Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga

(1)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN

HAKIM AD HOC DI PENGADILAN NIAGA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 040200331

SHANDI IZHANDRI

BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEHUSUSAN PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN

HAKIM AD HOC DI PENGADILAN NIAGA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 040200331 SHANDI IZHANDRI

BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEHUSUSAN PERDATA DAGANG

Disetujui oleh:

KETUA BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN

NIP: 131764556

PROF. DR. TAN KAMELLO, SH, MS

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

M. HUSNI, SH. M. Hum

NIP: 131764555 NIP: 131570457

HERMANSYAH, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkat rahmat dan karunia-Nya memberikan pengetahuan, kesehatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini merupakan salah satu dari kurikulum dan suatu persyaratan dalam tugas akhir pada Jurusan Hukum Perdata Dagang, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Pada skripsi yang disusun ini, penulis mengangkat judul mengenai “TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN HAKIM AD HOC DI

INDONESIA”.

Dalam kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH. MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan SH. DFM. MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, serta Dosen Pembimbing I saya

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello SH. MS selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.


(4)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah turut membantu dan mendukung selama masa perkuliahan ini terutama bibi saya Ibu Rosnidar Sembiring SH. M.Hum.

8. Kedua orang Tua saya Ir. H. Rizal Effendi dan Dr. Drg. Hj. Fazwishni Siregar Sp.Or yang telah membesarkan saya. I love u both.

9. Istri saya tercinta Dessy Agustina Harahap, AMD yang sedang

mengandung anak pertama selama 6 bulan, setelah satu setengah tahun pernikahan. Saya mencintaimu melebihi diri saya sendiri.

10.Mertua saya H. Aliander Harahap dan Hj. Derhana Ritonga yang mencintai saya seperti anak sendiri

11.Abangku Enzo Karunia ST di Bank Mandiri Semarang.

12.Rekan-rekan Asosiasi Rental Mobil Medan (MRC) dimana saya menjabat sebagai sekretaris yang cukup menyibukkan tetapi sangat mendukung profesi saya.

13.Pelanggan setia SHANDI RENTAL MOBIL, Always serve better. 14.Pelanggan setia SHANDI PARFUME, Tahan 3 hari, garansi uang

kembali.

15.Pelanggan setia SHANDI EVENT ORGANIZER, Siap membuat semua acara menjadi berkesan.

16.Teman-temanku di Fakultas Hukum UI, UNDIP dan UGM. I miss u all. 17.Teman-teman futsal (The Cabuls), basket (GAPERTA BC n RECHT BC),

band (Cabuls n Mercury).

18.Teman-teman di Fakultas Hukum USU baik Reguler maupun PRM: - Stambuk 2002: Vero, Andri, Iqbal, Budi, Elon, Sabar, dll


(5)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

- Stambuk 2003: Muluk, Agus, Alvin, Anju, April, Ari, Ayu, Besti, Dachi, Dhuha, Dida, Dolok, Juita, Kiki, Kanin, Langlang, Lazarus, Melisa, Petra, Era, Phuan, Fina, Rio, Roy, Rondi, Comel, Esther, Reni, dll

- Stambuk 2004: Harris, Dedi, Nofan, Jesse, Ibam, Firman, Ogi, Andre, Ian, Deny, Erni, Fritzko, Vinna, Keke, Happy, Putri, Tyas, Juppa, Don, Ilham, Niko, Salman, Pandi, Reza, Budi, Sutria, Yowa, Trisno, Zaki, Januardo, Farid dll

- Stambuk 2005: Siska, Winika, Sesy, Tutut, Dina, Dara, Deby, Ica, Iroel, Kiki, Merry, Nina, Oyi, Olyn, Olki, Pandi, Rendy, Rini, Rizky, Tiwi, Wahyu, Sadli, dll

- Stambuk 2006: Bejo, Ari, Ayu, Eci, Ika, Keke, Nurul, Yulia, Shella, dll Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, namun penulis juga menyadari kemungkinan terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik guna melengkapi skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Medan, 6 September 2007 Penulis,


(6)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Pustaka ... 5

F. Metode Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PENGADILAN NIAGA SEBAGAI PENYELESAI SENGKETA KEPAILITAN ... 17

A. Sejarah Pembentukan Pengadilan Niaga ... 17

B. Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perluasan Kompetensinya 22 C. Arah Pengembangan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 24

D. Pembuktian untuk Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga . 28 E. Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga ... 36

BAB III PEMBENTUKAN DAN PENGANGKATAN HAKIM AD HOC DI INDONESIA ... 43

A. Pengertian Hakim Ad Hoc ... 43


(7)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

C. Dasar Hukum Pembentukan Hakim Ad Hoc ... 48

D. Pengangkatan Hakim Ad Hoc ... 48

E. Pemberhentian Hakim Ad Hoc... 49

BAB IV TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN HAKIM AD HOC DI PENGADILAN NIAGA ... 50

A. Rekruitmen Pengangkatan Hakim Ad Hoc ... 50

B. Pemilihan Hakim Ad Hoc Sebagai Anggota Majelis ... 55

C. Jumlah dan Masa Jabatan Hakim Ad Hoc ... 58

D. Sistem Renumerasi Hakim Ad Hoc ... 60

E. Catatan Terhadap Putusan yang Dihasilkan oleh Hakim Ad Hoc ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 73


(8)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN HAKIM AD HOC DI PENGADILAN NIAGA

SHANDI IZHANDRI

ABSTRAK

Salah satu isu penting setelah UU Kepailitan 1998 diundangkan adalah dibentuknya Pengadilan Niaga dan diintrodusirnya hakim ad hoc sebagai bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. Tujuannya adalah sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta. Ide awal keterlibatan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan hakim karir cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari hakim karir yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi hakim niaga. Pengangkatan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua) kali melalui dua keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999 tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No. 108/M/2000 berisikan 9 (sembilan) hakim ad hoc.

Hakim ad-hoc adalah seorang ahli di bidangnya yang diangkat menjadi hakim. Ia diangkat Presiden atas usul Ketua MA untuk bertugas sebagai hakim anggota dalam suatu majelis dan bertugas memeriksa serta memutus perkara niaga. Pengangkatan hakim adhoc sangat diperlukan mengingat pengetahuan hakim karier cenderung generalis. Karena itu dalam kasus-kasus tertentu perlu kehadiran hakim ad-hoc yang memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki hakim karier.

Ketentuan mengenai hakim ad-hoc adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2000 tentang Penyempurnaan Perma Nomor 3 Tahun 1999 tentang hakim Adhoc.

Penempatan hakim ad hoc dalam majelis adalah berdasarkan penunjukan dari Hakim Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (pemohon pailit), jadi apabila dalam sebuah perkara di pengadilan niaga, apabila tidak ada permintaan dari salah satu pihak akan keberadaan hakim ad hoc, maka tidak akan terjadi penempatan hakim ad hoc oleh Ketua Pengadilan Niaga.

Sebagai sebuah produk baru dari kebijakan publik, maka keberadaan hakim ad hoc khususnya di Pengadilan Niaga masih menjadi tanda pertanyaan besar di masyarakat, sebab sangat jarang adanya keterlibatan hakim ad hoc dalam memeriksa perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga. Tulisan ini secara ringkas akan mendiskripsikan bagaimana sebenarnya keberadaan hakim ad hoc dan keterlibatannya dalam memeriksa perkara di Pengadilan Niaga.


(9)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu isu krusial setelah penyempurnaan Peraturan Kepailitan (Verordening op het Failissement en de Surceance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie Faillissements Verordening) Staatsblad 1905 No. 217 Jis. Tahun 1906 No. 348 (selanjutnya disebut FV), adalah dibentuknya Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Revisi FV merupakan upaya pemerintah untuk memulihkan kondisi ekonomi melalui instrumen hukum penyelesaian utang piutang pihak swasta melalui pengadilan. Revisi tersebut diwujudkan dalam bentuk Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian diubah melalui UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya UU Kepailitan 1998) sebagai bagian dari pemulihan krisis ekonomi secara bertahap yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah RI1

Salah satu isu penting setelah UU Kepailitan 1998 diundangkan adalah dibentuknya Pengadilan Niaga (commercial court) sebagai pengadilan yang memutus perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan Niaga tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman sebagaimana sudah

.

1

Pada tanggal 22 April 1998, Presiden RI menandatangani suatu PERPU yaitu peraturan darurat yang segera diberlakukan tetapi harus disetujui DPR pada sidang berikutnya. Ratifikasi diberikan DPR pada bulan Juli 1998 dan ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden RI (Habibie) pada tanggal 8 September 1998. PERPU No. 1 Tahun 1998 memuat kurang lebih 90 perubahan, beberapa yang sifatnya tidak penting, dan sebagian lagi yang lebih penting. Menurut penjelasan, sasaran perubahan adalah untuk memberikan suatu sistem yang memadai dan efisien yang menjamin bahwa Undang-undang Kepailitan dapat dilaksanakan dengan baik, dan bahwa proses kepailitan dapat dilakukan dengan cepat, efisien, dan transparan


(10)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan dalam empat lingkungan peradilan tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan di lingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam undang-undang. Pengaturan Pengadilan Niaga tidak diwujudkan dalam satu undang-undang tersendiri melainkan melalui UU Kepailitan 1998 sebagai dasar hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya FV, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir hakim ad hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. Pasal 283 ayat (3) UU Kepailitan 1998 menyatakan bahwa: Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung, pada Pengadilan Niaga di tingkat pertama dapat juga diangkat seorang yang ahli sebagai hakim ad hoc. Jadi, berdasarkan usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai hakim ad hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan hakim niaga (hakim karir) seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi. Ide awal keterlibatan hakim ad hoc tersebut didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan hakim karir cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari hakim karir yang juga telah


(11)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

melalui tahapan pendidikan untuk menjadi hakim niaga. Pengangkatan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua) kali melalui dua keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999 tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No. 108/M/2000 berisikan 9 (sembilan) hakim ad hoc.

Alasan diangkatnya hakim ad hoc sebagaimana tercantum dalam konsideran kedua Keppres tersebut adalah berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung No. KMA/096/II/1999 dan Pasal 283 ayat (3) Undang-undang Kepailitan. Masa jabatan mereka, dapat diperpanjang sekali lagi sebagai periode jabatan terakhirnya. Saat ini, terjadi kekosongan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga menyusul belum adanya rekrutmen kembali untuk masa periode selanjutnya karena masa kerja hakim ad hoc sebelumnya sudah berakhir. Penempatan hakim ad hoc dalam majelis adalah berdasarkan penunjukan dari Hakim Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (pemohon pailit). Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat (3) UU Kepailitan 1998 maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim ad hoc tidak bertugas.

Berdasarkan uraian diatas saya selaku penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut permasalahan ini menjadi sebuah skripsi dengan judul “TINJAUAN


(12)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan topik pembahasan diatas, penulis merumuskan beberapa hal yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengadilan Niaga Menjadi Salah Satu Lembaga Peradilan yang Menyelesaikan Sengketa Kepailitan?

2. Bagaimana tinjauan atas Hakim Ad Hoc di Indonesia?

3. Bagaimana Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana Pengadilan Niaga menjadi lembaga yang menyelesaikan sengketa kepailitan

2. Untuk mengetahui tinjauan terhadap keberadaan Hakim Ad Hoc di Indonesia.

3. Untuk mengetahui tinjauan yuridis atas keberadaan Hakim Ad Hoc di Indonesia.

Adapun manfaat penulisan ini, dapat diklasifikasikan atas:

Secara teoritis, skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya pada kedudukan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga sehingga kita dapat mengetahui bagaimana sebenarnya pengaturan tentang Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga.

Secara praktis, skripsi ini ditujukan kepada semua kalangan, termasuk para civitas akademis maupun para pihak yang terlibat dalam


(13)

permasalahan-Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

permasalahan niaga, sehingga memahami dengan baik eksistensi dari hakim ad hoc yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada penelitian mengenai masalah Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga belum Pernah dilakukan dalam Topik dan Permasalahan yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut “asli” dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran Ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengaturan Keberadaan Pengadilan Niaga di Indonesia

Pembentukan Pengadilan Niaga di Indonesia didasarkan kepada UU No. 4 tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang No. 1 tahun 1998. Undang-undang ini hanya Pengadilan Niaga sebagai pemeriksa dan pemutus permohonan pailit, PKPU dan sengketa niaga lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, tetapi kemudian penetapan penyelesaian sengketa tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal ini dapat dipandang sebagai penyimpangan


(14)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

atau adanya inkonsistensi dengan Undang- Undang No. 4 tahun 1998 jo Perpu No. 1 tahun 1998.

2. Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesai Sengketa Kepailitan di Indonesia.

Pailit, failliet (dalam Bahasa Belanda), atau bankrupt, (dalam bahasa Inggris). Pailit pada masa Hindia Belanda tidak dimasukkan ke dalam KUH Dagang (WvK) dan diatur dalam peraturan tersendiri ke dalam

Failissement-verordering, sejak tahun 1906 yang dulu diperuntukkan bagi pedagang saja tetapi

kemudian dapat digunakan untuk golongan mana saja. Masalah pailit sebagaimana peraturan lainnya, dirasakan sangat penting keberadaannya. Tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia dimana hampir seluruh sendi kehidupan perekonomian nasional rusak, termasuk dunia bisnis dan masalah keamanan investasi di Indonesia. Krisis tersebut membawa makna perubahan yang sangat penting bagi perkembangan peraturan kepailitan di Indonesia selanjutnya. Disadari bahwa peraturan lama dan masih berlaku ternyata tidak bisa menyesuaikan dengan kebutuhan perubahan zaman. Oleh karena itu, pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang merupakan:

- Perbaikan terhadap failissements-verordering 1906;

- Adanya penambahan pasal yang mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

- Mengenal istilah Pengadilan Niaga, di luar Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa bisnis.


(15)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Selanjutnya pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan lagi Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain:

1. Asas Keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha, dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap berlangsung.

3. Asas Keadilan, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi, asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata Nasional2

2

Abdul R. Saliman, “Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus”, Prenada Media: Jakarta, 2005, hlm. 122.


(16)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Beberapa pokok materi baru dalam Undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang ini antara lain:

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang-undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas, demikian juga pengertian jatuh waktu.

Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004.

Sedangkan yang dapat dinyatakan pailit adalah seorang debitur (berutang) yang sudah dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas:

1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada no. 1 dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

3. Dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.


(17)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

4. Dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal. Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan3

Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan

.

Pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan. Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit. Dengan adanya “pengumuman” putusan pernyatan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan debitur pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang-piutang konkuren mereka.

Menurut Undang-undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili pekara permohonan kepailtian adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.

Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-undang Kepailitan ini adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum.

3


(18)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU)4

Kewenangan mutlak atau absolut diartikan sebagai pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan yang berkaitan dengan pemberian kekuasaaan untuk mengadili (attribute van rechtsmacht)

. Seperti diketahui bahwa secara teoretis system peradilan di Indonesia mengenal dua macam kewenangan, yaitu kewenangan mutlak/absolut dan kewenangan relatif.

5

4

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek Cet. 1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 177.

5

Retnowulan Sutantio, dan Iskancar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju, 1997), hal. 11

. Dengan kata lain, kewenangan mutlak atau absolut ini berbicara mengenai kewenangan badan-badan peradilan dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara. Konsekuensinya, suatu pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak pengadilan lain.

Sementara itu, kewenangan relatif mengatur mengenai pembagian kekuasaan untuk mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat seperti yang terdapat di dalam Pasal 118 ayat (1) Het Herziende Indische Reglement (HIR). Selain kewenangan absolut dan relatif, Pengadilan Niaga juga memiliki kewenangan secara komprehensif. Pasal 280 UU Kepailitan 1998, menyatakan bahwa kewenangan secara komprehensif itu adalah kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan seputar kepailitan dan PKPU serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan.


(19)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Kewenangan secara komprehensif yang dimiliki Pengadilan Niaga bukan tidak mungkin menimbulkan permasalahan terkait dengan titik taut dengan kewenangan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam hal pemeriksaan perkara, karena permasalahan seputar kepailitan tidak hanya berkaitan dengan utang sebagai pokok utama, melainkan hal-hal lain seperti pembatalan perjanjian perdamaian, actio paulina Kondisi inilah yang memicu beberapa masalah karena sudah ditegaskan secara eksplisit bahwa pemeriksaan di Pengadilan Niaga adalah bersifat sumir atau sederhana, suatu hal yang sulit untuk dilakukan bila menyangkut pemeriksaan lain di luar Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan 1998.

Berdasarkan sifat sumir atau sederhana dari suatu perkara di Pengadilan Niaga, maka yang harus dibuktikan cukup pada suatu keadaan berhenti membayar. Kondisi tersebut membawa konsekuensi berbeda-beda. Sebagian pihak mengatakan cukup dipenuhinya syarat kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) maka salah satu pihak (termohon pailit) dapat langsung dinyatakan pailit. Sementara, di lain pihak mengatakan diperlukan suatu analisis lebih lanjut di bidang hukum ekonomi dan bisnis untuk menyatakan bahwa termohon pailit dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

3. Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga

Untuk memeriksa perkara kepailitan dan/atau PKPU dimungkinkan penggunaan hakim ad hoc dari kalangan di luar hakim karir. Sebetulnya keberadaan hakim ad hoc sudah diperkenalkan sekitar 18 (delapan belas) tahun lalu yaitu melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal 135 UU PTUN menyatakan bahwa:


(20)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

(1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara PTUN tertentu yang memerlukan keahlian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim ad hoc sebagai anggota majelis.

(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim ad hoc seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf (e) dan (f)6

(3) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (c) tidak berlaku bagi Hakim ad hoc

.

7

(4) Tata cara penunjukan Hakim ad hoc pada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

.

Hanya saja, di PTUN tidak pernah ditunjuk hakim ad hoc walaupun undang-undang memperkenankan hal tersebut8

6

Isi Pasal 14 ayat (1) selengkapnya: Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

. Sebagai penggantinya, jika memerlukan suatu ilmu pengetahuan yang penting dalam memutus perkara, maka hakim memanggil saksi ahli saja. Pada PTUN di dalam prakteknya untuk mengangkat seorang hakim ad hoc harus menempuh jalur panjang, harus melalui Keputusan Presiden. Pada saat Keputusan Presiden tersebut dikeluarkan, banyak

a. Warga negara Indonesia;

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi

massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;

e. Pegawai negeri;

f. Sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang Tata Usaha Negara.

7

Isi Pasal 18 ayat (1) selengkapnya: “Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi:

a. Pelaksana putusan pengadilan;

b. Wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksan

olehnya;

c. Pengusaha”

8

Pasal 135 UU PTUN mengenai tata cara penunjukan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang ternyata sampai dengan disempurnakannya UU PTUN menjadi UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Terhadap UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN, masih belum terbentuk.


(21)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

perkara yang sudah selesai diputus. Sementara penunjukkan saksi ahli relatif lebih tepat.

Hakim ad hoc adalah hakim, pihak yang akan membantu majelis menangani perkara-perkara yang memang punya kekhasan tertentu dalam bidang akademis, biasanya dalam bidang perpajakan, dalam bidang kedokteran dan lain-lain. Disadari atau tidak memang pengetahuan hakim sangatlah terbatas. Dalam praktek, untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka biasanya dilakukan pemanggilan saksi ahli yang dapat dilakukan secara cepat dalam waktu kurang lebih satu atau dua minggu, yang akhirnya secara substansial, kegunaannya sama seperti hakim ad hoc.

Diintrodusirnya hakim ad hoc pada UU PTUN ternyata tidak berjalan sesuai dengan konsep awal yang diharapkan, yaitu membantu hakim karir dalam memeriksa dan memutus dengan menggunakan keahlian khusus. Meskipun hakim ad hoc di PTUN tersebut tidak pernah dilibatkan dalam suatu majelis, namun tidak serta merta ditiadakan pada pengadilan-pengadilan khusus seperti pada Pengadilan Niaga, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan Pengadilan HAM. Faktor menurunnya kepercayaan publik terhadap hakim karir inilah kemudian yang melahirkan hakim ad hoc.

Sebagai catatan untuk hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor, perlu dipahami bahwa hakim ad hoc diadakan karena adanya tujuan khusus, dalam hal ini seharusnya, keberadaan hakim ad hoc tidak dibuat secara permanen. Oleh karena itu pengertian hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor yang cenderung bersifat permanen, merupakan hal yang keliru. Mardjono Reksodiputro cenderung lebih menggunakan istilah hakim non karir untuk penamaan hakim di Pengadilan


(22)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Tipikor, seperti halnya hakim non karir untuk Hakim Agung di luar hakim karir di Mahkamah Agung9

F. Metode Penulisan

.

1. Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan Metode Penelitian hukum Normatif atau disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum Normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan keberadaan hakim ad hoc di Pengadilan Niaga.

2. Alat pengumpul data

Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud ialah :

A. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantara Undang-undang tentang Kepailitan, Undang-undang Tentang Hakim Ad Hoc, Keppres dan Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Hakim Ad Hoc.

B. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan Keberadaan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah,

9

Mardjono Reksodiputro dalam Colloqium Pengkajian Terhadap Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga, 10 Januari 2005.


(23)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

C. Bahan Huku m Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hokum sekunder, seperti: Kamus, Ensiklopedi dan lain-lain.

3. Analisa Data

Yaitu data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan mengunakan metode deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagi berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, Pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjaun kepustakaan, metode penulisan dan sitematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pengadilan Niaga sebagai penyelesai sengketa kepailitan yang antara lain akan mengulas secara singkat: sejarah pembentukan pengadilan niaga, eksistensi pengadilan niaga dan perluasan kompetensinya, arah pengembangan kompetensi pengadilan niaga, pembuktian untuk perkara kepailitan di pengadilan niaga, dan eksekusi putusan pengadilan niaga.


(24)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

BAB III : Dalam bab ini akan dibahas secara singkat mengenai pengertian hakim ad hoc yang antara lain mengulas secara singkat tentang pengertian hakim ad hoc, dasar hukum pembentukan hakim ad hoc, pengangkatan hakim ad hoc dan pemberhentian hakim ad hoc.

BAB IV : Bab ini akan mengulas mengenai tinjauan yuridis keberadaan hakim ad hoc di pengadilan niaga melalui pembahasan beberapa materi, yakni: kedudukan dan fungsi hakim ad hoc, rekruitmen pengangkatan hakim ad hoc, pemilihan hakim ad hoc sebagai anggota majelis, jumlah dan masa jabatan hakim ad hoc, sistem renumerasi hakim ad hoc, dan catatan terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim ad hoc.

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(25)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

BAB II

PENGADILAN NIAGA SEBAGAI PENYELESAI SENGKETA KEPAILITAN

A. Sejarah Pembentukan Pengadilan Niaga

Diundangkannya UU Kepailitan sebagai perbaikan terhadap Perpu Kepailitan membawa beberapa perubahan penting. Di antaranya adalah pembentukan pengadilan niaga sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pembentukan pengadilan niaga merupakan terobosan fenomenal di antara berbagai upaya lainnya. Pembentukan pengadilan niaga merupakan suatu langkah awal bagi reformasi peradilan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang perekonomian.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa pengadilan niaga perlu untuk dibentuk. Salah satunya adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang diperkirakan akan mengalami lonjakan besar kasus kepailitan. Pembentukan pengadilan niaga juga dimaksudkan sebagai model percontohan bagi pengadilan Indonesia yang dapat bekerja secara baik dan tertib.

Rencana untuk memiliki institusi sejenis Pengadilan Niaga telah bergulir sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 mengenai kekuasaan kehakiman. Selain membagi kekuasaan pengadilan di 4 (empat) lingkungan peradilan, menurut undang-undang ini juga tidak tertutup kemungkinan diadakannya suatu pengkhususan di masing-masing lingkungan peradilan. Misalnya dalam peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalu lintas, pengadilan anak, pengadilan ekonomi, dan sebagainya


(26)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

sesuatu dengan aturan dalam undang-undang10. Hal senada juga ditegaskan dalam pasal 8 UU Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum yang menyebutkan bahwa dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam UU11

Pada dasarnya telah pernah ada contoh pengkhususan pada pengadilan umum, yaitu pengadilan ekonomi pada tahun 1955 yang pengadilan ekonomi pada saat itu diceritakan mempunyai kewenangan yang istimewa dalam memeriksa perkara-perkara tindak pidana ekonomi secara khusus oleh hakim-hakim istimewa yang memang mempunyai keahlian khusus di bidang itu

. Pengkhususan inilah yang kini diwujudkan dalam bentuk Pengadilan Niaga yang kita kenal saat ini.

12

. Pengkhususan ini kemudian diikuti dengan pembentukan pengadilan anak sebagai hasil dari keleluasaan yang diberikan oleh pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004. Kedua pengkhususan pengadilan ini terlihat berbeda. Pengadilan ekonomi bukan saja mempunyai kekhususan pada hukum acara namun juga mempunyai hakim ekonomi khusus, jaksa khusus, serta gedung khusus pula13

10

Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 4 tahun 2004.

11

Indonesia, Undang-undang mengenai Peradilan Umum, Nomor 2 tahun 1986, LN 20/1986.

12

Undang-undang Darurat Nomor 7 tahun 1955, pasal 35 ayat 1 menyebutkan: “pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih, dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi.”

13

Dr. Amir Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga: Jakarta. 1986. hal. 5

. Berbeda halnya dengan pengadilan anak yang hanya mempunyai hukum acara yang khusus saja. Meskipun disebutkan bahwa dalam pengadilan anak diperlukan hakim yang khusus namun pada kenyatannya hakim ini adalah hakim umum yang mendapat pelatihan khusus untuk menjadi hakim anak. Kemudian hanya di Bandung saja yang mempunyai gedung khusus bagi pengadilan anak, selain itu semua gedung pengadilan anak tetap menyatu dengan gedung pengadilan negeri.


(27)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga lebih diperlukan sebagai pengkhususan pengadilan seperti yang dicontohkan oleh pengadilan ekonomi di tahun 1955. Dengan demikian tak heran apabila system pendukung pengadilan seperti system kepegawaian hakim, system kepegawaian staf-staf pengadilan lainnya, dan system pengadaan infrastruktur pengadilan tunduk pada peraturan yang berlaku di pengadilan umum. Kecenderungan ini bukan saja diberlakukan pada pengadilan niaga saja tetapi juga pada semua pengadilan baru lain yang merupakan pengkhususan dari 4 lingkup peradilan pada UU Nomor 4 tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 diterjemahkan sebagai pengkhususan pada prosedur suatu perkara tertentu saja tanpa kekhususan lain pada sistem pendukung peradilan tersebut. Keadaan ini dianggap telah melenceng dari tujuan awal semula yang dimaksudkan Pengadilan Niaga untuk mendekati contoh pengkhususan pengadilan ekonomi, dengan segala perangkat istimewa untuk mengatasi perkara-perkara niaga yang dikhawatirkan dan diperkirakan akan membludak akibat krisis ekonomi di Indonesia pada saat ini.

Secara konvensi teori perundang-undangan, pembentukan suatu pengadilan khusus biasanya dilakukan melalui suatu undang-undang tersendiri yang mengamanatkan pembentukannya tersebut. Keistimewaan pembentukan pengadilan niaga tersebut tak lepas dari upaya pebaikan terhadap peraturan mengenai kepailitan yang ada sebelum tahun 1988, yaitu failissement verordering Staatblaad 1905 No. 217 jis tahun 1906 No. 348. Upaya perbaikan tersebut dianggap merupakan salah satu solusi utama yang perlu mendapat prioritas karena Indonesia mengalami krisis perekonomian pada tahun 1998, sehingga lahirlah


(28)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 199, yang kemudian oleh dewan perwakilan rakyat menjadi UU Nomor 4 tahun 1998 (UU Kepailitan). Dalam UU inilah pendirian Pengadilan Niaga diatur, yaitu dalam pasal 1 ayat (1), pasal 280 ayat (2) sera pasal 281. Penjelasan pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan14

14

Indonesia, Undang-undang Kepailitan, UU Nomor 4 tahun 1998.

:

“Yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum……”

Pembentukan Pengadilan Niaga adalah dipisahkannya yurisdiksi untuk memeriksa permohonan pailit dari pengadilan negeri kepada Pengadilan Niaga. Undang-undang mengatur bahwa dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang hanya dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga.

UU kepailitan hanya memerintahkan pembentukan satu Pengadilan Niaga yaitu pada pengadilan negeri Jakarta pusat. Namun seara bertahap, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya manusia, maka keberadaan Pengadilan Niaga akan diperluas ke daerah-daerah lain. Tidak lama setelah Pengadilan Niaga beroperasi pada pengadilan negeri Jakarta pusat, maka melalui keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999, pemerintah membentuk Pengadilan Niaga pada empat wilayah pengadilan negeri lainnya, yaitu di pengadilan negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang.


(29)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Sebelum pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain, maka Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk menerima permohonan pailit atas debitur di seluruh wilayah Indonesia. Dengan dibentuknya empat Pengadilan Niaga tersebut, maka pembagian wilayah yurisdiksi relatif bagi perkara yang diajukan kepada Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut:

1. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi wilayah propinsi sulawesi selatan, sulawesi tenggara, sulawesi tengah, sulawesi utara, maluku dan irian jaya

2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi propinsi sumatera utara, riau, sumatera barat, jambi, bengkulu, dan daerah istimewa aceh

3. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, meliputi propinsi jawa timur, kalimantan selatan, kalimantan tengah, kalimantan timur, bali, nusa tenggara barat, nusa tenggara timur, dan timor timur

4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri semarang meliputi propinsi jawa tengah dan daerah istimewa yogyakarta.

Pembagian ini sekaligus mereduksi kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat, sehingga daerah hukumnya hanya meliputi propinsi daerah khusus ibukota Jakarta, jawa barat, lampung, sumatera selatan dan kalimantan barat. Bagi permohonan pailit yang tengah dalam proses penyelesaian di Pengadilan Niaga Jakarta pusat diperkenankan untuk menyelesaikan permohonan pailit tersebut I Pengadilan Niaga Jakarta pusat. Sedangkan bagi permohonan pailit yang sudah diajukaan namun belum diproses, maka


(30)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

penanganannya dapat mulai dialihkan ke pengadilan niaga yang lain yang memiliki kewenangan relatif tersebut.

B. Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perluasan Kompetensinya

Sebelum diberlakukannya Undang-undang Kepailitan, para pelaku ekonomi memperkirakan sedikitnya ada 1800 perusahaan di Indonesia yang akan dikenai proses kepailitan. Kenyataannya, setelah setahun Undang-undang Kepailitan diberlakukan, kasus kepailitan tidak lebih dari 100 dan dari data statistik tahun 1998-1999, permohonan pailit hanya 29 persen yang dikabulkan. Berdasarkan data hasil rekapitulasi yang dilakukan Bappenas, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga pada periode 1998-2002 terbanyak di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu sejumlah 315 perkara. Di Pengadilan Niaga Surabaya hanya ada 11 perkara, sementara di Pengadilan Niaga Semarang hanya lima perkara. Dari jumlah tersebut, yang berhasil diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 308 perkara. Yang diputus Pengadilan Niaga Surabaya sebanyak sembilan perkara dan yang diputuskan pengadilan niaga Semarang lima perkara.

Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Pada tahun 1999 terdapat 100 perkara. Tahun berikutnya menurun jadi 84 perkara dan tahun 2001 menurun lagi menjadi 61 perkara. Dan pada tahun 2002 tinggal 39 perkara. Penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, sosial dan yuridis.


(31)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Dari aspek ekonomi, para pelaku ekonomi telah menyadari bahwa belum saatnya memohon kepailitan, karena pada saat yang bersamaan daya beli masyarakat (market price) masih rendah. Masyarakat masih kesulitan membeli aset perusahaan pailit yang dilelang. Sedangkan dari aspek sosial beberapa kreditor bersikap hati-hati menghadapi dampak sosial kepailitan yang dapat menimbulkan pengangguran massal. Sementara itu dari aspek yuridis penanganan sengketa kepailitan terkesan masih lamban dan sulit diperkirakan. Sementara pada saat yang bersamaan terdapat sarana/lembaga publik lainnya yang dapat menangani asset recovery akibat wanprestasi tersebut. Dengan kata lain, dari segi yuridis, penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan oleh ketidakpuasan para pencari keadilan akan kinerja lembaga tersebut15

15

H.P. Panggabean, “Tanggapan Terhadap Persepsi Negatif Masyarakat Mengenai Pengadilan Niaga dan Putusan-putusannya”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 18 (Maret/April 2002. hal. 44.

.

Kemungkinan terkecil adalah akan dipilihnya Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga. Kemungkinan yang terakhir ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan Niaga. Selain itu masih ada ketidakpercayaan yang cukup besar dari responden terhadap kinerja Pengadilan Negeri.

Terlepas dari masalah di atas, Pengadilan Niaga telah berhasil melaksanakan terobosan waktu penyelesaian perkara. Perubahan besar dalam asas kecepatan penanganan perkara, yang didukung oleh transparansi penggunaan waktu yang sangat ketat, menunjukkan bahwa Pengadilan Indonesia telah berhasil melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.


(32)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

C. Arah Pengembangan Kompetensi Pengadilan Niaga

Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan salah satu dari sekitar 50 program utama yang disyaratkan IMF dalam Letter of Intent (LoI) ketika pemerintah Indonesia mengajukan bantuan16

Ide dasar dan struktur pembentukan Pengadilan Niaga tidak dimaksudkan agar Pengadilan Niaga berhenti sebagai “pengadilan untuk perkara kepailitan”

. Pengadilan Niaga (commercial

court) juga ditujukan untuk menyelesaikan berbagai sengketa tertentu di bidang

perniagaan. Sementara itu cakupan perluasan yang diamanatkan Undang-undang Kepailitan hanya spesifik pada bidang kepalitan dan PKPU.

17

16

Pemerintah RI menandatangani Letter of Intent (LoI) pada 10 April 1998. Pada pokoknya dalam LoI itu khususnya dalam Appendix VII tentang Kepailitan dan Reformasi Hukum, dinyatakan bahwa sistem kepailitan Indonesia perlu diperbarui dan sistem peradilan khusus kepailitan perlu dibentuk. Dengan kata lain maka Undang-undang Kepailitan yang ada mesti diperbarui melalui Perpu disertai dengan dibentuknya pengadilan khusus kepailitan yang dikenal dengan nama Pengadilan Niaga.

17

Hal ini diamanatkan dalam asal 280 ayat 2 UUK, yang menyatakan: "…selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, (maka pengadilan niaga) berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan peraturan pemerintah"

. Tuntutan dunia ekonomi secara keseluruhan berbanding lurus dengan keinginan meningkatkan kinerja Pengadilan Niaga. Secara umum peningkatan kinerja tersebut dapat dilihat dari dua jalur pengembangan, yaitu pengembangan dari sudut kewenangan absolut, dan pengembangan dari sudut kewenangan relatif.

Setidaknya ada lima bidang dominan yang ingin diperluas kewenangan absolutnya, yaitu perbankan, perseroan, asuransi, pasar modal, dan HaKI. Bidang yang terakhir ini kini sudah diselenggarakan Pengadilan Niaga. Kewenangan absolut tersebut juga diperluas dengan menambahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pada merek dan paten. Bidang-bidang yang dapat ditangani Pengadilan Niaga, antara lain adalah Desain Industri dan Tata Letak Sirkuit Terpadu.


(33)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Pengembangan kompetensi absolut Pengadilan Niaga merupakan tuntutan, tantangan, dan harapan dari para pihak terkait. Dalam rangka pengembangan kompetensi Pengadilan Niaga di era globalisasi, diperlukan konsep yang matang untuk mempersiapkan perluasan kompetensi absolut tersebut, agar Pengadilan Niaga dapat dipercaya dan kredibel di mata pencari keadilan.

Pengadilan Niaga dapat merujuk pada konsep Commercial Court di negara bagian Lousiana, New Orleans, Amerika Serikat (AS), sebagai alternatif perbandingan. Commercial Court di New Orleans, telah berkembang sejak tahun 1839 berdasarkan UU No.17 di bawah kewenangan La Constitusi Bab IV, Bagian 4 (1812). Menurut UU tersebut DPR negara bagian New Orleans kemudian membentuk Pengadilan Niaga yang sejajar kedudukannya dengan Pengadilan Negeri (First Judicial District Court).

Ruang lingkup kewenangan Commercial Court terbatas. Ia tidak menangani kasus-kasus perselisihan yang berkenaan dengan kepemilikan sebidang tanah; kepemilikan budak; hubungan rumah tangga; tuntutan kerugian; atau pengambilalihan atas hak. Peraturan ini juga memberikan kesempatan para pihak yang terkait untuk mengalihkan kasus-kasus yang tertunda dan memiliki kompleksitas yang tinggi di pengadilan yang ada kepada Commercial Court.18

18

Lousiana Commercial Court (Orleans Parish), http://nutrias.org/nopl/inv/commct.htm. Diakses tanggal 20 Juli 2007.

Hal ini merupakan upaya melepaskan beban pada pengadilan umum. Mengingat banyaknya kasus dan kerumitan teknis atas perselisihan usaha yang bermunculan di kota-kota di Louisiana, pihak legislative berinisiatif memudahkan penyelesaian perselisihan secara cepat untuk mendorong perkembangan perniagaan di New


(34)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Orleans. Dengan demikian permohonan banding dari Commercial Court ditujukan kepada Pengadilan Tinggi (Supreme Court).

Dalam rangka mempersiapkan sebuah institusi Pengadilan Niaga yang lebih baik di Indonesia, maka beberapa kewenangan Pengadilan Negeri, khususnya perkara-perkara yang memiliki tingkat kerumitan cukup tinggi dapat dialihkan ke Pengadilan Niaga secara bertahap, sehingga hal ini dapat mengurangi beban Pengadilan Umum. Yang perlu dipersiapkan tatkala kewenangan perkara dari Pengadilan Umum dilimpahkan ke Pengadilan Niaga adalah: perkara yang dilimpahkan itu sesuai dengan karakteristik Pengadilan Niaga, yaitu prosesnya cepat dan prosedur pembuktiannya sederhana. Kedua hal itu merupakan satu kesatuan. Soalnya, tidak mungkin dilaksanakan proses yang cepat, jika tetap mengacu kepada hukum acara yang saat ini berlaku di Pengadilan Negeri. Konsekuensi logisnya adalah perkara yang dilimpahkan tersebut harus disederhanakan, baik dalam konteks prosedural maupun pembuktiannya.

Seperti disebutkan di atas setidaknya ada lima bidang yang diinginkan dimasukan ke dalam wilayah kompetensi Pengadilan Niaga, beberapa di antaranya yakni:

1. Perbankan

Bank sangat terkait dengan kepentingan masyarakat. Bubarnya suatu bank akan menimbulkan dampak luas bagi masyarakat. Masalah hukum perbankan tidak sesederhana sebagaimana persyaratan pailit dan membutuhkan pembuktian yang tidak sumir. Putusan di tingkat Pengadilan Niaga sampai dengan Mahkamah Agung, kenyataannya telah memutuskan pengertian utang pada beberapa


(35)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

definisi19

2. Asuransi

. Hal ini terjadi lantaran Undang-undang Kepailitan tidak tegas mendefinisikan utang, sehingga dalam praktek berkembang dua macam pertimbangan hakim. Selain itu interpretasi terhadap pembuktian yang dapat dijadikan dasar bagi hakim dalam menerima atau menolak perkara belum diatur dalam kriteria yang tegas.

Lembaga penyelesaian sengketa niaga untuk bidang asuransi sangat dibutuhkan, mengingat para pencari keadilan masih menganggap Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian yang murah, cepat, dan mudah.

3. Pasar Modal

Idealnya, mekanisme pasar yang berjalan di Pasar Modal diimbangi dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Saat ini ada Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang menyediakan sarana alternatif penyelesaian sengketa di bidang pasar modal yang cepat, transparan, mandiri, dan adil. Di masa depan tidak menutup kemungkinan pengajuan perkara yang berkaitan dengan pasar modal dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, karena ruang lingkup pasar modal terkait dengan bidang-bidang hukum lain seperti perbankan dan asuransi; suatu bidang yang erat kaitannya dengan Pengadilan Niaga.

19

H. P. Panggabean, “Tanggapan Terhadap Persepsi Negatif Masyarakat Mengenai Pengadilan Niaga dan Putusan-putusannya, Jurnal Hukum Bisnis Vol 2 No. 4, 2003, hlm. 43-60


(36)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

D. Pembuktian Untuk Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga

Asas yang dianut dalam menyesaikan perkara di Pengadilan Niaga adalah asas adil, cepat, terbuka dan efektif. Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 4 tahun 1998 menegaskan bahwa sifat pembuktian yang dianut oleh Pengadilan Niaga adalah sederhana. Permasalahan yang dihadapi adalah interpretasi hakim terhadap sifat sederhana tersebut, sehingga berpengaruh terhadap kepastian hukum dan sering timbulnya putusan yang “kontradiktif”. Dengan kemungkinan perluasan kompetensi Pengadilan Niaga, maka apabila yang akan dibuktikan hanya berkaitan dengan utang dan semuanya berakhir dengan kepailitan, maka Pengadilan Niaga mempunyai tugas yang sederhana dan penamaannya yang paling tepat adalah “Pengadilan Kepailitan ”.

Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan terhadap perkara niaga lainnya, seperti pada perkara berkaitan dengan HaKI, dan obyek sengketa di Pengadilan Niaga lainnya. Namun dalam kenyataannya, untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya20

Pada perkara kepailitan yang akan dibuktikan adalah ada atau tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan pailit. Pada perkara niaga seperti pada kasus-kasus yang diajukan ke Pengadilan Niaga dan kemungkingan perluasan kompetensi Pengadilan Niaga yang direncanakan oleh BAPPENAS, kebenaran yang akan dibuktikan adalah

.

20

Hermayulis, “Pengadilan Niaga: Eksistensi dan Peranan Pengadilan Niaga Sebagai Pengadilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa Niaga,” (Laporan Akhir Penelitian bagi Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002), hal. 41


(37)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

tentang suatu hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya suatu permasalahan hukum.

Proses pengajuan kepailitan melalui pengadilan niaga dapat digambarkan sebagai berikut:

Kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak sebagai berikut: 1. Debitur sendiri;

2. Seorang atau lebih krediturnya; 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum; 4. Bank Indonesia (BI); dan

5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM); 6. Menteri Keuangan.

Dalam hal gugatan pailit, Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan menyatakan bahwa:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera.

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepda pemohon diberikan tanda terima kasih tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3. panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.


(38)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.

5. Dalam jangka waktu paling lambat tiga hari terhitung sejak tanggal permohonan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.

7. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) sampai dengan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan21

Sebelum proses persidangan dilaksanakan, maka kepada para pihak dalam kepailitan akan diberi surat pemberitahuan adanya panggilan sidang perkara permohonan pailit dan juga diberi surat panggilan sidang menghadap dalam perkara kepailitan tersebut.

.

Pada prinsipnya pengadilan harus memperlakukan secara adil setiap permohonan pernyataan pailit yang diterima oleh pengadilan, khususnya bagi debitur22

21

Pasal 6 ayat (1-7) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan

22

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, “Seri Hukum Bisnis: Kepailitan”, PT. RajaGrafindo: Jakarta, 2000, hlm. 24

. Pengadilan wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur atau kejaksaan dan dapat memanggil debitur bila permohonan diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan tentang


(39)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit. Pemanggilan dilakukan oleh panitera paling lama 7 hari sebelum pemeriksaan persidangan pertama dilaksanakan23

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang tentang Kepailitan telah terpenuhi. Demikian pula jika permohonan diajukan oleh kreditur, pembuktian hak kreditur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana

.

24

Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum

.

25

Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan pengadilan melalui surat dinas atau kurir kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit (kreditur, kejaksaan) dan kurator serta hakim pengawas dalam tempo paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan

.

26

1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh harta kekayaan debitur, atau

.

Guna melindungi kepentingan kreditur (bersifat preventif dan sementara) yang selama ini sering kali diakali oleh debitur yang nakal, maka ditetapkan bahwa: selama putusan atas permohonan pailit belum ditetapkan, setiap kreditur/kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:

2. Menunjuk kurator sementara untuk:

23

Pasal 8 ayat (1-2) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

24

Pasal 6 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

25

Pasal 8 ayat (5) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

26


(40)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

a. mengawasi pengelolaan usaha debitur dan

b. mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator27

Walau demikian, permohonan penyitaan tersebut hanya akan dikabulkan oleh pengadilan jika penyitaan tersebut terbukti diperlukan untuk melindungi kepentingan kreditur. Dan dalam hal permohonan tersebut ternyata dikabulkan, maka untuk melindungi kepentingan dari debitur maupun pihak ketiga lainnya yang berkepentingan, pengadilan dapat menetapkan agar kreditur pemohon memberikan jaminan jumlah yang wajar

.

28

Undang-undang tentang Kepailitan memungkin dilakukannya pemeriksaan secara cuma-cuma dengan segala konsekuensinya, sebagaimana disebutkan bahwa setiap perintah untuk memeriksa perkara kepailitan dengan cuma-cuma, berakibat pula pembebasan dari biaya kepaniteraan

.

29

Sebagaimana halnya suatu permohonan dan/atau gugatan perkara, maka permohonan pernyataan pailit inipun dapat dicabut oleh pemohon. Sejalan dengan asas publisitas, ditetapkan bahwa setiap penetapan yang memerintahkan dicabutnya kepailitan, harus juga diumumkan dengan cara yang sama seperti putusan pernyataan pailit. Selanjutnya jika setelah diucapkannya pencabutan permohonan pernyataan pailit tersebut, dilakukan lagi pelaporan atau dimajukan lagi permohonan untuk pernyataan pailit, maka debitur atau pemohon diwajibkan menunjukkan, bahwa ada cukup untung untuk membayar biaya-biaya kepailitan

.

30

27

Pasal 10 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

28

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hlm. 26-27.

29

Pasal 18 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan .

30

Pasal 19 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.


(41)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Terhadap putusan pengadilan niaga, dapat dilakukan upaya hukum. Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil (keadilan)31

1. Kasasi

.

Ada dua (2) macam upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan kepailitan yakni: Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Terhadap putusan pengadilan niaga di tingkat pertama, dan khususnya yang menyangkut permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung32

Permohonan kasasi tersebut diajukan dalam jangka waktu paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi ditetapkan

. Dengan demikian terhadap keputusan pengadilan di tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding tetapi langsung dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum, pada prinsipnya adalah sama dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.

33

Selanjutnya panitera akan mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan tersebut diajukan, dan kemudian kepada pemohon akan diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggan penerimaan pendaftaran tersebut.

, kemudian didaftarkan melalui panitera pengadilan niaga yang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut.

31

Rahayu Hartini, “Hukum Kepailitan”, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Malang, 2002, hlm. 60.

32

Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

33


(42)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Permohonan kasasi yang diajukan melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan (lebih dari 8 hari) bisa berakibat pada dibatalkannya putusan kasasi dalam kepailitan34

2. Peninjauan Kembali .

Selain kasasi, upaya hukum yang lain adalah dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap35

1. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, teapi belu ditemukan; (pasal 295 ayat (1) atau

. Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan berdasarkan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing secara khusus telah dibatasi dengan suatu jangka waktu tertentu, yang dijabarkan dalam pasal 295 ayat (1) dan pasal 295 ayat (2) Undang-Undang tentang Kepailitan. Adapun alasan yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut:

2. dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata (pasal 295 ayat 2).

Pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang dilakukan berdasarkan alasan tersebut dalam huruf a, harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali memperoleh kekuatan hukum tetap36

34

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor: 020 PK/N/1999 dalam perkara Kepailitan PT. Megarimba Karyatama)

35

Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

36

Pasal 296 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.


(43)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

alasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali memperoleh kekuatan hukum yang tetap37

Dikaitkan dengan praktek hukum saat ini, Lembaga Peninjauan Kembali sudah menjadi “trend” baru yang cukup populer. Jadi ada kemungkinan seseorang yang sudah dinyatakan pailit berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dapat diadakan Peninjauan Kembali. Hasilnya dapat mengubah keputusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) tersebut

.

Permohonan Peninjauan Kembali disampaikan kepada panitera pengadilan niaga yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Panitera yang menerima permohonan Peninjauan Kembali akan mendaftar permohonan tersebut dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang salam sama dengan tanggal permohonan didaftarkan.

Pihak yang mengajukan permohonan peninjauan kembali untuk menyampaikan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali pada saat yang bersamaan dengan tanggal permohonan peninjuan kembali didaftarkan.

38

Jika kita baca secara cermat dan perhatikan secara seksama rumusan yang diberikan dalam pasal 286 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan tersebut, dapat kita lihat bahwa perumusan alasan peninjauan kembali

.

37

Pasal 296 ayat 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.

38


(44)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

tersebut agak sumir, sehingga dapat memberikan berbagai macam interpretasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Namun yang jelas “time frame” dalam Undang-undang Kepailitan tersebut sangatlah membantu dalam menciptakan kepastian hukum39

E. Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga

.

Jika pengadilan menerima putusan pailit, maka diangkat kurator. Kurator diangkat dan ditetapkan oleh majelis hakim, untuk mengurusi dan mengawasi harta-harta debitur pailit karena dianggap debitur tersebut sudah tidak lagi cakap melakukan tindakan hukum.

Di Indonesia untuk kurator ini ada 2 (dua) jenisnya, yaitu: 1. Balai Harta Peninggalan (BHP).

2. Kurator lainnya, yaitu perorangan atau persekuturan perdata yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus dalam mengurusi harta pailit. Di samping itu, telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Untuk mendaftarkan menjadi kurator, seseorang harus:

a. Mengajukan permohonan secara tertulis ke Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia.

b. Memiliki surat tanda lulus ujian yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI)40

Setelah ditunjuk diangkat dan ditetapkan oleh majelis hakim, seorang kurator harus secara aktif dan dalam tempo secepatnya melakukan inventarisasi

.

39

Ibid., hlm. 23.

40


(45)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

atas harta-harta debitur pailit dan menaksir harta debitur pailit untuk dibayarkan kepada para kreditur secara maksimum.

Sebagai kurator harus mendata, melakukan verifikasi atas kewajiban debitur pailit secara teliti terhadap kreditur dan harus sama-sama mendengar untuk menentukan jumlah dan keabsahan utang dan piutang debitur pailit dengan para kreditur.

Mendata, melakukan pencatatan/inventarisasi harta-harta dan aset-aset debitur pailit termasuk tagihan-tagihan yang dimiliki debitur pailit sehingga dapat ditentukan langkah-langkah yang harus diambil oleh kurator untuk menguangkan tagihan-tagihan tersebut.

Kurator harus melindungi keberadaan aset debitur pailit dan berusaha mempertahankan nilai aset tersebut. Setiap tindakan yang dilakukan oleh kurator terhadap harta kekayaan debitur pailit harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari hakim pengawas, misalnya melakukan penjualan aset / kekayaan debitur pailit.

Dalam Undang-undang Kepailitan ditentukan tugas seorang kurator sebagai berikut:

1. Seorang kurator yang ditunjuk untuk tugas khusus berdasarkan putusan pernyataan pailit, berwenang untuk bertindak sendiri sebatas tugasnya. 2. Dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan

pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator mengumumkan dalam berita negara republik indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas,


(46)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang membuat hal-hal sebagai berikut:

a. Identitas, alamat dan pekerjaan debitur; b. nama hakim pengawas;

c. nama, alamat, dan pekerjaan kurator;

d. nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditor sementara, apabila telah ditunjuk; dan

e. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor.41 Sedangkan tanggung jawab kurator adalah:

1. Terhadap kesalahan atau kelalaian dalam tugas pengurusan atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit;

2. Kurator ditunjuk untuk tugas khusus berdasarkan putusan pernyataan pailit, berwenang untuk bertindak sendiri sebatas tugasnya;

3. Kurator harus menyampaikan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan;

Upah kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan ternyata mencerminkan inkonsistensi dalam penerapan hukum kepailitan, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum. Sampai saat ini Pengadilan Niaga belum mampu melakukan paksaan terhadap debitur yang tidak mematuhi putusan pengadilan, sehingga banyak debitur yang lepas dari jerat kepailitan.

41


(47)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Undang-undang Kepailitan yang memungkinkan dilakukannya Gijzelling (lembaga paksa) terhadap debitur, sampai saat ini tidak dapat dilaksanakan. Berbagai alasan dikemukakan atas ketidaksediaan pengadilan untuk mengaktifkan pasal 84 tersebut. Akibatnya sampai saat ini para pencari keadilan semakin tidak percaya bahwa status pailit debitur akan membuat kreditur lebih mudah meminta pelunasan tagihannya dari aset debitur yang dipailitkan.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk untuk menyelamatkan ekonomi negara menyodorkan data bahwa penagihan uang negara/piutang negara melalui Pengadilan Niaga, masih jauh dari yang diharapkan.

Beberapa kendala yang menyebabkan BPPN kalah di Pengadilan Niaga, yang berujung pada kecilnya tingkat pengembalian uang negara, antara lain sebagai berikut berikut42

1. Sita Jaminan terhadap Harta si Pailit :

Sejak debitur dinyatakan pailit, seluruh harta si pailit dinyatakan dalam keadaan sita umum, sehingga sita-sita lainnya di luar Undang-undang Kepailitan harus tunduk pada sita umum ini. Bila ada gugatan karena utang-piutang terhadap si pailit, maka si penggugat cukup memasukkan tagihan kepada kurator. Dalam praktiknya masih terjadi sita jaminan terhadap boedel pailit dinyatakan sah dan berharga oleh Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Niaga.

42

Robertus Bilitea, “Beberapa Catatan BPPN Tentang Putusan-putusan Pengadilan Niaga,” Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 18, Maret/April 2002): 18-22.


(48)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

2. Dugaan Adanya Kreditur Fiktif

Dalam perkara kepailitan, terutama pada saat verifikasi jumlah utang, sangat mungkin munculnya kreditur-kreditur baru, bahkan kreditur fiktif. Sebab, ada kalanya pada saat verifikasi dan pencocokan jumlah utang, kreditur tersebut datang tanpa didukung oleh bukti-bukti yang cukup.

Dalam perkara kepailitan antara Arab Banking lawan PT Davomas Abadi (BPPN sebagai kreditur lain) terdapat dugaan adanya kreditur fiktif. Ini terlihat dari adanya saksi (pemegang IMTN = Indonesian Medium Term Note) dalam persidangan yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah membeli dan memiliki IMTN. Mereka juga tidak pernah memberi kuasa kepada penasihat hukum yang mengklaim bahwa ia adalah kuasa hukum dari 60 pemegang IMTN tersebut.

Yang mengejutkan, walaupun yang bersangkutan tidak pernah mengakui, tetap saja kreditur yang diduga fiktif tersebut diakui dalam perhitungan suara. Kuasa hukum kreditur fiktif ini hadir dalam setiap rapat kreditur. Akibatnya suara kreditur yang diduga fiktif itu menjadi suara mayoritas dalam perkara a quo. Hal ini jelas sangat merugikan porsi suara para kreditur lainnya, termasuk porsi suara BPPN yang menjadi lebih kecil.

3. Batas Waktu PKPU

Hakim pengawas dan majelis hakim pada Pengadilan Niaga telah memperpanjang masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sehingga lebih dari 270 hari. Ini jelas bertentangan dengan pasal 228 ayat 6 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, yang intinya


(49)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

menyatakan jangka waktu PKPU dan perpanjangannya tidak boleh lebih dari 270 hari, terhitung mulai PKPU sementara ditetapkan.

4. Lembaga Paksa Badan

Terhadap debitur dan para pengurus perseroan yang non kooperatif (non-cooperative debitors), BPPN telah mengajukan usul paksa badan. Paksa badan seharusnya dapat diterapkan setelah semua persyaratan yang diwajibkan peraturan dipenuhi. Kenyataannya paksa badan tidak pernah dapat dilaksanakan secara efektif, baik dalam penerapan Undang-undang Kepailitan, maupun sebagai pelaksanaan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000. Alasan yang diajukan di antaranya berkaitan dengan perangkat hukum yang belum jelas dan pasti.

5. Fungsi Kurator dan Hakim Pengawas

Dari ketentuan pasal 21 dan 24 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dapat disimpulkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan. Sejak pernyataan pailit diumumkan, debitur kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya. Selanjutnya pengurusan dan pemberesan diambil alih kurator. Jelaslah betapa besarnya peranan kurator mengurus dan memaksimalkan boedel pailit, serta melaksanakan penjualan boedel pailit, dengan harapan agar kewajiban debitur pailit kepada para krediturnya dapat dipenuhi. Karena itu, dalam perkara pailit banyak kreditur yang sangat mengharapkan kurator dapat bekerja sama


(50)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

secara maksimal dengan harapan dapat memaksimalkan pengembalian aset (asset recovery).

Menurut pasal 15 ayat 3 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, kurator yang diangkat harus independen dan tidak berbenturan kepentingan dengan debitur atau kreditur. Namun pada prakteknya masih ada beberapa kurator yang kurang maksimal dalam melakukan pengurusan dan pemberesan boedel pailit. Atau seringkali kurator tidak didukung SDM yang memadai guna melakukan due diligence dan/atau penelitian terhadap laporan keuangan debitur pailit sehingga boedel pailitpun tidak maksimal. Dalam beberapa perkara, kurator bahkan terkesan berseberangan dengan para kreditur dan cenderung berpihak pada debitur.

Kurator sebagai salah satu tenaga profesional dalam pemberesan harta kepailitan selayaknya mendapat penjelasan yang pasti dalam Undang-undang Kepailitan, khususnya berkaitan dengan tata cara penunjukan/pengangkatan kurator oleh Pengadilan Niaga. Pada prakteknya terlihat adanya wewenang super dari hakim untuk tidak menerima kurator yang diajukan pemohon atau termohon pailit, tanpa penjelasan tentang apa yang menjadi dasar penolakan tersebut. Hal ini membuat begitu banyak kurator yang sebenarnya tidak diusulkan oleh para pihak yang berperkara, melainkan ditunjuk oleh hakim. Wajarlah bila ada beberapa kurator yang mengurus sampai puluhan kasus, sementara kurator lainnya yang telah berulangkali dicalonkan kreditor ditolak tanpa alasan jelas


(51)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

BAB III

HAKIM AD HOC DI INDONESIA

A. Pengertian Hakim Ad Hoc

Hakim ad hoc adalah seorang ahli di bidangnya yang diangkat menjadi hakim. Ia diangkat Presiden atas usul Ketua MA untuk bertugas sebagai hakim anggota dalam suatu majelis dan bertugas memeriksa serta memutus perkara niaga. Pengangkatan hakim ad hoc sangat diperlukan mengingat pengetahuan hakim karier cenderung generalis. Karena itu dalam kasus-kasus tertentu perlu kehadiran hakim ad hoc yang memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki hakim karier.

Dalam praktiknya, hakim Ad hoc masih kurang dimanfaatkan, karena ada pandangan bahwa peran hakim ad hoc untuk memberi masukan (input) pengetahuan hukum bidang perniagaan, dapat digali melalui keterangan para ahli. Tindakan yang sering dilakukan hanyalah memanggil para saksi ahli untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu kasus. Padahal selain sebagai pemberi masukan, hakim ad hoc juga dapat mempengaruhi isi putusan.

B. Kedudukan dan Fungsi Hakim Ad Hoc

Salah satu alasan utama dimasukkannya hakim ad hoc dalam UU Kepailitan 1998 adalah untuk membantu para hakim niaga dalam menganalisis


(1)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

hakim ad hoc berasal para ahli hukum tertentu yang memiliki spesifikasi keilmuan yang baik.

B. SARAN

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam rangka mengembangkan Pengadilan Niaga di Indonesia, yang diperlukan adalah pembaharuan, terutama di bidang kompetensi dan hukum acara. Perlu diciptakan aturan yang jelas mengenai kompetensi dan hukum acara Pengadilan Niaga.

2. Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam penyempurnaan hukum acaranya adalah:

a. perlu ada sanksi terhadap putusan pailit yang melewati jangka waktu yang telah ditetapkan dalam UU;

b. sistem pembuktian perlu disederhanakan, disesuaikan dengan jangka waktu proses penyelesaian perkara di Pengadilan Niaga yang cepat; c. perlu pengertian lebih tegas terhadap sejumlah istilah di dalam hukum

acara kepailitan yang masih menimbulkan perdebatan dan dapat menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan hakim niaga dan ketidakpastian hukum. Misalnya pengertian utang, kreditor, utang yang telah jatuh tempo, penetapan sementara serta jumlah minimum utang. 3. Perihal eksekusi dalam pelaksanaannya kadang masih membutuhkan


(2)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Pengadilan Niaga harus dipandang sebagai putusan yang bersifat mengikat pihak-pihak yang bersangkutan.

4. Kinerja Pengadilan Niaga yang cepat karena dibatasi jadwal waktu (time frame) sangat ketat harus didukung kesiapan seluruh infrastruktur penunjang. Misalnya Sumber daya manusia, sarana operasional, kebijakan regulasi dan hukum acara yang terunifikasi dengan baik. Dengan jadwal waktu ketat untuk putusan hakim, maka hal-hal mengenai pembuktian dapat menimbulkan permasalahan. Karena itu, untuk mengisi kekosongan peraturan, perlu ada pasal yang mengatur, seperti terdapat dalam UU Kepailitan.

5. Dalam rangka mempersiapkan sebuah institusi Pengadilan Niaga yang lebih baik, maka beberapa kewenangan Pengadilan Negeri, khususnya perkara-perkara yang memiliki tingkat kerumitan tinggi dapat dialihkan ke Pengadilan Niaga secara bertahap. Kekhawatiran dari para pihak yang terlibat akan muncul bila Pengadilan Niaga membuka lebar-lebar kesempatan berperkara di bidang niaga. Dengan demikian perlu disiapkan kriteria agar tiap perkara yang dilimpahkan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga sesuai dengan karakteristik Pengadilan Niaga, yaitu prosesnya cepat dan memiliki prosedur pembuktian yang relevan dengan objek perkara.

6. Sehubungan dengan peningkatan sumber daya para hakim, disarankan untuk mengangkat Hakim Ad-Hoc, yakni hakim dari kalangan profesional dan ahli di bidang Niaga tertentu. Para hakim Pengadilan Niaga juga perlu mendapat kejelasan tetang peningkatan jenjang karir dan pola mutasi


(3)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

mereka, agar muncul hakim niaga yang profesional. Dengan demikian Mahkamah Agung seharusnya memberi perhatian lebih, dengan membuat aturan yang jelas tentang jenjang karir Hakim Niaga.


(4)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Fuady, Munir, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Cet. 1, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999.

Hamzah, Amir, Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga: Jakarta. 1986.

Hartini, Rahayu, “Hukum Kepailitan”, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Malang, 2002.

Marbun, B.N, Kamus Manajemen, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 2003.

Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media: Jakarta, 2005.

Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2001. Subekti, R, Prof, SH, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT Pradnya

Paramita: Jakarta, 2001.

Sutantio, Retnowulan dan Iskancar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, CV Mandar Maju: Bandung, 1997.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, PT. RajaGrafindo: Jakarta, 2000.

Bilitea, Robertus, Beberapa Catatan BPPN Tentang Putusan-putusan Pengadilan Niaga, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 18, Maret/April 2002).


(5)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Panggabean, H. P, Tanggapan Terhadap Persepsi Negatif Masyarakat Mengenai Pengadilan Niaga dan Putusan-putusannya, Jurnal Hukum Bisnis Vol 2 No. 4, 2003.

Hermayulis, Pengadilan Niaga: Eksistensi dan Peranan Pengadilan Niaga Sebagai Pengadilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa Niaga, (Laporan Akhir Penelitian bagi Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2002).

Laporan dan Kertas Kerja

Laporan Kegiatan Pengadilan Niaga Tahun 1998-2003, Jakarta: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 2004.

Laporan Akhir Rekrutmen dan Karir Hakim di Bidang Peradilan, Penelitian kerjasama KHN dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2002.

Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, Mahkamah Agung RI, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003.

Reksodiputro, Mardjono dalam Colloqium Pengkajian Terhadap Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga, 10 Januari 2005.

Sjahdeini, Sutan Remy pada colloquim Hakim Ad Hoc di Pengadilan Niaga, Senin 10 Januari 2005.

UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang


(6)

Shandi Izhandri : Tinjauan Yuridis Keberadaan Hakim Ad Hoc Di Pengadilan Niaga, 2007. USU Repository © 2009

Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. UU Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan.

Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 perubahan atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2000. Perma

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1999.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor: 020 PK/N/1999 dalam perkara Kepailitan PT. Megarimba Karyatama)

Keppres 71/M/Tahun 1999. Keppres

Keppres 108/M/Tahun 2000.

Lousiana Commercial Court (Orleans Parish), Sumber Internet