Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 776/Pdt.G/2009/PA/Mdn)

(1)

TESIS

Oleh

DYNA FILISIA

107011123/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DYNA FILISIA

107011123/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : DYNA FILISIA Nomor Pokok : 107011123 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : DYNA FILISIA

Nim : 107011123

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERNIKAHAN

AKIBAT MENGGUNAKAN DOKUMEN/KETERANGAN PALSU (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NO. 776/PDT.G/PA/MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : DYNA FILISIA


(6)

untuk dibicarakan diluar maupun didalam peraturan hukum. Pernikahan sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum atau kepercayaannya itu. Untuk menjadikan peristiwa pernikahan itu menjadi jelas dan resmi maka pernikahan perlu dicatatkan atau dibuatkan akta nikah. Dalam melakukan pencatatan nikah diperlukan kejujuran dan ketelitian antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta pernikahan. Sehingga apabila terdapat keterangan palsu dalam akta pernikahan maka pernikahan dapat dibatalkan. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai kewenangan Kantor Urusan Agama dalam memastikan kecermatan identitas calon mempelai, dan keabsahan akta nikah yang dibuat dengan menggunakan dokumen palsu, serta sanksi hukum terhadap pelaku yang memberikan dokumen dan keterangan palsu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian dan teori

fasakh, sedangkan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, terutama untuk mengkaji tentang pelaksanaan pembatalan pernikahan pada Pengadilan Agama Medan. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini secara studi kepustakaan dan wawancara (interview).

Alasan terjadinya pembatalan pernikahan yaitu ada 4 (empat) yaitu : apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974), apabila salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974), apabila suami/istri yang masih mempunyai ikatan pernikahan melakukan pernikahan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 1/1974), dan apabila pernikahan tidak sesuai dengan syarat-syarat pernikahan (pasal 22 UU No. 1/1974). Sanksi bagi pelaku yang memberikan keterangan palsu dan proses pencatatan pernikahan yaitu dapat berupa sanksi kurungan (penjara) dan juga denda. Pencatatan pernikahan yang menggunakan dokumen atau keterangan palsu tetap tidak sah di mata Negara, dan dilakukan pembatalannya oleh Pengadilan Agama. Namun dalam ketentuan hukum Islam pernikahan yang telah dilangsungkan tetap sah apabila sudah memenuhi syarat dan ketentuan rukun pernikahan.


(7)

as husband and wife. It always current to be discussed inside or outside the legal provisions. Marriage is valid when it follows the legal provisions or religion of the parties concerned. In order to make it certain and legimate, it must be registered in a marriage certificate. In registering the marriage, the honesty and fairness of the parties concerned are needed so that when false testimony occurs in the marriage certificate, the marriage is cancelled. The problems which arise in the study are about the authority of the Religious Affairs Office in confirming the accuracy of the identities of the bride and the bridegroom, the validity of marriage certificate made in false document, and the legal sanction imposed upon the person who makes the false document.

The theory used in this research was the theory of evidence and fasakh (divorce by judicial decree) theory with judicial normative method in order to analyze the implementation of the marriage cancellation in the Religious court, Medan. Judicial normative method is the research which is referred to legal norms stipulated in the legal provisions, as a normative basis which begins from the general premise and ends in a specific conclusions. The data were gathered by performing literature study and interviews.

There are four reasons for the marriage cancellation: when the marriage is carried out Under the threat which violates the law (Article 27 of Law No.1/1974), when one of the parties Counterfeits his identity (Article 27 of Law No. 1/1974), when the husband or the wife still has bonds of matrimony with another person (Article 24 of law No. 1/1974), and when the marriage does not meet the marriage requirements (Article 22 of Law No. 1/1974). The person who gives false information in the process of marriage registration will have sanction imposed on him with imprisonment and fine. The marriage registration which uses false document or false information is not valid according to the state, and is canceled by the Religious Court. However, in the Islamic Law, the marriage is valid if it follows the Islamic marriage principle.


(8)

berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 776/Pdt.G/2009/PA/Mdn)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH., Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA. Ph.D., dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.

selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(9)

tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Kepala Kantor Urusan Agama Medan Selayang beserta staf, Hakim Pengadilan Agama Medan, beserta staf bagian pembiaaan dan seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini. 8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya kepada ayahanda, Ibunda serta Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan


(10)

Medan, Agustus 2012 Penulis,


(11)

1. Nama : Dyna Filisia

2. Tempat/Tanggal lahir : Palembang, 22 Desember 1987

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Komplek Taman Setia Budi BHR No.82

Medan.

7. No. Handphone : 085-268-600-072

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Muchtar, S.ST

2. Nama Ibu : Najuwaty. S

3. Nama Adik : Dwi Febriany, ST

III. PENDIDIKAN

1. SD : Tahun 1993s/d 1999

SD Negeri Nomor 15 Palembang

2. SMP : Tahun 1999 s/d 2002

SMP Negeri 8 Palembang

3. SMA : Tahun 2002 s/d 2005

SMU Bina Warga 2 Palembang 4. Perguruan Tinggi (S1) : Tahun 2005 s/d 2009

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang

5. Perguruan Tinggi (S2) : Tahun 2010 s/d 2012

Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera utara Medan


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 1

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian... 26

BAB II KEWENANGAN KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MEMASTIKAN KEABSAHAN IDENTITAS CALON MEMPELAI ... 30

A. Tata Cara Kantor Urusan Agama Dalam Melakukan Pengesahan Pencatatan Perkawinan... 30

B. Kendala Yang Dihadapi KUA Dalam Upayanya Mengesahkan Pencatatan Perkawinan ... 37

C. Upaya Yang Dilakukan KUA Agar Tidak Terjadi Pemalsuan data... 40

BAB III KEABSAHAN AKTA NIKAH YANG DIBUAT DENGAN MENGGUNAKAN DOKUMEN PALSU ... 52

A. Faktor Penyebab Terjadinya Keterangan Palsu Dalam Akta nikah... 52


(13)

PALSU ... 88

A. Pengertian dan Peranan Sanksi ...88

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Keterangan Palsu Dalam Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...100

A. Kesimpulan ...100

B. SARAN ...102


(14)

untuk dibicarakan diluar maupun didalam peraturan hukum. Pernikahan sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum atau kepercayaannya itu. Untuk menjadikan peristiwa pernikahan itu menjadi jelas dan resmi maka pernikahan perlu dicatatkan atau dibuatkan akta nikah. Dalam melakukan pencatatan nikah diperlukan kejujuran dan ketelitian antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta pernikahan. Sehingga apabila terdapat keterangan palsu dalam akta pernikahan maka pernikahan dapat dibatalkan. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai kewenangan Kantor Urusan Agama dalam memastikan kecermatan identitas calon mempelai, dan keabsahan akta nikah yang dibuat dengan menggunakan dokumen palsu, serta sanksi hukum terhadap pelaku yang memberikan dokumen dan keterangan palsu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian dan teori

fasakh, sedangkan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, terutama untuk mengkaji tentang pelaksanaan pembatalan pernikahan pada Pengadilan Agama Medan. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini secara studi kepustakaan dan wawancara (interview).

Alasan terjadinya pembatalan pernikahan yaitu ada 4 (empat) yaitu : apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974), apabila salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974), apabila suami/istri yang masih mempunyai ikatan pernikahan melakukan pernikahan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 1/1974), dan apabila pernikahan tidak sesuai dengan syarat-syarat pernikahan (pasal 22 UU No. 1/1974). Sanksi bagi pelaku yang memberikan keterangan palsu dan proses pencatatan pernikahan yaitu dapat berupa sanksi kurungan (penjara) dan juga denda. Pencatatan pernikahan yang menggunakan dokumen atau keterangan palsu tetap tidak sah di mata Negara, dan dilakukan pembatalannya oleh Pengadilan Agama. Namun dalam ketentuan hukum Islam pernikahan yang telah dilangsungkan tetap sah apabila sudah memenuhi syarat dan ketentuan rukun pernikahan.


(15)

as husband and wife. It always current to be discussed inside or outside the legal provisions. Marriage is valid when it follows the legal provisions or religion of the parties concerned. In order to make it certain and legimate, it must be registered in a marriage certificate. In registering the marriage, the honesty and fairness of the parties concerned are needed so that when false testimony occurs in the marriage certificate, the marriage is cancelled. The problems which arise in the study are about the authority of the Religious Affairs Office in confirming the accuracy of the identities of the bride and the bridegroom, the validity of marriage certificate made in false document, and the legal sanction imposed upon the person who makes the false document.

The theory used in this research was the theory of evidence and fasakh (divorce by judicial decree) theory with judicial normative method in order to analyze the implementation of the marriage cancellation in the Religious court, Medan. Judicial normative method is the research which is referred to legal norms stipulated in the legal provisions, as a normative basis which begins from the general premise and ends in a specific conclusions. The data were gathered by performing literature study and interviews.

There are four reasons for the marriage cancellation: when the marriage is carried out Under the threat which violates the law (Article 27 of Law No.1/1974), when one of the parties Counterfeits his identity (Article 27 of Law No. 1/1974), when the husband or the wife still has bonds of matrimony with another person (Article 24 of law No. 1/1974), and when the marriage does not meet the marriage requirements (Article 22 of Law No. 1/1974). The person who gives false information in the process of marriage registration will have sanction imposed on him with imprisonment and fine. The marriage registration which uses false document or false information is not valid according to the state, and is canceled by the Religious Court. However, in the Islamic Law, the marriage is valid if it follows the Islamic marriage principle.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT, terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur itu, masing-masing untuk menopang kebahagiaan hidup manusia dunia dan akhirat. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasangan-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan karena manusia merupakan makhluk sosial. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup terartur, demikianlah pula diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya mereka cenderung merasa tenteram serta dijadikan-Nya diantara suami dan isteri itu kasih sayang. “Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan laki-laki, ada yang saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama.”1

Perkawinan juga merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Dan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan

1Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Bandung, 1984, Hal. 7.


(17)

hukum antara suami dan isteri dan dengan lahirnya anak-anak menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka.

Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan pernikahan atau perkawinan tersebut diperlukan norma hukum terutama dalam rangka mengatur hak dan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga dalam suatu ikatan perkawinan, pada dasarnya merupakan fitrah atau naluri manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya, pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.2

Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang

2Cholil Mansyur,Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa,Usaha Nasional, Surabaya, 1994, Hal.19


(18)

lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, pernikahan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Dalam taraf permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan.

Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin ini tercermin dari adanya kerukunan suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam pernikahan perlu ditanamkan bahwa pernikahan itu adalah berlangsung untuk selama-lamanya kecuali dipisahkan dengan kematian.

“Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari kata kawin yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab Nikah.”3 “Di dalam pernikahan, perempuan ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, dia diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Dia harus dilamar secara layak dari wali atau keluarganya.”4

“Dalam Islam pernikahan merupakan suatu aqad (perjanjian) yang diberkahi antara seorang laki-laki dan seorang wanita, yang dengannya dihalalkan bagi keduanya mulai mengarungi kehidupan safari yang panjang, yang diwarnai dengan rasa cinta dan kasih, saling tolong menolong, saling pengertian dan penuh toleransi,

3

Lili Rasyidi,Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia Dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, Hal.3.

4Huzaemah Tahido Yanggo,Fikih Perempuan Kontemporer, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 95.


(19)

masing-masing saling memberikan ketenangan, ketentraman, dan kenikmatan hidup”.5

Oleh karena itu, untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuaian terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Pernikahan sebagaimana yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul merupakan salah satu manifestasi ibadah bagi umat Islam, terjadinya perkawinan adalah cikal bakal adanya kehidupan bermasyarakat yang teratur. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah pernikahan.

“Islam adalah aturan hidup yang memberi hak kepada semua pihak sehingga tidak akan membiarkan terjadinya ketimpangan dan kejanggalan dalam kehidupan masyarakat.”6 Menurut ajaran Islam tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga berupa keluarga yang tunduk pada amanah Allah untuk memperoleh keturunan. Oleh karena tujuan pernikahan Islam ialah membentuk keluarga dan memperoleh keturunan, maka Islam, kendatipun tidak menghendaki terjadinya perceraian, tetapi memperkenankannya, jika kehidupan diantara suami isteri mengalami kegagalan.

“Perkawinan yang tidak harmonis keadaannya, tidak baik dibiarkan berlarut-larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami dan isteri, perkawinan yang demikian diputus cerai. Tentu berakibat pada anak-anak putra-putri nya, yang tidak pernah berbuat salah, menanggung akibat perbuatan orang tuanya.”7

Menjalankan kehidupan rumah tangga tidaklah mudah “Sudah merupakan sifat manusia apabila timbul percekcokan dan kesalahpahaman di dalam keluarga.

5

Muhammad Ali Al-Hasyimy,Jati Diri Wanita Muslimah, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 1998, Hal 143.

6

K.H Saiful Islam Mubarak,Poligami Antara Pro & Kontra,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 95.

7Martiman Prodjohamidjojo,Hukum Perkawinan Indonesia,Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2011, Hal. 1.


(20)

Oleh karena itu, setiap anggota keluarga dituntut untuk selalu bertaqwa kepada Allah, bersabar dan melakukan pengendalian diri.”8

Ajaran Islam tentang kehidupan rumah tangga terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman dan kasih sayang yang terdiri atas isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat, serta kerabat yang saling membina silahturahim dan tolong-menolong keluarga tersebut mengetahui hak-haknya dan melaksanakan kewajibannya. Karena itu Islam mengatur hak dan kewajiban suami isteri dengan jelas dan tegas agar kehidupan rumah tangga dapat berjalan harmonis.9

UU No. 1 tahun 1974 yang selanjutnya ditulis dengan Undang-undang perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun membuktikan bahwa tidak selalu tujuan itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang tidak sesuai dengan ajaran agama. “Menurut DR. Mr. Hazairin, Undang-undang perkawinan ini adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku bagi setiap warga Negara Republik Indonesia”.10

Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

8 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengakap Hukum-Hukum Allah (syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal. 171.

9Huzaemah Tahido Yanggo,op. cit. ,Hal. 69.

10

Hazairin, Tinjauan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta, 1975, Hlm. 260.


(21)

Perkawinan adalah sah, apabila dialakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaannya itu. Kepercayaannya itu sesuai dengan memori penjelasan pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing itu, termasuk golongan agama dan kepercayaan sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dari undang-undang yang berlaku.

“Berlakunya undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, seperti yang kita ketahui semuanya adalah hasil kompromi antara pemerintah dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Seperti biasanya undang-undang hasil dari suatu kompromi tidaklah memuaskan semua pihak.”11Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksudkan oleh undang-undang. Juga telah dijelaskan bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.

“Disamping itu, pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (mistaqan galizan) aspek hukum yang timbul dari perkawinan. Realisasi dari pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing salinannya dimiliki oleh istri dan suami. Akta tersebut dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila

11Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, C.V Percetakan Mestika,Medan, 1977, Hal. 404.


(22)

ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.”12

Adapun fungsi akta pernikahan atau fungsi pencatatan dalam suatu perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain dan masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan di mana perlu terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik.

Perkawinan itu terikat pada bentuk tertentu, yaitu harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh negara. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinannya diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkwinan akan dilangsungkan. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan wajib meneliti apakah syarat-syarat perkawinan yang bersangkutan telah dapat terpenuhi secara lengkap.

Bahwa sesunguhnya seseorang yang akan melaksanakan sebuah perkawinan diharuskan memberitahukan terlebih dahulu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan oleh seorang maupun oleh kedua mempelai. Dengan adanya pemberitahuan tersebut, K. Watjik Saleh berpendapat : “Maksud untuk melangsungkan perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam hal

12


(23)

salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu”.13

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan mendaftarkan diri terlebuh dahulu, maksudnya agar lebih mengetahui dengan jelas identitas dirinya.

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disamping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai pada Kantor Urusan Agama kecamatan.

PPN juga harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan termasuk mengenai hal akta pernikahan. Akta pernikahan merupakan hal yang penting dan perlu. Semua akta pernikahan yang dikeluarkan oleh KUA merupakan akta otentik yang mengandung kebenaran murni, merupakan kekuatan dan kepastian hukum. “Negara ataupun pemerintah harus diutamakan untuk dilindungi dari segala tindak pidana yang akan ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Adalah merupakan kewajiban sosial bagi setiap warga Negara untuk turut serta melindungi Negara dan pemerintahannya, setidak-tidaknya tidak menimbulkan sesuatu yang sifatnya negative bagi Negara dan pemerintah.”14Oleh karena itu dalam membuat keterangan diperlukan adanya kejujuran dan ketelitian antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta pernikahan. Apabila penghadap

13

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, Hal. 19.

14

Madjwes,Perlakuan Hukum Pidana Terhadap Pegawai Negeri Sipil,Prima karya, Jakarta, 1987, Hal. 9.


(24)

memberikan kerterangan palsu dalam akta pernikahan maka akta pernikahan dapat dicabut kembali dan dinyatakan batal. Dan si penghadap dapat dituntut pula dengan kejahatan tindak pidana. “oleh karena itu pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkanoleh syari’at Islam adalah perbiatan yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapapun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakannya. Hukum islam menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan terlebih dahuku diadakan penelitian yang mendalam untuk memeperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang telah ditentukan masih belum lengkap atau masih terdapat halangan pernikahan maka pelaksanaan pernikahan haruslah dicegah.”15

Untuk memiliki bukti dalam menentukan status kejadian diatas, maka orang tersebut harus mendaftarkan peristiwa atau kejadian itu pada kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dengan demikian orang tersebut akan memperoleh bukti tertulis berupa akta catatan sipil. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan lanjutan dari “Lembaga Catatan Sipil pada jaman pemerintahan kolonial Belanda yang dikenal dengan nama “Burgerlijke Stand” atau dikenal dengan singkatan B.S yang mengandung arti suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negara seperti kelahiran, perkawinan, kematian.”16 Bagi non muslim Akta Catatan Sipil merupakan hal yang penting dan perlu karena

15

Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, Hal. 42.

16


(25)

dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh kapasitas mengenai kejadian-kejadian penting yang dalam hal ini pernikahan. Bila bagi muslim harus mendaftarkan diri di Pejabat Pembuat Akta Nikah (P3N).

Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam keluarga maka terdapat macam-macam akta catatan sipil, yaitu :

1. Akta Kelahiran

2. Akta Perkawinan/Pernikahan 3. Akta Kematian

4. Akta Perceraian

5. Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak 6. Akta Penggantian Nama.17

“Dengan demikian bahwa akta catatan sipil merupakan hal yang sangat menentukan akan kebenaran dan suatu pemalsuan apabila diperkarakan. Dalam lingkungan internasional akta catatan sipil mendapat pengakuan yang sah.” 18 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa

17

Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hal. 1


(26)

KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.

Bagi umat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuanItsbatNikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) dan (3) dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat

nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang perkawinan. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya undang-undang tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian. Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian.

Selain itu proses yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama. Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat kesulitan ketika menuntut hak.


(27)

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu;

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ujudnya suatu pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan akta-akta yang telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.”19

Pada pasal 2 ayat (2) undang-undang perkawinan menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.20

Kejujuran dari si pelapor dalam melaksanakan pencatatan perkawinan sangat penting dalam memberikan keterangan identitas yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya tanpa ada yang ditambahi ataupun dikurangi demi lancarnya proses pencatatan perkawinan . Sehingga pernikahan yang dilangsungkan sah dimata agama dan sah pula dimata hukum. Dan apabila terjadi pemalsuan identitas atau keterangan yang diberikan oleh si pelapor yang akan melangsungkan pernikahan maka pernikahan dapat dinyatakan batal atau dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Dan si pelapor dapat dikenakan sanksi.

19Jafizham,op. cit., Hal. 165.

20Achmad Ichsan,Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam,Pradya Paramita, Jakarta, 1987, Hal. 33.


(28)

“Pembatalan suatu pernikahan hanya dapat dimajukan ke Pengadilan Agama oleh yang berkepentingan.”21

Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat hasil perkawinan itu tidak terlindung oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan persyaratan-persyaratan tersebut dan dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjadi tidak sah. Akibatnya kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak yang tidak sah pula menurut hukum.22

“Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan dalanm bentuk akta otentik.”23 Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti ini, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata.

“Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peran penting dan setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, manjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindarinya terjadinya sengketa,

21Ibid,Hal.112. 22

Achmad Ichsan,op. cit., Hal. 63. 23

Herman Adriansyah, Keterangan Palsu dalam Akta Otentik,

http://www.scribd.com/doc/20321341/Keterangan-Palsu-Dalam-Akta-Otentik , diakses tanggal 15 Mei 2012.


(29)

walaupun sengketa itu sendiri dalam kondisi-kondisi tertentu tidak dapat terelakkan.”24

Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal trsebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia. Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik.

Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu tindak pidana pemalsuan.25

Salah satu contoh permasalahan yang sering terjadi yaitu pada kasus pemalsuan identitas yang terjadi di kantor KUA Kecamatan Medan Labuhan. Tuan J sebagai penggugat melaporkan Tuan S dan Nyonya H yang telah melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Labuhan, bahwa lebih kurang 1 bulan setelah terjadi pernikahan antara Tuan S dan Nyonya H datanglah seorang wanita bernama Nyonya YM ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan

24

Putri A.R,Perlindungan Hukum Terhadap Notaris,PT Sofmedia, Medan, 2011, Hal. 106. 25 Adamichazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal. 114.


(30)

Labuhan. Nyonya YM mengajukan keberatan atas pernikahan yang dilakukan Tuan S dan Nyoya H dikarenakan Nyonya YM masih berstatus istri sah dari Tuan S dan tidak ada bukti-bukti lain yang menyatakan telah terjadi perceraian antara Nyoya YM dan Tuan S. Namun surat keterangan untuk nikah atas nama Tuan S menyatakan bahwa Tuan S berstatus duda dengan dilampiri surat keterangan kematian isteri. Dalam hal ini Tuan S telah melakukan pemalsuan identitas karena ternyata Nyonya YM selaku isterinya masih hidup.

Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan menyebabkan KUA harus meminta bantuan Pengadilan Agama untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat KUA merupakan instansi yang berwenang dalam membuat akta pernikahan yang dalam hal ini merupakan akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para penghadap dan sudah menjadi dokumen negara.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Kantor Urusan Agama dalam memastikan kecermatan identitas calon mempelai?

2. Bagaimana keabsahan akta nikah yang dibuat dengan menggunakan dokumen palsu?

3. Bagaimana sanksi hukum kepada penghadap yang memberikan dokumen dan keterangan palsu?


(31)

C. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan Kantor Urusan Agama dalam memastikan kecermatan identitas calon mempelai.

2. Untuk mengetahui keabsahan akta nikah yang dibuat dengan menggunakan dokumen palsu.

3. Untuk mengetahui sanksi hukum kepada penghadap yang memberikan dokumen dan keterangan palsu.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal pertanggungjawaban KUA terhadap akta nikah yang menggunakan dokumen palsu.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas tentang pertanggungjawaban KUA terhadap akta nikah yang menggunakan dokumen palsu.


(32)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia, Kantor Urusan Agama dan lebih khusus lagi bagi pemerintah kota Medan, Kantor Urusan Agama Kota Medan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan dalam pembuatan akta pernikahan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis Pembatalan Akta Nikah Yang dibuat Dengan Menggunakan Dokumen Palsu” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :

1. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Siti Maimana sari, Masiswa Program Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara, dengan judul Pertanggungjawaban Notaris Dalam Hal Pembuatan Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu. Penelitian tersebut menitikberatkan pembahasannya tentang bagaimana aspek hukum pidana dalam kasus keterangan palsu dalam akta otentik dan bagaimana penegakan hukum oleh penegak hukum dalam kasus tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana Notaris dalam kasus tersebut.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga


(33)

penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.”26 Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya.

Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian dan teorifasakhyang berarti merusak atau membatalkan. “Jadifasakhsebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.”27

Menurut Muhammad Yahya Harahap : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan oleh Undang-undang membuktikan kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa.”28

Dikenal ada 3(tiga) teori tentang pembuktian antara lain :

a. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-undang secara positif

Pembuktian menurut Undang-undang secara positif keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan Undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Pembuktian menurut Undang-undang sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.29

b. Teori Hukum Pembuktian menurut keyakinan hakim

“Teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim terdapat 2 (dua) bentuk polarisasi yaitu :

26W. Friedman,Teori dan Filsafat Umum,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 2

27A. Hamid Sarong,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Yayasan Pena, Banda Aceh, 2010, Hal. 143

28 M. Yahya Harahap, Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Kasasi dan Peninjauan Kembali,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 252.


(34)

1. Conviction Intime berarti kesalahan terdakwa tergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terkait oleh suatu peraturan misalnya : Dalam putusan hakim berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain sebagainya.

2. Conviction Raisonce berarti keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi penerapan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.30

c. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif

“Teori pembuktian menurut Undang-undang negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat-alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh Undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.”31

Menurut Amir Syarifuddin : Fasakh ini pada dasarnya terjadi atas inisiatif pihak ketiga, yaitu hakim setelah hakim mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan, baik pada perkawinan yang telah berlangsung ternyata terdapat kesalahan, seperti tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maupun pada diri suami atau isteri terdapat kekurangan yang tidak mungkin dipertahankan untuk kelangsungan perkawinan itu.32

Batalnya suatu pernikahan hanya dapat diputuskan oleh Hakim, pasal 85 KUH Perdata. “ Keputusan tentang batalnya suatu pernikahan : (1) karena suami isteri masih terikat dalam perkawinan yang lebih dahulu. Dengan demikian laki-laki beristri lebih dari seorang dan seorang perempuan bersuami lebih dari seorang, (2) ketika pernikahan dilangsungkan tanpa kemauan (persetujuan) yang bebas dari kedua suami isteri atau salah seorang dari padanya, (3) pernikahan dilangsungkan oleh seorang yang mempunyai

30Ismail, Analisis Terhadap Penerapan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2010, Hal. 14.

31

Ibid, Hal. 14.

32Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,Ed. I, Cet. I, Pranada Media, Jakarta, 2006, Hal. 243.


(35)

cacad rohaninya, (4) pernikahan dilangsungkan oleh seorang yang belum mencapai umur laki-laki 18 tahun dan wanita 15 tahun.33

Perkawinan dapat dibatalkan, bila:

1. perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974).

2. salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama.

3. suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974).

4. Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan).34

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 71, disebutkan yang dapat dibatalkan, yaitu:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama,

2. Wanita yang diketahui ternyata masih menjadi istri laki –laki lain, 3. Wanita yang dikawini masih dalam masa iddah,

4. Perkawinan yang melanggar batas minimal usia yang ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan,

5. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak,

6. Perkawinan karena dipaksa.35

Apabila, perkawinan dilaksanakan yang terjadi sabagai mana yang disebutkan di atas, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan dengan mengajukan ke Pengadilan dimana pasangan atau salah satu pasangan suami -istri itu bertempat tinggal. (Pasal 25 Undang – undang Nomor 1 tahun 1974).

Siapa yang berhak mengajukan pembatalan pernikahan tersebut: Berdasarkan pasal 23 Undang – udang Nomor 1 tahun 1974, disebutkan para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, 33

T. Jafizham S.H,op. cit,Hal.165.

34YLBH APIK Jakarta, Batalnya Suatu Perkawinanhttp://www.lbh-apik.or.id/fac-no.27.htm, diakses tanggal 29 Februari 2012


(36)

suami atau istri, pejabat yang berwenang atau pejabat pengadilan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 73, menyebutkan: para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah dari suami atau istri, pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan menurut undang – undang, para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang – undangan. Mereka yang disebutkan dalam peraturan tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawian, baik oleh dirinya sendiri atau menguasakan kepada kuasa hukumnya, dengan datang ke pengadilan yang mewilayahinya.36

Dalam pasal 26 ayat (2) Undang – undang Nomor 1 tahun 1974, hak untuk membatalkan oleh suami atau istri gugur, apabila mereka sudah hidup bersama sebagai suami-istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Begitu juga dalam hal adanya ancaman, setelah pasangan tersebut hidup bersama selama jangka waktu 6 (enam) bulan tidak menggunakan haknya dan ancamannya telah berhenti, maka tidak dapat lagi diajukan pembatalan (Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).

Pembatalan suatu perkawinan berlaku setelah ada keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, (pasal 28 ayat (1) Undang – undang Nomor 1 tahun 1974).

Cara membatalkan perkawinan yaitu :

a. Mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73)

b. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.

36Abdul Kadir, Pembatalan Perkawinan,


(37)

c. Sebagai Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125)

d. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.

e. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

f. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan

g. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).37

Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan sendiri (misalnya karena suami memalsukan identitasnya atau karena perkawinan terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup bersama sebagai suami istri, maka untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).

Tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini dirasakan meningkat, sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi di segala bidang yang membawa akibat yang sangat jauh khususnya dalam modernisasi strata sosial . adapun salah satu bagian yang paling menonjol dalam


(38)

hubungan ini adalah bahwa masyarakat Indonesia pada saat ini merasakan betapa penting dan perlunya seseorang memiliki bukti tertentu dalam membuktikan status seseorang atas kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa salah satunya yakni perkawinan.

Penyelesaian sengketa pernikahan, adalah usaha-usaha dari Petugas Pencatat Nikah (PPN) sebagai Pegawai Kantor Urusan Agama untuk bertanggungjawab dan mencari jalan keluar agar pihak-pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan

islah (perdamaian) agar pernikahan dapat dilaksanakan tanpa merugikan pihak manapun. Pencatatan Pernikahan adalah ihwal pencatatan yang meliputi pemeriksaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam.

Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP diatur dalam buku II Bab XII, (Pasal 263 sampai dengan pasal 275).

Ketentuan pasal 263 KUHP menyatakan :

(1)Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.

(2)Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu dapat mendatangkan kerugian.


(39)

(1)Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap :

a. Akta-akta otentik

b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

c. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;

d. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam b dan c, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan; (2)Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai

surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan :

(1)Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.

(2)Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.

2. Kerangka Konsepsi

“Kerangka konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau


(40)

memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.”38

“Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitai hukum.”39 Guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, dan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini, yang dimaksud dengan :

“Akta otentik adalah suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis di dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya,tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dala arti ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan sutau alat bukti yang mengikat dan sempurna.”40

“Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat untuk dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang berwenang untuk membuat akta otentik tersebut”.41

Tindak pidana pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek)

38M. Solly Lubis,loc. Cit.

39Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatau Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal. 7.

40

R. Subekti (I),Hukum Pembuktian,Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, Hal 27.

41P. A.F Lamintang,Delik-Delik Khusus (Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan), Mandar Maju, Bandung, 1991, Hal 83.


(41)

yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan sebenarnya”.42

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini adalah “usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis dan sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.”43

Penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis Pembatalan Akta Nikah Yang Dibuat Dengan Menggunakan dokumen Palsu” bersifat deskriptif analisis, maksudnya: “untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data, baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas data tersebut secara kategoris, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas dan dikaji secara logis.”44

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatanyuridis normative (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal

42

Adamichazawi,Kejahatan Terhadap Pemalsuan,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal 2-3

43 Soegeng Santosa, Dodi radjasa Waluyo, dkk,Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia (27-29 Januari 2005),Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005, Hal. 3.


(42)

ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru ( suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk(teoritis).

2. Sumber Data

Penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari :

a. Norma dasar atau kaidah dasar yaitu pembukaan UUD 1945;

b. Peraturan dasar :mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945 dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Peraturan perundang-undangan;

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; e. Yurisprudensi

f. Traktat

g. Bahan hukum dari masa penjajahan yang hingga kini masih berlaku.45 2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.”46

3. Bahan Hukum Tertier

Yaitu “bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.”47

45Muliyadi Nur, Tipologi Penelitian Hukum,

http://muliadinur.wordpress.com/2008/07/16/tipologi-penelitian-hukum/, diakses tanggal 29 Februari 2012.


(43)

3. Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pegumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.

1. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, baham hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. “ Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.“48

2. Wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini digunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara(dept interview) secara langsung yaitu kepada :

a. Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) b. Hakim Pengadilan Agama (PA)

47Mirandarule, Metode Penelitian Hukum Normatif, http://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/, diakses tanggal 29 Februari 2012.

48Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 13-14.


(44)

4. Analisis Data

Analisa data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data ini dikenal adanya metode kualitatif .

“Penggunaan analisis kualitatif sangat tepat apabila dipergunakan dalam penelitian yang bersifat eksploratoris. Analisis kualitatif juga dipergunakan dalam penelitian hukum normatif, namun untuk penelitian hukum empiris/sosiologis analisis kualitatf dapat dipergunakan bersama-sama dengan analisis kuantitatif.”49

49Bambang Waluyo, S.H. ,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hal. 78.


(45)

BAB II

KEWENANGAN KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MEMASTIKAN KEABSAHAN IDENTITAS CALON MEMPELAI

A. Tata Cara Kantor Urusan Agama Dalam Melakukan Pengesahan Pencatatan Perkawinan

Kantor Urusan Agama merupakan unit kerja yang bernaung dan membantu kegiatan Kementerian Agama Kabupaten atau Kota terutama dalam bidang urusan agama Islam. Di dalam Negara RI yang berdasarkan hukum, segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran, kematian, termasuk juga perkawinan. Perkawinan berhubungan erat dengan masalah kewarisan, kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar ada tertib hukum.

“Dalam bidang kepenghuluan Kantor Urusan Agama menyelenggarakan Pencatatan Nikah dan Rujuk, beserta pelaporannya secara berkala dengan program kerja yang terukir dan terarah. Di bidang keluarga sakinah, Kantor Urusan Agama bersama Badan Pembinaan, Penasehatan, dan Pelestarian Perkawinan menyelenggarakan Pembinaan dan sosialisasi tentang Program Keluarga Sakinah. Baik secara individual ataupun kolektif melalui pembinaan rutin secara terencana dan tekordinasi dengan instansi lain yang setingkat dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan. Di bidang produk pangan halal Kantor Urusan Agama bersama Majelis Ulama Indonesia memfasilitasi penerbitan sertifikat halal sekaligus mengadakan pembinaan mengenai prosedur pangan halal secara regulasi hukum. Dalam arti hak-hak umat sebagai konsumen dapat terlindungi sekaligus pengembangan usaha produsen pangan dapat dipacu untuk dapat bersaing lebih baik lagi di tingkat daerah maupun tingkat nasional atau bahkan internasional. Di bidang ibadah sosial Kantor Urusan Agama mengadakan pemutakhiran data secara periodic terhadap sarana agama, kegiatan keagamaan baik secara organisasi maupun kelompok masyarakat untuk menjamin ketentraman ibadah umat Islam pada khususnya dan umat agama lain pada umumnya. Di bidang kemitraan umat Islam, Kantor Urusan Agama melakukan kegiatan yang proaktif meraih dan menyatukan berbagai perbedaan yang terdapat pada unsur masyarakat muslim. Terdapatnya keberagaman


(46)

pemahaman jika tidak dibina dengan baik maka dapat menjadi pemicu adanya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat. ”50

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Berikut definisi model N dalam istilah pencatatan perkawinan atau kode yang digunakan Kementrian Agama Republik Indonesia yang mengacu pada persyaratan pernikahan :

1. N1 adalah surat keterangan untuk nikah. Isinya identitas calon suami dan calon istri (nama, umur, pekerjaan, agama, kebangsaan, alamat)

2. N2 adalah asal usul mempelai. Isinya tentang identitas orang tua, suami, dan istri.

3. N3 adalah surat persetujuan mempelai. Isinya pernyataan persetujuan untuk menikah dari kedua calon mempelai.

4. N4 adalah surat keterangan izin orang tua. Isinya pernyataan persetujuan dari orang tua kedua calon mempelai.

5. N5 adalah surat keterangan orang tua bila salah satu calon mempelai masih dibawah umur 21 tahun.

6. N6 adalah surat keterangan janda atau duda. 7. N7 adalah pemberitahuan kehendak menikah.

8. N8 adalah pemberitahuan tentang kesalahan dan pemberitahuan adanya kesalahan atau kekurangan tentang persyaratan pernikahan.

9. N9 adalalah penolakan pernikahan.51

50Rohendi Muhtar, Problem Pegawai KUA, http://rohendimuhtar.blogspot.com/2011/01/makalah-upkp-goliii-staff-karya-tulis.html, Diakses Tanggal 18 Mei 2012.


(47)

Untuk merencanakan perkawinan masyarakat harus melakukan persiapan-persiapan sebagai berikut :

1. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui/ merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun.

2. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan).

3. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hak dan kewajiban suami istri dan sebagainya.52

Adapun surat-surat yang diperlukan dan harus dilengkapi untuk melangsungkan pernikahan yaitu sebagai berikut :

a. Perkawinan Sesama Warga Negara Indonesia

1. Foto Copy dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin masing-masing 1 (satu) lembar.

2. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui Rt, Rw dan lurah setempat.

3. Surat keterangan untuk nikah dari kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik calon Suami maupun calon Istri.

4. Pas photo calon Pengantin ukuran 2x3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota ABRI/TNI/POLRI berpakaian dinas.

5. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah setempat.

6. Harus ada Izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :

- calon pengantin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun; - calon pengantin perempuan yang umurnya kurang dari 19 tahun; - laki-laki yang mau berpoligami.

51Anne Ahira, Pencatatan Perkawinan Di Kantor Urusan Agama, http://www.anneahira.com/pencatatan-perkawinan.htm, Diakses tangal 17 Mei 2012.

52Alwi, Prosedur Pernikahan Dan Rujuk Di KUA, http://m-alwi.com/prosedur-pernikahan-dan-rujuk-di-kua.html, Diakses tanggal 17 Mei 2012.


(48)

7. Ijin orang tua (Model N5) bagi calon pengantin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik calon pengantin laki/perempuan.

8. Bagi anggota TNI/POLRI dan sipil TNI/POLRI harus ada izin kawin dari pejabat atasan/komandan.

9. Bagi calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah kecamatan tempat tinggalnya (berdasarkan KTP) harus ada surat rekomendasi nikah dari KUA setempat.

10. Kedua calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA yang mewilayahi tempat dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan pernikahan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat setempat.

11. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus melampirkan foto copy akte kelahiran dan status kewrganegaraannya (K1).

12. Surat keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak mampu.

b. Perkawinan Campuran

1. Akte Kelahiran/Kenal Lahir

2. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian

3. Surat Keterangan Model K ii dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih dari satu tahun).

4. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun).

5. Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari kantor imigrasi 6. Foto copy passport

7. Surat Keterangan dari kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.

8. Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.53

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas-berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon

53 Ibid


(49)

istri dan wali nikahnya. Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tingal masing-masing mempelai. PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lamapau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon.

Ketentuan Pelaksanaan Akad Nikah : 1. Pelaksanaan Upacara Akad Nikah

- Di Balai Nikah/ Kantor

- Di Luar Balai Nikah : Rumah calon mempelai, masjid atau gedung dll. 2. Pemeriksaan Ulang :

Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN/Penghulu terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor


(50)

atau apabila ada perubahan ata dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.

4. Pemberian Izin :

Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak berstatus janda. 5. Sebelum pelaksanaan ijab qabul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah

bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat.

6. Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.

7. Pembacaan Sighat Ta’lik talak (optional). 8. Penandatanganan ikrar Ta’lik Talak. 9. Penyerahan Mas kawin/mahar.

10. Penyerahan Buku Nikah/ Kutipan Akta Nikah. 11. Nasihat Perkawinan.

12. Do’a penutup.54

Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melaksanakan bimbingan perkawinan juga melakukan pencatatan perkawinan. Dengan semakin banyaknya frekuensi tugas KUA ini diperlukan sumber daya manusia handal dan kredibel yang mampu memahami dan membenahi administrasi nikah dengan baik serta mampu mempertanggungjawabkan seluruh aktifitas kegiatan yang telah dilaksanakan di lingkungannya secara transparan.

Dalam hal pencatatan perkawinan atau dalam pembuatan akta perkawinan KUA dituntut bertanggung jawab penuh terhadap akta pernikahan yang dibuatnya. Apabila akta pernikahan yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung masalah maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah karena kesalahan atau kelalaian KUA atau

54


(51)

kesalahan penghadap yang tidak memberikan keterangan yang benar. Apabila akta pernikahan yang dibuat atau diterbitkan oleh KUA mengandung cacat hukum karena kelalaian maupun kesengajaan maka KUA dalam hal ini harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan tentunya hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan. Dan apabila terbukti melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya Pegawai KUA dapat dikenakan sanksi dan dapat diberhentikan secara tidak hormat.

Menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, PNS dapat diberhentikan secara tidak hormat apabila :

a. Melanggar sumpah/Janji PNS, sumpah/janji jabatan Negeri atau peraturan disiplin PNS.

b. Dihukum penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena dengan sengaja melakukan tindakan pidana kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat.

Disamping sebab-sebab tersebut diatas seorang PNS dapat juga diberhentikan dengan tidak hormat karena :

a. Melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

b. Melakukan tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 161 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tindak pidana kejahatan berat sepert kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan yang melanggar martabat presiden dan lain-lain.


(52)

c. Melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 atau terlibat dalam gerakan atau kegiatan yang menentang Negara dan atau pemerintah.55

Oleh karena itu KUA tidak mungkin membuat suatu akta pernikahan yang mengandung cacat hukum dengan cara yang disengaja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa diluar sepengetahuan KUA, orang atau pihak yang meminta dibuatkan akta pernikahan memberikan keterangan-keterangan dan menyerahkan surat-surat dan dokumen-dokumen palsu sehingga setelah dibuat kedalam suatu akta maka ketika dikeluarkan akta tersebut menjadi akta pernikahan yang mengandung keterangan palsu.

B. Kendala Yang Dihadapi KUA Dalam Upayanya Mengesahkan Pencatatan Perkawinan

1. Paparan Data

Berikut hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Selayang yaitu Bapak Agus Salim S.Ag :

Dalam mengesahkan pencatatan perkawinan KUA hampir tidak menemukan kendala. Karena dalam upayanya tersebut petugas pencatat nikah hanya memberikan mediasi pada kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan. Mengenai pemalsuan identitas apabila hal tersebut terjadi maka pernikahan statusnya dapat dibatalkan. Seperti halnya apabila si penghadap menggunakan alamat yang bersifat sementara, hal tersebut otomatis tidak bisa diselidiki. Satu hal lagi yang susah terdeteksi adalah apabila perceraiannya terjadi di luar, maka petugas pencatat nikah


(53)

harus tetap bertanya dan secara administrasi ada pengumuman kehendak nikah yang dapat juga dijadikan sebagai alat menjaring laporan dari masyarakat. Meskipun pada dasarnya pengumuman tersebut tidak efektif.

Setiap pembatalan perkawinan KUA akan mengirimkan surat penolakan nikah. Penolakan nikah ini ada karena kekurangan atau kesalahan, ada N8 (pemberitahuan tentang kesalahan dan pemberitahuan adanya kesalahan atau kekurangan tentang persyaratan pernikahan), ada N9 (penolakan perkawinan) pada formulirnya. Hal sama dilakukan untuk penghadap yang belum cukup umur yaitu 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki. Tetapi kalau misalnya masih tetap diinginkan untuk dilangsungkan pernikahan, walaupun umurnya masih kurang maka harus ditempuh dengan izin atau penetapan dari Pengadilan Agama. Karena kalau berkenaan dengan baligh menurut agama sudah mutlak dibatalkan.

2. Analisa Data

Dari apa yang telah dipaparkan oleh Kepala KUA diatas dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi KUA :

1. Kendala tradisi, yaitu apabila terjadi pernikahan yang dilakukan oleh anak dibawah umur dan masih duduk dibangku sekolah. Hal ini bisa dimintakan surat izin dari orang tua sebagaimana yang diatur dalam “Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua


(54)

puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.”56 Sebagaimana data penolakan nikah diatas bahwa kasus penolakan nikah banyak terjadi karena perkawinan dibawah umur. Namun itu, tidak menjadi kendala yang berarti bagi KUA karena masih bisa diatasi dengan menganjurkan pihak yang terkait untuk meminta dispensasi ke Pengadian Agama.. jadi KUA tidak bisa melangsungkan perkawinannya sampai ada putusan Pengadilan Agama bahwa mereka mendapatkan dispensasi.

2. Kendala Administratif, yaitu apabila terjadi pemalsuan identitas dan status, seperti contohnya calon pria dinyatakan masih jejaka namun ternyata sudah beristri. Selain itu, KUA akan merasa kesulitan jika ternyata calon mempelai pria telah beristri dan bercerai yang dilakukan di luar negeri. Dengan demikian status sebenarnya akan sulit terdeteksi. Demikian keluhan yang diungkapkan Kepala KUA pada saat wawancara.

3. Kendala Sosial, yaitu adanya pengumuman kehendak nikah yang dipasang 10 hari sejak pendaftaran nikah dinilai kurang efektif karena tidak ada orang yang mau membacanya. Apalagi pengumuman tersebut hanya dipasang di kantor KUA, sehingga orang yang berkepentigan tidak akan datang kesana hanya untuk membaca pengumuman kehendak nikah. Bahkan, orang yang mempunyai kepentingan pun jarang yang mau membaca pengumuman tersebut. Karena itulah tidak pernah terjadi pengaduan kepada masyarakat jika ternyata perkawinan yang akan dilaksanakan tidak memenuhi syarat atau 56Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.


(1)

3. Hendaknya kepada setiap penghadap yang datang ke KUA untuk dibuatkan akta nikah, sebaiknya dalam memberikan surat-surat dan dokumen-dokumen serta keterangan yang berhubungan dengan akta nikah adalah surat-surat, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan yang sebenar-benarnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Adamichazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Al-Hasyimy Ali Muhammad, Jati Diri Wanita Muslimah, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 1998.

Ali Zainudin,Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. A.R Putri,Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, PT Sofmedia, Medan, 2011. Abdullah Rozali,Hukum Kepegawainan,C.V RAjawali, Jakarta, 1986.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademia Pressindo, Jakarta, 1992.

Doi. I. A.Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

D.Sudjono,The Control Of Crime (Hukuman Dalam Perkembangan Hukum Pidana), Tarsito, Bandung, 1974.

Friedman.W,Teori dan Filsafat Umum,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996. Fuafy Munir,Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cipta Aditya

Bakti, Bandung, 2002.

Harahap Yahya M., Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Kasasi dan Peninjauan Kembali,Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Hazairin, Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tintamas, Jakarta, 1975.

Ichsan Achmad, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Pradya Paramita, Jakarta, 1987.

Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, C.V Percetakan Mestika, Medan, 1977.


(3)

Kie Than Thong,Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran Dan Serba- Serbi Praktek Notaris,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007.

Kansil C.S. T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.

Lubis Solly M.,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994.

Lamintang P. A.F, Delik-Delik Khusus (Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umun Terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan),Mandar Maju, Bandung, 1991.

Mansyur Cholil, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya, 1994.

Mubarak Islam Saiful K.H.,Poligami Antara Pro & Kontra,Penerbit Syaamil (Lini Tsaqafah), Bandung, 2007.

Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

Madjwes, Perlakuan hukum Pidana Terhadap Pegawai Negeri Sipil, Prima Karya, Jakarta, 1987.

Manan Abdul,Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.

Mamudji Sri dan Soekanto Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Mangkupranoto Thoyib dan MArwan Muchlis, Hukum Islam II, Fakultas Hukum, Surakarta, 1986.

Marsono, Susunan Dalam NAskah Undang-Undang Dasar 1945 Dengan Perubahan-Perubahannya,Ekojaya, Jakarta, 2003.

Nasir Muhammad,Hukum Acara Perdata,Djambatan, 2005.

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center For Documentation and Studies Of Busines Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003.


(4)

Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984.

Prodjohamidjojo Martiman MR., Hukum Perkawinan Indonesia, , Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2011.

Rasyidi Lili, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia Dan Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1982.

Reksopradoto Wibowo, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan,Itikad, Semarang, 1978.

Saleh Wantjik K,Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. Subagyo. P. Joko. P., Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997.

Sarong. A. Hamid, Perkawinan Islam Di Indonesia, Yayasan Pena, Banda Aceh, 2010.

Subekti R.,Hukum Pembuktian,Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.

Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatau Tinjauan Singkat,Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Santosa Soegeng, Waluyo radjasa Dodi, dkk, Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia (27-29 Januari 2005), Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005.

Situmorang M. Victor,Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesoa,Sinar Grafika, Jakarta, 1991.

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perdata,Ed. I, Cet.I, Pranada Media, Jakarta, 2006. Syahrani Riduan dan Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di

Indonesia,Alumni, Bandung, 1978.

Sianturi. S, Asas-Asas Hukum Pidana Indoneia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1996.

Soekanto Soerjono, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, Remadja Karya, Bandung, 1998.


(5)

Sitanggang Comentyna dan M. Victor, Groose Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi,Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

Tjtrosoedibro dan Subekti,Kamus Hukum,Pradnya Paramita,Jakarta, 1979. Thalib Sayuti,Hukum Kekeluargaan Indonesia,Penerbit UI, Jakarta, 1997.

Waluyo Bambang,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1991. Waluyadi,Hukum Pidana Indonesia,Djambatan, Jakarta, 2003.

Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur bandung, Bandung, 1984.

Yanggo Tahido Huzaemah, Fikih Perempuan Kontemporer, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.

B. Undang-undang

Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12 Berita Negara Republik Indonesia TAhun 2007 Nomor 5 Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam

C. Internet

Abdul Kadir, Pembatalan Perkawinan,

http://hukum.kompasiana.com/2011/04/28/pembatalan-perkawinan/, diakses tanggal 29 Februari 2012

Anne Ahira, Pencatatan Perkawinan Di Kantor Urusan Agama, http://www.anneahira.com/pencatatan-perkawinan.htm, Diakses tangal 17 Mei 2012.

Alwi, Prosedur Pernikahan Dan Rujuk Di KUA, http://m-alwi.com/prosedur-pernikahan-dan-rujuk-di-kua.html, Diakses tanggal 17 Mei 2012.


(6)

Herman Adriansyah, Keterangan Palsu dalam Akta Otentik, http://www.scribd.com/doc/20321341/Keterangan-Palsu-Dalam-Akta-Otentik , diakses tanggal 15 Mei 2012

Muliyadi Nur, Tipologi Penelitian Hukum,

http://muliadinur.wordpress.com/2008/07/16/tipologi-penelitian-hukum/, diakses tanggal 29 Februari 2012

Mirandarule, MetodePenelitian Hukum Normatif,

http://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/, diakses tanggal 29 Februari 2012

Rohendi Muhtar, Problem Pegawai KUA,

http://rohendimuhtar.blogspot.com/2011/01/makalah-upkp-goliii-staff-karya-tulis.html, Diakses Tanggal 18 Mei 2012.

Rahmat Hidayat, Faktor Penyebab Keterangan palsu, http://www.docstoc.com/docs/74267946/BAB-VI, diakses tanggal 3 Juni 2012.

YLBH APIK Jakarta, Batalnya Suatu Perkawinan http://www.lbh-apik.or.id/fac-no.27.htm,diakses tanggal 29 Februari 2012

D. TESIS

Ismail,Analisis Terhadap penerapan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010.

Yusnaini, Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu,Tesis Program Magister Kenotariatan, Medan, 2007.


Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 776/Pdt.G/2009/PA/Mdn)

2 58 123

Tinjauan Yuridis Hak Dan Bagian Anak Laki-Laki (Studi Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.120/Pdt-G/2007/PA-TTD)

0 34 86

Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G

3 62 135

Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Perkara No. 167/Pdt.P/2000/PN-Jak.Sel)

2 51 168

Kajian Yuridis Pembatalan Penetapan Itsbat Nikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor 2686/Pdt.G/2009/PA.Lmj)

1 23 11

BAB II KEWENANGAN KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MEMASTIKAN KEABSAHAN IDENTITAS CALON MEMPELAI A. Tata Cara Kantor Urusan Agama Dalam Melakukan Pengesahan Pencatatan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Pals

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Palsu (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 776/Pdt.G/2009/PA/Mdn)

0 2 29

Tinjauan Yuridis Hak Dan Bagian Anak Laki-Laki (Studi Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No.120/Pdt-G/2007/PA-TTD)

0 0 9

Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2730/Pid.B/2001/PN.Mdn)

0 2 130