Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang T1 462012094 BAB II

(1)

8

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Remaja

2.1.1 Definisi Remaja

Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa (Larson dkk, 2002 dalam Santrock, 2007).

Definisi remaja (adolescence) menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2007 adalah periode usia antara 10 sampai 19 tahun. Sedangkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebut kaum muda (youth) untuk usia antara 15 sampai 24 tahun. Sementara itu, menurut The Health Resources and Services Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-21 tahun dan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun); remaja menengah (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Menurut Kusmiran (2014), definisi remaja sendiri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu :

1. Secara kronologis, remaja adalah individu yang berusia antara 11-12 tahun sampai 20-21 tahun;


(2)

2. Secara fisik, remaja ditandai oleh ciri perubahan pada penampilan fisik dan fungsi fisiologis, terutama yang terkait dengan kelenjar seksual;

3. Secara psikologis, remaja merupakan masa dimana individu mengalami perubahan – perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial, dan moral, diantara masa anak-anak menuju masa dewasa.

Gunarsa (1978) dalam Kusmiran (2014), mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Masa remaja adalah masa yang penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanak-kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab (Kusmiran, 2014).

2.1.2 Tugas Perkembangan Remaja

Terdapat dua konsep perkembangan remaja, yaitu nature dan nurture. Bawaan (nature) merujuk pada warisan biologis organisme, sedangkan pengasuhan (nurture) merujuk pada pengalaman lingkungan (Santrock, 2007). Menurut Havighurst (1998) dalam Kusmiran (2014), ada tugas-tugas yang harus diselesaikan dengan


(3)

baik pada setiap periode perkembangan. Tugas perkembangan adalah hal-hal yang harus dipenuhi atau dilakukan oleh remaja dan dipengaruhi oleh harapan sosial. Deskripsi tugas perkembangan berisi harapan lingkungan yang merupakan tuntutan bagi remaja dalam bertingkah laku. Adapun tugas perkembangan pada remaja adalah sebagai berikut :

1. Menerima keadaan dan penampilan diri, serta menggunakan tubuhnya secara efektif.

2. Belajar berperan sesuai dengan jenis kelamin (sebagai laki-laki dan perempuan).

3. Mencapai relasi yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, baik sejenis maupun lawan jenis.

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

5. Mencapai kemandirian secara emosional terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karier dan kemandirian secara ekonomi.

7. Menyiapkan diri (fisik dan psikis) dalam menghadapi pernikahan dan kehidupan keluarga.


(4)

8. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual untuk hidup bermasyarakat dan untuk masa depan (dalam bidang pendidikan atau pekerjaan).

9. Mencapai nilai-nilai kedewasaan.

Periode remaja ini adalah periode penting di dalam pertumbuhan manusia mengingat banyaknya proses pertumbuhan yang dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah pernikahan dini (early marriage) (BKKBN, 2012).

2.2 Faktor Penyebab dan Dampak dari Pernikahan Dini

2.2.1 Pengertian Pernikahan Dini

Terdapat beberapa pengertian pernikahan dini menurut para ahli, antara lain menurut Riyadi (2009), pernikahan dini adalah perkawinan yang para pihaknya masih sangat muda dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam melakukan perkawinan. Selanjutnya menurut Ahmad (2009), pernikahan dini adalah pernikahan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.


(5)

2.2.2 Faktor Penyebab Pernikahan Dini

1. Keinginan diri sendiri

Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan minat. Selain itu, keadaan siap secara mental untuk menikah akan membawa pasangan untuk menikah sesegera mungkin (Dariyo, 2003). Selain itu, Sanderowitz dan Paxman (1985) dalam Sarwono (2003) menyebutkan bahwa pernikahan dini juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Remaja yang cenderung memiliki rasa ingin tahu memungkinkan remaja terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Maka dari itu, ketakutan untuk terjerumus ke dalam pergaulan bebas dianggap mampu dihindari dengan menikah di usia remaja. Sesuai dengan pernyataan Surjandi (2002), remaja mengalami perubahan organ biologis sehingga remaja memiliki sifat selalu ingin tahu dan cenderung mencoba hal-hal baru.

2. Ekonomi

Pernikahan usia dini terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya


(6)

maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu (Puspitasari, 2006). Hal senada juga diungkapkan oleh WHO (2007), pernikahan dini lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan (UNFPA, 2006).

Suatu studi kualitatif yang dilakukan oleh Hairi (2009) terhadap masyarakat Muslim Madura, menjelaskan bahwa yang menjadi latar belakang perempuan menikah dini adalah faktor ekonomi keluarga yang rendah. Menurut Darmawan (2010), sebagian besar aktivitas perekonomian masyarakat Indramayu adalah sebagai buruh tani, nelayan dan sebagai tenaga kerja Indonesia. Angka kemiskinan yang cukup tinggi di Kabupaten Indramayu akan berdampak langsung pada kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya.

3. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur (Puspitasari, 2006). Hal serupa dikemukakan BKKBN (2012), pendidikan


(7)

perempuan yang lebih tinggi terkait erat dengan usia pernikahan remaja yang lebih lambat.

Tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah dapat menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini (Alfiyah, 2010). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nandang, dkk (2009) yang menunjukkan bahwa remaja muda yang berpendidikan rendah memiliki risiko (ods ratio) 4,259 kali untuk menikah dini daripada remaja muda yang berpendidikan tinggi. Remaja yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki risiko lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan dengan remaja yang memiliki latar pendidikan rendah. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan ataupun kematangan psikososialnya.

4. Orang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya (Puspitasari, 2006). Alasan orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan. Harapan orangtua


(8)

terhadap tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF, 2006). Seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dan rendahnya kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang tua lebih memilih anaknya untuk bekerja atau menikah sebelum mereka menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SMP atau SMA (Darmawan, 2010).

5. Media massa

Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern kian permisif terhadap seks (Puspitasari, 2006). Mu’tadin (2002) mengungkapkan ketertarikan terhadap seks mengakibatkan remaja mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hal tersebut. Sumber-sumber informasi tersebut pada umumnya berasal dari media massa dan internet.

Semakin majunya IPTEK membuat para remaja semakin mudah untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai seks dan apabila hal ini tidak didasari dengan perkembangan mental yang kuat maka dapat membuat para remaja terjerumus ke arah pergaulan yang salah dan sehingga terciptalah perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan agama yang berlaku (Syafrudin, 2009).


(9)

6. Faktor sosial dan budaya

Pernikahan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan (Puspitasari, 2006). Menurut hasil penelitian Choe dkk (2001) dalam Daraz (2014), pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita Indonesia terutama di kawasan pedesaan.

Faktor sosial penyebab terjadinya pernikahan dini juga berkaitan dengan pola relasi sosial antara remaja, yaitu hubungan yang “bebas” dimana remaja diberi ruang untuk mengekspresikan perasaan kasih sayang pada usia yang belum dewasa secara sosial psikologis dalam kaitannya dengan usia kawin yang “sehat”. Akibat dari pola relasi sosial demikian remaja banyak yang terjebak ke arah hubungan yang orientasinya pada kebutuhan biologis, yang ditampilkan dalam peran sosial dan pergaulan sehari-hari yang menurut pandangan orang tua dikategorikan sebagai pergaulan yang dikhawatirkan terjadinya penyimpangan sosial (Homzah & Sulaeman, 2007).


(10)

2.2.3 Dampak Pernikahan Dini

1. Buruknya status kesehatan pada wanita

Kesehatan adalah indikator penting dan dasar bagi produktivitas, meningkatkan kapasitas belajar di sekolah, dan kapabilitas untuk tumbuh secara intelektual, fisik dan emosional. Penelitian sudah menunjukkan bahwa pernikahan yang terjadi sebelum usia 18 tahun menimbulkan berbagai komplikasi selama kehamilan dan menyebabkan kematian pada ibu. Wanita berusia 10 - 14 tahun memiliki lebih banyak risiko daripada kelompok usia di atasnya (Whitehead, 2001 dalam Daraz, 2014).

Argumen yang sama juga dikemukakan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2015, pernikahan dini mengancam kehidupan dan kesehatan wanita dan hal tersebut membatasi prospek masa depan mereka. Wanita yang telah menikah muda dan kemudian hamil pada usia remaja meningkatkan risiko komplikasi selama kehamilan dan melahirkan. Komplikasi tersebut memicu penyebab terjadinya kematian remaja dewasa di negara berkembang.


(11)

2. Tindak Kekerasan

Menurut Ayres (2000) dalam Daraz (2014), pernikahan dini menyebabkan terjadinya kekerasan secara seksual atau fisik pada satu pihak (mayoritas kaum wanita) dengan cara diancam.

3. Ketidakstabilan Sosial

Proses pengambilan keputusan untuk menikah lebih sering didominasi oleh kaum lelaki daripada kaum wanita. Selain itu, pernikahan dini mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah bagi anak perempuan serta hilangnya perhatian dari keluarga dengan persentase 73% (wanita tidak memiliki pendidikan) dan 45% yang memiliki pendidikan dalam batas tertentu dan berdampak pada kehilangan harta milik, perceraian dan kehilangan pekerjaan (Naz, et al, 2012 dalam Daraz, 2014). Selain itu, Mathur, Greene dan Malhotra (2003) mengungkapkan bahwa pernikahan dini menimbulkan konsekuensi terhadap kehidupan, yaitu berkurangnya kesempatan, keahlian dan dukungan sosial.

4. Masalah Ekonomi

Menurut BKKBN (2004), pernikahan dini menimbulkan persoalan ekonomi. Pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang


(12)

memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.

5. Sengketa Keluarga

Beberapa dari anak laki-laki yang menikah dini kemudian keliru dalam bertindak, baik dalam aspek ekonomi dan pencapaian lainnya. Beberapa dari anak tersebut berisiko berperilaku kriminal dan menjadi pecandu narkoba (Bruce, 2000 dalam Daraz, 2014).

6. Masalah Kejiwaan

Anak perempuan yang menikah dini juga menghadapi banyak masalah fisik dan mental, termasuk kesulitan mereka dalam mengatur aktivitas rumah tangga, mendapat tekanan dari keluarga suami, frustrasi dan merasa dikucilkan (Bruce, 2000 dalam Daraz, 2014). Hurlock (1999) juga menyebutkan tentang stereotip mengenai ibu mertua yang menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur tangan dan menimbulkan masalah bagi keluarga pasangan.


(1)

perempuan yang lebih tinggi terkait erat dengan usia pernikahan remaja yang lebih lambat.

Tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah dapat menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini (Alfiyah, 2010). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nandang, dkk (2009) yang menunjukkan bahwa remaja muda yang berpendidikan rendah memiliki risiko (ods ratio) 4,259 kali untuk menikah dini daripada remaja muda yang berpendidikan tinggi. Remaja yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki risiko lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan dengan remaja yang memiliki latar pendidikan rendah. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan ataupun kematangan psikososialnya.

4. Orang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya (Puspitasari, 2006). Alasan orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan. Harapan orangtua


(2)

terhadap tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF, 2006). Seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dan rendahnya kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang tua lebih memilih anaknya untuk bekerja atau menikah sebelum mereka menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SMP atau SMA (Darmawan, 2010).

5. Media massa

Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern kian permisif terhadap seks (Puspitasari, 2006). Mu’tadin (2002) mengungkapkan ketertarikan terhadap seks mengakibatkan remaja mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hal tersebut. Sumber-sumber informasi tersebut pada umumnya berasal dari media massa dan internet.

Semakin majunya IPTEK membuat para remaja semakin mudah untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai seks dan apabila hal ini tidak didasari dengan perkembangan mental yang kuat maka dapat membuat para remaja terjerumus ke arah pergaulan yang salah dan sehingga terciptalah perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan agama yang berlaku (Syafrudin, 2009).


(3)

6. Faktor sosial dan budaya

Pernikahan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan (Puspitasari, 2006). Menurut hasil penelitian Choe dkk (2001) dalam Daraz (2014), pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita Indonesia terutama di kawasan pedesaan.

Faktor sosial penyebab terjadinya pernikahan dini juga berkaitan dengan pola relasi sosial antara remaja, yaitu hubungan yang “bebas” dimana remaja diberi ruang untuk mengekspresikan perasaan kasih sayang pada usia yang belum dewasa secara sosial psikologis dalam kaitannya dengan usia kawin yang “sehat”. Akibat dari pola relasi sosial demikian remaja banyak yang terjebak ke arah hubungan yang orientasinya pada kebutuhan biologis, yang ditampilkan dalam peran sosial dan pergaulan sehari-hari yang menurut pandangan orang tua dikategorikan sebagai pergaulan yang dikhawatirkan terjadinya penyimpangan sosial (Homzah & Sulaeman, 2007).


(4)

2.2.3 Dampak Pernikahan Dini

1. Buruknya status kesehatan pada wanita

Kesehatan adalah indikator penting dan dasar bagi produktivitas, meningkatkan kapasitas belajar di sekolah, dan kapabilitas untuk tumbuh secara intelektual, fisik dan emosional. Penelitian sudah menunjukkan bahwa pernikahan yang terjadi sebelum usia 18 tahun menimbulkan berbagai komplikasi selama kehamilan dan menyebabkan kematian pada ibu. Wanita berusia 10 - 14 tahun memiliki lebih banyak risiko daripada kelompok usia di atasnya (Whitehead, 2001 dalam Daraz, 2014).

Argumen yang sama juga dikemukakan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2015, pernikahan dini mengancam kehidupan dan kesehatan wanita dan hal tersebut membatasi prospek masa depan mereka. Wanita yang telah menikah muda dan kemudian hamil pada usia remaja meningkatkan risiko komplikasi selama kehamilan dan melahirkan. Komplikasi tersebut memicu penyebab terjadinya kematian remaja dewasa di negara berkembang.


(5)

2. Tindak Kekerasan

Menurut Ayres (2000) dalam Daraz (2014), pernikahan dini menyebabkan terjadinya kekerasan secara seksual atau fisik pada satu pihak (mayoritas kaum wanita) dengan cara diancam.

3. Ketidakstabilan Sosial

Proses pengambilan keputusan untuk menikah lebih sering didominasi oleh kaum lelaki daripada kaum wanita. Selain itu, pernikahan dini mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah bagi anak perempuan serta hilangnya perhatian dari keluarga dengan persentase 73% (wanita tidak memiliki pendidikan) dan 45% yang memiliki pendidikan dalam batas tertentu dan berdampak pada kehilangan harta milik, perceraian dan kehilangan pekerjaan (Naz, et al, 2012 dalam Daraz, 2014). Selain itu, Mathur, Greene dan Malhotra (2003) mengungkapkan bahwa pernikahan dini menimbulkan konsekuensi terhadap kehidupan, yaitu berkurangnya kesempatan, keahlian dan dukungan sosial.

4. Masalah Ekonomi

Menurut BKKBN (2004), pernikahan dini menimbulkan persoalan ekonomi. Pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang


(6)

memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.

5. Sengketa Keluarga

Beberapa dari anak laki-laki yang menikah dini kemudian keliru dalam bertindak, baik dalam aspek ekonomi dan pencapaian lainnya. Beberapa dari anak tersebut berisiko berperilaku kriminal dan menjadi pecandu narkoba (Bruce, 2000 dalam Daraz, 2014).

6. Masalah Kejiwaan

Anak perempuan yang menikah dini juga menghadapi banyak masalah fisik dan mental, termasuk kesulitan mereka dalam mengatur aktivitas rumah tangga, mendapat tekanan dari keluarga suami, frustrasi dan merasa dikucilkan (Bruce, 2000 dalam Daraz, 2014). Hurlock (1999) juga menyebutkan tentang stereotip mengenai ibu mertua yang menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur tangan dan menimbulkan masalah bagi keluarga pasangan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang T1 462012094 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang T1 462012094 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang T1 462012094 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Suami dalam Pemberian ASI Eksklusif di Dusun Plalar Desa Kopeng T1 462012069 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Suami dalam Pemberian ASI Eksklusif di Dusun Plalar Desa Kopeng T1 462012069 BAB II

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Suami dalam Pemberian ASI Eksklusif di Dusun Plalar Desa Kopeng T1 462012069 BAB IV

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Suami dalam Pemberian ASI Eksklusif di Dusun Plalar Desa Kopeng T1 462012069 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan Ibu Menyusui tentang ASI Eksklusif dengan Pemberian ASI Eksklusif di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng T1 462012087 BAB II

0 0 26