Tinjauan Yuridis Menganai Akibat Diterbitkan Putusan PTUN Jakarta Nomor139/G/2013/PTUN-JKT terhadap Legalitas Hakim Konstitusi Maria Farida dan Patrialis Akbar.

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI AKIBAT DITERBITKAN PUTUSAN
PTUN JAKARTA NOMOR 139/G/2013/PTUN-JAKARTA TERHADAP
LEGALITAS HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA DAN PATRIALIS
AKBAR
Abstrak
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman menjalankan wewenangnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam
menjalankan
wewenangnya,
MK
mempunyai sembilan hakim. Sembilan hakim itu diajukan oleh Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Agung (MA). Masingmasing mengajukan tiga hakim (hakim konstitusi) sesuai ketentuan Pasal
24C ayat (3) UUD 1945. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan
hakim konstitusi diatur di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No. 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya disebut UU MK.
Pada tahun 2013, Presiden menggunakan kewenangannya untuk
mengajukan nama-nama hakim konstitusi dengan mengangkat Maria
Farida dan Patrialis Akbar menggantikan Maria Farida dan Achmad Sodiki

pada masa jabatan sebelumnya berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 87/P Tahun 2013. Namun, pada tanggal 22 Desember
2013 PTUN Jakarta melalui Putusan PTUN Jakarta Nomor
139/G/2013/PTUN-JKT membatalkan Keppres tersebut. Majelis Hakim
PTUN Jakarta dalam Putusannya menyatakan Presiden telah melanggar
Pasal 19 dan 20 UU MK serta AAUPB.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan
yuridis normatif. Penelitian dilakukan dengan meneliti doktrin-doktrin atau
asas-asas dalam ilmu hukum. Peneliti menggunakan spesifikasi penelitian
deskriptif analitis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dikaitkan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan suatu
objek penelitian dan wawancara. Tahap penelitian ini dilakukan dengan
cara penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan mencari data
sekunder menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam proses
pengajuan nama-nama hakim konstitusi, Presiden melanggar Pasal 19
dan 20 UU MK serta AAUPB. Presiden seharusnya mengajukan namanama hakim konstitusi sesuai dengan UU MK dan Penjelasannya beserta
AAUPB. Akibat dari pembatalan Keppres Nomor 87/P Tahun 2013
terhadap PMK adalah PMK masih berlaku meskipun Keppres Nomor 87/P
Tahun 2013 dibatalkan. Hal ini sesuai dengan

doktrin, peraturan
perundang-undangan terkait, dan Surat Edaran Mahkamah Agung/Ketua
Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara Nomor MA/Kumdi/213/VII/K/1991.

iv