Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM. 060200245

WITRA EVELIN MADUMA SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

WITRA EVELIN MADUMA SINAGA 060200245

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

(Armansyah, S.H., M.Hum) NIP. 195810071986011002

PEMBIMBING I PEMBIMBING II :

(Afnila, S.H., M.Hum)

2010

( Armansyah, S.H., M.Hum ) NIP. 195610101986031003 NIP. 195810071986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan hormat syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus Sang Kepala Gerakan sebagai Tuhan dan Juruslamat yang hidup, karena

telah mengaruniakan berkat yang melimpah sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini, sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi

untuk menyelesaikan masa studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum, dalam

Departemen Hukum Hukum Tata Negara, Program Kekhususan Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul

yang dipiih adalah: “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita Oleh

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”.

Adapun yang menjadi latar belakang penulis dalam memilih judul tersebut

di atas tidaklah semata-mata hanya karena ingin membuat skripsi guna kelulusan

kegiatan akademik saja. Tetapi didasari oleh penulis melihat dan mengamati

bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu Lembaga Kekuasaan

Kehakiman yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi telah banyak memutus

perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh

banyak pihak yang menyatakan bahwa putusan yang dikeluarkan bersifat ultra

petita atau putusan yang melebihi tuntutan. Hal ini yang menjadi sorotan oleh penulis, sehingga menarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lembaga

Mahkamah Konstitusi ini dan khususnya mengenai ketentuan ultra petita ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih


(4)

kata, serta kelalaian dalam proses pengeditan. Hal ini karena keterbatasan yang

dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran

yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan

berikutnya.

Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan

dan perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

USU.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II.

5. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III.

6. Bapak Armansyah, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Tata

Negara, sekaligus Dosen Pembimbing I penulis. Terima kasih banyak ya, Pak.

7. Ibu Afnila, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis. Terima kasih buat

semuanya ya, Bu.

8. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Tata Negara, terima kasih ya, Pak.

9. Bapak Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik


(5)

10.Kepada Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Tim

Debat Konstitusi FH USU di Mahkamah Konstitusi dan kepada seluruh staf

dosen di Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu

yang telah mendidik penulis selama delapan semester hingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan ini.

11.Keluargaku yang tercinta: Bapakku St. H. Sinaga dan Mamaku N. Sijabat,

S.Pd. yang sangat luar biasa dan yang sangat kubanggakan. Terima kasih

untuk semua kasih sayang yang selama ini dicurahkan kepada penulis dan

buat semua doa sehingga aku bisa menyelesaikan semua ini. Love yu full.

Abangku Berry Shendy Sinaga, S.Si, dan Adikku sayang, Berlian Tri Austin

Sinaga, terima kasih untuk semua dukungannya. Love you so much.

12.Kepada Bang Waras Imanuel Sinaga, S.H., yang udah membantu penulis

dalam memahami permasalahan sebuah skripsi, dan senantiasa berbagi

pengetahuan ilmu hukum walaupun hanya melalui pesan singkat.

13.Seluruh teman-teman penulis selama duduk di bangku perkuliahan khususnya

buat Siska yang selama ini menjadi teman dalam berbagi selama menyusun

skripsi, akhirnya kita bisa.. Untuk Rentha, S.H., terima kasih buat semua

keceriaan yang udah kita bagi bersama, dan untuk semua pengalaman dalam

menyusun skripsi. Ingrid, S.H. juga, makasih untuk semuanya yang udah kita

lewatkan, dan yang selalu mengajarkan arti persahabatan. Maria Afriyanti,

yang senantiasa menjadi tempat berbagi keluh kesah, dan mengajarkan untuk


(6)

dukungannya. Untuk Jaswinder, S.H., juga. Untuk teman-teman Panitia Natal

FH USU, skaligus teman ngamen, Christina, Gidion, Sere Siahaan, Renatha,

Corry, Boris, Lucy, Gishela, Fitri, Dea, Cecil, Evi, Sere Yordan, Alex, Nody,

Jojo, Satra, Asido, Rivai, Haposan, dan yang lainnya. Untuk Kelompok

Kecilku : Ka Tuti Hutabalian, S.H., Evi Novian Purba, Verytethy Hutagaol,

terima kasih untuk segala kebersamaan yang sungguh membuat penulis

bangga memiliki kalian.

14.Teman-teman Tim Delegasi MCC UII Yogyakarta, Ingrid, S.H., and Maria,

makasih untuk kebersamaan yang dilalui untuk menyelesaikan berkas-berkas

kasus sampe begadang. Untuk Tere, Gading, Jefri, S.H., juga Kukuh, S.H.,

trimakasih buat rumah untuk tinggal sementara anggota tim sebelum nyampe

jogja. Sailanov, Rahmat, Heru, Yusuf, Wina, Satra, Alboin, Brando, Ifah,

Rendie, thanks buat smua kebersamaan kita semua selama di jogja, buat

dukungannya juga. Dan untuk teman-teman IMATARA (Ikatan Mahasiswa

Hukum Tata Negara), Bang Sahnal, Bang Adwan, Ka Irma, Bang Diki, Lely,

Brando, Sheila, Neira, Cherlispen, Alwan, Alboin, Ricky, Hot Marudur,

Samuel, Nina, Yenny, Dearma, Agmal, trimakasih buat kebersamaan dalam

jurusan ini ya..

15.Tim Debat Konstitusi Nasional FH USU di Mahkamah Konstitusi RI,

M.Yusuf Sihite, Wina Febriani, dan Alkautsar Sailanov. Dan untuk ka Irma

Sihite, S.H., terima kasih untuk semua pengetahuan yang udah dibagikan ke

penulis, sehingga dapat memperbaiki hal-hal yang telah terlewatkan dalam


(7)

mau berbagi pengalaman dalam menghadapi setiap tantangan dan berbagi

pengetahuan sebelum tanding dalam debat konstitusi.

16.Kepada Bang Marthin H. Siagian, yang udah membantu penulis mencari

bahan sampai ke koperasi eMKa (Mahkamah Konstitusi), bahkan sampai

kepada pengirimannya.

17.Kepada teman-teman GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU, Senior, Badan

Pengurus Cabang, Komisariat Sejajaran dan lainnya yang karena banyaknya

tidak dapat ditulis semuanya.

18.Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih yang

sebesar-besarnya, dan kiranya Tuhan Yesus selalu menyertai setiap langkah

hidup kita.

Akhirnya Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak

terkhusus kepada pembaca.

Medan, Maret 2010 Hormat Penulis

WITRA EVELIN MADUMA SINAGA NIM. 060200245


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 12

D. Keaslian Penulisan ………... 14

E. Tinjauan Kepustakaan………... 14

F. Metode Penelitian………. 18

G. Sistematika Penulisan………... 20

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 ……… 23

B. Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi Setelah Perubahan UUD 1945 ……. 28

1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ………... 30

2. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia ……….. 35

BAB III KETENTUAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM ACARA DI INDONESIA A. Hukum Acara Pengadilan Umum Di Indonesia ………….. 40

1. Pengertian Hukum Acara dan Ketentuan Beracara Pengadilan Umum di Indonesia ……….. 40

2. Ketentuan Putusan Ultra Petita dalam Pengadilan Umum di Indonesia ………... 47

B. Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi ……….. 48

1. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi ……… 48

1.1.Konstitusionalitas Undang-Undang ……… 50

1.2.Legal Standing Pemohon ……… 50

2. Ketentuan Ultra Petita dalam Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi ... 55 (Beberapa Pandangan Ahli mengenai Ultra Petita)


(9)

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Sifat Final dan Mengikat Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ……….. 62 B. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi ……… 65 C. Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi dalam

Perkara Nomor 6/PUU-IV/2006 ……….. 68

1. Pemohon dan Pokok Perkara ………. 70

2. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) ……… 83 3. Tinjauan Yuridis terhadap Putusan

Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi ………. 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….. 106

B. Saran ………. 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

ABSTRAKSI

Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial. Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk memberantas segala penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah termasuk juga aparat penegak hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia.

Dan sebagai reaksi dari adanya tuntutan reformasi tersebut, pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang hukum dan politik, yang seakan telah membawa Negara Republik Indonesia ke arah yang demokratis dan konstitusional. Sejak itu, terbentuklah sebuah lembaga konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi yang merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif.

Dalam beberapa putusannya MK telah memutuskan melebihi dari yang dimohonkan (ultra petita). Namun, belum diaturnya ketentuan mengenai ultra petita baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi serta Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaannya mengadili, menurut hukum harus ditemukan hakim mengenai hukumnya. Kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena pengadilan tidak boleh menolak perkara. MK harus menemukan hukumnya utamanya dari hukum tertulis atau hukum tidak tertulis yang sesuai dan tidak berlawanan dengan UUD 1945.

Ultra petita sangat sesuai dengan sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif dalam hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.


(11)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

ABSTRAKSI

Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial. Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk memberantas segala penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah termasuk juga aparat penegak hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia.

Dan sebagai reaksi dari adanya tuntutan reformasi tersebut, pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang hukum dan politik, yang seakan telah membawa Negara Republik Indonesia ke arah yang demokratis dan konstitusional. Sejak itu, terbentuklah sebuah lembaga konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi yang merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif.

Dalam beberapa putusannya MK telah memutuskan melebihi dari yang dimohonkan (ultra petita). Namun, belum diaturnya ketentuan mengenai ultra petita baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi serta Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaannya mengadili, menurut hukum harus ditemukan hakim mengenai hukumnya. Kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena pengadilan tidak boleh menolak perkara. MK harus menemukan hukumnya utamanya dari hukum tertulis atau hukum tidak tertulis yang sesuai dan tidak berlawanan dengan UUD 1945.

Ultra petita sangat sesuai dengan sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif dalam hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara

keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang.

Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang

persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum.1

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang

hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam

hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.

Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung

dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.

Hal ini dikarenakan hukum

atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.

2

1

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 24.

2

Ibid.. hlm. 23.

Orang

dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan

mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa

didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau

orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau

filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan


(13)

dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui

hukum yang ada.3

Aristoteles menegaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat

hukumnya.4 Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara

kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik

mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional

memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,

prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis

keadilan distributif dan keadilan korektif.5 Pertama, berlaku dalam hukum publik,

kedua, dalam hukum perdata dan pidana. John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi

kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan

yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal

balik (reciprocal benefits)6

Dalam kaitannya dengan teori keadilan tersebut diatas, dalam sebuah

negara penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan”

hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari

kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

3

Ibid.

4

Ibid. hlm. 25. 5

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hal. 196.

6John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori


(14)

hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan

interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili

kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.

Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata mata dianggap sebagai

proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses

penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat

tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku

manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa

problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in

action bukan pada law in the books. Saat ini dapat dilihat dan dirasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat

mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi,

merebaknya mafia peradilan, dan pelanggaran hukum.7

Beberapa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun

terakhir, yang dimulai dengan bergulirnya agenda reformasi, telah menghasilkan

berbagai perubahan besar di tanah air, khususnya dalam hal demokratisasi dan

sistem ketatanegaraan. Dimana agenda yang paling mendasar dalam proses

transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari

sebuah Negara demokrasi konstitusional. Karena proses transformasi kearah

pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh

perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberikan dasar bagi

7

Prof. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH., Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, Sebuah Tulisan yang diterbitkan dalam Majalah Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm. 22 - 34


(15)

berbagai agenda demokrasi lainnya.8 Reformasi politik dan Ekonomi yang

bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh reformasi

hukum. Namun menurut Prof. Jimly Assiddiqie, S.H.,9

Dalam sebuah Negara, tidak ada konstitusi yang memasukkan semua

peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan.

Karena itu, konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip

pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya ia hanya mengandung hal-hal

yang bersifat pokok, mendasar, atau asas-asasnya saja.

reformasi hukum yang

menyeluruh juga tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi

ketatanegaraan yang mendasar, dan itu artinya diperlukan sebuah constitutional

reform yang tidak setengah hati.

10

Karena itu, sifat dan karakteristik konstitusi yang demikian dimaksudkan

agar ia tidak selalu diubah karena perkembangan zaman dan masyarakat.

Menurut, Miriam Budiarjo11

Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, gagasan konstitusi sebagai

alat pembatasan kekuasaan, tidak dapat dilepaskan lagi dari gagasan hak asasi

manusia, demokrasi dan Negara hukum. Dimana konstitusi merupakan kristalisasi , konstitusi merupakan sebuah piagam yang

menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu

bangsa. Dimana dalam konstitusi terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan

dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, cita-cita dan

ideology Negara, masalah ekonomi dan sebagainya.

8

Ni’ matul Huda, S.H.,M.Hum. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm. 193.

9

Ibid.

10

Ibid. hlm.6. 11


(16)

normatif atas tugas Negara dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia

dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai

batas-batas kekuasaan secara hukum yang diarahkan bagi kepentingan masyarakat

secara keseluruhan.12

Dalam setiap perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma atau

pandangan mengenai perubahan yang harus dipatuhi oleh pelaku perubahan, yang

terarah dan sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Paradigma

ini digali dari kelemahan sistem bangunan konstitusi yang lama, dengan

argumentasi diciptakan sebagai landasan agar dapat menghasilkan sistem yang

menjamin stabilitas pemerintahan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Sebuah

ide untuk melakukan perubahan ini muncul dari Majelis Permusyawaratan Rakyat

hasil pemilu tahun 1999, yang mencetuskan sebuah gagasan yaitu untuk

menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial yang diwujudkan dalam pelembagaan Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk

memberantas segala penyalahgunaan kekuasaan dan

penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, ternyata belum diikuti

dengan langkah nyata dan kesungguhan pemerintah termasuk juga aparat penegak

hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia. Sebagai reaksi dari adanya

tuntutan reformasi tersebut, pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam

sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang hukum dan politik,

yang seakan telah membawa Negara Republik Indonesia ke arah yang demokratis

dan konstitusional.

12

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm.142.


(17)

organ-organ Negara yang sederajat dan menjalankan fungsi check and balance.

Masing-masing organ Negara tidak lagi terstruktur secara hierarkhi, tetapi

terstruktur menurut fungsinya.13 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu pilar utama yang menandai

upaya penyempurnaan dan pengembangan demokrasi dalam aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara.14

Dengan adanya perubahan UUD 1945 telah mengimplikasikan berbagai

kemajuan terutama terkait dengan semangat dalam penguatan sendi-sendi

berdemokrasi termasuk penjaminan terhadap kebebasan sipil. Dan untuk

menciptakan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional. Dimana dalam

menjalankan fungsi check and balances tersebut, diperlukan sebuah lembaga yang

memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan yudisial (judicial control)

terhadap penyelenggaraan Negara. Di Indonesia sendiri, terdapat upaya untuk

memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui melalui perubahan konstitusi Hal ini akan hanya memiliki arti yang sangat besar

dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara apabila seluruh elemen

masyarakat telah memiliki satu kesamaan dalam pemahaman yang menyeluruh

terhadap konstitusi. Dimana perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tataran

implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan

lembaga-lembaga Negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara

tergantung kepada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar 1945.

13

Dr. Abdul Rsyid Thalib, SH., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 2.

14

Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, tentang Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI Tahun 2006


(18)

dan sebuah reformasi ketatanegaraan. Terutama dalam lembaga peradilan dan

kekuasaan kehakiman.15

Menurut Moh. Mahfud MD16

15

Sebuah Tulisan Moh. Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, yang kemudian dimuat dalam Buku Komisi Hukum Nasional “Gagasan Amandemen UUD 1945: Suatu Rekomendasi” Vol. 1, Desember 2008, hlm. 15.

16

Ibid.

, ada tiga hal yang terkait dengan wacana

untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia melalui reformasi. Pertama,

maraknya mafia peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim

dan para penegak hukum lainnya (catur wangsa penegak hukum). Jucial

corruption terasa menyengat tetapi tidak dapat terlihat atau dibuktikan secara

formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orang-orang yang pandai

memanipulasi hukum untuk saling melindungi. Kedua, banyaknya peraturan

perundang-undangan, termasuk produk undang-undang, yang secara substantif

dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

termasuk dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi tidak ada lembaga atau

mekanisme pengujian yang efektif melalui lembaga yudisial (judicial review).

Yang ada saat itu hanyalah pengujian oleh legislatif (legislative review) dan

pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) yang bergantung pada

keputusan Presiden, sesuai dengan system politik executive heavy yang

mendasarinya. Maka setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar, terlihat

salah satu capaian penting dari Perubahan Ke III adalah kehadiran lembaga baru

dalam sistem kekuasaan kehakiman yang dinamakan Mahkamah Konstitusi, yang

ditasbihkan sebagai the Guardian and the Protector of the Constitution.


(19)

dikatakan sebagai sebuah lembaga baru, yang tidak dapat dipungkiri terinspirasi

oleh Mahkamah Konstitusi di Negara lain.

Namun, konsep mengenai Mahkamah Konstitusi tidak diadopsi secara

keseluruhan, karena setiap Negara memiliki karakteristik system ketatanegaraan

yang berbeda. Dan saat ini, terdapat 78 negara yang telah memiliki Mahkamah

Konstitusi, dan merupakan trend di negara-negara yang baru mengalami

perubahan dari rezim otoriter ke arah rezim demokrasi.17

Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan Undang-Undang

Dasar 1945. Gagasan utama yang melandasi perubahan tersebut adalah keinginan

untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara hukum (rule of law, rechsstaat) dan

Negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi (constitutional democracy).18

17

I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan Welfare State, Jakarta: Konstitusi Press, 2008, hlm.3.

18

Ibid., hlm. 47.

Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan

kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah

konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak

yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak

konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar

warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa

itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak


(20)

masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur

dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.19

Salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan cermin

pelaksanaan mekanisme check and balances di Indonesia, dimana kekuasaan

pembuat undang-undang yang selama ini berada pada badan legislatif tidak dapat

diuji oleh lembaga yudisial. Dengan berwenangnya kekuasaan kehakiman,

melalui Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang, maka semua pengadilan

dan lembaga Negara, dan lembaga lainnya termasuk pemerintah daerah harus

terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun, dalam pengujian

ini, terdapat ketentuan beracara seperti yang tercantum dalam ketentuan pasal 28

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945, merupakan tugas yang mendominasi kewenangan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana terlihat dalam permohonan yang masuk dan

terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sebagai data, dapat dikemukakan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, telah

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24, dan mengenai

kewenangannya diatur dalam pasal 24C. Serta, sesuai dengan ketentuan di dalam

pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, dibentuk pula sebuah peraturan

sebagai pelaksana Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan peraturan ini tidak membatasi

pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945.

19


(21)

bahwa sejak terbentuk tahun 2003 sampai bulan Juni 2008, Mahkamah Konstitusi

sudah memeriksa dan memutus pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review) sebanyak 137 kali dan permohonan yang

sedang dalam proses pemeriksaan sebanyak 11 kasus.20

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan tugasnya, mengacu pada

Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang pedoman beracara

dalam perkara pengujian undang-undang. Dan menurut banyak pakar, kekosongan

hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para

hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi.

21

Dalam

menjalankan kewenangan menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang,

Mahkamah Konstitusi banyak mendapat kritik mengenai substansi perkaranya dan

bagaimana hukum formilnya, khususnya masalah ultra petita atau putusan yang

melebihi tuntutan pemohon.22

20

Moh. Mahfud MD, op. cit., hlm.22 21

http://wongbanyumas.com 22 http://www.miftakhulhuda.com

Hal ini dapat dilihat dalam salah satu Putusan

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam putusannya,

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Dengan kekuatan mengikat dari putusan Mahkamah

Konstitusi ini, selain mengikat pihak-pihak yang berperkara (interpartes), namun

juga mengikat bagi semua orang, dan lembaga-lembaga hukum serta badan


(22)

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, karena dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 ini, tidak mengatur

batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena

itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara

terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Selain itu, Mahkamah

Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki

lembaga Constitutional Courts.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, penulis

berpendapat bahwa studi terhadap Kewenangan dalam Mahkamah Konstitusi

masih belum banyak menjadi perhatian para ahli hukum terutama ahli hukum tata

Negara. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana

Kekuasaan Kehakiman yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia akan terus-menerus berupaya untuk memperbaiki segala hal yang

belum sempurna dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk

dibahas secara lebih terperinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi

setelah perubahan UUD 1945?

2. Bagaimana pengaturan putusan ultra petita dalam Hukum Acara pada


(23)

3. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ketentuan

Beracara di Mahkamah Konstitusi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui yang menjadi dasar legitimasi teori konstitusi dalam

perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan kehakiman

yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.

b. Untuk mengetahui ketentuan beracara di Pengadilan Umum dan secara

khusus ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan

uji materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945

menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari putusan Mahkamah

Konstitusi.

2. Manfaat Penulisan

A. Secara Teoritis

Pembahasan terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana

diuraikan diatas, diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi


(24)

pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Jadi, secara teoritis, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai sumbangan

pikiran untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi koleksi

karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang membahas fungsi

judicial review terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Selain itu, manfaat

penulisan skripsi diharapkan mampu menemukan konsep baru dan argumentasi

baru mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

B. Secara Praktis

Penulis berharap, semoga hasil penulisan ini bermanfaat bagi semua

orang, terutama bagi setiap orang yang berminat untuk mengikuti perkuliahan di

fakultas hukum di setiap perguruan tinggi, dan menjadi sumbangan pemikiran

ilmiah bagi hukum positif di Indonesia, berkaitan dengan salah satu ciri dari

Negara Indonesia, yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum

(supremacy of law). Hal ini tidak terlepas dari penempatan Hukum Tata Negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum Indonesia. Dimana, dengan adanya

penulisan skripsi ini, diharapkan mampu memberikan pandangan baru terhadap

perubahan sistem ketatanegaraan ketika Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah

satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

Manfaat lain dari penulisan ini adalah masyarakat diharapkan dapat

mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi di


(25)

dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Konstitusi,

dan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan

komponen konstitusi (institusi) pemerintah.

D. Keaslian Penulisan

Sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan

penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran

tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum USU, penulisan tentang

“Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia” belum pernah ada. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis

sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini,

penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini.

Dimana dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan pembahasannya

mengenai proses pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan

ketentuan beracara di Lembaga ini, dan dalam implementasi putusan perkara dari

Mahkamah Konstitusi ini. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin

oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kegagalan dewan konstituante dalam membentuk sebuah undang-undang

dasar sebagai pengganti Undang-Undang Dasar 1945 merupakan salah satu


(26)

pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan negara ini dari ketidakjelasan dalam

sistem konstitusi. Dengan keluarnya dekrit 5 Juli 1959 tersebut, maka Indonesia

memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Setelah pemberlakuan

kembali Undang-Undang Dasar 1945, tampaknya masyarakat Indonesia tidak

memiliki keinginan untuk mengadakan perubahan, namun ketika tuntutan

reformasi bergulir, terdapat sebuah tuntutan untuk mengubah Undang-Undang

Dasar 1945, yang terlaksana pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Menurut Sri Soemantri, suatu Undang-Undang Dasar memungkinkan untuk

diubah. Hal ini terlihat dari pendapat beliau :

“perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan karena pertama, generasi yang hidup saat ini tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Kedua, hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara, dan ketiga, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar selalu dapat diubah.”23

23

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar, Bandung: Penerbit Alumni, 2006, hlm. 272.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang dahulu berkedudukan sebagai

Lembaga Tertinggi Negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan

rakyat, kini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkedudukan sebagai

lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan

lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah


(27)

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara

terpisah dari Mahkamah Agung, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh

sebelum keberadaan Negara bangsa yang modern, yang pada dasarnya menguji

konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang

lebih tinggi. Sejarah modern judicial review dapat dilihat sebagai perkembangan

yang berlangsung selama 250 tahun sebagai cirri utama Mahkamah Konstitusi,

dengan adanya penerimaan yang luas terhadap hal ini, namun ada juga menerima

dengan rasa kebencian terhadap lembaga ini.

Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga yang

mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki

Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun,

judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial review terhadap peraturan perundangan yang berada dibawah undang-undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

adalah pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Berkaitan dengan hal diatas, Jimly Asshiddiqie menjelaskan:

“Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil maupun materil. Karena itu pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.”24

Didalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi

lahir untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan serta menjadi penjaga dan

24

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 1.


(28)

pelindung bagi konstitusi. Sehingga ketika Mahkamah Konstitusi melaksanakan

kewenangannya, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah

muncul sebagai lembaga Negara yang independent dan cukup produktif

mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan

ketatanegaraan yang demokrat.25 Namun dalam menjalankan kewenangan

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa

putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial karena dianggap

melampaui batas kewenangan dan melanggar atau memasuki wilayah legislatif.

Yaitu, memutuskan melebihi apa yang diminta oleh pemohon atau yang lebih

lazim disebut sebagai ultra petita.

Ketentuan mengenai larangan ultra petita,dapat dilihat dalam Pasal 178

ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya

dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus

melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara

yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Namun seperti yang kita ketahui

juga, bahwa dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi tidak dikenal ketentuan

ultra petita.

25

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta:Rajawali Pers, 2009, hlm. 275.


(29)

F. Metode Penelitan

Metode dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai sesuatu.

Namun, menurut kebiasaan metode dapat dirumuskan dalam beberapa

kemungkinan26

a. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; yaitu :

b. Suatu teknik yang umum digunakan dalam ilmu pengetahuan;

c. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Dalam pembahasan skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian

Huku m Normatif (legal research), yaitu dengan mengacu pada berbagai

norma hukum, dalam hal ini adalah perangkat hukum tata negara yang

terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan

yuridis (legal approach), mengingat permasalahan yang diteliti dan dibahas

dala skripsi ini adalah ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dan

tinjauan yuridis mengenai ketentuan ultra petita dalam putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 terkait dengan pengujian

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

26


(30)

3. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan

penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library

research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan

sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini.

Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk

memperoleh data-data sekunder27

4. Analisis Data

yang meliputi peraturan

perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan

bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Data yang diperoleh penulis dari tinjauan kepustakaan ini akan dianalisis

secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang

berpedoman kepada bagaimana putusan ultra petita tersebut dalam ketentuan

hukum acara yang terdapat dalam proses peradilan di Indonesia.

Analisis deskriptif maksudnya adalah penulis semaksimal mungkin berupaya

untuk memaparkan data-data yang sebenarnya.

Metode Deduktif maksudnya adalah berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang ultra petita dan hukum acara di

Pengadilan Umum dan Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan sebagai

27

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan yang siap tersaji dan telah dibentuk serta diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.


(31)

pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data

yang diperoleh dari penelitian.

Metode indukt if artinya adalah melalui data-data khusus mengenai

implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik

kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran

umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi

tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan

mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap

permasalahan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Jika

melihat skripsi ini, maka penulis melakukan penelusuran yang

dimulai dari pandangan umum mengenai Penyelenggaraan

Kekuasaan Kehakiman Sebelum Amandemen UUD 1945


(32)

amandemen UUD 1945, serta sejarah pembentukan dan

perkembangan kedudukan mahkamah konstitusi sebagai bagian

dari kekuasaan kehakiman, di Indonesia.

BAB III : KETENTUAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM

ACARA DI INDONESIA

Didalam bab ini, diberikan gambaran mengenai pengaturan ultra

petita didalam hukum acara di pengadilan umum di Indonesia.

Selain itu, dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana akibat

hukum dari sebuah putusan yang bersifat ultra petita dalam

sitem peradilan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan

pembahasan mengenai Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi.

Yaitu, mulai dari Konstitusionalitas Undang-Undang, serta legal

standing pemohon dalam pengajuan perkara. Selain itu, dalam

bab ini juga dibahas mengenai akibat hukum putusan Hakim

Konstitusi termasuk Putusan Hakim yang melebihi tuntutan

pemohon (ultra petita).

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN ULTRA PETITA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Bab ini merupakan inti dari permasalahan yang dibahas dalam

skripsi ini. Dalam bab ini, penulis melakukan pembahasan dan

analisi mengenai pelaksanaan kewenangan Mahkamah

Konstitusi yang merupakan Lembaga Negara Yudikatif dalam

menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.


(33)

uji materil dilakukan mulai dari pemeriksaan mengenai

inkonstitusionalitas undang-undang, objek pengujian, serta legal

standing pemohon, terhadap pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi, serta putusan terhadap Perkara Nomor

6/PUU-IV/2006. Dalam putusan tersebut diatas dapat dianalisis

mengenai ketentuan ultra petita yang dilakukan oleh Hakim

Konstitusi. Dan dicentumkan juga pendapat berbeda (dissenting

opinion) oleh Hakim Konstitusi mengenai ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dari hal ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan untuk selanjutnya

memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan akhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi

kesimpulan dari tiga pembahasan yang telah ada sebelumnya

diatas, kiranya dapat memberikan gambaran yang jelas

mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah

Konstitusi serta implementasi dari Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut, sehingga dapat memberikan saran-saran

konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis


(34)

BAB II

MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25

UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24:

1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain

badan kehakiman menurut undang-undang;

2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan

undang-undang.

Pasal 25, berbunyi sebagai berikut :

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim

ditentukan dengan undang-undang.

Dalam ketentuan tersebut, kita dapat melihat bahwa kekuasaan kehakiman

termasuk badan-badan kehakiman, jenis tingkatannya, susunan, dan

kekuasaannya, acara dan tugasnya, secara keseluruhan diatur dengan

undang-undang. Selain itu, dapat juga dilihat bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan

sebuah kekuasaan yang merdeka, bebas dari kekuasaan pemerintah, yang artinya

bangsa kita telah menganut asas peradilan yang bebas dan tidak memihak sebagai


(35)

memerintahkan agar kekuasaan kehakiman untuk lebih lanjut diatur dengan

undang-undang dan hal ini telah dilakukan oleh pemerintah orde baru yang sudah

mengeluarkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman dan system peradilan di Indonesia.28

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 1 memberikan batasan

tentang kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menegaskan,

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam Pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Rumusan kedua pasal diatas menekankan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit. Kekuasaan

kehakiman sebagai kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Diantaranya adalah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Dan untuk melaksanakan undang-undang tersebut telah

dikeluarkan beberapa undang-undang pelaksananya, yaitu Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

28

Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Sekjend. Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 112-113.


(36)

peradilan. Jadi kekuasaan kehakiman diidentifikasi dengan “kekuasaan peradilan”

atau “kekuasaan mengadili”.29

Pada hakekatnya, kekuasaan kehakiman hanyalah merupakan subsistem

dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem konstitusional yang berlaku disuatu

negara yang meliputi lembaga-lembaga Negara, fungsi, tugas, dan kewenangan

serta tanggung jawab masing-masing lembaga dan bagaimana hubungan negara

dengan warga negara.

Sebagai tuntutan reformasi hukum, dilakukanlah perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam

undang-undang ini ditentukan bahwa segala urusan mengenai peradilan, baik menyangkut

teknis yudisial, maupun organisasi, administrasi, dan financial berada dibawah

satu atap yaitu Mahkamah Agung dan dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun

sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut.

30

29

Dr. Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Adityia Bakti, Bandung, 2006. hlm. 153.

30

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Dalam konstitusi selalu termuat cita-cita hukum

(rechtsidee), yaitu suatu gagasan, rasa, cipta, dan pikiran yang hendak diwujudkan mengenai hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat. Dan sebagai esensi

utama dari Negara hukum adalah kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Dasar

1945 menetapkan adanya kekuasaan kehakiman (yudikatif) sebagai salah satu

kekuasaan dalam Negara hukum disamping adanya kekuasaan eksekutif dan


(37)

hukum dengan pembagian kekuasaan sangat erat disamping pembagian kekuasaan

merupakan salah satu unsur penting dan harus diatur dengan tegas melalui aturan

hukum terutama dalam ketentuan konstitusi untuk menjamin kepastian hukum.

Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 hanya menegaskan badan mana

yang diserahi tugas dan wewenang untuk melakukan atau melaksanakan

kekuasaan kehakiman, yaitu diserahkan kepada Mahkamah Agung dan Badan

Kehakiman lainnya menurut undang-undang. Demikian pula penjelasan pasal 24,

yang tidak memberi batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, tetapi

hanya menegaskan sifat dan kedudukan dari kekuasaan kehakiman, yaitu sebagai

kekuasaan yang merdeka dan mandiri yang terlepas dari pengaruh atau intervensi

kekuasaan pemerintah.

Dalam hal ini Undang-Undang merupakan produk badan legislatif

tertinggi, setidaknya produk 2 (dua) lembaga tinggi negara, yang dapat diuji oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara

berdasarkan ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Namun hal ini tidak dapat

disebut sebagai judicial review, mengingat MPR bukanlah lembaga yudisial,

tetapi merupakan legislative review on the constitutionality of law. Namun, hingga

berlakunya ketetapan itu, MPR belum pernah melaksanakan pengujian karena

memang tidak ada mekanisme yang memungkinkan pelaksanaan pengujian

konstitusionalitas undang-undang. Di samping itu, penolakan mereka selalu

dikaitkan ajaran trias politika dengan pemisahan kekuasaan (separation of power)

yang tidak dianut, bentuk negara Indonesia kesatuan, dan anggapan produk DPR


(38)

progresif memandang undang-undang, termasuk Ketetapan MPR (Tap MPR) jika

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar harus dikalahkan berdasarkan hirarki

peraturan perundang-undangan, dimana Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

hukum tertinggi. Undang-Undang dapat di ganggu-gugat karena bukan

merupakan produk lembaga pemegang kedaulatan rakyat, dan hanya produk

pemegang kedaulatan hukum (legal sovereignty) kedua, sehingga harus tunduk

dengan produk pemegang kedaulatan hukum pertama yakni Undang-Undang

Dasar 1945 dan Tap MPR. Sejak kemerdekaan Indonesia undang-undang

diperlakukan “sakral”, termasuk Undang-Undang Dasar 1945 dan Tap MPR.

Secara tegas undang-undang dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000

tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.31

Kekuasaan MPR menguji undang-undang meskipun dibenarkan, akan

tetapi memiliki banyak kelemahan yaitu MPR sebagai lembaga politik, alat-alat

kelengkapan dan sidang-sidang MPR tidak mendukung, soal konflik norma

hukum tidak layak ditetapkan konstitusionalitasnya dengan voting, masalah MPR

satu-satunya yang berhak menguji dengan anggapan sesuai struktur

ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji konstitusionalitas dapat dengan

pembatalan (invalidation) abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA)

mengadili perkara dengan pembatalan praktikal. Selain itu Pasal 11 ayat (3) UU

No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menambah wewenang MA

menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah Undang-Undang melalui

pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.

31


(39)

hukum berubah menjadi masalah politik serta MPR menguji undang-undang pada

dasarnya menguji produknya sendiri karena DPR sebagai unsur utama MPR.

Dalam keadaan ini, MPR hampir tidak pernah menguji produk DPR dan presiden,

baik semenjak MPR terbentuk, maupun setelah tahun 2000 sejak ditegaskan hak

mengujinya. MPR pernah melakukan pengujian berdasarkan Tap MPRS No.

XIX/MPRS/1966 jo No. XXXIX/MPRS/1968 tentang peninjauan kembali

produk-produk legislatif di luar MPRS yang tidak sesuai Undang-Undang Dasar

1945, akan tetapi pelaksanaan pengujian dilakukan sendiri oleh pembentuk

undang-undang, bukan oleh MPRS.32

B. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945

Paham pemisahan kekuasaan ini

berpengaruh terhadap mekanisme kelembagaan dan hubungan antarlembaga

negara, termasuk penegasan sistem pemerintahan presidensial dengan penataan

sistem parlemen dua kamar (bicameralism), pemilihan presiden langsung

termasuk soal judicial review.

Semangat reformasi setelah masa orde baru, bangsa Indonesia ingin

melakukan banyak perubahan mendasar. Dalam bidang ketatanegaraan khususnya

dilakukan amandemen undang dasar 1945. Amandemen terhadap

undang-undang dasar telah dilakukan sebanyak empat kali.

Sejak perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada 9 November

2001, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami banyak

perubahan, yang antara lain melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang

32


(40)

Kekuasaan Kehakiman. Yang sebelumnya terdiri dari dua pasal (Pasal 24 dan

Pasal 25), menjadi lima pasal yaitu, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C,

dan Pasal 25. Dalam perubahan ini telah dimasukkan ketentuan tentang

kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula hanya tercantum dalam

penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 mengenai badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ke dalam

Pasal 24, sehingga mengatur ketentuan sebagai berikut :

a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan

Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,

lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

c. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

diatur dalam undang-undang.

Pasca amandemen ketiga undang-undang dasar 1945 terbentuklah

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi Negara. Perubahan tersebut

menunjukkan bahwa jaminan konstitusional atas prinsip kemerdekaan kekuasaan

kehakiman semakin kuat, demikian pula eksistensi badan-badan peradilan yang

berada dibawah Mahkamah Agung sebagai “single top authority”33

33

dalam

kekuasaan kehakiman, karena kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan


(41)

kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar

1945.

1.

Ide pembentukan mahkamah konstitusi diawali oleh pembaharuan

pemikiran dalam bidang ketatanegaraan pada abad 20. Mahkamah Konstitusi

merupakan lembaga Negara yang berasal dari sistem hukum eropa kontinental.

Indonesia sebagai sebuah Negara hukum (Rechstaat) banyak dipengaruhi

pemikiran ketatanegaraan di Eropa terutama Negara dengan sistem hukum Eropa

Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada Negara yang menganut

Eropa Continental Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang merupakan

bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Dimana,

pemikiran mengenai pembentukan mahkamah konstitusi di Indonesia muncul

sejak lama. Pembentukan Mahkamah Konstitusi terwujud ketika akan dilakukan

amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons

terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem

penyelenggaraan negara. Menurut Afiuka Hadjar34

34

http://www .wongbanyumas.com/archive.html, I November2009.

, ada 4 (empat) hal yang

melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu Pertama, Paham

Konstitusionalisme. Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang

menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu

pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan


(42)

adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga

negara dan kekuasaan negara dibatas oleh konstitusi.

Kedua, Sebagai Mekanisme Check and Balances. Sebuah sistem

pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and

balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan

tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga

agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada.35

Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan disamping Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya (Pasal 24 ayat Dengan

mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka system kontrol yang relevan

adalah sistem kontrol judicial. Ketiga, Penyelenggaraan Negara yang Bersih.

Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara

yang bersih, transparan dan partisipatif. Keempat, Perlindungan terhadap Hak

Asasi Manusia. Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan

semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan

pelanggaran terhadap HAM. Selain itu berdirinya lembaga konstitusi merupakan

konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis

akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance antar

lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan melakukannya terhadap peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif.

35


(43)

(1) dan (2) Perubahan Ketiga). Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin

konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah

Konstitusi terkenal disebut the guardian of the constitution. Produk legislatif

seburuk apapun sebelumnya tetap berlaku tanpa sama sekali terdapat lembaga

yang bisa mengoreksi kecuali kesadaran pembentuknya sendiri yang merevisi atau

mencabutnya. Pemikiran sebelumnya hanya MPR yang berhak menguji

Undang-Undang disebabkan berlaku supremasi parlemen. Problemnya sebagaimana

praktik ketatanegaraan MPR tidak pernah melaksanakannya, walaupun

Undang-Undang jelas-jelas dan terang benderang melawan konstitusi. Dalam konstitusi

yang pernah berlaku selama ini menempatkan Undang-Undang tidak dapat di

ganggu gugat sebagaimana dalam Konstitusi RIS 1949 hanya Undang-Undang

negara bagian yang dapat diuji (Pasal 156). Begitu juga berdasarkan

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pembentuk Undang-Undang-Undang-Undang adalah pelaksana

kedaulatan rakyat yakni pemerintah dan DPR.

Seiring dengan momentum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada

era reformasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia diterima

sebagai mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi juga

didorong oleh alasan sebagai berikut36

1 Sebagai Konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan

negara demokrasi yang berdasarkan hokum. Kenyataan menunjukkan bahwa

suatu keputusan yang yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai :

36

Lima Tahun Menegakkan Konstitusi : Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi2003-2008, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008, hlm. 4-5


(44)

dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang berlaku sebagai hokum

tertiggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji

konstitusionalitas undang-undang;

2 Pasca perubahan kedua dan ketiga, Undang-Undang Dasar telah mengubah

hubungan kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sistem pemisahan

kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip check and balances.

Bertambahnya jumlah lembaga negara serta bertambahnya ketentuan

kelembagaan negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi

perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi,

sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang kekuasaan

tertinggi yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.

3 Adanya impeachment terhadap Presiden oleh MPR pada Sidang Istimewa

MPR tahun 2001, yang mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari

mekanisme yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden agar tidak semata-mata berdasarkan alasan politis semata dan

oleh lembaga politik saja Hal ini sebagai konsekuensi upaya pemurnian sistem

Presidensial. Untuk itu perlu disepakati adanya lembaga hukum yang

berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau

Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.

Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga

pengujian undang-undang diberbagai negara, serta mendengarkan masukan


(45)

lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001.

Hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 itu merumuskan ketentuan

mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 ayat

(2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945. Dan dibentuklah Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam undang-undang

tersebut, terdapat ketentuan bahwa Hakim Konstitusi berjumlah 9 (sembilan)

orang hakim37, dimana 3 (tiga) orang hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, 3

(tiga) orang diajukan oleh Mahkamah Agung, dan 3 (tiga) orang hakim konstitusi

diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal ini disebabkan karena

sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi

bersinggungan langsung dengan kepentingan ketiga unsur lembaga tersebut. Dan

kemudian ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Kepres) guna mengawal

konstitusi dan menafsirkan konstitusi (the guardian of constitution and the

interpreter of constitution). Meskipun ditetapkan sebagai lembaga peradilan yang terpisah dengan Mahkamah Agung (MA), pembentukan lembaga ini memerlukan

waktu. Oleh karena itu diperlukan adanya lembaga yang menjalankan fungsinya

sebelum pembentukannya.38

Setelah terbentuk, Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal

sekaligus penafsir undang-undang dasar merupakan sebuah lembaga Negara yang

sifatnya masih baru di dalam kehidupan ketatanegaraan di dunia modern. Bersama

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan

37

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

38

Dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan Pasal III Aturan Peralihan yang menegaskan batas waktu paling akhir pembentukan Mahkamah Konstitusi pada 17 Agustus 2003. Dimana sebelum dibentuk, segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.


(46)

kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah

konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak

yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak

konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar

warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa

itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak

masyarakat. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dapat menjadi wadah bagi

masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur

dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.

2.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia merupakan tuntutan atau konsekuensi teoritis dari perubahan yang

dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dimana gagasan utama yang

melandasi perubahan ini adalah keinginan untuk mewujudkan Indonesia sebagai

negara hukum (rule of law, rechstaat) dan negara demokrasi yang berlandaskan

konstitusi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun2004 tentang Mahkamah

Konstitusi, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah : Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

1. Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman;


(47)

3. Sebagai penegak hukum dan keadilan

Untuk menjamin bahwa gagasan utama atau dasar pembentukan

Mahkamah Konstitusi ini benar-benar dilaksanakan dalam prakteknya, maka

Mahkamah Konstitusi diberi tugas, yang tercantum dalam Penjelasan Umum

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu

menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka

menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab

sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah

Konstitusi ini sekaligus menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang

stabil, yang juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan

ketatanegaraan di masa lalu yang timbul oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Dalam melaksanakan tugas sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, Mahkamah

Konstitusi mempunyai kewenangan menangani perkara-perkara ketatanegaraan

seperti yang tercantum dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 10 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

yaitu:

1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

3. memutus pembubaran partai politik; dan


(48)

5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar sering disebut dengan judicial review. Namun,

sebenarnya kewenangan ini disebut sebagai constitutional review, atau pengujian

konstitusional39

Dalam sistem constitutional review, tercakup dua tugas pokok

, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah

menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang berdasarkan Undang-Undang

Dasar 1945.

40

1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau

“interplay” antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional Review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.

, yaitu :

2. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan

kekuasaaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental

mereka yang dijamin dalam konstitusi.

39

Jimly Asshidiqqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekjend. Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2008, hlm. 493.

40

Jimly Asshidiqqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Berbagai Negara,


(49)

Dalam melakukan pengujian terhadap sebuah undang-undang, apabila

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan untuk menguji

konstitusionalitas undang-undang tersebut beralasan, maka amar putusan

Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon dikabulkan

(berdasarkan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Sedangkan apabila tdak beralasan maka amar putusannya menyatakan

permohonan tidak dapat diterima (Pasal 56 ayat (1)). Terhadap permohonan yang

dikabulkan, Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan untuk kemudian

memutuskan bertentangan atau tidaknya suatu suatu undang-undang, baik karena

pembentukan undang-undang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan

Undang-Undang Dasar baik mengenai materi ayat, pasal, dan/atau bagian suatu

undang-undang41. Hal ini mempunyai relevansi terhadap keberlakuan suatu materi

undang-undang atau suatu undang-undang dengan implikasi yaitu kekuatan

hukum sebagai substansi atau seluruh materi undang-undang42

41

Pasal 51 jo. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 42

Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 . Berdasarkan

kewenangannya ini, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa materi

rumusan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Begitupula terhadap suatu

undang-undang secara keseluruhan, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan

keberlakuannya karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Melalui

Penafsiran atau interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah

Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengkoreksi


(50)

dengan Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang

mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian, undang-undang

yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif, diimbangi oleh adanya pengujian

(formal dan materiil) dari cabang yudisial, yaitu Mahkamah Konstitusi.43

43

Ikhsan Rosyada P. Daulay, Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.


(51)

BAB III

ULTRA PETITA DALAM HUKUM ACARA DI INDONESIA

C. Hukum Acara Pengadilan Umum Di Indonesia

1. Pengertian Hukum Acara dan Ketentuan Beracara Pengadilan Umum di Indonesia

Hukum Acara atau Hukum Formil adalah suatu kaedah hukum yang

mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara ke hadapan suatu badan

peradilan dan bagaimana hakim memberi putusan. Adapun hukum acara di

Indonesia, khususnya dalam Pengadilan Umum, terdiri dari :

a. Hukum Acara Pidana

b. Hukum Acara Perdata

c. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur

tentang bagaimana cara mempertahankan atau menyelenggarakan Hukum Pidana

Materil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan mengenai cara keputusan itu

dilaksanakan. Menurut Mustafa Abdulah dan Ruben Achmad44

44

, Hukum acara

pidana sebagai realisasi hukum pidana merupakan hukum yang menyangkut cara

pelaksanaan penguasa menindak warga yang didakwa bertanggung jawab atas

suatu delik (peristiwa pidana). Landasan hukum acara pidana ini adalah, salah

satunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang


(52)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.45

Sistem hukum acara yang kedua adalah Sistem Hukum Acara Perdata.

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya

menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.

Fungsi hukum acara pidana

adalah mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan

pelaksanaan keputusan oleh hakim.

46

45

Dengan berlakunya KUHAP ini, maka Herziene Indonesisch Reglement atau dalam bahasa Indonesia Reglemen Indonesia Diperbaharui (RID) bagian Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

46

Muhammad Husni, S.H,M.H., Hukum Acara Perdata. Diktat yang disampaikan pada Perkuliahan Pendidikan Khusus Profesi Advokat Fakultas Hukum USU Bekerjasama dengan IKADIN dan PERADI, 2008, hlm.1.

Dengan

kata lain, hukum acara perdata merupakan peraturan-peraturan hukum yang

menentukan bagaimana cara mengajukan perkara-perkara perdata ke muka

pengadilan (termasuk juga hukum dagang) dan cara-cara melaksanakan

putusan-putusan hakim guna memelihara dan mempertahankan hukum perdata materil.

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana

orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan serta cara bagaimana

pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya

peraturan-peraturan hukum perdata. Landasan Hukum Acara Perdata (peninggalan

Belanda) di Indonesia adalah Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv),

yang berlaku untuk Golongan Eropa. Het Herziene Indosesisch Reglement atau

dalam bahasa Indonesia Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RID), untuk

golongan bumiputera di Pulau Jawa dan Madura. Sedangkan untuk golongan

bumiputera diluar Pulau Jawa dan Madura, berlaku Rechtsreglement


(53)

Sistem hukum acara yang ketiga adalah Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara, atau sering disamakan dengan Hukum Peradilan Administrasi

Negara. Yang dimaksud dengan Hukum Acara Administrasi Negara adalah suatu

peradilan yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antara

pihak-pihak, dimana salah satu pihak adalah aparat pemerintah dan warga

masyarakat di pihak lain. Atau antara sesama aparat pemerintah mengenai

perbuatan atau tindakan dalam rangka melaksanakan tugasnya dimana para pihak

(terhadap siapa perbuatan-perbuatan itu ditujukan) tidak menerimanya dengan

alasan tindakan itu tidak sah atau dengan alasan lain.47

a.

Perselisihan atau sengketa

tersebut timbul karena masalah kompetensi atau yurisdiksi dan perbedaan

interpretasi dalam melaksanakan suatu ketentuan perundang-undangan.

Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara sesama aparat pemerintah disebut

Sengketa Intern. Sedangkan sengketa atau perselisihan yang terjadi antara aparat

pemerintah dengan warga masyarakat disebut dengan Sengketa Ekstern.

Secara umum, ketentuan beracara di pengadilan umum Indonesia adalah

sebagai berikut :

Pelaksanaan peranan hukum acara pidana dalam perkara pidana, yaitu

Bila diduga atau diketahui terjadi peristiwa pidana, maka dilakukan penyidikan

oleh polisi atau pejabat pegawai negeri sipil atau PPNS tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidikan ini dilakukan untuk mencari

dan mengumpulkan bukti-bukti yang berguna untuk menemukan siapa yang Ketentuan Hukum Acara Pidana

47

Prof. Budiman Ginting, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, bahan kuliah Hukum Acara PTUN di Fakultas Hukum USU, hlm. 1.


(1)

putusan lebih dari apa yang dimohonkan. Hal ini merupakan kelemahan dalam pertimbangan hukum putusan ini.

Selain itu, dalam putusan ini juga terdapat kelemahan yaitu putusan ini juga telah membawa keresahan di kalangan korban (yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004), yang selama ini melihat keberadaan UU KKR sebagai satu harapan untuk mewujudkan keadilan atas apa yang mereka alami di masa lalu. Tak hanya mencabut perlindungan bagi mereka dalam melanjutkan upaya pengungkapan kebenaran, putusan ini juga telah membuat kelompok korban rentan terhadap tindakan kekerasan sepihak dari kelompok-kelompok masyarakat lain.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Konstitusi Press, 2006.

---, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

---, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

---, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.

Baso Ence, Dr. H. Iryanto, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008.

Budiarjo, Prof. Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989. Daulay, Ikhsan Rosyada P., Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaannya

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Fatkhurohman, dkk., Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.

Herlinda, Erna, Tinjauan Tentang Gugatan Class Action dan Legal Standing di Peradilan Tata Usaha Negara, Medan: USU Press, 2007.


(3)

Huda, Ni’ matul, S.H.,M.Hum. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cetakan VIII, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (terjemahan), Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007.

Mahfud, Moh. MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

---, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Marzuki, Laica, Dari Timur Ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.

---, Berjalan-jalan di Ranah Hukum : Pikiran-Pikiran Lepas, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Natabaya, Prof. H.A.S., Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.

Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.


(4)

Roestandi, H. Achmad, Mengapa Saya Berbeda Pendapat?, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.

Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Soemantri, Prof. Sri M., S.H., Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: Alumni, 1996.

---, Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar, Bandung: Alumni, 2006.

Soedarsono, Putusan Mahkamah Konstitusi Tanpa Mufakat Bulat, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008. Subardiah, Maissy, Legal Standing Pemohon Dalam Pengujian Undang-Undang

(Judicial Review) Pada Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Mappi-FHUI, 2007.

Sutiyoso, Bambang dkk., Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Syahuri, Dr. Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi : “Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945 di Indonesia 1945-2002” serta Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain di Dunia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Thalib, Abdul Rasyid, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.


(5)

Diktat :

Muhammad Husni, S.H,M.H., Hukum Acara Perdata. Diktat yang disampaikan pada Perkuliahan Pendidikan Khusus Profesi Advokat Fakultas Hukum USU Bekerjasama dengan IKADIN dan PERADI, 2008

Prof. Budiman Ginting, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, bahan kuliah Hukum Acara PTUN di Fakultas Hukum USU

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Tap MPR Republik Indonesia No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi TAP MPR Republik Indonesia No. V Tahun 2000

Majalah Jurisprudence, Volume 2 Nomor 1, Maret 2005.

Jurnal dan Majalah :

Jurnal Komisi Hukum Nasional Volume 1, Desember 2008 Jurnal Konstitusi MK, Volume 6 Nomor 1, April 2009 Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3, September 2007 Majalah Konstitusi BMK, Jumat, 11 September 2009


(6)

Kamus :

Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Penerbit Djambatan, 1998

Surat Kabar :

Kompas, 21 Desember 2006

Media Indonesia, Rabu, 1 Maret 2006

Website :

http://wongbanyumas.com, Senin, 30 November 2009

ANTARAnews.com, 13Agustus 2007

http://www.hukumonline.com, Kamis, 14 Februari 2008 http://bhariwibowoblogspot.com/2007/11/ultra-petita.html