Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kompetensi Tenaga Pelaksana Gizi
Secara harfiah, kompetensi berasal dari kata competence yang artinya
kecakapan, kemampuan, dan wewenang (Scale, 1975 yang dikutip oleh Sutrisno,
1993), adapun secara etimologi, kompetensi diartikan sebagai dimensi perilaku
keahlian atau keunggulan seorang pimpinan atau staf yang mempunyai keterampilan,
pengetahuan, dan perilaku yang baik. Spencer and Spencer (1993) yang dikutip oleh
Sutrisno (2015), kompetensi sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan
berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya.
Definisi kompetensi menurut Amstrong dan Murlis yang dikutip oleh
Ramelan (2003), mendefinisikan kompetensi sebagai karakteristik mendasar individu
yang secara kausal berhubungan dengan efektivitas atau kinerja yang sangat baik.
Menurut Wahjosumidjo (1995), kompetensi adalah yang menggabungkan resources
(kemampuan, pengetahuan, asset dan proses; baik yang terlihat maupun yang tidak
terlihat) yang menghasilkan posisi yang lebih tinggi dan kompetitif.
Boulter, Dalziel, dan Hill (2003) yang dikutip oleh Sutrisno (2015),
mengemukakan kompetensi adalah suatu karakteristik dasar dari seseorang yang
memungkinkannya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran, atau situasi
tertentu. Wibowo (2014), menyatakan kompetensi adalah suatu kemampuan untuk

melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas

keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh
pekerjaan tersebut. Menurut Danim (2008), kompetensi juga dapat di definisikan
sebagai spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang
serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang
dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia kerja. Mulyasa (2003), mengemukakan
kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap
yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, kompetensi adalah
kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang pegawai negeri sipil berupa
pengetahuan, sikap perilaku yang diperlukan dalam tugas dan jabatannya. (pasal 3).
Adapun McAshan (1981) yang dikutip oleh Sutrisno (2015), kompetensi diartikan
sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang
yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilakuperilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Apabila kompetensi diartikan sama dengan kemampuan, maka dapat diartikan
sebagai pengetahuan memahami tujuan bekerja, pengetahuan dalam melaksanakan
kiat-kiat jitu dalam melaksanakan pekerjaan yang tepat dan baik. Peningkatan
kemampuan merupakan strategi yang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan sikap tanggap dalam rangka peningkatan kinerja.

Sebagai konsekuensi dari definisi kompetensi, maka pengertian kompetensi
merujuk pada kemampuan tenaga pelaksana gizi untuk memenuhi persyaratan
perannya saat ini atau masa mendatang. Dengan demikian, kompetensi tidak hanya

terkait dengan kinerja saat ini. Kompetensi juga bisa untuk meramalkan kinerja masa
mendatang karena kompetensi merupakan karakteristik yang berkelanjutan yang
umumnya tidak bisa hilang.
Salah satu masalah yang berkaitan dengan konsep kompeten atau kompetensi
adalah istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada kemampuan untuk
melaksanakan suatu jabatan atau tugas secara kompeten dan juga pada bagaimana
seharusnya tenaga pelaksana gizi berprilaku untuk menjalankan peran secara
kompeten. Banyak komentator akademis yang berpendapat bahwa kompeten harus di
bedakan dengan kompetensi. Pada umumnya orang mencampuradukkan pengertian
kedua istilah tersebut. Kedua konsep ini harus dipisahkan yaitu: Kompetensi harus
digunakan untuk merujuk pada tenaga pelaksana gizi yang bekerja dan dimana tenaga
pelaksana gizi itu kompeten dan kompetensi harus digunakan untuk merujuk pada
dimensi perilaku yang mendasari kinerja yang kompeten.
Tenaga Gizi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan di bidang gizi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tenaga gizi meliputi Technical
Registered Dietisien (TRD), Nutrisionis Registered (NR), dan Registered Dietisien

(RD). Tenaga pelaksana gizi puskesmas adalah setiap orang yang memiliki
kemampuan dan/atau keterampilan di bidang kesehatan yang ditunjuk untuk
melaksanakan tugas perbaikan gizi di puskesmas. Apabila tidak tersedia tenaga gizi
yang memang lulus pendidikan di bidang gizi sesuai dengan peraturan perundangan,
maka pelaksanaan tugas perbaikan gizi di puskesmas dapat dilakukan oleh tenaga

pelaksana gizi yang berasal dari tenaga kesehatan lain seperti perawat atau bidan
(Kemenkes, 2014).
Tenaga pelaksana gizi yang ada di Indonesia saat ini lebih banyak yang
berlatar belakang pendidikan Diploma III, sedangkan pendidikan sarjana gizi baru
saja dimulai. Tenaga pelaksana gizi merupakan tenaga gizi yang langsung
menghadapi masyarakat. Tugasnya melaksanakan sebagian tugas pokok puskesmas
dibidang

gizi

yang

meliputi


penentuan

prioritas

masalah,

merencanakan,

melaksanakan, dan melaporkan kegiatan-kegiatan dalam rangka penanggulangan
masalah gizi.
Konsep kompetensi bahkan menjadi lebih rumit lagi dengan adanya pendapat
beberapa orang bahwa kompetensi adalah penguasaan perilaku, pengetahuan, dan
keterampilan. Salah satu cara untuk keluar dari konsep yang berbeda ini adalah
dengan mengingat bahwa gaji berkait dengan kompetensi dan harus tergantung pada
metode pengukuran kompetensi. Untuk melakukan hal ini penting bagi kita untuk
membedakan aspek kinerja input, proses, dan output, serta penting bagi kita untuk
mamahami bagaimana kompetensi diukur pada masing-masing aspek kinerja tersebut.
Sebagai input, kompetensi bisa diukur sebagai kapasitas tenaga pelaksana gizi untuk
menjalankan pekerjaannya. Sebagai sebuah proses, kompetensi bisa diukur dalam
bentuk perilaku yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan agar bisa secara efektif

mengubah input menjadi output. Sedangkan sebagai output, kompetensi diukur
melalui hasil perilaku tenaga pelaksana gizi dalam menggunakan pengetahuan,

keterampilan, dan atribut pribadi terbaiknya. Ketika ingin mencapai kompetensi
tertentu, tenaga pelaksana gizi perlu memiliki sejumlah kapabilitas.
Kapabilitas merupakan kombinasi dari dimensi-dimensi :
a.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan informasi yang dimiliki oleh seseorang. Pengetahuan

adalah kompenen utama kompetensi yang mudah diperoleh dan diidentifikasikan
(Hutapea P dan Thoha N, 2008). Notoatmodjo (2009), berpendapat bahwa
pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Menurut Boulter, Dalziel, dan Hill
(2003) yang dikutip oleh Sutrisno (2015), pengetahuan adalah apa yang diketahui
seseorang tentang suatu topik.
Mustopadidjaja (2009), menjelaskan pengetahuan adalah informasi yang
dimiliki oleh seseorang dalam suatu bidang tertentu. Sulistiyani dan Rosidah (2009),
juga mengemukakan konsep pengetahuan lebih berorientasi pada intelejensi, daya

pikir, dan penguasaan ilmu serta luas sempitnya wawasan yang dimiliki seseorang.
Dengan demikian pengetahuan adalah merupakan akumulasi hasil proses pendidikan,
baik yang diperoleh secara formal maupun nonformal yang memberikan kontribusi
pada seseorang di dalam pemecahan masalah, daya cipta, termasuk dalam melakukan
atau menyelesaikan pekerjaan.
Menurut Roger (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2009), pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (over behavior) yang memiliki enam (6) tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know), mengingatkan suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pada
tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau mengerti harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat

diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi lain. Misalnya; dapat menggunakan
prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cyclel) dalam
pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang ada.
4. Analisis (analysis), kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja; dapat menggambarkan (membuat sebagian),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis), kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis

adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang
sudah

ada,

misalnya;

dapat


menyusun,

merencanakan,

meringkaskan,

menyesuaikan, san sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang
telah ada.
6. Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan criteria-kriteria yang ada,
misalnya; dapat membandingkan anak yang cukup gizi dengan anak yang
kekurangan gizi.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian
(Notoatmodjo, 2012)
b. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,
2012). Dengan kata lain, sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang
terhadap stimulus atau objek.
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial yang dikutip oleh Notoatmodjo
(2012), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau
perilaku. Sifat dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif.
Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul
apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi
individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai
sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang member
kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif,
menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi
reaksi terhadap objek-sikap (Azwar, 2013).
Notoatmodjo (2009), menjelaskan bahwa sikap positif kecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu; sedangkan
pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci,
tidak menyukai objek tertentu.

Seperti halnya pengetahuan, sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1. Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap
gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramahceramah tentang gizi.
2. Merespons (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena
dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang

diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang
itu menerima ide tersebut.
3. Menghargai

(valuing),

mengajak

orang

lain


untuk

mengerjakan

atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya
seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan
sebagainya)

untuk

pergi

menimbangkan

anaknya

ke

posyandu

atau

mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi
tingkatnya (Notoatmodjo, 2012).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana
pendapat responden tentang imunisasi pada anak balita. Sikap juga dapat diukur dari
pertanyaan secara tidak langsung, misalnya; seandainya akan dibangun polindes di
desa ini, apakah anda mau membantu dana?, dan sebagainya. Untuk pertanyaan
secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan
menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan
terhadap objek tertentu, dengan menggunakan skala Lickert, dimana diberi nilai 5 bila
sangat setuju, 4 bila setuju, 3 bila biasa saja, 2 bila tidak setuju, dan 1 bila sangat
tidak setuju (Notoatmodjo, 2010).

c. Keterampilan
Keterampilan adalah hal-hal yang orang bisa lakukan dengan baik (Boulter,
Dalziel, dan Hill (2003) yang dikutip oleh Sutrisno (2015). Gordon (1988) yang juga
dikutip oleh Sutrisno (2015), mengartikan Skill (keterampilan) merupakan sesuatu
yang dimiliki individu untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan
kepadanya. Misalnya, pada saat memilih metode kerja yang dianggap lebih efektif
dan efisien.
Spencer dan Spencer (1993) yang dikutip oleh Wibowo (2014), keterampilan
adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas fisik atau mental tertentu. Wibowo
(2014), juga menjelaskan bahwa keterampilan memainkan peran di kebanyakan
kompetensi. Berbicara di depan umum merupakan keterampilan yang dapat
dipelajari, dipraktikkan, dan diperbaiki. Keterampilan menulis juga dapat diperbaiki
dengan instruksi, praktik, dan umpan balik. Pengembangan keterampilan yang secara
spesifik berkaitan dengan kompetensi.
2.1.1. Karakteristik Kompetensi
Kompetensi menjelaskan apa yang dilakukan orang ditempat kerja pada
berbagai

tingkatan

dan

memperinci

standar

masing-masing

tingkatan,

mengidentifikasi karakteristik, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan oleh
individual yang memungkinkan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab secara
efektif sehingga mencapai standar kualitas professional dalam bekerja.

Puskesmas seyogyanya memiliki tenaga pelaksana gizi yang berkualitas
dalam arti memenuhi persyaratan kompetensi untuk didayagunakan dalam usaha
merealisasikan visi dan mencapai tujuan-tujuan program yang ada di puskesmas.
Tenaga pelaksana gizi seperti itu hanya akan diperoleh dari sumber daya manusia
yang memenuhi ciri-ciri atau karakteristik : memiliki pengetahuan penuh tentang
tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya ; memiliki pengetahuan (knowledges) yang
diperlukan, terkait dengan pelaksanaan tugasnya secara penuh ; mampu
melaksanakan

tugas-tugas

yang

harus

dilakukannya

karena

mempunyai

keahlian/keterampilan (skills) yang diperlukan ; bersikap produktif, inovatif/kreatif,
mau bekerjasama dengan orang lain, dapat dipercaya, loyal, dan sebagainya (Ruky,
2003).
Gordon (1988) yang dikutip oleh Sutrisno (2015), juga menjelaskan beberapa
karakteristik yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut :
1. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya,
seorang karyawan mengetahui bagaimana cara melakukan pembelajaran yang
baik sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan kerja.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki
oleh individu. Misalnya, seorang karyawan melaksanakan pembelajaran harus
mempunyai pemahaman baik tentang kondisi kerja secara efektif dan efisien.
3. Keterampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk
melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya,

kemampuan karyawan dalam memilih metode kerja yang dianggap lebih efektif
dan efisien.
4. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara
psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku para
karyawan dalam melaksanakan tugas (kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan
lain-lain).
5. Sikap (attitude), yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi
terhadap suatu rangsangan yang dating dari luar. Misalnya, reaksi terhadap krisis
ekonomi, perasaan terhadap kenaikan gaji, dan sebagainya.
6. Minat (interest), adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan. Misalnya, melakukan suatu aktivitas kerja.
Aspek yang terkandung di dalam konsep kompetensi tersebut pada saat
operasional di lapangan dapat membuat sumber daya manusia mampu menggali
sumber daya-sumber daya lain yang di miliki institusi, serta mampu mengefektifkan
dan mengefisiensikan proses kerja di lapangan, dan mampu menghasilkan kinerja
yang memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat (konsumen).
Karakteristik kompetensi menurut Spencer dan Spencer (1993) yang dikutip
oleh Wibowo (2014), terdapat lima tipe karakteristik kompetensi, yaitu sebagai
berikut :
1. Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan orang yang
menyebabkan tindakan. Motif mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku
menuju tindakan atau tujuan tertentu.

2. Sifat adalah karakteristik fisik dan respon yang konsisten terhadap situasi atau
informasi. Kecepatan reaksi dan kepekaan terhadap keadaan umum anak yang
kurus merupakan cirri fisik kompetensi seorang tenaga kesehatan.
3. Konsep diri adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai
diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui bagaimana nilai yang
dimiliki seseorang, apa yang menarik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.
4. Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki orang dalam bidang spesifik.
Pengetahuan adalah kompetensi yang kompleks.
5. Keterampilan adalah kemampuan mengerjakan suatu tugas tertentu baik secara
fisik atau mental. Kompetensi mental atau keterampilan kognitif termasuk berfikir
analitis dan konseptual.
Pernyataan tersebut di atas dapat dirumuskan kesimpulan bahwa kompetensi
merupakan kemampuan menjalankan tugas atau pekerjaan dengan dilandasi oleh
pengetahuan, keterampilan, dan didukung oleh sikap yang menjadi karakteristik
individu.
2.1.2. Peran Kompetensi bagi Tenaga Pelaksana Gizi
Persoalan kebutuhan memperoleh sumber daya manusia yang unggul dan
professional yang diharapkan oleh banyak institusi dalam era globalisasi ini, sering
kali hanya menjadi angan-angan semata. Menurut Sutrisno (2015), beberapa pakar
dari cognitive science yang lebih dikenal sebagai the brain science mempercayai
bahwa upaya meningkatkan kompetensi sumber daya manusia akan menjadi lebih

sulit bahkan mungkin meleset manakala cara yang digunakan melupakan peranan dari
otak manusia sebagai sentral motor penggerak dari kerja manusia.
Peningkatan peran kompetensi merupakan strategi yang diarahkan untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan sikap tanggap dalam rangka peningkatan
kinerja. Dalam memberikan pelayanan kesehatan atau pelayanan kesehatan gizi yang
bermutu bagi masyarakat seperti pemantauan status gizi melalui pemantauan tumbuh
kembang anak balita, menuntut kesiapan tenaga pelaksana gizi untuk memiliki
kompetensi dalam memberikan pelayanan kesehatan gizi tersebut dengan
menunjukkan kinerjanya melalui kegiatan-kegiatan dalam bidang tugas dan
pekerjaannya di puskesmas.
Menurut Spencer dan Spencer (1993) yang dikutip oleh Wibowo (2014),
kondisi lingkungan kerja di masa depan menunjukkan meningkatnya teknologi dan
perubahan sosial. Setiap sumber daya manusia harus mampu untuk mengadopsi
teknologi baru, mencari informasi dan belajar tentang teknologi baru yang diperlukan
oleh tuntutan pekerjaan, melakukan inovasi dalam kualitas dan produktivitas yang
diperlukan, bekerja secara koperatif dan multidisiplin dengan rekan kerja yang
berbeda, serta mempunyai cukup inisiatif untuk mengatasi hambatan dalam
lingkungan kerja serta mengatasi masalah klien. Tenaga pelaksana gizi harus mampu
mengikuti setiap perkembangan yang terjadi pada program-program gizi yang ada di
puskesmas dan mampu menyelesaikan tugas yang diberikan sesuai dengan capaian
yang diinginkan. Hal ini menuntut puskesmas untuk memerlukan knowledge worker
atau tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan yang baik, dalam hal ini

kompetensi sumber daya manusia semakin penting, baik bagi: eksekutif, manajer,
maupun pekerja.
Kualitas tenaga pelaksana gizi tidak akan terlepas dari sebuah kerja
professional yang tetap memperhatikan kompetensi. Sebuah kualitas kerja haruslah
dilibatkan dalam konteks kerja yang merupakan profesi seseorang. Karenanya, tidak
mengherankan apabila kualitas tenaga pelaksana gizi yang tinggi diharapkan muncul
pada kaum professional, dimana kaum profesionallah yang memiliki keahlian,
institusi, dan kode etik yang memudahkan mereka untuk mengembangkan konsep,
program, dan memberikan pelayanan kesehatan gizi di puskesmas yang bisa mereka
gunakan untuk membentuk kinerja yang baik.

2.2. Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi
Menurut Ilyas (2012), kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik
kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Deskripsi dari kinerja menyangkut
tiga (3) komponen penting yaitu: tujuan, ukuran, dan penilaian. Penentuan tujuan
merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah
dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan terhadap
setiap personel pekerja. Ukuran dibutuhhkan untuk melihat apakah seorang personel
telah mencapai kinerja yang diharapkan. Penilaian kinerja secara regular yang
dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan kinerja setiap personel.
Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-

masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal,
tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika Prawirosentono (1999).
Menurut Mangkunegara (2014), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, dan merupakan kombinasi dari
kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.
Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya. Faustino Cardosa Gomes yang dikutip oleh
Mangkunegara (2014) mengemukakan definisi kinerja sebagai ungkapan seperti
output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas.
Sedangkan Menurut Mangkunegara (2014), kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kinerja sumber daya manusia adalah
prestasi kerja, atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai
sumber daya manusia per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Penilaian prestasi kerja
merupakan usaha yang dilakukan pimpinan untuk menilai hasil kerja bawahannya.
Bernardin dan

Russel yang dikutip oleh Ruky (2003),

memberikan

pengertian kinerja sebagai berikut : “performance is defined as the record of
outcomes produced on a specified job function or activity during time period.

Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsifungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu. Menurut
Gibson, dkk (2003), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan
tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan kinerja lainnya.
Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Simanjuntak (2005) yang
mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas
tertentu. Menurut Irawan (2002), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja
yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga
macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita
juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja
pegawai. Pendapat Prawirosentono (2002), mendefenisikan kinerja sebagai
performance, yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masingmasing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal,
tidak melanggar hokum dan sesuai dengan moral dan etika.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat
disimpulkan bahwa pengertian kinerja maupun prestasi kerja mengandung substansi
pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan demikian bahwa kinerja maupun
prestasi kerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja
lembaga (institutional performance) atau kinrja perusahaan (corporate performance)
terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual

performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate
performance) juga baik.
Ahli Gizi dan ahli madya gizi adalah tenaga kesehatan gizi yang telah
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan akademik dalam tenaga kesehatan gizi yang
sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab kerja dan wewenang
kerja secara penuh untuk melakukan kegiatan fungsional dalam tenaga kesehatan gizi
dan pelayanan gizi, makanan dan dietetik baik di masyarakat (puskesmas), individu
atau Rumah Sakit (Kepmenkes no. 374, 2007).
Tugas pokok tenaga pelaksana gizi puskesmas yang dapat kita nilai hasil
kinerjanya, apakah sesuai dengan sasaran dan cakupan di puskesmas adalah sebagai
berikut:
1. Menyusun rencana kegiatan peningkatan gizi masyarakat berdasarkan data
program puskesmas.
2. Melaksanakan kegiatan peningkatan gizi masyarakat meliputi: Upaya Perbaikan
Gizi Keluarga (UPGK); Penanggulangan Gizi Kurang dan Gizi Buruk;
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (AGB); Penanggulangan Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY); Penanggulangan defisiensi vitamin A. Sasarannya
adalah Bayi, Balita dan Ibu Nifas; Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
(SKPG); Pengembangan Pojok Gizi dengan penyuluhan diet kepada pasien rawat
jalan.
3. Mengevaluasi hasil kegiatan peningkatan gizi masyarakat.
4. Pencatatan dan pelaporan.

5. Melaporkan kegiatan program kepada kepala Puskesmas.
Fungsi pokok dari tenaga pelaksana gizi di puskesmas adalah membantu
kepala puskesmas dalam menyelenggarakan kegiatan perbaikan gizi masyarakat
(Kemenkes, 2014). Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja
tenaga pelaksana gizi adalah sesuatu yang dicapai oleh seorang tenaga pelaksana gizi
dalam melaksanakan kegiatannya, baik tugas pokok maupun kegiatan administrasi,
kegiatan pembinaan serta kegiatan lain-lain yang dapat mendukung keberhasilan
tugas-tugasnya.
Kegiatan pelayanan gizi di puskesmas mulai dari upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas. Pelayanan gizi
di puskesmas dilakukan di dalam gedung dan di luar gedung. Pemantauan dan
penilaian status gizi merupakan kegiatan pelayanan gizi di luar gedung yang terdapat
pada kegiatan pengelolaan pemantauan pertumbuhan di posyandu. Fungsi tenaga
pelaksana gizi di sini adalah : merencanakan kegiatan pemantauan pertumbuhan di
wilayah kerja puskesmas, memberikan pembinaan kepada kader posyandu agar
mampu melakukan pemantauan pertumbuhan di posyandu, melakukan penimbangan,
membina kader dalam menyiapkan SKDN dan pelaporan, menyusun laporan
pelaksanaan pemantauan pertumbuhan di wilayah kerja puskesmas, dan memberikan
konfirmasi terhadap hasil pemantauan pertumbuhan. Secara utuh kegiatan pelayanan
gizi di luar gedung tidak sepenuhnya dilakukan hanya di luar gedung, tahap
perencanaan tetap dilakukan di dalam gedung (Kemenkes, 2014).

2.2.1. Penilaian Kinerja
Mengginson (1981) yang dikutip oleh Mangkunegara (2014), penilaian
prestasi kerja (performance appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan
untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981) yang juga
dikutip oleh Mangkunegara (2014) mengemukakan bahwa penilaian pegawai
merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat
dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau
status dari beberapa obyek orang ataupun sesuatu barang.
Menurut Handoko (2001), penilaian prestasi kerja (performance appraisal)
adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi
kerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan
memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis
untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu,
juga untuk menentukan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggapan yang
lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam
hal promosi jabatan dan penentuan imbalan.
Tujuan dari penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja institusi dan sumber daya manusianya. Secara spesifik, tujuan

dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan Agus Sunyoto (1999) yang dikutip
oleh Mangkunegara (2014) adalah:
1. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratankinerja.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seseorang karyawan, sehingga mereka
termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi
sama dengan prestasi yang terdahulu.
3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan
yang diembannya sekarang.
4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga
karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu
jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
Penilaian kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan/kegagalan
pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi instansi pemerintah. Penilaian
kinerja mencakup penetapan indikator kinerja dan penetapan capaian indikator
kinerja. Selanjutnya dilakukan evaluasi kinerja dan analisis pencapaian kinerja
dengan

menginterprestasikan

lebih

lanjut

hasil

penilaian

kinerja

yang

menggambarkan keberhasilan/kegagalan instansi pemerintah dalam melaksanakan
misinya (LAN, 2011).

2.2.2. Syarat Penilaian Kinerja
Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan
penilaian kinerja yang efektif, yaitu : adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara
objektif, dan adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes 2003, yang dikutip
oleh Wandhie, 2015).
Sedangkan dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Siagian (2008)
yang dikutip oleh Wandhie (2015), menjelaskan bahwa bagi individu penilaian
kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan,
keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk
menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya. Sedangkan bagi
organisasi, hasil penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan
pengambilan keputusan tentang berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program
pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan,
promosi, sistem balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber
daya manusia.
2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pencapaian Kinerja
Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan
(ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis
yang dikutip oleh Mangkunegara (2014) yang merumuskan bahwa :
1. Faktor kamampuan (Ability) = Knowledge x Skill.
Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pimpinan dan karyawan yang

memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ superior, very superior,
gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk pekerjaannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah
mencapai kinerja maksimal.
2. Faktor motivasi (Mitivation) = Attitude x Situation.
Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi
kerja (situation) di lingkungan kerjanya. Mereka yang bersikap positif (pro)
terhadap situasi kerjanya, akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan
sebaliknya. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja,
fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja, dan
kondisi kerja.
Menurut Timple (1992) yang dikutip oleh Mangkunegara (2014), faktorfaktor kinerja terdiri dari : faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang
dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik
disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan orang itu tipe pekerja keras
dan sebaliknya. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakantindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim institusi.
Menurut Berbardin, et all. (1998) yang dikutip oleh Mangkunegara (2014),
ada enam aspek yang dapat dinilai sebagai variabel kinerja, yaitu: mutu pekerjaan,
kualitas pekerjaan, batas waktu, efektivitas biaya, inisiatif, dan dampak sosial.
Sedangkan, menurut As’ad (1995), faktor yang berhubungan dengan kinerja adalah:

a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan pegawai
seperti minat, inteligensi, pendidikan, sikap terhadap kerja, bakat, dan
keterampilan.
b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antara
tenaga kerja dengan atasan maupun sesama pegawai.
Faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja secara teoritis ada tiga
kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu : variabel
individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel
tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja
personel. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan
tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran akhir. Dari
aspek mikro, biasanya kinerja personel dilihat secara individual dari unit pada
organisasi kesehatan (Ilyas, 2012)
2.2.4. Strategi Meningkatkan Kinerja
Menurut Schuller, et all. (1999) yang dikutip oleh Mangkunegara (2014), ada
beberapa strategi untuk meningkatkan kinerja karyawan, yaitu:
1. Dorongan positif (positive reinforcement)
Dorongan positif melibatkan penggunaan penghargaan positif untuk
meningkatkan terjadinya kinerja yang diinginkan. Dorongan ini didasarkan pada dua
prinsip fundamental: (1) orang berkinerja sesuai dengan cara yang mereka pandang
paling menguntungkan bagi mereka, dan (2) dengan memberikan penghargaan yang
semestinya, orang dimungkinkan memperbaiki kinerjanya.

Sistem dorongan positif dapat dirancang berdasarkan prinsip teori dorongan:
a. Lakukan audit kinerja. Audit kinerja mengkaji seberapa baik pekerjaan
dilaksanakan.
b. Tetapkan standar dan tujuan kinerja. Standar adalah tingkat minimum kinerja
yang diterima. Tujuan adalah tingkat kinerja yang ditargetkan. Keduanya harus
ditetapkan setelah audit kinerja dan harus dikaitkan langsung dengan pekerjaan.
Tujuan dan standar harus dapat diukur dan dapat dicapai.
c. Berikan umpan balik kepada karyawan mengenai kinerjanya. Standar kinerja
tidak efektif tanpa ukuran dan umpan balik terus menerus. Umpan balik harus
netral dan bahan evaluatif bersifat menilai dan bila mungkin harus disampaikan
secara langsung kepada karyawan, bukan kepada penyelia. Umpan balik langsung
yang tepat memberi pengetahuan yang dibutuhkan pekerja untuk dipelajari.
Umpan balik memungkinkan pekerja mengetahui apakah kinerja mereka
meningkat, tetap sama atau bertambah buruk.
d. Beri karyawan pujian atau imbalan yang berkaitan langsung dengan kinerja. Jika
penghargaan berupa pujian, maka harus dinyatakan dalam bentuk kuantitatif dan
spesifik. Salah satu penghargaan yang umum adalah uang. Meskipun uang sangat
efektif sebagai motivator, tetapi banyak organisasi sering tidak mampu
menggunakannya.Walaupun begitu, penghargaan lainnya sama efektifnya.
Mereka memasukkan pujian dan pengakuan berkaitan dengan perilaku pekerjaan
spesifik, peluang untuk memilih kegiatan, peluang untuk megukur perbaikan
kerja secara pribadi, dan peluang untuk mempengaruhi mitra kerja dan

manajemen. Penghargaan untuk kinerja tertentu harus diberikan sesegera
mungkin setelah perilaku itu berlangsung.
2. Program disiplin positif
Program ini memberi tanggung jawab perilaku karyawan di tangan karyawan
sendiri. Bagaimanapun, program ini memberitahu karyawan bahwa perusahaan
perduli dan akan tetap mempekerjakan karyawan selama ia berkomitmen untuk
bekerja dengan baik. Jika karyawan membuat komitmen tersebut, perusahaan
mempunyai karyawan yang baik. Jika karyawan memutuskan untuk keluar, ia tidak
punya alasan riil untuk menyalahkan perusahaan.
3. Program bantuan karyawan
Program bantuan karyawan menolong karyawan mengatasi masalah-masalah
kronis pribadi yang menghambat kinerja dan kehadiran mereka di tempat kerja.
4. Manajemen pribadi
Manajemen pribadi (self management) adalah suatu pendekatan yang relatif
baru untuk mengatasi ketidaksesuaian kinerja. Manajemen pribadi mengajari orang
mengamati perilaku sendiri, membandingkan outputnya dengan tujuannya, dan
memberikan dorongan untuk menopang komitmen pada tujuan dan kinerja.

2.3. Penilaian Status Gizi
Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dapat dibedakan antara status gizi buruk, kurang,
baik, dan lebih (Almatsier, 2010). Menurut Suharjo (1996), status Gizi Anak adalah

keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zatzat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur
secara antropometri.
Penilaian status gizi merupakan pemeriksaan keadaan gizi individu dengan
cara mengumpulkan data dan membandingkan data dengan standar yang ditetapkan
(Arisman, 2009). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian status gizi secara langsung melalui antropometri, klinis, biokimia
dan biofisik sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung melalui survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2001).
Penilaian status gizi kesehatan individu sangat dipengaruhi oleh konsumsi
zat gizi. Bila status gizi kesehatan individu adalah baik, itu merupakan modal utama
bagi kesehatan individu. Asupan gizi yang salah atau tidak sesuai akan menimbulkan
masalah kesehatan. Selain masalah gizi kurang, akhir-akhir ini ditemukan juga
dampak dari konsumsi berlebih, tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak
balita. Masalah yang sering muncul adalah obesitas (berat badan berlebih)
(Sulistyoningsih, 2011).
Anak balita merupakan kelompok rawan yang mudah sekali mengalami
masalah kesehatan dan gizi. Masalah status gizi pada anak secara garis besar
merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi
(nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya.
Penilaian status gizi anak balita pada prinsipnya serupa dengan penilaian pada
periode kehidupan lainnya. Penilaian dengan metode antropometris yang penting

dilakukan ialah dengan memperhatikan umur, menimbang berat badan, dan mengukur
tinggi badan (Arisman, 2010). Menurut Samsudin (1985) yang dikutip oleh Santoso
(2009), nilai keadaan gizi anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah satu
parameter yang penting untuk nilai keadaan tumbuh kembang fisik anak dan nilai
keadaan kesehatan anak tersebut. Parameter untuk mengukur kemajuan pertumbuhan
yang biasa dipergunakan adalah berat badan.
Penilaian Status Gizi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung
dan secara tidak langsung.
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian,
yaitu:
a.

Antropometri
Metode penilaian status gizi yang paling sering digunakan yaitu antropometri.
Antropometri berasal dari kata Anthropos dan Metros. Anthropos artinya tubuh
dan Metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh.
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri secara umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan
jumlah air dalam tubuh.
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa parameter, diantaranya adalah: umur, berat badan, dan tinggi badan.

Antropometri gizi berhubungan dengan pengukuran dimensi dan komposisi
tubuh dengan berbagai tingkat umur dan keadaan gizi. Indeks antropometri yang
sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) dan lingkar
lengan atas (LILA).
Pemakaian antropometri untuk penilaian status gizi, disajikan dalam bentuk
indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai
berikut :
1.

Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan
penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil
penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak
berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang
sering muncul adalah adanya kecenderunagn untuk memilih angka yang
mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur
anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12
bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan
penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan ( Depkes RI,
2004).
Faktor umur penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan
umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil
pengukuran berat badan dan tinggi badan yang akurat, akan menjadi tidak

berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Menurut
Puslitbang Gizi Bogor (1980), batasan umur digunakan adalah tahun umur
penuh (Completed Year), contoh: 7 tahun 2 bulan; dihitung 7 tahun, dan
untuk anak umur 0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (Completed Month),
contoh: 4 bulan 5 hari; dihitung 4 bulan.
2.

Berat badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran
massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap
perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi
makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks
BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam
melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam
penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling
banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja
tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan
kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Abunain, 1990).
Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan alat ukur dacin
yang angka ketelitiannya 0,1 kg dengan kapasitas minimum 20 kg dan
maksimum 25 kg, tetapi apabila menggunakan dacin berkapasitas 50 kg
dapat juga dilakukan, tetapi hasilnya agak kasar. Selain dacin, jenis
timbangan lain yang di gunakan di Puskesmas adalah detecto.

3.

Tinggi badan
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk
melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan
berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan
dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau
juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan
karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan
setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran
keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang
menahun (Depkes RI, 2004).

Sedangkan untuk melakukan pengukuran tinggi badan menggunakan alat ukur
mikrotoa (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Untuk bayi atau anak
yang belum dapat berdiri, digunakan alat pengukur panjang bayi.
Berat badan dan tinggi badan

adalah salah satu parameter penting untuk

menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan
status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator
status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi
tubuh (Khumaidi, 1994).
Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitive/peka
dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan
BB/U. Dinyatakan dalam BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi

kurus/wasting < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai
masalah gizi yang sangat serius

dan berhubungan langsung dengan

angka

kesakitan.
Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menurut WHO Anthro 2005
Kategori
Status Gizi
Gizi Buruk
Berat Badan Menurut Umur
Gizi Kurang
(BB/U)
Gizi Baik
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Gizi Lebih
Panjang Badan Menurut
Umur
Sangat Pendek
(PB/U) atau
Pendek
Tinggi Badan Menurut
Normal
Umur
Tinggi
(TB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Berat
Badan
Menurut
Panjang Badan (BB/PB) Sangat Kurus
atau
Kurus
Berat
Badan
Menurut Normal
Tinggi Badan (BB/TB)
Gemuk
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus
Indeks
Massa
Tubuh
Kurus
menurut Umur (IMT/U)
Normal
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Gemuk
Sangat Kurus
Indeks
Massa
Tubuh Kurus
menurut Umur (IMT/U)
Normal
Anak Umur 5 – 18 Tahun
Gemuk
Obesitas
Sumber : Kemenkes RI, 2013
Indeks

Ambang Batas
( Z – Score )
< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
> 2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
> 2 SD

< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
> 2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
> 2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2SD
-2 SD sampai dengan 1 SD
>1 SD sampai dengan 2 SD
> 2 SD

Beberapa hal yang mendasari penggunaan antropometri adalah:
a. Alatnya mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan atas,
mikrotoa, dan alat pengukur panjang bayi yang dapat dibuat sendiri di rumah
serta biaya relatif murah.
b. Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif serta
pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus professional, juga
oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu.
c. Hasilnya mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas (cut off
points) dan baku rujukan yang sudah pasti.
d. Secara ilmiah diakui kebenarannya. Hampir semua Negara menggunakan
antropometri sebagai metode untuk mengukur status gizi masyarakat,
khususnya untuk penapisan (screening) status gizi. Hal ini dikarenakan
antropometri diakui kebenarannya secara ilmiah.
Keunggulan dari antropometri gizi adalah sebagai berikut:
a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang
besar.
b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga
yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran
antropometri.
c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di
daerah setempat.

d. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan serta dapat mendeteksi
atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
e. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk,
karena sudah ada ambang batas yang jelas.
f. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode
tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya serta dapat digunakan
untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.
Kelemahan metode penilaian status gizi secara antropometri, yaitu:
a. Tidak sensitif. Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu
singkat dan tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu.
b. Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi)
dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.
c. Kesalahan yang terjadi saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi,
dan validitas pengukuran antropometri gizi.
d. Kesalahan ini terjadi karena: pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik
fisik maupun komposisi jaringan, dan analisis/asumsi yang keliru.
e. Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan: latihan petugas yang tidak
cukup, kesalahan alat atau alat tidak ditera (kalibrasi), dan kesulitan
pengukuran.
b.

Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini did

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penatalaksanaan Gizi dan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi Balita Gizi Buruk di Puskesmas Se-Kota Medan

2 54 105

Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar

3 41 99

Pola Makan dan Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga di Kelurahan Pekan Dolok Masihul Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011

5 41 77

Status Gizi Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP) Di Puskesmas Tambusai Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau

2 43 79

Gambaran Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Di Puskesmas Mandala Medan Tahun 2009

0 57 105

Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015

0 0 18

Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015

0 1 8

Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015

0 0 4

Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015

0 0 31