Indonesia Belum Siap Menghadapi Liberali

Nama: Nanda Yudha Ikhwan Pradana
NIM: 175120400111020
Kelas: Keterampilan Akademik B-2

Indonesia Belum Siap Menghadapi Liberalisasi Perdagangan Ala TPP
Response Paper terhadap Tulisan “Pakar: Jangan Buru-Buru Masuk TPP”

Dalam artikel berjudul “Pakar: Jangan Buru-Buru Masuk TPP” yang dituliskan oleh Tesa Oktiana
Surbakti, penulis artikel tersebut mencoba menjelaskan mengenai dampak yang terjadi apabila Indonesia
bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP) yang pada saat itu masih terdapat Amerika Serikat
sebagai anggota kemitraan. Penulis artikel tersebut berusaha menyampaikan dan menjelaskan kepada
pembaca mengenai sisi negatif yang diterima oleh Indonesia apabila bergabung dalam keanggotaan TPP.
Hal tersebut disampaikan penulis dalam menyikapi pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai
ketertarikannya dalam keanggotaan TPP tahun 2015 silam.
Pada mulanya, Trans Pacific Partnership adalah sebuah kemitraan perdagangan yang merupakan
transformasi dari Trans-Pacific Strategic Economic Partnership yang terbentuk tahun 2003 silam dan
digagas oleh tiga negara yakni Singapura, Selandia Baru, dan Chile. Brunei Darussalam memutuskan untuk
bergabung dalam kemitraan tersebut dua tahun kemudian, atau lebih tepatnya pada tahun 2005. Sejak
bergabungnya Brunei Darussalam dalam kemitraan tersebut, perlahan terjadi transformasi dalam kemitraan
dengan perubahan nama menjadi P-4 atau Pacific 4. 1 Karena kemitraan ini semakin berkembang, semakin
banyak negara yang tertarik untuk bergabung seperti Australia, Amerika Serikat, dan juga Jepang yang

sekaligus menjadi negara terakhir yang bergabung dalam P-4 pada tahun 2013. Pada akhirnya, P-4
melakukan transformasi menjadi sebuah kemitraan dagang yang lebih komprehensif bernama Trans Pacific
Partnership pada Oktober 2015 yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan beranggotakan 12 negara.
Trans Pacific Partneship terbentuk sebagai kemitraan perdagangan internasional yang memiliki

regulasi yang ketat untuk menjadi anggotanya. Meskipun regulasi yang ditetapkan untuk menjadi anggota
TPP terbilang ketat, keanggotaan TPP memiliki nilai strategis karena TPP beranggotakan negara-negara
dengan pangsa pasar yang besar sehingga kegiatan ekspor dan impor negara anggotanya diharapkan
berlangsung secara maksimal dan optimal. Selain keuntungan yang menjanjikan seperti tersedianya pasar
raksasa, TPP sebagai perjanjian dagang juga didukung dengan penghapusan pos tarif nyaris pada semua
komoditas barang dan jasa di 12 negara yang menjadi anggota TPP itu sendiri.
Keuntungan yang dijanjikan oleh skema perdagangan internasional seperti TPP tentu saja akan
menarik jika dilihat di permukaan. Penghapusan pos tarif di negara-negara anggota (yang saat itu mencakup
40% perekonomian dunia) akan menggenjot ekspor negara-negara anggota perjanjian tersebut. Hal tersebut

1

Deborah Elms dan C.L. Lim, The Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) Negotiations: Overview and Prospects ,
(Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies, 2012), hlm. 1.


tentu saja akan terlihat menguntungkan bagi Indonesia. Terlebih, Indonesia memang sedang gencargencarnya mempromosikan produk domestik kepada dunia guna meningkatkan export rate produk
Indonesia serta membangun kepercayaan konsumen internasional terhadap produk Indonesia. 2
Meskipun di permukaan TPP memberikan paket-paket keuntungan yang terlihat menjanjikan, bila
ditilik lebih dalam TPP sebenarnya memberikan banyak kerugian apabila Indonesia turut bergabung dalam
kemitraan tersebut. Terlebih lagi, pada saat Presiden Joko Widodo menyampaikan minatnya untuk
bergabung dalam kemitraan TPP 2015 silam, pemerintah belum begitu memahami regulasi dan aturan main
yang ditetapkan di dalam keanggotaan TPP. Padahal jika dikaji lebih dalam, peraturan-peraturan untuk
tergabung ke dalam keanggotaan TPP terlihat cukup memberatkan Indonesia. Penyampaian niat bergabung
ke dalam TPP oleh Presiden Joko Widodo dinilai semakin tidak tepat karena pada saat menyampaikan
pernyataan tersebut pemerintah seolah belum mendengarkan opini publik dalam menyampaikan suatu
ketertarikan terhadap kebijakan luar negeri.
Namun, senada seperti yang disampaikan oleh pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana
dalam artikel berjudul “Pakar: Jangan Buru-Buru Masuk TPP”, di sisi lain penyampaian ketertarikan
Presiden Joko Widodo agar Indonesia bergabung dalam keanggotaan TPP, tersirat sebuah motif politik
yang ingin ditunjukkan oleh pemerintah. Pada saat itu, banyak tersebar kabar bahwa Indonesia dalam masa
kepemimpinan Presiden Joko Widodo cenderung melakukan pendekatan hubungan diplomatik kepada
Tiongkok. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kesan di berbagai pihak bahwa pemerintahan era Presiden
Joko Widodo tidak lagi mengusung politik bebas aktif. Sehingga, dengan pemerintah melakukan lawatan
ke Amerika Serikat dan menyampaikan niat untuk bergabung dalam TPP, hal tersebut dinilai sebagai upaya
pemerintah untuk menegaskan posisi netral Indonesia menghadapi persaingan yang terjadi antara Amerika

Serikat dan juga Tiongkok.
Terlepas dari manuver politik yang sedang dilakukan oleh pemerintah, saya menyetujui inti dan
maksud dari penulis artikel “Pakar: Jangan Buru-Buru Masuk TPP” yang memberikan uraian jelas
mengenai kerugian yang akan didapatkan oleh Indonesia apabila terburu-buru bergabung ke dalam
kemitraan TPP terlebih jika hal tersebut dilakukan tanpa ada kajian dan pertimbangan matang dari
pemerintah. Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, TPP sebagai sebuah kemitraan dagang memiliki
aturan ketat bagi negara anggota yang hendak bergabung ke dalamnya. Sehingga, selain pemerintah harus
bisa memastikan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh Indonesia apabila bergabung dalam TPP lebih
besar daripada kerugian yang akan didapatkan, pemerintah perlu mengkaji lebih jauh apakah pemerintah
mampu menyelaraskan peraturan dan perundang-undangan domestik terhadap peraturan yang diadopsi dari
TPP sebagai syarat wajib untuk menjadi anggotanya. Jika hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh pemerintah,
keputusan Indonesia untuk bergabung ke dalam kemitraan TPP tentu saja akan memberikan kerugian yang
jauh lebih besar ketimbang manfaat yang telah saya sampaikan pada pemaparan sebelumnya.

2

Oxford Business Group, The Report: Indonesia 2015 , (Jakarta: Oxford Business Group, 2015), hlm. 264.

Liberalisasi perdagangan adalah sebuah keniscayaan, yang menjadi permasalahan adalah apakah kita
siap untuk menghadapinya? Trans Pacific Partnership sebagai sebuah perjanjian dagang juga merupakan

wujud nyata dari sebuah liberalisasi perdagangan. Berdasarkan hasil dari High Quality 21st Industry
Agreement, liberalisasi perdagangan dalam TPP mencakup di hampir segala sektor komoditas perdagangan

barang dan jasa, kecuali di beberapa komoditas bahan pangan seperti beras dan jagung.
Namun, bentuk liberalisasi perdagangan dalam TPP ternyata tidak semudah yang terlihat dalam
kacamata umum. Liberalisasi total di berbagai sektor perdagangan termasuk penghapusan peran BUMN
menjadi syarat yang harus dipenuhi Indonesia apabila ingin bergabung dengan TPP. Padahal, BUMN telah
memberikan peranan penting dalam sejarah kemajuan Bangsa Indonesia. BUMN secara nyata telah
memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses komoditas barang dan juga jasa serta
melindungi konsumen dari praktek monopoli perdagangan oleh pengusaha yang memiliki modal lebih
besar. Melihat peran vital BUMN, bergabungnya Indonesia ke dalam TPP dan kemudian diikuti dengan
penghapusan peran BUMN tentunya akan memberikan dampak negatif terlebih lagi bila pemerintah tidak
bisa menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa dengan harga terjangkau dan mudah diakses oleh
masyarakat. Penghapusan BUMN tentunya akan memberikan dampak yang merugikan secara politik dan
juga ekonomi bagi Indonesia. Hal tersebut tidak lepas dari peran BUMN yang saat ini dikuasai oleh
pemerintah sebagai motor untuk membantu negara dalam menguasai sumber daya alam Indonesia guna
memenuhi kepentingan bersama rakyat Indonesia. Jika privatisasi atau penghapusan peran BUMN
dilakukan hanya sekedar memenuhi persyaratan bergabung TPP tanpa memikirkan aspek kepemilikan
saham oleh rakyat, peningkatan efisiensi perusahaan, dan kepentingan umum, secara tidak langsung hal
tersebut telah bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia. 3 Sehingga, jika pemerintah belum

menemukan solusi yang tepat terhadap permasalahan tersebut, saya berpandangan bahwa bergabung ke
dalam kemitraan TPP bukanlah suatu keputusan yang tepat dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana dalam artikel “Pakar: Jangan Buru-Buru
Masuk TPP” telah menjelaskan mengenai apa yang akan terjadi jika Indonesia tidak mempersiapkan segala
sesuatunya dengan matang sebelum bergabung ke dalam TPP. Perdagangan bebas yang membuka
kesempatan bagi siapapun untuk beradu dalam merebut hati konsumen pada pasar tentunya memerlukan
modal utama yaitu persiapan yang matang dari segi produsen dalam negeri. Produsen dituntut tidak hanya
sekadar mampu menguasai hati konsumen domestik, lebih dari itu ia harus mampu bersaing dalam pasar
internasional. Pada dasarnya ketidaksiapan produsen domestik dalam bersaing di pasar bebas justru akan
membuat keputusan untuk bergabung dalam pasar bebas tersebut menjadi sia-sia. Hal tersebut merupakan
gambaran yang terjadi apabila Indonesia dengan kondisi rata-rata produsen produk domestik masih dalam
kondisi “loyo: seperti saat ini dan belum mampu menghadapi kerasnya persaingan pasar internasional.
3
Bacelius Ruru, Privatisasi BUMN, dalam Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara , (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.
41.
4
AyoPreneur, “Pasar Global Loyo, Pelaku Ekspor Optimalkan Pasar Domestik”, http://www.ayopreneur.com/ce-news/pasarglobal-loyo-pelaku-ekspor-optimalkan-pasar-domestik.

4


Kalaupun produsen domestik mampu untuk bersaing di pasar sendiri, apalah manfaatnya bergabung dalam
TPP apabila kesempatan untuk bersaing di pasar internasional masih belum bisa dimaksimalkan oleh
produsen dalam negeri. Apalagi jika benar pemerintah bergabung dengan TPP dan harus memprivatisasi
BUMN, kondisi produsen domestik Indonesia yang belum siap bertanding di pasar internasional tidak akan
memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kemajuan ekonomi Indonesia serta tidak akan menutup
berbagai kemungkinan buruk apabila BUMN diprivatisasi seperti terbutuhnya kebutuhan masyarakat
secara terjangkau dan merata. Sehingga, berkaca dari kondisi produsen domestik Indonesia saat ini,
menurut saya ini akan menjadi suatu keputusan yang akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian
Indonesia sehingga sebaiknya memang pemerintah Indonesia menunda terlebih dahulu untuk bergabung ke
dalam TPP dan fokus menggenjot kualitas dan semangat produsen domestik.
Senada dan seirama dengan artikel “Pakar: Jangan Buru-Buru Masuk TPP”, saya menyetujui bahwa
pemerintah Indonesia perlu membenahi berbagai hal sebelum memutuskan bergabung dengan TPP.
Indonesia tergolong terlambat apabila memutuskan untuk bergabung dengan TPP di tengah kompleksnya
aturan main dalam TPP. Dikhawatirkan Indonesia tidak mampu menyuarakan kepentingannya pada forum
TPP dan justru lebih akan menerima kenyataan bahwa kepentingan Indonesia akan banyak tersisihkan
karena sudah tergolong terlambat bergabung ke dalam TPP.

5

Selain itu, Indonesia masih perlu banyak


berbenah melihat dari ketergantungan masyarakat kepada produk BUMN dan subsidi yang mengalir
melaluinya, masih lemahnya kekuatan produsen domestik untuk bersaing pada kerasnya pasar global, serta
berbagai regulasi dalam TPP yang perlu dipertambangkan untuk diterapkan di dalam negeri. Jika
pemerintah tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk bergabung, maka kita harus becermin dari
Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump yang justru memutuskan untuk keluar dari TPP,
padahal Amerika Serikat pada masa pemerintah Presiden Barack Obama adalah pelopor dari terbentuknya
TPP itu sendiri. Terlepas dari motif politik apapun yang dilakukan oleh Donald Trump, memang pada
faktanya keputusan Amerika serikat untuk menarik diri dari kemitraan TPP itu sendiri dikarenakan Amerika
Serikat menderita kerugian yang besar dalam sektor manufaktur domestik dan ketersediaan lapangan
pekerjaan.

6

Memandang hal tersebut, pemerintah harus kembali mempertimbangkan matang-matang

kesiapan Indonesia dalam persaingan pasar raksasa TPP. Pendekatan dari segi hukum dan ekonomi perlu
dilakukan guna menghasilkan keputusan yang tepat dalam permasalahan ini. 7
Meskipun pernyataan Presiden Joko Widodo 2015 silam (tertarik untuk bergabung ke dalam TPP)
menurut saya cukup baik untuk menegaskan posisi netralitas Indonesia dalam politik luar negeri, hal

tersebut akan menjadi tidak baik apabila pernyataan tersebut menjadi kenyataan tanpa ada pemahaman
lebih lanjut pemerintah terhadap TPP dan meninjau konsekuensinya bagi Indonesia itu sendiri.

Ging Ginanjar, “Plus Minus Niat Gabung Kemitraan Trans-Pasifik TPP”,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151027_indonesia_tpp.
6
Ruth Vania, “Ini Alasan Donald Trump Keluarkan AS dari Perjanjian TPP”,
http://www.tribunnews.com/internasional/2017/01/24/ini-alasan-donald-trump-keluarkan-as-dari-perjanjian-tpp.
5

7

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 391.

Daftar Pustaka

AyoPreneur. 2017. Pasar Global Loyo, Pelaku Ekspor Optimalkan Pasar Domestik. Diambil dari:
http://www.ayopreneur.com/ce-news/pasar-global-loyo-pelaku-ekspor-optimalkan-pasar-domestik.
(Diakses 1 Maret 2018).
Elms, Deborah dan & C.L. Lim. 2012. The Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) Negotiations:

Overview and Prospects. Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies.

Ginanjar, Ging. 2015. Plus Minus Niat Gabung Kemitraan Trans-Pasifik TPP . Diambil dari:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151027_indonesia_tpp. (Diakses 1 Maret
2017).
Ibrahim, Johnny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.Nugraha,
Safri. 2002. Privatisasi di Berbagai Negara . Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Oxford Business Group. 2015. The Report: Indonesia 2015. Jakarta: Oxford Business Group.
Vania, Ruth. Ini Alasan Donald Trump Keluarkan AS dari Perjanjian TPP . Diambil dari:
http://www.tribunnews.com/internasional/2017/01/24/ini-alasan-donald-trump-keluarkan-as-dariperjanjian-tpp. (Diakses 1 Maret 2017).

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1