Hubungan derajat albuminuria dengan beratnya lesi arteri koroner pada pasein penyakit jantung koroner

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan

penyakit yang ditandai

dengan adanya proses degeneratif kronik pada pembuluh darah koroner yang
sudah dimulai sejak masa anak-anak dan umumnya bermanifestasi pada usia
dewasa menegah dan lanjut
Penyakit jantung koroner (PJK) ialah penyakit jantung yang terutama
disebabkan penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme
atau kombinasi keduanya.2 Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina
apektoris, yaitu suatu sindroma klinis dimana didapatkan sakit dada yang timbul
pada waktu melakukan aktivitas

karena adanya iskemia miokard. Hal ini

menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria. Angina
pectoris dapat muncul sebagai angina pectoris stabil (APS, stableangina) dan
keadaan ini biasa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan Sindroma

Koroner Akut (SKA) atau dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart
attack) yang bisa menyebabkan kematian. Beberapa definisi yang penting pada
PJK adalah:2,8,9
1. Angina Pektoris Stabil (APS) : sindrom klinik yang ditandai dengan rasa
tidak enak di dada, rahang, bahu, pungggung ataupun lengan, yang
biasanya dicetuskan oleh kerja fisik atau stres emosional dan keluhan ini
dapat berkurang bila istirahat atau oleh obat nitrogliserin.
2. Angina Prinzmetal : nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri koronaria,
sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan dengan kegiatan
jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu yang sama tiap harinya).
3. Sindroma Koroner Akut (SKA) : sindrom klinik yang mempunyai dasar
patofisiologi yang sama yaitu adanya erosi, fisur, ataupun robeknya plak
atheroma

sehingga

menyebabkan

trombosis


intravaskular

yang

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan ketidak seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokard. Yang termasuk dalam SKA adalah :
a. Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina) : ditandai
dengan nyeri dada yang mendadak dan lebih berat, yang serangannya
lebih lama (lebih dari 20 menit) dan lebih sering. Angina yang baru
timbul (kurang dari satu bulan), angina yang timbul dalam satu bulan
setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak stabil.
b. Infark miokard akut (IMA) : Nyeri angina pada infark jantung akut
umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). Walau
demikian infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada (20 sampai
25%). IMA bisa nonQ MI (NSTEMI) dan gelombang Q MI
(STEMI).
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinik PJK yang
paling utama dan paling sering menyebabkan kematian. Manifestasi klinis SKA

antara lain dapat berupa angina pectoris tidak stabil (APTS), infark miokard akut
(IMA) tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) serta IMA dengan segmen ST
elevasi (IMA STE). SKA merupakan kasus gawat yang garus didiagnosis segera,
disertai manajemen yang benar untuk menghindari morbiditas dan mortalitas.
Dikarenakan angka mortalitas STA yang tinggi, beberapa modalitas yang berbeda
telah digunakan untuk meningkatkan efektivitas identifikasi penyakit ini lebih
cepat.
Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK.
Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial denghan mekanisme yang
saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan
pada lapisan endotel, Pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty streaks (kerak
lemak), pembentukan fibrous plaque (lesi jaringan ikat) dan proses rupture plak
yang dapat menyebabkan thrombosis.
Nyeri dada merupakan gejala umum yang muncul di rumah sakit.
Namun, hanya sekelompok kecil pasien yang dirawat di instalasi gawat darurat
dengan nyeri dada yang terbukti memiliki etiologi jantung dengan menggunakan
elektrokardiografi dan pemeriksaan troponin saat awal kejadian. Penanda jantung

Universitas Sumatera Utara


saat ini tidak cukup sensitive untuk diagnosis SKA pada tahap awal, yang
merupakan penyebab utama kematian. Dokter selalu mencari penanda yang cepat
dan independen untuk diagnosis SKA secara dini dan akurat. Menjadi pertanyaan
apakah tanda yang diperlukan ini harus baru dan mahal atau suatu penanda yang
terabaikan yang dapat bertkontribusi terhadap pathogenesis tromboemboli.

2.1.2. Epidemiologi
Infark miokard akut merupakan istilah salah satu diagnosis rawat inap
tersering dinegara maju. Data dari Grace (2001) didapatkan bahwa dari semua
pasien yang dating ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata penyebab
terbanyak adalah IMA-STE ( 34%), IMA non STE (31%) dan APTS (29%).16
Angka mortalitas dalam rawatan rumah sakit pada IMA-STE ialah 7%
sedangkan IMA non STE adalah 4%, tetapi jangka panjang (4 tahun), angka
kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMASTE. 16
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko seseorang menderita PJK ditentukan melalui interaksi dua
atau lebih faktor risiko. Faktor risiko PJK dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi antara lain seperti: merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, diet tinggi lemak, dan kurangnya

aktivitas fisik. Faktor-faktor risiko ini masih dapat diubah, sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik sedangkan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain seperti : usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat
penyakit keluarga.17
2.1.4. Patofisiologi
Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK.
Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial dengan mekanisme yang

Universitas Sumatera Utara

saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan
pada lapisan endotel, pembentukan foam cell ( sel busa) dan fatty streaks ( Kerak
lemak ), pembentukan fibrous cap ( lesi jaringan ikat) dan proses rupture plak
aterosklerotik yang tidak stabil. Inflamasi memainkan peranan penting dalam
setiap tahapan aterosklerotik mulai dari perkembangan plak sampai terjadinya
ruptur plak yang dapat meneyebabkan tombosis. Aterosklerotik dianggap sebagai
suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan seperti makrofag yang berasal
dari monosit dan limfosit merupakan proses inflamasi.7
Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi kerusakan
(akibat berbagai faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama paparan yang

berbeda) pada endotel arteri, sehingga menimbulkan disfungsi endotel. Kerusakan
pada endotel akan memicu berbagai mekanisme yang menginduksi dan
mempromosi lesi aterosklerotik. Disfungsi disfungsi endotel ini disebabkan oleh
faktor-faktor risiko tradisional seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan
merokok dan faktor-faktor risiko lain misalnya homosistein dan kelainan
hemostatik.18
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling
berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi,
agregasi, dan proteolisis) dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan
aktivasi inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi rekrutmen elemen-elemen
inflamasi seperti monosit kedalam tunika intima. Awalnya monosit akan
mengalami adhesi pada endotel, Yaitu enter cellular adhesion molecule -1
(ICAM-1), vascular cell adhesion molecule -1 (VCAM-1) dan selectin. Molekul
adhesi

ini

diatur

oleh


sejumlah

faktor

yaitu

produk

bakteri

lipopolisakarida,prostaglandin dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel
kemudian monosit berimigrasi ke lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima.
Monosit-monosit yang telah memasuki dinding arteri ini akan teraktivasi menjadi
makrofag dan mengikat LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger.
Hasil fagositosis ini akan membentuk sel busa atau “foam cell” dan selanjutnya
akan menjadi “fatty streaks“. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan growth factor

Universitas Sumatera Utara


yang akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media
ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin
dan kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan berbentuk fibrous cap.
Pada tahap ini proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut
sebagai plak aterosklerotik. Pembentukan plak aterosklerotik akan menyebabkan
penyempitan lumen arteri, akibatnya terjadi penurunan aliran darah. Trombosis
sering terjadi setelah rupturnya plak aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan
jalur koaligasi. Apabila plak pecah, robek atau terjadi pendarahan subendotel,
mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu
arteri koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina
atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak
stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah
proses ateroklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif yang dikenal juga dengan
sindroma koroner akut.18

Gambar 2.2. Patogenesis inflamasi pada aterosklerosis.
Ruptur plak memegang peranan penting untuk terjadinya sindroma
koroner akut. Resiko terjadinya rupture plak tergantung dari kerentanan atau
ketidakstabilan plak. Ciri-ciri plak yang tidak stabil antara lain gumpalan lipid
(lipid core) besar menempati >40% volume plak, fibrous cap tipis yang

mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos serta aktivitas dan jumlah sel

Universitas Sumatera Utara

makrofag, limfosit T dan sel mast yang meningmkat.Trombosis akut yang terjadi
pada plak yang mengalami rupture memegang peran penting dalam kejadian
sindroma koroner akut. Setelah plak mengalami rupture, komponen trombogenik
akan menstimulasi adhesi, agregasi dan aktivasi trombosit, pembentukan thrombin
dan pembentukan trombus.19.20
Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh
koroner dengan manifestasi klinis angina pectoris tkidak stabil atau sindroma
koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus koroner
pada >90% pasien IMA-STE, dan sekitar 35-75% pada pasien APTS dan IMA
non STE.21
Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusio
pembuluh koroner dengan manifestasi klinis angina pectoris tidak stabil atau
sindroma koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus
koroner pada > 90% pasien IMA-STE, dan sekitar 35-75 % pasien APTS dan
IMA-STE.21
Pada APTS terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif

kecil menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit. Pada IMA
non STE kerusakan plak yang lebih berat dan menyebabkan oklusi trombus yang
lebih presisten dan berlangsung lebih dari 1 jam. Pada sekitar 25% pasien IMA
non STE terjadi oklusi trombus yang berlangsung >1jam dan menyebabkan
nekrosis miokard transmural.19.21
Lipid core mengandung bahan-bahan yang bersifat sangat trombogenik
karena mengandung banyak tissue factor yang diproduksi oleh makrofag. Tissue
factor yang diproduksi oleh makrofag. Tissue factor adalah suatu protein
prokoagulan yang akan mengaktifkan kaskade pembekuan ekstrinsik sehingga
paling kuat sifat trombogeniknya. Faktor jaringan akan membentuk kompleks
dengan faktor Va dan akan mengaktifkan faktor IX dan faktor X yang selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

terjadi pembentukan mata rantai pembentukan trombus. Vasokontriksi pembuluh
darah koroner juga ikut berperan pada pathogenesis sindroma koroner akut.
Ini terjadi sebagai respons terhadap disrupsi plak khususnya trombus
yang kaya platelet dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskuler
dengan melepaskan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai

Endothelium derived relaxing factor (EDRF), prostasiklin dan faktor kontraksi
seperti endothelin-1, thromboxan A2, dependent vasoconstriction yang diperantai
serotonin dan thromboxan A2 sehingga menginduksi vasokontriksi pada daerah
ruptur plak atau mikrosirkulasi.20
2.1.5. DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Diagnosis penyakit jantung koroner

ditegakkan berdasarkan adanya

presentasi klinis nyeri dada yang khas, perubahan elektrokardiografi dan
peningkatan enzim jantung. Nyeri dada khas angina biasanya berupa nyeri dada
dengan rasa berat/ditindih/dihimpit di daerah retrosternal yang dapat menjalar ke
lengan kiri, leher terasa tercekik atau terasa ngilu rahang bawah dimana nyeri
biasanya berdurasi >20 menit dan berkurang dengan istirahat dan pemberian
nitrat. Nyeri dada juga biasanya disertai gejala sistematik lain berupa mual,
muntah, dan keringat dingin. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat
dijumpai perubahan berupa depresi ST segmen atau T inverse, elevasi segmen ST,
dimana pada awal masih dapat berupa hiperakut T yang kemudian berubah
menjadi ST, dapat dijumpai LBBB baru yang juga merupakan tanda terjadinya
infark gelombang Q. Marker yang biasa dipakai sebagai penanda adanya
kerusakan miokard adalah enzyme CK (creatinin kinase) dan CK-MB (isoenzym
CK ). Enzi mini akan meningkat setelah 4jam serangan.. Sehingga pada awal
serangan nilainya masih dalam batas normal. Selain enzim tersebut, juga terdapat
dinilai troponin T dan I yang biasannya meningkat 3-12 jam setelah infark.23
Setelah jejas miokard peningkatan kadar troponin T terdeteksi kira-kira
bersamaan dengan CK-MB, dengan kadar yang dapat dideteksi 3-4jam setelah
IMA. Troponin T meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB,

Universitas Sumatera Utara

karena sustained release protein yang secara structural berikatan dengan myofibril
yang mengalami desintegrasi, dengan kadar yang masih dapat dideteksi hingga
240 jam setelah IMA. Peningkatan yang lama dari Troponin T akan mengganggu
diagnosis perluasan IMA atau adanya re-infark. Pemeriksaan kadar troponin T
mempunyai sensitivitas sampai 100% terhadap kerusakan miokard dalam 4-6 jam
setelah IMA. Spesifisitas Troponin T dalam diagnosis IMA tinggi, tetapi terdapat
faktor yang dapat mengurangi spesifisitasnya. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa Troponin T dilepas dari sel-sel miokard pada APTS,

sehingga

mengurangi spesifitas untuk diagnosis IMA. Hal lain yang dapat mengurangi
spesifisitasnya adalah gen untuk Troponin T ditemukan pada otot skeletal selama
pertumbuhan janin. Selama jejas otot dan regenerasinya, otot skeletal nampaknya
kembali ke keadaan janin, yang melepas Troponin T dalam darah. Peningkatan
kadar Troponin T ditemukan pada gagal ginjal kronik, kemungkinan disebabkan
oleh myopati akibat gagal ginjal kronik.24
Dari

penelitian yang dilakukan oleh Nawawi RA dkk, terhadap 90

penderita PJK yang diperiksa di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bulan Maret
sampai Juli 2014 didapatkan : kadar Troponin T terbanyak pada laki-laki berkadar
0,1 sampai 2,0 ng/ml, kelompok umur 60-69 tahun yang banyak menderita PJK,
dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, terdapat korelasi
peningkatan kadar TroponinT dengan gambaran EKG pada penderita IMA, juga
terdapat hubungan yang bermakna antara Troponin T terhadap CKMB dan LDH.
25

Diagnosis angina pektori tidak stabil (APTS) dapat ditegakkan apabila
dijumpai

kriteria

sebagai

berikut

yaitu

adanya

angina

pada

waktu

istirahat/aktivitas ringan serta pada EKG dapat dijumpai gambaran depresi
segmen ST ≥ 0,05 mV atau inverse gelombang T > 0,1 mV pada dua lead yang
berdampingan serta enzim jantung yang tidak meningkat. Diagnosis IMA non
STE dapat ditegakkan apabila dijumpai adanya nyeri dada khas infark pada saat
istirahat selama > 20 menit, gambaran depresi segmen ST ≥ 0,05mV atau inversi
gelombang T > 0,1 mV pada dua lead yang berdampingan dengan prominent R

Universitas Sumatera Utara

atau rasio R/S > 1 dan peningkatan enzim jantung. Diagnosis IMA-STE dapat
ditegakkan apabila didapatkan adanya khas infark yang terjadi pada saat istirahat
selama >20 menit, elevasi segmen ST baru pada J joint pada 2 lead yang
berdampingan dengan cut point ≥ 0,1 mV pada semua lead selain V2-V3 dimana
pada lead V2-V3 cut point ialah ≥ 0,2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita
dan peningkatan serial dari enzim jantung. 23,26
2.2.Troponin T
Troponin T adalah struktur protein serabut otot serat melintang yang
merupakan subunit troponin yang penting, terdiri dari dua mikrofilamen. Yaitu
filament tebal terdiri dari myosin, dan filament tipis terdiri dari aktin, tropomiosin
dan troponin. Kompleks troponin yang terdiri atas : troponin T, troponin I, dan
troponin C. Troponin T merupakan fragmen ikatan tropomiosin. Troponin T
ditemukan di otot jantung dan otot skelet, kadar serum protein ini meningkat pada
penderita IMA segera setelah 3 sampai 4 jam mulai serangan nyeri dada dan
menetap sampai 1 sampai 2 minggu.
Terjadi iskemik miokard, maka membrane sel menjadi lebih permeable
sehingga komponen intraseluler seperti troponin jantung merembes kedalam
inerstitium dan ruang intravaskuler. Protein ini mempunyai ukuran molekul yang
relative kecil dan terdapat dalam 2 bentuk. Sebagian besar dalam bentuk troponin
komplek yang secara structural berikatan pada myofibril serta tipe sitosolik sekitar
6-8 % pada troponin T. 24
Ukuran molekul yang relative kecil dan adanya bentuk troponin komplek
dan bebas ini akan mempengaruhi kinetika pelepasannya. Akan terjadi pelepasan
troponin miofibriler yang lebih lama, yang menyebabkan pola pelepasan bifasik
yang terutama terjadi pada troponin T. Troponin jantung dapat diukur sebagai unit
bebas dan dilepas selama stadium dini IMA atau sebagai bagian dari kelompok
(misalnya sebagai komplek tersier cTnT-I-C atau komplek biner cTnI-C dan
cTnT-I ), karena secara structural berikatan satu dengan lainnya.24

Universitas Sumatera Utara

2.3 Angiografi Koroner
Angiografi merupakan suatu prosedur invasive yang paling sering
dilakukan untuk melihat gambaran anatomi arteri koroner serta penyempitan
lumen yang telah terjadi pada penderita PJK. Sering dilakukan untuk menilai
luasnya stenosis dan dapat menggambarkan tingkat keparahan arteri koroner.
Walaupun merupakan pemeriksaan gold standar, angiografi hanya memberikan
informasi tentang keadaan lumen arteri dan tidak dapat memberikan secara
langsung komposisi plak serta perubahan plak dalam dinding arteri. Inflamasi erat
hubungannya dengan kejadian rupture plak dan thrombosis dibandimgkan dengan
adanya atau beratnya ateroslerosis dari hasil angiografi, sehingga derajat stenosis
arteri koroner tidak berikatan dengan resiko rupture. Derajat stennosis pada arteri
koroner biasanya diukur dengan evaluasi visual dari presentasi pengurangan
diameter relative terhadap segmen normal yang berdekatan.17.18
Angiografi dilakukan oleh kardiologis yang berpengalaman dalam
melakukan angiografi. Agar tidak terjadi bias, penilaian hasil angiografi dilakukan
oleh kardiologis yang sama dengan tidak mengetahui berapa ketebalan tunika
intima media pasien. Keparahan arteri koroner dinilai dari hasil angiografi pasien,
dievaluasi dan diklasifikasikan berdasarkan scoring yaitu Vessel score yang terdiri
dari 0 – 3 grade berdasarkan banyaknya jumlah pembuluh darah koroner utama
yang mengalami stenosis > 50 % yaitu : 17,18
-

Grade 0 normal ada lesi stenosis < 70 %

-

Grade I ( Vessel Disease )mengenai 1 pembuluh darah dengan
stenosis ≥70%

-

Grade II( Vessel Disease )mengenai 2 pembuluh darah dengan
stenosis ≥70%

-

Grade III( Vessel Disease)mengenai 3 pembuluh darah dengan
stenosis ≥70%

Universitas Sumatera Utara

2.4. Mikroalbuminuria
2.4.1. Definisi.
Mikroalbuminuria merupakan suatu marker untuk proteinuria klinis yang
disertai penurunan faal ginjal LFG ( laju filtrasi glomerulus ) dan penyakit
kardiovaskular sistemik. Albuminuria tidak hanya resiko penyakit kardiovaskular
dan ginjal, tetapi juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan.
Mikroalbuminuria berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular dan renal pada pasien diabetes dan hipertensi. Pada saat
ini, diketahui bahwa mikroalbuminuria adalah gambaran dari proses menyeluruh
dan merata dari kerusakan endotel glomelurus, retina dan tunika intima pembuluh
darah besar.3 Mikroalbuminuria sebagai salah satu prediktor utama penyakit
kardiovaskular pada individu non diabetes, telah dilaporkan pertama sekali pada
Islington Diabetes survey, dimana pasien berusia di atas 40 tahun dengan
mikroalbuminuria memiliki prevalensi penyakit jantung iskemik sebesar 73%.4
Pada penelitian MICRO-HOPE (Microalbuminuria, Cardiovascular, and
Renal Outcomes in HOPE Study) mendapatkan adanya mikroalbuminuria
menyebabkan dua kali resiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Begitu
juga

pada

studi

MONICA

(Monitoring

Trends

and

Determinant

of

Cardiovascular Disease) mendapatkan faktor resiko tradisional meningkat dua
kali bila individu dengan mikroalbuminuria.5 Beberapa penelitian lain yang juga
telah dilakukan menunjukkan bahwa mikroalbuminuria secara independen
memiliki hubungan terhadap semua penyebab kematian dan morbiditas
kardiovaskular pada pasien-pasien diabetes melitus.6,7
Mikroalbuminuria dikaitkan dengan faktor risiko kardiovaskular lainnya,
termasuk tanda peradangan dan tanda disfungsi endotel.17 Ditemukannya
mikroalbuminuria berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular pada penderita diabetes dan nondiabetes.18,19 Di
Amerika Serikat sudah diperkirakan bahwa 6% dari laki-laki dan 10% perempuan
mengalami mikroalbuminuria; prevalensinya adalah 16% pada penderita

Universitas Sumatera Utara

hipertensi dan setinggi 28% pada penderita diabetes.20 Prevalensi ini lebih tinggi
di kalangan Hispanik dan Afrika Amerika dibandingkan dengan non-Hispanik.
Studi observasi dalam populasi umum telah menunjukkan peningkatan risiko
kematian total dan kardiovaskular. Pada pasiendiabetes tipe 1 dan tipe 2,
mikroalbuminuria dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular dan
semua penyebab kematian dan penyakit jantung iskemik.21-23

Selain itu,

mikroalbuminuria secara independen terkait dengan bukti angiografi penyakit
arteri koroner.24 Sebagian penelitian menunjukkan bahwa mikroalbuminuria
persisten menyebabkan kenaikan dua kali lipat resiko kematian kardiovaskular.2532

2.4.2. Mikroalbuminuria dan PJK

Mikroalbuminuria dihubungkan dengan resiko penyakit kardiovaskular
adalah karena adanya disfungsi endotel yang luas. Mikroalbuminuria secara
spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individuindividu dengan atau tanpa diabetes mellitus tipe II. World Health Organization (
WHO) membagi komplikasi organ sasaran menjadi tiga stadium. Stadium pertama
belum didapatkan kelainan organ sasaran, stadium kedua didapatkan pada jantung
adanya hipertrofi ventrikel kiri dan stadium ketiga bila didapatkan penyakit
jantung koroner. 15,16
Hipertrofi ventrikel kiri ( HVK) merupaka faktor faktor resiko yang kuat
terhadap berbagai komplikasi penyakit kardiovaskuler yang meliputi angina
pectoris, infark miokardium, stroke, gagal jantung kongestif, dan kematian
mendadak ( sudden death )

dimana gagal jantung dan sudden death dapat

disebabkan oleh kedua kelainan tersebut.49,50
Diantara HVK dan iskemia miokardium terdapat hubungan yang erat.
HVK dapat menyebabkan iskemia miokardium karena :
1. Peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri
2. Penambahan massa miokardium

Universitas Sumatera Utara

3. Pengurangan cadangan koroner
4. Peninggian tahanan pembuluh darah koroner.
Dalam kondisi normal, ekskresi albumin harian adalah 5-10 mg dan rasio
albumin urin: kreatinin adalah 0-29 mg albumin/g kreatinin. Mikroalbuminuria
didefinisikan sebagai peningkatan abnormal pada laju ekskresi albumin dalam
kisaran tertentu dari 30-299 mg albumin/g kreatinin. Adalah penting untuk
diketahui bahwa mikroalbuminuria adalah istilah khusus yang mengacu pada
peningkatan abnormal dari laju ekskresi albumin dan tidak merupakan adanya
molekul albumin abnormal (berukuran kecil). Istilah mikroalbuminuria ini
diciptakan pada awal tahun 1980-an, ketika kemajuan teknologi memungkinkan
untuk mengidentifikasi molekul albumin yang berukuran kecil dan tidak normal
dalam urin pasien diabetes dan penyakit lainnya.

Universitas Sumatera Utara