Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

22

BAB II
PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH
NELAYAN ASING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN

A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan
1. Pengaturan Hukum Terhadap Perampasan Benda dan/atau Alat yang
dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana
Pencurian Ikan.
Indonesia saat ini mempunyai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor : 154), tanggal 29 Oktober 2009,
yang menggantikan Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor :118), karena pada bagian menimbang dari
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 huruf b dan c dikemukakan bahwa
pemanfaatan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup yang
berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem
penegakan hukum yang optimal sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi
dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber
daya ikan. 27

27

Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan bagian menimbang (b dan c).

Universitas Sumatera Utara

23

Dikaitkan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya, hukum
itu diberlakukan dalam bentuk undang-undang yang kemudian hari dalam
penerapannya banyak terdapat kendala, yang juga bersumber dari undang-undang dan
politik hukum pemberlakuan undang-undang. Beberapa ahli tersebut berpendapat
bahwa politik hukum itu sendiri berbeda dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli
hukum lainnya, sama halnya dengan pendapat ahli hukum tentang apa itu hukum,
pastilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Pendapat tersebut adalah sebagai berikut, Satjipto Rahardjo mengemukakan
bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak
bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu
berada pada posisi yang lemah,28 itulah pendapat Satjipto Rahardjo tentang politik dan
hukum, bahwa menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan
dengan politik, sehingga politik akan selalu menang bila dihadapkan dengan hukum.
Konsekuensinya adalah bahwa apabila hukum itu adalah undang-undang, maka
undang-undang yang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma politiknya,
dibandingkan dengan manfaat undang-undang tersebut bagi tercapainya keadilan dan
kemakmuran rakyat.
Rouscoe Pound menyatakan tentang “ law as a too of social engineering” sebagai
keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah
perjalanan masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan

28

http://ilmu hukum, umsb.ac.id, diakses tanggal 18 Juni2013.

Universitas Sumatera Utara


24

melindungi kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Pendapat Rouscoe Pound
ini berbanding terbalik dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa
hukumlah yang lebih berperan dalam gerak langkah masyarakat ke depan. Dikaitkan
dengan undang-undang, maka undang-undang yang dibuat di Dewan Perwakilan
Rakyat haruslah benar-banar selayaknya dapat memobilisasi masyarakat kearah yang
lebih baik. Dihubungkan lagi dengan pendapat Van Savigny mengatakan bahwa
hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat, ini berarti
bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan politiknya.
Van Savigny berpendapat bahwa hukum dan politik bukan tidak bisa disatukan satu
dengan yang lainnya, namun keduanya harus saling menyeimbangi satu dengan yang
lainnya. 29
Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tidak dapat lagi
mencegah secara efektif tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang
semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk
kejahatannya yang semakin terorganisir. Secara subtansial, perubahan yang signifikan
pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang
yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal

asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.

29

http:/ilmu hukum,umsb.ac.id, diakses tanggal 18 Juni 2013.

Universitas Sumatera Utara

25

Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa
undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita
cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang nomor 31
Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain pada:30
1. Hal Pembatasan Penangkapan
Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia.

2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak
menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ),
melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Melalui UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah
sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan Pidana
Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang
tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan

30

Supriadi, Hukum Perikanan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), hlm.462

Universitas Sumatera Utara

26

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan

Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia

(ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik

Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Selain itu
TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan 31
juga dapat memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas masyarakat Nelayan
untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dengan cara
memberdayakan anggota masyarakat Nelayan. TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 10 hari. Dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat

31


Lihat penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Universitas Sumatera Utara

27

melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 32
4. Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau
yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.
Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk
menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan
dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan.
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan
Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari,
memperoleh dan memberikan informasi yang berhubungan dengan tindak pidana
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Peran serta masyarakat yang
terpayungi oleh Undang-Undang ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk

32

Lihat penjelasan pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Universitas Sumatera Utara

28

melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

“setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam beberapa pasal
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur
kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai
niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
7. Penggunaan Sistem Pidana Penjara
Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan
oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan. Penahanan pun tidak
boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara,
selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya
dipulangkan ke negara asalnya tanpa ditahan terlebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara

29

8. Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana Selesai
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada perbedaan punishment

antara suatu tindak pidana selesai dengan suatu tindak pidana tidak selesai
(percobaan), sedangkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan
hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana
percobaan. Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI ) adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat
besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun. 33 Delik
percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi, namun tindak pidana
tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tindak pidana
percobaan dan pelaku tindak pidana selesai harus dibedakan. Dari ketentuan pidana
yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari
segi bentuk perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran.
1. Bentuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal,
84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, 94, dan 94A.
a. Kejahatan yang menyangkut penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/

33


Lihat Koran Harian Kompas terbit tanggal 4 Juni 2012 halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

30

atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 84).
b. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau menggunakan alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya
ikan di kapal penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia, (Pasal 85)
c. 1. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
2. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan
dan/atau kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia.
3. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan membudidayakan ikan hasil
rekayasa genetik yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
4. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan menggunakan obat-obatan dan
pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau

Universitas Sumatera Utara

31

lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 86).
d. Kejahatan

yang menyangkut kesengajaan

memasukkan, mengeluarkan,

mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan
masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan dan/atau ke luar
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, ( Pasal 88).
e. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal
91)
f. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan melakukan usaha perikanan di bidang
penangkapan, pembudayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan,
yang tidak memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan ( SIUP ) di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 92).
g. 1. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut
lepas yang tidak memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan ( SIPI ).

Universitas Sumatera Utara

32

2. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tidak memiliki Surat Ijin Penangkapan
Ikan.
3. Kejahatan yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
yang tidak membawa Surat Ijin Penangkapan IKan ( SIPI ) asli.
4.

Kejahatan yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) yang
tidak membawa Surat Ijin Penangkapan Ikan ( SIPI ) asli, (Pasal 93).

h. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak
memiliki Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan ( SIKPI ), (Pasal 94).
i. Kejahatan yang menyangkut memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI,
dan SIKPI palsu, (Pasal 94 A).
2. Bentuk perbuatan yang dikategorikan Pelanggaran sebagaimana diatur dalam
Pasal, 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 100A, 100B, 100C, dan 100D

Universitas Sumatera Utara

33

a. 1. Pelanggaran yang menyangkut kesengajaan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfa yang berkaitan dengan
sumber daya ikan.
2. Pelanggaran yang menyangkut kelalaian di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia ( WPP-RI ) mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan, (Pasal 87).
b. Pelanggaran yang menyangkut melakukan penanganan dan pengolahan ikan
yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengelolaan
ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan, (Pasal 89).
c. Pelanggaran yang menyangkut kesengajaan melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari/atau ke Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk
konsumsi manusia, (Pasal 90).
d. Pelanggaran yang menyangkut perbuatan membangun, mengimpor atau
memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu,
(Pasal 95).
e. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal perikanan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal
perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia, (Pasal 96).

Universitas Sumatera Utara

34

f. 1. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera

asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang

selama berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
tidak menyimpan alat penangkap ikan di dalam palka.
2. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan
1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang membawa alat penangkapan ikan
lainnya.
3. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang
tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada
di luar daerah penangkapan ikan yang di izinkan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 97).
g. Pelanggaran yang menyangkut Nakhoda kapal perikanan yang akan berlayar
tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan oleh
Syahbandar di pelabuhan perikanan, (Pasal 98).
h. Pelanggaran yang menyangkut setiap orang asing yang melakukan penelitian
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak
memiliki izin dari Pemerintah, (Pasal 99).

Universitas Sumatera Utara

35

i. Pelanggaran yang menyangkut melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), (Pasal 100).
j. Pelanggaran yang menyangkut sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 28 A,

pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dan
pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang melibatkan
pejabat, (Pasal 100 A).
Klasifikasi kejahatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan tersebut di
atas sesuai rumusan hukum pidana dari Moelyatno, yang menyatakan hal-hal sebagai
berikut:
a. Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu
Negara.
b. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana.
c. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai
perbuatan pidana.
d. Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana.
e. Hukum pidana mengatur tentang pertanggungjawaban hukum pidana
(criminal liability atau criminal responsibility).
f. Beberapa pendapat tentang pengertian hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

36

g. Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada hukum
pidana.34
Berdasarkan rumusan dari Moelyatno di atas dalam tindak pidana perikanan
dapat dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa yang akan
diberikan kepada pelanggar peraturan perikanan yang ada.
Sinkronisasi peraturan dalam bidang perikanan dapat dilihat dari :
1. Dalam pengelolaan sumber daya ikan
Pengelolaan sumber daya ikan terdapat dalam Pasal 3 butir (a) sampai butir (i)
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan, pengelolaan perikanan
dilaksanakan dengan tujuan.35
(a) Meningkatkan taraf hidup Nelayan kecil dan pembudidayaan ikan.
(b) Meningkatkan penerimaan dan devisa Negara.
(c) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.
(d) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan.
(e) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan.

34

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, ( Yogyakarta : Penerbit Liberty
1987), hal. 19.
35
Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan tentang Pengelolaan Perikanan dilaksanakan dengan
tujuan.

Universitas Sumatera Utara

37

(f) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing.
(g) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaan ikan.
(h) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara optimal, dan
(i) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata
ruang.
Uraian pasal di atas merupakan perwujudan dasar Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Undang-Undang lain mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam adalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada Pasal 3 huruf (d) menyatakan “ Tujuan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Ikan pada Pasal 4 angka (3) mengenai
jumlah yang boleh ditangkap diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
473a/Kpts/Ik.250/6/1985

tentang

Penetapan

Jumlah

Tangkapan

Ikan

yang

diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ).
Pasal 3 mengenai daerah dan jalur penangkapan ikan pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan

Menteri

Kelautan

dan

Perikanan

Republik

Indonesia

Nomor

Universitas Sumatera Utara

38

Per.05/Men/2012 tentang perubahan ke dua atas peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan
Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan dalam Pasalnya
menyebutkan “Jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia terdiri atas :36
a. Jalur Penangkapan Ikan I, terdiri dari :
1. Jalur penangkapan ikan I-A, meliputi perairan pantai sampai dengan 2
(dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
2. Jalur penangkapan ikan I-B, meliputi perairan pantai di luar 2 ( dua ) mil
laut sampai dengan 4 (empat) mil laut.
b. Jalur Penangkapan Ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I
sampai dengan 12 ( dua belas ) mil laut diukur dari permukaan air laut pada
surut terendah.
c. Jalur Penangkapan Ikan -III, meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan
perairan di luar jalur penangkapan ikan II, sampai dengan 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
2. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan
Mengenai pemanfaatan Sumber Daya Ikan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan

36

Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2012
tentang perubahan atas perubahan ke dua atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikan Republik
Indonesia Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan alat
Penangkapan Ikan.

Universitas Sumatera Utara

39

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Dalam Pasal 26 ayat (1) disebut “bahwa setiap orang yang melakukan usaha
perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan
pemasaran ikan di Wilayah Pengeloaan Perikanan Republik Indonesia, wajib memiliki
Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP). 37 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dalam pasal 8 menyatakan “Pemberian Ijin kepada orang/badan hukum Indonesia
yang bergerak di bidang usaha perikanan Indonesia untuk menangkap ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perikanan yang berlaku bagi usaha perikanan Indonesia” dan
terdapat juga dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.12/Men/2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 6
ayat (1) bahwa “ Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan
kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
wajib memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP)”. 38 Dalam Pasal 6 ayat (2)
disebutkan “ Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal
untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan

37

Lihat Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
38
Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap Pasal 6 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

40

Republik Indonesia wajib melengkapi dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI)
untuk setiap kapal yang digunakan. Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa setiap kapal
pengangkut ikan berbendera asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3) wajib dilengkapi dengan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Perijinan juga diatur dalam Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan Perusahaan
perikanan atau perusahaan bukan perusahaan perikanan berbadan hukum Indonesia
yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing, wajib terlebih dahulu
mengajukan permohonan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Mengenai perijinan diatur juga dalam Pasal 2 yang di dalamnya diatur jenis-jenis
perikanan tangkap meliputi : penangkapan ikan, penangkapan dan pengangkutan ikan
dalam satuan armada penangkapan ikan, dan pengangkutan ikan. Dan perizinan usaha
perikanan tangkap meliputi: Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). 39
Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diatur mengenai “ Setiap
orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan di luar Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.

39

Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 12/Men/2009 tentang perubahan
atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).

Universitas Sumatera Utara

41

2. Pertanggungjawaban Pidana dan Penerapan Sanksi PidanaTerhadap
Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI )
Beberapa ahli mengatakan dalam Hukum Pidana ada tiga persoalan

yang

mendasar. Saner, berependapat bahwa hal itu berkaitan dengan onrecht, schult, dan
strafe. Sementara Packer menyebut ke tiga masalah itu berkenaan dengan crime,
responsibility dan punishment.40 Menurut Soedarto persoalan-persoalan tersebut
berkaitan dengan perbuatan yang dilarang itu dan pidana yang diancamkan terhadap
pelanggaran larangan itu.41 Masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan
dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. 42
Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus
diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana
yang dilakukannya, dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga
kita

mengetahui

secara

jelas

apakah

orang

tersebut

harus

diminta

pertanggungjawabannya atau tidak. Adapun unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur
kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, alasan penghapusan pidana.

40

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Prenada Media, 2006),hlm.7.
41
Soedarto, Tentang Penbaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kertas Kerja, pda symposium
Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang, 1980)
42
Chairul Huda, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara

42

1. Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Perbuatannya tersebut
meskipun telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan,
hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan
masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah ( subjective guilt ).
Di

sini

berlaku

apa

yang

disebut

dengan

“TIADA PIDANA TANPA

KESALAHAN” ( keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld ) NULLA
POENA SINE CULPA ( “Culpa “ di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan ). Dari
apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas
beberapa unsur ialah :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat ( Schuldfahigkeit atau
Zurechnungsfahigkeit ) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa) : ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Universitas Sumatera Utara

43

Ketiga unsur ini telah terpenuhi maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana. 43
Sekalipun

kesalahan

telah

diterima

sebagai

unsur

yang

menentukan

pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai
kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang
berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam
penerapannya. Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang
lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidanan.
Pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana, tindak pidana
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.
Orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan, tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut
mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertangungjawaban dalam
hukum pidana. “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder
schuld:actus non facit reum nisi mens sir rea )”.
Hukum pidana fisikal berbeda halnya yaitu tidak memakai kesalahan. Jadi jika
orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas.

43

Sudarto, Op.Cit, hlm.91.

Universitas Sumatera Utara

44

Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan
leer van het materiele feit (fait materielle). 44
Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan
melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang
tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat
ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana. 45
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak
dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan
sebagai berikut:46
a. Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi
dasar adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.

44

Dahulu atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R. 1916 Nederland ( Van Bammalen
Arresten strafrecht), hal itu ditiadakan. Demikian pula bagi delik-delik jenis overtradingen, berlaku aja
tanpa kesalahan, tak mungkin di pidana.
45
Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Pidato
Ilmiah.
46
Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 88. Kesalahan dapat
ditinjau dari 3sisi yakni:
a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si
pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan
suatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan.
c. Kesalahan dalam arti yang sempit adalah kealpaan.

Universitas Sumatera Utara

45

b. Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam
hukum pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan psychis dari pembuat.
Hubungannya terhadap perbuatan itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan
psychis perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat. Dengan demikian
untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal di samping melakukan
tindak pidana, yaitu:
1. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu; dan
2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang
dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
c. Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian
psychologis, hubungan

antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya

unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban
dalam hukum.
d. Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat
semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum
pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal.
e. Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya
biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Bersifat melawan
hukum itu adalah perbuatannya yakni segi dalam, yang berkaitan dengan kehendak
si pembuat adalah kesalahan. Lebih rinci Pompe dalam pembahasannya mengenai

Universitas Sumatera Utara

46

kesalahan, mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan
bagian dalam dari kehendak pelaku, sedangkan sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) merupakan bagian luar dari padanya. Artinya kesalahan
merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang seharusnya dapat
dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang seharusnya dapat
dihindarkan, sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang
bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela. 47
Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur
kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan
tersebut meliputi :
a. Kesengajaan
Kesengajaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).
Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu
tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. 48 Kesengajaan ini
biasanya suatu kondisi dimana melaksanakan suatu perbuatan, yang didorong oleh
suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak sesuatu. 49

47

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jkarta: Alumni
Ahaem-Petehaem, 1986), hlm.163.
48
S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 166
49
Sathocid Kartanegara, Op.Cit., hlm.292

Universitas Sumatera Utara

47

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak
dan teori pengetahuan atau membayangkan.50 Menurut teori pengetahuan atau teori
membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah
“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau yang dibayangkan si pembuat,
ialah apa yang akan terjadi pada waktu dia berbuat.
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat” (voorhomen) dan
dengan rencana terlebih dahulu (met vooberachterade). Dalam pasal 35 ayat (1)
KUHP tentang percobaan dikatakan “percobaan untuk melakukan kejahatan terancam
hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu tidak
sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.
Antara niat dan kesengajaan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan, yang membedakan hanya selesai tidaknya perbuatan itu dilakukan. Tapi
dasar untuk melakukan perbuatan itu sama yakni sudah ada niat. Adapun pembagian
jenis sengaja yang secara tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:51
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)

50
51

Moeljatno, Op.Cit., hlm.171-176
Sudarto, Op.Cit.,hlm. 103-105

Universitas Sumatera Utara

48

2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet bewustheid van zekerheid of
noodzakelijkheid).
3. Sengaja

dengan

kesadaran

kemungkinan

sekali

terjadi

(opzet

met

waarschlijkheidbewustzijn).
Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja hanya menghendaki tindakannya
itu tetapi juga mengerti bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan
diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu
yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika
menghendaki tindakannya itu artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya
dengan tindakannya, tidak disyaratkan apakah ia mengerti bahwa tindakannya itu
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. 52
Kesengajaan yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia adalah kesengajaan jenis
kedua yaitu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu. Undang-undang hukum
pidana menentukan dapat dipidananya seseorang tidak tergantung dari pengertiannya,
apakah suatu tindak pidana dilarang dan diancam dengan pidana karena hal tersebut
akan memberikan beban kepada para penegak hukum terutama hakim dalam
membuktikannya. Imbalan yang diberikan hanyalah tindakan tertentu (yang harus
diatur dalam undang-undang) yang ditentukan sebagai kejahatan, yang oleh setiap

52

Ibid, hlm. 171.

Universitas Sumatera Utara

49

orang yang berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut
bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan. 53
Kesengajaan tanpa sifat tertentu di dalam praktik peradilan dan menurut doktrin
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya: pertama, kesengajaan sebagai
maksud (dolus directus atau opzet als oogmerk) yang berarti terjadinya suatu tindakan
atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud dan tujuan dan
pengetahuan si pelaku, pada delik formal diatur dalam Pasal 406 KUHP dan pada
delik material diatur dalam Pasal 338 KUHP.

Kedua, kesengajaan dengan sadar

kepastian (opzet met zekerheidesbewustzijn), yang menjadi sandaran adalah seberapa
jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan
salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Ketiga, kesengajaan dengan
sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaar delijk opzet) merupakan
kesengajaan dalam tingkat yang terendah dimana yang menjadi sandaran kesengajaan
ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran si pelaku tentang tindak pidana
dan akibat terlarang yang mungkin terjadi serta termasuk juga kesadaran pelaku
mengenai kemungkinan terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa
syarat-syarat tertentu.54

53
54

Ibid, hlm. 172.
Ibid, hlm. 172.

Universitas Sumatera Utara

50

b. Kelalaian (culpa)
Kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undangundang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu. Dia alpa, lalai, teledor dalam
melakukan perbuatan tersebut.

Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan

larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif
kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. 55
Selanjutnya dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kelalaian itu
mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana
diharuskan oleh hukum. 56
Uraian di atas sering dipandang bahwa bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan
untuk diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain dari pada pidana. Pidana
dianggap hanya sebagai obat terakhir (ultimatum remedium). 57
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat
dibedakan atas dua yaitu :
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), kealpaan yang disadari terjadi apabila si
pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu
akibat yang menyertai perbuatannya, meskipun ia telah berusaha untuk
mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
55

http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana, diakses
tanggal 20 Mei 2013.
56
Moeljatno. Op.Cit.hlm.171-176.
57
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 1994), hlm.128

Universitas Sumatera Utara

51

2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), kealpaan yang tidak disadari
terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat
membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang
terdiri dari :
1. Kealpaan berat (culpa lata). Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut
dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa
kealpaan berat ini tersimpul dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP.
2. Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli
tidak menyatakan dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang
ringan, melainkan dapat terlihat dalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
2. Kemampuan Bertanggung jawab
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada
masa itu tidak hanya saja manusia yang dapat pertanggungjawaban pidana bahkan
hewan atau benda mati lainnya dapat dipertanggungjawabkan tindak pidananya.
Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya
akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa
itu hukuman tidak hanya saja terbatas pada pelaku meskipun mereka tidak melakukan
tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkan terhadap jenis-jenis perbuatan yang berbeda

Universitas Sumatera Utara

52

didasari oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk
dan jumlah hukuman.
Setelah revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar
falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mazhab
taqlidi),

kebebasan

berkehendak

dimaksud

bahwa

seorang

dapat

dimintai

pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini
seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang
dikatakan perbuatan baik dan mana perbuatan yang tidak baik.58
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi
falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :
I… use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and
other is legally subjected to the exaction.” 59 Pertanggungjawaban pidana diartikan
Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima

pelaku

dari

seorang

yang

telah

dirugikan,60

menurutnya

bahwa

pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum
semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan
yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebaga“toerakenbaarheid”,
58

http://kitabpidana.blogspot.com/2013/05/kesalahan-dan-pertanggungjawaban
pidana.html,
diakses tanggal 11 Mei 2013.
59
Roscou Pound, “an introduction to the philosophy of law” dalam Romli Atmasasmita,
Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar maju, 2000), hlm.65
60
Romli Atmasasmita, Ibid.

Universitas Sumatera Utara

53

“criminal responsibility”, “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana yang
dimaksud disini untuk
dipertanggungjawabkan

menentukan
atasnya

pidana

apakah
atau

seseorang
tidak

tersebut

dapat

terhadap tindakan yang

dilakukannya itu. 61
Di dalam pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu
bertanggung jawab, karenanya tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawab
kan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Simons menyatakan bahwa
kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan psykis, yang membenarkan
adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun
orangnya, 62 seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yakni apabila;63
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum
c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannya secara
negatif yakni:64
a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si
pembuat berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau
61

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni,
1996) hlm.245.
62
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm.65
63
Moeljatno, Asas-asa Hukum Pidana , (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm.165
64
Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto,1990), hlm. 95

Universitas Sumatera Utara

54

terganggu karena penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si
pembuat tersebut pada saat perbuatan dilakukan.
b. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan
perbuatannya, dalam hal ini yang menentukan adanya hubungan kausal adalah
hakim.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan batin orang
yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung
jawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan yang
mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa
sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang
dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik
oleh masyarakat. 65
Kemampuan bertanggung jawab juga dikemukakan oleh Van Hammel yang
mengatakan seseorang yang mampu bertanggung jawab harus memiliki tiga syarat,
yaitu: pertama, dapat mengerti makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua,
dapat memgerti bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat; ketiga, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.66

65

Sutrisna, I Gusti Bagus, “ Penerapan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tinjauan
terhadap pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 78.
66
Sutrisna, I Gusti Bagus, Ibid. hlm.79.

Universitas Sumatera Utara

55

Suatu perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta
penjatuhan pidana. Setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,67 yakni
pertama, pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak
senonoh yang dilakukan manusia lainnya. Kedua, pendekatan ini yang melihat
kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal
sehingga ia berbuat jahat.
3. Alasan Penghapusan Pidana
Di dalam KUHP pembicaraan mengenai alasan penghapusan pidana dimuat dalam
Buku I Bab III tentang hal- hal yang mengahapus atau memberatkan pengenaan
pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini secara umum
dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu bagian umum yang terdapat
dalam buku ke satu (tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri dari dua
buku sebagaimana terdapat dalam buku ke dua (tentang kejahatan) dan buku ke tiga
(tentang pelanggaran). Alasan penghapusan pidana di samping diatur dalam bagian
umum buku ke satu KUHP ( yang berlaku secara umum ) juga pengaturannya terdapat
dalam bagian khusus buku ke dua KUHP ( yang berlaku secara khusus bagi tindak
pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut).
Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang
pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan

67

Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam J.E. Sahetapy, “Victimologi Sebuah Bunga
Rampai” (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm.41-42

Universitas Sumatera Utara

56

pidana. Ketidakmampuan bertanggung

jawab sebenarnya

merupakan alasan

penghapusan kesalahan atau alasan pemaaf. Menentukan keadaan di mana seseorang
tidak mampu bertanggung jawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui
metode berikut, yakni :68
a. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa
seseorang yang dilakukan oleh psikiater.
b. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa
abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah
akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu
bertanggung jawab dan tidak dapat dipidana.
c. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa
itu dinilai dengan perbuatannya untuk ditanyakan tidak mampu bertanggung
jawab.
Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan
dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan atau
pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum)
yakni:
a. Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang
ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah
atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan
68

Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

57

perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam ketentuan
Umum KUHP alasan penghapusan pidana ini dirumuskan dalam Buku Kesatu
Bab III. Adapun alasan pemaaf yang terdapat pada KUHP adalah :
1. Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggung jawab karena tidak sempurna
akal, jiwanya atau terganggu karena sakit.
2. Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa ma

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

8 157 125

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Perikanan (Kasus Pencurian Ikan di Wilayah...

2 52 5

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Kasus Putusan No:2438/Pid.B/2014/Pn.Mdn )

5 117 134

Penjatuhan Sanksi Pidana Pada Tindak Pidana Perikanan Di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Hukum Laut 1982.

0 0 1

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 10

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 2

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 21

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 10