Pengaruh Konsentrasi Pati Ubi Jalar pada Bahan Pelapis Edibel Terhadap Mutu Buah Salak Terolah Minimal Se Penyimpanan

TINJAUAN PUSTAKA

Salak
Salak (Salacca edulis) merupakan buah asli Indonesia yang tersebar di
berbagai daerah. Ada berbagai jenis salak yang disebut berdasarkan daerah
asalnya yaitu salak Condet, salak Madura, salak Padangsidimpuan, salak Pondoh,
salak Bali, salak Manonjaya, salak Bangkok, dan salak Hutan. Selain disebut
berdasarkan daerah asalnya salak juga disebut berdasarkan rasanya seperti salak
Gula Pasir, salak Nangka, salak Nenas, dan salak Madu. Berdasarkan bentuk
tanaman, buah, dan rasa Salacca edulis dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu
salak Padangsidimpuan, salak Bali, dan salak Madura (Anarsis, 1999).
Salah satu salak yang produksinya tinggi dan telah dipasarkan ke berbagai
daerah adalah salak Padangsidimpuan. Buah ini memiliki bentuk yang besar, kulit
coklat kehitaman sampai kekuning-kuningan, sisik kulit buah yang besar dan
jarang serta mudah patah. Daging buahnya berwarna putih, putih krem atau putih
kemerah-merahan, dan berwarna merah bila belum tua. Rasa buahnya dicirikan
dengan rasa sepat dan bila masih muda rasa pahitnya dominan (Anarsis, 1999).
Adapun komposisi buah salak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai gizi dan komposisi salak per 100 gram bagian yang dapat dimakan
Jenis Kandungan
Jumlah

Kalori (kal)
77,0
Air (g)
69,69
Karbohidrat (g)
20,9
Protein (g)
0,4
Vitamin C (mg)
2,15
Kalsium (mg)
28
Vitamin B1 (mg)
0,04
Fosfor (mg)
18
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1996.

Universitas Sumatera Utara


Buah salak bersifat mudah rusak jika tidak dilakukan penanganan yang
tepat, kerusakan salak ditandai dengan bau busuk dan daging buah berwarna
kecoklatan serta menjadi lembek. Setelah pemanenan, buah ini masih terus
melakukan proses fisiologi seperti perubahan warna, respirasi, proses biokimia
ataupun perombakan fungsional akibat pembusukan oleh mikroba. Diperlukan
penanganan pascapanen yang tepat untuk mempertahankan kualitas dan
kesegarannya serta memperpanjang masa simpannya (Ristek, 2009).
Penyimpanan salak pada suhu kamar akan mengakibatkan salak lebih
mudah busuk, hal ini karena kandungan air yang cukup tinggi yaitu sebesar 78%
dan kandungan karbohidrat 20,9%. Masa simpan salak pada suhu kamar
hanya ±7 hari. Salah satu penanganan pascapanen yang dapat dilakukan pada
salak yaitu pelapisan. Pelapisan akan memperlambat proses respirasi dan
transpirasi pada buah salak (Manurung, dkk., 2014).
Selain dikonsumsi dalam bentuk segar, salak dapat diolah menjadi
berbagai produk seperti keripik salak, dodol salak, manisan salak, kurma salak,
dan selai salak. Pengolahan ini dilakukan untuk mengatasi masalah daya simpan
salak yang rendah dan untuk mengurangi rasa sepat yang kurang disukai
konsumen (Noerhartati, dkk., 2010).

Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang dijadikan sebagai makanan
pokok di daerah tertentu. Di Indonesia umumnya ada empat jenis ubi jalar yang
dikelompokkan berdasarkan warnanya yaitu ubi jalar putih, ungu, oranye, dan
kuning. Ubi jalar ungu memiliki warna ungu pekat karena mengandung pigmen

Universitas Sumatera Utara

antosianin, sedangkan ubi jalar kuning dan oranye mengandung karotenoid
(Juanda dan Cahyono, 2000).
Produksi
2.386.729

ubi

ton/tahun,

jalar

di


Indonesia

khususnya

di

pada

tahun

Sumatera

2014
Utara

mencapai
mencapai

146.622 ton/tahun (BPS, 2014). Ubi jalar dijadikan sebagai bahan pangan
alternatif pengganti beras di daerah yang produksinya tinggi karena mengandung

kalori dan karbohidrat yang tinggi (Juanda dan Cahyono, 2000).
Ubi jalar ungu jenis Yamagawamurasaki dan Ayamurasaki dimanfaatkan
sebagai pewarna alami

pangan pada pengolahan mie, jus, roti, selai, dan

minuman fermentasi. Kandungan nutrisi ubi jalar ungu yaitu vitamin A, C, serat
pangan, zat besi, potasium dan protein (Mais, 2008). Komposisi ubi jalar dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia ubi jalar ungu
Komposisi kimia
Air (%)
Abu (%)
Pati (%)
Protein(%)
Gula reduksi(%)
Serat kasar(%)
Lemak(%)
Vitamin C (mg/100 g)
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1996.


Jumlah
70,46
0,84
12,64
0,77
0,3
3
0,94
21,43

Pati Ubi Jalar Ungu
Pati tergolong kelompok polisakarida yang merupakan cadangan
karbohidrat dan ditemukan dalam banyak tanaman. Dalam organ tanaman pati
berbentuk granula atau serbuk. Sifat fungsional yang dimiliki pati menjadi faktor
utama penggunaannya sebagai ingridient dalam pengolahan pangan. Pati
biasanya digunakan sebagai pengental, penstabil, pembentuk gel, dan pembentuk

Universitas Sumatera Utara


film. Untuk memperoleh pati murni dapat dilakukan ekstraksi dari beberapa
sumber yaitu serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian, dan buahbuahan (Kusnandar, 2010).
Prinsip utama ekstraksi pati didasarkan pada sifat granula pati yang tidak
larut dalam air sehingga pada tahap pengendapan pati akan terpisah dari
komponen lainnya. Jika pati akan diaplikasikan dalam produk sebagai pembentuk
gel atau film edibel maka yang diperlukan adalah pati dengan kadar amilosa yang
lebih tinggi. Sedangkan bila akan digunakan sebagai pengental maka yang
sebaiknya digunakan adalah pati yang mengandung amilopektin tinggi
(Kusnandar, 2010).
Penggunaan pati sebagai pelapis edibel

banyak dikembangkan karena

sumber pati yang melimpah dan harganya murah. Pati memiliki sifat-sifat yang
sesuai untuk dijadikan bahan pelapis edibel karena dapat membentuk lapisan yang
kuat (Winarti, dkk., 2012). Pati ubi jalar memiliki sifat yang berbeda dengan pati
kentang, pati jagung atau tapioka. Ukuran granula pati ubi jalar 2-25 µm yang
berbentuk poligonal yang terdiri dari 20% amilosa dan 80% amilopektin. Lapisan
(film) akan terbentuk jika pati tergelatinisasi sebagian karena perubahan pada
amilosa dan amilopektin granula pati (Swinkels, 1985).

Aplikasi tapioka dengan konsentrasi 2% dan 3% terbukti mampu
memperpanjang masa simpan lempok durian (Santoso, dkk., 2004). Pelapis edibel
dari pati biji nangka dengan konsentrasi 3% dapat mencegah penurunan gula
reduksi buah salak selama penyimpanan (Santosa dan Wirawan, 2015). Pelapis
komposit yang terbuat dari tapioka 4% dan kitosan dapat menurunkan susut bobot
buah stoberi selama penyimpanan (Rokhati, dkk., 2015).

Universitas Sumatera Utara

Pengolahan Minimal Buah-buahan
Teknologi olah minimal merupakan salah satu teknik pengawetan
yang

dapat

mempertahankan

mutu

gizi


dan

sensori

bahan

pangan (Ohlsson, dkk., 2002). Buah atau sayuran segar yang diolah minimal
diberi berbagai perlakuan yang umumnya meliputi trimming, pengupasan,
pemotongan, pencucian, pengemasan dan penyimpanan pada suhu dingin. Metode
penanganan dan penyimpanan terhadap buah atau sayuran terolah minimal
berbeda dengan yang masih segar. Kerusakan jaringan saat pengolahan ini akan
mengakibatkan penurunan masa simpan (Hong dan Kim, 2004).
Dalam pengolahan ini, buah dan sayur diproses tanpa mengakibatkan
perubahan yang mencolok terhadap kesegarannya. Ciri utama dari komoditas
yang diolah minimal adalah kesegaran yang masih terjaga, praktis dan tidak ada
proses pengawetan. Aplikasi pengolahan minimal berbeda pada setiap komoditas
yang disesuaikan dengan karakteristiknya. Beberapa perlakuan dalam pengolahan
minimal adalah pencucian, pemotongan, dan pengemasan (Ragaert, dkk., 2004).
Pemotongan buah atau sayur akan mengakibatkan kerusakan sel dan

produk mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme karena kontak langsung
dengan udara. Produk terolah minimal tidak diberi perlakuan panas sehingga
harus disimpan pada suhu rendah untuk mencegah kerusakan mikrobiologis.
Penyimpanan pada suhu rendah juga akan menurunkan aktivitas metabolisme
produk (Antara, 2007).
Hal yang menjadi pertimbangan utama dalam produksi buah dan sayuran
terolah minimal yaitu mempertahankan mutu khususnya kesegaran serta aspek
sensori lainnya, mempertahankan nilai gizi, mencegah pembusukan oleh

Universitas Sumatera Utara

mikroorganisme serta menjamin keamanannya (Pardede, 2009). Kelemahan buah
terolah minimal yaitu lebih cepat rusak dan masa simpannya lebih pendek
dibandingkan dengan buah utuh pada suhu penyimpanan yang sama. Kerusakan
yang sering terjadi yaitu pencoklatan, penyimpangan flavor, pelunakan dan
kontaminasi pada permukaan buah sehingga buah terolah minimal tidak layak
konsumsi (Ahmad, dkk.,2010).
Produk terolah minimal dapat mengalami kerusakan karena terjadinya
perubahan sifat fisik akibat berbagai perlakuan yang diberikan. Oleh karena itu
diperlukan upaya untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan.

Kombinasi dengan penyimpanan pada suhu rendah dan pengemasan termodifikasi
merupakan cara yang umumnya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
(Corbo, dkk., 2006).
Upaya

yang

dapat

dilakukan

untuk

mencegah

kerusakan

dan

memperpanjang masa simpan buah terolah minimal yaitu aplikasi pelapis edibel,
penyimpanan pada suhu rendah, penggunaan zat aditif, dan pengemasan dengan
modifikasi atmosfer. Beberapa aplikasi lapisan edibel pada produk terolah
minimal yaitu pelapisan apel dengan wax, pelapisan alpukat dengan metilselulosa,
dan pelapisan wortel kupas dengan kitosan (Nasution, dkk., 2012).

Pelapis Edibel
Pelapis edibel atau edible coating merupakan lapisan tipis yang dapat
memberikan penahanan yang selektif terhadap massa. Film edibel berbeda dengan
pelapis edibel, dimana film edibel merupakan lapisan tipis yang diaplikasikan
dalam bentuk lembaran, sedangkan pelapis edibel diaplikasikan langsung pada
permukaan bahan pangan. Dua jenis kemasan ini merupakan kemasan primer

Universitas Sumatera Utara

yang ramah lingkungan dan aman dikonsumsi. Pelapis edibel dapat dibuat dari
polisakarida (karbohidrat), protein, lipid, dan komposit (Winarti, dkk., 2012).
Polisakarida banyak diaplikasikan sebagai bahan pelapis edibel pada buah
dan sayur karena dapat berperan sebagai membran permeabel yang selektif
terhadap pertukaran gas CO2 dan O2 sehingga laju respirasi akan menurun. Pelapis
edibel jenis ini dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, pencoklatan pada
permukaan, menurunkan laju respirasi, memperbaiki flavor, warna, dan tekstur,
serta

memperbaiki

penampilan

dan

mencegah

pembusukan.

Adapun

kelemahannya yaitu mudah rusak karena resistensi yang rendah terhadap air serta
sifat penahan uap air yang rendah karena pati yang bersifat hidrofilik
(Winarti, dkk., 2012).
Beberapa keuntungan aplikasi pelapis edibel pada produk yaitu aw
permukaan bahan menurun sehingga mencegah kerusakan oleh mikroorganisme,
permukaan bahan menjadi mengkilat, menurunkan susut bobot karena mengurangi
dehidrasi, mencegah oksidasi, mempertahankan flavor, dan memperbaiki
penampilan produk (Santoso, dkk., 2004). Metode aplikasi pelapis edibel pada
buah dan sayuran yaitu pencelupan, pembusaan, penyemprotan, penuangan dan
penetesan terkontrol. Pada buah, sayuran, daging, dan ikan yang paling banyak
digunakan adalah metode pencelupan, dimana bahan dicelupkan ke dalam larutan
pelapis. Pelapis edibel berperan sebagai pengemas primer pada produk tersebut
(Miskiyah, dkk., 2011).
Selain berfungsi sebagai pengemas, pelapis edibel juga dapat berperan
sebagai bahan pembawa senyawa-senyawa seperti antimikroba, antioksidan,
flavor maupun zat warna. Pelapis ini juga dapat menghambat terjadinya oksidasi

Universitas Sumatera Utara

sehingga akan mencegah terjadinya penurunan kualitas serta memperpanjang
umur simpan. Senyawa antimikroba yang biasanya ditambahkan pada pelapis
edibel adalah minyak atsiri dan kitosan (Huri dan Nisa, 2014).

Gliserol
Plasticizer merupakan bahan tambahan dalam pembuatan lapisan (film)
yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas dengan cara menurunkan gaya
intermolekuler sepanjang rantai polimernya sehingga film menjadi lentur. Jenis
dan konsentrasi pemlastis akan mempengaruhi karakteristik film yang terbentuk.
Beberapa jenis plasticizer yang biasa digunakan untuk lapisan edibel yaitu
gliserol, sorbitol, dan asam stearat (Yulianti dan Ginting, 2012).
Gliserol merupakan plasticizer dengan titik didih tinggi, larut dalam air,
polar, dan non volatile yang bersifat hidrofilik dan mudah masuk ke dalam rantai
protein. Penggunaannya sebagai pemlastis lebih baik daripada sorbitol karena
berbentuk cair, mudah tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air
sedangkan sorbitol berbentuk bubuk, sulit bercampur dan mudah mengkristal pada
suhu ruang (Awwaly, dkk., 2010). Penambahan gliserol 1,5% pada pati garut
butirat memberikan lapisan yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan
sorbitol dan sirup glukosa (Damat, 2008).
Penggunaan gliserol dalam pembuatan pelapis edibel akan menghasilkan
edibel yang lebih fleskibel dan halus (Mulyadi, dkk., 2007). Gliserol juga
berfungsi meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air, dan gas terlarut serta
mengurangi kerapuhan. Pada pembuatan pelapis edibel dari pati penambahan
gliserol akan membantu kelarutan pati dimana akan terbentuk ikatan hidrogen
antara gugus OH pati dan gugus OH gliserol. Peningkatan jumlah gliserol dalam

Universitas Sumatera Utara

campuran

pati-air

mengurangi

nilai

tegangan

dan

perpanjangan

(Winarti, dkk., 2012).

Carboxyl Methil Celulose (CMC)
CMC merupakan senyawa aditif yang berfungsi sebagai pengental,
stabilisator, pembentuk gel dan pengemulsi. Senyawa ini bersifat mudah larut
dalam air dingin maupun panas, dapat membentuk lapisan, stabil terhadap lemak,
dan tidak larut dalam pelarut organik. Penggunaan CMC sebagai senyawa aditif
berkisar 0,5-3,0% untuk memperoleh hasil optimum (Kamal, 2010). CMC adalah
turunan selulosa yang bersifat mengikat air dan digunakan untuk membentuk
tekstur halus (Indriyanti, 2006).
Dalam pembuatan pelapis edibel CMC berperan sebagai emulsifier yang
akan menghasilkan lapisan yang lebih stabil dan kuat. CMC juga berfungsi
menghambat penguapan air (Santoso, dkk., 2004). Berdasarkan hasil penelitian
Mardiana (2008) penggunaan CMC 1% pada pelapis edibel gel lidah buaya dapat
memperpanjang masa simpan buah belimbing sampai 21 hari.

Asam Askorbat
Asam askorbat atau vitamin C merupakan senyawa yang larut dalam air
dan dapat menghambat aktivitas enzim polifenolase. Senyawa ini berwujud kristal
putih kekuningan dan tidak berasa sehingga tidak mempengaruhi produk akhir.
Asam ini berperan sebagai antioksidan dalam reaksi pencoklatan enzimatis yang
menghasilkan oksigen pada permukaan (Robinson dan Eskin, 1991).
Antioksidan yang sering digunakan dalam pembuatan pelapis edibel
adalah asam sitrat dan asam askorbat yang bersifat mudah larut dalam air, mudah

Universitas Sumatera Utara

dicerna, tidak beracun, dan harganya murah. Mekanisme asam askorbat sebagai
antioksidan yaitu dengan menangkap radikal bebas dan memutus reaksi radikal
(Santoso, dkk., 2007).
Pada pembuatan pelapis edibel penambahan asam askorbat bertujuan
untuk menurunkan laju degradasi vitamin C pada bahan yang dilapisi. Pelapis
edibel yang mengandung antioksidan mampu memperpanjang masa simpan
produk (Miskiyah, dkk., 2011). Penambahan senyawa antioksidan pada lapisan
edibel memiliki dua fungsi, yaitu mencegah terjadinya oksidasi pada produk yang
dilapisi

dan

menangkal

radikal

bebas

yang masuk

ke

dalam

tubuh

(Huri dan Nisa, 2014).

Penyimpanan Buah Pada Suhu Rendah
Pendinginan merupakan teknik pengawetan pangan yang didasarkan pada
prinsip pengambilan panas dari bahan yang menyebabkan suhu bahan menurun.
Hal ini mengakibatkan reaksi biokimia dan perubahan akibat pertumbuhan
mikroba menjadi terhambat dan menurun sehingga masa simpan akan lebih
panjang. Semakin lama penyimpanan yang diinginkan maka suhu yang
dibutuhkan semakin rendah (Estiasih dan Ahmadi, 2009).
Suhu penyimpanan dingin untuk setiap buah dan sayuran berbeda-beda,
tergantung jenis dan karakteristiknya. Suhu yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan kerusakan sedangkan suhu yang rendah akan menghambat
metabolisme. Penyimpanan diatas suhu pembekuan juga dapat mengakibatkan
kerusakan dingin seperti chilling injury (Desrosier, 2008).
Perubahan keasaman dapat terjadi selama penyimpanan yang sesuai
dengan tingkat kemasakan dan suhu. Penyimpanan pada suhu 70 oF akan

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan peningkatan keasaman. Bersamaan dengan perubahan pola
klimakterik perubahan keasaman juga meningkat. Penggunaan suhu yang tinggi
saat penyimpanan akan mengakibatkan penurunan asam askorbat lebih cepat
(Pantastico, 1993).

Universitas Sumatera Utara