Seksualitas Pengungsi Korban Erupsi Gunung Sinabung Di Kabupaten Karo

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Bencana alam 1 adalah kejadian-kejadian yang ditimbulkan oleh bahaya-bahaya alam
yang tak bisa diatasi oleh kemampuan lokal dan mempengaruhi dengan serius pembangunan
sosial dan ekonomi sebuah wilayah. Bencana alam secara tradisional dipandang sebagai situasisituasi yang menimbulkan berbagai tantangan dan masalah, terutama yang bersifat kemanusiaan.
Hanya sedikit perhatian diberikan kepada para pengungsi jangka panjang terkait kebutuhan dan
hak-hak mereka di lokasi pengungsian.
Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampak-dampak
bencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan; diskriminasi dalam
pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; kekerasan berbasis seksual dan gender; hilangnya
dokumentasi; pemulangan atau pemukiman kembali yang tidak aman atau dipaksakan; hal-hal
yang berkaitan dengan ganti rugi properti; sulitnya penyaluran kebutuhan biologis pengungsi.
Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang
terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan diterapkan dengan sengaja, tetapi
merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat atau hasil dari kelalaian semata-mata.
1

Istilah bencana “alam” digunakan untuk mempermudah saja. Namun penting dimengerti bahwa derajat
konsekuensi dari berbagai bahaya alam yang datang tiba-tiba merupakan akibat langsung dari cara-cara berbagai

individu dan masyarakat menghadapi ancaman-ancaman yang berasal dari bahaya-bahaya alam. Jadi derajat
konsekuensi ditentukan oleh tindakan manusia atau malahan oleh ketiadaan tindakan manusia

Universitas Sumatera Utara

Kerentanan para korban seringkali terjadi akibat perencanaan dan kesiagaan menanggapi
bencana yang kurang memadai. Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB,
“ . . . Risiko dan potensi terjadinya bencana yang berkaitan dengan bahaya-bahaya
alam sebagian besar ditentukan oleh tingkat kerentanan yang sudah ada
sebelumnya dan oleh efektivitas langkah-langkah yang diambil untuk mencegah,
mengurangi, dan bersiaga menghadapi bencana . . .” 2

Namun, begitu orang-orang sudah terkena dampak sebuah bencana, mereka seringkali
menghadapi pula tantangan-tantangan yang lebih berat untuk mendapatkan hak-hak mereka
secara utuh. Tantangan-tantangan ini dapat dihadapi jika jaminan-jaminan atas kebutuhankebutuhan dan hak-hak mereka yang relevan diperhitungkan sejak awal oleh para pelaku bantuan
kemanusiaan nasional maupun internasional. Namun, titik pentingnya yang juga harus
diperhitungkan oleh pembuat kebijakan adalah dengan memperhatikan aspek kultural
masyarakat pengungsi ketika akan membuat suatu kebijakan pemenuhan kebutuhan pengungsi.
Indonesia merupakan negara yang rawan mengalami bencana alam. Hal ini disebabkan
karena pergerakan dan tumbukan tiga lempeng dunia yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan

Pasifik yang terletak di negara ini. Selain disebabkan oleh pergerakan dan tumbukan lempeng,
pemicu bencana alam juga disebabkan karena Indonesia dikelilingi oleh serangkaian gunung
berapi yang berjumlah sekitar 240 buah (Tanjung & Kamtini, 2005). Akibatnya, bencana alam
pun datang silih berganti, saling menyusul dari daerah satu ke daerah lain, baik itu bencana
gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

2

Laporan Sekretaris Jenderal untuk Majelis Umum “Tentang kerja sama internasional mengenai bantuan
kemanusiaan di bidang bencana alam, dari bantuan darurat sampai pembangunan” (On International cooperation in
humanitarian assistance in the field of natural disasters, from relief to development), A/60/227

Universitas Sumatera Utara

Di Sumatera Utara, bencana datang melalui peristiwa meletusnya Gunung Sinabung di
dataran tinggi Kabupaten Karo pada tahun 2013 lalu.Meskipun sempat digolongkan kedalam
gunung berstatus tipe B, karena tidak lagi menunjukkan aktivitasnya selama 400 tahun dan tidak
mempunyai karakter meletus secara magmatik. Tetapi nyatanya Gunung Sinabung ini kembali
menunjukkan aktivitasnya dan meletus pada tahun 2010 kemudian kembali meletus pada bulan
September 2013 lalu (Arfa, 2013).

Sejak dinyatakan darurat bencana dengan status gunung pada level tertinggi yaitu
“Awas” oleh Pemerintah Kabupaten Karo, masyarakat yang berada di radius tiga sampai tujuh
kilometer diharuskan untuk mengungsi ke posko-posko pengungsian yang telah disediakan
(Arfa, 2013). Seiring dengan aktivitas gunung yang semakin meningkat dari hari ke hari, jumlah
pengungsi juga terus mengalami peningkatan. Tercatat hingga bulan Januari 2014, sebanyak
28.536 jiwa harus diungsikan yang tersebar di 39 titik pengungsian. (Situs Resmi Pemerintah
Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2015) Peristiwa erupsi Gunung Sinabung ini
tentunya berdampak pada lingkungan fisik dan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung.
Selain masyarakat diharuskan mengungsi, debu vulkanik yang keluar akibat erupsi
menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Debu vulkanik ini juga
menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan berbagai bangunan infrastruktur seperti sekolah,
rumah ibadah, dan kantor desa. Selain debu vulkanik, guguran awan panas yang keluar sangat
membahayakan dan mengancam kelangsungan hidup (Sudibyo, 2014).
Dalam budaya Karo sendiri, yang merupakan suku mayoritas masyarakat yang tinggal di
sekitar Gunung Sinabung, terkandung sebuah nilai yang menggambarkan mengenai
ketergantungan antara manusia dengan alam, karena relasi yang kuat dengan alam ini pula,

Universitas Sumatera Utara

terciptalah pola kehidupan masyarakat yaitu bercocok tanam. Masyarakat sangat bergantung

pada alam, yang mana telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka (Sitepu, 1996).
Begitu juga halnya dengan Gunung Sinabung, menurut cerita lokal yang turun temurun telah ada
di masyarakat, diceritakan bahwa sejak zaman nenek moyang orang Karo yang tinggal di sekitar
Gunung Sinabung, mereka sangat menggantungkan mata pencaharian mereka dari tanah subur
yang berada di sekitar gunung ini.
Akan tetapi, yang terjadi adalah bencana. Gunung Sinabung yang dibanggakan
masyarakat Karo karena kesuburan dan keindahannya ini justru menunjukkan aktivitas dan
erupsi secara terus menerus. Selain berimbas pada terganggunya perekonomian masyarakat
(Sofyan, 2014). Erupsi ini juga mengakibatkan perubahan-perubahan baik sosial maupun
psikologis masyarakat.
Pengungsi Sinabung di daerah hunian sementara atau huntara harus beradaptasi dengan
kondisi tempat hunian sementara yang sempit, kurang sehat, serba terbatas dan keadaan tidak
nyaman lainnya. Penampungan atau hunian sementara menurut Peraturan Kepala BNPB No. 7
tahun 2008, adalah tempat tinggal sementara selama korban bencana mengungsi baik berupa
penampungan massal, maupun keluarga, atau individual. Hunian sementara menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2001), harus memenuhi syarat: berukuran 3 (tiga) meter
persegi per orang, memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan, serta menjamin privasi antar
jenis kelamin berbagai kelompok usia. Namun dalam penyediaan rumah hunian sementara sering
tidak memenuhi syarat minimal tersebut.
Seperti halnya hunian sementara di bekas Kampus Quality Karo di Kecamatan

Kabanjahe, dengan ukuran kamar yang terbatas satu keluarga harus tinggal bersama dua atau tiga

Universitas Sumatera Utara

keluarga lainnya karena tempat yang mereka tempati cukup terbatas. Kondisi ini menyebabkan
penghuni hunian sementara merasa terganggu tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga aspek
psikologis. Pengungsi menjadi tidak betah tinggal di rumah, merasa tidak nyaman dan terganggu
kesehatannya, padahal menurut tokoh masyarakat setempat, tujuan huntara adalah untuk
menampung masyarakat selama 2 tahun. Akibat lain, hunian sementara yang tidak memenuhi
standar kesehatan menurut Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretriat Jendral
Departemen Kesehatan (2001), secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan daya
tahan tubuh dan menimbulkan masalah kesehatan.
Bencana Gunung Sinabung menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang sangat
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seksual dan memerlukan perhatian serius. Faktor
psikologis yang berkontribusi terjadinya perubahan pemenuhan kebutuhan seksual tersebut dapat
meliputi: stres emosional terutama karena berkaitan dengan hubungan dalam keluarga dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari, kurangnya harga diri, kurangnya privasi yang memadai dan
kecemasan. Semua faktor ini dapat berkontribusi pada kurangnya libido atau kesulitan
mengalami orgasme.
Kebutuhan seksual akan semakin lebih sulit terpenuhi secara wajar pada pengungsi di

huntara karena menghadapi kondisi yang serba terbatas baik kesehatan fisik maupun psikologis.
Bencana Sinabung menimbulkan berbagai masalah kesehatan fisik pada pengungsi di huntara
yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seksual. Faktor kesehatan fisik yang dapat
mempengaruhi respon seksual antara lain: kelelahan, efek obat, penggunaan alkohol, diabetes
melitus, atau cedera pada sumsum tulang belakang (Regional Health Education, 1998). Sandfort,
et al., (2001), menemukan bahwa orientasi seksual dikaitkan dengan kesehatan fisik.

Universitas Sumatera Utara

Namun diantara penyebab fisik maupun psikis tadi, ternyata ada faktor lain juga yang
menyebabkan para pengungsi enggan untuk melakukan hubungan seksual di tempat
pengungsian. Seperti yang diketahui ditempat pengungsian bekas Kampus Universitas Quality
Karo pernah dibangun bilik asmara. Bilik asmara ini dibuat untuk tempat para pengungsi
menyalurkan kebutuhan seksualnya dengan pasangannya. Namun, ketika peneliti melakukan
observasi ke lokasi pengungsian tersebut, ternyata bilik asmara tersebut tidak dipakai, dan sudah
beralih fungsi menjadi tempat menyimpan bahan makanan.
Realitas dilapangan menunjukan ada faktor budaya dalam masyarakat Karo yang
membuat mereka enggan untuk memakai bilik asmara tersebut. Tentu hal ini menarik dikaji,
bahwa hasrat biologis bisa diredam oleh aspek kultural manusia. Hal itu pula yang
melatarbelakangi peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan ini. Semoga penelitian ini dapat

memberikan manfaat bagi pengungsi, pemerintah, insan akademi dan masyarakat luas.
1.2.Tinjauan Pustaka
1.2.1. Bencana Alam
Bencana alam digambarkan sebagai suatu kehendak Tuhan “acts of God” (Ursano &
Norwood, 2003), sehingga pada dasarnya ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan
tidak bisa dikontrol (Nickerson, 2008). Hadirnya bencana alam dapat mengancam kelangsungan
hidup individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Bencana alam
juga merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat
menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, bahkan negara (Dalton dkk., 2007),
dan ini tentunya merupakan salah satu peristiwa hidup yang begitu menekan (Lahey, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam

dan manusia. Faktor-faktor yang

menyebabkan bencana alam antara lain natural hazards, dan bahaya karena ulah manusia (manmade hazards), dan menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), faktor yang menyebabkan bencana dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi
(geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi
(biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas

lingkungan (environmental degradation) 3
Langan dan James (2005), menyebutkan penyebab bencana alam meliputi epidemi,
kelaparan, angin topan, tornado, badai, banjir, gempa bumi, hujan angin, gelombang pasang,
letusan gunung berapi, tanah longsor, badai salju, dan kekeringan. Bencana alam buatan
manusia

disebabkan karena:

perang (kimia, biologi, radiologi, dan nuklir oleh teroris),

kecelakaan transportasi, kekerasan kelompok/ kerusuhan, keracunan makanan atau air,
penggundulan hutan, dan runtuhnya bangunan. Dalam hal bencana Gunung Sinabung, penyebab
terjadinya adalah karena aktifitas alami Gunung Sinabung, dan bukan merupakan akibat
manusia.
1.2.2. Antropology Disaster
Kajian kebencanaan dalam perspektif antropologi baru dimulai sekitar tahun 1950-an,
seperti disampaikan William I Torrey :
“. . . Not until the 1950s, however, did cultural anthropologists begin to examine
systematically and in depth the social consequences of natural disasters, to search
for cross-site invariances in disaster related behaviours, and to codify these

findings or to participate in hazard-control planning . . .”

3

www.bnpb.go.id (akses 15 Desember 2015)

Universitas Sumatera Utara

Bagaimanapun, antropolog mulai menguji secara sistematis dan dalam konsekuensi sosial
bencana alam, untuk mencari-cari kaitan antara varian aspek-aspek dalam bencana yang
berberhubungan perilaku-perilaku, dan untuk melakukan kodifikasi untuk menemukan atau
untuk mengambil bagian di perencanaan pengendalian bahaya (Torrey, 1979).
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat di Tanah Karo mayoritas bekerja sebagai
petani buah dan sayur mayur. Hal itu tidak terlepas dari suburnya tanah di daerah tersebut karena
berdekatan dengan dua gunung berapi yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak.
Pembentukan aktifitas ini dijelaskan Julian Steward dalam konsep dan metodologi ekologi
kebudayaannya.
“ . . .Cultural ecology differ from human and social ecology in seeking to explain
the origin of particular cultural features and patterns which characterize different
areas rather than to derive general principles apllicable to any culturalenvironmental situation (Steward, 1988) . . .”


Artinya ekologi budaya berbeda dengan manusia dan ekologi sosial dalam cara untuk
menjelaskan asal-muasal dari fitur dan pola-pola budaya tertentu yang menandai bidang-bidang
yang berbeda dibanding untuk memperoleh prinsip-prinsip umum yang dapat diaplikasikan
kepada setiap situasi lingkungan budaya (Steward, 1988).
Barangkali kontribusi Steward yang paling bermakna adalah ‘metode ekologi
kebudayaan’ yang digagasnya, yakni lingkungan dan kebudayaan bukanlah dua lapangan yang
terpisah melainkan keduanya terlibat dalam hubungan dialektik atau apa yang disebut umpan
balik atau kausalitas resiprositas (Kaplan dan Robert A. Manners, 2005). Dalam proses

Universitas Sumatera Utara

hubungan manusia dan alam, paradigma ekologi kebudayaan melihat alam mempengaruhi
kebudayaan yang ada di masyarakat.
Dari sudut pandang ini, sebenarnya lingkungan dan manusia bisa saling mempengaruhi,
misalnya berkenaan dengan kondisi masyarakat yang berada di sekitar gunung berapi. Kondisi
alam pegunungan umumnya akan menciptakan kebudayaan masyarakat yang agraris. Kesuburan
tanah sangat baik, terutama di kawasan gunung berapi sebab setiap kali terjadi letusan gunung
terjadi pemupukan alamiah. Posisi gunung juga bisa ditangkap sebagai sesuatu yang agung, yang
kemudian melahirkan bermacam ritual untuk menghormati keagungannya dan mencegah

bencana yang mungkin dimunculkannya. Itulah yang kemudian dimanefestasikan dalam bentuk
ritual masyarakat Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur, maupun ritual yang dilakukan Mbah
Maridjan terhadap Gunung Merapi yang akhirnya meletus juga.
Sementara pada sisi lain, perkembangan jumlah manusia, kebutuhan lahan yang
meningkat menyebabkan terbukanya peluang perusakan lingkungan. Ketika banjir semakin
sering terjadi akibat penggundulan hutan, maka masyarakat juga akan beradaptasi dengan
kebudayaan yang baru, yakni mempersiapkan diri mengantisipasi banjir jika hujan turun.
Maka paradigma ekologi kebudayaan menjadi tepat dalam konteks pembahasan yang
berkenaan dengan kebencanaan ini, termasuk juga dalam kasus letusan Gunung Sinabung. Hanya
saja, letusan Gunung Sinabung bukanlah bencana yang diakibatkan manusia, melainkan siklus
gunung berapi itu sendiri sejak pembentukannya terjadi melalui proses di kerak bumi ratusan
tahun yang lalu dan letusan itu yang terjadi sebagai mekanisme pelepasan energi bumi.

Universitas Sumatera Utara

1.2.3. Kebudayaan
Sementara itu, masyarakat Karo sebagai pengungsi Gunung Sinabung juga memiliki
aspek budaya yang harus diperhatikan bagi pihak pembuat keputusan. Tujuannya adalah agar
sebuah kebijakan dapat diterima oleh masyarakat Karo dan tidak keluar dari nilai-nilai budaya
yang ada di masyarakat Karo. Bila suatu kebijakan dibuat tanpa mengindahkan aspek budaya
yang ada dalam masyarakat maka suatu kebijakaan akan mentah pada tahap implementasi di
lapangan.
Menurut Parsudi Suparlan Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.
Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan
sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi
berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang
terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan
yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu
pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota
lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkunganlingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
1.2.4. Adaptasi
Dalam kehidupannya di tempat pengungsian, pengungsi juga harus mampu beradaptasi
dengan lingkungan sosial yang baru. Para pengungsi harus bisa berusaha untuk menyesuaikan

Universitas Sumatera Utara

diri atau sering disebut adaptasi. Ada beberapa pengertian tentang penyesuaian diri (adaptasi),
antara lain:
a) W.A. Gerungan menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri adalah mengubah diri sesuai
dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan
diri)”. Mengubah diri sesuai dengan keadaanlingkungan sifatnya pasif (autoplastis), misalnya
seorang bidan desa harus dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai-nilai yang
dianut masyarakat desa. Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk mengubah lingkungan
sesuai dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif (alloplastis), misalnya seorang bidan desa
ingin mengubah perilaku ibu-ibu di desa untuk menyusui bayi sesuai dengan manajemen laktasi.
b) Menurut Parson fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan
kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan definisi ini Parson yakin bahwa ada empat
fungsi penting yang diperlukan semua sistem yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah:
1) Adaptasi (Adaptation)
Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
2) Pencapaian tujuan (Goal attainment)
Sebuah sistem harus mendefinisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.
3) Integrasi (Integration)
Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang

menjadi

komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G,
L).

Universitas Sumatera Utara

1.2.5. Kebutuhan Seksual
Terkait dengan permasalahan penelitian yang ingin melihat kehidupan seksual pengungsi
Gunung Sinabung, Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang penting untuk dipenuhi
mencakup fisiologis yaitu kebutuhan seks dan psikologis yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai.
Maslow dalam Goble (2010), menyatakan agar kebutuhan ini terpenuhi dibutuhkan suatu
dorongan atau motivasi seksual. Dorongan ini harus dilakukan secara bergantian antara laki-laki
dan perempuan. Laki-laki akan merasa bergairah, kuat dan semangat apabila merasa
perempuanmembutuhkannya, dan sebaliknya perempuan akan merasa bergairah, kuat,
bersemangat dan tertarik pada laki-laki, ketika laki-laki menghormati dan menghargai dirinya
(An-nu’aimi, 2011). Jika suami dan istri bisa saling mengerti dan memahami hal ini, maka
perpaduan kebutuhan seksual laki-laki dan perempuan akan dapat terpenuhi.
Sigmund Freud (1856-1939, dalam Setyawan, 2008), mendefinisikan kebutuhan seksual
sebagai kebutuhan pelampiasan dorongan seksual bagi individu yang sudah matang fungsi
biologisnya. Pemenuhan kebutuhan seksual ini membutuhkan respon seksual yang adaptif
sehingga keluarga dapat menjalani rumah tangga secara bahagia dan sejahtera. Respon seksual
adaptif menurut Stuart (2008), terlihat dari perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
terjadi antara dua orang dewasa, saling memuaskan individu yang terlibat, secara fisik atau
psikologis tidak membahayakan kedua pihak, tidak terdapat paksaan atau kekerasan dan
dilakukan di tempat tersendiri.
Respon seksual adaptif dapat dicapai melalui pemahaman seksualitas dalam perspektif
holistik yang meliputi dimensi sosiokultural, etika, dan psikologis (Potter & Perry, 2005).
Dimensi sosiokultural, memandang peran masyarakat sangat kuat dalam membentuk nilai dan

Universitas Sumatera Utara

sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat ekspresi seksual anggotanya.
Seksualitas sering berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide tentang pelaksanaan
seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan seksualitas merupakan dasar untuk pembuatan
keputusan seksual. Apabila keputusan seksualitas ini melewati batas etik, misalnya aktifitas
seksual dilakukan di tempat terbuka, maka akan dapat mengakibatkan konflik sosial. Pada
dimensi psikologis, sering diyakini bahwa aspek psikologis akan berpengaruh terhadap
seksualitas.
Kepuasan seksual adalah hasil dari terpenuhinya kebutuhan seksual melalui aktivitas
seksual. Menurut Pangkahila (2011), kepuasan seksual pada pasangan suami isteri menjadi
ukuran kebahagiaan, tetapi umumnya suami isteri hanya memandang seks sekadar kebutuhan
lelaki yang harus dipenuhi istri. Banyakakibat yang ditimbulkan dari minimnya pengetahuan dan
kurangnya keterbukaan seputar hubungan seksual ini. Dampak semua ini adalah munculnya
perasaan tidak bahagia dan tidak terpuaskan, terutama perempuan yang biasanya lebih sulit
mengalami orgasme dibandingkan lelaki.

1.3.Rumusan Masalah
Pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
harus dipenuhi. Kebutuhan seksual dibawa sejak lahir, dan memenuhinya dilakukan sampai
seseorang meninggal dunia. Dalam situasi normal setiap pasangan suami isteri akan selalu
berusaha agar kebutuhan seksualnya dapat terpenuhi. Namun tidak semua pasangan suami isteri
yang mengalami situasi pasca bencana mampu memenuhi kebutuhan seksualnya. Pengungsi
yang tinggal di huntara akan mengalami hambatan dalam memperoleh pemuasan kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

seksual karena masalah kesehatan fisik maupun psikologis akibat bencana, sehingga pasangan
suami isteri di huntara akan melakukan cara-cara adaptasi dalam memenuhi kebutuhan
seksualnya. Berbagai fenomena yang terjadi dapat diidentifikasi melalui pertanyaan penelitian:
1. Masalah apa saja yang dihadapi oleh Pasutri di tempat pengungsian ketika ingin
melakukan hubungan seksual dan bagaimana cara Pasutri mengatasi masalah tersebut ?
3. Bagaimana aspek kultural mengatur hubungan seksual Pasutri di tempat pengungsian ?
1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Tujuaan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan masalah yang dihadapi
oleh para Pasutri yang berada di tempat pengungsian dalam melakukan hubungan seksual.
Kemudian menjelaskan cara Pasutri tersebut mengatasi masalah terkait dengan kegiatan
hubungan seksual tersebut. Kemudian mencari tahu aspek budaya yang ada di masyarakat Karo
dapat mengatur pola hubungan seksual Pasutri tersebut.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Secara aplikatif, hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengembangan
tempat pengungsian sementara yang mempertimbangkan kepentingan kebutuhan dasar manusia
dan membantu mencarikan solusi terhadap bagaimana cara bijak mengatasi masalah kegiatan
pemenuhan kebutuhan seksual Pasutri yang mengungsi.
Kemudian manfaat keilmuan yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah dapat
menjadi materi tambahan bagi ilmuan sosial dan kesehatan masyarakat dalam melihat kehidupan
seksual masyarakat yang ada di tempat pengungsian bencana alam.

Universitas Sumatera Utara

Manfaat metodologi dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan dasar dalam
mengembangkan penelitian eksperimen intervensi model perilaku pemenuhan kebutuhan seksual
pada pasangan suami isteri di hunian sementara atau pengungsian akibat bencana.
1.5.Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat
etnografi. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah
belajar melihat, mendengar, berbicara berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda.
Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat
(Spredley, 1997:3). Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder maupun
data primer melalui observasi dan wawancara.
I.5.1. Observasi
Observasi dalam hal ini merupakan suatu teknik penelitian yang dilakukan langsung di
lapangan. Observasi dilakukan di awal penelitian untuk mengamati dan mencermati guna
mendapatkan gambaran lokasi dan informasi awal. Pada saat observasi atau pengamatan ini juga
peneliti mendapatkan informan pangkal yang akan mengarahkan peneliti kepada informaninforman lainnya guna memperoleh data-data yang dibutuhkan.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif, pengamatan dimanfaatkan
sebesar-besarnya seperti dikemukakan oleh Guba dan Lincoln dalam Moleong (1989:137)
sebagai berikut ini:
1.

Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengamatan secara langsung.
Bukankah pengalaman adalah guru terbaik atau setelah melihat baru percaya.

Universitas Sumatera Utara

2.

Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan peneliti melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatan perilaku dan kejadian sebagaimana yangterjadi pada
keadaan sebenarnya.

3.

Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang
berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung
diperoleh dari data.

4.

Keempat, sering terjadi keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang
dijaringnya ada yang “menceng” atau bias.

I.5.2. Wawancara
Wawancara dilakukan guna memperoleh data secara langsung dari informan baik
informan biasa maupun informan kunci. Setiap masyarakat yang berada di lokasi penelitian
memiliki kemungkinan sebagai infoman biasa apabila dari segi waktu memiliki kesempatan
untuk menjawab pertayaan-pertayaan yang diajukan. Informan biasa ini untuk melengkapi data
yang bersifat umum. Wawancara secara mendalam dilakukan kepada informan-informan kunci
yang mengetahui dan memahami pokok permasalahan yang sedang diteliti.
Proses pencarian data di lapangan didukung oleh alat pendukung di lapangan yakni alat
rekam dan kamera foto/video. Alat rekam membantu peneliti ketika melakukan wawancara
sehingga data yang diperoleh ketika melakukan wawancara tersimpan dengan baik dimana
informasi-informasi tidak akan hilang. Peneliti menyadari keterbatasan untuk dapat mengingat
semua informasi yang diperoleh. Alat rekam ini tentu sangat membantu terutama ketika
melengkapi catatan lapangan (fieldnote) sebagai dasar dalam pengolahan data yang dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

Kamera foto/video bermanfaat untuk merekam peristiwa di lapangan guna mendukung data dan
bukti lapangan dan dapat juga memberikan gambaran penelitian ini secara visual.
Melakukan rapport merupakan suatu hal yang mutlak di lapangan. Rapport bertujuan
untuk memperoleh data yang akurat di lapangan. Terjalinnya rapport memudahkan peneliti
dalam menggali data tertutama dengan informan-informan. Sehingga hubungan yang baik
dilakukan terlebih dahulu agar peneliti tidak menemukan kesulitan karena tidak terjalinnya
hubungan secara baik yang membuat informan tidak dengan mudah memberikan informasi.
Rapport yang terjalin membuat informan tidak sungkan dan merasa curiga kepada peneliti yang
dapat menghambat dalam perolehan data. Sebagai seorang peneliti, peneliti adalah orang yang
sedang belajar yang memposisikan diri tidak tahu apa-apa terkait permasalahan penelitian
sehingga informan merupakan guru untuk peneliti bertanya.
I.6. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah proses pencarian data dilapangan dianggap cukup. Proses
pencarian data di lapangan dilakukan dengan sistem bola salju (snowball). Sedangkan pencarian
data dianggap selesai ketika informasi yang diperoleh di lapangan telah berulang-ulang. Untuk
keakuratan data juga dilakukan crosscheek (triangulasi) kepada informan untuk memastikan
kebenaran data-data yang diperoleh.
Analisis data dilakukan terhadap data hasil observasi, wawancara dan dari dokumentasi
dengan mengklasifikasikan/mengkategorikan data yang diperoleh sesusai dengan perumusan
masalah dalam penelitian ini dan menyingkirkan data yang tidak relevan. Sehingga memudahkan
untuk dipahami dengan baik. Data yang terkumpul sudah dianggap menjawab permasalahan
penelitian kemudiandilakukan analisis dan interpretasi data. Terakhir adalah melakukan

Universitas Sumatera Utara

rangkuman dari hasil interpretasi data-data yang telah dikumpulkan. Paparan dari temuantemuan ini disajikan dalam sistematika penulisan skripsi yang sudah standar. Setiap babnya akan
memaparkan data yang sudah diklasifikasi atau dikategorikan sesuai dengan judul setiap bab.
I.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tempat pengungsian bekas kampus Universitas Quality Karo
yang terletak di Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Provinsi Sumatera Utara.
Masyarakat yang beraktifitas di tempat pengungsian tersebut adalah masyarakat yang berasal
dari desa-desa yang hancur terkena dampak Gunung Sinabung. Alasan peneliti memilih lokasi
penelitian di bekas Universitas Quality Karo adalah karena ditempat ini masih banyak
masyarakat yang mengungsi. Bila di tempat pengungsian lain biasanya jumlah pengungsinya
sudah berkurang karena berbagai macam alasan. Tempat pengungsian bekas Universitas Quality
Karo dipilih peneliti juga karena ditempat tersebut masih berdiri bilik asmara untuk pasutri,
walaupun saat ini sudah tidak dipakai lagi.

Universitas Sumatera Utara