Monitoring Implementasi Manajemen Kesetan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Instalasi Binatu Pada Rumah Sakit Umum Hajimedan Tahun 2015
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Rumah Sakit
2.1.1.Pengertian Rumah Sakit
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Menurut Willan dalam Aditama (2006) istilah rumah sakit sendiri berasal dari
kata hospital yang berasal dari bahasa latinhospitium, yang memiliki arti suatu tempat
atau ruangan untuk menerima tamu. “Rumah sakit bukan hanya suatu tempat, namun
juga sebuah fasilitas, sebuah institusi dan juga sebuah organisasi”. Rumah sakit harus
dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan
keselamatan pasiennya serta harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak berdesakdesakkan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan,
tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang yang sehat. Kumpulan banyak orang
ini akan dapat memungkinkan rumah sakit menjadi tempat penularan penyakit,
9
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Untuk menghindari terjadinya
risiko dan gangguan kesehatan maka diperlukan penyelenggaraan kesehatan
lingkungan rumah sakit.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor44 Tahun 2009 tentang
rumah
sakit
pasal
19
ayat
2
rumahsakitumumadalahrumahsakit
yang
memberikanpelayanankesehatanpada semua bidang dan jenis penyakit. Pada pasal 10 ayat
1 tentang bangunan rumah sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan rumah sakit yang dimaksud pada ayat 1
paling sedikit terdiri atas ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang gawat darurat, ruang
operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi,
ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah,
ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit, ruang menyusui, ruang
mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, danpelataran
parkir yang mencukupi.
2.1.2.Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 dalam pasal 4
(empat) tugas dari rumah sakit adalah memberikan kesehatan perorangan secara paripurna.
Maksudnya adalah setiap kegiatan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan.
Untuk menjelaskan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (empat), rumah
sakit mempunyai fungsi :
1.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.
2.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan
4.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.2.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit
2.2.1. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, kesehatan dan keselamatan
kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para petugas/ buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan
rehabilitasi.
Menurut Suma’mur (1976) kesehatan kerja adalah spesialisasi ilmu kesehatan/
kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan
setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif
terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum (Budiono et.al, 2009).
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan
fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi petugas di semua jenis pekerjaan,
pencegahan terhadap gangguan kesehatan petugas yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan bagi petugas dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan
kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan petugas dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya. (Kepmenkes, 2007).
Menurut Budiono (2006) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat
kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Upaya K3 di rumah sakit menyangkut tenaga kerja, cara/ metode kerja, alat kerja,
proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan
dan pemulihan. Di tempat kerja, kesehatan dan kinerja seorang pekerja sangat dipengaruhi
oleh :
1.
Kapasitas
kerja
adalah
kemampuan
seorang
pekerja
untuk
menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik pada suatu tempat kerja dalam waktu tertentu.
2.
Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani pekerja baik secara fisik maupun
non fisik dalam menyelesaikan pekerjaannya, kondisi tersebut dapat diperberat oleh
kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik atau non fisik.
3.
Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik,
kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang memengaruhi pekerja dalam
melaksanakan pekerjaannya (Budionoet.al, 2009).
2.2.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, manajemen K3 di rumah sakit
merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan K3
di rumah sakit. K3 perlu dikelola dengan baik agar penyelenggaraan K3 rumah sakit lebih
efektif, efisien dan terpadu diperlukan sebuah manajemen K3 di rumah sakit bagi pengelola
maupun karyawan rumah sakit yang bertujuan terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang
sehat, aman dan nyaman dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan di rumah
sakit. Terdapat beberapa penyebab yang sering terjadi dalam pekerjaan, yaitu :
1.
Faktor perorangan antara lain kurang pengetahuan, kurang keterampilan, motivasi
kurang baik, masalah fisik dan mental.
2.
Faktor pekerjaan antara lain standar kerja yang kurang baik, standar perencanaan yang
kurang tepat, standar perawatan yang kurang tepat, standar pembelian yang kurang
tepat, retak akibat pemakaian setelah lama dipakai, pemakaian abnormal.
Dari penjelasan di atas, timbul beberapa kondisi yang sering dijumpai yaitu
pengamanan tidak sempurna, APD yang tidak memenuhi syarat, bahan atau peralatan kerja
yang telah rusak, gerak tidak leluasa karena tumpukan benda, sistim tanda bahaya yang
tidak memenuhi syarat, lingkungan kerja yang mengandung bahaya, seperti iklim kerja
panas atau dingin, penerangan tidak memenuhi syarat, ventilasi kurang baik, tingkat
kebisingan tinggi, pemaparan terhadap radiasi (Suardi, 2005).
2.2.3. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23
dinyatakan bahwa upaya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) harus diselenggarakan di
semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan,
mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Dari pasal
tersebut jelas bahwa rumah sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai
ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para
pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung
rumah sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit menerapkan upayaupaya K3 di rumah sakit.
Potensi bahaya di rumah sakit selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang memengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumbersumber cidera lainnya), radiasi, bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut jelas mengancam jiwa dan
kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun para pengunjung yang
ada di lingkungan rumah sakit.
2.2.4. Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit
1.
Komitmen dan Kebijakan
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah
dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan rumah sakit. Manajemen rumah sakit
mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga
K3 dan saran untuk terlaksananya program K3 di rumah sakit. Kebijakan K3 di rumah sakit
diwujudkan dalam bentuk wadah K3RS dalam struktur organisasi rumah sakit.
Untuk melaksanakana komitmen dan kebijakan K3RS perlu disusun strategi antara
lain :
a.
Advokasi sosialisasi program K3RS
b.
Menetapkan tujuan yang jelas
c.
Organisasi dan penugasan yang jelas
d.
Meningkatkan SDM yang profesional di bidang K3RS pada setiap instalasi kerja di
lingkungan rumah sakit.
e.
Sumber daya yang harus didukung oleh manajemen puncak
f.
Kajian risiko secara kualitatif dan kuantitatif.
g.
Membuat program kerja K3RS
yang mengutamakan upaya peningkatan dan
pencegahan
h.
2.
Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.
Perencanaan
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistim manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan
meliputi :
a. Identifikasi sumber bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko. Rumah sakit harus
melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta pengendalian faktor
risiko.
1) Identifikasi sumber bahaya
Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat
menimbulkan potensi bahaya dan jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat
terjadi. Sumber bahaya yang ada di rumah sakit harus di identifikasi dan di nilai
untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK.
Tabel 2.1.Bahaya Potensial Berdasarkan Lokasi dan Pekerjaan di Rumah Sakit
No
1.
Bahaya Potensial
Fisik
Bising
Getaran
Debu
Lokasi
IPS-RS, binatu, dapur,
CSSD, gedung gensetboiler, IPAL
Ruang
mesin-mesin
dan peralatan yang
menghasilkan getaran
(ruang gigi, dan lainlain)
Genset, bengkel kerja,
laboratorium
gigi,
gudang rekam medis,
incinerator
Tabel 2.1.(Lanjutan)
Pekerja yang Paling Beresiko
Karyawan yang bekerja di
lokasi tersebut
Perawat, cleaning service,
dan lain-lain
Petugas sanitasi, teknisi gigi,
petugas IPS dan rekam medis
No
2.
Bahaya Potensial
Panas
CSSD, dapur, binatu,
incinerator, boiler
Radiasi
X-Ray, OK yang
menggunakan c-arm,
ruang fisioterapi, unit
gigi
Kimia
Desinfektan
Formaldehyde
Cytotoxics
Ethylene Oxide
Pekerja dapur, pekerja
binatu, petugas sanitasi dan
IP-RS
Ahli radiologi, radioterapist
dan
radiografer,
ahli
fisioterapi dan petugas
rontgen gigi.
Kamar operasi
Ruang pemeriksaan gigi
Solvents
Laboratorium, bengkel
kerja, semua area di
rumah sakit
Biologi
AIDS, Hepatitis B
dan Non A-Non B
Pekerja yang Paling Beresiko
Semua area
Petugas kebersihan perawat
Laboratorium, kamar
Petugas kamar mayat,
mayat, gudang farmasi
petugas laboratorium dan
farmasi
Farmasi, tempat
Pekerja farmasi, perawat,
pembuangan limbah,
petugas
pengumpul
bangsal
sampah
Methyl :
MethacrylateHg
(amalgam)
Gas-gas anastesi
3.
Lokasi
Dokter, perawat
Petugas/ dokter gigi, dokter
bedah, perawat
Teknisi, petugas
laboratorium, petugas
pembersih
Ruang operasi gigi,
Dokter gigi, dokter bedah,
ruaang pemulihan
dokter/ perawat anastesi
IGD, kamar operasi,
ruang
pemeriksaan
gigi,
laboratorium,
binatu
Dokter,
dokter
gigi,
perawat,
petugas
laboratorium,
petugas
sanitasi dan binatu
Cytomegalovirus
Ruang
kebidanan,
ruang anak
Rubella
Tuberculosis
Ruang Ibu dan anak
Bangsal, laboratorium,
Perawat,
dokter
yang
bekerja di bagian Ibu dan
anak
Dokter
dan
perawat,
petugas
laboratorium,
ruang isolasi
fisioterapis
Tabel 2.1.(Lanjutan)
No
Bahaya Potensial
4.
Ergonomi
Pekerjaan yang
dilakukan secara
manual
Postur
salah
dalam melakukan
pekerjaan
Pekerjaan yang
berulang
5.
Psikososial
Sering
kontak
dengan pasien,
kerja berlebih.
Lokasi
Pekerja yang Paling Beresiko
Area pasien dan
tempat penyimpanan
barang (gudang)
Semua area
Petugas yang menangani
pasien dan barang
Semua area
Dokter
gigi,
petugas
pembersih,
operator
komputer, dan lain-lain.
Semua area
Semua karyawan
Semua karyawan
2) Penilaian faktor risiko
Merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan
penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
3) Pengendalian faktor risiko
Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yaitu menghilangkan bahaya,
menggantikan sumber risiko dengan sarana/ peralatan lain yang tingkat risikonya
lebih rendah atau tidak ada (engineering/ rekayasa), administrasi dan alat
pelindung pribadi (APP).
b.
Membuat peraturan
Rumah sakit harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar operasional
prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3
lainnya yang berlaku. SOP ini harus di evaluasi, diperbaharui dan harus
dikomunikasikan serta disosilisasikan pada karyawan dan pihak yang terkait.
c.
Tujuan dan sasaran
Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya
potensial dan risiko K3 yang bisa di ukur, satuan/ indikator pegukuran, sasaran
pencapaian dan jangka waktu pencapaian.
d.
Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus
merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.
e.
Program K3
Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk mencapai
sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan di catat serta dilaporkan.
3.
Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terh,hkadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja
sama dalam pelaksanaan K3. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada
semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi
K3RS secara spesifik harus mempersiapkan data dan informasi pelaksana K3 di semua
tempat kerja, merumuskan permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya
masalah bersama instalasi-instalasi kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada instalasi-instalasi kerja, sehingga dapat dilaksanakan
dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program yang
dilaksanakan telah berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan maka perlu
diidentifikasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.
4.
Langkah-Langkah Penyelenggaraan
Untuk memudahkan penyelenggaraan K3 di rumah sakit, maka perlu langkah-
langkah penerapannya yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan
evaluasi.
a. Tahap persiapan, terdiri dari :
1. Menyatakan komitmen
2. Menetapkan cara penerapan K3 di RS
3. Pembentukan organisasi/ unit pelaksana K3 RS
4. Membentuk kelompok kerja penerapan K3
5. Menetapkan sumber daya yang diperlukan.
b. Tahap pelaksanaan
1. Penyuluhan K3 ke semua petugas RS
2. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan individu dan kelompok di
dalam organisasi RS.
3. Melaksanakan program K3 sesuai peraturan yang berlaku.
c. Tahap pemantauan dan evaluasi
Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di RS adalah salah satu fungsi
manajemen K3 RS yang berupa suatu langkah yang di ambil untuk mengetahui dan
menilai sampai sejauh mana proses kegiatan K3 RS itu berjalan, dan
mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan RS
dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pemantauan dan evaluasi meliputi :
1.
Pencatatan dan pelaporan K3 terintegrasi ke dalam sistim pelaporan RS
(SPRS) yaitu : pencatatan dan pelaporan K3, pencatatan semua kegiatan K3,
pencatatan dan pelaporan KAK, pencatatan dan pelaporan PAK.
2.
Inspeksi dan pengujian
Inspeksi k3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3 secara
umum dan tidak terlalu mendalam. Inspeksi K3 di RS dilakukan secara berkala,
terutama oleh petugas K3 RS sehingga kejaidan PAK dan KAK dapat dicegah
sedini mungkin. Kegiatan lain adalah pengujian baik terhadap lingkungan
maupun pemeriksaan terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap
pekerja berisiko seperti biological monitoring (pemantauan secara biologis).
3.
Melaksanakan audit K3
Audit K3 yang meliputi falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan,
karyawan dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur,
pengembangan
pengendalian.
karyawan
dan
program
pendidikan,
evaluasi
dan
Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara berkesinambungan
untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3.
2.2.5. Pengendalian Risiko
Dalam tindakan pengendalian perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan
pengendalian kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan
kecelakaan kerja yang tinggi. Beberapa pengendalian risiko antara lain:
1)
Menghilangkan Bahaya
Contohnya menggunakan mesin untuk pekerjaan manual yang berulang atau
menghilangkan asbes dari tempat kerja.
2)
Mencegah atau Mengurangi Peluang Terkena Risiko
Jika bahaya tidak dapat dihilangkan, maka kiat menggunakan alat kendali risiko yang
lebih rendah tingkatannya. Alat-alat kendali itu antara lain mengganti peralatan
(substitusi), melakukan desain ulang dari perangkat kerja (engineering), melakukan
isolasi sumber bahaya.
3)
Bahaya tidak dapat dikurangi
a.
Pengendalian Secara Administrasi.
Dalam tahap ini menggunakan prosedur, SOP atau panduan sebagai langkah
untuk mengurangi risiko. Contoh dari pengendalian secara administrasi ini adalah
mengurangi rotasi kerja untuk mengurangi efek risiko, membatasi waktu atau frekuensi
untuk memasuki area, melakukan supervisi pekerjaan.
SOP berasal dari bahasa Inggris yaitu SOP yang merupakan kepanjangan dari
Standart Operating Procedure, yang artinya standar operasional prosedur. Istilah
SOPmerujuk pada pengertian mengenai sebuah prosedur operasi standar yang
merupakan serangkaian instruksi yang bersifat membatasi prosedur operasi tanpa
kehilangan keefektivitasannya atau merupakan petunjuk tertulis yang menggambarkan
dengan tepat tahapan pelaksanaan tugas/pekerjaan/kegiatan (Insani, 2010).
Dalam penerapannya, terdapat beberapa manfaat standar operasional
prosedur (SOP), antara lain :
a. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan
pekerjaannya.
b. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
individu pegawai organisasi secara keseluruhan.
d. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada intervensi
manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan
proses sehari-hari.
e. Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan pegawai cara konkrit
untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha yang telah
dilakukan.
f. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai oleh
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Sedangkan tujuan dari SOP antara lain : (1) agar pegawai menjaga konsistensi
dan tingkat kinerja pegawai atau tim dalam organisasi atau instalasi kerja, (2) agar
mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, (3)
memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pegawai terkait, (4)
melindungi organisasi/ instalasi kerja dan pegawai dari malpraktek atau kesalahan
administrasi, (5) untuk menghindari kesalahan, keraguan dan duplikasi.
Fungsi dari SOP itu sendiri antara lain : (1) memperlancar tugas pegawai atau
tim/ instalasi kerja, (2) sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, (3) mengetahui
dengan jelas hambatan-hambatannya, (4) mengarahkan pegawai untuk sama-sama
disiplin dalam bekerja, (5) dan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin
(Karisma, 2014).
b. Alat Pelindung Diri (APD)
Menurut Rijanto (2011) alat pelindung diri (APD) dapat didefenisikan sebagai
alat yang mempunyai kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya yang
fungsinya mengisolasi pekerja dari bahaya di tempat kerja. Sarana pengaman diri
adalah pilihan terakhir yang dapat kita lakukan untuk mencegah bahaya pada pekerja.
Keberhasilan penggunaan APD jika peralatan pelindungnya tepat pemilihannya,
digunakan secara benar, sesuai dengan situasi dan kondisi bahaya, senantiasa
dipelihara. Persyaratan APD yang digunakan menurut Budiono (2006) yaitu: (1) harus
memberikan perlindungan yang tepat terhadap potensi bahaya yang ada, (2) tidak
menyebabkan rasa tidak nyaman berlebihan, (3) bentuknya harus cukup menarik dan
dapat dipakai secara fleksibel, (4) tahan untuk pemakaian yang lama, memenuhi
standar yang sudah ada serta suku cadangnya mudah didapat, (5) tidak menimbulkan
bahaya tambahan bagi pemakaian yang tidak tepat atau karena penggunaan yang
salah.
Kebijakan perusahaan tentang APD merupakan pedoman dalam pembuatan
peraturan dan prosedur tentang APD. Begitu manajemen memutuskan untuk
menggunakan APD maka langkah-langkah berikut dapat dilakukan : (1) buat kebijakan
tertulis tentang APD dan mensosialisasikan kepada pekerja dan tamu, (2) pilih jenis APD
yang sesuai, (3) laksanakan suatu program pelatihan agar pekerja mengetahui suatu
cara pemakaian dan perawatan yang benar terhadap APD yang digunakannya, (4)
terapkan dan kontrol penggunaan APD (Rijanto, 2011).
APD yang digunakan oleh petugas haruslah dapat memellihara kesehatan dan
keselamatan dirinya. Beberapa jenis APD dan kegunaannya :
1) Pelindung kepala
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD mendefenisikan alat pelindung kepala adalah
alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk,
kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau
meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia,
jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim.
Beberapa jenis alat pelindung kepala tersebut antara lain :
a. Topi pengaman/ helm pengaman berfungsi melindungi kepala dari kejatuhan
benda, terpukul atau benturan keras dan tajam
b. Penutup rambut (hair cup) atau pengaman rambut digunakan untuk
melindungi kepala dan rambut dari kotoran, serta melindungi rambut dari
bahaya terjerat mesin yang berputar. Spesifikasinya terbuat dari bahan yang
menyerap keringat dan mudah di cuci.
2) Pelindung telinga
a. Sumbat Telinga (Ear Plug)
Sumbat telinga yang baik adalah yang dapat menahan frekuensi tertentu saja,
sedangkan frekuensi untuk bicara biasa (komunikasi) tidak terganggu. Sumbat
telinga biasanya terbuat dari bahan karet, plastik keras, plastik lunak, lilin, dan
kapas. Kemampuan daya lindung (Atenuasi) sekitar 25-30 dB (decible). Bila
ada kebocoran sedikit saja dapat mengurangi daya lindung sampai 15 dB.
Daya lindung yang paling kecil adalah yang terbuat dari kapas, antara 2-12 dB.
Kelemahan dari sumbat telinga ini adalah tidak tepat ukurannya dengan
lubang telinga pemakai, kadang-kadang lubang telinga kanan tidak sama
dengan yang kiri.
b. Tutup Telinga (Ear Muff)
Pelindung telinga yang penggunaannya ditutupkan pada seluruh daun telinga
dan alat ini lebih efektif dari sumbat telinga, karena dapat mengurangi
intensitas hingga 20-30 dB.
3) Pelindung muka dan mata
Berfungsi melindungi dari lemparan benda-benda kecil dan benda panas,
pengaruh cahaya, dan pengaruh radiasi tertentu. Syarat pelindung muka dan mata
yaitu keamanan terhadap api sama dengan topi pengaman, ketahanan terhadap
lemparan benda-benda, alat pelindung mata tahan terhadap radiasi, dengan prinsip
adalah kaca mata yang hanya tahan terhadap panjang gelombang tertentu.
4)
Alat pelindung pernafasan
Berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber
bahaya di udara tempat kerja, seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh
partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), dan pencemaran oleh gas atau uap.
Contoh alat perlindungan pernapasan seperti masker dan respirator.
5) Pelindung tangan
Memiliki fungsi
untuk melindungi dari api, panas, dingin, radiasi
elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan, luka,
lecet dan infeksi, serta kotoran.Jenis dari pelindung tangan antara lain :
a. Gloves (sarung tangan)
b. Mitten : sarung tangan dengan ibu jari terpisah sedangkan jari lainnya
menjadi satu.
c. Hand Pad : melindungi telapak tangan
d. Sleeve : melindungi pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung
dengan sarung tangan.
6) Pelindung kaki
Memiliki fungsi untuk melindungi pekerja dari tertimpa benda-benda
berat atau keras, tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia korosif atau
iritatif, dermatitis/ eksim karena bahan-bahan kimia, kemungkinan tersandung,
tergelincir, dan tertusuk telapak kakinya, pengaruh air panas, dingin, kotor dan lainlain.
Sepatu yang digunakan disesuaikan dengan jenis risikonya yaitu:
a. Pada industri ringan/ tempat kerja biasa cukup memakai sepatu yang baik dan
wanita tidak boleh memakai sepatu bertumit tinggi atau sepatu dengan
telapak yang datar dan licin.
b. Sepatu pelindung (safety house) atau sepatu boot dapat terbuat dari kulit,
karet sintetis atau plastik. Berguna untuk melindungi jari-jari kaki terhadap
kejatuhan atau benturan benda-benda keras, sepatu dilengkapi dengan
penutup jari dari baja atau campuran baja dengan karbon.
c. Untuk mencegah tergelincir digunakan sol anti slip luar dari karet alam atau
sintetis dengan permukaannya yang kasar
d. Untuk mencegah tusukan pada telapak kaki dari benda-benda runcing, serta
sol dilapisi dengan logam
e. Sepatu atau sandal yang beralas kayu baik dipakai ditempat kerja yang
lembab dan lantai yang panas
f. Sepatu boot dari karet sintetis, untuk perlindungan terhadap bahan-bahan
kimia.
7) Pelindung tubuh/ pakaian kerja
Kegunaannya untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh dari bahaya
tertentu baik benda padat, gas, cairan, suhu, percikan api, bahan kimia, radiasi,
panas dan trauma dari benda tumpul/ tajam. Bahan dapat terbuat dari kain kulit,
plastik, asbes atau kain yang dilapisi aluminium. Bentuknya berupa apron (menutupi
sebagian tubuh yaitu mulai dada sampai lutut), celemek, atau pakaian terusan
dengan celana panjang dan lengan panjang (Rijanto, 2010).
Sedangkan untuk jenis APD di rumah sakit pada bagian binatu APD yang
sering digunakan antara lain masker, earmuff, sarung tangan dan sepatu boot.
Dalam penggunaan APD sebagai sarana pengendali risiko, organisasi sebaiknya
melakukan evaluasi secara mendalam terhadap peralatan yang digunakan dalam
mengurangi risiko. Penggunaan APD tetap membutuhkan pelatihan atau instruksi
kerja bagi karyawan yang menggunakannya, termasuk pemeliharannya. Karyawan
harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak akan menghilangkan bahaya yang
terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi jika ada kecelakaan.
1) Masalah umum APD
a.
Tidak semua APD melalui pengujian laboratoris, sehingga tidak diketahui
derajat perlindungannya.
b.
Tidak nyaman dan terkadang membuat si pemakai sulit bekerja
c.
APD terkadang dapat menciptakan bahaya baru
d.
Kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja
e.
Efektifitas APD sering tergantung kondisi kesehatan para pekerja.
2) Masalah pemakaian APD
a.
b.
Sisi pekerja, tidak mau memakai dengan alasan :
•
Tidak sadar/ tidak mengerti manfaat pemakainnya
•
Panas, sesak, berat
•
Tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, mengganggu pekerjaan
•
Tidak sesuai dengan bahaya yang ada
•
Tidak ada sangsi jika tidak menggunakannya
•
Mengikuti sikap atasan yang tidak memakai APD.
Sisi perusahaan
• Ketidakmengertian dari perusahaan tentang APD yang sesuai dengan
jenis risiko yang ada
• Sikap dari perusahaan yang mengabaikan APD
• Dianggap hanya pekerjaan yang sia-sia karena tidak adanya pekerja yang
mau memakai
• Pengadaan APD yang asal beli
3) Masalah Alat Pelindung Telinga
a.
Timbulnya kesulitan komunikasi antar pekerja
b.
Memberatkan kepaladan tidak nyaman dalam penggunaannya
c.
Menimbulkan rasa sakit karena jepitan pelindung telinga terlalu kuat
4) Masalah dalam peggunaan sarung tangan yaitu mengurangi kepekaan tangan
dan jari.
5) Masalah Dalam Penggunaan Respirator
a.
Penutup muka yang buruk seperti dapat menimbulkan jerawat, dapat
membuat rambut jadi terjepit, tidak sesuai dengan ukuran wajah,
menimbulkan iritasi pada bekas luka
2.3.
2.3.1.
b.
Pemeliharaan yang tidak baik
c.
Tidak nyaman dalam menghirup udara dan menimbulkan sesak nafas
d.
Kesulitan komunikasi
e.
Tidak memiliki standar filter udara yang sesuai (Suardi, 2005).
Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Binatu)
Pengertian Binatu
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang pedoman
teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B, binatu rumah sakit adalah tempat
pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan
desinfektan, mesin uap (steam boiler), pengering, meja dan mesin setrika.
2.3.2.
Persyaratan Binatu
1.
Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air panas
untuk desinfeksi dengan desinfektan yang ramah terhadap lingkungan. Suhu air panas
untuk pencucian mencapai 70oC dalam waktu 25 menit atau 95 oC dalam waktu 10
menit untuk pencucian pada mesin cuci.
2.
Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran pembuangan
air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis linen yang berbeda.
3.
Tersedia saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal khusus
binatu sebelum di alirkan ke IPAL RS.
4.
Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-ruang administrasi perkantoran)
dibuatkan akses ke ruang pencucian tanpa melalui ruang dekontaminasi.
5.
Tidak disarankan untuk mempunyai tempat penyimpanan linen kotor.
6.
Penggunaan jenis deterjen dan desinfektan untuk proses pencucian yang ramah
lingkungan agar limbah cair yang dihasilkan mudah terurai oleh lingkungan.
7.
Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar dari proses tidak mengandung
6x103spora spesies bacilus per inci persegi.
2.3.3. Tata Laksana
Menurut
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004, tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah Sakit
pengawasan yang dilakukan dalam hal tata laksana adalah:
1.
Di tempat binatu tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran
yang memadai, air panas untuk desinfeksi dan tersedia desinfektan.
2.
Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran
pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis
linen yang tersedia dan mencuci jenis-jenis linen yang berbeda.
3.
Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan non
infeksius.
4.
Binatuharus dilengkapi dengan saluran air limbah tertutup yang dilengkapi
dengan
pengolahan
awal
(pre-treatment)
sebelum
dialirkan
keinstalasi
pengolahan air limbah.
5.
Binatu harus disediakan ruang-ruang terpisah sesuai kegunaannya yaitu ruang
linen kotor, ruang linen bersih, ruang untuk perlengkapan kebersihan, ruang
perlengkapan cuci, ruang kereta linen, kamar mandi dan ruang peniris atau
pengering untuk alat-alat termasuk linen.
6.
Untuk rumah sakit yang tidak mempunyai binatutersendiri, pencuciannya dapat
bekerjasama dengan pihak lain dan pihak lain tersebut harus mengikuti
persyaratan dan tatalaksana yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang
pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B, kegiatan pencucian linen
terdiri dari :
1.
Pengumpulan, dilakukan :
1) Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai dari sumber dan
memasukkan linen ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya serta diberi label.
2) Menghitung dan mencatat linen diruangan.
2.
Penerimaan
1) Mencatat linen yang diterima dan telah terpisah antara infeksius dan non infeksius.
2) Linen dipisah berdasarkan tingkat kekotorannya.
3.
Pencucian
1) Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin cuci dan
kebutuhan deterjen dan desinfektan.
2) Membersihkan linen kotor dari tinja, urin, darah, dan muntahan kemudian
merendamnya dengan menggunakan desinfektan.
3) Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya.
4.
Pengeringan
5.
Penyetrikaan
6.
Penyimpanan
7.
1)
Linen harus dipisahkan sesuai jenisnya.
2)
Linen baru yang diterima ditempatkan di lemari bagian bawah.
3)
Pintu lemari selalu tertutup.
Distribusi dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari petugas penerima, kemudian
petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas ruangan sesuai kartu tanda terima.
8.
Pengangkutan
1) Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan kantong yang
digunakan untuk membungkus linen kotor.
2) Menggunakan kereta dorong yang berbeda dan tertutup antara linen bersih dan
linen kotor. Kereta dorong harus di cuci dengan desinfektan setelah digunakan
mengangkut linen kotor.
3) Waktu pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan bersamaan.
4) Linen bersih di angkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.
5) Rumah sakit yang tidak mempunyai binatu tersendiri, pengangkutannya dari dan
ketempat binatu harus menggunakan mobil khusus.
9.
Petugas yang bekerja dalam pengelolaan binatu linen harus menggunakan pakaian
kerja khusus, menggunakan APD dan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala,
serta dianjurkan memperoleh imunisasi hepatitis B.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang
pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B alur kegiatan pada instalasi
pencucian linen adalah sebagai berikut :
Troli kotor
Linen kotor
Penerimaan dan pencatatan
Perbaikan linen
Ruang Dekontaminasi
Bak pembilasan
awal
Pencucian
linen
Pengeringan
linen
Penyeterikaan
linen
Melipat linen
Bak desinfeksi
(perendaman)
R. penyimpanan
linen bersih
Bak pembilasan
akhir
Ruang dekontaminasi
Troli dan pengeringan
R. penyimpanan
Troli bersih
Distribusi linen bersih
CSSD
(Resterilisasi)
Tanpa
sterilisasi
Gambar 2.1. Alur Kegiatan Pada Instalasi Pencucian Linen di Instalasi Binatu
(Kemenkes RI, 2010)
2.4.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi pada dasarnya adalah kegiatan untuk melakukan evaluasi
terhadap implementasi kebijakan. Monitoring dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang
diimplementasikan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat kinerja suatu
kebijakan, sejauh mana kebijakan tersebut mencapai sasaran dan tujuannya. Monitoring
diperlukan agar kesalahan-kesalahan awal dapat segera diketahui dan dapat dilakukan
tindakan perbaikan, sehingga mengurangi risiko yang lebih besar. Evaluasi berguna
memberikan input bagi kebijakan yang akan datang supaya lebih baik (Subarsono, 2005).
Monitoring atau pemantauan adalah aktivitas yang ditujukan untuk memberikan
informasi tentang sebab dan akibat dari suatu kebijakan yang sedang diimplementasikan
dengan tujuan menjaga agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan
tujuan dan sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi risiko yang
lebih besar, dan melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring
mengharuskan untuk itu (Subarsono, 2005).
Dalam memantau hasil kebijakan dibedakan dua jenis hasil kebijakan, yaitu :
keluaran (outputs), dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan, atau
sumber daya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima. Sebaliknya
dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan
oleh keluaran kebijakan tersebut. Kelompok sasaran merupakan individu, masyarakat atau
organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan program. Sedangkan
penerima adalah kelompok yang menerima manfaat atau nilai dari kebijakan tersebut.
Untuk menghitung secara baik keluaran dan dampak kebijakan, perlu melihat kembali
tindakan kebijakan yang dilakukan sebelumnya. Tindakan kebijakan mempunyai dua tujuan
utama, yaitu regulasi dan alokasi. Tindakan regulatif adalah tindakan yang dirancang untuk
menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu. Sebaliknya tindakan alokatif
adalah tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu, personil dan alat
(Badjuri, 2002).
Tindakan kebijakan dapat pula dipilah lebih lanjut menjadi masukan (input)
kebijakan dan proses kebijakan. Masukan kebijakan adalah sumber daya (waktu, uang,
personil, alat, material) yang dipakai untuk menghasilkan keluaran dan dampak. Proses
kebijakan adalah tindakan organisasional dan politis yang menentukan transformasi dari
masukan kebijakan menjadi keluaran dan dampak kebijakan. Monitoring terhadap suatu
kebijakan baru dapat dilakukan setelah adanya tindakan dari para pelaku kebijakan
terhadap objek atau kelompok sasaran. Sehingga minimal analis dapat melihat adanya
perubahan atau hasil yang signifikan dari tindakan kebijakan tersebut baik berupa data-data
kuantitatif maupun data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan(Badjuri, 2002).
Pelaksanaan monitoring yang bersifat pasca penerapan kebijakan sama dengan
prinsip evaluasi. Bedanya dalam monitoring intinya analis hanya mengumpulkan informasi
seputar pelaksanaan kebijakan, baik berupa data objektif maupun subjektif, berdasarkan
indikator-indikator yang telah dipilih. Sedangkan dalam evaluasi, analis memasukkan
penilaiannya pada informasi yang telah dikumpulkan dalam proses monitoring. Sehingga
hasil evaluasi dapat menilai apakah suatu proses atau keluaran kebijakan berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkan pembuat kebijakan atau tidak, sedangkan dalam monitoring hal
tersebut tidak dapat dilakukan (Badjuri, 2002).
Evaluasi lebih tertuju pada kajian terhadap hasil suatu program. Evaluasi dilakukan
secara periodik merupakan suatu proses yang sistematis dalam mengumpulkan,
menganalisis, dan menafsirkan data untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan
suatu program, serta untuk mengetahui komponen program mana yang berhasil dan mana
yang tidak berhasil. Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan
masalah kinerjaprogram untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja
program(Moerdiyanto, 2015). Menurut Subarsono (2005) evaluasi adalah kegiatan untuk
menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, dimana evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu
kebijakan sudah berjalan cukup waktu.
Monev adalah kegiatan monitoring dan evaluasi yang ditujukan pada suatu program
yang sedang atau sudah berlangsung. Monitoring sendiri merupakan aktivitas yang
dilakukan pimpinan untuk melihat, memantau jalannya organisasi selama kegiatan
berlangsung, dan menilai ketercapaian tujuan, melihat faktor pendukung dan penghambat
pelaksanaan program. Dalam monitoring (pemantauan) dikumpulkan data dan dianalisis,
hasil analisis diinterpretasikan dan dimaknakan sebagai masukan bagi pimpinan untuk
mengadakan perbaikan. Evaluasi adalah proses untuk mengidentifikasi masalah,
mengumpulkan data dan menganalisis data, menyimpulkan hasil yang telah dicapai,
menginterpretasikan hasil menjadi rumusan kebijakan, dan menyajikan informasi
(rekomendasi) untuk pembuatan keputusan berdasarkan pada aspek kebenaran hasil
evaluasi (Moerdiyanto, 2015).
Perbedaan antara monitoring dan evaluasi adalah monitoring dilakukan pada saat
program masih berjalan sedangkan evaluasi dapat dilakukan baik sewaktu program itu
masih berjalan ataupun program itu sudah selesai. Bila dilihat dari pelakunya, monitoring
dilakukan oleh pihak internal sedangkan evaluasi dilakukan oleh pihak internal maupun
eksternal. Evaluasi dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran suatu program beserta
dampaknya, sedangkan monitoring hanya melihat keterlaksanaan program, faktor
pendukung, penghambatnya. Bila dilihat secara keseluruhan, kegiatan monev ditujukan
untuk pembinaan suatu program.
Tujuan dari monitoring kebijkaan adalah :
1. Menghindari terjadinya penyimpangan/ kesalahan/ keterlambatan sehingga dapat
diluruskan.
2. Memastikan proses implementasi sesuai dengan model implementasi yang sesuai.
3. Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju arah kinerja kebijakan yang
dikehendaki (Badjuri, 2002).
Menurut Dunn dalam (Subarsono, 2005) ada beberapa jenis monitoring yaitu :
1.
Kepatuhan (Compliance) adalah jenis monitoring untuk menentukan tingkat kepatuhan
implementor terhadap standar dan prosedur yang telah ditetapkan.
2.
Pemeriksaan (Auditing) adalah jenis monitoring untuk melihat sejauh mana sumber
daya dan pelayanan sampai pada kelompok sasaran.
3.
Akutansi (Accounting) adalah jenis monitoring untuk mengkalkulasikan perubahan
sosial dan ekonomi yang terjadi setelah diimplementasikan suatu kebijakan.
4.
Eksplanasi (Explanation) adalah jenis monitoring untuk menjelaskan adanya perbedaan
antara hasil dan tujuan kebijakan.
2.5.
Landasan Teori
Kepatuhanberasaldari kata patuh.Menurut KBBI (KamusBesarBahasa Indonesia),
patuhberartisukamenuruti
perintah,
taatkepadaperintahatauaturandanberdisiplin.
Kepatuhanberartibersifatpatuh, ketaatan, tunduk, patuhpadaajarandanaturan.
Menurut
Ripley (1985) implementasi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pertama
(complience perspective) memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu
sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam
dokumen kebijakan (dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau program).
Studi implementasi yang menggunakan perspektif ini ingin mengetahui kepatuhan para
bawahan dalam menjalankan perintah yang diberikan para atasan sebagai upaya untuk
melaksanakan satu kebijakan.
Perspektif kedua tidak hanya memahami implementasi dari aspek kepatuhan
para implementer kebijakan dalam mengikuti standart operating procedur (SOP)
tetapi berusaha memahami implementasi secara lebih luas. Maka ukuran keberhasilan
implementasi tidak hanya dilihat dari segi kepatuhan para implementer dalam
mengikuti SOP tetapi juga diukur dari keberhasilan dalam merealisasikan tujuantujuan kebijakan yang wujud nyatanya berupa munculnya dampak kebijakan. Artinya
kepatuhan para implementer dalam mengimplementasikan kebijakan sesuai SOP
bukan satu-satunya alat ukur keberhasilan implementasi. Kepatuhan tersebut
semestinya perlu dipandang sebagai kondisi yang harus dilalui agar tujuan kebijakan
dapat diwujudkan, bukan tujuan akhir dari implementasi itu sendiri (Purwanto dan
Sulistyastuti, 2012).
Dalam penggunaan sehari-hari, kita biasa mendengar istilah‘monitoring’banyak
digunakan dengan makna “mengawasi, memeriksa,atau mengobservasi”. Dalam konteks
penggunaan seperti itu prosesmonitoring, biasanya menjadi bagian dari sebuah aktivitas
yang lebihbesar, yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Aktivitas
monitoringdilakukan sebagai fungsi pengawasan dan observasi untuk memastikanbahwa
aktivitas yang dilakukan benar-benar membawa pada tujuanyang sudah ditetapkan
sebelumnya (Santoso, 2010).
Ketika situasi masalah timbul saat transformasi tindakan kebijakan menjadi
informasi tentang hasil kebijakan melalui monitoring, situasi masalah (sistim dari berbagai
masalah yang saling tergantung) tersebut ditransformasikan melalui perumusan masalah ke
dalam suatu masalah kebijakan.Informasi yang dibutuhkan untuk memantau kebijakan
publik harus relevan, dapat diandalkan dan valid. Dapat diandalkan mengandung arti bahwa
observasi dalam memperoleh informasi harus dilakukan secara cermat. Valid atau sahih
maksudnya informasi tersebut benar-benar memberitahu kita tentang apa yang memang
kita maksudkan. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Pada umumnya informasi
diperoleh dari arsip pada instansi atau badan terkait berupa buku, monograf, artikel, dan
laporan tertulis dari para peneliti. Bila data dan informasi tidak tersedia pada sumber di
atas, monitoring perlu dilakukan dengan kuesioner, wawancara dan observasi lapangan
(Badjuri, 2002).
2.6.
Kerangka Berpikir
Bedasarkan tinjauan kepustakaan, maka dapat disusun kerangka berpikir dalam
penelitian ini sebagai berikut :
→
Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) diinstalasi binatu:
1. Tata
→ laksana
2. Alur kegiatan pencucian linen
3. Melaksanakan tugas sesuai dengan
SOP
4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
5. Monitoring
Hasil pelaksanaan K3 di instalasi
binatu :
1. Tata laksana
2. Kepatuhan petugas binatu
terhadap SOP
3. Kepatuhan petugas binatu pada
penggunaan APD
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Penelitian
Kerangka berpikir di atas merupakan rangkuman sementara dari gambaran tentang
pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di instalasi binatu pada
Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015. Selain melihat pelaksanaan manajemen K3
diinstalasi binatu diantaranya tata laksana, alur kegiatan pencucian linen, melaksanakan
tugas sesuai dengan SOP dan penggunaan alat pelindung diri (APD), serta pelaksanaan
monitoring di instalasi binatu. Dari penjelasan di atas didapatkan hasil pelaksanaan K3 di
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Rumah Sakit
2.1.1.Pengertian Rumah Sakit
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Menurut Willan dalam Aditama (2006) istilah rumah sakit sendiri berasal dari
kata hospital yang berasal dari bahasa latinhospitium, yang memiliki arti suatu tempat
atau ruangan untuk menerima tamu. “Rumah sakit bukan hanya suatu tempat, namun
juga sebuah fasilitas, sebuah institusi dan juga sebuah organisasi”. Rumah sakit harus
dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan
keselamatan pasiennya serta harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak berdesakdesakkan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan,
tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang yang sehat. Kumpulan banyak orang
ini akan dapat memungkinkan rumah sakit menjadi tempat penularan penyakit,
9
gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Untuk menghindari terjadinya
risiko dan gangguan kesehatan maka diperlukan penyelenggaraan kesehatan
lingkungan rumah sakit.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor44 Tahun 2009 tentang
rumah
sakit
pasal
19
ayat
2
rumahsakitumumadalahrumahsakit
yang
memberikanpelayanankesehatanpada semua bidang dan jenis penyakit. Pada pasal 10 ayat
1 tentang bangunan rumah sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan rumah sakit yang dimaksud pada ayat 1
paling sedikit terdiri atas ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang gawat darurat, ruang
operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi,
ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah,
ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit, ruang menyusui, ruang
mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, danpelataran
parkir yang mencukupi.
2.1.2.Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 dalam pasal 4
(empat) tugas dari rumah sakit adalah memberikan kesehatan perorangan secara paripurna.
Maksudnya adalah setiap kegiatan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan.
Untuk menjelaskan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (empat), rumah
sakit mempunyai fungsi :
1.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.
2.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan
4.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.2.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit
2.2.1. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, kesehatan dan keselamatan
kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para petugas/ buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan
rehabilitasi.
Menurut Suma’mur (1976) kesehatan kerja adalah spesialisasi ilmu kesehatan/
kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan
setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif
terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum (Budiono et.al, 2009).
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan
fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi petugas di semua jenis pekerjaan,
pencegahan terhadap gangguan kesehatan petugas yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan bagi petugas dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan
kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan petugas dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya. (Kepmenkes, 2007).
Menurut Budiono (2006) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat
kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Upaya K3 di rumah sakit menyangkut tenaga kerja, cara/ metode kerja, alat kerja,
proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan
dan pemulihan. Di tempat kerja, kesehatan dan kinerja seorang pekerja sangat dipengaruhi
oleh :
1.
Kapasitas
kerja
adalah
kemampuan
seorang
pekerja
untuk
menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik pada suatu tempat kerja dalam waktu tertentu.
2.
Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani pekerja baik secara fisik maupun
non fisik dalam menyelesaikan pekerjaannya, kondisi tersebut dapat diperberat oleh
kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik atau non fisik.
3.
Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik,
kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang memengaruhi pekerja dalam
melaksanakan pekerjaannya (Budionoet.al, 2009).
2.2.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, manajemen K3 di rumah sakit
merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan K3
di rumah sakit. K3 perlu dikelola dengan baik agar penyelenggaraan K3 rumah sakit lebih
efektif, efisien dan terpadu diperlukan sebuah manajemen K3 di rumah sakit bagi pengelola
maupun karyawan rumah sakit yang bertujuan terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang
sehat, aman dan nyaman dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan di rumah
sakit. Terdapat beberapa penyebab yang sering terjadi dalam pekerjaan, yaitu :
1.
Faktor perorangan antara lain kurang pengetahuan, kurang keterampilan, motivasi
kurang baik, masalah fisik dan mental.
2.
Faktor pekerjaan antara lain standar kerja yang kurang baik, standar perencanaan yang
kurang tepat, standar perawatan yang kurang tepat, standar pembelian yang kurang
tepat, retak akibat pemakaian setelah lama dipakai, pemakaian abnormal.
Dari penjelasan di atas, timbul beberapa kondisi yang sering dijumpai yaitu
pengamanan tidak sempurna, APD yang tidak memenuhi syarat, bahan atau peralatan kerja
yang telah rusak, gerak tidak leluasa karena tumpukan benda, sistim tanda bahaya yang
tidak memenuhi syarat, lingkungan kerja yang mengandung bahaya, seperti iklim kerja
panas atau dingin, penerangan tidak memenuhi syarat, ventilasi kurang baik, tingkat
kebisingan tinggi, pemaparan terhadap radiasi (Suardi, 2005).
2.2.3. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23
dinyatakan bahwa upaya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) harus diselenggarakan di
semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan,
mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Dari pasal
tersebut jelas bahwa rumah sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai
ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para
pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung
rumah sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit menerapkan upayaupaya K3 di rumah sakit.
Potensi bahaya di rumah sakit selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang memengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumbersumber cidera lainnya), radiasi, bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut jelas mengancam jiwa dan
kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun para pengunjung yang
ada di lingkungan rumah sakit.
2.2.4. Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit
1.
Komitmen dan Kebijakan
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah
dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan rumah sakit. Manajemen rumah sakit
mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga
K3 dan saran untuk terlaksananya program K3 di rumah sakit. Kebijakan K3 di rumah sakit
diwujudkan dalam bentuk wadah K3RS dalam struktur organisasi rumah sakit.
Untuk melaksanakana komitmen dan kebijakan K3RS perlu disusun strategi antara
lain :
a.
Advokasi sosialisasi program K3RS
b.
Menetapkan tujuan yang jelas
c.
Organisasi dan penugasan yang jelas
d.
Meningkatkan SDM yang profesional di bidang K3RS pada setiap instalasi kerja di
lingkungan rumah sakit.
e.
Sumber daya yang harus didukung oleh manajemen puncak
f.
Kajian risiko secara kualitatif dan kuantitatif.
g.
Membuat program kerja K3RS
yang mengutamakan upaya peningkatan dan
pencegahan
h.
2.
Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.
Perencanaan
Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistim manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan
meliputi :
a. Identifikasi sumber bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko. Rumah sakit harus
melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta pengendalian faktor
risiko.
1) Identifikasi sumber bahaya
Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat
menimbulkan potensi bahaya dan jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat
terjadi. Sumber bahaya yang ada di rumah sakit harus di identifikasi dan di nilai
untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK.
Tabel 2.1.Bahaya Potensial Berdasarkan Lokasi dan Pekerjaan di Rumah Sakit
No
1.
Bahaya Potensial
Fisik
Bising
Getaran
Debu
Lokasi
IPS-RS, binatu, dapur,
CSSD, gedung gensetboiler, IPAL
Ruang
mesin-mesin
dan peralatan yang
menghasilkan getaran
(ruang gigi, dan lainlain)
Genset, bengkel kerja,
laboratorium
gigi,
gudang rekam medis,
incinerator
Tabel 2.1.(Lanjutan)
Pekerja yang Paling Beresiko
Karyawan yang bekerja di
lokasi tersebut
Perawat, cleaning service,
dan lain-lain
Petugas sanitasi, teknisi gigi,
petugas IPS dan rekam medis
No
2.
Bahaya Potensial
Panas
CSSD, dapur, binatu,
incinerator, boiler
Radiasi
X-Ray, OK yang
menggunakan c-arm,
ruang fisioterapi, unit
gigi
Kimia
Desinfektan
Formaldehyde
Cytotoxics
Ethylene Oxide
Pekerja dapur, pekerja
binatu, petugas sanitasi dan
IP-RS
Ahli radiologi, radioterapist
dan
radiografer,
ahli
fisioterapi dan petugas
rontgen gigi.
Kamar operasi
Ruang pemeriksaan gigi
Solvents
Laboratorium, bengkel
kerja, semua area di
rumah sakit
Biologi
AIDS, Hepatitis B
dan Non A-Non B
Pekerja yang Paling Beresiko
Semua area
Petugas kebersihan perawat
Laboratorium, kamar
Petugas kamar mayat,
mayat, gudang farmasi
petugas laboratorium dan
farmasi
Farmasi, tempat
Pekerja farmasi, perawat,
pembuangan limbah,
petugas
pengumpul
bangsal
sampah
Methyl :
MethacrylateHg
(amalgam)
Gas-gas anastesi
3.
Lokasi
Dokter, perawat
Petugas/ dokter gigi, dokter
bedah, perawat
Teknisi, petugas
laboratorium, petugas
pembersih
Ruang operasi gigi,
Dokter gigi, dokter bedah,
ruaang pemulihan
dokter/ perawat anastesi
IGD, kamar operasi,
ruang
pemeriksaan
gigi,
laboratorium,
binatu
Dokter,
dokter
gigi,
perawat,
petugas
laboratorium,
petugas
sanitasi dan binatu
Cytomegalovirus
Ruang
kebidanan,
ruang anak
Rubella
Tuberculosis
Ruang Ibu dan anak
Bangsal, laboratorium,
Perawat,
dokter
yang
bekerja di bagian Ibu dan
anak
Dokter
dan
perawat,
petugas
laboratorium,
ruang isolasi
fisioterapis
Tabel 2.1.(Lanjutan)
No
Bahaya Potensial
4.
Ergonomi
Pekerjaan yang
dilakukan secara
manual
Postur
salah
dalam melakukan
pekerjaan
Pekerjaan yang
berulang
5.
Psikososial
Sering
kontak
dengan pasien,
kerja berlebih.
Lokasi
Pekerja yang Paling Beresiko
Area pasien dan
tempat penyimpanan
barang (gudang)
Semua area
Petugas yang menangani
pasien dan barang
Semua area
Dokter
gigi,
petugas
pembersih,
operator
komputer, dan lain-lain.
Semua area
Semua karyawan
Semua karyawan
2) Penilaian faktor risiko
Merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan
penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
3) Pengendalian faktor risiko
Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yaitu menghilangkan bahaya,
menggantikan sumber risiko dengan sarana/ peralatan lain yang tingkat risikonya
lebih rendah atau tidak ada (engineering/ rekayasa), administrasi dan alat
pelindung pribadi (APP).
b.
Membuat peraturan
Rumah sakit harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar operasional
prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3
lainnya yang berlaku. SOP ini harus di evaluasi, diperbaharui dan harus
dikomunikasikan serta disosilisasikan pada karyawan dan pihak yang terkait.
c.
Tujuan dan sasaran
Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya
potensial dan risiko K3 yang bisa di ukur, satuan/ indikator pegukuran, sasaran
pencapaian dan jangka waktu pencapaian.
d.
Indikator kinerja
Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus
merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.
e.
Program K3
Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk mencapai
sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan di catat serta dilaporkan.
3.
Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terh,hkadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja
sama dalam pelaksanaan K3. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada
semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi
K3RS secara spesifik harus mempersiapkan data dan informasi pelaksana K3 di semua
tempat kerja, merumuskan permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya
masalah bersama instalasi-instalasi kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan
mengkomunikasikannya kepada instalasi-instalasi kerja, sehingga dapat dilaksanakan
dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program yang
dilaksanakan telah berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan maka perlu
diidentifikasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.
4.
Langkah-Langkah Penyelenggaraan
Untuk memudahkan penyelenggaraan K3 di rumah sakit, maka perlu langkah-
langkah penerapannya yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan
evaluasi.
a. Tahap persiapan, terdiri dari :
1. Menyatakan komitmen
2. Menetapkan cara penerapan K3 di RS
3. Pembentukan organisasi/ unit pelaksana K3 RS
4. Membentuk kelompok kerja penerapan K3
5. Menetapkan sumber daya yang diperlukan.
b. Tahap pelaksanaan
1. Penyuluhan K3 ke semua petugas RS
2. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan individu dan kelompok di
dalam organisasi RS.
3. Melaksanakan program K3 sesuai peraturan yang berlaku.
c. Tahap pemantauan dan evaluasi
Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di RS adalah salah satu fungsi
manajemen K3 RS yang berupa suatu langkah yang di ambil untuk mengetahui dan
menilai sampai sejauh mana proses kegiatan K3 RS itu berjalan, dan
mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan RS
dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pemantauan dan evaluasi meliputi :
1.
Pencatatan dan pelaporan K3 terintegrasi ke dalam sistim pelaporan RS
(SPRS) yaitu : pencatatan dan pelaporan K3, pencatatan semua kegiatan K3,
pencatatan dan pelaporan KAK, pencatatan dan pelaporan PAK.
2.
Inspeksi dan pengujian
Inspeksi k3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3 secara
umum dan tidak terlalu mendalam. Inspeksi K3 di RS dilakukan secara berkala,
terutama oleh petugas K3 RS sehingga kejaidan PAK dan KAK dapat dicegah
sedini mungkin. Kegiatan lain adalah pengujian baik terhadap lingkungan
maupun pemeriksaan terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap
pekerja berisiko seperti biological monitoring (pemantauan secara biologis).
3.
Melaksanakan audit K3
Audit K3 yang meliputi falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan,
karyawan dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur,
pengembangan
pengendalian.
karyawan
dan
program
pendidikan,
evaluasi
dan
Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara berkesinambungan
untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3.
2.2.5. Pengendalian Risiko
Dalam tindakan pengendalian perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan
pengendalian kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan
kecelakaan kerja yang tinggi. Beberapa pengendalian risiko antara lain:
1)
Menghilangkan Bahaya
Contohnya menggunakan mesin untuk pekerjaan manual yang berulang atau
menghilangkan asbes dari tempat kerja.
2)
Mencegah atau Mengurangi Peluang Terkena Risiko
Jika bahaya tidak dapat dihilangkan, maka kiat menggunakan alat kendali risiko yang
lebih rendah tingkatannya. Alat-alat kendali itu antara lain mengganti peralatan
(substitusi), melakukan desain ulang dari perangkat kerja (engineering), melakukan
isolasi sumber bahaya.
3)
Bahaya tidak dapat dikurangi
a.
Pengendalian Secara Administrasi.
Dalam tahap ini menggunakan prosedur, SOP atau panduan sebagai langkah
untuk mengurangi risiko. Contoh dari pengendalian secara administrasi ini adalah
mengurangi rotasi kerja untuk mengurangi efek risiko, membatasi waktu atau frekuensi
untuk memasuki area, melakukan supervisi pekerjaan.
SOP berasal dari bahasa Inggris yaitu SOP yang merupakan kepanjangan dari
Standart Operating Procedure, yang artinya standar operasional prosedur. Istilah
SOPmerujuk pada pengertian mengenai sebuah prosedur operasi standar yang
merupakan serangkaian instruksi yang bersifat membatasi prosedur operasi tanpa
kehilangan keefektivitasannya atau merupakan petunjuk tertulis yang menggambarkan
dengan tepat tahapan pelaksanaan tugas/pekerjaan/kegiatan (Insani, 2010).
Dalam penerapannya, terdapat beberapa manfaat standar operasional
prosedur (SOP), antara lain :
a. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan
pekerjaannya.
b. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
individu pegawai organisasi secara keseluruhan.
d. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada intervensi
manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan
proses sehari-hari.
e. Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan pegawai cara konkrit
untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha yang telah
dilakukan.
f. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai oleh
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Sedangkan tujuan dari SOP antara lain : (1) agar pegawai menjaga konsistensi
dan tingkat kinerja pegawai atau tim dalam organisasi atau instalasi kerja, (2) agar
mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, (3)
memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pegawai terkait, (4)
melindungi organisasi/ instalasi kerja dan pegawai dari malpraktek atau kesalahan
administrasi, (5) untuk menghindari kesalahan, keraguan dan duplikasi.
Fungsi dari SOP itu sendiri antara lain : (1) memperlancar tugas pegawai atau
tim/ instalasi kerja, (2) sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, (3) mengetahui
dengan jelas hambatan-hambatannya, (4) mengarahkan pegawai untuk sama-sama
disiplin dalam bekerja, (5) dan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin
(Karisma, 2014).
b. Alat Pelindung Diri (APD)
Menurut Rijanto (2011) alat pelindung diri (APD) dapat didefenisikan sebagai
alat yang mempunyai kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya yang
fungsinya mengisolasi pekerja dari bahaya di tempat kerja. Sarana pengaman diri
adalah pilihan terakhir yang dapat kita lakukan untuk mencegah bahaya pada pekerja.
Keberhasilan penggunaan APD jika peralatan pelindungnya tepat pemilihannya,
digunakan secara benar, sesuai dengan situasi dan kondisi bahaya, senantiasa
dipelihara. Persyaratan APD yang digunakan menurut Budiono (2006) yaitu: (1) harus
memberikan perlindungan yang tepat terhadap potensi bahaya yang ada, (2) tidak
menyebabkan rasa tidak nyaman berlebihan, (3) bentuknya harus cukup menarik dan
dapat dipakai secara fleksibel, (4) tahan untuk pemakaian yang lama, memenuhi
standar yang sudah ada serta suku cadangnya mudah didapat, (5) tidak menimbulkan
bahaya tambahan bagi pemakaian yang tidak tepat atau karena penggunaan yang
salah.
Kebijakan perusahaan tentang APD merupakan pedoman dalam pembuatan
peraturan dan prosedur tentang APD. Begitu manajemen memutuskan untuk
menggunakan APD maka langkah-langkah berikut dapat dilakukan : (1) buat kebijakan
tertulis tentang APD dan mensosialisasikan kepada pekerja dan tamu, (2) pilih jenis APD
yang sesuai, (3) laksanakan suatu program pelatihan agar pekerja mengetahui suatu
cara pemakaian dan perawatan yang benar terhadap APD yang digunakannya, (4)
terapkan dan kontrol penggunaan APD (Rijanto, 2011).
APD yang digunakan oleh petugas haruslah dapat memellihara kesehatan dan
keselamatan dirinya. Beberapa jenis APD dan kegunaannya :
1) Pelindung kepala
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD mendefenisikan alat pelindung kepala adalah
alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk,
kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau
meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia,
jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim.
Beberapa jenis alat pelindung kepala tersebut antara lain :
a. Topi pengaman/ helm pengaman berfungsi melindungi kepala dari kejatuhan
benda, terpukul atau benturan keras dan tajam
b. Penutup rambut (hair cup) atau pengaman rambut digunakan untuk
melindungi kepala dan rambut dari kotoran, serta melindungi rambut dari
bahaya terjerat mesin yang berputar. Spesifikasinya terbuat dari bahan yang
menyerap keringat dan mudah di cuci.
2) Pelindung telinga
a. Sumbat Telinga (Ear Plug)
Sumbat telinga yang baik adalah yang dapat menahan frekuensi tertentu saja,
sedangkan frekuensi untuk bicara biasa (komunikasi) tidak terganggu. Sumbat
telinga biasanya terbuat dari bahan karet, plastik keras, plastik lunak, lilin, dan
kapas. Kemampuan daya lindung (Atenuasi) sekitar 25-30 dB (decible). Bila
ada kebocoran sedikit saja dapat mengurangi daya lindung sampai 15 dB.
Daya lindung yang paling kecil adalah yang terbuat dari kapas, antara 2-12 dB.
Kelemahan dari sumbat telinga ini adalah tidak tepat ukurannya dengan
lubang telinga pemakai, kadang-kadang lubang telinga kanan tidak sama
dengan yang kiri.
b. Tutup Telinga (Ear Muff)
Pelindung telinga yang penggunaannya ditutupkan pada seluruh daun telinga
dan alat ini lebih efektif dari sumbat telinga, karena dapat mengurangi
intensitas hingga 20-30 dB.
3) Pelindung muka dan mata
Berfungsi melindungi dari lemparan benda-benda kecil dan benda panas,
pengaruh cahaya, dan pengaruh radiasi tertentu. Syarat pelindung muka dan mata
yaitu keamanan terhadap api sama dengan topi pengaman, ketahanan terhadap
lemparan benda-benda, alat pelindung mata tahan terhadap radiasi, dengan prinsip
adalah kaca mata yang hanya tahan terhadap panjang gelombang tertentu.
4)
Alat pelindung pernafasan
Berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber
bahaya di udara tempat kerja, seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh
partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), dan pencemaran oleh gas atau uap.
Contoh alat perlindungan pernapasan seperti masker dan respirator.
5) Pelindung tangan
Memiliki fungsi
untuk melindungi dari api, panas, dingin, radiasi
elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan, luka,
lecet dan infeksi, serta kotoran.Jenis dari pelindung tangan antara lain :
a. Gloves (sarung tangan)
b. Mitten : sarung tangan dengan ibu jari terpisah sedangkan jari lainnya
menjadi satu.
c. Hand Pad : melindungi telapak tangan
d. Sleeve : melindungi pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung
dengan sarung tangan.
6) Pelindung kaki
Memiliki fungsi untuk melindungi pekerja dari tertimpa benda-benda
berat atau keras, tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia korosif atau
iritatif, dermatitis/ eksim karena bahan-bahan kimia, kemungkinan tersandung,
tergelincir, dan tertusuk telapak kakinya, pengaruh air panas, dingin, kotor dan lainlain.
Sepatu yang digunakan disesuaikan dengan jenis risikonya yaitu:
a. Pada industri ringan/ tempat kerja biasa cukup memakai sepatu yang baik dan
wanita tidak boleh memakai sepatu bertumit tinggi atau sepatu dengan
telapak yang datar dan licin.
b. Sepatu pelindung (safety house) atau sepatu boot dapat terbuat dari kulit,
karet sintetis atau plastik. Berguna untuk melindungi jari-jari kaki terhadap
kejatuhan atau benturan benda-benda keras, sepatu dilengkapi dengan
penutup jari dari baja atau campuran baja dengan karbon.
c. Untuk mencegah tergelincir digunakan sol anti slip luar dari karet alam atau
sintetis dengan permukaannya yang kasar
d. Untuk mencegah tusukan pada telapak kaki dari benda-benda runcing, serta
sol dilapisi dengan logam
e. Sepatu atau sandal yang beralas kayu baik dipakai ditempat kerja yang
lembab dan lantai yang panas
f. Sepatu boot dari karet sintetis, untuk perlindungan terhadap bahan-bahan
kimia.
7) Pelindung tubuh/ pakaian kerja
Kegunaannya untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh dari bahaya
tertentu baik benda padat, gas, cairan, suhu, percikan api, bahan kimia, radiasi,
panas dan trauma dari benda tumpul/ tajam. Bahan dapat terbuat dari kain kulit,
plastik, asbes atau kain yang dilapisi aluminium. Bentuknya berupa apron (menutupi
sebagian tubuh yaitu mulai dada sampai lutut), celemek, atau pakaian terusan
dengan celana panjang dan lengan panjang (Rijanto, 2010).
Sedangkan untuk jenis APD di rumah sakit pada bagian binatu APD yang
sering digunakan antara lain masker, earmuff, sarung tangan dan sepatu boot.
Dalam penggunaan APD sebagai sarana pengendali risiko, organisasi sebaiknya
melakukan evaluasi secara mendalam terhadap peralatan yang digunakan dalam
mengurangi risiko. Penggunaan APD tetap membutuhkan pelatihan atau instruksi
kerja bagi karyawan yang menggunakannya, termasuk pemeliharannya. Karyawan
harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak akan menghilangkan bahaya yang
terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi jika ada kecelakaan.
1) Masalah umum APD
a.
Tidak semua APD melalui pengujian laboratoris, sehingga tidak diketahui
derajat perlindungannya.
b.
Tidak nyaman dan terkadang membuat si pemakai sulit bekerja
c.
APD terkadang dapat menciptakan bahaya baru
d.
Kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja
e.
Efektifitas APD sering tergantung kondisi kesehatan para pekerja.
2) Masalah pemakaian APD
a.
b.
Sisi pekerja, tidak mau memakai dengan alasan :
•
Tidak sadar/ tidak mengerti manfaat pemakainnya
•
Panas, sesak, berat
•
Tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, mengganggu pekerjaan
•
Tidak sesuai dengan bahaya yang ada
•
Tidak ada sangsi jika tidak menggunakannya
•
Mengikuti sikap atasan yang tidak memakai APD.
Sisi perusahaan
• Ketidakmengertian dari perusahaan tentang APD yang sesuai dengan
jenis risiko yang ada
• Sikap dari perusahaan yang mengabaikan APD
• Dianggap hanya pekerjaan yang sia-sia karena tidak adanya pekerja yang
mau memakai
• Pengadaan APD yang asal beli
3) Masalah Alat Pelindung Telinga
a.
Timbulnya kesulitan komunikasi antar pekerja
b.
Memberatkan kepaladan tidak nyaman dalam penggunaannya
c.
Menimbulkan rasa sakit karena jepitan pelindung telinga terlalu kuat
4) Masalah dalam peggunaan sarung tangan yaitu mengurangi kepekaan tangan
dan jari.
5) Masalah Dalam Penggunaan Respirator
a.
Penutup muka yang buruk seperti dapat menimbulkan jerawat, dapat
membuat rambut jadi terjepit, tidak sesuai dengan ukuran wajah,
menimbulkan iritasi pada bekas luka
2.3.
2.3.1.
b.
Pemeliharaan yang tidak baik
c.
Tidak nyaman dalam menghirup udara dan menimbulkan sesak nafas
d.
Kesulitan komunikasi
e.
Tidak memiliki standar filter udara yang sesuai (Suardi, 2005).
Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Binatu)
Pengertian Binatu
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang pedoman
teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B, binatu rumah sakit adalah tempat
pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan
desinfektan, mesin uap (steam boiler), pengering, meja dan mesin setrika.
2.3.2.
Persyaratan Binatu
1.
Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air panas
untuk desinfeksi dengan desinfektan yang ramah terhadap lingkungan. Suhu air panas
untuk pencucian mencapai 70oC dalam waktu 25 menit atau 95 oC dalam waktu 10
menit untuk pencucian pada mesin cuci.
2.
Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran pembuangan
air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis linen yang berbeda.
3.
Tersedia saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal khusus
binatu sebelum di alirkan ke IPAL RS.
4.
Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-ruang administrasi perkantoran)
dibuatkan akses ke ruang pencucian tanpa melalui ruang dekontaminasi.
5.
Tidak disarankan untuk mempunyai tempat penyimpanan linen kotor.
6.
Penggunaan jenis deterjen dan desinfektan untuk proses pencucian yang ramah
lingkungan agar limbah cair yang dihasilkan mudah terurai oleh lingkungan.
7.
Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar dari proses tidak mengandung
6x103spora spesies bacilus per inci persegi.
2.3.3. Tata Laksana
Menurut
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004, tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah Sakit
pengawasan yang dilakukan dalam hal tata laksana adalah:
1.
Di tempat binatu tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran
yang memadai, air panas untuk desinfeksi dan tersedia desinfektan.
2.
Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran
pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis
linen yang tersedia dan mencuci jenis-jenis linen yang berbeda.
3.
Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan non
infeksius.
4.
Binatuharus dilengkapi dengan saluran air limbah tertutup yang dilengkapi
dengan
pengolahan
awal
(pre-treatment)
sebelum
dialirkan
keinstalasi
pengolahan air limbah.
5.
Binatu harus disediakan ruang-ruang terpisah sesuai kegunaannya yaitu ruang
linen kotor, ruang linen bersih, ruang untuk perlengkapan kebersihan, ruang
perlengkapan cuci, ruang kereta linen, kamar mandi dan ruang peniris atau
pengering untuk alat-alat termasuk linen.
6.
Untuk rumah sakit yang tidak mempunyai binatutersendiri, pencuciannya dapat
bekerjasama dengan pihak lain dan pihak lain tersebut harus mengikuti
persyaratan dan tatalaksana yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang
pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B, kegiatan pencucian linen
terdiri dari :
1.
Pengumpulan, dilakukan :
1) Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai dari sumber dan
memasukkan linen ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya serta diberi label.
2) Menghitung dan mencatat linen diruangan.
2.
Penerimaan
1) Mencatat linen yang diterima dan telah terpisah antara infeksius dan non infeksius.
2) Linen dipisah berdasarkan tingkat kekotorannya.
3.
Pencucian
1) Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin cuci dan
kebutuhan deterjen dan desinfektan.
2) Membersihkan linen kotor dari tinja, urin, darah, dan muntahan kemudian
merendamnya dengan menggunakan desinfektan.
3) Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya.
4.
Pengeringan
5.
Penyetrikaan
6.
Penyimpanan
7.
1)
Linen harus dipisahkan sesuai jenisnya.
2)
Linen baru yang diterima ditempatkan di lemari bagian bawah.
3)
Pintu lemari selalu tertutup.
Distribusi dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari petugas penerima, kemudian
petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas ruangan sesuai kartu tanda terima.
8.
Pengangkutan
1) Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan kantong yang
digunakan untuk membungkus linen kotor.
2) Menggunakan kereta dorong yang berbeda dan tertutup antara linen bersih dan
linen kotor. Kereta dorong harus di cuci dengan desinfektan setelah digunakan
mengangkut linen kotor.
3) Waktu pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan bersamaan.
4) Linen bersih di angkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.
5) Rumah sakit yang tidak mempunyai binatu tersendiri, pengangkutannya dari dan
ketempat binatu harus menggunakan mobil khusus.
9.
Petugas yang bekerja dalam pengelolaan binatu linen harus menggunakan pakaian
kerja khusus, menggunakan APD dan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala,
serta dianjurkan memperoleh imunisasi hepatitis B.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang
pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B alur kegiatan pada instalasi
pencucian linen adalah sebagai berikut :
Troli kotor
Linen kotor
Penerimaan dan pencatatan
Perbaikan linen
Ruang Dekontaminasi
Bak pembilasan
awal
Pencucian
linen
Pengeringan
linen
Penyeterikaan
linen
Melipat linen
Bak desinfeksi
(perendaman)
R. penyimpanan
linen bersih
Bak pembilasan
akhir
Ruang dekontaminasi
Troli dan pengeringan
R. penyimpanan
Troli bersih
Distribusi linen bersih
CSSD
(Resterilisasi)
Tanpa
sterilisasi
Gambar 2.1. Alur Kegiatan Pada Instalasi Pencucian Linen di Instalasi Binatu
(Kemenkes RI, 2010)
2.4.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi pada dasarnya adalah kegiatan untuk melakukan evaluasi
terhadap implementasi kebijakan. Monitoring dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang
diimplementasikan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat kinerja suatu
kebijakan, sejauh mana kebijakan tersebut mencapai sasaran dan tujuannya. Monitoring
diperlukan agar kesalahan-kesalahan awal dapat segera diketahui dan dapat dilakukan
tindakan perbaikan, sehingga mengurangi risiko yang lebih besar. Evaluasi berguna
memberikan input bagi kebijakan yang akan datang supaya lebih baik (Subarsono, 2005).
Monitoring atau pemantauan adalah aktivitas yang ditujukan untuk memberikan
informasi tentang sebab dan akibat dari suatu kebijakan yang sedang diimplementasikan
dengan tujuan menjaga agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan
tujuan dan sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi risiko yang
lebih besar, dan melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring
mengharuskan untuk itu (Subarsono, 2005).
Dalam memantau hasil kebijakan dibedakan dua jenis hasil kebijakan, yaitu :
keluaran (outputs), dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan, atau
sumber daya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima. Sebaliknya
dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan
oleh keluaran kebijakan tersebut. Kelompok sasaran merupakan individu, masyarakat atau
organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan program. Sedangkan
penerima adalah kelompok yang menerima manfaat atau nilai dari kebijakan tersebut.
Untuk menghitung secara baik keluaran dan dampak kebijakan, perlu melihat kembali
tindakan kebijakan yang dilakukan sebelumnya. Tindakan kebijakan mempunyai dua tujuan
utama, yaitu regulasi dan alokasi. Tindakan regulatif adalah tindakan yang dirancang untuk
menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu. Sebaliknya tindakan alokatif
adalah tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu, personil dan alat
(Badjuri, 2002).
Tindakan kebijakan dapat pula dipilah lebih lanjut menjadi masukan (input)
kebijakan dan proses kebijakan. Masukan kebijakan adalah sumber daya (waktu, uang,
personil, alat, material) yang dipakai untuk menghasilkan keluaran dan dampak. Proses
kebijakan adalah tindakan organisasional dan politis yang menentukan transformasi dari
masukan kebijakan menjadi keluaran dan dampak kebijakan. Monitoring terhadap suatu
kebijakan baru dapat dilakukan setelah adanya tindakan dari para pelaku kebijakan
terhadap objek atau kelompok sasaran. Sehingga minimal analis dapat melihat adanya
perubahan atau hasil yang signifikan dari tindakan kebijakan tersebut baik berupa data-data
kuantitatif maupun data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan(Badjuri, 2002).
Pelaksanaan monitoring yang bersifat pasca penerapan kebijakan sama dengan
prinsip evaluasi. Bedanya dalam monitoring intinya analis hanya mengumpulkan informasi
seputar pelaksanaan kebijakan, baik berupa data objektif maupun subjektif, berdasarkan
indikator-indikator yang telah dipilih. Sedangkan dalam evaluasi, analis memasukkan
penilaiannya pada informasi yang telah dikumpulkan dalam proses monitoring. Sehingga
hasil evaluasi dapat menilai apakah suatu proses atau keluaran kebijakan berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkan pembuat kebijakan atau tidak, sedangkan dalam monitoring hal
tersebut tidak dapat dilakukan (Badjuri, 2002).
Evaluasi lebih tertuju pada kajian terhadap hasil suatu program. Evaluasi dilakukan
secara periodik merupakan suatu proses yang sistematis dalam mengumpulkan,
menganalisis, dan menafsirkan data untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan
suatu program, serta untuk mengetahui komponen program mana yang berhasil dan mana
yang tidak berhasil. Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan
masalah kinerjaprogram untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja
program(Moerdiyanto, 2015). Menurut Subarsono (2005) evaluasi adalah kegiatan untuk
menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, dimana evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu
kebijakan sudah berjalan cukup waktu.
Monev adalah kegiatan monitoring dan evaluasi yang ditujukan pada suatu program
yang sedang atau sudah berlangsung. Monitoring sendiri merupakan aktivitas yang
dilakukan pimpinan untuk melihat, memantau jalannya organisasi selama kegiatan
berlangsung, dan menilai ketercapaian tujuan, melihat faktor pendukung dan penghambat
pelaksanaan program. Dalam monitoring (pemantauan) dikumpulkan data dan dianalisis,
hasil analisis diinterpretasikan dan dimaknakan sebagai masukan bagi pimpinan untuk
mengadakan perbaikan. Evaluasi adalah proses untuk mengidentifikasi masalah,
mengumpulkan data dan menganalisis data, menyimpulkan hasil yang telah dicapai,
menginterpretasikan hasil menjadi rumusan kebijakan, dan menyajikan informasi
(rekomendasi) untuk pembuatan keputusan berdasarkan pada aspek kebenaran hasil
evaluasi (Moerdiyanto, 2015).
Perbedaan antara monitoring dan evaluasi adalah monitoring dilakukan pada saat
program masih berjalan sedangkan evaluasi dapat dilakukan baik sewaktu program itu
masih berjalan ataupun program itu sudah selesai. Bila dilihat dari pelakunya, monitoring
dilakukan oleh pihak internal sedangkan evaluasi dilakukan oleh pihak internal maupun
eksternal. Evaluasi dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran suatu program beserta
dampaknya, sedangkan monitoring hanya melihat keterlaksanaan program, faktor
pendukung, penghambatnya. Bila dilihat secara keseluruhan, kegiatan monev ditujukan
untuk pembinaan suatu program.
Tujuan dari monitoring kebijkaan adalah :
1. Menghindari terjadinya penyimpangan/ kesalahan/ keterlambatan sehingga dapat
diluruskan.
2. Memastikan proses implementasi sesuai dengan model implementasi yang sesuai.
3. Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju arah kinerja kebijakan yang
dikehendaki (Badjuri, 2002).
Menurut Dunn dalam (Subarsono, 2005) ada beberapa jenis monitoring yaitu :
1.
Kepatuhan (Compliance) adalah jenis monitoring untuk menentukan tingkat kepatuhan
implementor terhadap standar dan prosedur yang telah ditetapkan.
2.
Pemeriksaan (Auditing) adalah jenis monitoring untuk melihat sejauh mana sumber
daya dan pelayanan sampai pada kelompok sasaran.
3.
Akutansi (Accounting) adalah jenis monitoring untuk mengkalkulasikan perubahan
sosial dan ekonomi yang terjadi setelah diimplementasikan suatu kebijakan.
4.
Eksplanasi (Explanation) adalah jenis monitoring untuk menjelaskan adanya perbedaan
antara hasil dan tujuan kebijakan.
2.5.
Landasan Teori
Kepatuhanberasaldari kata patuh.Menurut KBBI (KamusBesarBahasa Indonesia),
patuhberartisukamenuruti
perintah,
taatkepadaperintahatauaturandanberdisiplin.
Kepatuhanberartibersifatpatuh, ketaatan, tunduk, patuhpadaajarandanaturan.
Menurut
Ripley (1985) implementasi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pertama
(complience perspective) memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu
sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam
dokumen kebijakan (dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau program).
Studi implementasi yang menggunakan perspektif ini ingin mengetahui kepatuhan para
bawahan dalam menjalankan perintah yang diberikan para atasan sebagai upaya untuk
melaksanakan satu kebijakan.
Perspektif kedua tidak hanya memahami implementasi dari aspek kepatuhan
para implementer kebijakan dalam mengikuti standart operating procedur (SOP)
tetapi berusaha memahami implementasi secara lebih luas. Maka ukuran keberhasilan
implementasi tidak hanya dilihat dari segi kepatuhan para implementer dalam
mengikuti SOP tetapi juga diukur dari keberhasilan dalam merealisasikan tujuantujuan kebijakan yang wujud nyatanya berupa munculnya dampak kebijakan. Artinya
kepatuhan para implementer dalam mengimplementasikan kebijakan sesuai SOP
bukan satu-satunya alat ukur keberhasilan implementasi. Kepatuhan tersebut
semestinya perlu dipandang sebagai kondisi yang harus dilalui agar tujuan kebijakan
dapat diwujudkan, bukan tujuan akhir dari implementasi itu sendiri (Purwanto dan
Sulistyastuti, 2012).
Dalam penggunaan sehari-hari, kita biasa mendengar istilah‘monitoring’banyak
digunakan dengan makna “mengawasi, memeriksa,atau mengobservasi”. Dalam konteks
penggunaan seperti itu prosesmonitoring, biasanya menjadi bagian dari sebuah aktivitas
yang lebihbesar, yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Aktivitas
monitoringdilakukan sebagai fungsi pengawasan dan observasi untuk memastikanbahwa
aktivitas yang dilakukan benar-benar membawa pada tujuanyang sudah ditetapkan
sebelumnya (Santoso, 2010).
Ketika situasi masalah timbul saat transformasi tindakan kebijakan menjadi
informasi tentang hasil kebijakan melalui monitoring, situasi masalah (sistim dari berbagai
masalah yang saling tergantung) tersebut ditransformasikan melalui perumusan masalah ke
dalam suatu masalah kebijakan.Informasi yang dibutuhkan untuk memantau kebijakan
publik harus relevan, dapat diandalkan dan valid. Dapat diandalkan mengandung arti bahwa
observasi dalam memperoleh informasi harus dilakukan secara cermat. Valid atau sahih
maksudnya informasi tersebut benar-benar memberitahu kita tentang apa yang memang
kita maksudkan. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Pada umumnya informasi
diperoleh dari arsip pada instansi atau badan terkait berupa buku, monograf, artikel, dan
laporan tertulis dari para peneliti. Bila data dan informasi tidak tersedia pada sumber di
atas, monitoring perlu dilakukan dengan kuesioner, wawancara dan observasi lapangan
(Badjuri, 2002).
2.6.
Kerangka Berpikir
Bedasarkan tinjauan kepustakaan, maka dapat disusun kerangka berpikir dalam
penelitian ini sebagai berikut :
→
Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) diinstalasi binatu:
1. Tata
→ laksana
2. Alur kegiatan pencucian linen
3. Melaksanakan tugas sesuai dengan
SOP
4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
5. Monitoring
Hasil pelaksanaan K3 di instalasi
binatu :
1. Tata laksana
2. Kepatuhan petugas binatu
terhadap SOP
3. Kepatuhan petugas binatu pada
penggunaan APD
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Penelitian
Kerangka berpikir di atas merupakan rangkuman sementara dari gambaran tentang
pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di instalasi binatu pada
Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015. Selain melihat pelaksanaan manajemen K3
diinstalasi binatu diantaranya tata laksana, alur kegiatan pencucian linen, melaksanakan
tugas sesuai dengan SOP dan penggunaan alat pelindung diri (APD), serta pelaksanaan
monitoring di instalasi binatu. Dari penjelasan di atas didapatkan hasil pelaksanaan K3 di