Kedudukan Iklan Dalam Jual Beli Apartemen Ditinjau Dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Chapter III V

BAB III
KEDUDUKAN IKLAN DALAM JUAL BELI APARTEMEN DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH
SUSUN
A. Tinjauan Umum Rumah Susun
Dalam menjalani kehidupan di era globalisasi ini, tentunya manusia
memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Perumahan dan
pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar yang berperan penting dalam
kehidupan manusia. Namun seiring dengan perkembangan zaman, ketersediaan
lahan kosong yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dan
pemukiman juga semakin terbatas. Karena itulah dalam mengatasi keterbatasan
lahan ini, ditemukanlah konsep pembangunan rumah susun.
Pembangunan rumah susun merupakan solusi bagi masyarakat Indonesia
atas keterbatasan alokasi lahan untuk perumahan maupun untuk sentra niaga
bisnis dan sekitarnya. Pembangunan rumah susun dianggap sebagai solusi karena
tidak membutuhkan tanah yang luas dan dapat menampung banyak orang dalam
suatu bangunan. Saat ini, di beberapa kota besar sudah mulai bermunculan
gedung-gedung yang dibangun dengan konsep rumah susun atau condominium
baik berupa rumah susun murah sampai apartemen mewah.74
1. Pengertian Rumah Susun Pada Umumnya
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang


74

Arie Sukanti Hutagalung, dkk., Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Ed.
Pertama, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2012), hlm. 269.

64
Universitas Sumatera Utara

65

Rumah Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Pengertian mengenai rumah susun tersebut dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 sama seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan demikian tidak ada perubahan
mengenai pengertian tentang makna dari rumah susun itu baik yang dijelaskan

dalam UURS yang lama maupun yang baru. Dalam Penjelasan Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan bahwa rumah susun
yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan
pengertian hukum bagi rumah susun yang senantiasa mengandung sistem
pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian
atau bukan hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan
sistem pembangunan.75 Dengan demikian berarti tidak semua rumah susun itu
dapat disebut rumah susun menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985,
tetapi setiap rumah susun adalah selalu rumah susun.76
Jika rumusan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya
itu dicermati, diperoleh pemahaman sebagai berikut:

75 Erwin Kallo, Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun,
(Jakarta : Minerva Athena Pressindo, 2009, hlm. 28.
76Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op Cit, hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

66


a. Rumah susun merupakan terminologi hukum Indonesia untuk
mengekspresikan bangunan gedung bertingkat yang mengandung
pemilikan perseorangan dan hak bersama. Dalam pengertian inilah,
maka rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium,
flat atau apartment.
b. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat “yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun
vertikal” (Pasal 1 angka 1 UURS). Dalam Penjelasan UURS di atas
menyatakan “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah
horizontal dan vertikal”. Kata “maupun” serta “dan” perlu dicermati
oleh karena membawa konsekuensi pada ruang lingkup UURS.
Apakah pengaturan pemilikan satuan ruang dalam rumah susun selain
rumah susun dapat tunduk pada UURS. Urgensi telaah kata “maupun”
serta “dan” tersebut semakin berarti, terutama jika dikaitkan dengan
Penjelasan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 yang
mencontohkan “rumah toko, rumah sarana industri dan lain-lain” yang
dibangun di atas tanah bersama sebagai rumah susun yang tidak
termasuk dalam pengertian rumah susun.77 Selanjutnya, Penjelasan
pasal 79 PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut menyebutkan bahwa contoh
bangunan gedung tidak bertingkat yang dibangun di atas tanah

77

Dalam teori hukum, ketidaksinkronan pengertian rumah susun di dalam Pasal 1 angka 1
dengan Penjelasan Umum UURS akan “dimenangkan” Pasal 1 angka 1 UURS oleh karena Pasal 1
angka 1 yang lebih spesifik (rinci) merumuskan pengertian rumah susun dibandingkan dengan
Penjelasan Umum UURS. Selanjutnya ketidaksinkronan (pertentangan) antara Pasal 1 angka 1
UURS dengan Penjelasan Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 “dimenangkan “ Pasal 1 angka 1 oleh
karena di dalam peraturan perundang-undangan diberlakukan asas “Hukum yang lebih tinggi
mengenyampingkan hukum yang lebih rendah” (lex superior de rogat lex inferior)

Universitas Sumatera Utara

67

bersama dalam suatu lingkungan adalah rumah-rumah peristirahatan,
rumah kota (town house), dan lain-lain.
Menurut A.P Parlindungan, sebenarnya rumah susun itu adalah suatu
istilah yang dibuat oleh perundangan kita yang berwujud sebagai suatu
perumahan yang dimiliki oleh beberapa orang/badan hukum secara terpisah
dengan segala kelengkapan sebagai suatu tempat hunian ataupun bukan

hunian, untuk perkantoran, usaha komersil dan lain-lain, dengan akses
tersendiri untuk keluar ke jalan besar dan dengan segala hak dan kewajibannya
dan mempunyai bukti-bukti tentang haknya tersebut, dengan berdimensi
horizontal dan vertikal.78
Menurut

Arie

S.

Hutagalung

dalam

bukunya

“Membangun

Condominium (Rumah Susun), Masalah-Masalah Yuridis Praktis Dalam
Penjualan, Pemilikan, Pembebanan serta Pengelolaannya”, bahwa rumah

susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat, atau
apartment. Kondominium berasal dari kata condominium, jika dipenggal, co
berarti bersama-sama, dominium berarti pemilikan. Istilah yang dipakai
berbeda menurut sistem hukum yang bersangkutan, misalnya di Inggris
disebut joint property, di Amerika menggunakan istilah condominium,
sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title. Di
antara istilah-istilah tersebut di atas, istilah strata title yang lebih
memungkinkan adanya pemilikan bersama secara horizontal, di samping
pemilikan secara vertikal. Walaupun di Indonesia digunakan istilah seperti:

78

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang….hlm.99

Universitas Sumatera Utara

68

rumah susun, apartemen, flat, maupun kondominium, namun bahasa hukum
semuanya disebut rumah susun, karena mengacu pada Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1985 yang kini diganti menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011.79
2. Asas-Asas Rumah Susun
Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 dan penjelasannya
menyatakan bahwa asas penyelenggaraan rumah susun adalah sebagai berikut:

a. Asas kesejahteraan
Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu
mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
b. Asas keadilan dan pemerataan
Yang dimaksud dengan asas keadilan dan pemerataan adalah
memberikan hasil pembangunan di bidang rumah susun agar dapat
dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.
c. Asas kenasionalan
Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah memberikan
landasan agar kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan nasional.
d. Asas keterjangkauan dan kemudahan
Yang dimaksud dengan asas keterjangkauan dan kemudahan adalah

memberikan landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat

79

Oloan Sitorus & Balans Sebayang, Kondominium…Op. Cit., hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

69

dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong
terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR.
e. Asas keefisienan dan kemanfaatan
Yang dimaksud dengan asas keefisienan dan kemanfaatan adalah
memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan
dengan memaksimalkan potensi sumber daya tanah, teknologi rancang
bangun, dan industri bahan bangunan yang sehat serta memberikan
kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
f. Asas kemandirian dan kebersamaan
Yang dimaksud dengan asas kemandirian dan kebersamaan adalah

memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun bertumpu pada
prakarsa, swadaya, dan peran serta masyarakat sehingga mampu
membangun kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri serta
terciptanya kerja sama antar pemangku kepentingan.

g. Asas kemitraan
Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah memberikan landasan
agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat
dengan prinsip saling mendukung.
h. Asas keserasian dan keseimbangan
Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan adalah
memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan

Universitas Sumatera Utara

70

dengan mewujudkan keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan
ruang.

i. Asas keterpaduan
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah memberikan landasan
agar rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.
j. Asas kesehatan
Yang dimaksud dengan asas kesehatan adalah memberikan landasan
agar pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat, syarat
kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat.
k. Asas kelestarian dan keberlanjutan
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah
memberikan landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan
menjaga keseimbangan lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan
kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan
penduduk dan keterbatasan lahan.

l. Asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan
Yang dimaksud

dengan asas


keselamatan,

kenyamanan, dan

kemudahan adalah memberikan landasan agar bangunan rumah susun
memenuhi persyaratan keselamatan, yaitu kemampuan bangunan
rumah susun mendukung beban muatan, pengamanan bahaya
kebakaran, dan bahaya petir; persyaratan kenyamanan ruang dan gerak
antar ruang, pengkondisian udara, pandangan, getaran, dan kebisingan;

Universitas Sumatera Utara

71

serta persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam
bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah susun termasuk
fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
m. asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan
Yang dimaksud dengan asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan
adalah memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah
susun dapat menjamin bangunan, lingkungan, dan penghuni dari segala
gangguan dan ancaman keamanan; ketertiban dalam melaksanakan
kehidupan

bertempat

tinggal

dan

kehidupan

sosialnya;

serta

keteraturan dalam pemenuhan ketentuan administratif.

B. Tinjauan Umum Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya
Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui
oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia
usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli
barang,

tanah,

perumahan,

apartemen,

pemberian

kredit,

asuransi,

pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha, dan sebegitu jauh
menyangkut juga tenaga kerja.80
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam membuat

80

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), hlm.

93.

Universitas Sumatera Utara

72

perjanjian, kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian sama
dan sederajat. 81
Pengertian perjanjian tersebut ternyata memiliki arti yang luas dan
umum sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu perjanjian dibuat.
Hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih, mengikatkan dirinya
pada pihak lainnya. Karena itu suatu perjanjian akan lebih tegas artinya, jika
pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang
harta kekayaan.
KUH Perdata menyebut perjanjian dengan istilah persetujuan. Menurut
pasal 1313 KUH Perdata, pengertian persetujuan dapat didefinisikan sebagai
berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, disebutkan bahwa perjanjian
merupakan perbuatan hukum mengenai benda harta kekayaan antara 2 (dua)
pihak, dalam hal mana satu pihak berjanji untuk melaksanakan suatu hal,
sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.82
Dikemukakan oleh R. Subekti bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana kedua orang tersebut

81

Drs. Mohd. Syaufii Syamsuddin, S.H., M.H., Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan
Industrial, (Jakarta : PT. Sarana Bhakti Persada, 2005), hlm. 3.
82
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
(Bandung: Sumur, 1992), hlm. 12.

Universitas Sumatera Utara

73

saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.83 Dari peristiwa itu timbul
hubungan hukum antara 2 (dua) pihak yang dinamakan perikatan.
Dari pengertian perjanjian di atas, secara umum Abdulkadir
Muhammad, mengatakan sebagai berikut:84
a. ada pihak-pihak sedikitnya dua orang
Persetujuan disini adalah merupakan keputusan, setelah dilakukannya
perundingan. Karena perundingan itu sendiri adalah tindakan pendahulu untuk
menuju tercapainya persetujuan. Selanjutnya persetujuan itu ditunjukkan
dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat dan
objek perjanjian tersebut, maka timbullah persetujuan sebagai salah satu syarat
dari perjanjian.
b. ada persetujuan diantara pihak-pihak itu;
Dalam suatu perjanjian pihak-pihak merupakan unsur yang utama,
karena disamping pihak-pihak itu dijadikan sebagai subjek perjanjian, juga
perjanjian itu tidak akan pernah ada apabila tidak adanya pihak yang
menginginkan, membuat perjanjian itu. Pihak-pihak dalam perjanjian itu yang
menurut hukum perjanjian merupakan subjek perjanjian selain berupa manusia
juga dapat berupa badan hukum. Karena menurut hukum, manusia dan badan
hukum merupakan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan
hukum di dalam masyarakat.
c. ada tujuan yang akan dicapai

83
84

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1980), hlm. 1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hlm.

78.

Universitas Sumatera Utara

74

Tujuan mengadakan perjanjian adalah mencapai sesuatu yang
dibutuhkan oleh pihak-pihak. Kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi
dengan cara mengadakan perjanjian dengan orang lain. Namun belum berarti
para pihak boleh mengadakan perjanjian dengan mencapai kebutuhan tersebut
secara bebas yang mutlak. Karena undang-undang telah membatasinya,
dimana tujuan yang akan dicapai itu tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, disesuaikan dan bertentangan dengan undang-undang.
d. ada prestasi yang akan dilaksanakan
Sebagai akibat adanya persetujuan timbullah kewajiban untuk
melakukan suatu prestasi yang merupakan kewajiban para pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian.
e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
Bentuk perjanjian ini berguna untuk dijadikan dasar kekuatan
mengikat dan kekuatan pembuktiannya. Bentuk perjanjian ini biasanya dibuat
dalam bentuk akte atau tulisan. Selain itu perjanjian diperbolehkan juga untuk
dibuat secara lisan, dalam hal ini sebagai catatan haruslah diperbuat dengan
kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya.
f. ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat ini pada hakikatnya adalah merupakan isi perjanjian.
Karena dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban pihakpihak. Kemudian syarat-syarat tersebut pada umumnya terdiri dari syaratsyarat pokok, seperti tentang barang, dan harganya. Serta syarat-syarat

Universitas Sumatera Utara

75

perlengkapan, seperti cara pembayaran, cara penyerahan barang dan
sebagainya.
Suatu perjanjian akan menerbitkan suatu perikatan diantara para pihak
yang membuatnya. Dalam bentuknya, suatu perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan atau kalimat-kalimat yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau dibuat dalam tulisan oleh para pihak yang
membuat perjanjian menerbitkan perikatan. Perikatan adalah suatu pengertian
abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hak yang konkrit atau suatu
peristiwa.
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,
dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Apabila dibuat secara tertulis, perjanjian
tertulis dimaksud bersifat sebagai pembuktian apabila terjadi perselisihan.
Walaupun untuk beberapa perjanjian tertentu, apabila bentuk tertulis itu tidak
dilakukan, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, pada zaman sekarang ini
perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, dalam bentuk akta bawah tangan
atau akta otentik yang dibuat sebagai alat pembuktian.85
Adapula

untuk

beberapa

perjanjian

tertentu,

undang-undang

menentukan lain mengenai suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu
tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah, misalnya perjanjian kerja waktu
tertentu. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidak hanya semata-mata
merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya
perjanjian itu sendiri.

85

Ibid., hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

76

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo,
adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar belakang dari
peraturan hukum yang konkrit, yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.86
Di dalam membuat perjanjian, terdapat 10 (sepuluh) asas yang harus
diperhatikan, antara lain:87
a. Asas Konsensualisme.
Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1
KUH Perdata. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan oleh para
pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga
disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
b. Asas Kebebasan Berkontrak.
Dalam Pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,
mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/
86
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty,
1991), hlm. 97.
87
Drs. Mohd. Syaufii Syamsuddin, S.H., M.H., op.cit., hlm. 20-23.

Universitas Sumatera Utara

77

pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu
tertulis atau lisan.
c. Asas Kepercayaan.
Seseorang

yang

mengadakan

perjanjian

dengan

pihak

lain,menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu
sama lain akan memegang janjinya dengan kata lain akan memenuhi
prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka
perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak, dengan
kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya untuk keduanya
prrjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
d. Asas Kepribadian.
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak
secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan
kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak
dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
e. Asas Itikad Baik.
Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3
BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur
dan

Debitur

harus

melaksanakan

substansi

kontrak

berdasarkan

kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.

Universitas Sumatera Utara

78

Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi adalah orang memperhatikan
sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan itikad mutlak,
penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang
objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut normanorma yang objektif.
f. Asas Persamaan Hukum.
Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat dan
tidak dibedabedakan baik dari warna kulitnya,bangsa.kekayaan,jabatan
dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini
dan mengharuskan kedua pihak untuk saling menghormati satu sama lain
sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
g. Asas Keseimbangan.
Suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranatapranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di
dalam KUH Perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang
individualism pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain
pihak.88
h. Asas Pacta Sunt Servanda.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian
hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
88

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya, 2010), hlm. 29.

Universitas Sumatera Utara

79

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW
yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang.”
i. Asas Kebiasaan.
Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. Pasal 1347 KUH Perdata,yang
dipandang sebagai bagian dari perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa
saja yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam
kebiasaan dan lazim diikuti.
j. Asas Kepatutan.
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata.Asas
kepatutan di sini barkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Asas
ini merupakan ukuran tentang hubungan yang ditentukan juga oleh rasa
keadilan masyarakat.89
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Sebuah perjanjian yang telah memenui syarat dan sah, mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar
keberadaan suatu perjanjian diakui sebagai undang-undang bagi para pihak,

89
Efendi Pakpahan, ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN,
http://ilmuef.blogspot.co.id/2015/11/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian.html, diakses pada tanggal
16 Desember 2016, Pukul 09:19 WIB.

Universitas Sumatera Utara

80

maka harus dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang.90
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian
adalah:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
Sepakat berarti adanya penyesuaian kehendak antara kedua belah
pihak setuju mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Berarti apa yang
dikehendaki oleh pihak satu juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Para
pihak menghendaki sesuatu secara timbal balik. Yang merupakan teori
dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan
penerimaan”. Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya suatu
kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari
salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh
pihak lain dalam kontrak tersebut.91 Teori ini diakui secara umum di setiap
sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan
di negara-negara yang menganut sistem hukum common law.
Ada pula perjanjian yang untuk sahnya diperlukan bentuk tertentu.
Jika bentuk ini tidak dipenuhi, maka perjanjiannya batal demi hukum.
Pasal 1321 KUH Perdata juga menerangkan bahwa apabila perjanjian
didapat karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan maka perjanjian tersebut
mengalami cacat hukum. Cacat hukum yang dimaksud diterangkan dalam
Pasal 1324 KUH Perdata, antara lain:
90
91

Ibid., hlm. 7
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum..., Op.cit., hlm. 76.

Universitas Sumatera Utara

81

1) Paksaan (Dwang)
Paksaan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
perbuatan karena takut dengan ancaman atau dibawah ancaman
baik ancaman secara fisik maupun ancaman secara psikis dan
rohani.
2) Kesesatan atau Kekhilafan (Dwaling)
Yaitu keadaan dimana masing-masing pihak saling tersesat
terhadap objek dari perjanjian atau pernyataan kesesuaian
kehendak dari salah satu pihak tidak sesuai dengan kehendaknya.
Kekhilafan terdapat dua macam antara lain mengenai orangnya dan
mengenai bentuknya yaitu objek perjanjian.
3) Penipuan (Bedrong)
Menurut R. Subekti penipuan terjadi karena apabila salah satu
pihak dengan sengaja mmberikan keterangan-keterangan yang
tidak benar disertai tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
agar memberikan perijinannya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada umumnya syarat sahnya suatu perjanjian adalah apabila
dibuat oleh orang yang sudah cakap hukum, artinya orang yang sudah
dewasa dan sehat akal pikirannya. Berdasarkan pasal 330 KUH Perdata,
seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari
21 tahun tetapi telah menikah. Mengenai orang-orang yang tidak cakap

Universitas Sumatera Utara

82

untuk membuat perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1330 KUH
Perdata, yaitu:
1) Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang
ditentukan lain)
2) Mereka yang berada di bawah pengampuan (curatele or
conservatorship); dan
3) Perempuan yang sudah menikah. Namun syarat ini telah
dicabut dan diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap
Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang, yang
menyatakan bahwa pasal-pasal 108 dan 110 KUH Perdata
tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan
hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin
atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak
ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia. 92
c. Adanya objek perjanjian
Suatu perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan,
artinya apa yang diperjanjikan harus secara tegas mengenai suatu hal,
karena sesuatu yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan atau
dinikmati, kalau berupa barang misalnya dapat dinikmati, atau dapat
ditentukan dan dihitung, karena hal ini menyangkut hak dan kewajiban
kedua belah pihak jika terjadi perselisihan. Jika tidak, maka perjanjian itu
92

Republik Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang
Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.

Universitas Sumatera Utara

83

batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh
undang-undang secara tegas.
d. Adanya sebab yang halal
Sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang,
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu
perjanjian yang dibuat dengan sebab yang tidak halal, tidak sah menurut
hukum.

C. Tinjauan Umum Pengertian Pelaku Usaha (Developer)
Developer atau sering disebut dengan pengembang adalah perusahaan
yang menjalankan bisnisnya untuk membangun sebuah kawasan dengan penataan
infrastruktur dan fasilitas yang terdesain dengan baik, melalui analisis desain yang
memperhatikan pengembangan ruang terbuka, fasilitas umum, sarana dan
prasarana, sistem transportasi, serta perencanaan pertumbuhan kawasan
dikemudian hari.93
Tujuan umum pengembang adalah menyiapkan sebuah hunian atau produk
kelompo bangunan yang siap untuk digunakan baik sebagai hunian, bisnis, atau
kavling-kavling yang intinya dapat menarik minat para konsumen, bahkan
beberapa pengembang memberi jasanya hingga memfasilitasi urusan perijinan dan
93

http://hariansib.com/?p=86664, diakses pada tanggal 30 Oktober 2016, Pukul 15:52

WIB

Universitas Sumatera Utara

84

urusan jual beli, serta melakukan kerjasama dengan bank pemberi kredit agar
konsumennya mudah mendapatkan kredit.
Secara otentik pengertian pelaku usaha ditemukan dalam Pasal 1 angka (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam
pasal tersebut dinyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pengertian
pelaku usaha dalam UU No. 8 Tahun 1999 ini sama dengan pengertian pelaku
usaha yang terdapat dalam Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.94
Unsur-unsur definisi pelaku usaha adalah sebagai berikut:95
1. Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:
a) Orang perorangan, yaitu setiap individu yang melakukan kegiatan
usahanya secara seorang diri.
b) Badan usaha, yaitu kumpulan individu yang secara bersama-sama
melakukan kegiatan usaha. Selanjutnya badan usaha dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yaitu badan hukum, yang menurut hukum merupakan

94

Semua pengembang diatur oleh Pembangunan Perumahan (Pengendalian dan
Perizinan) ketika mereka melakukan pembangunan perumahan yang melibatkan pembangunan
lebih dari empat akomodasi perumahan. (Azlinor and Rozanah AB. Rahman, Journal of Economic
and
Management
2
(1)
:
141-156
(2008)
ISSN
1823

836),
http://www.econ.upm.edu.my/ijem/vol2no1/bab7.pdf, diakses pada tanggal 30 Oktober 2016,
Pukul 16:48 WIB
95
Wibowo Tunardy, Pengertian Pelaku Usaha serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha,
http://www.jurnalhukum.com/pengertian-pelaku-usaha/, diakses pada tanggal 16 Desember 2016,
Pukul 10:01 WIB.

Universitas Sumatera Utara

85

badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum
adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi. Kemudian, badan usaha
yang bukan badan hukum dapat dikelompokkan ke dalam kategori seperti
firma atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara
insidentil. Badan usaha tersebut harus memenuhi kriteria yakni, didirikan
dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
melakukan kegiatan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
2. Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.
3. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, bukan
hanya pada bidang produksi.
Sebagai suatu bentuk perjanjian yang tunduk kepada ketentuan umum
yaitu buku III khususnya Bab II dan IV KUH Perdata, berbagai maam hak,
kewajiban, serta pertanggungjawaban yang dilahirkan dari perjanjian-perjanjian
periklanan tidaklah boleh menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu asas kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang
berlaku di dalam masyarakat. Salah satu hukum yang harus ditaati oleh pelaku
usaha periklanan adalah sebagaimana yang diatur dalam UUPK.96
Disamping adanya hak dan kewajiban pelaku usaha, adapula tanggung
jawab yang harus dipikul oleh developer sebagai bagian dari kewajiban yang
mengikat kegiatannya dalam berusaha, sehingga diharapkan adanya kewajiban
developer (pelaku usaha) untuk selalu berhati-hati dalam memproduksi barang
dan jasa yang dihasilkan. Tanggung jawab yang dimaksud sebagai upaya untuk
96

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 43

Universitas Sumatera Utara

86

melindungi

konsumen

atas

pemakaian

produk

yang

dihasilkan

atau

diperdagangkan pelaku usaha, dimana pelaku usaha harus bertanggung jawab atas
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan, tanggung jawab tersebut dikenal
dengan tanggung jawab produk.97
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen diatur secara khusus dalam Bab VI, Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui
tanggung jawab pelaku usaha meliputi:
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran.
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal ini maka adanya produk barang dan/atau jasa yang rusak
bukan merupakan satu-satunya pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti
bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami
konsumen.

D. Tinjauan Umum Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau
consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata
consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen
97
Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab secara hukum dari
orang atau badan yang menghasilkan suatu produk, dari orang atau badan yang bergerak dalam
suatu proses untuk menghasilkan suatu produk dan mendistribusikan dari produk tersebut. A. Joko
Purwoko., Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Dalam Bisnis Multi Level
Marketing, 2005, Kisi Hukum., Vol. 8 No. 1.

Universitas Sumatera Utara

87

kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia
memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 98
Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki
undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada
konsumen. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula
menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan
perlindungan kepada konsumen.99
Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen selanjutnya disingkat UUPK, pengertian Konsumen
adalah “Setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan’’.
A.Z. Nasution mengartikan konsumen adalah “Setiap pengguna barang
atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak
untuk memproduksi barang/jasa lain atau memperdagangkannya kembali
(konsumen akhir)”. Unsur-unsur definisi konsumen adalah sebagai berikut:100
1. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa. Istilah orang sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut
98
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen.,
(Bandar Lampung : Universitas lampung, 2007), hlm. 54.
99
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika,
2014), hlm. 22.
100
Ibid., hlm. 27-30.

Universitas Sumatera Utara

88

natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).
Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih
luas daripada badan hukum.
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata
pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).
Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan
tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak
serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak
selalu harus memberikan presentasinya dengan cara membayar uang untuk
memperoleh barang dan atau jasa.
3. Barang dan atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah
berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada
pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.
4. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

89

Barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini,
syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya,
perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan
transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis
transaksi konsumen tertentu, seperti future trading, keberadaan barang yang
diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.
5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain,
Makhluk

Hidup

Lain

Transaksi

konsumen

ditujukan

untuk

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur
yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian
kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan
keluarga, tetapi juga barang dan atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain
atau di luar diri sendiri dan keluarganya, bahkan untuk makhluk hidup lain,
seperti hewan dan tumbuhan.
6. Barang dan atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya
konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan
perlindungan konsumen di berbagai negara. Hal tersebut cukup baik untuk
mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam
kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.
Sementara pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1)
UUPK adalah “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

Universitas Sumatera Utara

90

memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng
untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha
hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.101
Menurut A.Z. Nasution hukum perlindungan konsumen adalah hukum
konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.102
Dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan
konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka
membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan.
Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir. Yang dimaksud di dalam
UUPK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir
memperoleh barang dan atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk
digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan
makhluk hidup lain.103

E. Pengaturan Tentang Periklanan Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2011 Tentang Rumah Susun
Frank Jefkins dalam pendapatnya menyatakan bahwa periklanan memiliki
tujuan agar dapat membujuk konsumen untuk membeli suatu produk yang

101

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1.
102
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hlm. 9.
103
http://definisipengertian.com/2012/pengertian-konsumen-menurut-para-ahli/, diakses
pada tanggal 16 Desember 2016, pukul 10:24 WIB.

Universitas Sumatera Utara

91

ditawarkan oleh pelaku usaha (developer). Institute of Practioners in Advertising
(IPA) mendefinisikan iklan sebagai suatu kegiatan yang mengupayakan suatu
pesan penjualan yang sepersuasif mungkin kepada calon pembeli yang paling
tepat atas suatu produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang semurahmurahnya. Fred Danzig seorang editor Advertising Age pernah mengatakan bahwa
iklan dapat membuat konsumen membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan atau
diinginkannya, bahkan si konsumen tersebut rela membayar dengan harga yang
lebih mahal. Kemudian, dikenal pula istilah advertorial, yaitu iklan dengan gaya
penulisan redaksi, dengan ketentuan khusus dari masing-masing media. Iklan ini
biasanya ditulis oleh redaktur media yang bersangkutan berdasarkan briefing dari
Advertiser. Setelah mendapat persetujuan dari Advertiser, iklan tersebut baru
dimuat di media dengan ketentuan harus mencantumkan kata “Advertorial”.104
American Marketing Association memberikan definisi pemasaran
(marketing) sebagai berikut:
“Marketing is the activit, set of institutions, and processes for creating,
communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for
customers, clients, partners, and society at large”.105
Definisi diatas dapat diartikan sebagai suatu aktivitas, serangkaian
institusi, dan proses menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan
mempertukarkan tawaran yang bernilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan
masyarakat.

104

Sigit Santosa, “Advertising Guide Book”, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),

hlm. 3.
105

http://www.ama.org/AboutAMA/Pages/Definition-of-Marketing.aspx, diakses pada
tanggal 02 November 2016, Pukul 11:45 WIB.

Universitas Sumatera Utara

92

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun juga
mengatur tentang periklanan, namun dalam UURS ini tidak menggunakan kata
“iklan” atau “periklanan” melainkan menggunakan kata “pemasaran”. Dalam
Bagian Ketujuh UURS membahas tentang “Pemasaran dan Jual Beli Rumah
Susun”. Dalam Pasal 42 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun menyatakan:
“Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum pembangunan
rumah susun dilaksanakan”.
Dalam Pasal 42 angka (1) UURS ini memberikan kebebasan kepada
pelaku pembangunan yang dalam hal ini adalah developer untuk dapat melakukan
pemasaran (marketing) sejak dari tahap perencanaan pembangunan sampai kepada
telah selesainya pembangunan atas rumah susun itu sendiri.
Selanjutnya Pasal 42 angka (2) UURS juga memberikan bahasan lanjutan
mengenai pemasaran rumah susun, dimana pasal ini juga menyatakan bahwa
dalam

hal

pemasaran

dilakukan

sebelum

pembangunan

rumah

susun

dilaksanakan, pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki:
a. kepastian peruntukan ruang;
b. kepastian hak atas tanah;
c. kepastian status penguasaan rumah susun;
d. perizinan pembangunan rumah susun; dan
e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. 106
Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Rumah Susun ini memberikan
penjelasan mengenai syarat-syarat bagi pelaku usaha yang hendak melakukan
106

Op.Cit., Republik Indonesia., Pasal 42 angka (2).

Universitas Sumatera Utara

93

pemasaran sebelum pembangunan, yang mana bahwa kepastian peruntukan ruang
ditunjukkan melalui surat keterangan rencana kota yang sudah disetujui pemerintah
daerah, kepastian hak atas tanah ditunjukkan melalui sertifikat hak atas tanah,
kepastian status kepemilikan antara SHM sarusun atau SKBG sarusun harus
dijelaskan kepada calon pembeli yang ditunjukkan berdasarkan pertelaan yang
disahkan oleh pemerintah daerah, izin pembangunan rumah susun ditunjukkan
melalui IMB, dan yang terakhir yang dimaksud dengan “jaminan atas pembangunan
rumah susun” dapat berupa surat dukungan bank atau nonbank.

Kemudian dalam Pasal 42 angka (3) UURS memberikan pengaturan
bahwa dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun,
segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen
pemasaran mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para
pihak.

Sehingga

dalam

hal

ini

konsumen

dapat

meminta

suatu

pertanggungjawaban kepada pelaku usaha apabila terjadi ketidaksesuaian terhadap
apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak di dalam PPJB. Di dalam Pasal 42
angka (3) UURS ini juga memberikan pengaturan kepada pelaku usaha dan/atau
agen pemasaran dalam memasarkan produknya kepada konsumen agar senantiasa
memiliki itikad baik.
Kedudukan PPJB itu sendiri dalam perspektif hukum kontrak memberikan
pandangan bahwa berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka PPJB itu sendiri
termasuk kepada perjanjian yang bersifat konsensuil atau mengenal asas
konsensualisme (Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata), dimana perjanjian lahir saat
kedua belah pihak sepakat mengenai barang dan harga, walaupun pada saat itu

Universitas Sumatera Utara

94

barang belum diserahkan dan harga juga belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH
Perdata).107
F. Kedudukan Iklan Dalam Jual Beli Apartemen
Iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk atau jasa yang
disampaikan melalui media, baik media elektronik ataupun cetak yang ditujukan
kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Iklan dapat dilukiskan sebagai
komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli.
Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan suatu “pesan”, dengan
demikian menimbulkan kesan bahwa periklanan bermaksud memberikan
informasi yang tujuan terpentingnya adalah memperkenalkan sebuah produk atau
jasa.
Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli tidak
hanya dapat dilakukan secara berhadapan langsung antara penjual dengan
pembeli, tetapi juga dapat dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli,
sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan
melalui media internet/secara elektronik. Dalam kontrak jual beli para pelaku
yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang
berkedudukan sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda.
Sebelum masuk kepada penyusunan sebuah kontrak, dikenal satu tahapan
dimana para pihak dapat membuat suatu nota kesepahaman atau juga biasa disebut
107

http://sonny-tobelo.blogspot.co.id/2009/10/kedudukan-perjanjian-pengikatanjual.html?m=1, diakses pada tanggal 02 November 2016, Pukul 12:29 WIB.

Universitas Sumatera Utara

95

dengan MoU (Memorandum of Understanding) atau bisa juga disebut prakontraktual. MoU ini pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di
Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU
sering digunakan oleh pihak-pihak yang berkaitan.
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek
hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang
ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya
merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum
membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada
nantinya.108
MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentuk Letter of
Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:109
“A written statement detailing the preliminary understanding of
parties who plan to enter into a contract or some other
agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A
letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the
parties from bargaining with a third party. Business people
typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts
ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a
commitment has been made...”
Dengan terjemahan bebasnya:
“Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal
pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau
perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak
menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan.
108
Perbedaan
antara
Perjanjian
dengan
MoU,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514689463d4b2/perbedaan-antara-perjanjian-denganmou, diakses pada tanggal 16 Desember 2016, Pukul 10:38 WIB.
109
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

96

Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan
tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak
ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of
Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi
pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah
dibuat/disepakati...”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal
sebagai berikut:
1. MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2. Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3. Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4. MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban
yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5. Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak
lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
Dalam jual beli apartemen, terdapat suatu sarana periklanan yang
digunakan oleh pelaku usaha (developer) dalam mempromosikan apartemen yakni
dapat berupa brosur dan lain sebagainya. Kedudukan iklan ini dipandang sebagai
suatu nota kesepahaman atau biasa disebut MoU antara pelaku usaha (developer)
dengan konsumen. Kedudukan iklan ini dipandang sebagai dasar bagi konsumen
untuk membeli produk apartemen yang ditawarkan oleh pelaku usaha (developer).
Periklanan dalam jual beli apartemen juga diatur dalam dalam Pasal 42
UURS, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaku usaha dapat melakukan
pemasaran produk apartemennya sebelum pembangunan apartemen tersebut
dilaksanakan, akan tetapi pelaku usaha wajib memiliki kepastian peruntukan
ruang, kepastian hak atas tanah, kepastian status penguasaan rumah susun,

Universitas Sumatera Utara

97

perizinan pembangunan rumah susun dan jaminan atas pembangunan rumah susun
dari lembaga penjamin. Selain itu ditegaskan pula bahwa segala sesuatu yang
dijanjikan oleh pelaku usaha (developer) dan/atau agen pem