HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS MENONTON REAL

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS MENONTON REALITY
SHOW DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU
PROSOSIAL PADA REMAJA
Awaliya Frisnawati
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas 9, Semaki, Yogyakarta

Abstract
This study is aims to determine the relationship between the intensity of
watching a reality show with the trend of prosocial behavior in adolescents.
Data collection methods that was used in this study is quantitative method.
Data analysis technique that was used in this study is the Pearson product
moment correlation by using SPSS version 16.0 for Windows. Product moment
correlation analysis found that there is a significant positive relationship between
the intensity of watching a reality show with the trend of prosocial behavior in
adolescents (r = 0.315 p = 0.004). the contribution of the intensity of watching
reality shows is 9.9% to the tendency of prosocial behavior in adolescents,
while 90.1% influenced by other variables. Based on the research results it can
be concluded that there is a very significant positive relationship between the
intensity of watching a reality show with the trend of prosocial behavior in
adolescents.

Keywords: intensity watching, prosocial behavior tendency, reality shows.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara intensitas
menonton reality show dengan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif, data berupa skor diambil menggunakan skala kecenderungan
perilaku prososial dan skala intensitas menonton reality show. Teknik analisis
data yang digunakan adalah korelasi product moment dari Pearson dengan
bantuan komputer program SPSS versi 16,0 for Windows. Analisis korelasi
product moment menghasilkan (r) sebesar 0,315 dengan (p) taraf signifikan
0,004 (p < 0,01 %) yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan
antara antara intensitas menonton reality show dengan kecenderungan perilaku
prososial pada remaja. Variabel intensitas menonton reality show memberi
sumbangan efektif sebesar sebesar 9,9 % terhadap kecenderungan perilaku
prososial pada remaja sedangkan sisanya sebesar 90,1 % dipengaruhi variabel
lain. Bedasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif

48

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012


yang sangat signifikan antara antara intensitas menonton reality show dengan
kecenderungan perilaku prososial pada remaja.
Kata kunci : Intensitas Menonton, Kecenderungan perilaku prososial,
Reality show.

PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial diharapkan mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Selain harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk individu
juga manusia dituntut untuk dapat melakukan berbagai kegiatan sosial dalam berinteraksi dengan
orang lain.
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang dituntut untuk mampu bersosialisasi dengan
baik dengan masyarakat. Interaksi dengan teman sebaya akan membuka kesempatan bagi remaja
untuk belajar berperilaku yang diharapkan oleh kelompok dan sesuai dengan norma-norma
masyarakat. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa
(Monks dkk, 1989). Mahasiswa baru merupakan status yang disandang oleh remaja ditahun
pertama kuliah. Memasuki dunia kuliah merupakan perubahan besar pada remaja (Santrock,
2003). Remaja mengalami banyak perubahan ditahun pertama memasuki perguruan tinggi, hal
ini terkait dengan penyesuaian diri yang merupakan masalah berat yang harus dihadapi remaja
ketika memasuki dunia kuliah, khususnya penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya dilingkungan

yang baru. Elkind (Santrock, 2003) mengatakan bahwa remaja sering mengada-adakan bayangan
sekelompok manusia yang akan mengkritik segala tingkah lakunya, sedangkan ini hanyalah
bayangan persepsi remaja yang dikuasai oleh egosentrisme. Remaja merasa dirinya menjadi
pusat perhatian umum.
Pada masa remaja kehidupan sosial remaja ditandai dengan bergabungnya remaja dalam
kelompok-kelompok sosial dan berusaha melepaskan diri dari pengaruh orang dewasa. Menurut
Homanas (Monks dkk, 1989) bahwa tiap kelompok kecenderungan kohesi akan bertambah
sejalan dengan bertambahnya frekuensi interaksi remaja dalam kelompok. Remaja cenderung
loyal kepada kelompok dan mentaati norma-norma kelompok daripada mengembangkan pola
norma diri sendiri.
Menurut Hamidah (Mahmud, 2003) banyak orang cenderung egois dan berbuat untuk
mendapatkan suatu imbalan (materi). Sikap ini menimbulkan ketidakpedulian terhadap lingkungan
sosialnya. Dampaknya terutama di kota-kota besar, individu menampakkan sikap materialistik,
acuh pada lingkungan sekitar dan cenderung mengabaikan norma-norma yang tertanam sejak
dulu.
Remaja merupakan golongan masyarakat yang mudah terkena pengaruh dari luar. Hal ini
tampak pada kecenderungan untuk lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Jadi,
tidaklah mengherankan apabila di kota-kota besar nilai-nilai pengabdian, kesetiakawanan dan
tolong-menolong mengalami penurunan sehingga yang nampak adalah perwujudan kepentingan
diri sendiri dan rasa individualis. Ini memungkinkan orang tidak lagi mempedulikan orang lain

dengan kata lain enggan untuk melakukan tindakan prososial.

Awalia Frisnawati

49

Baron dan Byrne (2005), menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan
menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko
bagi orang yang menolong. Aronson dkk (2005) menyatakan perilaku prososial adalah melakukan
perbuatan apapun yang bertujuan menguntungkan orang lain.
Remaja umumnya belajar berperilaku prososial dengan jalan melakukan peniruan atau
imitasi terhadap teman – temannya, bila remaja mampu berperilaku menyenangkan orang lain
maka akan mendapatkan reward atau hadiah atas perilaku yang telah dilakukan yang dapat
diberikan dalam bentuk pujian dan penerimaan dari anggota kelompok terhadap kehadiran remaja.
Pada masa remaja perilaku prososial dilakukan lebih berorientasi pada hubungan remaja dengan
orang lain. Remaja ingin ikut serta aktif melibatkan diri dalam kegiatan – kegiatan sosial dan
mempunyai harapan untuk bisa membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh orang lain
(Hurlock, 1994).
Kemajuan tekhnologi menyebabkan sikap manusia menjadi semakin individualis dan sikap

sosial yang dimiliki individu semakin luntur. Berikut ada beberapa kejadian yang menunjukkan
rendahnya perilaku prososial. Seorang wanita tengah baya mengalami kerusakan mobil pada
jam sibuk disuatu pagi, kemudian harus mendorng mobilnya ke sisi jalan, meskipun banyak
orang yang lewat, tidak satupun yang berhenti untuk bertanya apakah wanita tengah baya itu
membutuhkan pertolongan dan apakah perlu mendapat pertolongan dengan cara meneleponkan
seseorang, (Cotterell dalam Baron & Byrne, 2005). Contoh yang lebih buruk adalah seorang
wanita yang terluka dalam suatu kecelakaan di jalan tol yang sibuk, sejumlah pengemudi melewati
wanita tersebut saat masih berbaring di samping mobilnya, tetapi tidak ada yang berhenti atau
bahkan hanya melaporkan masalah kecelakaan tersebut, (Drivers indifferent, dalam Baron &
Byrne, 2005).
Tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas
tingkah laku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model (Dayakisni dan Hudaniah,
2006). Seseorang belajar mengenai tingkah laku yang dilakukan orang lain sebagai model untuk
dilakukan dalam bentuk perilaku. Media massa saat ini banyak menampilkan acara yang
mengangkat realita kehidupan manusia, acara realitas umumnya menampilkan kenyataan yang
dimodifikasi, seperti menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak
lazim, memancing reaksi tertentu dari partisipan, dan melalui penyuntingan dan teknik-teknik
pascaproduksi lainnya. Acara realitas biasanya menggunakan tema seperti persaingan, problema
hidup, kehidupan sehari-hari seorang selebritis, pencarian bakat, pencarian pasangan hidup,
rekayasa jebakan, dan diangkatnya status seseorang dengan diberikan uang banyak, atau yang

perbaikan kondisi barang kepemilikan seperti perbaikan rumah atau perbaikan mobil (Hermandini,
2005)
Acara realitas (reality show) adalah acara televisi yang menggambarkan adegan yang
seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak
umum biasa, bukan pemeran. Acara dokumenter dan acara seperti berita dan olahraga tidak
termasuk acara realitas (Hermandini, 2005).
Kartono dan Gulo (2001) mengemukakan bahwa intensitas merupakan besar atau kecilnya
suatu tingkah laku, jumlah energi fisik yang dibutuhkan untuk merangsang salah satu indera.
Menurut Chaplin (2000) intensitas adalah kekuatan yang mendukung suatu pendapat atau suatu
sikap. Ketertarikan individu terhadap program televisi reality show akan menarik perhatian
individu, aktifitas yang sesuai dengan minat akan jauh lebih kuat atau intensif dibandingkan dengan
aktifitas yang tidak sesuai dengan minatnya, hal ini akan mempermudah pemahaman atau

50

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

penyerapan informasi maupun tayangan yang disajikan televisi. Pengaruh televisi tidak harus
terlihat langsung, namun intensitas menonton yang akan mempengaruhi sikap dan tindakan
penonton. Penonton akan belajar melalui pengamatan atau observasi atas tingkah laku yang

ditampilkan pelaku sebagai model, pengamatan yang terus menerus atau sering dilakukan pada
model dalam reality show akan memperkuat suatu tindakan maupun sikap model dalam tayangan
akan ditiru oleh penonton. Semakin terpusat perhatian dan semakin sering pengamatan dilakukan
oleh model maka semakin memungkinkan suatu perilaku model ditiru penonton dalam kehidupan
nyata.
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang diajukan dalam pen elitian ini adalah
apakah ada hubungan antara intensitas menonton reaity show dengan kecenderungan perilaku
prososial pada remaja.
Kecenderungan Perilaku Prososial pada Remaja
Sears dkk (1992) menyatakan bahwa perilaku prososial meliputi segala bentuk tindakan
yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif motif si penolong. Seseorang yang mampu menyadari lingkungan sekitar dalam situasi darurat
maka seseorang tersebut akan cenderung menolong orang yang membutuhkan pertolongan tersebut
tanpa melihat siapa yang ditolong dan bagaimana orang yang ditolong tersebut.
Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah melakukan tindakan
yang menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi yang
melakukan tindakan tersebut, dan kadangkala ada resiko yang harus ditanggung orang yang
melakukan tindakan tersebut. Hal ini terlihat bahwa perilaku prososial merupakan tindakan yang
dilakukan secara suka rela untuk meringankan penderitaan orang lain, sehingga penolong tidak
mempedulikan apakah ada resiko yang akan penolong terima.
William (Dayakisni dan Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial secara lebih

rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima
bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Brigham
(1991) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menolong kesejahteraan
orang lain. Kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan
pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Perilaku prososial mempunyai maksud
untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Apollo & Ancok menyatakan kecenderungan adalah
merupakan perbuatan yang condong akan dilakukan.
Menurut Erikson istilah “psikososial” dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti
bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh
sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis,
perkembangan psikososial juga bisa diartikan berhubungan dengan perubahan-perubahan
perasaan atau emosi dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan
dengan orang lain (Mahmudah, 2012).
Tahap identitas dan kekacauan identitas ini merupakan tahap psikososial yang kelima yang
berlangsung selama tahun-tahun masa remaja yaitu usia kira-kira 12-20 tahun. Tahap ini adalah
tahap yang paling diberi penekanan oleh Erikson karena tahap ini merupakan tahap peralihan
dari masa anak-anak kemasa dewasa. Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi pada tahap ini sangat
menentukan perkembngan kepribadian masa dewasa. (Mahmudah, 2012).
Pada tahap ini, anak dihadapkan degan pancarian jati diri. Ia mulai merasakan suatu
perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik. Ia mulai menyadari

sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang

Awalia Frisnawati

51

diinginkan tercapai dimasa mendatang, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupannya
sendiri, yang siap memasuki suatu peran yang berati ditengah masyarakat, baik peran yang bersifat
menyesuaikan diri ditengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaiakan diri maupun
yang bersifat memperbaharui (Mahmudah, 2012).
Menurut Hurlock (1994) salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah
yang berhubungan dengan sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di
luar lingkungan keluarga dan sekolah. Salah satu minat sosial yang umum pada remaja adalah
menolong orang lain, banyak remaja sangat berminat untuk menolong remaja lain yang merasa
tidak dimengerti, diperlakukan kurang baik atau yang merasa tertekan.
Proses perkembangan sosial individu pada masa remaja mengalami perkembangan yang
semakin keluar dari lingkungan keluarga, kearah orang lain di lingkungan sekitarnya, dan akhirnya
ke dalam masyarakat yang akan ditempatinya. Kehidupan sosial yang lebih luas, menyebabkan
individu akan mengalami beberapa bentuk perubahan hubungan dengan orang lain, diantaranya

remaja harus lebih banyak melakukan interaksi dibandingkan dengan masa sebelumnya. perubahan
pola perilaku sosial individu dapat dilihat dari adanya dua macam perubahan, yaitu remaja berusaha
untuk memisahkan diri dari orang tuanya, dan remaja ingin bergabung dengan teman – teman
sebaya (Monks dkk, 1996)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa perkembangan perilaku
prososial telah dimulai sejak masa anak – anak, dengan bertambahnya usia maka empati anak
terhadap orang lain juga akan semakin berkembang. Dalam psikologi perkembangan juga
dikatakan bahwa kemampuan seorang anak dalam berbagai hal akan semakin meningkat dengan
bertambahnya usia, seperti kemampuan berpikir dan penalaran, perkembangan kognitif,
perkembangan bahasa, perkembangan kognisi sosial, kemampuan motorik dan persepsi,
perkembangan emosi, perkembangan inteligensi, dan perkembangan moral (Monks dkk, 1996).
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tersebut di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa kecenderungan perilaku prososial adalah tinggi rendahnya kemungkinan
seseorang untuk melakukansegala bentuk perilaku menolong, memberi, berbagi rasa, bekerjasama
dan peduli terhadap orang lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah norma tanggung jawab sosial,
norma timbal balik, belajar menolong (pengalaman), dan memutuskan untuk menolong.
Kecenderungan perilaku prososial dalam penelitian ini berhubungan dengan intensitas menonton
reality show, dalam menonton reality show ada proses belajar menolong, yaitu individu belajar
menolong dari model tayangan reality show yang menjadi penolong dalam tayangan reality

show. Adapun faktor spesifik yang juga mempengaruhi adalah faktor situasional, faktor penolong
dan orang yang membutuhkan pertolongan. Faktor situasional meliputi kehadiran orang lain,
kondisi lingkungan, tekanan waktu. Faktor penolong meliputi faktor kepribadian, suasana hati,
rasa bersalah serta distress dan rasa empatik. Faktor yang meliputi orang yang membutuhkan
pertolongan adalah menolong orang yang disukai dan menolong orang yang pantas ditolong.
Intensitas Menonton Reality show
Menurut Ajzen (1991) intensitas merupakan suatu usaha seseorang atau individu dalam
melakukan tindakan tertentu. Seseorang yang melakukan suatu usaha tertentu memiliki jumlah
pada pola tindakan dan perilaku yang sama, yang didalamnya adalah usaha tertentu dari orang
tersebut untuk mendapatkan pemuas kebutuhannya. Sesuatu yang menyangkut tindakan yang
dilakukan pada kurun waktu tertentu memiliki jumlah volume tindakan yang dikatakan memiliki

52

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

intensitas. Azwar (2000) menyatakan bahwa intensitas adalah kekuatan atau kedalaman sikap
terhadap sesuatu.
Menonton berarti aktivitas melihat sesuatu dengan tingkat perhatian tertentu (Danim, 1995).
Reality show adalah acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar
berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran.
Acara realitas umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi, seperti menaruh partisipan
di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak lazim, memancing reaksi tertentu dari
partisipan, dan melalui penyuntingan dan teknik-teknik pascaproduksi lainnya.
Di berbagai media massa terutama televisi menampilkan beberapa acara reality show
yang menggunakan pendekatan sosial dan informasi. Acara realitas yang mengangkat realitas
kehidupan orang biasa (bukan kalangan artis) yang bertemakan perilaku sosial antara lain, Minta
Tolong. Minta Tolong, yaitu sebuah program reality show yang menguji kepekaan hati nurani
orang-orang di sekitar. Melalui kamera tersembunyi, penonton akan melihat bagaimana reaksi
orang-orang ketika seseorang datang meminta pertolongan, apakah ada orang yang dengan
tulus ikhlas menolong atau justru mereka menutup mata bagi penderitaan orang lain. Reality
show Minta Tolong adalah sebuah refleksi, apakah di masa krisis dan serba susah ini seseorang
masih memiliki kepedulian terhadap sesama.
Acara realitas lain yang bertemakan sosial adalah Jika Aku Menjadi. Jika Aku Menjadi
dan Orang Pinggiran, yang merupakan program majalah berita, yang menyuguhkan informasi
langsung seputar kehidupan kalangan kelas bawah (pemulung, nelayan, buruh panggul pasar, kuli
panggul pelabuhan, petani penggarap, penangkap kalong, buruh pemetik jamur, tukang kayu,
tukang ojek sepeda.). Informasi dalam Jika Aku Menjadi maupun dalam Orang Pinggiran ditujukan
untuk memberi pemahaman, empati atau simpati pada masyarakat bawah. Tidak dengan cara
karitas atau membagi-bagi uang atau barang atau renovasi rumah (seperti program di stasiunstasiun TV lain), tetapi dengan menampilkan keseharian mereka di rumah, di lingkungan sekitar,
di tempat kerja, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa Intensitas menonton reality show
merupakan tingkatan kualitas atau banyaknya aktifitas menonton reality show yang dilakukan
seseorang dalam kurun waktu tertentu, yang menggambarkan kisah kehidupan nyata, perjuangan
para pelaku dalam mempertahankan hidup.
Hubungan antara Intensitas Menonton Reality show dengan Kecenderungan
Perilaku Prososial
Menonton televisi telah menjadi kebiasaan ritualistik dibarengi dengan kesadaran kritis
dan sikap kreatif dari para penonton. Kebanyakan penonton televisi, terlebih anak – anak dan
remaja berinteraksi dengan televisi dengan sikap pasif, bahkan sering kali terpaku dan hanyut
dalam dramatisasi tayangan televisi. Dalam posisi kesadaran, penonton seolah terhipnotis oleh
sugesti daya pikat televisi (Mulyana dan Ibrahim, 1997). Menonton televisi dengan sikap yang
pasif telah mampu mempengaruhi seseorang menjadi penonton yang tidak dapat menyaring acara
televisi dan akan mengikuti perilaku yang ada dalam televisi tersebut.
Salah satu minat sosial yang umum pada remaja adalah menolong orang lain. Remaja
berminat menolong remaja lain yang saling merasa tidak dimengerti oleh lingkungan, merasa
diperlakukan kurang baik atau merasa tertekan. Proses perkembangan sosial remaja mengalami
perkembangan yang semakin luas dari lingkungan keluarga kearah lingkungan sekitar dan akhirnya
ke dalam masyarakat yang akan ditempatinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
prososial pada remaja adalah belajar menolong melalui melalui penguatan, efek ganjaran dan

Awalia Frisnawati

53

hukuman terhadap tindakan menolong dan peniruan, meniru orang lain yang memberikan
pertolongan.
Meskipun manusia sudah banyak belajar dari pengalaman langsung namun, lebih banyak
yang seseorang pelajari dari aktivitas mengamati perilaku seperti dikatakan Bandura (Feist &
Feist, 2008). Tindakan mengamati memberikan ruang bagi manusia untuk belajar tanpa berbuat
apapun. Manusia mengamati fenomena alam, tumbuhan, hewan, air terjun, gerakan bulan dan
bintang. Pembelajaran manusia yang utama adalah dengan mengamati model - model dan
pengamatan inilah yang terus menerus diperkuat. Pembelajaran dengan mengamati jauh lebih
efisien daripada pembelajaran dengan merasakan langsung. Mengamati orang lain, manusia
mempelajari respon mana yang diikuti penghukuman atau mana yang tidak mendapat penguatan.
Anak - anak mengamati karakter - karakter di televisi, dan mengulangi apa yang didengar atau
dilihat, jadi anak - anak tidak perlu melakukan sendiri beragam perilaku secara acak dan berharap
mengetahui mana yang akan dihargai mana yang tidak (Feist & Feist, 2008).
Program reality show yang ditayangkan di televisi menggambarkan perjuangan seseorang
untuk tetap mempertahankan hidup dalam keadaan ekonomi yang serba sulit seperti sekarang
ini. Tayangan ini dapat memberikan pelajaran bagaimana sebagian masyarakat Indonesia masih
banyak yang dililit kesulitan. Perilaku prososial dalam tayangan reality show terlihat dari adegan
para pemain yang mengikuti kehidupan keseharian tokoh yang nyata, mencoba sedikit meringankan
beban tokoh dengan ikut terjun langsung dalam pekerjaan tokoh.
Televisi mempunyai kemampuan kuat untuk mempersepsi khalayak dengan kelebihan yang
dimiliki oleh media televisi yang terletak pada efek visual dan audio yang dimunculkan, sehingga
setiap gerakan dapat disaksikan oleh penonton. Mulyana dan Ibrahim (1997) menyatakan bahwa
daya tarik televisi terletak pada kata – kata, musik, dan sound effect juga unsur visual pada
gambar, gambar tersebut bukan gambar mati, melainkan gambar hidup yang mampu menimbulkan
kesan yang mendalam pada penonton.
Pengaruh yang ditimbulkan tayangan televisi jauh lebih tinggi dibanding artikel media cetak,
karena gambar yang bersifat moving (adegan hidup) dapat tertanam didalam benak dalam kurun
waktu yang lama. Makin besar daya pikat suatu tayangan maka akan lebih sering teringat dan
terbayang apa yang telah dilihat, sehingga aka nada kecenderungan penonton menirukan adegan
yang ditonton dalam kehidupan nyata (Mulyana dan Ibrahim, 1997).
Menonton reality show yang bertemakan kehidupan sosial, yang menguji kepekaan hati
seseorang dalam menolong sesama yang membutuhkan diharapkan mampu menumbuhkan perilaku
prososial seseorang. Reality show ini diasumsikan dapat meningkatkan perilaku prososial pada
remaja dengan jalan menjadikan pemeran sebagai model yang dapat ditiru perilaku menolong
yang muncul tersebut. Proses ini melalui belajar observasional maupun modelling.
METODE PENELITIAN
Subjek penelitian adalah Mahasiswa angkatan 2011/2012 Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah intensitas
menonton reality show. Variabel tergantungnya adalah kecenderungan perilaku prososial.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala, yaitu skala intensitas menonton
reality show dan skala kecenderungan perilaku prososial. Skala kecenderungan perilaku prososial
dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek–aspek yang dikemukakan oleh Mussen
yaitu berbagi rasa dengan cara ikut merasakan kesedihan apa yang dirasakan orang lain, menolong
untuk meringankan beban orang lain atau orang yang ditolong, memberi yaitu kesediaan untuk
berderma, memberikan sebagian barang milik sendiri kepada orang yang membutuhkan,

54

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

bekerjasama dengan melakukan pekerjaan atau kegiatan bersama - sama berdasarkan
kesepakatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan memperhatikan kesejahteraan orang
lain dengan cara peduli terhadap permasalahan orang lain tersebut. Intensitas menonton reality
show ini diungkap dengan menggunakan skala intensitas menonton reality show yang disusun
oleh peneliti berdasarkan aspek – aspek yang dikemukakan oleh Ajzen (1991) yaitu : perhatian,
penghayatan, durasi, dan frekuensi. Uji validitas alat ukur menggunakan product moment.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa hasil uji validitas Skala Kecenderungan
Perilaku prososial dari 50 aitem menjadi 25 aitem yang memiliki daya beda aitem antara 0,224
sampai dengan 0,648 dengan rata-rata rit 0,488. Perhitungan terhadap estimasi reliabilitas skala
kecenderungan perilaku prososial sebesar 0,899.
Hasil uji validitas Skala Intensitas Menonton Reality show 44 aitem menjadi 32 aitem, 32
aitem yang akan digunakan memiliki daya beda aitem antara 0,368 sampai 0,681 dengan ratarata rit 0,544. Perhitungan terhadap estimasi reliabilitas skala intensitas menonton reality show
sebesar 0,938.
Hasil pengujian sebaran skor variabel kecenderungan perilaku prososial menghasilkan
nilai K-S Z sebesar 1,077 dengan p=0,197 (p>0,05), dan analisis data untuk variabel intensitas
menonton reality show menghasilkan nilai K-S Z sebesar 1,239 dengan p=0,093 (p>0,05).
Hasil uji linieritas menunjukkan p=0,004 (p