Membangun Partisipasi Publik Melalui Sis

Membangun Partisipasi Publik Melalui Sisa Ruang Demokrasi
Oleh
Rifky Riswan Tanjung
Mahasiswa Sosiologi – FISIP UBB
“Ketika partisipasi masyarakat menurun saat berdemokrasi, maka setelah itu mereka pergi
mencari sisa – sisa ruang demokrasi lain di luar sana”
Rakyat merupakan motor bagi berjalannya demokrasi di Indonesia, serta diringi oleh
peran aparatur Negara terpilih yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Namun dalam
beberapa tahun terakhir ini terdapat suatu masalah yang cukup berkepanjangan ketika ada suatu
krisis kepercayaan kepada apartur negeri terpilih yang melanda masyarakat kita. Hal ini
disebabkan oleh polemik kehidupan elit politik negeri yang menuai beberapa kasus mengerikan
seperti aksi KKN, peneyelewengan kebijakan demokratif dan sebagainya yang cukup mewarnai
negeri ini.
Lemahnya partisipasi politik masyarakat ini boleh jadi merupakan isyarat kejemuan
dengan para pelaku politik disebut elite, yang menjalankan gaya egaliter dalam pesta demokrasi
rakyat tersebut, dimana Pemerintahan akan elitis dan rakyat hanya dijadikan subjek, bukan
sebagai objek partner pemerintah. Belum lagi ditambah dengan munculnya opini publik yang
mencaci maki negeri yang katanya demokrasi ini. Hal inilah merupakan tamparan keras untuk
Indonesia yang mengakibatkan tumbuhnya civil disobedience atau ketidak patuhan masyarakat
terhadap sistem negeri.
Rahman dan Faridah (2013) juga mengatakan bahwa perkembangan zaman membuat

bangsa Indonesia mengalami transisi dalam segala bidang, termasuk politik. Pengaruh budaya
barat (liberalisme) mulai tampak dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia
menjadi lebih kritis pemikirannya, termasuk dalam mengungkapkan pendapat mengenai
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini kemudian menggeser paradigma
bangsa Indonesia menuju kearah Demokrasi Deliberatif. Secara definisi demokrasi deliberatif
ialah suatu bentuk demokrasi dimana terdapat persyaratan kelompok politik yang dilakukan
dengan kesepakatan warga negara yang bebas dan berdasarkan pada nalar. Kemampuan
“justifikasi mutual” dan keputusan politik merupakan dasar utama untuk mencari permasalahan
kolektif.

Di dalam beberapa daerah di Bangka Belitung khususnya sudah memiliki beberapa media
ruang publik dengan model pertunjukan talkshow yang interaktif seperti di Kabupaten Bangka.
Kehadiran ruang publik demokrasi deliberatif merupakan sebuah reaksi terhadap permasalahan
sosial yang belum terpecahkan oleh kita semua. Model ruang publik yang terbangun ternyata
mampu mengahdirkan simpatik masyarakat dalam berpatisipasi untuk ikut berdialog bersama –
sama. Selain ruang publik demokrasi deliberatif yang bersifat sudah terlembaga, ada pula model
ruang publik yang kehadirannya tidak dirasakan namun ada disekeliling kita. Yaitu adalah tempat
– tempat jajanan seperti warung kopi dan sebagainya.
Inilah sisa – sisa ruang demokrasi yang hadir ditengah krisis kepercayaan dan partisipasi
publik dalam meningkatkan demokrasi. Dalam hal ini pemanfaatan model ruang public ini secara

teoritis disebut dengan ruang demokrasi deliberatif. Inti pandangan ini adalah upaya bagaimana
mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi, sehingga
komunikasi yang terjadi pada level warga itu mampu mempengaruhi pengambilan keputusan
publik pada level sistem politik. Dalam praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan
penggunaan tatacara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian
masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Partisipasi
warga (citizen participation) merupakan inti dari demokrasi deliberatif.
Bahasa Rakyat Untuk Kepentingan Publik
Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskurisf masyarakat yang mana
warga Negara dapat menyatakan opini – opini mereka. Kegagalan persoalan etika praktisi politik
menjadi sebuah prasyarat – prasyarat komunikasi yang hadir melalui “idealisasi” komunikatif.
Secara teoritis Habermas (1990) mendefinisikan idealisasi komunikasi sebagai suatu proses
memikirkan proses – proses komunikasi sedemikian rupa seolah – olah proses tersebut
berlangsung di dalam komunikasi ideal. Idealisasi komunikatif ini hanya bisa diwujudkan secara
memadai oleh diskursus praktik politik. Maka, diskursus praktik ini mengacu tidak hanya pada
proses komunikasi yang ideal melainkan juga pada aturan – aturan komunikasi yang ideal yang
diformulasikan dari proses komunikasi mensyaratkan prosesnya. Dengan kata lain, diskursus
praktis itu sendiri berlaku sebagai prosedur komunikasi.
Kehadiran ruang publik ini telah menjadi media pemenuhan hak – hak komunikatif para
warga Negara terlaksana terutama di dalam diskursus – diskursus informal yang dapat


dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan segala tema relavan yang memungkinkan
denan suara mereka yang didendangkan secara refleksif dan sentimental terhadap suatu problema
yang dihadapi sistem politik Indonesia kini. keberhasilan perwujudan politik deliberatif
bergantung pada pelembagaan prosedur permufakatan dan kondisi dalam komunikasi, serta pada
saling-hubungan antara proses deliberasi yang terlembagakan dan opini publik yang terbangun
secara informal. Namun demikian, prosedur permufakatan tidak lantas menetralkan kekuasaan
dan tindakan strategis untuk memperjuangkan kepentingan.
Demokrasi majemuk mengemuka manakala beragam kepentingan yang saling
bersinggungan atau bahkan bertolak belakang berkontestasi tanpa yang satu secara semena-mena
menidakkan yang lain. Jika kita memahami bahwa konflik menjadi salah satu karakter yang lekat
pada tubuh demokrasi, tentu kesepahaman yang terwujud melalui proses permufakatan tidak
merupakan suatu kesepahaman yang selalu stabil dan permanen. Karena politik sebagai prosedur
dimaksudkan sebagai cara untuk mengelola hubungan antarmanusia yang selalu memiliki potensi
konflik, maka kehendak untuk mengandaikan keutuhan pemahaman yang nirkonflik niscaya
merupakan suatu pretensi untuk mengubur politik.
Inilah fenomena yang berlangsung dalam dunia demokrasi, ketika suara – suara mereka
saat pencoblosan disalah gunakan oleh pejabat terpilih seakan terlecehkan dan menjadi sebuah
anomali. Para warga Negara mengalami kekecewaan yang mendalam terhadap nama politik yang
dasarnya mengatasnamakan “rakyat”. Sebuah stigma – stigma miring mengkonstruksikan pikiran

– pikiran rakyat sehingga mereka pergi mencari lubang kecil demokrasi lain dan berusaha
mengintip dunia luar yang penuh dengan keindahan.