Pengaruh Penatalaksanaan Gizi dan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi Balita Gizi Buruk di Puskesmas Se-Kota Medan

(1)

PENGARUH PENATALAKSANAAN GIZI DAN PENGETAHUAN TENAGA PELAKSANA GIZI (TPG) TERHADAP KEBERHASILAN PUSKESMAS

DALAM PERBAIKAN STATUS GIZI PADA BALITA GIZI BURUK DI PUSKESMAS SE-KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

MARLINA 097032030/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF NUTRITION MANAGEMENT AND KNOWLEDGE OF NUTRITIONIST ON THE SUCCESS OF HEALTH CENTRES IN

IMPROVING THE NUTRITIONAL STATUS OF MALNOURISHED CHILDREN

YEARS OLD

UNDER FIVE AT ALL HEALTH CENTRES

IN MEDAN

THESIS

By

MARLINA 097032030/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATRA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH PENATALAKSANAAN GIZI DAN PENGETAHUAN TENAGA PELAKSANA GIZI (TPG) TERHADAP KEBERHASILAN PUSKESMAS

DALAM PERBAIKAN STATUS GIZI PADA BALITA GIZI BURUK DI PUSKESMAS SE-KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARLINA 097032030/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH PENATALAKSANAAN GIZI DAN PENGETAHUAN TENAGA PELAKSANA GIZI (TPG) TERHADAP KEBERHASILAN PUSKESMAS

DALAM PERBAIKAN STATUS GIZI PADA BALITA GIZI BURUK DI PUSKESMAS SE-KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

Marlina 097032030/IKM


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 9 Agustus2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Anggota : 1. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes

: 2. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si : 3. dr. Surya Dharma, M.P.H


(6)

Judul Tesis : PENGARUH PENATALAKSANAAN GIZI DAN PENGETAHUAN TENAGA

PELAKSANA GIZI (TPG) TERHADAP KEBERHASILAN PUSKESMAS DALAM PERBAIKAN STATUS GIZI PADA BALITA GIZI BURUK DI PUSKESMAS SE-KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Marlina Nomor Induk Mahasiswa : 097032030

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kebijakan Gizi Masyarakat

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si) (

Ketua Anggota

Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(7)

ABSTRAK

Data Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah telah melakukan berbagai program, dan salah satu program tersebut juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014 yaitu menurunkan angka gizi buruk dari 8,5% menjadi 5% pada akhir tahun 2009, prevalensi gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi balita pendek menjadi 32% pada tahun 2011, serta meningkatkan cakupan tatalaksana gizi buruk yang mendapat perawatan.

Jenis penelitian adalah survei evaluation observasional untuk mengetahui pelaksanaan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk, sedangkan rancangan penelitian menggunakan pre-test dan post-test design yang gunanya untuk menilai keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk, dengan melihat data hasil pengukuran antropometri (BB/TB) yang telah dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi sebelum dan sesudah dilakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada variabel faktor penatalaksanaan terdapat 3 (tiga) variabel yang berpengaruh yaitu tatacara (p=0,024), tindak lanjut (p =0,043) dan pengawasan (p=0,044). Variabel yang paling dominan memengaruhi keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk adalah variabel tatacara dengan nilai koefisien regresi exp (B) 37,261. Hal ini menunjukkan variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk di puskesmas se-Kota Medan.

Walaupun tidak terdapat pengaruh pengorganisasian dan pengetahuan TPG terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk, tetapi tetap perlu dibentuk tim asuhan gizi di setiap puskesmas, demi menegakkan diagnosa yang akurat, dan penambahan pengetahuan TPG dengan pelatihan tatalaksana gizi buruk, sehingga dalam penanganan kasus gizi buruk dapat dilakukan secara baik sesuai standar dengan hasil yang optimal.


(8)

ABSTRACT

The data from the Ministry of Health showed that at least 3.5 million children die every year due to malnutrition and poor quality of food. To overcome this problem, the government has done various programs, and one of the programs is stated in the Medium Term Development Plan 2010 – 2014, to decrease the rate of malnutrition from 8.5% to 5% at the end of 2009, the prevalence of malnutrition became 15% and the prevalence of stunted children under five years old became 32% in 2011, and to increase the coverage of malnutrition management of those receiving care.

The purpose of this evaluation observational survey study with pre-test and post-test design was to find out the implementation of nutrition management and to evaluate the success of health center in improving the nutritional status in the children under five years old with malnutrition by looking at the data of the result of anthropometric measurement (Body Weight/Body Height) by the nutritionists before and after the nutrition management was done to the children with malnutrition.

The result of this study showed that of the variables of management factor

there were 3 influencing variables such as procedures with (p=0,024), follow-upwith

(p=0,043)andmonitoringwith (p=0,044)

The most dominant variable influencing the success of health centres in improving the nutritional status of the children under five years old was procedure with Exp. (Β) 37.261. This showed that the variable had a significant influence on the success of health centres in improving the nutritional status of the children under five years old with malnutrition at all of the health centres in Medan.

.

Even though the organization and knowledge of the Nutritionists did not have influence on the success of health centres in improving the nutritional status of the children under five years old with malnutrition, a team of nutritionists care still need to be established at each health centres to establish an accurate diagnosis and to improve the knowledge of nutritionists through training on malnutrition management that a standard result can be optimally achieved in handling a malnutrition case.

Keywords: Nutrition Management, Nutritionists Knowledge, Nutritional Status


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala karunia dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pengaruh Penatalaksanaan Gizi dan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi Balita Gizi Buruk di Puskesmas Se-Kota Medan.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.SC. (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai penguji satu yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian memberikan bimbingan dan arahan sejak penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini.

5. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes selaku pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian memberikan bimbingan sejak penyusunan proposal hingga tesis ini selesai . 6. dr. Surya Dharma, M.P.H selaku penguji dua yang telah memberikan masukan dan saran


(10)

7. Suami tercinta Muhammad Yusman, S.H dan anak-anakku tersayang Muhammad Pradana Akbar dan Aisyah Dwita yang telah mengizinkan dan memberikan dukungan serta doanya.

8. Ibunda tercinta Hj.Nisbah Lailanif, kakak dan abang tersayang serta seluruh keluarga atas perhatian dan kasih sayangnya yang tiada pernah berhenti.

9. Sahabat terbaik Iriadi, Elvipson Sinaga, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis untuk berkonsultasi dalam penyusunan tesis ini hingga selesai.

10. Proyek NICE pusat dan Provinsi Sumatera Utara yang telah mendukung pendanaan sampai selesai pendidikan saya.

11. Dinas Kesehatan Kota Medan dan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Se-Kota Medan

yang telah bersedia membantu dan bersedia memberikan data-data dalam penelitian ini. Hanya Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini

RIWAYAT HIDUP

Medan, September 2012 Penulis

Marlina 097032030/IKM


(11)

Penulis bernama Marlina dilahirkan di Tebing Tinggi pada tanggal 9 Januari 1971, anak ke empat dari empat bersaudara. Penulis telah menikah dan dikarunia dua orang putra dan putri bertempat tinggal di Komplek Menteng Indah Blok F4 No. 12 A Medan.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Swasta F.Tandean Tebing Tinggi pada Tahun 1983, menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SKKP Negeri Tebing Tinggi Tahun 1986, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Tebing Tinggi tamat pada Tahun 1989, Tahun 1993 menamatkan D-III Gizi Padang dan melanjutkan S1 pada Fakultas Kesehatan Masyarakat di FKM USU Medan tamat pada Tahun 2003.

Penulis memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sejak tahun 1994 sampai sekarang. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat dengan minat studi Administrasi Kebijakan Gizi Masyarakat.


(12)

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Hipotesis ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Status Gizi pada Balita ... 9

2.1.1. Masalah Gizi pada Balita ... 10

2.1.2. Penilaian Status Gizi pada Balita ... 11

2.1.3. Gizi Buruk pada Balita ... 13

2.1.4. Penyebab Gizi Buruk pada Balita ... 14

2.2. Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita ... 15

2.2.1. Aspek-aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita ... 17

2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita ... 20

2.3. Pengetahuan ... 23

2.3.1. Pengertian Pengetahuan ... 23

2.3.2. Tingkat Pengetahuan ... 24

2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan ... 26

2.4. Penatalaksanaan Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk ... 27

2.5. Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi dan Perbaikan Status Gizi Buruk... 30

2.6. Landasan Teoritis ... 32

2.7. Kerangka Konsep ... 34

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Jenis Penelitian ... 36


(13)

3.3. Populasi dan Sampel ... 37

3.3.1. Populasi ... 37

3.3.2. Sampel ... 37

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 39

3.5.1. Variabel Penelitian ... 39

3.5.2. Defenisi Operasional ... 39

. 3.5.2.1. Variabel Bebas ... 39

3.5.2.2. Variabel Terikat ... 41

3.6. Metode Pengukuran ... 41

3.7. Metode Analisis Data ... 44

3.7.1. Analisis Univariat ... 44

3.7.2. Analisis Bivariat ... 45

3.7.2. Analisis Multivariat……….. 45

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 46

4.1. Gambaran Umum Penelitian ... 46

4.1.1.Gambaran Umum Kota Medan ... 46

4.1.2.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46

4.1.3.Karakteristik Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas ... 48

4.2. Penatalaksanaan Gizi di Puskesmas se-Kota Medan ... 50

4.2.1. Pengorganisasian ... 50

4.2.2. Tatacara ... 51

4.2.3. Tindak Lanjut ... 53

4.2.4. Pengawasan ... 54

4.3. Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas se-Kota Medan ... 55

4.4. Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 56

4.5. Hubungan Penatalaksanaan Gizi dan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 56

4.5.1. Hubungan Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 57

4.5.1.1. Pengorganisasian ... 57

4.5.1.2. Tatacara ... 58

4.5.1.3. Tindak Lanjut ... 58

4.5.1.4. Pengawasan ... 59 4.5.2. Hubungan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi


(14)

Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di

Puskesmas se-Kota Medan ... 60

4.6. Pengaruh Penatalaksanaan Gizi dan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 60

BAB 5. PEMBAHASAN ... 65

5.1. Penatalaksanaan Gizi di Puskesmas se-Kota Medan ... 65

5.1.1. Pengorganisasian ... 66

5.1.2. Tatacara ... 66

5.1.3. Tindak Lanjut ... 67

5.1.4. Pengawasan ... 68

5.2. Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas se-Kota Medan ... 69

5.3. Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 70

5.4. Pengaruh Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 71

5.4.1.Pengaruh Pengorganisasian Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 73

5.4.2.Pengaruh Tatacara Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan 75 5.4.3.Pengaruh Tindak Lanjut Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 77

5.4.4.Pengaruh Pengawasan Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 79

5.5. Pengaruh Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan ... 80


(15)

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN………. 90

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Penentuan Status Gizi Secara Klinis dan Antropometri

(BB/TB Standar WHO-2005)………...


(16)

3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ………...………. 44 4.1 Daftar Puskesmas se-Kota Medan yang Mempunyai Balita

Gizi Buruk………..

48

4.2 Karakteristik Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas Berdasarkan Umur, Jenis kelamin, Lama Bekerja dan Latar Belakang Pendidikan di 30 Puskesmas yang Mempunyai

Balita Gizi Buruk………... 49

4.3 Distribusi Frekuensi Pengorganisasian Penatalaksanaan Gizi

di Puskesmas se-Kota Medan………. 51

4.4 Distribusi Frekuensi Kategori Pengorganisasian Penatalaksanaan Gizi di Puskesmas se-Kota Medan…………. 51 4.5 Distribusi Frekuensi Tatacara Penatalaksanaan Gizi di

Puskesmas se-Kota Medan……… 52

4.6 Distribusi Frekuensi Kategori Tatacara Penatalaksanaan Gizi

di Puskesmas se-Kota Medan……… 53

4.7 Distribusi Frekuensi Tindak Lanjut Penatalaksanaan Gizi di

Puskesmas se-Kota Medan……… 53

4.8 Distribusi Frekuensi Kategori Tindak Lanjut Penatalaksanaan

Gizi di Puskesmas se-Kota Medan……… 54 4.9 Distribusi Frekuensi Pengawasan Penatalaksanaan Gizi di

Puskesmas se-Kota Medan……… 54

4.10 Distribusi Frekuensi Kategori Pengawasan Penatalaksanaan

Gizi di Puskesmas se-Kota Medan……… 55 4.11 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi di

Puskesmas se-Kota Medan……… 55

4.12 Distribusi Frekuensi Kategori Pengetahuan Tenaga Pelaksana


(17)

4.13 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas

se-Kota Medan………...……… 56

4.14 Hubungan Pengorganisasian Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota

Medan………...………. 57

4.15 Hubungan Tatacara Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota

Medan………...………. 58

4.16 Hubungan Tindak Lanjut Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota

Medan………...………. 59

4.17 Hubungan Pengawasan Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota

Medan………...……….. 59

4.18 Hubungan Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota

Medan………...……….. 60

4.19 Pengaruh Faktor Penatalaksanaan Gizi (Tatacara, Tindak Lanjut dan Pengawasan) terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di

Puskesmas se-Kota Medan……… ………... 62


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Nomor Judul Halaman


(19)

1. Kuesioner Penelitian ………...………. 90

2. Master Data ………... 97

3. Hasil Uji Statistik ….………. 99

4

5.

Daftar Nama-nama Balita Gizi Buruk yang Mendapat Penatalaksanaan Gizi……… Tabel Standar WHO-2005 ………

118 124 6.

7.

Distribusi Jawaban Tentang Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas se-Kota Medan……… Surat Izin Penelitian dari FKM USU ...………...……….

131 134 8. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan……. 135 9. Surat Selesai Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan…. 136


(20)

ABSTRAK

Data Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah telah melakukan berbagai program, dan salah satu program tersebut juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014 yaitu menurunkan angka gizi buruk dari 8,5% menjadi 5% pada akhir tahun 2009, prevalensi gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi balita pendek menjadi 32% pada tahun 2011, serta meningkatkan cakupan tatalaksana gizi buruk yang mendapat perawatan.

Jenis penelitian adalah survei evaluation observasional untuk mengetahui pelaksanaan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk, sedangkan rancangan penelitian menggunakan pre-test dan post-test design yang gunanya untuk menilai keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk, dengan melihat data hasil pengukuran antropometri (BB/TB) yang telah dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi sebelum dan sesudah dilakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada variabel faktor penatalaksanaan terdapat 3 (tiga) variabel yang berpengaruh yaitu tatacara (p=0,024), tindak lanjut (p =0,043) dan pengawasan (p=0,044). Variabel yang paling dominan memengaruhi keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk adalah variabel tatacara dengan nilai koefisien regresi exp (B) 37,261. Hal ini menunjukkan variabel tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk di puskesmas se-Kota Medan.

Walaupun tidak terdapat pengaruh pengorganisasian dan pengetahuan TPG terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk, tetapi tetap perlu dibentuk tim asuhan gizi di setiap puskesmas, demi menegakkan diagnosa yang akurat, dan penambahan pengetahuan TPG dengan pelatihan tatalaksana gizi buruk, sehingga dalam penanganan kasus gizi buruk dapat dilakukan secara baik sesuai standar dengan hasil yang optimal.


(21)

ABSTRACT

The data from the Ministry of Health showed that at least 3.5 million children die every year due to malnutrition and poor quality of food. To overcome this problem, the government has done various programs, and one of the programs is stated in the Medium Term Development Plan 2010 – 2014, to decrease the rate of malnutrition from 8.5% to 5% at the end of 2009, the prevalence of malnutrition became 15% and the prevalence of stunted children under five years old became 32% in 2011, and to increase the coverage of malnutrition management of those receiving care.

The purpose of this evaluation observational survey study with pre-test and post-test design was to find out the implementation of nutrition management and to evaluate the success of health center in improving the nutritional status in the children under five years old with malnutrition by looking at the data of the result of anthropometric measurement (Body Weight/Body Height) by the nutritionists before and after the nutrition management was done to the children with malnutrition.

The result of this study showed that of the variables of management factor

there were 3 influencing variables such as procedures with (p=0,024), follow-upwith

(p=0,043)andmonitoringwith (p=0,044)

The most dominant variable influencing the success of health centres in improving the nutritional status of the children under five years old was procedure with Exp. (Β) 37.261. This showed that the variable had a significant influence on the success of health centres in improving the nutritional status of the children under five years old with malnutrition at all of the health centres in Medan.

.

Even though the organization and knowledge of the Nutritionists did not have influence on the success of health centres in improving the nutritional status of the children under five years old with malnutrition, a team of nutritionists care still need to be established at each health centres to establish an accurate diagnosis and to improve the knowledge of nutritionists through training on malnutrition management that a standard result can be optimally achieved in handling a malnutrition case.

Keywords: Nutrition Management, Nutritionists Knowledge, Nutritional Status


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Dari data Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung pula oleh kekurangan gizi selama masih didalam kandungan. Hal ini dapat berakibat kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saat anak beranjak dewasa. Dr.Bruce

Cogill, seorang ahli gizi dari badan PBB UNICEF mengatakan bahwa isu global

tentang gizi buruk saat ini merupakan problem yang harus diatasi (Litbang, 2008). Gizi buruk pada balita tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali dengan kenaikan berat badan balita yang tidak cukup. Perubahan berat badan balita dari waktu ke waktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Dalam periode 6 bulan, bayi yang berat badannya tidak naik 2 kali berisiko mengalami gizi buruk 12.6 kali dibandingkan pada balita yang berat badannya naik terus. Bila frekuensi berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar (Litbang, 2007).

Penyebab gizi buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait, antara lain asupan makanan yang kurang disebabkan karena tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, pola


(23)

makan yang salah, serta anak sering menderita sakit. Kekurangan konsumsi makanan yang berlangsung lama, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan gizi anak, serta rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, selain itu juga dipengaruhi oleh masalah ekonomi dan pelayanan kesehatan, serta pola asuh yang kurang memadai sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah balita dengan status gizi buruk (Depkes, 2000).

Soetjiningsih (1995) dalam bukunya menjelaskan bahwa dampak jangka pendek dari kasus gizi buruk adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara serta gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang dari kasus gizi buruk adalah penurunan skor IQ, penurunan perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian, serta gangguan penurunan rasa percaya diri. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kasus gizi buruk apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat mengancam jiwa, dan pada jangka panjang akan mengancam hilangnya generasi penerus bangsa.

Penyebab gizi buruk sangat kompleks, sementara pengelolaannya memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun tenaga medis saja, tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama maupun pemerintah. Pemuka masyarakat maupun pemuka agama sangat dibutuhkan dalam membantu pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam menanggulangi kebiasaan atau mitos yang salah pada pemberian makanan pada anak. Demikian juga posyandu dan puskesmas sebagai


(24)

ujung tombak dalam melakukan skrining atau deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus gizi buruk (Nency, 2006).

Untuk mengatasi masalah gizi buruk ini pemerintah telah melakukan berbagai program dan salah satu program pemerintah tersebut adalah menurunkan angka gizi buruk dari 8,5% menjadi 5% pada akhir tahun 2009 (Depkes, 2007), dan juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014, yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15% dan menurunnya prevalensi balita pendek menjadi 32% pada tahun 2011. Kegiatan lain yang dilakukan adalah meningkatkan cakupan tatalaksana gizi buruk yang mendapat perawatan (Kemenkes, 2010). Prevalensi balita KEP (Kurang Energi dan Protein) di Provinsi Sumatera Utara yang diukur dengan indikator BB/U menunjukkan ada peningkatan prevalensi balita gizi buruk dan kurang. Pada tahun 2005 yaitu sebesar 24,60%, tahun 2006 sebesar 28,92% dan pada tahun 2007 ada penurunan 23,20%. Angka prevalensi gizi buruk dan kurang ini masuk dalam kategori tinggi (Dinkes PSU, 2009). Berdasarkan data survei kadarzi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2009, dengan indikator berat badan per umur balita, diketahui bahwa status gizi untuk kategori berat badan sangat kurang sebesar 10,17 %, berat badan kurang 10,79%, berat badan normal 71,49%, berat badan lebih 7,13 %. Sedangkan angka untuk Kota Medan berdasarkan survei kadarzi 2009 diketahui bahwa untuk kategori berat badan sangat kurang ada 6,73%, berat badan kurang 10,57%, berat badan normal 76,36% dan untuk berat badan lebih 6,34% (Dinkes PSU, 2010).


(25)

Departemen Kesehatan (2011) telah membentuk tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan yang lain. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi buruk, baik di tingkat puskesmas maupun rumah sakit untuk membantu pemulihan kasus gizi buruk pada anak balita.

Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari-hari. Alternatif untuk memecahkan masalah tersebut dengan melakukan penatalaksanaan balita gizi buruk di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas.

Beberapa kajian terhadap pelaksanaan pemantauan pertumbuhan ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita yang mengalami gangguan pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas untuk tindak lanjut sebagaimana mestinya sesuai tatalaksana gizi buruk (Suwanti, 2003). Sementara kendala lain dalam pelaksanaan pemantauan adalah seperti : masalah kemiskinan dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi. Sedangkan kenyataan lain di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat atau ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua tenaga pelaksana gizi berpengetahuan dan terlatih untuk melaksanakan tatalaksana gizi buruk, selain itu


(26)

kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang ke rumah (Kemenkes , 2010).

Undang-undang kesehatan nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Istilah mutu mempunyai arti dan persepektif yang berbeda bagi setiap individu, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Hal ini terlihat dengan adanya pesan agar tenaga kesehatan melakukan fungsinya secara professional sesuai dengan standard dan pedoman, serta meningkatkan pengetahuannya tentang penatalaksanaan kasus yang ada, sehingga didapatkan hasil berupa kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kebutuhan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan setidaknya dipengaruhi oleh tiga perubahan besar yang memberikan tantangan dan peluang. Perubahan itu meliputi sumberdaya yang terbatas, adanya kebijakan desentralisasi dan berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu dalam pelayanan kesehatan, begitu juga dalam penatalaksanaan gizi harus dilakukan sesuai dengan standar yang telah di tetapkan dan disesuaikan dengan standar asuhan gizi dan pedoman tatalaksana gizi, sehingga mutu penatalaksanaan gizi dapat dicapai secara optimal (Depkes, 2011).

Pada penelitian Primasari (2007) diketahui bahwa gambaran pertumbuhan anak yang pernah mengikuti program penatalaksanaan gizi buruk di Dinas Kesehatan Semarang tahun 2007, persentasi status gizi buruk menunjukkan penurunan yaitu dari 80 persen pada akhir 2007 menjadi 50 persen pada juli 2009 dan 56,3 persen pada agustus 2009. Ini menunjukkan apabila kasus gizi buruk yang ditangani dan


(27)

dilakukan penatalaksanaan gizi secara baik dan bermutu sesuai dengan pedoman dan prosedur tatalaksana gizi buruk, akan menurunkan angka kejadian kasus gizi buruk.

Pada survei awal dan dari laporan gizi buruk tahun 2010 kasus gizi buruk yang ditemukan Januari sampai dengan Desember 2010 ada 1909 kasus (tidak ada penjelasan apakah angka tersebut termasuk kasus lama atau hanya kasus baru) semua balita yang gizi buruk hanya diberi makanan tambahan dan tidak dilakukan perawatan di puskesmas maupun dirujuk ke tingkat yang lebih lanjut seperti rumah sakit. Berdasarkan pedoman tatalaksana gizi buruk yang keluarkan oleh Departemen Kesehatan (2009), sebaiknya yang harus dilakukan mulai dari penemuan kasus gizi buruk adalah perlunya pengorganisasian yaitu adanya tim asuhan gizi yang akan mengidentifikasi sesuai tatacara yang sudah ditetapkan sampai membuat rencana tindak lanjut, kemudian melakukan tindak lanjut dengan memberi pengobatan sesuai diagnosa yang telah ditegakkan, serta memberikan makanan pemulihan sesuai dengan tingkat keadaan gizi buruk yang diderita balita sampai balita tersebut dinyatakan sembuh atau mengalami perbaikan dari keadaannya semula, kemudian selanjutnya tetap dilakukan pengawasan keadaan dan status gizinya dengan melakukan pengukuran antropometri (BB/TB) sampai balita tersebut status gizinya kembali normal. Dan apabila pada tahap identifikasi ditemukan penyakit penyerta atau tanda-tanda klinis berat pada balita, hendaknya balita dengan gizi buruk tersebut dirujuk ke tingkat perawatan lanjut seperti rumah sakit.

Dari keterangan yang di peroleh tenaga pelaksana gizi di puskesmas seluruhnya telah dilatih tatalaksana anak gizi buruk. Sehingga permasalahan yang


(28)

muncul dan ingin diketahui apa yang dilakukan tenaga pelaksana gizi puskesmas dalam menangani kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya, dan apakah sudah sesuai dengan prosedur dan standar tatalaksana gizi buruk serta apakah pengetahuannya sudah baik tentang penatalaksanaaan gizi buruk itu sendiri.

Atas dasar semua permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melihat apakah dengan penatalaksanaan gizi (pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut serta pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi yang baik tentang tatalaksana gizi buruk mempunyai atau berpengaruh terhadap perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yang ada di puskesmas se- Kota Medan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh penatalaksanaan gizi (pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut, serta pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk di Puskesmas se-Kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh penatalaksanaan gizi (pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut, serta pengawasan) dan pengetahuan


(29)

tenaga pelaksana gizi terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk di Puskesmas se- Kota Medan.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh penatalaksanaan gizi (pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut, serta pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk di Puskesmas se- Kota Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan informasi dan masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program penatalaksanaan gizi buruk bagi Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kota , dalam penanggulangan masalah gizi buruk pada anak balita.

2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kegiatan perencanaan program khususnya pada program pembinaan gizi masyarakat dan dapat digunakan dalam menentukan strategi dan kebijakan menanggulangi masalah gizi buruk pada anak balita.

3. Bagi puskesmas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tindakan korektif dan adaptif terhadap perkembangan dan tuntutan masyarakat akan peningkatan mutu penatalaksanaan gizi buruk yang ada di masyarakat,


(30)

sehingga upaya dalam rangka menurunkan angka gizi buruk dapat tercapai secara optimal.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi pada Balita

Menurut Arsad (2006) status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak balita yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri.

Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur dengan cara yaitu (Depkes, 1992).

1. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,

lemak dibawah kulit.

2. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang melakukannya adalah seorang dokter.

3. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine dan tinja.

4. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi

oleh individu.

Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) penentuan status gizi anak balita dilakukan secara klinis dan antropometri (BB/TB-PB), sehingga dapat diketahui tingkat status gizi balita tersebut.


(32)

Tabel 2.1.Penentuan Status Gizi Secara Klinis dan Antropometri (BB/TB Standar WHO-2005)

Status Gizi Klinis Antropometri

(BB/TB) Gizi Buruk Tampak sangat kurus dan atau

ada odema pada kedua

punggung kaki sampai seluruh tubuh

< - 3 SD

Gizi Kurang Tampak Kurus ≥- 3 SD ─ < - 2 SD

Gizi Baik - 2 SD ─ + 2 SD

Gizi Lebih > + 2 SD

2.1.1. Masalah Gizi pada Balita

Berg ( 1989) berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga.

Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian sebagai berikut :

1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka waktu tertentu, ditandai dengan berat badan yang menurun.

2. Gizi lebih, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan kebanyakan makan serta mengkonsumsi energi lebih banyak daripada yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat.


(33)

3. Gizi buruk, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan oleh makanan yang sangat kurang dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu lama, biasanya diikuti dengan tanda-tanda klinis khusus seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.

2.1.2. Penilaian Status Gizi pada Balita

Menurut standar WHO (1983) bila prevalensi kurus (wasting) < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan. Indeks Antropometri yang sering dipakai adalah :BB/U (berat badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak adanya kurang gizi (malnutrisi), tidak bisa menjelaskan apakah akut atau kronis. TB/U (tinggi badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi kronik. BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi akut (Depkes, 2004).

Khumaidi (1994) berpendapat bahwa berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh .

Menurut Arsad (2006) ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat, salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan antropometri, dalam pemakaiannya untuk penilaian status gizi


(34)

antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain, variabel tersebut adalah sebagai berikut : umur, berat badan dan tinggi badan.

Menurut Abunain (1990) berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (berat badan menurut umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu .

Menurut Supariasa (2002) indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Sebagai indikator status gizi BB/U mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihannya adalah: Dapat lebih mudah dan lebih cepat di mengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek, dan dapat mendeteksi kegemukan.

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk


(35)

indeks TB/U (tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes, 2004).

2.1.3. Gizi Buruk pada Balita

Pengertian Gizi buruk (severe malnutrition) menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) adalah suatu istilah tehnis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran, gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.

Menurut Depatemen Kesehatan (2008) gizi buruk adalah keadaan kekurangan gizi menahun yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari. Kekurangan gizi tingkat berat pada anak balita berdasarkan pada indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor, klasifikasi gizi buruk berdasarkan gambaran klinisnya antara lain, sebagai berikut : Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan badan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Gambaran klinis marasmus berasal dari masukan kalori/asupan kalori yang tidak cukup dikarenakan diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti pola asuh yang tidak baik, atau karena kelainan metabolik/malformasi


(36)

congenital. Malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau dengan hygiene yang jelek (Behrman, 2000).

2.1.4. Penyebab Gizi Buruk pada Balita

Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit/terkena infeksi, atau disebabkan oleh banyak faktor lainnya seperti, tidak tersedianya makanan yang adekuat, dan anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, serta pola asuh yang salah (IDAI, 2008).

Menurut Departemen Kesehatan (2005) gizi buruk di pengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait, secara langsung gizi buruk dipengaruhi oleh tiga faktor penyebab yaitu, anak tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai, dan anak menderita penyakit infeksi. 1. Anak tidak cukup mendapat makanan yang bergizi seimbang

Bayi dan anak balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seperti ASI (Air Susu Ibu) ekslusif, dan setelah 6 bulan anak tidak mendapat makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan rendah seringkali anak mendapatkan makanan seadanya karena faktor ketidak tahuan dan ketidak mampuan.


(37)

Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Pengetahuan orang tua yang kurang tentang pola asuh anak sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi. Salah satu contohnya adalah anak yang tidak diasuh oleh ibunya sendiri, pengasuh kurang mengerti pentingnya makanan bergizi sehingga anak tidak mendapat gizi yang cukup.

3. Anak menderita penyakit infeksi

Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian penyakit infeksi dan gizi buruk. Anak yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak mudah terkena penyakit infeksi. Demikian juga anak yang menderita infeksi akan cenderung menderita gizi buruk.

2.2.Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita

Penatalaksanaan gizi buruk adalah suatu kegiatan pelaksanaan pelayanan /penanganan gizi yang dilakukan guna mendukung penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi sampai gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi, ditangani secara serius sampai dinyatakan sembuh (Depkes, 2006).

Tatalaksana gizi berarti mengelola atau melaksanakan pelayanan dan pemberian zat gizi sesuai kebutuhan kepada pasien/balita yang mempunyai masalah gizi sampai pasien/balita tersebut sembuh dan status gizinya kembali pulih atau normal (Depkes, 2009). Berdasarkan standar pelayanan rumah sakit (2006) penatalaksanaan gizi di rumah sakit disebut juga dengan asuhan gizi (nutritional care) yaitu dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi


(38)

pasien agar mencapai status gizi optimal oleh ahli gizi, yaitu dengan melakukan beberapa proses mulai dari pengukuran antropometri, diagnosa status gizi, intervensi gizi dan melakukan monitoring dan evaluasi gizi.

Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) menyebutkan bahwa, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari-hari.

Menurut ASDI (2009) model asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi adalah suatu metode pemecahan masalah yang sistematis, dimana ahli gizi (dietisien) di tuntut dapat berpikir kritis dan membuat keputusan yang tepat terkait dalam memecahkan masalah gizi dan dapat melaksanakan asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi yang berkualitas, aman dan efektif.

Alternatif lain dalam memecahkan masalah gizi buruk adalah dengan melakukan penatalaksanaan gizi balita gizi buruk yang bermutu di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas, dan penanganannya harus secara serius karena menyangkut kelangsungan hidup anak. Selain itu dalam rangka menjamin mutu

(quality assurance) pelaksanaan tatalaksana gizi buruk tersebut maka itu telah

dilaksanakan pelatihan tatalaksana anak gizi buruk (TLAGB) kepada tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, ahli gizi dan perawat yang bertugas di puskesmas dan rumah sakit (Depkes, 2009).


(39)

Dari berbagai kajian terhadap pelaksanaan pemantauan pertumbuhan ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita yang mengalami gangguan pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas/rumah sakit untuk tindak lanjut sebagaimana mestinya sesuai tatalaksana gizi buruk. Kendala lain seperti, masalah kemiskinan dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi (Depkes, 2009).

2.2.1. Aspek-Aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita

Pelaksanaan tatalaksana gizi menyangkut banyak aspek seperti adanya tim asuhan gizi yang diperlukan untuk melakukan kegiatan anamnesa, penentuan status gizi dan melakukan pelayanan gizi, baik perawatan, maupun penyelenggaraan makanan, sampai balita gizi buruk dinyatakan sembuh (Depkes, 2006).

Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat prosedur tatalaksana gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang dilakukan seperti, pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada atau tidak tenaga gizi yang telah dilatih untuk menjadi tim asuhan gizi, serta hal-hal lain yang mendukung terlaksananya penatalaksanaan gizi buruk di puskesmas, tatacara/prosedur tatalaksana gizi seperti identifikasi/penemuan kasus baik di posyandu ataupun dipuskesmas, dan penentuan status gizi balita secara benar, serta rujukan/tindak lanjut yang dilakukan, selain itu setelah dilakukan penatalaksanaan gizi dengan benar sesuai prosedur harus dilakukan juga monitoring/pengawasan


(40)

sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh tetap terpantau berat badannya serta adanya pencatatan pelaporan yang baik.

1. Pengorganisasian

Siagian (2002) fungsi pengorganisasian merupakan alat untuk mengatur semua kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material dan tatacara untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-tugas pokok dan wewenang, serta pendelegasian dari pimpinan ke staf untuk mencapai tujuan organisasi. Pada pengorganisasian ini mencakup ada tidaknya tim asuhan gizi yang sudah terlatih, tim asuhan gizi adalah sekelompok petugas kesehatan yang berada di rumah sakit ataupun puskesmas yang terkait dengan pelayanan gizi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, tenaga pelaksana gizi, dan perawat bidan dari setiap unit pelayanan, bertugas menyelenggarakan asuhan gizi (nutrition care) untuk mencapai pelayanan paripurna yang bermutu (Depkes, 2009).

2. Tatacara (prosedur) dan Tindak Lanjut Tatalaksana Gizi Buruk

Tatacara / prosedur tatalaksana gizi dapat dimulai dengan penemuan kasus balita kurang energi protein (KEP)/gizi buruk dapat dimulai dari posyandu ataupun dari puskesmas dimana ditemukannya balita dengan berat badan <-3 standar deviasi (sesuai standar WHO-2005).

Untuk melihat prosedur tatalaksana anak gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas dimulai dari : Tahap identifikasi identitas anak, kemudian dilakukan


(41)

anamnesis, pemeriksaan fisik serta penentuan status gizi sehingga diketahui dengan jelas kondisi gizi buruk yang dialami pasien. Rujukan dan persiapan tindak lanjut di puskesmas yaitu menerima rujukan gizi buruk dari Posyandu dalam wilayah kerjanya serta pasien pulang dari rawat inap di rumah sakit, kemudian menyeleksi dengan cara menimbang ulang dan dicek dengan tabel BB/TB, WHO-2005 (Depkes, 2009).

Anak dengan kurang energi protein berat/gizi buruk dengan komplikasi serta tanda-tanda kegawat daruratan harus segera dirujuk ke rumah sakit. Tindakan yang dapat dilakukan di puskesmas pada anak gizi buruk tanpa komplikasi yaitu : Memberikan penyuluhan gizi dan konseling diet KEP berat/gizi buruk (dilakukan dipojok gizi), melakukan pemeriksaan fisik dan pengobatan minimal 1 kali perminggu, melakukan evaluasi pertumbuhan berat badan balita gizi buruk setiap dua minggu sekali, melakukan peragaan cara menyiapkan makanan untuk KEP berat/gizi buruk, melakukan pencatatan dan pelaporan tentang perkembangan berat badan dan kemajuan asupan makanan, untuk keperluan data pemantauan gizi buruk di lapangan, posyandu, dan puskesmas. Diperlukan laporan segera jumlah balita KEP berat/gizi buruk ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam 24 jam (Depkes, 2002).

3. Pengawasan (Monitoring)

Menurut George Terry berdasarkan fungsi manajemen yang dipakai Depkes, fungsi merupakan fungsi yang terakhir dari proses manajemen, fungsi pengawasan adalah proses untuk mengawasi secara terus menerus pelaksanaan


(42)

kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang disusun. Melalui fungsi ini standar keberhasilan program yang ditetapkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai, apabila ada penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi harus segera diatasi. 2.2.2.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penatalaksanaan Gizi

Buruk pada Balita

Perkembangan masalah gizi di Indonesia berdasarkan hasil surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan (Depkes ,2005).

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penatalaksanaan gizi buruk antara lain : Faktor tenaga kesehatan, faktor ibu, faktor program kesehatan, faktor kerjasama lintas sektor, faktor ekonomi dan faktor penyakit.

1. Faktor Tenaga Kesehatan

Pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan gizi yang bermutu, melalui penempatan tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Selain itu pemerintah juga membentuk tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi dan dibantu oleh tenaga kesehatan


(43)

lainnya. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi buruk, baik di puskesmas maupun rumah sakit (Depkes, 2006).

2. Faktor Ibu

Pengetahuan ibu dalam pemberian gizi yang baik pada anaknya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan pemulihan gizi buruk pada anak balita, sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pola asuh anaknya. Pada saat pemulihan selain intervensi medis, seharusnya orang tua mendapatkan pembinaan yang berkelanjutan, agar anaknya tidak jatuh dalam kondisi buruk lagi (Depkes, 2006), melalui kegiatan antara lain: memberikan ASI secara ekslusif, menimbang berat badan balitanya secara teratur di posyandu, mengkonsumsi makanan beraneka ragam, serta menggunakan garam beryodium serta mengkonsumsi suplemen gizi (Depkes, 2007).

3. Faktor Program Kesehatan

Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui upaya promotif dan preventif, untuk melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kegiatan posyandu, pemberian makanan tambahan, pendidikan dan konseling gizi serta pendampingan keluarga sadar gizi. Pemerintah juga membentuk SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) dalam rangka mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Untuk meningkatkan status gizi anak dilakukan upaya melalui pemberian perawatan anak gizi buruk di puskesmas perawatan dan rumah sakit (Depkes, 2006).


(44)

Menurut Mardiyah (2007) mengingat penyebabnya sangat kompleks, penatalaksanaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak, tidak hanya dokter dan tenaga kesehatan saja tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama dan pemerintah. Oleh karena itu penanggulangan masalah gizi buruk merupakan tanggung jawab bersama, yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan. Meliputi sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan, PKK dan pertanian yang menyangkut ketersediaan pangan dalam rumah tangga. 5. Faktor Ekonomi

Adanya krisis ekonomi menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat dan peningkatan harga pangan. Dalam kehidupan sehari-hari pengaruh tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk pengurangan jumlah dan mutu konsumsi makanan sehari-hari (Depkes, 2000). Pada tahun 2000 jaringan pengaman sosial bidang kesehatan (JPSBK) telah berhasil meningkatkan akses keluarga miskin terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga derajat kesehatan masyarakat miskin cenderung meningkat dan status gizi buruk mulai menurun (Media Ind, 2008). 6. Faktor Penyakit

Salah satu faktor penyebab gizi buruk pada anak balita adalah faktor penyakit yang diderita anak, baik penyakit bawaan seperti penyakit jantung, penyakit infeksi seperti, saluran pernafasan dan diare. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi masalah


(45)

masalah penyakit pada anak, misalnya memberikan imunisasi kepada ibu hamil dan bayi untuk mencegah terjadinya penyakit (IDAI, 2008).

2.3.Pengetahuan

2.3.1.Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni : Indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoadmojo, 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Suatu perbuatan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perbuatan yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan orang yang mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut akan terjadi proses sebagai berikut :

1. Kesadaran (awareness) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap obyek (stimulus).

2. Merasa tertarik (interest) terhadap stimulus atau obyek tertentu. Disini sikap subyek sudah mulai timbul.

3. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah tidak baik lagi.

4. Trial, dimana subyek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang


(46)

5. Adopsi (adoption), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.3.2.Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, adanya prinsip terhadap obyek yang dipelajari.


(47)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dalam kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan suatu justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.3.3.Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan menurut Notoadmodjo (2003) antara lain :

1. Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Pendidikan digolongkan sebagai berikut : Tamat SD, Tamat SLTP, Tamat SLTA, Tamat Perguruan Tinggi dan


(48)

seterusnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan akan semakin tinggi tingkat pengetahuannya.

2. Informasi

Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas.

3. Budaya

Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.

4. Pengalaman

Sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuannya tentang sesuatu yang bersifat informal.

5. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi disini maksudnya adalah tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi akan semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki karena dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi memungkinkannya untuk mempunyai fasilitas-fasilitas yang mendukung seseorang mendapatkan informasi dan pengalaman yang lebih banyak.

2.4.Penatalaksanaan Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk Status gizi pada balita perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat jumlah balita di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 10 % dari seluruh populasi,


(49)

perhatian yang serius itu berupa pemberian gizi yang baik. Pada lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kehidupan sekaligus meningkatkan kualitas agar mencapai pertumbuhan optimal baik secara fisik, sosial maupun intelegensi. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler, yang berarti bertambahnya ukuran tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat (Depkes, 2005).

Apabila balita mengalami status gizi yang buruk, secara otomatis proses pertumbuhan dan perkembangan pada fungsi tubuhnya akan mengalami gangguan, baik itu secara fisik yang dapat dilihat dengan terganggunya pertumbuhan ukuran tubuhnya yaitu panjang atau tinggi badan, sedangkan perkembangan yang terganggu yaitu dalam segi motorik dan tingkat kecerdasan yang rendah dibandingkan anak-anak seusianya dengan status gizi yang baik.

Departemen Kesehatan (2008) telah mengupayakan penjaringan kasus gizi buruk secara dini melalui kegiatan operasi timbang untuk seluruh balita, yang pelaksanaannya turut melibatkan sektor lain. Balita yang ditemukan dilapangan akan segera divalidasi dan dirujuk ke rumah sakit atau di puskesmas bila terdeteksi gizi buruk berdasarkan indeks BB/TB, akan dilakukan perawatan dan disesuaikan dengan prosedur tatalaksana anak gizi buruk, dan dilihat apakah gizi buruk tersebut tanpa komplikasi atau dengan komplikasi, karena dari segi penanganan yang dilakukan akan berbeda.

Saat ini penanganan gizi buruk tidak hanya terpusat pada rumah sakit, tetapi lebih diarahkan agar puskesmas mempunyai kemampuan dalam penanganan gizi


(50)

buruk, perawatan gizi buruk dapat dilakukan secara rawat inap maupun rawat jalan di puskesmas melalui klinik pemulihan gizi (PPG) atau lebih dikenal dengan TFC

(Therapeutic Feeding Center). Untuk itu perlunya diberikan pelatihan tentang

tatalaksana gizi buruk bagi semua petugas kesehatan terutama bagi tenaga pelaksana gizi di puskesmas, sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga pada saat ditemukan kasus gizi buruk di wilayahnya, mereka dapat melakukan penatalaksanaan gizi yang sesuai dengan pedoman dan prosedur yang telah ditetapkan.

Penelitian Arnelia (1992) menunjukkan sebanyak 20 % anak balita yang awalnya menderita gizi buruk, pasca pemulihan di klinik gizi (pusat penelitian gizi dan makanan, Depkes) masih dalam kondisi gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu hal yang menyebabkan berulangnya kondisi gizi buruk tersebut yang disebabkan oleh banyak faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya.

Perkembangan masalah gizi di Indonesia, berdasarkan hasil surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan (Depkes , 2005).

Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat penatalaksanaan gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status


(51)

pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang dilakukan seperti, ada tidaknya pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada atau tidak tenaga gizi, dokter dan perawat/bidan yang telah dilatih untuk menjadi tim asuhan gizi, karena tim asuhan gizi inilah yang akan melakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk yang ada di puskesmas tersebut, serta hal-hal lain yang mendukung terlaksananya penatalaksanaan gizi buruk di puskesmas.

Sedangkan tatacara tatalaksana gizi yang dilakukan harus disesuaikan dengan buku pedoman yang ada seperti identifikasi dan penemuan kasus baik di posyandu ataupun dipuskesmas, yang biasanya dilakukan melalui deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dan penentuan status gizi balita secara benar berdasarkan standar WHO 2005, serta rujukan/tindak lanjut yang dilakukan terhadap pasien sudah diberikan sesuai keadaan seperti gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi, selain itu setelah dilakukan penatalaksana gizi dengan benar sesuai prosedur juga yang harus dilakukan adalah pengawasan sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh atau status gizi sudah mulai baik dan dapat dipulangkan, tetapi tetap terpantau berat badannya. Serta adanya pencatatan pelaporan yang baik, sehingga pada saat keadaan status gizi kembali memburuk catatan dan status pasien dapat dibuka dan dilakukan penanganan dengan baik dan dapat dicari akar permasalahan kenapa dan bagaimana kondisi gizinya dapat kembali memburuk, sehingga solusi penanganan yang akan dilakukan dapat diketahui dengan pasti.

Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) dalam pedoman pelayanan anak gizi buruk dijelaskan prosedur dalam penanganan kasus gizi buruk secara rawat jalan


(52)

dan rawat inap yang merupakan pedoman yang harus dilakukan tenaga kesehatan khususnya tim asuhan gizi yang ada di puskesmas. Sehingga diketahui apa sebenarnya yang menjadi kriteria dari anak gizi buruk, alur pemeriksaan/penemuan kasus, penanganan kasus rawat jalan dan rawat inap, serta pencatatan dan pelaporan dan melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan penatalaksanaan gizi buruk yang telah dilaksanakan.

2.5.Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk.

Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang, dan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu atau berbagai gejala yang ditemui. Penginderaan melalui panca indera manusia. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmojo, 2007).

Pengetahuan dalam penatalaksanaan gizi buruk menyangkut ilmu gizi dan segala sesuatu yang diketahui petugas dalam hal ini tenaga pelaksana gizi puskesmas, untuk melakukan penanganan kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya, meliputi pengetahuan yang dimulai: pengertian tatalaksana gizi buruk, bagaimana penatalaksanaan kasus dan hal-hal lain menyangkut penatalaksanaan gizi yang akan dilakukan terhadap balita gizi buruk.

Menurut Sarjono (1999) penatalaksanaan gizi adalah suatu paket program komprehensif yang memadukan upaya promotif dan kuratif, mengkombinasikan pengobatan semua penyakit penyerta yang sering diderita atau bahkan penyakit itu


(53)

sendiri yang membuat keadaan anak menjadi gizi buruk, merujuk penyakit secara cepat, menilai status gizi serta menangani dan memberi konseling bagi ibu bagaimana perawatan anak dirumah, nasehat pemberian makan dan kapan harus kembali segera atau kapan harus kembali untuk tindak lanjut dan konseling bagi ibu untuk perawatan dirinya. Semua kegiatan tersebut sepenuhnya harus dipahami dan dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya tenaga pelaksana gizi di puskesmas , sehingga diharapkan tenaga pelaksana gizi telah dan mempunyai keterampilan dan tingkat pengetahuan yang baik tentang apa dan bagaimana cara penanganan kasus dan sesuai dengan standar tatalaksana gizi buruk.

Apabila petugas kesehatan mempunyai pengetahuan pada materi tatalaksana gizi buruk yang telah dipelajari sebelumnya maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk menjelaskan secara benar sampai dengan menggunakan atau berperilaku sesuai dengan pengetahuannya pada situasi yang sebenarnya. Petugas kesehatan mempunyai kemampuan menganalisa, menyusun formulasi baru berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta melakukan evaluasi sejauh mana kemampuan melaksanakan tatalaksana gizi buruk sesuai standar.

2.6.Landasan Teoritis

Berbagai studi menunjukkan bahwa gizi kurang/buruk pada balita disebabkan oleh penyebab langsung dan berbagai penyebab tidak langsung, (Myers, 1990), Zeitlin et al, 1991; Engel, Mennon and Hadad (1997). seperti digambarkan dalam


(54)

kerangka pikir UNICEF (1998), pada penyebab langsung dari masalah gizi kurang/buruk adalah anak tidak mendapat cukup makanan bergizi dan seimbang, dan disisi lain baik secara bersama atau terpisah menderita penyakit infeksi yang dampaknya akan menyebabkan makin beratnya keadaan gizi balita .

Berdasarkan konsep teori Dewan Pimpinan Pusat ASDI (2009), dalam Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) atau disebut juga standardized nutrition care

process, bahwa semua pasien malnutrisi atau yang mempunyai masalah gizi diberikan

asuhan gizi yang sama dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien agar status gizinya optimal yang ditangani oleh ahli gizi yaitu dengan melakukan pengkajian gizi (Assessment), diagnosa masalah gizi (Diagnosis), intervensi gizi tahap rencana dan tahap implementasi (intervention) serta melakukan monitoring dan evaluasi.

Menurut Depkes (2009), untuk menilai kepatuhan petugas (tim asuhan gizi) dalam menjalankan dan melaksanakan tatalaksana anak gizi buruk sesuai standar dipuskesmas perawatan dan non perawatan dengan melihat pengorganisasian, prosedur tatalaksana gizi buruk, rujukan dan tindak lanjut serta melakukan monitoring dan evaluasi yang dampaknya terhadap peningkatan/perbaikan status gizi balita yang menderita gizi buruk.

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007), diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan penatalaksanaan gizi ada 3 faktor-faktor yang salah satunya yaitu faktor predisposisi yang didalamnya termasuk pengetahuan yang akan memengaruhi tindakan dan kepatuhannya dalam penatalaksanaan kasus gizi


(55)

buruk sehingga diharapkan mempunyai dampak terhadap perbaikan status gizi pada balita yang menderita gizi buruk.

2.7. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Penelitian.

Berdasarkan kerangka konsep dapat dijelaskan dengan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk seperti adanya pengorganisasian, tatacara penatalaksanaan, tindak lanjut yang diberikan dan pengawasan yang sesuai standar tatalaksana gizi

Keberhasilan Puskesmas Dalam Perbaikan Status Gizi

pada Balita Gizi Buruk Penatalaksanaan gizi

- Pengorganisasian - Tatacara (prosedur) - Tindak Lanjut

- Pengawasan (monitoring) Pengetahuan

Tenaga Pelaksana Gizi

Faktor Perancu: 1. Faktor Ibu 2. Faktor Penyakit 3. Faktor Ekonomi


(56)

buruk dan tingkat pengetahuan tenaga pelaksana gizi yang baik akan berdampak pada kepatuhannya dalam melakukan penatalaksanaan gizi buruk sesuai standar sehingga puskesmas berhasil dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya.

Untuk melihat status gizi pada balita gizi buruk yang telah mendapat penatalaksanaan gizi dilakukan dengan memilih balita gizi buruk yang tidak mempunyai faktor perancu dengan kriteria Inklusi seperti, balita gizi buruk yang tidak menderita penyakit penyerta atau komplikasi, ibu balita yang mendukung dilakukannya penatalaksanaan gizi dan dengan kondisi ekonomi menengah keatas, sehingga faktor perancu pada penelitian ini dapat dihilangkan.


(57)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei evaluation observasional untuk melihat pelaksanaan penatalaksanaan gizi terhadap balita gizi buruk apakah sudah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sedangkan rancangan penelitian menggunakan pre-test dan post-test design yang gunanya untuk menilai keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk , dengan melihat data hasil pengukuran antropometri (BB/TB) yang telah dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi sebelum dan setelah dilakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk di Puskesmas se-Kota Medan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 30 Puskesmas dari 39 Puskesmas yang ada di Kota Medan. Alasan memilih lokasi adalah bahwa hanya 30 Puskesmas ini yang mempunyai kasus gizi buruk tahun 2011. Waktu penelitian dimulai dari survei awal pada bulan Juni tahun 2011, sedangkan pelaksanaan penelitian pada bulan April sampai dengan penulisan pada bulan Juni 2012 .


(58)

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga pelaksana gizi (TPG) yang ada di 30 Puskesmas yang telah melakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk pada bulan Desember 2011, dan balita dengan status gizi buruk di wilayah kerja 30 Puskesmas yang berjumlah 139 balita dengan kriteria Inklusi sebagai berikut:

a. Balita dengan faktor ibu yang mendukung dilakukannya penatalaksanaan gizi terhadap balitanya.

b. Balita yang tidak memiliki penyakit penyerta. c. Balita dengan faktor ekonomi menengah keatas. 3.3.2. Sampel

Sampel adalah seluruh populasi yaitu tenaga pelaksana gizi (TPG) yang ada di 30 Puskesmas yang telah melakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk pada bulan Desember 2011, dan balita dengan status gizi buruk yang ada di wilayah kerja 30 Puskesmas tersebut.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpukan terdiri dari data primer dan data sekunder Data primer meliputi data :

1. Karakteristik tenaga pelaksana gizi yang meliputi : Umur, jenis kelamin, lama bekerja dan latar belakang pendidikan, dikumpulkan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.


(59)

2. Pengorganisasian yang meliputi : Ada tidaknya Tim Asuhan Gizi, buku pedoman/Juknis, sosialisasi, koordinasi dan kerjasama antara Tim Asuhan Gizi, dikumpulkan dengan wawancara dan pengamatan langsung ke masing-masing puskesmas.

3. Tatacara meliputi tahap-tahap penanganan yang dimulai dari tahap identifikasi balita gizi buruk sampai dengan jadwal kunjungan rumah setelah anak selesai dari penatalaksanaan gizi apakah sudah sesuai dengan yang standar yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan tenaga pelaksana gizi dengan menggunakan kuesioner di masing-masing puskesmas.

4. Tindak lanjut meliputi apakah dilakukan perawatan sampai pemberian makanan pemulihan atau hanya dilakukan salah satunya saja, data tindak lanjut ini dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. 5. Pengawasan meliputi ada tidaknya pencatatan dan pelaporan tentang jumlah

kasus gizi buruk yang mau dirujuk, kasus yang menolak dirujuk, kasus yang sembuh, kasus yang meninggal sampai kasus yang dilakukan pendampingan/kunjungan rumah, dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung dengan melihat buku catatan/pelaporan masing-masing puskesmas.

6. Pengetahuan tenaga pelaksana gizi Puskesmas dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan alat bantu kuesioner berupa pertanyaan-pertanyaan.


(60)

Data sekunder meliputi data:

1. Jumlah kasus gizi buruk yang dilakukan penatalaksanaan gizi bulan Desember 2011.

2. Data hasil pengukuran antropometri (BB/TB) sebelum dan sesudah dilakukan penatalaksanaan selama 3 (tiga) bulan (laporan bulan Januari sampai bulan Maret 2012) yang ada di setiap puskesmas yang kemudian dibandingkan dengan standar WHO 2005 sehingga diketahui status gizi balita gizi buruk setiap bulannya.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1.Variabel Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah penatalaksanaan gizi dengan kegiatan-kegiatannya (pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut serta pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi, sedangkan variabel dependen adalah keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

3.5.2. Definisi Operasional 3.5.2.1. Variabel Bebas

1. Penatalaksanaan gizi adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani kasus/kejadian gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan beberapa kegiatan mulai dari pengorganisasian, tatacara, tindak lanjut dan pengawasan guna mendukung penyembuhan dan perbaikan status gizi pada balita gizi buruk


(1)

pengawasan oleh tenaga pelaksana gizi akan meningkatkan keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan pada saat dilakukannya penatalaksanaan gizi ataupun pasca penatalaksanaan gizi sangat diperlukan sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh atau status gizi sudah mulai baik dan dapat dipulangkan, akan tetap terpantau berat badannya secara berkala, serta adanya pencatatan pelaporan yang dibuat secara baik, lengkap dan rapi, sehingga pada saat keadaan status gizi kembali memburuk catatan dan status pasien dapat dibuka dan dilakukan penanganan dengan cepat dan dapat dicari akar permasalahan kenapa dan bagaimana kondisi gizinya dapat kembali memburuk, sehingga dapat dicarikan solusi penanganan yang akan dilakukan secara dengan tepat dan pasti, serta tujuan dari penatalaksanaan gizi dapat dicapai secara optimal. Hasil Uji menyatakan bahwa pengawasan penatalaksanaan gizi yang baik akan meningkatkan 16,3 kali keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Terry (1980) berpendapat bahwa berdasarkan fungsi manajemen yang dipakai Departemen Kesehatan, pengawasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan akan menjamin keberhasilan program yang ditetapkan, apabila ada penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi pada penatalaksanaan harus segera diatasi. Siagian (2002) juga berpendapat pengawasan itu menentukan apa yang telah dicapai. Artinya dapat menilai hasil pekerjaan dan bila perlu dilakukan perbaikan sehingga hasilnya sesuai yang diinginkan dan tercapai secara optimal.


(2)

Arnisam (2007) mengatakan bahwa petugas kesehatan perlu melakukan kunjungan (visit) ke rumah anak balita gizi buruk untuk mengawasi dan membantu keluarga dalam mempraktekkan perawatan dan pengasuhan terhadap anak dengan gizi buruk secara benar sesuai standar yang telah ditetapkan.

.

5.5.Pengaruh Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan

Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan ditemukan bahwa TPG yang berpengetahuan baik sebagian besar mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yaitu sebesar 72,7% sedangkan TPG dengan pengetahuan kurang sebagian besar tidak mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yaitu sebesar 57,9%.

Secara faktual bahwa adanya perbedaan pada hasil penelitian ini yaitu pengetahuan tenaga pelaksana gizi baik dan keberhasilan dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk juga baik tetapi secara statistik tidak ada pengaruh. Hal ini kemungkinan disebabkan karena keterbatasan jumlah sampel, apabila jumlah sampel besar >30, hasil dari penelitian juga kemungkinan besar akan berubah.

Apabila petugas kesehatan mempunyai pengetahuan pada materi tatalaksana gizi buruk yang telah dipelajari sebelumnya maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk menjelaskan secara benar dan dapat menggunakan atau berperilaku sesuai dengan pengetahuannya. Petugas kesehatan mempunyai kemampuan menganalisa, menyusun formulasi baru berdasarkan ilmu pengetahuan


(3)

yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat melakukan evaluasi sejauh mana kemampuannya dalam melaksanakan penatalaksanaan gizi buruk sesuai standar yang telah ditetapkan.

Dalam penentuan antropometri juga masih ditemukan bahwa pengetahuan tenaga pelaksana gizi puskesmas dalam penimbangan dan menentukan BB dan TB balita gizi buruk, masih berkesan asal-asalan, ini ditemukan dari data antropometri tiap bulannya di beberapa Puskesmas, bahwa TB selalu naik mengikuti BB, padahal pada kenyataannya tidak selalu BB naik maka harus naik pula TB, tetapi dari hasil penelitian yang ditemukan, kenaikan TB sangat fantastis, hal ini menyebabkan status gizinya tidak naik atau tidak ada perbaikan tiap bulannya pada balita gizi buruk.

Dalam membandingkan BB/TB balita gizi buruk dengan Tabel WHO-2005 juga belum semua tenaga pelaksana gizi mampu membaca hasil, sehingga mereka jarang atau tidak menentukan kenaikan/perbaikan status gizi tiap bulan dengan melihat tabel WHO-2005. TPG beberapa Puskesmas berpendapat bahwa apabila BB dan TB yang bertambah, maka itu menunjukkan bahwa ada perbaikan pada status gizi balita gizi buruk tersebut, padahal tidak demikian seharusnya. Kenaikan BB dan TB tiap bulannya harus di bandingkan dengan tabel WHO-2005 baru dapat diketahui hasilnya apakah status gizinya ada perbaikan atau tidak ada perbaikan dibandingkan kondisi awal balita gizi buruk tersebut ditemukan.

Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa tingkat pengetahuan biasanya berkaitan erat dengan tingkat pendidikan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan menunjang tingkat pengetahuan. Menurut Winkel (1996) diketahui bahwa


(4)

melalui proses pendidikan seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai yang menghantarkan kearah kedewasaan dalam bertindak.

Hasil penelitian Setyaningsih (2009) proses pemulihan pada gizi buruk tidak hanya berfokus pada pengetahuan tenaga pelaksana gizi saja, tetapi faktor lain juga berperan seperti dari orang tua dan keluarga yang kurang memperhatikan anaknya dalam hal memberikan makan dan penyediaan makanan.

Pendapat Cholil (2004), bahwa pentingnya aspek pengetahuan tenaga pelaksana gizi dalam perbaikan status gizi perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan status kesehatan balita. Ketidakmengertian tenaga pelaksana gizi terhadap penatalaksanaan gizi berdampak pada tidak adanya perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang, dan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu atau berbagai gejala yang ditemui dan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Friedman (2005) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka perilaku akan lebih bersifat langgeng. Dengan kata lain tenaga pelaksana gizi yang tahu dan paham tentang prosedur pelaksanaan perbaikan gizi, maka dia akan bertindak sesuai dengan apa yang ia ketahui.


(5)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan pada bab terdahulu, maka dapat dikemukan kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh penatalaksanaan gizi (tatacara, tindak lanjut dan pengawasan) terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita dengan gizi buruk di Puskesmas se-Kota Medan. Berarti apabila penatalaksanaan gizi yang dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi baik dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka akan ada perbaikan terhadap status gizi balita gizi buruk menjadi lebih baik dari status gizi sebelumnya.

2. Tidak terdapat pengaruh penatalaksanaan (pengorganisasian) terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita dengan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas se-Kota Medan. Atau dapat dikatakan, walaupun pengorganisasian tidak baik ataupun tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan, tetapi tetap akan terjadi perbaikan terhadap status gizi pada balita gizi buruk.

3. Tidak terdapat pengaruh pengetahuan tenaga pelaksana gizi terhadap perbaikan status gizi pada balita dengan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas se-Kota Medan. Walaupun pengetahuan tenaga pelaksana gizi baik dalam tatalaksana gizi buruk, maka baik pula keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada


(6)

balita gizi buruk. Secara faktual bahwa adanya pengaruh hasil penelitian tetapi secara statistik tidak terdapat pengaruh.

6.2. Saran

1. Hasil yang didapat dari hasil penelitian bahwa belum semua Puskesmas memiliki petunjuk teknis dan buku pedoman tentang tatalaksana gizi buruk, sehingga diharapkaan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan hendaknya mendistribusikan petunjuk teknis dan buku pedoman tersebut, sehingga dalam pelaksanaan penatalaksanaan gizi terhadap balita gizi buruk dapat dilakukan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

2. Dalam penentuan status gizi balita gizi buruk juga masih ditemukan bahwa belum semua tenaga pelaksana gizi melihat dan membandingkan hasil antropometri (BB/TB) tiap bulannya dengan tabel WHO-2005, karena kenaikan atau perbaikan status gizi tidak hanya berdasarkan kenaikan berat badan tiap bulannya. Sehingga disarankan untuk semua TPG agar selalu membandingkannya hasil pengukuran antropometri balita gizi buruk dengan tabel WHO-2005 baru dapat diketahui apakah ada perbaikan atau tidak pada status gizi balita tersebut.