PENGARUH KEMAMPUAN AWAL SISWA, SIKAP BELAJAR SISWA DAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA MADRASAH TSANAWIYAH MEDAN.
TESIS
Oleh:
MUHAMMAD BADZLAN DARARI
0809715013
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada
Program Studi Pendidikan Matematika
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2013
(2)
PENGARUH KEMAMPUAN AWAL SISWA, SIKAP BELAJAR
SISWA DAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA
MADRASAH TSANAWIYAH MEDAN
TESIS
Oleh:
MUHAMMAD BADZLAN DARARI
0809715013
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada
Program Studi Pendidikan Matematika
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2013
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
i
Tujuan dari penelitian ini untuk menelaah: (1) Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki kemapuan awal matematika tinggi, sedang, dan rendah. (2) apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika dan siswa yang memiliki sikap negatif terhadap matematika. (3) Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional (4) Apakah terdapat interaksi antara kemampuan awal matematika siswa dengan model pembelajaran yang digunakan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. (5) Bagaimana ketuntasan belajar matematika siswa pada topik aritmetika sosial melalui pembelajaran berdasarkan masalah. (6) Bagaiana respon siswa terhadap pembelajaran berdasarkan masalah, dan (7) Bagaimana proses penyelesaian masalah siswa oleh siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah dan pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII Madrasah Tsanawiyah Kota Medan. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelas tiap sekolah, dimana penelitian dilakukan di 2 skolah. Instrumen yang digunakan terdiri dari: (1) tes kemampuan pemecahan masalah matematika (2) angket sikap (3) angket respon. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan persentase pencapaian skor siswa pada pembelajaran berdasarkan masalah dan konvensional. Analisis inferensial data dilakukan dengan Uji-t, Mann-Whitney, Kruskal-Wallis, dan Uji Friedman.
Hasil penelitian ini adalah (1) Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi, sedang, dan rendah (2) Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang memiliki sikap belajar postif dan negatif (3) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional (4) Tidak terdapat interaksi antara kemampuan awal matematika siswa dengan model pembelajaran yang digunakan siswa terhadap peningkatan kemapuan pemecahan masalah (5) Siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah memiliki presentase ketuntasan belajar yang tinggi (6) Siswa merespon positif pembelajaran berdasarkan masalah (7) Proses penyelesaian masalah oleh siswa yang menggunakan PBM lebih baik dan bervariasi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan: Model pembelajaran berdasarkan masalah pada pembelajaran matematika dapat digunakan untuk meningkatkan kecakapan matematika siswa.
(8)
ii ABSTRACT
MUHAMMAD BADZLAN DARARI. Effect of Mathematical Prerequisite Ability, Attitude in Learning Mathematics, and Problem Based Learning on Mathematical Problem Solving Ability of Islamic Juniour High School Student in Medan. Thesis in Programs Postgraduate Mathematics Education State University of Medan
The goal of the research were to determine: (1) Differences of student’s mathematical problem solving ability based on student’s mathematical prerequisite ability. (2) Differences of student’s mathematical problem solving ability based on student’s attitude in learning mathematics. (3) If student’s mathematical problem solving ability that taught by problem based learning is better than student’s mathematical problem solving ability that taught by conventional learning. (4) Interaction between mathematical prerequisite ability and model of learning on mathematical problem solving ability. (5) How student’s mastery learning that used problem based learning. (6) Student’s respon on problem based learning. (7) How student’s answering procces in solved the problem.
The research is a quasi experiment research. Population on the research are entire student grade VII Islamic Juniour High School in Medan. Sample in the research are 2 classes in each schools, research held in 2 Islamic Juniour High Schools. Instrument research that used were: (1) test of mathematical problem solving (2) questionnaire of student’s attitude in learning mathematics, and (3) questionnaire of student’s respon. Data in the research analyzed by descriptive and inferential method. Descriptive analysis used to know persentage student’s achievement score in problem based learning classes model classes and conventional model classes. Inferential analysis that used in the research are student’s test, Mann-Whitney, Kruskal Wallis, and Friedman
Result of the research are: (1) there is no differences student’s mathematical problem solving ability between student at high, medium, and low mathematical prerequisite ability, (2) there is no differences student’s mathematical problem solving ability between student with positif and negatif attitude in learning mathematics, (3) student’s mathematical problem solving ability that taught by problem based learning is better than student’s mathematical problem solving ability that taught by conventional learning, (4) There is no interaction between mathematical prerequisite ability and model of learning on mathematical problem solving ability, (5) Persentage of mastery learning student that taught by problem based learning is higher than student that taught by conventional learning, (6) student gave good and positive respon to problem based learning (7) Student’s answering procces that taught by problem based learning are better and more variation then studen’t answering procces that taught by conventional learning.
Based on results of this research suggested that problem based learning in mathematical learning could increas student’s mathematical problem solving ability.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Pengaruh
Kemampuan Awal Siswa, Sikap Belajar Siswa dan Pembelajaran Berdasarkan
Masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Madrasah Tsanawiyah
Kota Medan
”.Tesis ini ditulis sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister
Pendidikan (M.Pd.) Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana
UNIMED
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang terlibat membantu
penyelesaian tesis ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Sahat Saragih sebagai Pembimbing I dan Bapak Prof. Dian
Armanto, M.Pd., MA., M.Sc., Ph.D sebagai Pembimbing II yang ditengah-tengah
kesibukannya dengan sabar telah memberi bimbingan dan arahan yang mendalam
terhadap setiap permasalahan yang penulis temukan sepanjang penyelesaian tesis
ini.
2. Bapak Dr. Hasratuddin Siregar, M.Pd., Bapak Dr. KMS M Amin Fauzi, M.Pd.,
dan Ibu Dr. Izwita Dewi, M.Pd. sebagai narasumber yang telah menambah
wawasan membuka cakrawala berpikir penulis dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ibnu Hajar Damanik, M.Si, selaku Rektor Universitas Negeri
Medan, dan Bapak Prof. Dr. H. Abdul Muin Sibuea, M.Pd., Bapak Syarifuddin,
M.Sc.,Ph.D, dan Bapak Prof. Dr. Abdul Hasan Saragih, M.Pd, berturut-turut
selaku Direktur, Asisten Direktur I, dan II Program Pascasarjana Unimed, Bapak
Dr. Edi Syahputra, M.Pd dan Bapak Dr. Hasratuddin, M.Pd berturut-turut selaku
Ketua dan Sekeretaris Program Studi Pendidikan Matematika Program
Pascasarjana Unimed, yang telah memberikan kesempatan serta bantuan
administrasi selama pendidikan di Universitas Negeri Medan.
(10)
iv
4. Bapak Dapot Tua Manullang, SE., M.Si sebagai staf Prodi Pendidikan
Matematika yang telah banyak membantu penulis khususnya dalam urusan
administrasi baik selama proses perkuliahan maupun proses penyelesaian tesis ini.
5. Ibu Khairina, SH., S.Pd. dan Ibu Mira Asri, S.Pd. selaku Kepala Madrasah dan
Guru Matematika Madrasah Tsanawiyah Al Azhar Medan juga kepada Ibu
Ruhama, S.Pd.I., dan Ibu Endang Sapriyani, S.Pd. selaku Kepala Madrasah dan
Guru Matematika Madrasah Tsanawiyah Miftahussalam Medan yang telah
memberi izin dan kesempatan untuk melakukan penelitian di madrasah yang
beliau pimpin dan di kelas yang menjadi tanggung jawab mereka.
6. Rekan-rekan mahasiswa, yaitu Pak Yusri, Pak Bahrul, Bu Yusfiatini, Bu Nuraini,
Bu Lisa, Pak Irwan Efendi, Pak Joni Rustam, Irawati Sitio, Marzuki, Iqbal, Dede
Suhery dan teman-teman lainnya yang telah memberi semangat dan dorongan
kepada penulis baik selama perkuliahan maupun selama penulisan tesis ini.
7. Paling istimewa kepada Ayahanda Drs. Basyaruddin, M.Pd. dan Ibunda Dra.
Zainabun yang telah segenap hati dan keringat tidak henti-hentinya memberi
motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian teisis ini. Saudara/i tercinta
Kurniawan Novian Putra dan Kurnia Novianty Putri yang telah memberikan
bantuan tenaga selama proses penyelesaian tesis ini.
8. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, dengan harapan semua amal
baiknya mendapat imbalan rahmat dari Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa hasil karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, sebab itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan
penulisan-selanjutnya, namun demikian penulis tetap berharap bahwa karya tulis ini dapat
bermanfaat dalam upaya meningkatkan prestasi belajar.
Medan, Januari 2013
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1.
Tahapan dalam Pembelajaran Berdasarkan Masalah ...
38
Tabel 2.2.
Perbedaan Paedagogik Antara Pembelajaran Berdasarkan
Masalah dengan Pembelajaran Konvensional ...
47
Tabel 3.1.
Ukuran Sampel Penelitian ...
71
Tabel 3.2.
Deskripsi Hasil Tes Kemampuan Awal Matematika
Tiap Kelas Sampel Penelitian...
72
Tabel 3.3.
Uji Homogenitas Varians Kemampuan Awal Matematika
Siswa MTs Al Azhar dan MTs Miftahussalam...
72
Tabel 3.4.
Uji Normalitas Kemampuan Awal Matematika Siswa ...
73
Tabel 3.5.
Tabel
Weiner
tentang Kaitan Antara Variabel Terikat,
dan Variabel Bebas ...
74
Tabel 3.6.
Waktu Pelaksanaan Penelitian ...
76
Tabel 3.7.
Tabel Hasil Tes Validitas Instrumen Pretes dan Postes ...
79
Tabel 3.8.
Tabel Hasil Tes Realiabilitas Instrumen Pretes dan Postes ...
80
Tabel 3.9.
Tabel Hasil Daya Pembeda Instrumen Pretes dan Postes ...
81
Tabel 3.10.
Tabel Hasil Tingkat Kesukaran Instrumen Pretes dan Postes ...
82
Tabel 3.11.
Koefisien Reliabilitas Angket Sikap Belajar Siswa ...
84
Tabel 3.12.
Teknik Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ...
85
Tabel 3.13.
Teknik Penilaian Proses Penyelesaian Masalah ...
86
Tabel 3.14.
Keterkaitan Permasalahan , Hipotesis, dan Jenis Uji Statistik
yang digunakan ...
87
Tabel 4.1.
Sebaran Sampel Penelitian ...
89
Tabel 4.2.
Deskripsi Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Kedua Kelompok Pembelajaran ...
90
Tabel 4.3.
Deskripsi N-Gain Peningkatan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa Berdasarkan Kategori
Kemampuan Awal Matematika Siswa ...
93
(12)
x
Tabel 4.4.
Hasil Statistik Uji Normalitas N-Gain peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika berdasarkan kategori
kemampuan awal matematika siswa ...
94
Tabel 4.5.
Hasil Statistik Uji Homogenitas N-Gain peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika berdasarkan kategori
kemampuan awal matematika siswa ...
94
Tabel 4.6.
Hasil Statistik Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Berdasarkan Kelompok KAM Menggunakan
Anava 1 jalur ...
95
Tabel 4.7.
Deskripsi N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Berdasarkan Kategori Sikap Belajar
Matematika Siswa ...
96
Tabel 4.8.
Hasil Statistik Uji Normalitas N-Gain Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Kategori
Sikap Belajar Matematika Siswa ...
98
Tabel 4.9.
Hasil Statistik Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Kategori
Sikap Belajar Matematika Siswa ...
98
Tabel 4.10.
Hasil Statistik Peningkatan kemampuan Pemecahan Masalah
Antara Siswa yang Memiliki Sikap Belajar Positif dan
Negatif Menggunakan Uji-t ...
99
Tabel 4.11.
Hasil Statistik Uji Normalitas N-Gain Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Berdasarkan Model Pembelajaran
Yang Digunakan ...
100
Tabel 4.12.
Hasil Statistik Uji Homogenitas N-Gain Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Berdasarkan Model Pembelajaran
Yang Digunakan ...
100
Tabel 4.13.
Hasil Statistik Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
Antara Siswa yang Menggunakan PBM dan Konvensional
(13)
Tabel 4.14.
Deskripsi N-Gain Kelompok Data Berdasarkan Kategori
Kemampuan Awal Matematika dan Model
Pembelajaran yang Digunakan ...
103
Tabel 4.15.
Hasil Statistik Uji Normalitas N-Gain Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan
KAM dan Model Pembelajaran ...
104
Tabel 4.16.
Hasil Statistik Uji Homogenitas N-Gain Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan
KAM dan Model Pembelajaran ...
104
Tabel 4.17.
Hasil Statistik Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
Siswa Berdasarkan kategori Kemampuan Awal dan Model
Pembelajaran Menggunakan Uji-Friedman 2 arah...
105
Tabel 4. 18.
Penilaian Ketuntasan Belajar Siswa ...
107
Tabel 4. 19.
Skor Angket Respon Siswa Terhadap Pembelajaran
Berdasarkan Masalah ...
108
Tabel 4. 20. Penskoran Proses Jawaban Siswa Nomor 1 ...
112
Tabel 4. 21.
Penskoran Proses Jawaban Siswa Nomor 2 ...
119
Tabel 4. 22. Penskoran Proses Jawaban Siswa Nomor 3 ...
125
Tabel 4. 23. Penskoran Proses Jawaban Siswa Nomor 4 ...
131
(14)
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1.
Rencana Tahapan Penelitian ...
76
Gambar 4.1.
Diagram Rata-rata Nilai Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika dan Gain untuk Kedua Kelompok ...
91
Gambar 4.2.
Diagram Rata-rata dan Simpangan Baku terhadap N-Gain
Kemampan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan
Kelompok Kemampuan Awal Matematika ...
93
Gambar 4.3.
Diagram Rata-rata dan Simpangan Baku terhadap Gain
Kemampan Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan
Kelompok Sikap Belajar Matematika Siswa ...
97
Gambar 4.4. Interaksi Antara Kemampuan Awal Matematika Siswa dengan
Model Pembelajaran ... 106
Gambar 4.5.
Contoh Pertama Ragam Jawaban Siswa Nomor 1 ... 110
Gambar 4.6.
Contoh Kedua Ragam Jawaban Siswa Nomor 1 ... 110
Gambar 4.7. Contoh Ketiga Ragam Jawaban Siswa Nomor 1 ... 111
Gambar 4.8. Contoh Keempat Ragam Jawaban Siswa Nomor 1 ... 111
Gambar 4.9.
Contoh Kelima Ragam Jawaban Siswa Nomor 1 ... 112
Gambar 4.10. Contoh Pertama Ragam Jawaban Siswa Nomor 2 ... 115
Gambar 4.11. Contoh Kedua Ragam Jawaban Siswa Nomor 2 ... 116
Gambar 4.12. Contoh Ketiga Ragam Jawaban Siswa Nomor 2 ... 117
(15)
Gambar 4.14. Contoh Kelima Ragam Jawaban Siswa Nomor 2 ... 119
Gambar 4.15. Contoh Pertama Ragam Jawaban Siswa Nomor 3 ... 121
Gambar 4.16. Contoh Kedua Ragam Jawaban Siswa Nomor 3 ... 122
Gambar 4.17. Contoh Ketiga Ragam Jawaban Siswa Nomor 3 ... 123
Gambar 4.18. Contoh Keempat Ragam Jawaban Siswa Nomor 3 ... 124
Gambar 4.19. Contoh Kelima Ragam Jawaban Siswa Nomor 3... 125
Gambar 4.20. Contoh Pertama Ragam Jawaban Siswa Nomor 4 ... 127
Gambar 4.21. Contoh Kedua Ragam Jawaban Siswa Nomor 4 ... 128
Gambar 4.22. Contoh Ketiga Ragam Jawaban Siswa Nomor 4... 128
Gambar 4.23. Contoh Keempat Ragam Jawaban Siswa Nomor 4 ... 129
Gambar 4.24. Contoh Kelima Ragam Jawaban Siswa Nomor 4... 130
Gambar 4.25. Contoh Pertama Ragam Jawaban Siswa Nomor 5 ... 133
Gambar 4.26. Contoh Kedua Ragam Jawaban Siswa Nomor 5... 134
Gambar 4.27. Contoh Ketiga Ragam Jawaban Siswa Nomor 5 ... 135
Gambar 4.28. Contoh Keempat Ragam Jawaban Siswa Nomor 5... 135
Gambar 4.29. Contoh Kelima Ragam Jawaban Siswa Nomor 5 ... 136
Gambar 4.30. Jawaban Siswa pada LAS Soal 1.3... 141
Gabmar 4.31. Jawaban Siswa pada Masalah 1 (LAS Soal 1.9) ... 142
Gambar 4.32. Jawaban Siswa pada LAS Soal 1.10 ... 143
Gambar 4.33. Jawaban Siswa pada Masalah 2 (LAS Soal 2.7) ... 144
Gambar 4.34. Jawaban Siswa pada LAS Soal 2.8 ... 145
Gambar 4.35. Jawaban Siswa pada Masalah 3 (LAS Soal 3.7) ... 146
(16)
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Berdasarkan Masalah ...
162
Lembar Aktivitas Siswa ...
191
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Konvensional ...
225
Lembar Kerja Siswa ...
248
Buku Siswa
...
261
Lampiran B
Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ...
277
Angket Sikap Belajar Siswa dan Angket Respon Siswa ...
321
Lembar Observasi
...
331
Lampiran C
Laporan Validasi Instrumen ...
334
Lampiran D
Data Hasil Penelitian ...
390
(17)
1 1.1. Latar Belakang Masalah
Matematika pada awalnya adalah ilmu tentang pola dan urutan yang logis. Pada sejarah awal manusia, matematika digunakan untuk mengungkapkan pola tersembunyi di alam yang dapat membantu manusia memahami alam sekitar. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, maka ilmu matematika juga berkembang. Berbagai disiplin ilmu lahir dari matematika, baik dari yang bersifat teori di alam pikiran hingga ilmu terapan praktis. Hal tersebut terjadi karena perpaduan dua sifat matematika tersebut dapat menjawab permasalahan manusia yang semakin kompleks sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan inilah yang mendorong tiap negara termasuk Indonesia menjadikan matematika sebagai salah satu ilmu yang wajib dipelajari oleh semua siswa sebagai generasi yang akan memimpin suatu bangsa. Hal tersebut juga disebabkan karena matematika adalah ilmu mendasar yang dapat menumbuhkan kemampuan penalaran siswa dan sangat diperlukan dalam perkembangan teknologi saat ini.
Peran ilmu matematika sangat besar dalam kehidupan manusia. Besarnya peran ilmu matematika tersebut menuntut siswa harus mampu menguasai konsep matematika dan mengaplikasikannya dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
(18)
2
Walle (2007: 13) mengatakan bahwa:
Pola dalam matematika tidak hanya terdapat pada bilangan dan persamaan, tetapi juga berada dalam setiap sesuatu di sekeliling kita. Dunia penuh dengan pola dan urutan. Pola dan urutan ditemukan dalam perdagangan, sains, obat-obatan dan sosiologi. Matematika menyelediki pola ini, memberi arti, dan menggunakannya dalam berbagai cara yang menarik, untuk memperbaiki dan memperluas kehidupan kita. Sekolah harus mulai membantu anak-anak dalam proses penyeledikan pola dan aturan.
Cockroft dalam Abdurrahman (2003: 253) juga mengemukakan bahwa:
Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena: (1) Selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) Semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) Merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) Dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) Meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) Memberikan kemampuan terhadap usaha memecahkan masalah yang matang.
Dari pendapat di atas, jelaslah pemahaman matematis dibutuhkan oleh setiap orang dalam setiap kegiatan, karena matematika bukan hanya ilmu yang berkaitan dengan angka semata, melainkan ilmu yang membentuk pola pikir logis dalam setiap tindakan. Kebutuhan untuk memahami matematika menjadi hal yang mendesak bagi sebagian masyarakat Indonesia. Menurut Turmudi (2008) terdapat beberapa harapan dari pembelajaran matematika meliputi; (1) menguasai matematika untuk kehidupan sehari-hari; (2) menguasai matematika yang merupakan warisan budaya; (3) memiliki kecerdasan matematis yang dapat diterapkan pada dunia kerja yang kompleks; (4) menguasai matematika untuk kepentingan masyarakat ilmiah dan masyarakat teknologi. Menurut Soedjadi dalam Saragih (2007) pembelajaran matematika memiliki dua tujuan utama yaitu (1) tujuan formal, yaitu tujuan yang berkaitan dengan penyusunan nalar
(19)
dan pembentukan karakter seseorang yang belajar matematika sesuai dengan asas-asas dan aturan-aturan yang berlaku dalam matematika dan (2) tujuan material, yaitu tujuan yang berkaitan dengan penggunaan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika dalam dunia nyata dari seseorang yang telah menguasai ide-ide dan gagasan dalam ilmu matematika. Sedangkan tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP oleh Depdiknas (2006: 417) adalah sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
Dari berbagai keterangan di atas, dapat dilihat bahwa kemampuan pemecahan masalah menjadi salah satu tujuan utama dalam pendidikan matematika. Turmudi (2008: 29) mengatakan bahwa “Pemecahan masalah merupakan bagian tak terpisahkan dalam semua bagian pelajaran matematika, dan juga tidak harus diajarkan secara terisolasi dari pembelajaran matematika”. Sejalan dengan hal tersebut, Sugamin (2009) mengatakan bahwa pada Kurikulum 2006 kemampuan pemecahan masalah terdapat hampir di tiap Standar Kompetensi mata pelajaran matematika di semua tingkat pendidikan.
(20)
4
Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang dalam proses penyelesaiannya tidak menggunakan prosedur rutin, tidak cukup dengan menggunakan rumus atau aturan yang telah tersedia, tetapi juga harus kritis, kreatif, dan logis dalam berpikir. Soal-soal yang memiliki karakterisitik tersebut disebut soal non-rutin. Menurut Abdurrahman (2003) pemecahan masalah dalam matematika adalah aplikasi dari berbagai konsep dan kompetensi matematika yang dihubungkan dengan pengetahuan lain. Seseorang dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari jika ia memiliki keterampilan serta kemampuan berpikir mengenai permasalahan tersebut yang didapat dari pengalaman sendiri. Dalam belajar matematika pada dasarnya seorang siswa tidak terlepas dari masalah. Shadiq (2004: 16) mengatakan bahwa, “Keterampilan serta kemampuan berpikir yang di dapat ketika seseorang memecahkan masalah diyakini dapat ditransfer atau digunakan orang tersebut ketika menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari”. Seperti yang dikemukakan Lubis (2006: 206) bahwasanya, “Kemampuan siswa memecahkan masalah menjadi salah satu tujuan dari pembelajaran matematika sebagaimana tercantum dalam Kurikulum Matematika Sekolah”. Terkait dengan proses pembelajarannya, Sawyer dalam Shadiq (2004: 16) menyatakan bahwa:
Pengetahuan yang diberikan atau ditransformasikan langsung kepada para siswa akan kurang meningkatkan kemampuan bernalar mereka. Sehingga, pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving)-lah yang menjadi keharusan selama pembelajaran matematika berlangsung.
Pentingnya kemampuan pemecahan masalah sebagai hasil dari pembelajaran matematika telah menggeser pandangan terhadap pendidikan matematika. Semula matematika diajarkan dengan penyampaian rumus-rumus,
(21)
definisi, konsep, dan prosedur. Akan tetapi penyampaian matematika menjadi penyampaian konsep-konsep matematika melalui konteks yang bermakna dan berguna bagi siswa. Agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah, maka siswa harus dibiasakan memecahkan masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Shaddiq (2004: 17) juga mengatakan bahwa “Inti dari belajar memecahkan masalah adalah para siswa terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya memerlukan ingatan saja, melainkan juga berpikir kritis, kreatif logis dan rasional”. Hal tersebutlah yang menjadi dasar pemikiran bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari siswa melalui matematika harusnya dimiliki oleh siswa yang telah melewati proses pembelajaran matematika.
Pada kenyataannya hasil pembelajaran matematika di negeri ini masih memprihatinkan. Hal ini terlihat dari rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa tingkat menengah Indonesia di tingkat internasional. Laporan TIMMS tahun 2007 dalam Mullis (2009: 35) memperlihatkan bahwa kemampuan matematika siswa kelas VIII Indonesia berada di urutan 36 dari 48 negara. Indonesia masih berada di bawah Thailand, Bosnia, Tunisia, dan Bahrain. Sekalipun hasil ini tidak menunjukkan prestasi siswa Indonesia secara umum dalam matematika, namun dengan mempertimbangkan prestasi siswa Indonesia berdasarkan hasil TIMSS, sudah menunjukkan rendahnya kualitas pengetahuan matematika Indonesia pada level internasional.
Menurut Sugamin (2009), salah satu ukuran dalam melihat kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia adalah hasil tes PISA
(22)
6
(Programme for International Student Assessment). Indonesia adalah salah satu negara peserta PISA. Distribusi kemampuan matematika siswa dalam PISA 2003 adalah level 1 (sebanyak 49,7% siswa), level 2 (25,9%), level 3 (15,5%), level 4 (6,6%), dan level 5 – 6 (2,3%). Pada level 1 ini siswa hanya mampu menyelesaikan persoalan matematika yang memerlukan satu langkah. Secara proporsional, dari setiap 100 siswa SMP di Indonesia hanya sekitar 3 siswa yang mencapai level 5 – 6. Pada level 5 siswa dapat mengembangkan model matematika untuk situasi yang kompleks serta dapat memformulasidan mengomunikasikan interpretasi secara logis. Sedangkan pada level 6 siswa dapat mengkonseptualisasi, menyimpulkan dan menggunakan informasi dari situasi masalah yang kompleks serta dapat memformulasi dan mengkomunikasikannya secara efektif berdasarkan penemuan interpretatif dan argumentatif.
Penulis juga melakukan tes kepada siswa kelas VII semester 2 di sebuah MTs Swasta di Medan. Tes yang penulis berikan terdiri dari 4 soal untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dalam pokok bahasan pecahan. Adapun soal yang diujikan berupa:
1. Ridwan memiliki sejumlah kelereng. Dia membawa 4 3
bagian dari kelereng yang dimilikinya untuk bermain dengan temannya. Karena kalah, sebanyak
3 2
dari kelereng yang dibawanya habis, tinggal 6 biji lagi. Tentukan kira-kira berapa banyak kelereng yang dimiliki Ridwan sekarang.
(23)
2. Pak Yusri memiliki sebidang tanah, 4 1
bagian dari luas tanahnya dibuat
garasi mobil, 3 1
bagian akan dibuat rumah sederhana dan sisanya akan dibuat taman. Jika luas taman adalah 150 m2, coba tentukan luas garasi Pak Yusri. 3. Sebuah drum berisi air akan dikosongkan menggunakan pompa penyedot.
Pompa A dapat mengosongkan drum selama 12 menit dan pompa B dapat mengosongkan druma selama 15 menit. Berapa waktu yang diperlukan jika kedua pompa digunakan?
4. Budi menabung 20% lebih banyak dari pada Candra. Jika Budi mentransfer Rp 480.000 ke tabungan Candra, maka tabungan Candra akan 20% lebih banyak daripada tabungan Budi. Tentukan jumlah tabungan mereka.
Dari lembar kerja siswa, terlihat bahwa kemampuan pemecahan masalah masih rendah. Salah satu contoh ketika siswa mengerjakan soal nomor 1. Untuk menentukan banyak kelereng yang dibawa Ridwan bermain sebagian
besar siswa mencari dengan cara 3 2
x 12, sehingga kelereng yang dibawa
Ridwan bermain sebanyak 8 biji. Kemudian dalam memecahkan masalah nomor
2, siswa langsung mengalikan 4 1
dengan 150, sehingga siswa menjawab luas
garasi Pak Yusri adalah 37,5 m2. Proses siswa dalam menyelesaikan masalah seperti di atas hanyalah contoh kecil dari rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa tingkat SMP maupun Madrasah Tsanawiyah.
Hingga saat ini pemecahan masalah dalam matematika belum menjadi sebuah budaya belajar. Trianto (2009, 5) menyimpulkan “… bahwa proses
(24)
8
pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses berpikirnya”. Pembelajaran matematika selama ini kurang memberikan motivasi kepada siswa untuk terlibat langsung dalam pembentukan pengetahuan. Mereka lebih banyak bergantung pada guru dalam memecahkan soal. Siswa tidak pernah diberikan kesempatan untuk menganalisis sendiri setiap soal yang diberikan. Pembelajaran tersebut lebih menekankan pada hasil dimana siswa tinggal menggunakan rumus dan algoritma pengerjaan ketimbang menekankan pada proses pengerjaannya. Ernest dalam Turmudi (2008) mengkritik keras kelas tradisional seperti ini. Menurutnya, jika siswa masih diberi tugas-tugas yang pengerjaannya melalui prosedur simbolik tertentu, maka siswa akan terbiasa bekerja bukan berpikir. Hal tersebut menyebabkan siswa bukan menjadi pribadi yang kritis dan mandiri. Senada dengan hal tersebut, Turmudi (2008: 11) menjelaskan:
…bahwa selama ini matematika disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat kemelakatannya juga dapat dikatakan rendah. Akibatnya, cepat lupa dan akibat lanjutan adalah bahwa siswa tidak dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun UAN atau UN, ataupun tes yang diselenggarakan oleh TIMSS.
Sugiman (2009) dalam penelititannya memaparkan bahwa beberapa faktor rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa karena masih banyaknya pembelajaran tradisional yang diterapkan oleh guru di Indonesia dan pembelajaran yang diawali dengan pemberian defenisi atau teorema lalu soal latihan. Lie (2008: 3) mengatakan bahwa:
(25)
Paradigma yang lama adalah guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif. Hal ini juga berarti jika seseorang mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang, dia pasti akan dapat mengajar. Dia tidak perlu tahu mengenai proses belajar mengajar yang tepat. Dia hanya perlu menuangkan apa yang diketehauinya ke dalam botol kosong yang siap menerimanya.
Masih banyak guru yang menerapkan pembelajaran konvensional. Pembelajaran seperti itu (teacher centered) sudah dianggap tradisional dan tidak cocok lagi digunakan. Hal tersebut dikarenakan siswa tidak dapat berkreasi dan mengekspresikan ide mereka, siswa hanya diberi beragam informasi dan latihan berkenaan dengan materi. Siswa hendaknya membangun sendiri pola pemikirannya yang berkaitan dengan ide-ide dan konsep matematika, dengan demikian jika ada suatu masalah atau kondisi dalam berbagai bentuk, siswa dapat memecahkan permasalahan tersebut.
Sinaga (2007) mengatakan bahwa salah satu model pembelajaran kontruktivis yang mengaktifkan siswa dalam berkolaborasi dalam memecahkan masalah adalah Problem Based Instruction (PBI). PBI yang diartikan sebagai Pembelajaran Berdasarkan Masalah ini menurut Arends (2008) memiliki esensi yaitu menyajikan berbagai kondisi bermasalah yang real, yang nantinya akan dipecahkan oleh siswa melalui berbagai penyelidikan dan investigasi. Sehingga peran para guru adalah untuk menyajikan berbagai masalah autentik dan memfasilitasi siswa dalam melakukan penyeledikan serta mendukung pembelajaran yang dilakukan siswa secara mandiri baik dalam bentuk pertanyaan maupun scaffolding.
Pembelajaran berdasarkan masalah juga memiliki sejumlah karakteristik. Arend (2009) menyebutkan beberapa karakterisitik dari PBM.
(26)
10
Pertama, PBM mengorganisasikan pengajaran di seputar masalah kontekstual. Kedua, Masalah dapat dibuat interdisipliner, tidak hanya satu materi, bahkan dapat dibuat masalah yang fokusnya antar pelajaran. Ketiga, PBM mengharuskan siswa melakukan investigasi yang autentik dan juga penyeledikan untuk memperoleh data yang sebenar-benarnya. Keempat, PBM menuntut siswa membuat solusi dalam bentuk artefak atau exhibit yang menjelaskan dan mempresentasekan solusi mereka. Produk itu bisa berupa debat bohong-bohongan, laporan, video dan bentuk lain. Terakhir kelima, PBM ditandai dengan siswa yang bekerja sama dengan siswa-siswa lain. Sebagai sebuah model pembelajaran, pembelajaran memiliki sintaks atau tahapan pembelajaran.
PBM tidak dirancang untuk guru menyampaikan informasi dengan sejumlah besar kepada siswa. Siswa membangun konsep-konsep ataupun ilmu baru ketika mereka menyelidiki dan mencoba untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Pendapat Trianto (2009) yang sejalan dengan pendapat Arends (2009) bahwa tujuan PBM adalah (1) membantu siswa meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif serta meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, (2) Membantu siswa siswa belajar peran orang dewasa, sehingga membantu perkembangan siswa, dan (3) menjadikan siswa orang yang kritis dan mandiri. Dengan demikian siswa lebih memahami konsep dan gagasan matematika sebagai bagian dari keterampilan berpikir sehari-hari.
Setiap siswa dalam heterogenitas latar belakang memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami konsep dan gagasan matematika. Ruseffendi dalam Saragih (2007: 19) mengatakan “Dari sekelompok siswa yang dipilih
(27)
secara acak akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, hal ini disebabkan kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal”. Lebih lanjut Saragih (2007) mengatakan bahwa pemilihan strategi pembelajaran harus dapat menampung kemampuan awal matematika siswa yang heterogen. Berkaitan dengan kemampuan awal siswa, siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi umumnya telah terbiasa dengan soal-soal yang rumit dan memiliki kecakapan melakukan operasi-operasi dasar matematika dengan cepat. Berbeda dengan siswa yang memiliki kemampuan awal sedang ataupun rendah. Mereka cenderung malas jika berhadapan dengan operasi dasar yang rumit apalagi menghadapi angka dengan digit yang banyak.
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam perjalanan siswa memahami konsep-konsep matematika adalah sikap siswa terhadap matematika. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk merespon secara positif atau negatif sebuah objek, situasi, maupun konsep lain di luar dirinya. Menurut Panjaitan (2009) sikap seorang siswa terhadap matematika adalah kecenderungan positif atau negatif seorang siswa terhadap prosedur, konsep, maupun proses penyampaian ilmu matematika. Turmudi (2008) mengatakan bahwa sikap siswa terhadap ilmu dan pembelajaran matematika memiliki kaitan yang erat dengan prestasi yang akan diperoleh siswa. Menurut Saragih (2007) terdapat hubungan sebab akibat antara minat siswa dengan sikap siswa terhadap matematika. Siswa yang menaruh minat yang tinggi kepada matematika akan menyikapi segala yang berkenaan dengan ilmu matematika dengan positif. Saragih (2007: 6) menyimpulkan
(28)
12
Tanpa adanya minat sulit untuk menumbuhkan keinginan dan kesenangan dalam belajar matematika, apalagi matematika tidak mudah untuk dipelajari, sehingga hampir seluruh siswa dari setiap jenjang pendidikan kurang berminat dalam matematika.
Tidak ada alat ukur langsung untuk mengukur sikap terhadap matematika, namun dapat diturunkan. Leader dalam Turmudi (2008) mengemukakan bahwa sikap terhadap terhadap matematika bisa sangat beragam, tergantung masing-masing jenis matematikanya. Siswa yang menaruh sikap positif terhadap aljabar, belum tentuk akan bersikap sama terhadap geometri dan cabang lain dari matematika. Sikap belajar matematika berpengaruh kepada hasil belajar matematika, tentunya akan berpengaruh juga terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, selain penerapan model pembelajaran, tingkat kemampuan awal matematika siswa dan sikap belajar matematika siswa juga memiliki kontribusi terhadap meningkatnya kemampuan pemecahan masalah matematika yang merupakan bagian dari hasil belajar siswa. Keberagaman kemampuan awal matematika siswa akan berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa, dan juga keberagaman sikap belajar siswa akan berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa. Kemampuan awal matematika adalah tingkat penguasaan siswa terhadap ide gagasan sebuah pokok bahasan dalam pelajaran matematika dan prosedur yang terkandung dalam pokok bahasan tersebut. Keberagaman tingkat penguasaan siswa terhadap ide gagasan matematika menghasilkan keberagaman minat siswa dalam mempelajari pokok bahasan berikutnya. Hal tersebut dikarenakan sifat ilmu matematika yang hirarkis. Minat siswa tersebut akan terlihat dari sikap
(29)
siswa dalam mempelajari pokok bahasan berikutnya terhadap unsur pembelajaran termasuk model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dengan kata lain, penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa juga dipengaruhi oleh kemampuan awal matematika siswa dan sikap belajar siswa. Pada penelitian ini akan dilihat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika berdasarkan tingkat kemampuan awal matematika siswa, perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah berdasarkan sikap belajar matematika siswa, apakah pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, juga melihat apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa lebih dipengaruhi oleh pembelajaran berdasarkan masalah atau oleh perbedaan kemampuan awal matematika siswa.
Dari uraian tersebut, peneliti akan melakukan penelitian untuk melihat kontribusi penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dengan tingkatan kemampuan awal dan sikap belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa. Untuk maksud tersebut peneliti mengambil judul “Pengaruh Kemampuan Awal, Sikap Belajar Siswa dan Pembelajaran Berdasarkan Masalah terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Madrasah Tsanawiyah Kota Medan”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
(30)
14
2. Hasil belajar matematika siswa rendah
3. Kemampuan pemecahan masalah siswa setingkat SMP masih rendah
4. Hingga saat ini pemecahan masalah dalam matematika belum menjadi sebuah budaya belajar
5. Proses pembelajaran selama ini masih menggunakan model konvensional.
6. Pembelajaran Berdasarkan masalah adalah pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa
7. Kemampuan awal siswa yang beragam berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
8. Sikap belajar siswa yang beragam berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka peneliti membatasi masalah pada pengaruh kemampuan awal siswa dan sikap belajar matematika serta penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa Madrasah Tsanawiyah Medan.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah dan batasan masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi, sedang dan rendah?
(31)
2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika dan siswa yang memiliki sikap negatif terhadap matematika?
3. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional?
4. Apakah terdapat interaksi antara kemampuan awal siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dengan model pembelajaran yang digunakan (PBM dan konvensional) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa?
5. Bagaimana ketuntasan belajar matematika siswa pada topik Aritmetika Sosial melalui pembelajaran berdasarkan masalah?
6. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran berdasarkan masalah?
7. Bagaimana proses penyelesaian masalah oleh siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah dan menggunakan pembelajaran konvensional?
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi, sedang, dan rendah.
(32)
16
2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki sikap belajar positif dan sikap belajar negatif.
3. Untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
4. Untuk mengetahui apakah ada interaksi antara kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dengan model pembelajaran yang digunakan (PBM dan Konvensional) terhadap peningkatan kemampuan masalah siswa. 5. Untuk mengetahui bagaimana ketuntasan belajar matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran berdasarkan masalah pada topik Aritmetika Sosial. 6. Untuk mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran berdasarkan
masalah.
7. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian masalah yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah pada pembelajaran berdasarkan masalah dan pembelajaran konvensional.
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini, yaitu:
1. Kepada peneliti, sebagai bahan acuan untuk dapat menerapkan model pembelajaran yang efektif dan juga sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya
(33)
2. Kepada guru, sebagai sumber informasi dalam menentukan alternartif model pembelajaran dengan beragam heterogenitas kemampuan awal dan sikap belajar siswa terhadap matematika
3. Kepada siswa, diharapkan meningkatnya sikap positif terhadap pembelajaran matematika dan meningkatnya kreativitas proses pemecahan masalah.
1.7. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini digunakan beberapa istilah. Agar makna dan interpretasi terhadap istilah tersebut sesuai dengan yang dimaksudkan dalam penelitian ini, maka diperlukan definisi operasional dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Kemampuan awal siswa adalah kemampuan matematika siswa sesuai dengan tingkat kognitif normal per individu. Kemampuan awal siswa dikelompokkan pada tiga tingkatan yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
2. Sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan siswa dalam merespon matematika baik secara positif maupun negatif.
3. Pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebuah model pembelajaran yang pada intinya menyajikan masalah yang kontekstual dan bermakna kepada siswa pada awal pembelajaran. Fase-fase dalam Pembelajaran Berdasarkan Masalah adalah; memberikan orientasi masalah kepada siswa, mengorganisasikan siswa untuk meneliti, membantu investigasi mandiri dan kelompok, mempresentasikan laporan, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
(34)
18
4. Pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa di lakukan di sekolah-sekolah selama ini dimana aktivitasnya berpusat pada guru. Pada umumnya fase-fase model pembelajaran ini adalah; memeriksa PR hari sebelumnya, menyajikan materi baru yang diawali dengan memperkenalkan suatu konsep atau aturan diikuti dengan beberapa contoh bagaimana menerapkan aturan tersebut kemudian siswa diberi sejumlah soal latihan, memberikan tugas pada siswa untuk hari berikutnya.
5. Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal non rutin. Kemampuan pemecahan masalah diawali dari kemampuan memahami masalah, membuat rencana pemecahan, menjalankan rencana, dan memeriksa kembali solusi yang ditemukan.
(35)
155
Berdasarkan hasil dan temuan penelitian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan hipotesis yang diajukan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah;
1. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi, sedang, dan rendah.
2. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki sikap belajar positif dan sikap belajar negatif
3. Peningkatan kemampuan pemecahan matematika siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang meggunakan pembelajaran konvensional
4. Tidak terdapat interaksi antara kategori kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dengan model pembelajaran yang digunakan (PBM dan Konvensional) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. Dengan kata lain, perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang menggunakan PBM dengan siswa yang menggunakan konvensional tidak dipengaruhi oleh tingkat kemampuan awal siswa.
(36)
156
5. Siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah memiliki persentase ketuntasan belajar yang tinggi.
6. Respon siswa terhadap pembelajaran berdasarkan masalah adalah positif. 7. Proses merencanakan penyelesaian dan melaksanakan penyelesaian
masalah oleh siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dan lebih bervariasi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
5.2. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, implikasinya adalah terhadap penggunaan model pembelajaran oleh guru matematika. Pengetahuan guru matematika terhadap konsep dan mekanisme model belajar yang beraliran konstruktivis menjadi sebuah keharusan. Model pembelajaran berdasarkan masalah menjadi salah satu solusi yang mampu menjadikan siswa cakap dalam kemampuan matematika, tidak hanya pintar dalam mengerjakan soal. Persiapan atas masalah kontekstual, lembar kerja atau lembar aktivitas, dan juga pemberian scaffolding kepada siswa menjadi kunci keberhasilan model pembelajaran berdasarkan masalah. Pada akhirnya, model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika untuk semua tingkat kemampuan awal matematika siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah juga mampu meningkatkan respon siswa terhadap belajar matematika yang berdampak pada perubahan sikap belajar siswa menjadi lebih baik.
(37)
5.3. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi penelitian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, berikut ini beberapa saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, yaitu;
1. Pembelajaran berdasarkan masalah adalah model belajar yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa sebagai salah satu kecakapan matematika. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan kulminasi dari kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya sehingga pembelajaran berdasarkan masalah juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya bagi siswa.
2. Sebelum menerapkan pembelajaran berdasarkan masalah, sebaiknya siswa dibiasakan dengan metode diskusi kelompok. Hal ini diperlukan agar siswa memahami peran dan fungsi tiap anggota kelompok serta siswa terbiasa untuk menghargai pendapat orang lain.
3. Sebaiknya dalam tiap pokok bahasan pembelajaran yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah dilakukan pertukaran anggota kelompok. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak merasa bosan dan jika ada masalah pribadi antar siswa dalam sebuah kelompok tidak mengganggu pembelajaran.
4. Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah membutuhkan kesiapan bahan ajar dan pemilihan soal-soal kontekstual yang menarik bagi siswa untuk diselesaikan.
(38)
158
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2003.
Pendidikan Bagi Anak berkesulitan Belajar
. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Amir, M. T. 2009.
Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning.
Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Arends, R. 2007.
Learning to Teach.
Terjemanhan oleh Helly Prajinto Soetjipto.
2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arikunto, S. 2006.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka
Cipta
Dahar, R.W. 1988.
Teori-teori Belajar.
Bandung: P2LPTK
Hamid, A. 2009.
Teori Belajar dan Pembelajaran.
Medan: Universitas Negeri Medan
Hasanah, A. 2004.
Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik.
Tesis tidak
diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Herman, T. 2007. Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Matematis Siswa SMP.
Jurnal Cakrawala Pendidikan
, 26 (1): 41-62.
Hudojo, H. 2001.
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Japa, I. G. N. 2008. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Terbuka Melalui Investigasi Bagi Siswa Kelas V SD Kaliuntu
. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan.
2 (1): 60-73
Lie, A. 2008.
Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas.
Jakarta:
Grasindo,
Lwin, M. dkk. 2003.
How to Multiply Your Child’s Intelligence.
Terjemahan oleh
Christine Sujana. 2008. Yogyakarta: Indeks
(39)
Mullis, I. dkk. 2009.
TIMMS 2007 International Mathematic Report
. Boston:
TIMMS and PIRLS International Study Center.
NCTM. 2001.
The Roles of Representation in School Mathematics.
Virginia: Reston.
Nurhadi, dkk. 2003.
Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: Universitas Negeri Malang
Polya, G. 1945.
How to Solve It.
New Jersey: Princeton University Press
Ruseffendi, E.T. 1980.
Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua, Murid,
Guru, dan SPG.
Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. 2005.
Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non
Eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito
Sanjaya, W. 2009.
Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Saragih, S. 2006.
Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi
Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan
Matematika Realistik
. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Shadiq, F. 2004.
Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam
Pembelajaran Matematika.
Jogjakarta: Depdiknas.
Sinaga, B. 2007.
Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan
Masalah Berbasis Budaya Batak. Disertasi tidak diterbitkan.
Surabaya:
Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Sinaga, B. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based
Instruction) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat.
Jurnal
Penelitian Bidang Pendidikan.
10 (2) : 122-133.
Slameto. 1987.
Belajar dan Faktor – faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Bina
Aksara.
Sofyan, D. 2008.
Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah Menengah
Pertama.
Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
(40)
160
Stamatis, D. H. 2002.
Six Sigma and Beyond; Problem Solving and Basic
Mathematics.
Whasington: St Lucie Press.
Sudjana. 1996.
Metode Statistik.
Bandung: Tarsito.
Sugamin, K, Y. & Sabandar, J. 2009. Mathematical Problem Solving in
Mathematics Realistic
. Jurnal Pendidikan matematika
, 2 (1): 179-190.
Suhendra. 2005.
Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Kelompok Belajar Kecil
Untuk Mengembangkan Kemampuan Siswa SMA pada Aspek Problem Solving
Matematik.
Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. 1986.
Interaksi Belajar Mengajar Matematika
, Jakarta: Karunika.
Surya, E. 2008. Mathematics Instruction With Active, Communicative, Effective and
Joyful Strategy.
Jurnal Pendidikan Matematika
. 1 (2): 114-124.
Trianto. 2009.
Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif.
Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Turmudi. 2008.
Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika.
Jakarta:
Leuser Cita Pustaka.
Walle, J. V. D. 2007.
Elementary and Middle School Mathematics.
Terjemahan oleh
Suyono. 2008. Jakarta: Erlangga.
Zuriah, N. 2005.
Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan.
Jakarta: Bumi
Aksasra
(1)
155 BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan temuan penelitian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan hipotesis yang diajukan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah;
1. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi, sedang, dan rendah.
2. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang memiliki sikap belajar positif dan sikap belajar negatif
3. Peningkatan kemampuan pemecahan matematika siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang meggunakan pembelajaran konvensional
4. Tidak terdapat interaksi antara kategori kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah) dengan model pembelajaran yang digunakan (PBM dan Konvensional) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. Dengan kata lain, perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang menggunakan PBM dengan siswa yang menggunakan konvensional tidak dipengaruhi oleh tingkat kemampuan awal siswa.
(2)
5. Siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah memiliki persentase ketuntasan belajar yang tinggi.
6. Respon siswa terhadap pembelajaran berdasarkan masalah adalah positif. 7. Proses merencanakan penyelesaian dan melaksanakan penyelesaian
masalah oleh siswa yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dan lebih bervariasi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
5.2. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, implikasinya adalah terhadap penggunaan model pembelajaran oleh guru matematika. Pengetahuan guru matematika terhadap konsep dan mekanisme model belajar yang beraliran konstruktivis menjadi sebuah keharusan. Model pembelajaran berdasarkan masalah menjadi salah satu solusi yang mampu menjadikan siswa cakap dalam kemampuan matematika, tidak hanya pintar dalam mengerjakan soal. Persiapan atas masalah kontekstual, lembar kerja atau lembar aktivitas, dan juga pemberian scaffolding kepada siswa menjadi kunci keberhasilan model pembelajaran berdasarkan masalah. Pada akhirnya, model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika untuk semua tingkat kemampuan awal matematika siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah juga mampu meningkatkan respon siswa terhadap belajar matematika yang berdampak pada perubahan sikap belajar siswa menjadi lebih baik.
(3)
157
5.3. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi penelitian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, berikut ini beberapa saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, yaitu;
1. Pembelajaran berdasarkan masalah adalah model belajar yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa sebagai salah satu kecakapan matematika. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan kulminasi dari kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya sehingga pembelajaran berdasarkan masalah juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya bagi siswa.
2. Sebelum menerapkan pembelajaran berdasarkan masalah, sebaiknya siswa dibiasakan dengan metode diskusi kelompok. Hal ini diperlukan agar siswa memahami peran dan fungsi tiap anggota kelompok serta siswa terbiasa untuk menghargai pendapat orang lain.
3. Sebaiknya dalam tiap pokok bahasan pembelajaran yang menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah dilakukan pertukaran anggota kelompok. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak merasa bosan dan jika ada masalah pribadi antar siswa dalam sebuah kelompok tidak mengganggu pembelajaran.
4. Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah membutuhkan kesiapan bahan ajar dan pemilihan soal-soal kontekstual yang menarik bagi siswa untuk diselesaikan.
(4)
158
Amir, M. T. 2009.
Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning.
Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Arends, R. 2007.
Learning to Teach.
Terjemanhan oleh Helly Prajinto Soetjipto.
2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arikunto, S. 2006.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka
Cipta
Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Bandung: P2LPTK
Hamid, A. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Medan: Universitas Negeri Medan
Hasanah, A. 2004.
Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik.
Tesis tidak
diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Herman, T. 2007. Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Matematis Siswa SMP. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 26 (1): 41-62.
Hudojo, H. 2001.
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Japa, I. G. N. 2008. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Terbuka Melalui Investigasi Bagi Siswa Kelas V SD Kaliuntu. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. 2 (1): 60-73
Lie, A. 2008.
Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
Grasindo,
Lwin, M. dkk. 2003.
How to Multiply Your Child’s Intelligence.
Terjemahan oleh
Christine Sujana. 2008. Yogyakarta: Indeks
(5)
159
Mullis, I. dkk. 2009.
TIMMS 2007 International Mathematic Report. Boston:
TIMMS and PIRLS International Study Center.
NCTM. 2001. The Roles of Representation in School Mathematics. Virginia: Reston.
Nurhadi, dkk. 2003.
Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: Universitas Negeri Malang
Polya, G. 1945. How to Solve It. New Jersey: Princeton University Press
Ruseffendi, E.T. 1980.
Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua, Murid,
Guru, dan SPG. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. 2005.
Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non
Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito
Sanjaya, W. 2009.
Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Saragih, S. 2006.
Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi
Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan
Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Shadiq, F. 2004.
Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam
Pembelajaran Matematika. Jogjakarta: Depdiknas.
Sinaga, B. 2007.
Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan
Masalah Berbasis Budaya Batak. Disertasi tidak diterbitkan.
Surabaya:
Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.
Sinaga, B. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based
Instruction) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat.
Jurnal
Penelitian Bidang Pendidikan.
10 (2) : 122-133.
Slameto. 1987.
Belajar dan Faktor – faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Bina
Aksara.
Sofyan, D. 2008. Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah Menengah
Pertama.
Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
(6)