Strategi Bertahan Hidup Pemulung Di Kelurahan Tegal Sari Mandala Ii Kecamatan Medan Denai Kota Medan

BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1

Pemulung di Indonesia
2.1.1

Pengertian Pemulung

Pemulung adalah orang-orang yang melakukan kerja memungut mencari barang
rongsokan di tempat-tempat seperti bak sampah, rumah-rumah penduduk, jalan-jalan, sungai,
daerah pertokoan, daerah industry, dan tempat pembuangan sampah akhir (ade Emka,
1981:3)
Pemulung sendiri adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan memungut barangbarang bekas yang sudah tidak terpakai untuk dijual kepada pengusaha yang akan
mengolahnya menjadi suatu barang komoditas atau diolah sendiri, kemudian dijual kembali
Dalam menjalani pekerjaannya, ada terdapat 2 jenis pemulung, yaitu pemulung menetap
dan pemulung tidak menetap.
a. Pemulung menetap
Adalah pemulung yang bermukim digubuk-gubuk kardus, tripleks,seng, terpal dan
lain sebagainya di sekitar TPA (tempat pembuangan akhir)
Pemulung tidak menetap

adalah pemulung yang memungut sampah keliling dari gang ke gang , jalanan, TPS(
tempat pembuangan sementara) dan lain sebagainya
2.1.2

Standar Kebutuhan Hidup Layak di Indonesia
Di Indonesia yang menjadi dasar dalam penetapan upah minimum adalah

standar kebutuhan hidup layak (KHL). KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh seorang pekerja untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan social, untuk
kebutuhan satu bulan.

Universitas Sumatera Utara

Sejak diluncurkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pemerintah
menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum seperti yang diatur
dalam pasal 88 ayat 4. Komponen kebutuhan hidup layak (KHL) merupakan komponenkomponen pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan oleh seorang pekerja
lajang selama satu bulan. Komponen yang termasuk dalam standar KHL .
Standar KHL terdiri dari beberapa komponen yaitu :
1. Makanan dan Minuman
2. Sandang

3. Perumahan
4. Pendidikan
5. Kesehatan
6. Transportasi
7. Rekreasi dan Tabungan
Selangkapnya mengenai komponen standar kebutuhan hidup layak (KHL)
berdasarkan keputusan Menter Tenaga Kerja No.13 Tahun 2012 dapat dilihat pada
lampiran table 2.1
Mekanisme proses penetapan upah minimum berdasarkan standar KHL
a. Ketua dewan pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota membentuk tim survey
yang anggotanya terdiri dari unsur tripartit: perwakilan serikat pekerja, pengusaha,
pemerintah, dan pihak netral dari akademis
b. Standar KHL ditetapkan dalam kepmen No. 13 tahun 2012, berdasarkan standar
tersebut, tim survey Dewan Pengupahan melakukan survey harga untuk menentukan
nilai harga KHL yang nantinya akan diserahkan kepada Gebernur Provinsi masingmasing.
c. Survey dilakukan setiap satu bulan sekali dari bulan januari s/d September,
sedangkan untuk bulan Oktober s/d Desember dilakukan prediksi dengan membuat

Universitas Sumatera Utara


metode least square atau metode kuadrat terkecil. Hasil survey tiap bulan tersebut
kemudian diambil rata-ratanya untuk mendapat nilai KHL.
d. Nilai KHL ini akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
penetapan upah minimum yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja
kurang dari satu tahun. Upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih
dirundingkan secara bipartit antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha di
perusahan yang bersangkutan.
e. Berdasarkan

nilai

harga

survey

tersebut.

Dewan

pengupahan


juga

mempertimbangkan faktor lain : produktivitas, pertumbuhan ekonomi, usaha yang
tidak mampu, kondisi pasar kerja dan saran/pertimbangan dari Dewan Pengupahan
Provinsi/Kabupaten/Kotamadya
f.

Gubernur nantinya akan menetapkan besar nilai upah minimum. Penetapan upah
minimum ini dilakukan 60 hari sebelum tanggal berlakukanya yaitu setiap tanggal 1
januari

2.1.3 Kebijakan Pemerintah Tentang Kesejahteraan Sosial
Negara Indonesia adalah negara yang system ketatanegaraannya menitik beratkan
pada kesejahteraan warga negaranya yang disebut Walfare State atau negara kesejahteraan
yang secara langsung mengurusi kesejahteraan rakyatnya mulai dari bidang pendidikan,
jaminan kesehatan, jaminan social, dan sebagainya yang mengupayakan untuk memperkecil
jurang pemisah antara mereka yang kaya dan yang miskin melalui berbagai usaha pelayanan
kesejahteraan warga negaranya.
Sebagai negara kesejahteraan ,pemerintah harus mampu membuat program

pembangunan yang mampu menyerap angkatan kerja sehingga tidak terjadi permasalahan
kemiskinan dan pengangguran di negara tersebut. Akan tetapi, ketika program pemerintah
kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja , maka sektor informal
dengan segala kekurangnya mampu berperan sebagai penampung kerja dan menjadi

Universitas Sumatera Utara

alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Sehingga gelombang ketidakpuasan kaum
miskin dan para pengangguran terhadap ketidakmampuan pembangunan menyediakan
peluang kerja, untuk sementara dapat diredam lantaran tersedia peluang kerja di sektor
informal.
Untuk mewujudkan kesejahteraan social sebagai tujuan utama negara Republik
Indonesia dilaksanakan berbagai upaya, program, dan kegiatan yang disebut “Usaha
Kesejahteraan Sosial” baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat. UU No.11
tahun 2009 bagian II pasal 25 juga menjelaskan secara tegas tugas serta tanggung jawab
pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan social meliputi:
1. Merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial
2. Menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial
3. Melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

4. Memberikan

bantuan

sosial

sebagai

stimulan

kepada

masyarakat

yang

menyelenggarakan kesejahteraan sosial
5. Mendorong dan menfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan
tanggung jawab sosialnya
6. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang

kesejahteraan sosial
7. Menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasipelayanan
kesejahteraan sosial.
8. Melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas
pembangunan
9. Menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial
10. Melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial

Universitas Sumatera Utara

11. Mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan
kesejahteraan sosial tingkat nasional dan internasional
12. Memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan nasional
13. Melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial
14. Mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
2.2 Kemiskinan
2.2.1Pengertian Kemiskinan
Tidak mudah untuk mendefenisikan kemiskinan, karena kemiskinan itu mengandung

unsur ruang dan waktu. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan
tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang pesat dan
timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh
dunia dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai kebiasaan suatu masyarakat,
kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan
ekonomisnya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin
(Soerjono, 2006: 320)
Konsep kemiskinan pada jaman perang akan berbeda dengan konsep kemiskinan pada
jaman merdeka dan modern sekarang ini. Seseorang dikatakan miskin atau tidak miskin pada
jaman penjajahan dahulu akan berbeda dengan saat ini. Demikian juga dari sisi tempat,
konsep kemiskinan di negara maju tentulah berbeda dengan konsep kemiskinan di negara
berkembang. Mungkin keluarga yang tidak memiliki televise atau kulkas, seseorang yang
tidak dapat membayar asuransi kesehatan, seseorang yang tidak memiliki telepon genggam,
akses internet dan lain sebagainya di negara-negara Eropa dapat dikatakan miskin, namun
tidak demikian di negara-negara berkembang seperti di negara-negara Afrika.
Kemiskinan di sebagian negara justru ditandai dengan kelaparan, kekurangan gizi,
ketiadaan tempat tinggal, tidak dapat bersekolah, tidak mempunyai akses air bersih dan

Universitas Sumatera Utara


listrik. Definisi kemiskinan biasanya sangat bergantung dari sudut mana konsep tersebut
dipandang.
Menurut Badan Pusat Statistik, Kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi
standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan.
Bank dunia mendefinisikan bahwa kemiskinan berkenaan dengan ketiadaan tempat tinggal,
sakit dan tidak mampu untuk berobat ke dokter, tidak mampu untuk sekolah dan tidak tahu
baca tulis. Kemiskinan adalah bila tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa
depan.
Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a. Kemiskinan absolute
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan
yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang
memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian
kemiskinan diukur dengan membandingkat tingkat pendapatan orang dengan
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya
yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan
hidupnya.

b. Kemiskinan relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah

dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah
dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Menurut Matias Siagian (2012:114) secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan
secara katagoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian
besar, yaitu:
1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang mengalami
kemiskinan itu yang secara subtansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang
meliputi:
a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.
c. Mental emosional atau temperamental, seperti: malas, mudah menyerah dan
putus asa.
d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.
e. Sosial psikologis, seperti kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stres,
kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.
f.


Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan
lapangan kerja.

g. Aset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu dan keluarga yang
mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu
menjadikannya miskin, meliputi:
a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai aset dan alat memenuhi
kebutuhan hidup.
c. Terbatasnya pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor
informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang
tidak mendukung sektor usaha mikro.

Universitas Sumatera Utara

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor rill
masyarakat banyak.
f.

Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum
optimal, seperti zakat.

g. Dampak sosial negative dari program penyesuaian program struktural (structural
adjustment program)
h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
i.

Kondisi Geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.

j.

Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
l.

Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.

2.2.3 Ciri-Ciri Kemiskinan
Sulit memperoleh informasi secara jelas dan akurat. Berkaitan dengan indikasiindikasi seperti apa yang dapat digunakan sebagai penanganan untuk menyatakan secara
akurat, bahwa orang-orang seperti inilah yang disebut orang miskin.
Namun suatu studi menunjukan adanya lima cirri-ciri kemiskinan yaitu:
a. Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor
produksi sendiri seperti tanah yang cukup luas, modal yang memadat ataupun
keterampilan untuk melakukan suatu aktivitas ekonomi sesuai dengan mata
pencahariannya. Sebagai contoh kemiskinan itu bercirikan antara lain bahwa faktor
produksi yang dimiliki pada umumnya sedikit atau bahkan tidak ada, sehingga
kemampuan untuk mempertahankan apalagi meningkatkan produksipun tidak
mungkin. Lebih menyesakkan lagi faktor-faktor produksi yang dimiliki justru
digunakan untuk kebutuhan komsumsi, bukan untuk kebutuhan produksi, misalnya
modal atau dana tidak digunakan untuk investasi melainkan hanya untuk konsumsi
demi mempertahankan hidup. Kondisi seperti ini mengakibatkan banyak kasus
berhentinya usaha karena kekurangan atau ketiadaan modal.

Universitas Sumatera Utara

b. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk
memperoleh aset produksi karena kekuatan sendiri. Sebagai contoh, keluarga petani
dengan perolehan pendapatan hanya untuk konsumsi. Mereka tidak berpeluang
untuk memperoleh tanah garapan, benih, ataupun pupuk sebagai faktor-faktor
produksi.
c. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah. Kondisi seperti ini akan berpengaruh
terhadap wawasan mereka. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa waktu mereka
pada umumnya habis tersita semata-mata hanya untuk mencari nafkah sehingga
tidak ada waktu untuk belajar atau meningkatkan ketrampilan. Demikian juga
dengan anak-anak mereka, tidak dapat menyelesaikan sekolahnya karena harus
membantu orang tua mencari tambahan pendapatan. Artinya bagi mereka, anak
tersebut memiliki nilai ekonomis.
d. Pada umumnya mereka yang masuk ke dalam kelompok penduduk dengan katagori
setengah

menganggur. Pendidikan

dan

keterampilan

yang

sangat

rendah

mengakibatkan akses masyarakat miskin ke dalam berbagai sektor-sektor informal.
Bahkan pada umumnya mereka bekerja serabutan maupun musiman. Jika dikaji
secara totalitas, mereka sesungguhnya bukan bekerja sepenuhnya, bahkan mereka
justru lebih sering tidak bekerja. Sekilas mereka tidak menganggur, namun jika
digunakan indikator jam kerja, mereka justru masuk ke dalam katagori
pengangguran bayangan. Kondisi demikian mengakibatkan mereka memperoleh
pendapatan yang rendah pula.
e. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda, tetapi tidak
memiliki ketrampilan atau pendidikan yang memadai. Sementara itu, kota tidak siap
menampung gerak urbanisasi dari desa yang semakin keras. Artinya laju investasi di
perkotaan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan tenaga kerja sebagai akibat
langsung dari derasnya arus urbanisasi. Kodisi ini tentu tidak terlepas dari sifat statis
desa dalam mendukung kehidupan penduduknya. Dalam keadaan demikian,

Universitas Sumatera Utara

masyarakat desa cenderung melakukan migrasi ke kota karena dianggap sebagai
alternatif dalam upaya mengubah nasib (Siagian, 2012:20)
2.2.4 Aspek-Aspek Kemiskinan
Adapun aspek-aspek kemiskinan menurut Matias Siagian, yaitu:
a. Kemiskinan bersifat multi dimensi
Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar dari kondisi
kebutuhan manusia yang beraneka ragam. Ditinjau dari segi kebijakan umum, maka
kemiskinan itu meliputi aspek-aspek primer seperti miskin akan aset, organisasi
sosial, kelembagaan sosial berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang dianggap
dapat mendukung kehidupan manusia. Sedangkan aspek sukunder dari kemiskinan
adalah miskinnya informasi, jaringan sosial, dan sumber keuntungan yang semuanya
merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai jembatan memperoleh suatu
fasilitas yang dapat mendukung upaya mempertahankan bahkan meningkatkan
kualitas hidup.
b. Aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.
Sebagai konsekwensi logisnya kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek
dapat mengakibatkan kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya. Justru kondisi
seperti inilah yang mengakibatkan tidak mudahnya menganalisis kemiskinan itu
menuju pada pemahaman yang salah tentang kemiskinan itu sendiri. Bahkan,
kemiskinan hanya dapat dipahami melalui pendekatan interdisiplinear.
c. Kemiskinan itu adalah fakta yang terukur.
Fenomena yang sering kita temui adalah, pendekatan yang diperoleh sekelompok
yang bermukin di tempat yang sama, namun kualitas individu atau keluarga yang
dimiliki mungkin saja berbeda. Keadaan yang demikian sering mengondisikan kita
untuk mengindentifikasi kemiskinan sebagai sesuatu yang serba abstrak dan tidak

Universitas Sumatera Utara

mungkin diukur. Ada pula yang cenderung menyatakan kemiskinan itu sebagai
abstraksi dari perasaan sehingga mustahil untuk diukur cara berfikir seperti ini harus
dicegah karena akan menjauhkan kita dari pemahaman yang benar dan holistic
tentang kemiskinan itu sehingga kita pun mustahil dapat menemukan solusi
(Siagian,2012: 13)
Karena kemiskinan

adalah

fakta yang terukur,

maka

kemiskinan

dapat

diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkat ( Siagian, 2012: 14) , seperti:

1. Miskin
2. Sangat miskin
3. Sangat miskin sekali
Demikian halnya dengan BKKBN sering mengklasifikasi kondisi kehidupan
masyarakat ke dalam berbagai tingkat seperti:
1. Prasejahtera
2. Sejahtera 1
3. Sejahtera 2
Berbagai klasifikasi yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa kemiskinan
merupakan fakta yang terukur.
a.Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan pedesaan (rural poverty), kemiskinan perkotaan
(urban poverty), dan sebagainya. Berbagai istilah tersebut bukanlah berarti bahwa yang
mengalami kemiskinan itu adalah desa atau kota. Kondisi desa atau kota itu merupakan
penyebab kemiskinan bagi manusia. Dengan demikian pihak yang menderita miskin
hanyalah manusia, baik secara individual maupun kelompok dan bukan wilayahnya.
Sementara itu menurut Drewnoski (dalam Siagian, 2012) mengemukakan adanya
Sembilan komponen yang harus disertakan dalam kajian kebutuhan pokok dalam rangka
penentuan indikator kemiskinan. Sembilan indikator tersebut adalah:

Universitas Sumatera Utara

1. Gizi
2. Sandang
3. Tempat berlindung
4. Kesehatan
5. Pendidikan
6. Waktu terluang
7. Ketenangan hidup
8. Lingkungan sosial
9. Lingkungan fisik
Dengan indikator kemiskinan tersebut juga merupakan indikator kesejahteraan sosial
ekonomi suatu masyarakat. Pendekatan terbaru, yaitu pendekatan yang dilakukan BPS
terhadap seleksi 30 variabel kemiskinan yang menghasilkan delapan bariabel sensitive
dalam mengidentifikasi kemiskinan, yaitu:
1. Luas lantai perkapita