Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.508 pulau, dan panjang garis
pantai keseluruhan sepanjang 91.181 km. Secara geografis perairan Indonesia berada
pada daerah strategis, di mana kondisi ini menjadi tantangan dan kewajiban bersama
untuk mempertahankan, menjaga dan melestarikan sumberdaya yang dimiliki. 1
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya ikan yang
sangat besar. Potensi sumber daya alam ini, perlu dikelola dengan tepat dan baik agar
dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Hal ini tidak
terlepas dari keharusan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan.
Menurut hukum laut dewasa ini, ada beberapa jenis laut yang perlu mendapat
perhatian Indonesia dan yang perlu dikelola baik oleh Indonesia sendiri maupun
bersama Negara-negara tetangga, ataupun dengan memperhatikan kepentingankepentingan regional dan internasional.

1

Rokhimin Dahuri, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu,

Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996, hlm.1.

Universitas Sumatera Utara

2

Dalam mengelola potensi laut Indonesia, kiranya dapat dibedakan tiga jenis laut
yang penting bagi Indonesia yaitu :2
1. Laut yang merupakan Wilayah Indonesia dan yang berada di bawah kedaulatan
Indonesia.
2. Laut yang merupakan kewenangan Indonesia di mana Indonesia mempunyai
hak-hak berdaulat atas kekayaan alamnya serta kewenangan untuk mengatur
hal-hal tertentu.
3. Laut yang merupakan kepentingan Indonesia di mana keterkaitan Indonesia
cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai kadaulatan kewilayahan
ataupun kewenangan dan hak-hak berdaulat atas laut tersebut.
Masalah penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut Indonesia
(Perairan) Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif) yang luasnya 6 juta km2 tersebut
(3 kali dari luas darat) masih memerlukan perhatian yang besar, termasuk penegakan
hukum dan pengamanan di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Peningkatan

kemampuan penegakan hukum dan pengamanan ini mencakup suatu kerja sama yang
erat antara kegiatan-kegiatan di darat, laut, dan udara. Usaha-usaha meningkatkan

2

Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan terhadap Pengetahuan
tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimence Pada Nelayan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, 2008), Sinopsis Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas
Negeri Jakarta, Tahun 2009, Jakarta, hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

3

monitoring, control, surveillance, serta kegiatan-kegiatan penyelidikan dan proses
pengadilan harus ditata dengan sebaik-baiknya. 3
Upaya penegakan memerangi pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia

Wilayah


Pengelolaan

Perikanan

Republik

Indonesia, selama ini

Kementerian Kelautan dan Perikanan, instansi penegak hukum, dan Pemerintah
Daerah berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada gerakan serentak dan serius untuk
memeranginya. Bahkan ada instansi tertentu yang ikut bertugas sebagai pengawas dan
penyidik terhadap pencurian ikan sengaja membiarkan praktek ini karena menikmati
setoran dari pelaku pencurian ikan.4
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
sangat terkait dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang
pertama menyangkut peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua
menyangkut institusi penggeraknya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan,
TNI-AL, Kepolisian RI, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Penegak hukum

merupakan

bagian

tak

terpisahkan

dari

pembangunan

hukum,

sedangkan

pembangunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan
nasional.

3


Slamet Soebiyanto, “Keamanan Nasional ditinjau dari Prespektif Tugas TNI Angkatan Laut”,
Majalah Patriot, 2007, hlm.10.
4
Begi Hersusanto, Problematika Sinergi dalam Grand Design Nasional Kebijakan Keamanan
Laut, (Jakarta: penerbit CSIS,2007),hlm.1.

Universitas Sumatera Utara

4

Berbagai lembaga pengawas eksternal juga telah dibentuk untuk melakukan
control terhadap kinerja aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan
wewenangnya secara transparan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi
Kepolisian Nasional. Hal ini sebagai wujud dari fungsi pemberdayaan masyarakat
yang diharapkan dapat menjadi mitra yang mampu bersinergi secara dinamis dan
harmonis dengan pengawasan masing-masing internal institusi penegak hukum,
sehingga harapan masyarakat untuk memiliki aparat penegak hukum yang bersih dan
jujur dapat tercapai.
Salah satu penyebab utama pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ialah lemahnya
pengawasan akibat rendahnya integritas moral serta kurangnya sarana dan prasarana
yang memadai. Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia, namun kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ia
adalah produk dari integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki
sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah
meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan
sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini

Universitas Sumatera Utara

5

sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena terbatasnya akses
ke laut untuk melihat perilaku aparat pengawas perikanan. 5
Kompleksitas permasalahan di atas memang menjadi dilematis bagi
pemerintah

saat


ini.

Upaya

untuk

meminimalis

terus

dilakukan

secara

berkesinambungan, dengan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan sistem hukum
yang meliputi subtansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), 6
dan kultur hukum (legal Culture). Berbagai institusi penegak hukum pun telah
berbenah diri dengan melakukan pembaharuan internal dengan melibatkan kalangankalangan eksternal yang kompeten dan mempunyai kepekaan serta keperdulian yang
tinggi terhadap pembangunan hukum. 7

Tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh nelayan asing menurut audit BPK
mencapai 30 trilyun rupiah pertahun. Menarik pula, pelaku tindak pidana pencurian
ikan yang dilakukan nelayan asing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh
dijatuhi pidana penjara selama belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan pemerintah Negara yang bersangkutan.
5

Kajian white collar crime sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun
1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan Amercan sociological Society ke-34 di Philadelphia
tanggal 27 Desember, yang diistilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan
memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjanya.
6
Dikutip dari International Encyclopedia of Social and Behavioral Sciences, 2001. Legal
culture adalah bagian dari budaya keseluruhan sebuah masyarakat yang dibutuhkan agar masyarakat
menjadi lebih taat hukum dan taat asas. Legal structure adalah system hukum dengan berbagai macam
fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya system tersebut, substansi hukum dalam sebuah system
hukum yang menjadi landasan dan syarat-syarat legitimasi hukum.
7
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana Di Bidang Perikanan, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2011), hal 217.

Universitas Sumatera Utara

6

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat diambil dua
pokok permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Pencurian Ikan oleh Nelayan Asing di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menurut Undang - Undang
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang - Undang

Nomor : 45

Nomor : 31 Tahun 2004

tentang Perikanan?
2. Bagaimana Analisis Hukum Terhadap Putusan Nomor : 03/Pid.Sus-P/2012/PN.Mdn
Mengenai Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah;
1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum terhadap pemberantasan
tindak

pidana pencurian ikan oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses
tindak pidana

Indonesia.

penanganan perkara


terhadap

pencurian ikan dalam Kasus No: 03/Pid.Sus- P/2012/PN.Mdn

Universitas Sumatera Utara

7

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik
secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman
tentang sejauh mana penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia. Penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan
dan referensi bagi peneliti selanjutnya serta dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan
perangkat peraturan mengenai tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum
khususnya

penegakan

terhadap

tindak

pidana

pencurian

ikan di Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, agar dapat lebih mengetahui dan
memahami tentang peranan aparat penegak hukum sebagai institusi yang
diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan
tindak pidana pencurian ikan.

Universitas Sumatera Utara

8

E. Keaslian Penelitian
Pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa , judul penelitian
tentang “Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan di Di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (Studi Putusan Nomor : 03/Pid.Sus-P/2012/PN-Mdn)” belum
pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Tidak
tertutup kemungkinan bahwa judul yang membahas tentang pencurian ikan sudah ada
atau ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana pencurian ikan tapi jelas
berbeda. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan penelitian

penelusuran di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi
Magister Ilmu Hukum USU, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
Peneliti khusus memusatkan penelitian pada mekanisme penanganan perkara
(Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan) dalam pemberantasan tindak pidana
pencurian ikan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (contoh
kasus mengenai pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
tepatnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia perairan Selat Malaka).
Selanjutnya penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan,
yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-

Universitas Sumatera Utara

9

kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam
penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan
Criminal Justice System. Buku Romli Atmasasmita dalam bukunya “ Sistem
Peradilan Pidana Kontemporer”. 8 Pengertian itu lebih banyak menekankan pada
suatu pemahaman mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan. Pengertian itu juga
menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk menegakkan hukum pidana.
Tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana,
melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut,
peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan.
Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi,
interkoneksi dan interpendensi (interface) dengan lingkungannya dalam peringkatperingkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistemsubsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice
system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah
“sinkronisasi” pelaksanan penegakan hukum. Selanjutnya sistem peradilan pidana

8

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Prenada Media Group
2011), hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

10

harus dilihat sebagai sistem terbuka (open system) sebab pengaruh lingkungan sering
kali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. 9
Defenisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana
dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrai dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu
dengan segala keterbatasannya. 10 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa
sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan
perundang-undangan pidana, praktik administrasi yang dijalankan lembaga peradilan
pidana dan pelaksananya.
Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli
Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal
justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu
putusan yang dihadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya
kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah
interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan
9

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro 1995), hal.7.
10
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
(Bandung: Bina Cipta, 1996), hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

11

pidana.11 Peradilan pidana sebagai “proses” menurut pengertian Hagan, di dalamnya
terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masingmasing memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi
tersangka/terdakwa. Peradilan pidana sebagai “sistem” di dalamnya terdapat
keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya
ke arah suatu tujuan.
Proses peradilan pidana itu adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan sebagai sub-sistem. Pelanggar hukum
berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga taat
pada hukum (non residivis), maupun mereka yang kemudian akan mengulangi
kembali perbuatannya (residivis). 12
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menganut
sistem yang disebut Integrated Criminal Justice Sistem. 13 Dalam sistem tersebut setiap
tahap dari pada proses penyelesaian perkara berkait erat dan saling mendukung satu
sama lain.14 Tahap dalam proses penyelesaian yang dimaksud adalah suatu proses
bekerjanya lembaga-lembaga yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

11

Ibid. hlm. 14
Mardjono Reksodiputro, “Survei Dan Riset Untuk Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih
Rasional”, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Kedua, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1997), hal 99.
13
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah system dalam masyarakat untuk
menanggulangi maslah kejahatan. Menanggulangi maksudnya disini yaitu usaha untuk menanggulangi
kejahatan. Penegakan hukum pidana khususnya di bidang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
maupun pelaksanaan putusan.
14
Harun M. Husein, Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi, dan Permasalahannya
(Jakarta: Rineke Cipta, 2005), hal. 39.
12

Universitas Sumatera Utara

12

Lembaga Pemasyarakatan. Penanganan suatu perkara pidana yang terjadi, seorang
tersangka akan diperiksa melalui tahap-tahap; penyidikan oleh Polisi, Penuntutan oleh
Jaksa Penuntut Umum, Sidang Pengadilan oleh Hakim, dan Pembinaan oleh Lembaga
Pemasyarakatan.15
Ke empat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem
penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan sebagaimana
tersebut di atas, merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
integral atau yang sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(Integrated Criminal Justice System). 16
Di samping teori Sistem Peradilan Pidana di atas, juga digunakan teori Sistem
Pembuktian. Adapun prinsip teori Sistem Pembuktian adalah:17
1. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Positif (Positive Wettelijk
Bewijstheorie).
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak
ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Pembuktian salah atau tidaknya terdakwa tergantung kepada
alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat-syarat dan ketentuan pembuktian
15

Hukum acara yang berlaku di peradilan pidana Indonesia secara umum diatur dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
16
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana
Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006), hal.19.
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hlm.277-279.

Universitas Sumatera Utara

13

menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Hakim yakin atau tidak tentang kesalahan
terdakwa, bukan menjadi masalah. Setelah terpenuhi cara-cara pembuktian
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi
menanyakan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Sistem ini membuat
hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati
nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya
terdakwa.
2. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction in Time).
Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, ditentukan oleh penilayan keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang
menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa. Hakim dalam menyimpulkan
keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh
diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam
sidang pengadilan dan boleh juga dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu
diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau
pengakuan terdakwa. Hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang
terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa di dukung oleh alat
bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari
tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup

Universitas Sumatera Utara

14

terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa.
3. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
(Conviction Raisonnee).
Pembuktian ini menunjukkan keyakinan hakim tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem pembuktian ini
faktor keyakinan hakim dibatasi yaitu harus didukung dengan alasa-alasan
yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal.
4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk
Bewijsleer).
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.
Pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan keseimbangan
antara ke dua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem.
Keseimbangan tersebut, dalam sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif menggabungkan sistem pembuktian menurut keyakinan dengan
sistem

pembuktian

menurut

undang-undang

secara

positif.

Hasil

Universitas Sumatera Utara

15

penggabungan ke dua sistem yang saling bertolak belakang tersebut,
terwujudlah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan dari alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang
terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan

hakim semata-mata.

Berdasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat
dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat
dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan kayakinan
hakim.
2. Kerangka Konsepsi
a) Hukum Pidana
Salah satu pendapat pakar hukum mengenai Hukum Pidana, yaitu :
1. Moeljatno, mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari pada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasardasar dan aturan untuk :

Universitas Sumatera Utara

16

a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana
sebagaimana telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
b) Tindak Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan penjelasan
secara rinci mengenai perkataan strafbaar feit tersebut. Istilah strafbaar feit
diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda.
Ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana,
pelanggaran pidana, 18 perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata
hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

18

CST Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), hal.106.

Universitas Sumatera Utara

17

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan
tersebut.19
c) Tindak Pidana Pencurian Ikan
Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fhising) adalah keseluruhan perbuatan
yang dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 20
d. Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan meliputi :
1. Perairan Indonesia
2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI
3. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di Wilayah
Republik Indonesia. 21

19

Supriadi, dkk. Hukum Perikanan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 437.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan.
21
Ibid, pasal.5.
20

Universitas Sumatera Utara

18

e. Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan
laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air
di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian yang
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Analisis Hukum Pidana terhadap tindak
pidana pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WWPRI) studi putusan No. 03/Pid.Sus.P/2012/PN.Mdn.
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatif. 22 Logika keilmuan yang juga dalam
penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja
ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

22

Lihat, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal.
51, bahwa penelitian hukum normative terbagi atas penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
singkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, penelitian perbandingan hukum.

Universitas Sumatera Utara

19

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 23
Pendekatan ini, akan berpijak pada kasus penegakan hukum terhadap tindak pidana
pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WWP-RI)
khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Pendekatan kasus dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kasus tindak pidana
pencurian ikan yang dilakukan nelayan asing di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia khusus di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri
dari :
a) Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, Undang-Undang No.5 Tahun 1983
Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Putusan Pengadilan yang berkaitan
dengan kasus pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia dan lain sebagainya.

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93.

Universitas Sumatera Utara

20

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, jurnal hukum, karya tulis
hukum atau pendapat pakar hukum.
c) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
(hukum), ensiklopedia dan internet.24
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan cara
menginventarisasi, menelusuri, mempelajari, dan mencatat teori hukum, konsep
hukum, asas hukum, norma-norma hukum yang menajadi objek penelitian. Data
penunjang dilakukan dengan metode wawancara.25
4.Analisis Data
Data yang diperoleh peneliti akan diolah dan dianalisis secara kualitatif yakni
pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam
undang-undang yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika
dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan
dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara
24

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia,, 1994), hlm. 59-60.
25
Mukti Fajar ND. dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010) hal. 160

Universitas Sumatera Utara

21

berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan
secara deduktif, untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang
ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab. 26

26

Amirudin dan Zainal Asikin, Op. Cit, hal. 168

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

8 157 125

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Perikanan (Kasus Pencurian Ikan di Wilayah...

2 52 5

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Kasus Putusan No:2438/Pid.B/2014/Pn.Mdn )

5 117 134

Penjatuhan Sanksi Pidana Pada Tindak Pidana Perikanan Di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Hukum Laut 1982.

0 0 1

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 10

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 2

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 63

Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan NO: 03 PID. SUS.P 2012 PN.MDN)

0 0 10