BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Arti dan Penjelasan Inkonsistensi Inkonsistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, tidak taat asas; suka berubah-ubah (tentang sikap atau pendirian seseorang, pemakaian atau pengejaan kata, dan sebagainya); selain itu Inkonsistensi juga memiliki arti yaitu mempunyai bagian-bagian yang tidak bersesuaian; bertentangan; kontradiktif. Sehingga jelas bahwa sikap dan juga pemakaian kata dalam berargumen yang tidak sesuai merupakan bentuk Inkonsistensi. Sama hal nya dengan bagian-bagian yang berkaitan namun tidak bersesuaian atau bertentangan dapat di sebut sebagai Inkonsistensi.

2. Rasionalitas Pertimbangan Hakim Dalam sebuah putusan dalam hal ini putusan yang berkaitan dengan putusan mahkamah konstitusi, dimana di dalam nya terdapat pertimbangan hakim yang digunakan sebagai dasar dalam membuat putusan. Dalam pertimbangan hakim berisi mengenai argumen yang di buat oleh hakim sendiri dalam menanggapi para pihak serta menjadikan nya sebagai alasan dasar dalam membuat putusan. Argumentasi yang dibuat hakim merupakan sebuah argumentasi hukum. Argumentasi pada dasarnya adalah penampilan proses kegiatan berpikir. Argumentasi dan 2. Rasionalitas Pertimbangan Hakim Dalam sebuah putusan dalam hal ini putusan yang berkaitan dengan putusan mahkamah konstitusi, dimana di dalam nya terdapat pertimbangan hakim yang digunakan sebagai dasar dalam membuat putusan. Dalam pertimbangan hakim berisi mengenai argumen yang di buat oleh hakim sendiri dalam menanggapi para pihak serta menjadikan nya sebagai alasan dasar dalam membuat putusan. Argumentasi yang dibuat hakim merupakan sebuah argumentasi hukum. Argumentasi pada dasarnya adalah penampilan proses kegiatan berpikir. Argumentasi dan

Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi secara tepat, teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. 2 Argumentasi hukum itu sendiri dihasilkan oleh proses penalaran (redeneer process). Penalaran selalu bersangkut paut dengan

logika dan bahasa. 3 Penalaran hukum bagi hakim merupakan kegiatan berfikir untuk

menghasilkan pendapat hukum yang berangkat dari kasus konkret yang dihadapi dengan mengacu pada sistem hukum positif. Berbeda hal nya dengan penalaran hukum yang mengkaji produk, dimana objek pada dictum putusan sebagai imperensi (penyimpulan) dari hasil kegiatan berfikir hukum dikaitkan dengan pertimbangan hukumnya. Dalam teori hukum telah diletakan kriteria rasional putusan hakim yaitu pada de heuristik dan de legitimatik. 4

de heuristik adalah metode pemecahan masalah lewat penalaran sebagai proses intelektual untuk mencapai penyelesaian masalah. Dimana dalam tahap ini hakim berusaha mencari tahu dan menemukan jalan pemecahan secara tepat dan benar. Dan pada tahap de legitimatik yang adalah kegiatan menyangkut persoalan keadilan, menggunakan

1 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1996), hlm.16. 2 Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press,2009) Cet keempat, hlm.13. 3 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Penerbit Prenadamedia Group, 2015) Edisi Pertama, hlm, 48. 4 Otje Salman, Teori Hukum, (Bandung: Penerbit Rafika Aditama, 2004), hlm. 37.

metode dengan logika deduktif untuk mencapai pola berfikir yang benar dan mencapai kebenaran. 5

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu memuat:

(1) Alasan-alasan, yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta

kejadian dikualifisir menjadi fakta hukum. (2) Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan

argumen-argumen pendukung. (3) Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan dasar-dasar hukum yang diterapkan, atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(4) Alasan hukum tak tertulis, dapat berupa argumen sosiologis dan

filosofis atau moral justice. (5) Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar (Pasal 53

ayat (2) Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). 6

3. Teori merumuskan pendapat hukum Untuk memenuhi asas objektivitas, maka pada putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang legalistik termasuk sumber hukum tak tertulis yang di jadikan dasar untuk mengadili. Undang-undang nomor 48 tahun 2009 Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan

5 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 50 6 Ibid, hlm, 45.

dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang- undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang di jadikan dasar untuk mengadili.” Dalam hal ini terdapat perbedaan mengenai “ratio decidendi” dengan “obiter dicta”, meskipun pada keduanya mengandung makna pertimbangan hukum mengenai diktum putusan. Ratio decidendi adalah pendapat hukum tertulis atau proporsi yang diciptakan oleh hakim dalam rangka penemuan hukum berkenaan

kasus konkret yang dihadapinya. 7 Adapun Ober dicta adalah pendapat hukum oleh hakim dalam rangka penemuan hukum yang tidak

berkenaan dengan kasus konkret. 8 Dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009

menentukan bahwa dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal ini, bagaimanakah metode merumuskan pendapat hukum tertulis yang berkenaan dengan kasus konkret yang terbukti menjadi fakta hukum.

Dengan menghubungkan Pasal 50 junto Pasal 53 ayat (2) dan Pasal

14 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta kebiasaan dalam praktik pengadilan, dapatlah di simpulkan adanya enam langkah dalam merumuskan pendapat hukum yang di sampaikan pada saat sidang permusyawaratan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keenam langkah tersebut sebagai berikut:

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), Cet V, 2000., hlm.114.

8 Ibid.

a. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh di yakini oleh hakim sebagai suatu kasus yang riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasar hukum pembuktian yang sah).

b. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum kedalam peristilahan yuridis

c. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung didalam aturan hukum itu, sehingga dihasilkan suatu struktur aturan yang koheren.

d. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum) secara silogisme deduktif.

e. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar.

f. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian ditetapkan sebagai pendapat hukum yang sesuai dengan dictum putusan. 9

4. Asas-Asas Putusan Tugas hakim dalam mengadili suatu perkara yaitu sangat berkait dengan persoalan normatif dan filsafat hukum sebab tugas mengadili yang dilakukan oleh hakim berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Alasan dan dasar hukum yang diterapkan dalam pertimbangan hukum tersebut; hakim bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya (Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang

9 Syarif Mappiasse, Op. Cit., hlm 71.

Kekuasaan Kehakiman). Artinya bahwa putusannya dipertanggung jawabkan sesuai pertimbangan hukum yang dibuatnya. 10

Putusan merupakan akhir suatu proses pemeriksaan perkara yang dilakukan majelis hakim, dengan terlebih dahulu dilakukan musyawarah berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan merupakan suatu pernyatan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang di beri wewenang, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Asas-asas yang harus ada dalam putusan sebagai berikut:

a. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan perinci, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili (Pasal 50 dan Pasal 53 UU No. 48 tahun 2009). Suatu putusan yang tidak cukup mempertimbangkan alasan-alasan dalam posita gugatan menurut hukum pembuktian atau tidak memberikan penilaian terhadap alat bukti secara perinci, demikian pula tidak memberi pertimbangam mengenai dasar hukumnya, baik berdasar pada pasal-pasal peraturan perundang- undangan maupun sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili, dapat dikategorikan onvol doende gemotiveerd (tidak cukup pertimbangan), sehingga menjadi alasan untuk membatalkan putusan yang bersangkutan. Gugatan yang telah dipertimbangkan menurut hukum pembuktian ternyata tidak terbukti, dinyatakan tidak beralasan hukum dan demikian gugatan tersebut harus ditolak.

10 Ibid., hlm, 46.

Demikian pula suatu gugatan yang dinyatakan tidak berdasar hukum dimana posita gugatan tidak sejalan dengan petitum gugatan, maka gugatan tersebut dinyatakan tidak berdasar hukum sehingga dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk verklaard).

b. Asas wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Asas ini digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR Pasal 189 ayat (3) R.Bg. larangan ini disebut ultra petita patrium. Mengadili lebih dari yang dituntut dikategorikan melampaui batas wewenang atau ultra vires. Ultra petita patrium atau ultra vines dikategorikan sebagai tindakan yang tidak sesuai hukum. Tindakan ultra petita yang didasarkan dengan itikad baik sekalipun, tetap dikategorikan ilegal karena bertentangan dengan prinsip the rule of law.

d. Prinsip sidang terbuka untuk umum, hal ini didasarkan pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menyatakan : (1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk

umum, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (3) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. 11 11 Ibid., hlm, 41.

5. Eksaminasi Publik Istilah eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Dalam Black’s Law Dictionary eksaminasi diartikan sebagai an investigation; search; inspection; interrogation. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap produk peradilan [dakwaan, putusan] maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan (hakim). Esensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Disamping untuk mendorong para hakim/jaksa agar membuat putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang

baik dan profesional. 12 Eksaminasi ini diharapkan mampu memberikan suatu shock

teraphy bagi para jaksa dan hakim (aparat hukum) serta menunjukkan bahwa diluar aparat hukumpun (baca: masyarakat) mampu memberikan analisa yang berbobot dan patut diperhatikan oleh aparat hukum. Lebih jauh lagi eksaminasi ini dapat digunakan sebagai referensi bagi Instiotusi hukum yang bersangkutan dalam melakukan penilaian terhadap aparatnya. 13 Penambahan kata “publik” setelah kata eksaminasi

lebih dimaksudkan untuk membedakan dengan eksaminasi yang

12 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Panduan Eksaminasi Publik (Edisi Revisi 2011), Indonesia Corruption Watch, 2011, hal 19.

13 Ibid, hlm, 26.

dilakukan oleh Kejaksaan dan Pengadilan. Tambahan istilah publik pada kata eksaminasi lebih bernuansa memberikan aksentuasi distingsi antara latar belakang pemikiran eksaminasi internal dan eksternal sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, hal ini juga bisa dimaknai sebagai pernyataan afirmatif kepada masyarakat, bahwa eksaminasi merupakan aktivitas, yang sejak dari inisiasi, proses, sampai finalisasinya, diasumsikan dihajatkan untuk kepentingan masyarakat (baca: rasa keadilan hukum masyarakat) – jadi bukan semata untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari pihak pihak yang bersengketa di pengadilan ¾ dan oleh sebab itu akuntabilitas kinerjanya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dinilai dan diukur oleh

masyarakat (Hasrul Halili:2005). 14 Sebenarnya eksaminasi dilakukan untuk melihat sejauh mana

pertimbangan hukum dimaksud sudah sesuai ataukah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dengan hukum acara pidana dan juga dengan legal justice, moral justice dan social justice. 15

Karena seperti yang sudah dijelaskan bahwa pertimbangan hukum dalam sebuah putusan menjadi dasar acuan dalam menentukan putusan sehingga dapat tercipta sebuha putusan yang ideal, dimana idealnya dalam mengambil putusan terhadap suatu perkara mempertimbangan 4 (empat) elemen, yaitu aspek filosofis, asas-asas hukum, aturan hukum positif, dan masyarakat hukum. 16

14 Ibid, hlm,27. 15 Ibid, hlm 29. 16 Teten Masduki, Eksaminasi Publik ”Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan”,

Indonesia Corruption Watch,2003, hlm 91.

Eksaminasi ini dilakukan dengan cara: pertama, melakukan legal annotation (catatan hukum) terhadap perkara yang telah diputus oleh MA. Kedua, mengkontestasi putusan itu kepada publik. Cara ini dilakukan untuk menilai putusan hakim majelis. Hasil dari penilaian tim eksaminasi ini dapat pula digunakan untuk melakukan punishment kepada para hakim (agung) yang notabene adalah aparat negara. Sebagai aparat negara tentu saja pertanggungjawaban mereka tidak saja

administratif tetapi harus sampai kepada pertanggungjawaban hukum. 17 Kemudian faktor utama yang mendasari eksaminasi publik ini adalah

untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi publik agar dapat terlibat lebih jauh di dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan putusan atas perkara itu yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan membiasakan publik terutama kalangan akademis dan profesi hukum melakukan penilaian dan pengujian terhadap proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan atau keputusan-keputusan lembaga penegakan hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka hal yang selanjutnya ingin dicapai setelah masyarakat mampu melakukan eksaminasi ini, adalah tersosialisasikan lembaga eksaminasi secara luas.

Tujuan eksaminasi publik secara umum adalah melakukan pengawasan terhadap produk-produk hukum yang dihasilkan maupun proses beracara oleh aparat hukum termasuk didalamnya adalah praktisi

17 Emerson Yuntho, Aris Purnomo, Wasingatu Zakiyah, Op.Cit, hlm 29.

hukum. Secara detail tujuan tersebut dapat dipilah dalam beberapa hal dibawah ini:

a) Melakukan analisis terhadap pertimbangan hukum atas produk hukum atau putusan majelis hakim, atau dakwaan, jalannya proses beracara di pengadilan dan perilaku jaksa dan hakim selama proses persidangan. Harapannya dapat diketahui sejauh mana pertimbangan hukum atau proses hukum dimaksud sesuai ataukah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, dengan prosedur hukum acara dan juga dengan legal justice, moral justice dan social justice maupun kode etik perilaku penegak hukum;

b) Mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk terlibat lebih jauh di dalam mempersoalkan proses sesuatu perkara dan putusan atas perkara itu. Terutama terhadap perkara yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan rakyat;

c) Mendorong dan mensosialisasikan lembaga eksaminasi dengan membiasakan publik mengajukan penilaian dan pengujian terhadap sesuatu proses peradilan dan putusan lembaga pengadilan serta keputusan-keputusan lembaga penegakan hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan masyarakat;

d) Mendorong terciptanya independensi lembaga penegakan hukum, termasuk akuntabilitas dan transparansi kepada publik;

e) Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas moral, kredibilitas dan profesionalitasnya di dalam memeriksa dan e) Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas moral, kredibilitas dan profesionalitasnya di dalam memeriksa dan

Dalam melakukan eksaminasi suatu perkara, kita tidak bisa sembarangan menentukannya. Karena bagaimanapun juga, eksaminasi membutuhkan keahlian dan konsentrasi serta waktu yang cukup. Oleh karena itu pilihan perkara yang dieksaminasi juga harus tepat. Suatu perkara untuk dapat dilakukan eksaminasi minimal harus memenuhi 3 (tiga) kriteria:

1) Kontroversial Kontroversial karena terdapat kejanggalan atau cacat hukum dalam tahapan proses peradilan. Selain itu hukum formil dan hukum materiil tidak diterapkan secara baik dan benar atau bertentangan dengan asasasas penerapan hukum serta dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

2) Memiliki pengaruh atau dampak sosial (social impact) bagi masyarakat Disamping perkara tersebut mendapat perhatian yang luas dari masyarakat, perkara tersebut memiliki dampak yang langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat (baik nasional dan atau internasional).

3) Ada indikasi mafia peradilan (judicial corruption) Perkara yang dieksaminasi terdapat indikasi korupsi (judicial corruption), kolusi, penyalahgunaan wewenang, atau bentuk pelanggaran hukum pidana lainnya hingga menyebabkan hukum tidak diterapkan secara baik dan benar.

18 Ibid,hlm,31.

Eksaminasi atau pengujian terhadap undang-undang bertujuan untuk menguji apakah suatu undang-undang materinya sudah sesuai dengan undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok di bidang hukum yang sejenis atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi, misalnya

konstitusi. 19 Pengujian ini dikenal dengan pengujian secara materiil (uji materiil) atau secara umum dikenal dengan judicial review. Wewenang ini

untuk selanjutnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan eksaminasi terhadap produk putusan hukum lainnya dimaksudkan untuk menguji apakah putusan hukum tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan asas- asas penerapan hukum yang baik dan benar.

Pada dasarnya bagaimana menilai suatu produk hukum atau putusan pengadilan kembali disesuaikan pada gaya atau kebiasaan dari para anggota mejelis eksaminasi dalam membuat suatu analisa atau catatan hukum (legal anotasi). Namun menarik untuk menjadi acuan adalah pendapat dari DR. Mudzakkir, SH., yang menyebutkan bahwa cakupan materi eksaminasi meliputi: Kesesuaian putusan pengadilan dengan norma hukum (positif). Oleh sebab itu hukum positif ditempatkan sebagai standar dalam 37 proses membuat putusan pengadilan; Analisis terhadap proses pembuktian (pengujian kebenaran fakta menjadi fakta hukum dihubungkan dengan undang-undang yang akan diterapkan); Penerapan ilmu pengetahuan atau asas-asas (hukum) dalam penegakan hukum (hubungan antara fakta hukum yang terbukti di persidangan dengan hukum atau peraturan perundangundangan,penggunaan teknologi

19 Teten Masduki, Op.cit,hlm, 37.

hukum/interpretasi, hubungannya dengan yurisprudensi, dan doktrin hukum) dan konklusi atau diktum putusan pengadilan. Ketiga komponen tersebut selalu ada dalam setiap putusan pengadilan dan bagian diktum merupakan kesimpulan (sillogismus) sebagai konsekuensi logik dari

premis-premis yang mendahuluinya. 20

6. Akibat Hukum Putusan Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. 21 Berdasarkan uraian tersebut, untuk dapat mengetahui ada atau tidaknya suatu akibat hukum yang timbul, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

 Adanya perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau terdapat akibat tertentu dari suatu perbuatan,

yang mana akibat itu telah diatur oleh hukum;

 Adanya perbuatan yang seketika dilakukan bersinggungan dengan pengembanan hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum

(undang-undang).

Selain hal tersebut akibat hukum sebuah putusan juga harus memberikan kepastian hukum dan harus memuat keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

20 Ibid,hlm 38. 21 Syarifin Pipin, Pengantar Ilmu Hukum, (CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009), hlm 71.

Keadilan berasal dari kata adil yang memiliki arti sama berat, tidak berat sebelah ; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Dan keadilan artinya adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) adil. Sedangkan Kepastian Hukum artinya adalah Perangkat Hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Dan Kemanfaatan dari kata manfaat artinya guna; faedah dan kemanfaatan artinya hal bermanfaat, berguna. Hal tersebut harus di perhatiakan dalam sebuah putusan karena sebuah putusan akan mengikat para pihaknya serta masyarakat. Terutama dalam hal ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and mengikat (binding) yang akibat hukumnya adalah akan tercipta sebuah norma baru dalam masyarakat yaitu dalam wujud sebuah putusan.

B. Hasil Penlitian

1. Duduk Persoalan :

a. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) mengenai Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan bagi Pengurus.

Dalam Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) yang bunyi lengkapnya sebagai berikut.:

Pasal 37 ayat (1) huruf f “Dalam Rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal

36 ayat (2) Pengurus wajib mengajukan laporan pertanggung jawaban tahunan yang berisi:

f. Besar imbalan bagi pengawas serta gaji dan tunjangan bagi pengurus.” Pasal 57 ayat (2) “Gaji dan tunjangan setiap pengurus ditetapkan oleh Rapat Anggota atas usul Pengawas.”

Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional.” Dengan dalil atau alasan sebagai berikut:

 Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar Atas Asas

Kekeluargaan  Ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan yang bentuk perusahaannya adalah koperasi.

 Bung Hatta menyatakan bahwa “Perusahaan menghendaki hukum ekonominya sendiri, yaitu bekerja menurut disiplin dan tempo yang tepat.

 disiplin dan tempo yang tepat itu perusahaan koperasi yang mengemukakan satu dasar lagi, yaitu dasar kekeluargaan

antara pimpinan dan yang dipimpin. Itulah pula sebabnya, maka pada umumnya pengurus koperasi tidak digaji. Hanya penjabat dan pekerja penuh sehari-hari yang memperoleh gaji” 22 .

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:  Selama bekerja di koperasi saksi merasakan kekeluargaan,

kebersamaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan serta terdapat cita-cita untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh anggotanya;.

Hal ini ditanggapi oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah.

 Setiap orang yang menjalankan pekerjaan merupakan bentuk prestasi yang dijalankan sesuai standar dan kebutuhan badan usaha maka absah secara yuridis

konstitusional apabila warga negara yang bekerja tersebut berhak mendapatkan penghasilan.

 Apabila tidak memberikan penghasilan melanggar hak konstitusional, dan hak asasi manusia serta hak pekerja

22 Putusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XI/2013, hlm 41.

yang sudah ditentukan dalam hukum nasional dan instrumen hukum internasional.

 Prestasi kerja yang diberikan oleh Pengurus dan Pengawas dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki serta tanggung jawab berat mengelola koperasi, maka absah

secara yuridis konstitusional apabila Pengurus mendapatkan gaji dan tunjangan, dan Pengawas mendapatkan imbalan.

Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai Imbalan bagi Pengawas serta Gaji dan Tunjangan bagi Pengurus, hakim memutus, menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan :

 Pasal 37 ayat (1) UU 17/2012 pada pokoknya memuat norma bahwa dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT)

sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi, maka RAT tersebut memiliki kewenangan, antara lain, untuk meminta keterangan dan mengesahkan pertanggungjawaban pengawas dan pengurus dalam pelaksanaan tugas masing-masing.

 Khusus untuk pengurus, dalam laporan pertanggungjawaban pengurus menyampaikan pelaksanaan tugasnya (laporan keuangan, yang antara lain, mengenai  Khusus untuk pengurus, dalam laporan pertanggungjawaban pengurus menyampaikan pelaksanaan tugasnya (laporan keuangan, yang antara lain, mengenai

 sepanjang mengenai hal tersebut dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum;  Pengawas berdasarkan Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 50 ayat (1) UU 17/2012 adalah perangkat organisasi koperasi yang

pada pokoknya bertugas mengawasi pengurus koperasi  Pengurus berdasarkan Pasal 1 angka 7 adalah perangkat organisasi koperasi yang bertanggung jawab penuh atas

kepengurusan koperasi untuk kepentingan dan tujuan koperasi, serta mewakili koperasi baik di dalam maupun di luar pengadilan.

 Menurut Mahkamah, gaji dan tunjangan bagi pengurus, termasuk imbalan bagi pengawas sebagaimana diuraikan di atas, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Sebab, koperasi

sebagai salah satu pelaku ekonomi bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan dinamis. Dinamika koperasi yang sehat akan membawa kepada kemajuan sebagaimana entitas pelaku ekonomi yang lain.

 Menurut Mahkamah pemberian imbalan dan besaran imbalan kepada pengawas serta pemberian gaji dan

tunjangan kepada pengurus merupakan hak dan kewenangan RAT sebagai mekanisme kedaulatan para anggota koperasi;

 Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

b. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pengangkatan Pengurus dari Non Anggota. Dalam Pasal 55 ayat (1) yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

“Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun non Anggota”

Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional Para Pemohon Untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar atas Asas Kekeluargaan” Dengan dalil atau alasan sebagai berikut:

 Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah menghendaki hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga. Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi hilang.

 Adanya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian yang memungkinkan pengurus dipilih dari non-anggota

menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang tidak menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang tidak

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Dwi sucipto yang menyatakan:  Saksi merasa dirugikan karena tidak dapat dipilih dan

memilih secara bebas dan adil serta saksi merasa dirugikan jika calon pengurus dapat dipilih dari anggota maupun non- anggota.

Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah sebagai berikut:  Perihal norma Pasal 55 ayat (1) UU Perkoperasian ini sudah

merupakan perilaku sosial atau praktik kebiasaan dalam kelembagaan koperasi sehingga koperasi dapat merekrut dan mengangkat non anggota menjadi pengurus, asalkan sesuai kebutuhan koperasi dan tentu saja wajib disetujui dalam rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi Koperasi. Hal ini untuk menciptakan solusi normatif atau jalan keluar merupakan perilaku sosial atau praktik kebiasaan dalam kelembagaan koperasi sehingga koperasi dapat merekrut dan mengangkat non anggota menjadi pengurus, asalkan sesuai kebutuhan koperasi dan tentu saja wajib disetujui dalam rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi Koperasi. Hal ini untuk menciptakan solusi normatif atau jalan keluar

Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai hal Pengangkatan Pengurus dari Non anggota, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang- Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:

 Secara khusus ketentuan tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan hak anggota koperasi untuk menyatakan

pendapat, memilih, dan dipilih yang pada intinya kesemuanya itu merupakan bentuk demokrasi ekonomi.

 Jika alasannya adalah untuk membangun koperasi yang lebih profesional, justru yang harus dibangun adalah anggota koperasi supaya menjadi tenaga professional,

sehingga tidak perlu merekrut non-anggota untuk menjadi pengurus.

 Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusional frasa non- anggota dalam Pasal 55 ayat (1) UU 17 tahun 2012

beralasan menurut hukum.

c. Pasal 67 ayat (1) mengenai Setoran pokok yang tidak dapat ditarik kembali.

Pengaturan tentang setoran pokok yang tidak dapat ditarik kembali diatur dalam Pasal 67 ayat (1) yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 67 ayat (1) “Setoran pokok dibayarkan oleh anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai anggota dan tidak dapat dikembalikan”

Atas pasal tersebut pemohon menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional para pemohon untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan dalil atau alasan sebagai berikut :

 Bung Hatta mengatakan kalau seseorang anggota berhenti menjadi sekutu, uang iuran mesti dikembalikan.

 Setoran pokok dalam koperasi pada dasarnya menrupakan “pembayaran tertentu” yang merupakan bentuk wujud keputusan penggabungan diri anggota masyarakat menjadi anggota koperasi. Dengan demikian apabila anggota yang bersangkutan memutuskan untuk keluar dari penggabungan diri sebagai anggota koperasi maka sudah seharusnya setoran pokok dikembalikan.

 Apabila hal ini diberlakukan maka makna bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan daripada  Apabila hal ini diberlakukan maka makna bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan daripada

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:

 Saksi merasa dirugikan karena Anggota harus mengeluarkan dana untuk menyetorkan setoran pokok sebagai di awal kepada 2 atau 3 koperasi yang telah dipecah sebagai persyaratan menjadi anggota Koperasi dan tidak dapat di ambil atau ditarik kembali.

Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah sebagai berikut:  Secara yuridis status hukum kepemilikan uang Setoran

Pokok itu sudah berubah menjadi kepemilikan Koperasi yakni menjadi modal awal Koperasi, sehingga merupakan kekayaan Koperasi selaku badan hukum yang tidak dapat ditarik kembali.

 Setoran Pokok adalah syarat menjadi anggota Koperasi. dan karena itu anggota Koperasi tersebut memperoleh pelayanan (services) dari Koperasi, mendapatkan Surplus

Hasil Usaha, dan manfaat lainnya. Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai Setoran pokok yang tidak dapat ditarik kembali, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan Hasil Usaha, dan manfaat lainnya. Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai Setoran pokok yang tidak dapat ditarik kembali, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan

 Mahkamah mempertimbangkan tentang penggunaan istilah setoran pokok yang menekankan pada pengertiannya sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal, sehingga

konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi.

 Berbeda pengertian dengan simpanan pokok yang mana suatu saat anggota koperasi keluar maka simpanan tersebut harus dikembalikan dan hal tersebut adalah wajar.

 Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku maka makna tetap atau bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan.

d. Pasal 68-69 mengenai Sertifikat Modal Koperasi yang mempengaruhi Hak suara dalam RAT Dalam Pasal 68-69 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut: Pasal 68 “(1) Setiap Anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal Koperasi yang jumlah minimumnya ditetapkan dalam Anggaran Dasar. (2) Koperasi harus menerbitkan Sertifikat Modal Koperasi dengan nilai nominal per lembar maksimum sama dengan nilai Setoran Pokok.

(3) Pembelian Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti penyertaan modal Anggota di Koperasi. (4) Kepada setiap Anggota diberikan bukti penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi yang telah disetornya” Pasal 69 : (1) Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara. (2) Sertifikat Modal Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dikeluarkan atas nama. (3) Nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi harus dicantumkan dalam mata uang Republik Indonesia. (4) Penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

(5) Dalam hal penyetoran atas Sertifikat Modal Koperasi dalam bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan penilaian untuk memperoleh niali pasar wajar

(6) Koperasi wajib memelihara daftar pemegang Sertifikat

Modal Koperasi dan daftar Pemegang Modal Penyertaan yang sekurang-kurangnya memuat:....dst.

Atas pasal tersebut pemohon mengatakan bahwa “Pasal 68-69 Undang-Undang Perkoperasian Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional Para Pemohon untuk Melakukan Usaha Bersama Berdasar atas Asas

Kekeluargaan serta bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Dengan dalil atau alasan sebagai berikut:

 Skema modal koperasi yang terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan usaha bersama yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

 Menurut para Pemohon, pernyataan Sohibul Iman, Anggota Panja RUU Perkoperasian DPR RI dari pihak pemerintah, yang menyatakan “Sertifikat Modal Koperasi (SMK) merupakan bentuk penguatan koperasi dan berbeda dengan saham” tidak memikirkan dampak psikologis dari Sertifikat Modal Koperasi. Karena bagaimana pun Sertifikat Modal Koperasi identik dengan saham pada Perseroan Terbatas (PT) yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang saham. Pemegang Sertifikat Modal Koperasi terbesar pasti akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan dibandingkan pemegang Sertifikat Modal Koperasi yang kecil mengingat pemegang Sertifikat Modal Koperasi yang besar akan mempunyai bargaining positition terhadap kelangsungan permodalan koperasinya

Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh kesaksian dari Saksi pemohon yaitu Isminarti yang menyatakan:

 Undang-undang koperasi melemahkan kemandirian koperasi karena permodalan koperasi yang sekarang diatur dengan Sertifikat Modal Koperasi (SMK)

sedangkan dahulu hanya dengan menabung; Ditanggapi kembali oleh termohon dalam hal ini pihak pemerintah sebagai berikut:

 Sertifikat Modal Koperasi yang harus dibeli oleh anggota Koperasi merupakan bentuk kontribusi bagi

modal Koperasi yang dimilikinya sendiri.  keharusan setiap anggota Koperasi membeli Sertifikat

Modal Koperasi merupakan bentuk kekeluargaan dan kebersamaan yang mengacu dan sesuai Pasal 33 ayat (1) UUD 1945

 Pengaturan menegani nilai nominal Sertifikat Modal Koperasi ditentukan sesuai Anggaran Dasar Koperasi sebagai "konstitusi" Koperasi, karena itu sesuai dengan rencana bisnis Koperasi sendiri dan sesuai aspirasi, kemampuan anggota Koperasi

 Ketentuan Pasal 69 UU Perkoperasian justru sudah tepat karena tidak menentukan hak suara, oleh karena Koperasi bukan kumpulan modal. Pengaturan menegani cara penerbitan. nilai nominal, cara penyetoran dan  Ketentuan Pasal 69 UU Perkoperasian justru sudah tepat karena tidak menentukan hak suara, oleh karena Koperasi bukan kumpulan modal. Pengaturan menegani cara penerbitan. nilai nominal, cara penyetoran dan

Berdasarkan dalil pemohon, saksi pemohon serta tanggapan termohon mengenai Sertifikat Modal Koperasi, hakim dalam Pertimbangan nya melahirkan putusan hakim berupa menolak pasal tersebut dan menghapus Undang-Undang No. 17 tahun 2012 dengan alasan:

 Terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli Sertifikat Modal Koperasi

menurut Mahkamah, adalah norma yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka

 Orientasi koperasi telah bergeser ke arah kumpulan modal, yang dengan demikian telah mengingkari jati

diri koperasi sebagai perkumpulan orang dengan usaha bersama sebagai modal utamanya.

 Skema permodalan koperasi yang diatur dalam pasal- pasal tersebut dapat menjadikan modal koperasi  Skema permodalan koperasi yang diatur dalam pasal- pasal tersebut dapat menjadikan modal koperasi

 Dan di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2012 tidak ada ketentuan batas maksimal Sertifikat Modal

Koperasi dapat disetor.

Berdasarkan hasil penelitian diatas agar mudah memahaminya maka disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1:

Inkonsistensi Pertimbangan Dan Putusan Hakim Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

Dalil Pemohon

Tanggapan Pemerintah

Pertimbangan Hakim

(Termohon)

Imbalan bagi

 Setiap orang yang

 Menurut Mahkamah,

Pengawas dan Gaji

menjalankan

gaji dan tunjangan

dan Tunjangan bagi

pekerjaan merupakan

bagi pengurus,

Pengurus.

termasuk imbalan Diatur pada Pasal 37

bentuk prestasi yang

bagi pengawas ayat (1) huruf f

dijalankan sesuai

standar dan

sebagaimana

Dan Pasal 57 ayat (2)

kebutuhan badan

diuraikan di atas,

bukanlah persoalan Atas rumusan

usaha maka absah

konstitusionalitas. tersebut Pemohon

secara yuridis

Sebab, koperasi tidak setuju, dengan

konstitusional apabila

sebagai salah satu alasan:

warga negara yang

pelaku ekonomi UU Perkoperasian

bekerja tersebut

bukanlah suatu entitas Bertentangan

berhak mendapatkan

yang statis, melainkan Dengan Pasal 33

penghasilan.

dinamis. ayat (1) UUD 1945

 Apabila tidak

 Menurut mahkamah yang Menjamin Hak

memberikan

pemberian imbalan Konstitusional Para

penghasilan

dan besaran imbalan Pemohon, Ketentuan konstitusional, dan

melanggar hak

kepada pengawas tersebut

serta pemberian gaji bertentangan dengan

hak asasi manusia

dan tunjangan kepada prinsip usaha

serta hak pekerja yang

pengurus merupakan bersama berdasar

sudah ditentukan

hak dan kewenangan atas asas

dalam hukum

RAT sebagai kekeluargaan yang

nasional dan

mekanisme bentuk

instrumen hukum

kedaulatan para perusahaannya

internasional

anggota koperasi adalah koperasi.

 Prestasi kerja yang

 Oleh karena itu,  perusahaan koperasi

diberikan oleh

menurut Mahkamah, mengemukakan satu

Pengurus dan

dalil para Pemohon dasar lagi, yaitu

Pengawas dengan

tidak beralasan dasar kekeluargaan

kapasitas dan

menurut hukum; antara pimpinan dan

kemampuan yang

Dapat terlihat bahwa yang dipimpin.

dimiliki serta

tanggung jawab berat hakim dalam Itulah pula

argumennya tidak sebabnya, maka

mengelola koperasi,

mempermasalahkan pada umumnya

maka absah secara

yuridis konstitusional pasal tersebut dan pengurus koperasi

menyerahkan nya pada tidak digaji. Hanya

apabila Pengurus

mendapatkan gaji dan kewenangan RAT. penjabat dan pekerja

tunjangan, dan

penuh sehari-hari

Pengawas

yang memperoleh

 perihal norma Pasal

 Secara khusus

Pengurus dari Non

55 ayat (1) UU

ketentuan tersebut

menghalangi atau  Pasal 55 ayat (1)

Anggota

Perkoperasian ini

sudah merupakan

bahkan menegasikan

pasal ini Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang Menjamin Hak Konstitusional Para Pemohon, Dengan dipilihnya non anggota sebagai pengurus koperasi maka dasar kolektivitas dalam koperasi menjadi hilang. adanya ketentuan ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang tidak memahami jiwa koperasi, yang berakibat tertutup nya kesempatan Anggota yang sejak awal merintis koperasi untuk menjadi pengurus koperasi.

perilaku sosial atau praktik kebiasaan dalam kelembagaan koperasi Sehingga koperasi dapat merekrut dan mengangkat non anggota menjadi pengurus, asalkan sesuai kebutuhan koperasi dan tentu saja wajib disetujui dalam rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi Koperasi. Hal ini untuk menciptakan solusi normatif atau jalan keluar bagi merancang tumbuhnya koperasi yang sehat, kuat, mandiri dan tangguh sebagaimana landasan filosofis UU Perkoperasian.

hak anggota koperasi untuk menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih yang pada intinya kesemuanya itu merupakan bentuk demokrasi ekonomi.

 Jika alasannya adalah untuk membangun

koperasi yang lebih profesional, justru yang harus dibangun adalah anggota koperasi supaya menjadi tenaga professional, sehingga tidak perlu merekrut non-anggota untuk menjadi pengurus.

 Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusional frasa non-anggota dalam Pasal 55 ayat (1) UU 17/2012 beralasan menurut hukum.

Dalam argumen tersebut terlihat hakim bahwa pendapat nya menyetujui apa yang di maksudkan oleh pemohon namun juga memberikan salah satu solusi sama seperti termohon yang menjadikan pasal tersebut sebagai solusi yang legal.

Setoran Pokok

Pasal 67 ayat (1)

 Secara yuridis status

hukum kepemilikan

 Mahkamah mempertimbangkan

Atas pasal tersebut

tentang penggunaan pemohon menyatakan

uang Setoran Pokok

istilah setoran pokok bahwa pasal tersebut

itu sudah berubah

yang menekankan bertentangan dengan

menjadi

pada pengertiannya pasal 28H ayat (4)

kepemilikan

sebagai penyerahan UUD 1945 yang

Koperasi yakni

sejumlah uang menjamin hak

menjadi modal awal

sebagai modal, konstitusional para

Koperasi, sehingga

sehingga pemohon.

merupakan

konsekuensinya tidak  Setoran pokok

kekayaan Koperasi

dapat ditarik kembali dalam koperasi pada

selaku badan hukum

bila yang dasarnya

dan tidak dapat

bersangkutan keluar menrupakan

ditarik kembali.

atau berhenti sebagai “pembayaran

 Setoran Pokok

anggota koperasi. tertentu” yang

adalah syarat

 Berbeda pengertian merupakan bentuk

menjadi anggota

dengan simpanan wujud keputusan

Koperasi. dan

pokok yang mana penggabungan diri

karena itu anggota

suatusaat anggota anggota masyarakat

Koperasi tersebut

koperasi keluar maka menjadi anggota

memperoleh

simpanan tersebut koperasi. Dengan

pelayanan (services)

harus dikembalikan demikian apabila

dari Koperasi,

dan hal tersebut anggota yang

mendapatkan

adalah wajar. bersangkutan

Surplus Hasil

Usaha, dan manfaat  Apabila Pasal 67 ayat memutuskan untuk

(1) tetap berlaku keluar dari

lainnya

maka makna tetap penggabungan diri

atau bertahan menjadi sebagai anggota

anggota koperasi koperasi maka sudah

adalah suatu seharusnya setoran

keterpaksaan. pokok

Dalam pertimbangan dikembalikan.

tersebut terlihat bahwa hakim mengerti bahkan memahami apa yang menjadi maksud termohon namun tetap menyatakan pasal tersebut mengandung keterpaksaan.

Sertifikat Modal

 Sertifikat modal

 Terhadap Pasal 68

Koperasi

koperasi yang harus

dan Pasal 69 yang

Bab VII UU

mengharuskan Perkoperasian

dibeli oleh anggota

anggota koperasi khususnya pada pasal

Koperasi merupakan

membeli SMK 68-69

bentuk kontribusi

menurut Mahkamah, Pasal tersebut

bagi modal Koperasi

adalah norma yang Bertentangan Dengan

yang dimilikinya

tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD  keharusan setiap

sendiri.

prinsip koperasi yang 1945 yang Menjamin

bersifat sukarela dan Hak Konstitusional

anggota Koperasi

terbuka Para Pemohon Dan

membeli Sertifikat

 orientasi koperasi Bertentangan dengan

Modal Koperasi

telah bergeser ke arah Pasal 28H ayat (4)

merupakan bentuk

kumpulan modal, UUD 1945

kekeluargaan dan

yang dengan  Skema modal

kebersamaan

demikian telah koperasi yang

berdasarkan 33 ayat

mengingkari jati diri terdiri dari Setoran  Pengaturan

(1) UUD 1945

koperasi sebagai Pokok dan

perkumpulan orang Sertifikat Modal

menegani nilai

dengan usaha Koperasi sebagai

nominal Sertifikat

bersama sebagai modal awal adalah

Modal Koperasi

modal utamanya. bertentangan

ditentukan sesuai

 Skema permodalan dengan asas

Anggaran Dasar

koperasi yang diatur kekeluargaan yang

Koperasi sebagai

dalam pasal-pasal menjadi landasan

"konstitusi"

tersebut dapat usaha bersama

Koperasi, karena itu

menjadikan modal yang termaktub

sesuai dengan

koperasi sebagian dalam Pasal 33

rencana bisnis

besar dimiliki oleh ayat (1) UUD

Koperasi sendiri dan

satu, dua, atau 1945.

sesuai aspirasi,

beberapa anggota  Menurut para

kemampuan anggota

saja, sehingga tidak Pemohon,hal

Koperasi

tertutup kemungkinan tersebut tidak

 Ketentuan Pasal 69

pemegang sertifikat memikirkan

UU Perkoperasian

modal terbesar akan dampak psikologis

justru sudah tepat

memiliki pengaruh dari SMK karena

karena tidak

kuat untuk bagaimana pun

menentukan hak

menentukan arah SMK identik

suara, oleh karena

jalannya koperasi, dengan saham

Koperasi bukan

meskipun sertifikat pada Perseroan

kumpulan modal.

modal koperasi tidak Terbatas yang

Pengaturan

menjadi dasar hak mempengaruhi

menegani cara

suara di dalam RAT. pengambilan

penerbitan. nilai

nominal, cara

Dapat dilihat jika dalam

Dokumen yang terkait

BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Korban Bencana Alam sebagai Hak Asasi Manusia

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Kognitif IPA Siswa SD Kelas V Melalui Model Example Non Example dengan Pendekatan Problem Based Learning

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Kognitif IPA Siswa SD Kelas V Melalui Model Example Non Example dengan Pendekatan Problem Based Learning

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Kognitif IPA Siswa SD Kelas V Melalui Model Example Non Example dengan Pendekatan Problem Based Learning

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Kognitif IPA Siswa SD Kelas V Melalui Model Example Non Example dengan Pendekatan Problem Based Learning

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Kognitif IPA Siswa SD Kelas V Melalui Model Example Non Example dengan Pendekatan Problem Based Learning

1 0 14

BAB II KERANGKA TEORI HASIL, PENELITIAN, DAN ANALISIS A. KERANGKA TEORI 1. Pengertian Dan Fungsi Tugas Pokok Polisi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi dalam Penanganan Praktek Balap Liar di Kecamatan Ambarawa:

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat tentang Pidana Kebiri Kimia terhadap Pelaku Kekerasan Seksual kepada Anak-Anak

0 0 20

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat tentang Pidana Kebiri Kimia terhadap Pelaku Kekerasan Seksual kepada Anak-Anak

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

0 0 10