, G. R. & Gallimore, R. (1991). The Instructional Coversation: Teaching and Learning in Social Activity. NCRCDLL Research Reports, University of California, Santa Cruz.
(6)
Tinzman, M.B. (dkk.). (1990). What Is the Collaborative Classroom? NCREL, Oak Brook. http://www.ncrel.org/sdrs/areas/rpl_esys/collab.htm. 6/2/04
Todorov, T. (1996). Puitika Prosa, Prosa, dan Penelitian-Peneltian Baru atas Cerita. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Terjemahan Apasanti D. dkk.
Tomlinson, B. (2001). (The English Teacher, Vol. 4, No. 2: “Connecting the Mind:A Muti-Dimensional Approach to Teaching Language through Literature.” Institute for English Language Education.
Tompkins, G.E. & Hoskisson, K. (1991). Language Arts Content and Teaching Strategies. New York, Toronto: Macmillan Publishing Company.
Vygotsky, L. (1930). Mind and Society. Harvard University Press
Wangsatorntanakhun, J.A. Designing Performance Assessment : Challenges for the Three Story Intellect. Tesedia pada http:// www.geocities. com/Athens/Parthenon/8658 23/12/04
Wiersema, N. (2000). How Does Collaborative Learning Actually in a Classroom and How Do Students react to it? A Brief Reflection. http://www.city. londonmet.ac.uk/deliberations/collab.learning/wiersema/htm 1/11/04 Willis, A.I & Johson, J.L. (2000). “A Horizon of Possibilities”: A Critical Framework
for Transforming Multiethnic Literature Instruction. http://www. readingonline.org/aticles/willis/index.html