Pemanfaatan Pati Ubi Jalar Merah Sebagai Edible Coating dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Buah Strawberry Se Penyimpanan
4
TINJAUAN PUSTAKA
Strawberry
Strawberry (Fragaria sp.) merupakan tanaman buah yang di temukan
pertama kali di Chili yaitu spesies Fragaria chiloensis L, yang menyebar di
berbagai negara Amerika, Eropa, Asia. Spesies Fragaria vesca L, yang berasal
dari Amerika Utara lebih menyebar luas dan jenis strawberry inilah yang pertama
kali masuk ke Indonesia. Buah strawberry termasuk buah non klimakterik dan
dipanen dengan ciri-ciri berwarna merah (Kesumawati, dkk., 2012).
Strawberry juga merupakan salah satu jenis buah-buahan yang memiliki
nilai ekonomi yang paling tinggi. Beberapa manfaat buah strawberry yang telah
diketahui adalah untuk menyusutkan kadar kolesterol, mengandung zat anti alergi
dan radang, kaya akan vitamin C dan hanya sedikit mengandung gula yang cocok
bagi penderita diabetes (Kesumawati, dkk., 2012). Nilai gizi dan komposisi kimia
buah strawberry yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai gizi dan komposisi strawberry setiap 100 g bahan
Nilai gizi dan komposisi
Air (g)
Energi (Kkal)
Protein (g)
Total lipid (g)
Abu (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Magnesium (mg)
Fosfor (mg)
Potasium (mg)
Sodium (mg)
Vitamin C (mg)
Jumlah
80,66
50
0,58
0,60
0.80
17,36
5,4
21
0,22
17
27
292
37
37,0
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1996.
Universitas Sumatera Utara
5
Perubahan Mutu Buah Strawberry Selama Penyimpanan
Perubahan warna pada buah- buahan tersebut merupakan proses sintesis
dari suatu pigmen tertentu, seperti karotenoid dan flavonoid. Selain itu juga terjadi
perombakan klorofil. Warna pada buah segar dikelompokkan ke dalam empat
kelompok besar, yaitu: klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid. Pigmen
berwarna merah pada buah strawberry berasal dari antosianin. Pada kondisi pH
rendah antosianin akan memberikan warna merah, pada pH netral warnanya akan
menjadi biru sedangkan pada pH tinggi warna buah akan memucat. Pembentukan
pigmen pada buah dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan kandungan karbohidrat
pada buah stroberi, komponen warna lightness atau kecerahan secara keseluruhan
cenderung mengalami penurunan selama masa penyimpanannya. Perubahan
warna merupakan salah satu perubahan yang sangat menonjol pada proses
pematangan buah (Ashari, 2006).
Perubahan tekstur terjadi akibat adanya perubahan-perubahan sifat fisik
selama pemasakan buah (Pantastico, 1989). Perubahan terjadi karena adanya
perubahan komposisi senyawa-senyawa penyusun dinding sel, serta adanya
perombakan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut. Selama
pematangan buah kandungan pektat yang larut akan meningkat sehingga
kekerasan buah akan berkurang (Matto, 1989). Perubahan komposisi pada buah
juga akan berubah pada masa pasca panen seperti pati berubah menjadi gula,
kerusakan pektin dan asam organik (Muchtadi, 1992).
Sifat vitamin C adalah mudah berubah akibat oksidasi namun stabil jika
merupakan kristal (murni). Penyimpanan pada suhu rendah dapat mengurangi
Universitas Sumatera Utara
6
kegiatan respirasi dan metabolisme, memperlambat proses penuaan, mencegah
kehilangan air, dan mencegah kelayuan. Dalam keadaan temperatur rendah dan
kelembaban terpelihara, 50% vitamin C dalam buah-buahan maupun sayuran akan
hilang dalam 3-5 bulan. Hal ini dikarenakan vitamin C mudah sekali terdegradasi,
baik oleh temperatur, cahaya maupun udara sekitar sehingga kadar vitamin C
berkurang.
Proses kerusakan atau penurunan vitamin C ini disebut oksidasi. Secara
umum reaksi oksidasi vitamin C ada dua macam yaitu proses oksidasi spontan dan
proses oksidasi tidak spontan. Proses oksidasi spontan adalah proses oksidasi
yang terjadi tanpa menggunakan enzim atau katalisator. Sedangkan
proses
oksidasi tidak spontan yaitu reaksi yang terjadi dengan adanya penambahan enzim
atau katalisator (Helmiyesi, 2008). Selama pemasakan pada buah akan terjadi
peningkatan kadar gula yang memberikan rasa manis pada buah dan strawberry
memiliki kandungan gula yang paling sedikit sekitar 4-9 g (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992).
Ubi Jalar Merah (Ipomoea batatas L.)
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang dijadikan sebagai makanan
pokok di daerah tertentu. Di Indonesia umumnya ada empat jenis ubi jalar yang
dikelompokkan berdasarkan warnanya yaitu ubi jalar putih, ungu, oranye, dan
kuning, serta ubi jalar merah. Ubi jalar ungu memiliki warna ungu pekat karena
mengandung pigmen antosianin, sedangkan ubi jalar kuning dan merah
mengandung karotenoid (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur yang relatif pendek,
dan produksi yang tinggi ubi jalar oranye merupakan ubi jalar yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
7
kandungan β-karoten cukup tinggi. β-karoten ini merupakan sumber provitamin A
yang bermanfaat bagi kesehatan mata. Ubi jalar digunakan sebagai makanan
pokok kedua di negara berkembang selain beras. Selain sebagai sumber vitamin
A, β-karoten pada ubi jalar juga merupakan antioksidan alami yang bermanfaat
bagi kesehatan dalam melawan radikal bebas sehingga ubi jalar juga bermanfaat
dalam mencegah penyakit kanker (Dyah dan Putri, 2014).
Nilai gizi dan komposisi pada ubi jalar merah dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nilai gizi dan komposisi Ubi jalar merah setiap 100 g bahan
Komponen
Jumlah
Kalori (Kkal)
123,00
Protein (g)
1,80
Lemak (g)
0,70
Karbohidrat (g)
27,90
Kalsium (mg)
30,00
Fosfor (mg)
49,00
Zat besi (mg)
0,70
Vitamin C (mg)
22,0
Air (g)
68,50
Bagian yang dapat dimakan (%)
86,00
Sumber : Rukmana,1997.
Produksi
ubi
jalar
di
Indonesia
pada
tahun
2014
mencapai
2.386.729 ton/tahun, khususnya di Sumatera Utara mencapai 146.622 ton/tahun
(BPS, 2014). Ubi jalar dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras
di daerah yang produksinya tinggi karena mengandung kalori dan karbohidrat
yang tinggi (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar merah ini memiliki kandungan vitamin A (retinol) paling tinggi
di antara ubi jalar yang lain dan tidak hilang dengan proses perebusan. Selain itu,
serat yang terdapat pada ubi jalar merah ini berfungsi sebagai prebiotik yaitu
untuk merangsang pertumbuhan
bakteri
yang baik bagi usus sehingga
penyerapan zat gizi menjadi lebih baik dan usus lebih bersih (Rosidah, 2010).
Universitas Sumatera Utara
8
Ciri-ciri dari ubi jalar merah ini berbentuk umbi cenderung bulat,
permukaan kulit umumnya tidak rata, daging umbinya lebih keras dan warnanya
merah dibagian tengah dan warna putih dibagian kulit, serta rasanya tidak semanis
pada ubi jalar putih. Pada ubi jalar merah ini memiliki sekelompok antioksidan
yang tersimpan yang mampu menghalangi laju perusakan sel oleh radikal bebas.
(Rosidah, 2010).
Ubi jalar mengandung beberapa jenis gula oligosakarida yang dapat
menyebabkan flatuensi, yaitu stakiosa, rafinosa dan verbaskosa. Oligosakarida
penyebab flatuensi ini tidak dapat dicerna oleh bakteri karena adanya enzim
galaktosidase, tetapi dicerna oleh bakteri pada usus bagian bawah dan ini dapat
menyebabkan terbentuknya gas dalam usus besar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Pati Ubi Jalar Merah
Pati diperoleh melalui proses ekstraksi karbohidrat yaitu setelah dilakukan
pengecilan ukuran melalui grinding (pemarutan) kemudian di ekstrak dengan
memakai pelarut (biasanya dengan menggunakan air) untuk mengeluarkan
kandungan patinya dengan cara sendimentasi atau pengendapan yang selanjutnya
dikeringkan pada suhu dengan lama waktu tertentu untuk mendapatkan pati yang
siap digunakan (Martunis, 2012).
Kandungan amilosa pada pati ubi jalar sebesar 17,8% sedangkan fraksi
pati pada ubi jalar terdiri atas seperempat bagian amilosa dan tiga perempat
bagian amilopektin (Kusnandar, 2010). Secara fisik, granula pati memiliki ukuran
yang sangat kecil dengan diameter berkisar antara 2-100 μm dengan warna
granula putih. Secara kimiawi, pati merupakan homopolimer glukosa dengan
ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi terlarut disebut amilosa
Universitas Sumatera Utara
9
dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Pati ubi jalar memiliki sifat yang
berbeda dengan pati kentang, pati jagung atau tapioka. Ukuran granula pati ubi
jalar 2-25 µm yang berbentuk poligonal yang terdiri dari 20% amilosa dan 80%
amilopektin. Lapisan (film) akan terbentuk jika pati tergelatinisasi sebagian karena
perubahan pada amilosa dan amilopektin granula pati (Swinkels, 1985).
Pemanfaatan pati dewasa ini adalah sebagai bahan baku dalam industri
makanan, obat-obatan serta produk non pangan seperti tekstil, kemasan, deterjen,
dan pati juga banyak manfaat sebagai pengental, penstabil, pembentuk gel, dam
pembentuk film (Martunis, 2012). Penggunaan pati sebagai pelapis edible banyak
dikembangkan karena sumber pati yang melimpah dan harganya murah. Pati
memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk dijadikan bahan pelapis edibel karena dapat
membentuk lapisan yang kuat (Winarti, dkk., 2012).
Pelapis Edible
Polisakarida banyak diaplikasikan sebagai bahan pelapis edibel pada buah
dan sayur karena dapat berperan sebagai membran permeabel yang selektif
terhadap pertukaran gas CO2 dan O2 sehingga laju respirasi akan menurun. Pelapis
edibel jenis ini dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, pencoklatan pada
permukaan, menurunkan laju respirasi, memperbaiki flavor, warna, dan tekstur,
serta
memperbaiki
penampilan
dan
mencegah
pembusukan.
Adapun
kelemahannya yaitu mudah rusak karena resistensi yang rendah terhadap air serta
sifat penahan uap air yang rendah karena pati yang bersifat hidrofilik
(Winarti, dkk., 2012).
Beberapa keuntungan aplikasi pelapis edibel pada produk yaitu aw
permukaan bahan menurun sehingga mencegah kerusakan oleh mikroorganisme,
Universitas Sumatera Utara
10
permukaan bahan menjadi mengkilat, menurunkan susut bobot karena mengurangi
dehidrasi, mencegah oksidasi, mempertahankan flavor, dan memperbaiki
penampilan produk (Santoso, dkk., 2004). Metode aplikasi pelapis edibel pada
buah dan sayuran yaitu pencelupan, pembusaan, penyemprotan, penuangan dan
penetesan terkontrol. Pada buah, sayuran, daging, dan ikan yang paling banyak
digunakan adalah metode pencelupan, dimana bahan dicelupkan ke dalam larutan
pelapis. Pelapis edibel berperan sebagai pengemas primer pada produk tersebut
(Winarti, dkk., 2012).
Aplikasi coating polisakarida dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak,
dan pencoklatan pada permukaan serta mengurangi laju respirasi dengan
mengontrol komposisi gas CO2 dan O2 dalam atmosferinternal. Keuntungan lain
coating berbahan dasar polisakarida adalah memperbaiki flavor, tekstur, dan
warna, meningkatkan stabilitas selama penjualan dan penyimpanan, memperbaiki
penampilan, dan mengurangi tingkat kebusukan (Krochta, dkk., 1994).
Salah satu kelebihan edible coating
adalah dapat ditambahkan bahan
tambahan fungsional untuk dapat meningkatkan efektivitasnya. Secara umum,
bahan tambahan terdiri atas dua golongan, yaitu bahan untuk meningkatkan fungsi
coating seperti plasticizer dan emulsifier, dan bahan untuk meningkatkan kualitas,
stabilitas, dan keamanan seperti bahan antimikroba ,antioksidan, nutrasetikal,
flavor, dan pewarna (Lin dan Zhao 2007).
Selain berfungsi sebagai pengemas, pelapis edible juga dapat berperan
sebagai bahan pembawa senyawa-senyawa seperti antimikroba, antioksidan,
flavor maupun zat warna. Pelapis ini juga dapat menghambat terjadinya oksidasi
sehingga akan mencegah terjadinya penurunan kualitas serta memperpanjang
Universitas Sumatera Utara
11
umur simpan. Senyawa antimikroba yang biasanya ditambahkan pada pelapis
edibel adalah minyak atsiri dan kitosan (Huri dan Nisa, 2014)
Bahan-Bahan Pembuatan Pelapis Edibel
Adapun dibawah ini bahan-bahan pembuatan pelapis edibel, yaitu :
1. Gliserol
Gliserol
adalah
molekul
poliol
dengan
rumus
molekul
HOCH2CHOHCH2OH. Menurut nomenklatur IUPAC, gliserol disebut sebagai
Propan-1, 2, 3-triol. Massa molar adalah 92,09 g mol-1. Memiliki tiga gugus -OH
terikat pada tiga atom karbon terpisah. Gliserol dari hasil gula alkohol yang
berbentuk cairan tidak berwarna dan kental, tidak berbau dan juga dengan rasa
manis. Struktur gliserol berdasarkan Budisma (2011) dapat dilihat pada Gambar 1.
CH2-OH
CH-OH
CH2-OH
(gliserol)
Gambar 1. Struktur Gliserol.
Gliserol dapat dijadikan sebagai plasticizer dengan karakteristik yang
memiliki titik didih tinggi, larut dalam air, polar, dan non volatile, bersifat
hidrofilik dan mudah masuk ke dalam rantai protein. Penggunaannya sebagai
pemlastis lebih baik daripada sorbitol karena berbentuk cair, mudah tercampur
dalam larutan film dan terlarut dalam air sedangkan sorbitol berbentuk bubuk,
sulit bercampur dan mudah mengkristal pada suhu ruang (Awwaly, dkk., 2010).
Gliserol juga berfungsi meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air,
dan gas terlarut serta mengurangi kerapuhan. Pada pembuatan pelapis edibel dari
Universitas Sumatera Utara
12
pati penambahan gliserol akan membantu kelarutan pati dimana akan terbentuk
ikatan hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH gliserol. Peningkatan jumlah
gliserol dalam campuran pati-air mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan
(Winarti, dkk., 2012).
2. Carboxyl Methil Celulose (CMC)
Dalam pembuatan pelapis edibel CMC berperan sebagai emulsifier yang
akan menghasilkan lapisan yang lebih stabil dan kuat. CMC juga berfungsi
menghambat penguapan air (Santoso, dkk., 2004). Berdasarkan hasil penelitian
(Mardiana, 2008) penggunaan CMC 1% pada pelapis edibel gel lidah buaya dapat
memperpanjang masa simpan buah belimbing sampai 21 hari.
3. Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C merupakan senyawa yang larut dalam air
dan dapat menghambat aktivitas enzim polifenolase. Senyawa ini berwujud kristal
putih kekuningan dan tidak berasa sehingga tidak mempengaruhi produk akhir.
Asam ini berperan sebagai antioksidan dalam reaksi pencoklatan enzimatis yang
menghasilkan oksigen pada permukaan (Robinson dan Eskin, 1991).
Pengaruh Edible Coating Terhadap Mutu Buah
Salah satu metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme
pada buah adalah dengan cara penyimpanan atmosfer terkendali. Metode ini
memerlukan biaya yang tinggi. Metode lain yang lebih praktis adalah dengan
meniru mekanisme atmosfer termodifikasi, yaitu dengan penggunaan bahan
pelapis (coating). Edible coating memberikan pengaruh terhadap mutu buah
sebagai lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap
Universitas Sumatera Utara
13
air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan
pencoklatan buah dapat diperlambat dan lapisan yang ditambahkan di permukaan
buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama-sama dengan buah
(Krochta, dkk., 1994).
Jenis-Jenis Edible Coating
• Edible coating berbasis lemak (minyak atsiri )
Secara umum, minyak atsiri memiliki sifat antibakteri yang kuatr terhadap
pathogen penyebab penyakit yang terdapat pada makanan(foodborne pathogen).
Hal ini karena minyak atsiri mengandung senyawa fenolik dalam konsentrasi
tinggi seperti carvacrol, eugenol, dan thymol, yang memiliki sifat antioksidan
dan antimikroba. Keuntungan penambahan bahan aktif antimikroba ke dalam
edible coating adalah meningkatkan daya simpan (Maizura, dkk., 2007).
• Edible coating berbasis pati (umbi-umbian)
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di
alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifatsifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating karena dapat membentuk lapisan
yang cukup kuat (Garcia, dkk., 2011).
• Edible coating berbasis kitosan
Kitosan telah banyak digunakan sebagai bahan pembuat biodegradable
film, dan pengawet pangan yang tahan terhadap mikroba. Sifat antibakteri kitosan
berasal dari struktur polimer yang mempunyai gugus amin bermuatan positif,
sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif.
Kitosan memiliki sifat antimikroba dengan spectrum yang luas, baik terhadap
bakteri, jamur maupun kapang (Angka dan Suhartono, 2000).
Universitas Sumatera Utara
14
Hasil Penelitian Sebelumnya
Menurut penelitian Winarti, dkk (2012) bahwa pelapisan produk pangan
dengan edible coating/ telah banyak dilakukan dan terbukti dapat memperpanjang
masa simpan dan memperbaiki kualitas produk. Materi polimer untuk edible
coating yang paling potensial dan sudah banyak diteliti adalah yang berbasis patipatian. Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di
alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifatsifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating karena dapat membentuk yang
cukup kuat (Gracia, dkk., 2011).
Edible coating berbasis pati mempunyai kelemahan, yaitu resistensinya
terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga rendah karena sifat
hidrofilik pati dapat mempengaruhi stabilitas dan sifat mekanisnya. Rendahnya
stabilitas lapisan akan memperpendek daya simpan sehingga kurang optimal
karena uap air dan mikroba yang masuk melalui lapisan akan merusak bahan
pangan. Untuk meningkatkan karakteristik fisik maupun fungsional dari lapisan
pati, perlu dilakukan penambahan biopolimer atau bahan lain, antara lain bahan
yang bersifat hidrofobik dan atau yang memiliki sifat antimikroba. Salah satu
biopolimer hidrofobik yang direkomendasikan untuk memperbaiki karakteristik
lapisan dari pati (Chillo, dkk., 2008).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Strawberry
Strawberry (Fragaria sp.) merupakan tanaman buah yang di temukan
pertama kali di Chili yaitu spesies Fragaria chiloensis L, yang menyebar di
berbagai negara Amerika, Eropa, Asia. Spesies Fragaria vesca L, yang berasal
dari Amerika Utara lebih menyebar luas dan jenis strawberry inilah yang pertama
kali masuk ke Indonesia. Buah strawberry termasuk buah non klimakterik dan
dipanen dengan ciri-ciri berwarna merah (Kesumawati, dkk., 2012).
Strawberry juga merupakan salah satu jenis buah-buahan yang memiliki
nilai ekonomi yang paling tinggi. Beberapa manfaat buah strawberry yang telah
diketahui adalah untuk menyusutkan kadar kolesterol, mengandung zat anti alergi
dan radang, kaya akan vitamin C dan hanya sedikit mengandung gula yang cocok
bagi penderita diabetes (Kesumawati, dkk., 2012). Nilai gizi dan komposisi kimia
buah strawberry yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai gizi dan komposisi strawberry setiap 100 g bahan
Nilai gizi dan komposisi
Air (g)
Energi (Kkal)
Protein (g)
Total lipid (g)
Abu (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Magnesium (mg)
Fosfor (mg)
Potasium (mg)
Sodium (mg)
Vitamin C (mg)
Jumlah
80,66
50
0,58
0,60
0.80
17,36
5,4
21
0,22
17
27
292
37
37,0
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1996.
Universitas Sumatera Utara
5
Perubahan Mutu Buah Strawberry Selama Penyimpanan
Perubahan warna pada buah- buahan tersebut merupakan proses sintesis
dari suatu pigmen tertentu, seperti karotenoid dan flavonoid. Selain itu juga terjadi
perombakan klorofil. Warna pada buah segar dikelompokkan ke dalam empat
kelompok besar, yaitu: klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid. Pigmen
berwarna merah pada buah strawberry berasal dari antosianin. Pada kondisi pH
rendah antosianin akan memberikan warna merah, pada pH netral warnanya akan
menjadi biru sedangkan pada pH tinggi warna buah akan memucat. Pembentukan
pigmen pada buah dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan kandungan karbohidrat
pada buah stroberi, komponen warna lightness atau kecerahan secara keseluruhan
cenderung mengalami penurunan selama masa penyimpanannya. Perubahan
warna merupakan salah satu perubahan yang sangat menonjol pada proses
pematangan buah (Ashari, 2006).
Perubahan tekstur terjadi akibat adanya perubahan-perubahan sifat fisik
selama pemasakan buah (Pantastico, 1989). Perubahan terjadi karena adanya
perubahan komposisi senyawa-senyawa penyusun dinding sel, serta adanya
perombakan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut. Selama
pematangan buah kandungan pektat yang larut akan meningkat sehingga
kekerasan buah akan berkurang (Matto, 1989). Perubahan komposisi pada buah
juga akan berubah pada masa pasca panen seperti pati berubah menjadi gula,
kerusakan pektin dan asam organik (Muchtadi, 1992).
Sifat vitamin C adalah mudah berubah akibat oksidasi namun stabil jika
merupakan kristal (murni). Penyimpanan pada suhu rendah dapat mengurangi
Universitas Sumatera Utara
6
kegiatan respirasi dan metabolisme, memperlambat proses penuaan, mencegah
kehilangan air, dan mencegah kelayuan. Dalam keadaan temperatur rendah dan
kelembaban terpelihara, 50% vitamin C dalam buah-buahan maupun sayuran akan
hilang dalam 3-5 bulan. Hal ini dikarenakan vitamin C mudah sekali terdegradasi,
baik oleh temperatur, cahaya maupun udara sekitar sehingga kadar vitamin C
berkurang.
Proses kerusakan atau penurunan vitamin C ini disebut oksidasi. Secara
umum reaksi oksidasi vitamin C ada dua macam yaitu proses oksidasi spontan dan
proses oksidasi tidak spontan. Proses oksidasi spontan adalah proses oksidasi
yang terjadi tanpa menggunakan enzim atau katalisator. Sedangkan
proses
oksidasi tidak spontan yaitu reaksi yang terjadi dengan adanya penambahan enzim
atau katalisator (Helmiyesi, 2008). Selama pemasakan pada buah akan terjadi
peningkatan kadar gula yang memberikan rasa manis pada buah dan strawberry
memiliki kandungan gula yang paling sedikit sekitar 4-9 g (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992).
Ubi Jalar Merah (Ipomoea batatas L.)
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang dijadikan sebagai makanan
pokok di daerah tertentu. Di Indonesia umumnya ada empat jenis ubi jalar yang
dikelompokkan berdasarkan warnanya yaitu ubi jalar putih, ungu, oranye, dan
kuning, serta ubi jalar merah. Ubi jalar ungu memiliki warna ungu pekat karena
mengandung pigmen antosianin, sedangkan ubi jalar kuning dan merah
mengandung karotenoid (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur yang relatif pendek,
dan produksi yang tinggi ubi jalar oranye merupakan ubi jalar yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
7
kandungan β-karoten cukup tinggi. β-karoten ini merupakan sumber provitamin A
yang bermanfaat bagi kesehatan mata. Ubi jalar digunakan sebagai makanan
pokok kedua di negara berkembang selain beras. Selain sebagai sumber vitamin
A, β-karoten pada ubi jalar juga merupakan antioksidan alami yang bermanfaat
bagi kesehatan dalam melawan radikal bebas sehingga ubi jalar juga bermanfaat
dalam mencegah penyakit kanker (Dyah dan Putri, 2014).
Nilai gizi dan komposisi pada ubi jalar merah dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nilai gizi dan komposisi Ubi jalar merah setiap 100 g bahan
Komponen
Jumlah
Kalori (Kkal)
123,00
Protein (g)
1,80
Lemak (g)
0,70
Karbohidrat (g)
27,90
Kalsium (mg)
30,00
Fosfor (mg)
49,00
Zat besi (mg)
0,70
Vitamin C (mg)
22,0
Air (g)
68,50
Bagian yang dapat dimakan (%)
86,00
Sumber : Rukmana,1997.
Produksi
ubi
jalar
di
Indonesia
pada
tahun
2014
mencapai
2.386.729 ton/tahun, khususnya di Sumatera Utara mencapai 146.622 ton/tahun
(BPS, 2014). Ubi jalar dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras
di daerah yang produksinya tinggi karena mengandung kalori dan karbohidrat
yang tinggi (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar merah ini memiliki kandungan vitamin A (retinol) paling tinggi
di antara ubi jalar yang lain dan tidak hilang dengan proses perebusan. Selain itu,
serat yang terdapat pada ubi jalar merah ini berfungsi sebagai prebiotik yaitu
untuk merangsang pertumbuhan
bakteri
yang baik bagi usus sehingga
penyerapan zat gizi menjadi lebih baik dan usus lebih bersih (Rosidah, 2010).
Universitas Sumatera Utara
8
Ciri-ciri dari ubi jalar merah ini berbentuk umbi cenderung bulat,
permukaan kulit umumnya tidak rata, daging umbinya lebih keras dan warnanya
merah dibagian tengah dan warna putih dibagian kulit, serta rasanya tidak semanis
pada ubi jalar putih. Pada ubi jalar merah ini memiliki sekelompok antioksidan
yang tersimpan yang mampu menghalangi laju perusakan sel oleh radikal bebas.
(Rosidah, 2010).
Ubi jalar mengandung beberapa jenis gula oligosakarida yang dapat
menyebabkan flatuensi, yaitu stakiosa, rafinosa dan verbaskosa. Oligosakarida
penyebab flatuensi ini tidak dapat dicerna oleh bakteri karena adanya enzim
galaktosidase, tetapi dicerna oleh bakteri pada usus bagian bawah dan ini dapat
menyebabkan terbentuknya gas dalam usus besar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Pati Ubi Jalar Merah
Pati diperoleh melalui proses ekstraksi karbohidrat yaitu setelah dilakukan
pengecilan ukuran melalui grinding (pemarutan) kemudian di ekstrak dengan
memakai pelarut (biasanya dengan menggunakan air) untuk mengeluarkan
kandungan patinya dengan cara sendimentasi atau pengendapan yang selanjutnya
dikeringkan pada suhu dengan lama waktu tertentu untuk mendapatkan pati yang
siap digunakan (Martunis, 2012).
Kandungan amilosa pada pati ubi jalar sebesar 17,8% sedangkan fraksi
pati pada ubi jalar terdiri atas seperempat bagian amilosa dan tiga perempat
bagian amilopektin (Kusnandar, 2010). Secara fisik, granula pati memiliki ukuran
yang sangat kecil dengan diameter berkisar antara 2-100 μm dengan warna
granula putih. Secara kimiawi, pati merupakan homopolimer glukosa dengan
ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi terlarut disebut amilosa
Universitas Sumatera Utara
9
dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Pati ubi jalar memiliki sifat yang
berbeda dengan pati kentang, pati jagung atau tapioka. Ukuran granula pati ubi
jalar 2-25 µm yang berbentuk poligonal yang terdiri dari 20% amilosa dan 80%
amilopektin. Lapisan (film) akan terbentuk jika pati tergelatinisasi sebagian karena
perubahan pada amilosa dan amilopektin granula pati (Swinkels, 1985).
Pemanfaatan pati dewasa ini adalah sebagai bahan baku dalam industri
makanan, obat-obatan serta produk non pangan seperti tekstil, kemasan, deterjen,
dan pati juga banyak manfaat sebagai pengental, penstabil, pembentuk gel, dam
pembentuk film (Martunis, 2012). Penggunaan pati sebagai pelapis edible banyak
dikembangkan karena sumber pati yang melimpah dan harganya murah. Pati
memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk dijadikan bahan pelapis edibel karena dapat
membentuk lapisan yang kuat (Winarti, dkk., 2012).
Pelapis Edible
Polisakarida banyak diaplikasikan sebagai bahan pelapis edibel pada buah
dan sayur karena dapat berperan sebagai membran permeabel yang selektif
terhadap pertukaran gas CO2 dan O2 sehingga laju respirasi akan menurun. Pelapis
edibel jenis ini dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, pencoklatan pada
permukaan, menurunkan laju respirasi, memperbaiki flavor, warna, dan tekstur,
serta
memperbaiki
penampilan
dan
mencegah
pembusukan.
Adapun
kelemahannya yaitu mudah rusak karena resistensi yang rendah terhadap air serta
sifat penahan uap air yang rendah karena pati yang bersifat hidrofilik
(Winarti, dkk., 2012).
Beberapa keuntungan aplikasi pelapis edibel pada produk yaitu aw
permukaan bahan menurun sehingga mencegah kerusakan oleh mikroorganisme,
Universitas Sumatera Utara
10
permukaan bahan menjadi mengkilat, menurunkan susut bobot karena mengurangi
dehidrasi, mencegah oksidasi, mempertahankan flavor, dan memperbaiki
penampilan produk (Santoso, dkk., 2004). Metode aplikasi pelapis edibel pada
buah dan sayuran yaitu pencelupan, pembusaan, penyemprotan, penuangan dan
penetesan terkontrol. Pada buah, sayuran, daging, dan ikan yang paling banyak
digunakan adalah metode pencelupan, dimana bahan dicelupkan ke dalam larutan
pelapis. Pelapis edibel berperan sebagai pengemas primer pada produk tersebut
(Winarti, dkk., 2012).
Aplikasi coating polisakarida dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak,
dan pencoklatan pada permukaan serta mengurangi laju respirasi dengan
mengontrol komposisi gas CO2 dan O2 dalam atmosferinternal. Keuntungan lain
coating berbahan dasar polisakarida adalah memperbaiki flavor, tekstur, dan
warna, meningkatkan stabilitas selama penjualan dan penyimpanan, memperbaiki
penampilan, dan mengurangi tingkat kebusukan (Krochta, dkk., 1994).
Salah satu kelebihan edible coating
adalah dapat ditambahkan bahan
tambahan fungsional untuk dapat meningkatkan efektivitasnya. Secara umum,
bahan tambahan terdiri atas dua golongan, yaitu bahan untuk meningkatkan fungsi
coating seperti plasticizer dan emulsifier, dan bahan untuk meningkatkan kualitas,
stabilitas, dan keamanan seperti bahan antimikroba ,antioksidan, nutrasetikal,
flavor, dan pewarna (Lin dan Zhao 2007).
Selain berfungsi sebagai pengemas, pelapis edible juga dapat berperan
sebagai bahan pembawa senyawa-senyawa seperti antimikroba, antioksidan,
flavor maupun zat warna. Pelapis ini juga dapat menghambat terjadinya oksidasi
sehingga akan mencegah terjadinya penurunan kualitas serta memperpanjang
Universitas Sumatera Utara
11
umur simpan. Senyawa antimikroba yang biasanya ditambahkan pada pelapis
edibel adalah minyak atsiri dan kitosan (Huri dan Nisa, 2014)
Bahan-Bahan Pembuatan Pelapis Edibel
Adapun dibawah ini bahan-bahan pembuatan pelapis edibel, yaitu :
1. Gliserol
Gliserol
adalah
molekul
poliol
dengan
rumus
molekul
HOCH2CHOHCH2OH. Menurut nomenklatur IUPAC, gliserol disebut sebagai
Propan-1, 2, 3-triol. Massa molar adalah 92,09 g mol-1. Memiliki tiga gugus -OH
terikat pada tiga atom karbon terpisah. Gliserol dari hasil gula alkohol yang
berbentuk cairan tidak berwarna dan kental, tidak berbau dan juga dengan rasa
manis. Struktur gliserol berdasarkan Budisma (2011) dapat dilihat pada Gambar 1.
CH2-OH
CH-OH
CH2-OH
(gliserol)
Gambar 1. Struktur Gliserol.
Gliserol dapat dijadikan sebagai plasticizer dengan karakteristik yang
memiliki titik didih tinggi, larut dalam air, polar, dan non volatile, bersifat
hidrofilik dan mudah masuk ke dalam rantai protein. Penggunaannya sebagai
pemlastis lebih baik daripada sorbitol karena berbentuk cair, mudah tercampur
dalam larutan film dan terlarut dalam air sedangkan sorbitol berbentuk bubuk,
sulit bercampur dan mudah mengkristal pada suhu ruang (Awwaly, dkk., 2010).
Gliserol juga berfungsi meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air,
dan gas terlarut serta mengurangi kerapuhan. Pada pembuatan pelapis edibel dari
Universitas Sumatera Utara
12
pati penambahan gliserol akan membantu kelarutan pati dimana akan terbentuk
ikatan hidrogen antara gugus OH pati dan gugus OH gliserol. Peningkatan jumlah
gliserol dalam campuran pati-air mengurangi nilai tegangan dan perpanjangan
(Winarti, dkk., 2012).
2. Carboxyl Methil Celulose (CMC)
Dalam pembuatan pelapis edibel CMC berperan sebagai emulsifier yang
akan menghasilkan lapisan yang lebih stabil dan kuat. CMC juga berfungsi
menghambat penguapan air (Santoso, dkk., 2004). Berdasarkan hasil penelitian
(Mardiana, 2008) penggunaan CMC 1% pada pelapis edibel gel lidah buaya dapat
memperpanjang masa simpan buah belimbing sampai 21 hari.
3. Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C merupakan senyawa yang larut dalam air
dan dapat menghambat aktivitas enzim polifenolase. Senyawa ini berwujud kristal
putih kekuningan dan tidak berasa sehingga tidak mempengaruhi produk akhir.
Asam ini berperan sebagai antioksidan dalam reaksi pencoklatan enzimatis yang
menghasilkan oksigen pada permukaan (Robinson dan Eskin, 1991).
Pengaruh Edible Coating Terhadap Mutu Buah
Salah satu metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme
pada buah adalah dengan cara penyimpanan atmosfer terkendali. Metode ini
memerlukan biaya yang tinggi. Metode lain yang lebih praktis adalah dengan
meniru mekanisme atmosfer termodifikasi, yaitu dengan penggunaan bahan
pelapis (coating). Edible coating memberikan pengaruh terhadap mutu buah
sebagai lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap
Universitas Sumatera Utara
13
air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan
pencoklatan buah dapat diperlambat dan lapisan yang ditambahkan di permukaan
buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama-sama dengan buah
(Krochta, dkk., 1994).
Jenis-Jenis Edible Coating
• Edible coating berbasis lemak (minyak atsiri )
Secara umum, minyak atsiri memiliki sifat antibakteri yang kuatr terhadap
pathogen penyebab penyakit yang terdapat pada makanan(foodborne pathogen).
Hal ini karena minyak atsiri mengandung senyawa fenolik dalam konsentrasi
tinggi seperti carvacrol, eugenol, dan thymol, yang memiliki sifat antioksidan
dan antimikroba. Keuntungan penambahan bahan aktif antimikroba ke dalam
edible coating adalah meningkatkan daya simpan (Maizura, dkk., 2007).
• Edible coating berbasis pati (umbi-umbian)
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di
alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifatsifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating karena dapat membentuk lapisan
yang cukup kuat (Garcia, dkk., 2011).
• Edible coating berbasis kitosan
Kitosan telah banyak digunakan sebagai bahan pembuat biodegradable
film, dan pengawet pangan yang tahan terhadap mikroba. Sifat antibakteri kitosan
berasal dari struktur polimer yang mempunyai gugus amin bermuatan positif,
sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif.
Kitosan memiliki sifat antimikroba dengan spectrum yang luas, baik terhadap
bakteri, jamur maupun kapang (Angka dan Suhartono, 2000).
Universitas Sumatera Utara
14
Hasil Penelitian Sebelumnya
Menurut penelitian Winarti, dkk (2012) bahwa pelapisan produk pangan
dengan edible coating/ telah banyak dilakukan dan terbukti dapat memperpanjang
masa simpan dan memperbaiki kualitas produk. Materi polimer untuk edible
coating yang paling potensial dan sudah banyak diteliti adalah yang berbasis patipatian. Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di
alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifatsifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating karena dapat membentuk yang
cukup kuat (Gracia, dkk., 2011).
Edible coating berbasis pati mempunyai kelemahan, yaitu resistensinya
terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga rendah karena sifat
hidrofilik pati dapat mempengaruhi stabilitas dan sifat mekanisnya. Rendahnya
stabilitas lapisan akan memperpendek daya simpan sehingga kurang optimal
karena uap air dan mikroba yang masuk melalui lapisan akan merusak bahan
pangan. Untuk meningkatkan karakteristik fisik maupun fungsional dari lapisan
pati, perlu dilakukan penambahan biopolimer atau bahan lain, antara lain bahan
yang bersifat hidrofobik dan atau yang memiliki sifat antimikroba. Salah satu
biopolimer hidrofobik yang direkomendasikan untuk memperbaiki karakteristik
lapisan dari pati (Chillo, dkk., 2008).
Universitas Sumatera Utara