Seksualitas Pengungsi Korban Erupsi Gunung Sinabung Di Kabupaten Karo

(1)

Daftar Pustaka

An-Nu’aimi, T.K. (2011). Psikologi suami isteri: Memahami perbedaan tabiat dan karakter seksis lai-laki dan perempuan demi membangun Keharmonisan Hidup Berkeluarga, edisi 11, Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Bangun, Payung. (1998). Dari Medan Area ke Sipirok Area. Jakarta. Yayasan Merga Silima. BPNB. (2015). Info Bencana Juli 2015. Edisi 5. Medan. BNPB.

BPS. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Kabanjahe Tahun 2015. Karo. BPS.

Dalton, J,H., Elias, M.J., & Wandersman, A. (2007). Community psychology: Lingking individual and community. Stanford: Wadsworld.

Davison,T.E. & McCabe, M.P. (2005). Adolescent Body Image and Psychosocial Functioniong. Deakin University : Australia

Delaune dan Ladner. (2011). Fundamental Of Nursing Standard And Practice. Fourth Edition. Cengage Learning. Delmar.

Ehrenreich, J. (2001). Coping With Disasters A Guidebook To Psychosocial Intervention (Revised Edition). Center for Psychology and Society: State University of New York. Gerungan, W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung. PT. Refika Perdana.

Goble, F.G, (2010). Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius.

Guyton A.C. and J.E. Hall.(2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC. Hariana & Ariani. (2007). Koping Dan Seksualitas. Jakarta. Academia.

Heiman & Kariv, (2005). Task-Oriented versus Emotion-Oriented Coping Strategies: The Case of College Students. College Student Journal, 39 (1): 72-89.

Kaplan, David & Albert A. Manners. (2005). The Theory of Culture. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kurniawan, Agung. (2010).Jurnal Kesehatan Vol, IV, NO.2, Jakarta.

Lahey, B.B. (2010). Psychology: An introduction (9th ed.). New York: McGraw- Hill.

Langan,J.C. & James, D.C. (2005). Preparing Nurses For Disaster Management, New Jersey: Pearson Education.


(2)

Lestari, S. (2007). Handout Observasi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Moleong, Lexy J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya CV. Novianti, Ratih. (2009). Adaptasi Seksual Suami Istri. Jakarta. Rajawali.

Nickerson, R.S. (2008). Psychology And Environmental Change. New York: Psychology Press. Pangkahila, W. (2011). Perkembangan Seksual Remaja, Upaya dan Cara Mengatasinya. Jakarta

: PT Renekapta.

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan: Konsep proses dan praktek. Edisi 4. (Penerjemah Yasmin Asih et. al). Jakarta: EGC.

Rice, Phillip L. (1992). Stress And Health (2nd Ed.). California: Brools/Cole Publishing Company.

Sandfort, T.G.M., Bakker F., Schellevis. & F,G. Vanwesenbeeck, I. (2001). Sexual Orientation And Mental And Physical Health Status: Findings From A Dutch Population Survey. Amercan Journal Of Pulic Health. 96 (6) , 1119- 1125.

Setyawan I, (2008), Hubungan Lama Perawatan Pasien Dengan Motivasi Kebutuhan Seksual Laki-Laki Usia 21-55 Tahun Di Rumah Sakit Umum. Islam Kustati Surakarta, Skripsi.

Setiadji, Ahmad. (2006). Seks Dan Kehidupan Manusia. Jakarta. Pustaka Pelajar. Sitepu, S. (1996). Pilar Budaya Karo. Medan: Percetakan Bali.

Sitepu, S. (2006). Biak-Biak Si Lima Marga. Medan. Pustaka Pelajar.

Spradley, P. James. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Smet, Bart & Umam, S (1994). Psikologi Kesehatan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Steward JE. (1988). Sharing The Waters: An Evaluation Of Site Fallowing, Year Class Separation And Distances Between Sites For Fish Health Purposes On Atlantic Salmon Farms. Can. Tech. Rep. Fish. Aquat. Sci. 2218.

Stuart,G.W. (2009). Principles And Practice Of Psychiatric Nursing. 9th ed. Missouri: Mosby, inc.


(3)

Tanjung, H. W. & Kamtini (2005). Mengenal dan Menghindari Bencana Alam. Medan: Ikatan Pembaca Buku Indonesia.

Tarigan, Henry G. (1994). Antusen Bilangen Ibas Kalak Karo. Bandung: FP BS IKIP. Torrey, William I (1979). Reading That Come Naturally. New York. Academic Press.

Ursano, R.J., & Norwood, A.E., (2003). Trauma and Disaster Responses and Management. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Zainudin, H.M. (1961). Tarikh Aceh Dan Nusantara. Medan. Pustaka Iskandar Muda.

Zamroni. (2011). Pendidikan Multikulturalisme Pada Masyarakat Transisi. Jakarta. Rineka Cipta.


(4)

Sumber Lain

Arfa, I. (2013). Status gunung sinabung naik jadi awas. AntaraNews. Diambil pada 1 Januari 2016, dari http://www.antaranews.com/berita/406427/status- gunung-sinabung-naik-jadi-awas

Pangkahila W, (2011), Sek bukan sekedar pemenuhan kebutuhan laki-laki.Januari 18, 2016. http://forum.vivanews.com/seks/24300-seks-bukan-sekadar- pemenuhan kebutuhan-laki-laki.html.

Sofyan, E. (2013). Akses perekonomian karo tersendat. Diambil pada 25 Oktober 2015, dari http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2013/11/19/62912 /akses-perekonomian-karo-tersendat/

Sudibyo, M. (2014). Duh, sinabung!. Kompasiana. Diambil pada 23 Desember 2015,


(5)

BAB III

KEHIDUPAN SEKSUAL PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG

3.1. Kehidupan Pengungsi

Darwis Sitepu (34 tahun) merupakan pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang sudah menjadi pengungsi selama kurang lebih 2 tahun atau tepatnya sejak tahun 2013 yang lalu. Sebelumnya Darwis Sitepu tinggal di Kuta6

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya Darwis Sitepu dan keluarganya mengandalkan makanan dan minuman yang dimasak dan dibagi-bagikan di kamp pengungsian.

Simacem, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Tanah Karo. Saat ini Darwis Sitepu mengungsi di kamp pengungsian yang berada di Universitas Quality yang terletak di Jl. Jamin Ginting No. 41 Kabanjahe, Kabupaten Karo. Darwis Sitepu mengungsi bersama isterinya yang bernama Fitri Sembiring Pelawi (31 tahun) dan keempat orang anaknya.

Darwis Sitepu menceritakan kondisi rumahnya saat ini sudah tidak dapat ditempati lagi karena kondisinya telah luluh lantah terkena lahar dingin dan juga awan panas. Bahkan ketika Darwis Sitepu pergi ke Kuta Simacem untuk melihat bagaimana kondisi rumahnya pasca terkena erupsi Gunung Sinabung dia melihat sudah banyak rumah yang telah hilang terbawa banjir lahar dingin. Bahkan beberapa warga yang ikut dengannya pada saat itu mengaku sudah tidak bisa mengenali lagi mana rumahnya.


(6)

Sementara untuk menambah uang penghasilan di keluarganya Darwis Sitepu bekerja sebagai buruh di ladang-ladang pertanian milik warga yang berada di sekitar tempat pengungsian. Sementara pengungsi lainnya ada yang menyewa ladang milik warga sekitar pengungsian untuk dikelola. Hal tersebut dilakukan para pengungsi karena masih banyak kebutuhan yang mereka butuhkan, seperti membeli pakaian untuk anak dan isteri mereka ketika hari-hari besar seperti Natal dan Tahun Baru ataupun Hari Raya Idul Fitri bagi pengungsi muslimnya. Sementara itu kebutuhan lainnya adalah untuk kegiatan pesta adat seperti pesta erjabu7

7

Dalam masyarakat karo mengenal beberapa macam penyebutan untuk pesta perkawinan. Ada perkawinan yang berdasarkan hubungan saudara seperti Gancih Abu ada pula Cabur Bulung yaitu perkawinan yang melibatkan

(perkawinan), simate-mate (kematian) dan juga Kerja Tahun.

Lebih lanjut Darwis Sitepu menjelaskan :

“. . . kegiaten sehari-hari adi aku, ngemo ku jama kalak. Lit kang ia si newa juma i jenda. Adi arapken bantuen arah pemerintah saja labo bias. Bantuen perkepala keluarga berkisar 5,6 juta ngenca bere pemerintah . . .”

Diartikan ke bahasa Indonesia oleh peneliti yakni :

“. . . Kegiatan sehari-hari kalau aku jadi buruh yang kerja di ladang/sawah orang lain. Ada juga yang menyewa ladang untuk dijadikan tempat bertani. Kalau Cuma mengharapkan bantuan pemerintah saja tidak agak cukup. Bantuan yang diberikan pemerintah untuk perkepala keluarga yaitu berkisar 5,6 juta/tahun . . .”


(7)

Sumber : Peneliti. Tahun 2016

Darwis Sitepu menceritakan kondisi pengungsian yang mereka tempati saat ini sebenarnya sudah mencukupi. Tapi, menurutnya kondisi tempat pengungsian mereka masih kurang memadai bila dibandingkan dengan pengungsi yang ada di gedung serbaguna KNPI di Jl. Pahlawan. Walaupun demikian Darwis Sitepu mengatakan sudah tidak ada lagi yang perlu ditingkatkan di tempat pengungsian, karena mereka merasa sudah sangat bersyukur dengan keadaan yang ada saat ini.

Untuk kehidupan anak-anaknya menurut penjelasan Darwis Sitepu tidak ada kendala. Karena pengungsi yang berada di Universitas Quality semuanya adalah pengungsi yang sama-sama berasal dari Kuta Simacem. Maka secara otomatis anak-anak mereka bisa tetap bergaul dengan teman-teman satu kampung mereka, bahkan menurutnya anak-anak memiliki tambahan teman baru dari anak-anak yang tinggal di sekitar pengungsian. Masyarakat sekitar juga menerima mereka dengan baik.


(8)

Lebih lanjut Darwis Sitepu mengatakan :

“ . . . adi anak-anak jenda meriah nge ukurna. Temanna pe temanna si arah kuta sange nge kerina. Saja ia skolah suari, guruna pe guru si mbarenda kang, teman main-maina pe lit kang ras anak lingkungan daerah pengungsiane . . .”

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh peneliti yakni :

“ . . . kalau anak-anak pengungsi yang disini senang-senang aja. Teman mereka juga merupakan teman yang sekampung juga dengan mereka disini dan juga di sekolah dan ada juga teman main mereka dengan anak yang berada di lingkungan sekitar tempat pengungsian (penduduk setempat) . . .”

Kondisi tempat pengungsian juga menurutnya sudah cukup layak untuk anak-anak, walaupun sanitasi dan kualitas MCK semakin menurun. Adanya lapangan di depan kamp pengungsian sudah cukup untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Sebagian dari anak-anak tadi juga terkadang pergi ke ladang untuk membantu orang tua mereka mengelola ladang.

Sementara itu informan yang kedua yaitu ibu Mega Perangin-angin (40 tahun) juga merupakan pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang sudah menjadi pengungsi selama kurang lebih 2 tahun atau tepatnya sejak tahun 2013 yang lalu. Sama seperti bapak Darwis Sitepu sebelumnya ibu Mega tinggal di Kuta Simacem, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Tanah Karo. Saat ini ibu Mega mengungsi di kamp pengungsian yang berada di Universitas Quality yang terletak di Jl. Jamin Ginting No. 41 Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo bersama dengan suami anak-anak dan mertua perempuannya.


(9)

Sumber : Peneliti. Tahun 2016

Ibu Mega menceritakan kondisi rumahnya saat ini sudah tidak dapat ditempati lagi karena kondisinya telah hancur karena tertimbun material lahar dingin dan juga debu vulkanik. Bahkan ketika ibu Mega pergi ke Kuta Simacem untuk melihat bagaimana kondisi rumahnya pasca terkena erupsi Gunung Sinabung dia melihat sudah banyak rumah yang berada satu desa dengan rumahnya telah hancur atau bahkan hilang terbawa banjir lahar dingin. Bahkan ibu Mega mengaku sempat melihat beberapa ternak warga yang tidak terselamatkan mati berserakan di jalanan desa.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ibu Mega dan keluarganya mengandalkan makanan dan minuman yang dimasak dan dibagi-bagikan di kamp pengungsian. Sementara untuk menambah uang penghasilan di keluarganya, ibu Mega menanam sayuran di lahan pertanian milik warga yang disewanya. Sebelumnya ibu mega memiliki ladang yang sangat luas di desa tempatnya tinggal. Namun, semua ladang miliknya tidak dapat digunakan lagi karena sudah tertutup debu vulkanik. Bekerja menggarap ladang milik orang lain, ataupun menjadi


(10)

buruh di ladang milik orang lain harus dilakukan oleh para pengungsi. Karena menurut ibu Mega hal tersebut dilakukan para pengungsi karena masih banyak kebutuhan yang mereka butuhkan, seperti membeli pakaian untuk anak dan isteri mereka ketika hari-hari besar seperti Natal dan Tahun Baru ataupun Hari Raya Idul Fitri bagi pengungsi muslimnya. Sementara itu kebutuhan lainnya adalah untuk kegiatan pesta adat seperti pesta erjabu (perkawinan), simate-mate (kematian) dan juga Kerja Tahun.

Lebih lanjut ibu Dewi menjelaskan :

“. . .pengungsi ini pun kalau cuma diam aja di pengungsian bisa sakit dia karena stress dan bosan. Sementara keperluan juga makin banyak, akhirnya satu per satu nyari kerja di luar. Ada yang jadi buruh di ladang orang, ada yang punya modal disewanya ladang orang buat dikerjainya. . .”

Ibu Mega menceritakan kondisi pengungsian yang mereka tempati saat ini sebenarnya sudah mencukupi. Tapi, menurutnya kondisi tempat pengungsian mereka masih kurang memadai bila dibandingkan dengan pengungsi yang ada di tempat pengungsian lainnya yang berada di Kabanjahe. Walaupun demikian ibu Mega berterimakasih dan merasa sudah sangat bersyukur dengan keadaan yang ada saat ini.

Untuk kehidupan anak-anaknya menurut penjelasan ibu Mega tidak ada kendala. Karena pengungsi yang berada di Universitas Quality semuanya adalah pengungsi yang sama-sama berasal dari Kuta Simacem. Bisa dikatakan mereka sama sekali tidak merasa asing karena yang ada di pengungsian ini juga merupakan teman bermain mereka di desa dulu. Maka secara otomatis anak-anak mereka bisa tetap bergaul dengan teman-teman satu kampung mereka.


(11)

“ . . . kalau anak-anak ini kan enggak terlalu ngerti orang ini sama yang terjadi. Cuman main aja nya yang tahu orang ini, tapi kalau kami orangtua ya lebih bagus begitu lah. Karena daripada mereka ikut-ikutan nangis, dan sedih bagusan orang ini main-main aja . . .”

Foto 5 : Barak Pengungsian Di Bekas Kampus Universitas Quality Karo

Sumber : Peneliti. Tahun 2016

Sama seperti penuturan bapak Darwis Sitepu, ibu Mega juga mengatakan bahwa kondisi tempat pengungsian juga menurutnya sudah cukup layak untuk anak-anak, walaupun sanitasi dan kualitas MCK semakin menurun. Adanya lapangan di depan kamp pengungsian sudah cukup untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Sebagian dari anak-anak tadi juga terkadang pergi ke ladang untuk membantu orang tua mereka mengelola ladang.


(12)

Terkait dengan kegiatan pemenuhan Kebutuhan Seksual di pengungsian, Darwis Sitepu mengatakan bahwa Pasutri tidak mengalami banyak masalah. Hal ini dikarenakan kegiatan pemenuhan kebutuhan sesksual merupakan urusan masing-masing Pasutri.

3.2.1. Pergi Ke Tempat Penginapan

Pasutri di Pengungsian biasanya melakukan hubungan seksual di tempat-tempat penginapan seperti Bungalow, Losmen ataupun Hotel Melati. Masing-masing pasutri biasanya melakukan hubungan seksual di luar tempat pengungsian karena kondisi tempat pengungsian yang tidak memungkinkan. Tempat pengungsian terlalu ramai dengan pengungsi lainnya, sehingga banyak pasutri yang merasa tidak nyaman ketika ingin melakukan hubungan seksual. Terlebih lagi urusan pemenuhan kebutuhan seksual merupakan urusan sensitif bagi masyarakat Karo.

Darwis Sitepu sendiri juga melakukan hubungan seksual di tempat penginapan. Waktu masing-masing Pasutri melakukan hubungan seksual juga tidak tentu, untuk dirinya sendiri Darwis Sitepu mengaku dirinya paling banyak melakukan hubungan seksual sekali seminggu. Hal ini dikarenakan untuk melakukan hubungan seksual tentu harus mengeluarkan uang juga untuk menyewa tempat penginapan. Sementara kondisi perekonomian para pengungsi dalam kondisi yang kekurangan.

Foto 6 : Salah Satu Penginapan Yang Sering Digunakan Oleh Pengungsi Untuk Melakukan Hubungan Seksual


(13)

Sumber: Peneliti. 2016

Kendala keuangan yang dihadapi oleh pengungsi ini memunculkan pertanyaan dari peneliti, yaitu apakah pada saat menyewa tempat penginapan tersebut Pasutri mendapatkan potongan harga. Namun, ternyata jawaban dari Darwis Sitepu sangat sederhana yaitu :

“ . . .enggak ada dikasih potongan harga. Karena kan kami enggak ngasi tau sama pihak penginapan kalau kami mau berhubungan intim. Walaupun aku pigi sama istriku, ya enggak mungkin aku minta potongan harga karena aku mau berhubungan intim sama isteriku . . .”

Menurut Darwis Sitepu semua Pasutri yang menyewa tempat penginapan juga melakukan hal yang sama dengan dirinya. Menurut Darwis Sitepu hal ini terjadi karena rasa malu yang tinggi dari orang Karo. Sebagaimana yang diketahui, para pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung hampir seluruhnya merupakan orang Karo. Walaupun kondisi perekonomian yang


(14)

dialami oleh Pasutri di pengungsian sedang dalam kesusahan, namun itu tidak membuat mereka merendahkan harga diri mereka dengan meminta potongan harga penyewaan kamar.

Terkadang, karena hampir semua Pasutri selalu pergi ketempat penginapan untuk melakukan hubungan seksual, tidak jarang sesama pengungsi bertemu di tempat penginapan. Pasutri yang bertemu dengan Pasutri lain ditempat penginapan memunculkan rasa malu diantara masing-masing pasutri. walaupun ini tidak diungkapkan oleh para pasutri ketika berjumpa, namun rasa malu itu secara otomatis tertanam pada diri masing-masing Pasutri. Bahkan untuk bertegur sapa saja pun tidak akan dilakukan oleh masing-masing Pasutri ketika berpapasan dengan Pasutri lain di tempat penginapan karena rasa malu yang sangat besar.

Ketika Pasutri tersebut kembali lagi ke tempat pengungsian dan bertemu dengan Pasutri lain yang dijumpainya di tempat penginapan, masing-masing Pasutri tidak akan mau membicarakan pertemuan mereka tersebut. Hal ini terjadi karena adanya kesimpulan dikalangan Pasutri pengungsi, bahwa bila ada Pasutri yang pergi ke tempat penginapan maka hal tersebut sudah pasti untuk melakukan hubungan seksual. Maka sangat pantang bila kedua Pasutri tersebut membahas perjumpaan mereka di tempat penginapan. Karena ditakutkan apabila dibahas oleh Pasutri tersebut, akan ada orang lain yang mendengarnya. Sehingga dapat memunculkan gossip yang tidak enak dikalangan pengungsi.

Senada dengan bapak Darwis Sitepu, ibu Mega juga melakukan hubungan seksual di tempat penginapan. Ibu Mega dan suaminya melakukan atau pergi ke penginapan tidak memiliki waktu yang tetap. Namun, ibu Mega mengaku bahwa dirinya memang terpaksa harus pergi ke penginapan untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya. Karena takut, bila melakukannya di tempat pengungsian akan ketahuan pengungsi lainnya dan sudah pasti akan menyebabkan


(15)

masalah dan menimbulkan malu. Untuk ibu Mega dan Suaminya, dirinya mengaku paling banyak melakukan hubungan seksual dua kali seminggu. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu pertimbangan mereka untuk pergi ke penginapan. Hal ini dikarenakan untuk melakukan hubungan seksual di tempat penginapan harus mengeluarkan uang untuk menyewa kamar di tempat penginapan. Sementara dengan kondisi ekonomi keluarganya yang saat ini sangat terpuruk, ibu Mega dan suaminya akhir-akhir ini juga mulai mengurangi intensitas hubungan seksualnya.

Sama seperti bapak Darwis Sitepu, peneliti juga menanyakan hal yang sama kepada ibu Mega mengenai, apakah pada saat menyewa tempat penginapan tersebut Pasutri mendapatkan potongan harga. Jawaban dari ibu Mega adalah seperti berikut :

“ . . .ya enggak ada lah, mana mungkin kita mau melakukan hubungan suami isteri kita ngomong ke penjaga penginapannya untuk minta diskon karena kita pengungsi. Kalau pun kita pengungsi dek, kita enggak mau ngumbar-ngumbar itu supaya di kasihani. Orang Karo mana mau minta belas kasih kayak gitu, harga diriku sama suamiku mau dikemanakan ? jadi kalau masalah diskon atau minta potongan harga itu enggak ada itu. Mau udah kepengen kali pun dia, tapi enggak ada uangnya tetap dia enggak akan mau ngejual harga dirinya. Itu lah dek orang Karo . . .”

Menurut ibu Mega beberapa Pasutri yang menyewa tempat penginapan juga melakukan hal yang sama dengan dirinya. Hal ini diketahui ibu Mega ketika berbincang-bincang dengan sesama ibu-ibu di pengungsian. Semua hal tersebut didasari satu hal, yaitu karena rasa malu yang tinggi dari para pengungsi yang merupakan orang Karo.

Menurut ibu Mega hampir semua Pasutri selalu pergi ke tempat penginapan untuk melakukan hubungan seksual, namun ibu Mega dan suaminya tidak pernah bertemu dengan


(16)

sesama pengungsi di tempat penginapan. Menurut ibu Mega, bila ada pasutri yang bertemu di tempat penginapan pasti masing-masing merasa sangat malu.

3.2.2. Berhubungan Seks Di Kebun

Ada hal yang menarik didapati peneliti setelah beberapa kali bolak-balik ke tempat pengungsian dan mewawancarai informan baru. Salah satunya adalah data yang mengatakan bahwa beberapa pengungsi lebih suka berhubungan seksual di ladang pada siang hari. Hal ini dikemukakan oleh bapak SP (35 tahun) yang juga merupakan pengungsi di bekas Kampus Quality Karo di Kabanjahe. Awalnya memang bapak SP sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti terkait dengan kehidupan seksualnya selama di pengungsian. Namun, berkat komunikasi yang intens, peneliti berhasil meyakinkan bapak SP bahwa informasi yang diberikannya tidak akan membawa dampak buruk baginya.

Dari penuturan bapak SP dirinya lebih suka melakukan hubungan seksual bersama isterinya di ladang yang disewanya dari penduduk setempat. Menurut bapak SP berhubungan seksual di ladang memiliki sensasi tersendiri, sangat berbeda bila melakukannya di tempat penginapan seperti para pengungsi lainnya.

“ . . . sebenarnya kalau ditanya kenapa melakukannya di ladang ya salah satu faktornya karena lebih menantang dia, jadi beda rasanya kalau kita ngelakukannya di tempat penginapan. Bedanya apa, ya cuman saya lah yang tahu, yang pasti susuh la kalau dijelaskan . . .”

Namun selain alasan sensasi tersebut, salah satu factor lainnya adalah efisiensi waktu dan juga biaya. Menurut bapak SP dirinya dan isteri dapat menghemat biaya sampai Rp.300.000/bulan, bila diasumsikan harga sewa per kamar di penginapan Rp.50.000 dan frekuensi berhubungan seks 6 kali dalam sebulan. Kemudian waktu yang bapak SP miliki pun


(17)

tidak terbuang, karena dirinya melakukan hubungan seksualnya ketika selesai bekerja di ladang. Sementara menurutnya jika harus menyewa tempat penginapan, maka paling tidak dirinya harus menyisihkan waktu sekitar 2 jam berada di penginapan.

Menurut pengakuan bapak SP dirinya menyewa ladang dari salah seorang warga di sekitar lokasi pengungsian. Ladang tersebut berada sekitar 5 Km dari lokasi pengungsian dan harus ditempuh bapak SP dengan menaiki sepeda motor. Ladang bapak SP biasanya ditanami oleh jenis-jenis sayuran seperti kol, sawi, wortel dan tanaman horticultural lainnya. Di area ladang tersebut terdapat satu pondok yang biasanya digunakan oleh para pemilik ladang untuk beristirahat. Bentuk pondoknya hanya 2 X 2 meter, dengan atap seng dan tanpa dinding.

Foto 7 : Sapo Yang Berada Di Puncak Bukit

Sumber : Peneliti. Tahun 2016

Tentu jika melakukan hubungan seksual di pondok tersebut maka akan kelihatan oleh orang lain dari luar, namun bapak SP dan isterinya mensiasatinya dengan menutup pondok tersebut dengan kain selendang yang dibawa dari rumah. Menurut bapak SP, tanda untuk


(18)

mengajak isterinya agar berhubungan seksual di ladang adalah ketika bapak SP menyuruh isterinya untuk membawa selendang panjang ketika akan berangkat ke ladang. Hal ini sudah dimengerti oleh isteri SP dan dengan sendirinya akan mengiyakan permintaan tersebut.

Menurut bapak SP, menyuruh isteri membawa kain panjang ke ladang merupakan bahasa halus yang digunakan untuk mengatakan bahwa dirinya ingin melakukan hubungan seksual. Menurut bapak SP ajakan langsung untuk melakukan hubungan seksual merupakan hal yang tidak sopan, sehingga dibutuhkan gestur-gestur lain untuk menyatakan keinginan untuk berhubungan seksual.

Foto 8 : Suasana Sapo Di Ladang

Sumber : Peneliti. Tahun 2016

Menurut pengakuan bapak SP dirinya melakukan hubungan seksual cukup sering yaitu seminggu tiga kali. Menurut bapak SP alasan dari seringnya beliau melakukan hubungan seks mungkin saja karena factor cuaca yang dingin sehingga membuat nafsu seksnya muncul. Bahkan menurut bapak SP dirinya pernah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kain


(19)

selendang sebagai penutup pondoknya. Hal ini terjadi karena pada awal keberangkatan dari rumah bapak SP sebenarnya tidak punya niatan untuk melakukan hubungan seks pada hari itu. Namun, ketika sudah berada di ladang entah mengapa hasrat seksualnya muncul dan tidak bisa tertahan lagi, maka bapak SP dan isterinya nekat berhubungan seks di pondok tanpa ada penutup kain.

Salah satu hal lainnya juga yang membuat bapak SP memilih berhubungan seksual adalah karena dirinya tidak perlu repot-repot untuk membohongi anak-anaknya. Karena, biasanya orang yang ingin pergi ke penginapan akan berbohong terlebih dahulu kepada anak-anaknya dengan mengatakan akan pergi ke pesta atau semacamnya. Namun, dengan melakukan hubungan seks di ladang maka bapak SP tidak perlu membohongi anak-anaknya, karena bapak SP selalu pergi ke ladang pada pukul 08.00 pagi dimana anak-anaknya sudah pergi ke sekolah. Sehingga bapak SP sudah mengetahui kapan anaknya akan menyusul ke ladang dan akan melakukan hubungan seksual sebelum anak-anaknya pulang sekolah.

Menurut pengakuan bapak SP dirinya biasa melakukan hubungan seksual pada pukul 10.00 hingga pukul 11.00 pagi, di atas jam tersebut bapak SP mengaku sudah tidak mau berhubungan seks karena ada kemungkinan anak-anaknya sudah tiba di ladang. Menurut bapak SP perilaku ngeseks di ladang ini sebenarnya merupakan kebiasaan masayarakat Karo pada zaman dulu. Menurut cerita dari orang tua yang pernah bapak SP dengar pada saat dulu para pasutri selalu mekalukan hubungan seksual di ladang karena berkaitan dengan bentuk rumah yang ditinggalinya yakni rumah adat karu Siwalu Jabu. Peneliti pun memutuskan untuk mencari tahu lebih detil hubungan antara peristiwa romantisme masa lalu ini yang berkaitan dengan rumah adat Karo tersebut.


(20)

3.3. Bilik Asmara Yang Tidak Terpakai

Tampat pengungsian yang berada di bekas Universitas Quality Karo merupakan tempat pengungsian yang sedikit berbeda dengan tempat pengungsian lain di Tanah Karo. Biasanya Tempat Pengungsian di Tanah Karo berbentuk seperti barak dan cukup luas sehingga mampu menampung sekaligus banyak masyarakat. Namun, di tempat pengungsian bekas Universitas Karo bentuknya seperti kamar-kamar, mirip seperti rumah petak yang tersusun-susun. Hal ini terjadi karena tempat tersebut merupakan bekas tempat ruang perkuliahan. Pada salah satu bagian di tempat pengungsian tersebut berdiri sebuah ruangan berdinding kayu dan beratapkan seng. Bangunan tersebut merupakan bekas tempat bilik asmara yang dibangun pemerintah untuk mengakomodir Pasutri yang ingin melakukan hubungan seksual.

Namun, saat ini tempat tersebut berubah fungsi menjadi tempat menyimpan sembako para pengungsi. Sejak dibangunnya tempat tersebut, hampir tidak ada Pasutri yang pernah memakai bilik asmara tersebut untuk melakukan hubungan seksual. Bahkan menurut pengakuan Darwis Sitepu, mendekat saja pun mereka (Pasutri) tidak berani. Hal ini terjadi karena, apabila ada orang dewasa yang mendekati atau bahkan masuk ke bilik asmara tersebut maka para Pengungsi akan menggosipi orang tersebut.

“ . . . Adi kita kalak Karo me tehndu, ban pe ingan mehargke kalak mekasa. Adi kade-kade kap ndu karira. Ndeheri inganna ah pe segan nge kalak. Erago tergantung pribadi masing-masing lah uga ia memenuhi kebutuhan seksualna. Lit ia ku pergirapen ntah sewana kamar inganna tading. Biaya sewa kamarna Rp.150.000 per bulan . . .”


(21)

“ . . .kalau kita orang Karo, dibuat pun tempat untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya tersebut, orang masih malu/segan memakainya. Karena pengungsi yang ada disini memiliki hubungan kekeluargaan. Untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya, sudah tergantung pada pribadi masing-masing. Ada juga mereka yang pergi ke penginapan ataupun dia menyewa kamar tempatnya tinggal. Harga kamar tersebut yaitu 150.000/ bulan . . .”

Sementara itu ibu Mega juga menuturkan bahwa dirinya dan suaminya tidak akan pernah masuk ke bilik asmara tersebut. Walaupun statusnya gratis dan boleh dipakai kapan pun, namun ibu Mega tetap menolak untuk memakai bilik asmara tersebut. Hal ini karena ibu Mega dan suaminya merasa malu jika harus memakai bilik asmara tersebut dan takut jika dilihat orang lain masuk ke bilik asmara tersebut, maka akan di gunjingkan oleh masyarakat pengungsi.

Foto 9. Bilik Asmara Yang Berada Di Tengah Tempat Pengungsian Yang Sudah Tidak Dipakai

Sumber : Peneliti. Tahun 2016


(22)

untuk melakukan hubungan seksual”. Menurut ibu Mega hal tersebut sangat lah pantang dilakukan oleh suami isteri yang sedang dalam keadaan kesusahan seperti saat ini. Masih banyak lagi hal yang harus dipikirkan, jangan hanya ingin melakukan hubungan seksual saja.

“ . . . wajar aja lah dek kalau tetangga lain menggunjingkan orang yang memakai bilik asmara. Karena kan situasinya sekarang lagi dalam bencana, masa’ dia masih sempat-sempatnya mikirin untuk berhubungan seks. Jadi kalau ada yang nekat make bilik asmara itu, udah gila la dia itu, udah putus urat malunya . . .”

Tingginya rasa segan di masyarakat Karo ini membuat bilik asmara sebagai tempat pemenuhan kebutuhan seksual menjadi tidak terpakai. Bahkan pasutri di pengungsian lebih memilih menyewa kamar penginapan dengan uang pribadinya, daripada harus memakai bilik asmara di dekat pengungsian sekalipun gratis. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di pengungsian korban gempa di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Seperti dalam kutipan artikel berikut ini :

Bilik Asmara Untuk Pasutri Korban Gempa

Selain menyisakan luka dan duka, bencana gempa bumi dahsyat yang melanda Yogyakarta beberapa tahun lalu ternyata menyelipkan beberapa cerita lucu. Kondisi tempat pengungsian yang serba terbatas membuat situasi jadi serba kikuk. Terlebih setelah menjalani hidup di tempat pengungsian selama beberapa minggu, banyak pasangan suami istri yang mulai gelisah. Kegelisahan para pasutri ini akhirnya mendapat respon positif. Di sebuah desa di daerah Kasongan Bantul, masyarakat sepakat untuk membuat tempat khusus bagi pasutri agar dapat melakukan hubungan intim. Tempat ini kemudian diberi nama bilik asmara.

Bilik Asmara

Persoalan bilik asmara ini menjadi topik hangat yang dibicarakan dalam rembug warga. Sekalipun membicarakan isu yang panas, namun suasana rapat berlangsung dengan penuh tawa. Rembug warga akhirnya memutuskan untuk menempatkan bilik-bilik asmara di tengah-tengah lapangan voli agar jika ada orang yang mengintip bisa diketahui


(23)

warga lain.Warga pun bergotong-royong membangun 2 buah bilik asmara dengan bahan seadanya, gedeg (anyaman bambu), triplek, dan terpal plastik. Pendek kata, dalam waktu singkat, berdirilah bilik asmara tersebut. Masyarakat menjadi lega, setidaknya satu kebutuhan dasar mereka sebentar lagi bisa terpenuhi.Di dalam bilik asmara, hanya ada kasur yang diletakkan di tanah beralas terpal plastik. Tidak ada fasilitas lain. Namun, itu saja sudah terasa sangat mewah di tengah kondisi yang sangat terbatas. Pasutri yang akan menggunakan tempat ini harus membawa peralatan sendiri, termasuk ember berisi air.Radius lima meter dari bilik, dibuat pagar dari bambu dan tali rafia. Ini dimaksudkan untuk mencegah orang yang tidak berkepentingan mendekati bilik asmara. Pasutri yang sedang memadu kasih di dalamnya pun bisa merasa nyaman, tanpa takut ada yang mengintipnya.Pada mulanya, tidak ada masalah dengan keberadaan bilik asmara ini. Tidak ada seorang pun yang berani mencuri kesempatan untuk mengintip keintiman para pasutri. Sempurnalah kemewahannya, stresdan kesedihan sebagai akibat bencana, bisa sedikit terlupakan.Supporter untuk Pasutri Lambat laun, area sekitar bilik asmara ini menjadi ramai. Banyak anakmuda yang nongkrong di sekitarnya. Mereka duduk bergerombol bercengkerama dengan rekan sebayanya. Awalnya, tidak ada yang peduli dengan keberadaan mereka. Toh, mereka berada cukup jauh dari lokasi bilik asmara itu. Tidak mungkin mereka dapat mengintip aktivitas yang ada di dalam bilik asmara tersebut.Lama-kelamaan, keberadaan mereka agak mengganggu dan membuat pasangan pasutri yang hendak atau sudah menggunakan bilik asmara jadi tersipu malu. Betapa tidak, mereka akan berteriak dan tepuk tanganmeriah saat melihat pasutri yang sedang berjalan memasuki bilik asmara. Bahkan, teriakan dan tepuk tangan itu diselingi suitan kencang ketika ada pasutri keluar dari area bilik asmara.Suasana akan jadi semakin riuh dan gegap-gempita ketika salah seorang dari mereka adalah anak dari pasutri yang sedang in

action

Dari artikel tersebut dapat terlihat bagaimana perbedaan masyarakat di Yogyakarta dalam hal menerima atau tidak bilik asmara yang dibangun di tempat pengungsian. Peneliti dalam hal ini bukan ingin membandingkan secara langsung antara pengungsi di Yogyakarta dengan pengungsi di Karo. Namun, dalam satu kebijakan yang berhubungan dengan kebutuhan pengungsi, tidak semua kebijakan dapat diterima oleh stiap pengungsi di berbagai daerah.


(24)

Masyarakat Karo adalah masyarakat yang memandang tinggi harga dirinya. Untuk urusan pemenuhan kebutuhan seksual, di kalangan masyarakat Karo masih belum bisa menerima sepenuhnya pembangunan bilik asmara. Walaupun pemenuhan kebutuhan seksual merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting, namun masyarakat Karo di tempat pengungsian lebih memilih untuk tidak melakukan hubungan seksual daripada harus dilihat pengungsi lain masuk ke bilik asmara.

3.4. Tetangga Dan Saudara Di Pengungsian

Pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian di bekas Universitas Quality Karo semuanya adalah tetangga di Kuta nya dulu dalam hal ini daerah Kuta Simacem. Tingginya rasa saling menghargai dan saling menjaga harkat dan martabat masing-masing keluarga juga menjadi salah satu fakor mengapa banyak pasutri yang tidak mau menggunakan bilik asmara.

Ada faktor lain yang peneliti dapati di lapangan penelitian, bahwa salah satu faktor lain dari alasan mengapa pasutri di tempat pengungsian tidak mau menggunakan bilikasmara adalah, karena di tempat pengungsian dimana mereka tinggal juga ditinggali oleh saudara-saudara mereka dan tetangga mereka di Kuta dulu. Orang Karo sangat menghormati saudaranya baik itu pihak kalimbubu, sembuyak/senina, dan anakberu yang merupakan pihak-pihak yang terikat dalam konsep daliken si telu pada masyarakat Karo. Hal ini lah yang membuat Pasutri di pengungsian Universitas Quality Karo tidak mau menggunakan bilik asmara yang disediakan pemerintah.

Bapak Darwis Sitepu menuturkan, bahwa jika di tempat pengungsian tersebut tidak tinggal saudara-saudaranya mungkin dirinya masih mau untuk memakai bilik asmara tersebut. Namun, ternyata saudara-saudara nya juga ditempatkan di tempat pengungsian yang sama


(25)

dengan dirinya. Hal itu tentu membuat dirinya menjadi enggan untuk memakai bilik asmara tersebut.

“ . . . di tempat kami mengungsi ini kan juga tinggal saudara-saudara kami yang dulunya satu kampung juga sama kami. Jadi kalau lah aku pigi ke bilik asmara itu terus dilihat sama saudara-saudara ku, hilang lah uda harga diriku di mata saudaraku . . .”

Hal yang sama juga diucapakan oleh ibu Mega, dimana menurutnya kalau saja keluarganya tidak tinggal di tempat pengungsian yang sama dengan dirinya, mungkin ibu Mega dan suaminya tidak perlu repot-repot untuk menyewa penginapan. Factor tetangga juga menjadi satu hal yang dipertimbangkan oleh ibu Mega, karena tetangganya di Kuta dulu juga ikut tinggal di tempat pengungsian yang sama dengan dirinya. Sementara tetangga ibu Mega juga sudah menjadi seperti keluarga bagi dirinya, dan sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai.

“ . . . walaupun kami enggak terlalu memikirkan masalah seksual ini, tapi kalau kami enggak tinggal di tempat pengungsian sama saudara kami, mungkin aja kami mau make bilik asmara itu. Tapi ini kan semua keluargaku ada di sini, jadi enggak mungkin aku berani pigi ke bilik asmara itu . . .”

Beberapa hal yang dikemukakan oleh bapak Darwis dan ibu Mega seharusnya bisa menjadi bahan kajian para pembuat kebijakan. Karena, ternyata apabila pengungsi tidak tinggal dengan para saudara mereka, maka ada kemungkinan mereka akan mau menggunakan bilik asmara tersebut. Namun, bila hal tersebut pun dilakukan apakah tidak timbul masalah baru nantinya ? karena tertentu para pengungsi akan lebih nyaman apabila tinggal bersama dengan keluarga dan sanak saudaranya.


(26)

Rumah Adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen-ornamennya yang kaya akan nilai-nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna Rumah Adat Karo menggambarkan hubungan yang erat antara masyrakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya. Pemilihan bahan untuk membangun Rumah Adat Karo serta proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku besi atau pengikat kawat, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan Rumah Adat Karo.

Keberadaan Rumah Adat Karo juga tak terlepas dari pembentukan Kuta (kampung) di Tanah Karo yang berawal dari Barung, kemudian menjadi Talun, dan menjadi Kuta dan di dalam Kuta yang besar terdapat Kesain. Pada sebuah Barung biasanya hanya terdapat sebuah rumah sederhana, ketika sebuah Barung berkembang dan sudah terdapat 3 rumah di dalamnya disebut dengan Talun dan bila telah terdapat lebih dari 5 Rumah Adat maka sudah bisa disebut sebagai Kuta. Ketika Kuta sudah berkembang lebih pesat dan lebih besar maka Kuta dibagi atas beberapa Kesain (halaman/pekarangan), disesuaikan dengan merga-merga yang pertama manteki (mendirikan) Kuta tersebut.

Pembangunan Rumah Adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah Adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta (kampung), karena dalam pembangunan sebuah Rumah Adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukan secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan.

Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu (sukut, kalimbubu dan anak beru) yang dibantu oleh Anak Kuta (masyarakat kampung setempat). Hal ini tidak


(27)

terlepas dari sistem pemerintahan sebuah Kuta menggambarkan struktur sosial dan tatanan organisasi yang tinggi pada masyarakat Karo, yang terdiri dari pihak Simantek Kuta (pendiri kampung), Ginemgem (masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Simantek Kuta) dan Rayat Derip (penduduk biasa).

Pembangunan sebuah Rumah Adat pada jaman dahulu harus mengikuti ketentuan adat dan tradisi masyarakat Karo yang telah ada secara turun-temurun. Sebelum membangun Rumah Adat diawali dengan ‘Runggu’ (musyawarah) dalam menentukan hari baik untuk memulai pembangunan, pada hari pembangunan diadakan sebuah upacara untuk meletakkan pondasi rumah dan meminta petunjuk dan perlindungan dari para leluhur orang Karo agar pelaksanaan pembangunan berjalan dengan baik.

Demikian juga ketika Rumah Adat telah selesai dibangun, maka diadakan lagi upacara Mengket Rumah Mbaru (memasuki rumah baru). Upacara ini juga diawali dengan Runggu, untuk menentukan hari baik untuk mengketi (mendiami) rumah baru tersebut. Pada hari yang ditentukan diadakan upacara pengucapan syukur kepada leluhur, dan memohon agar rumah yang telah selesai dibangun dapat bertahan lama dan para penghuninya hidup harmonis serta menjadi berkat dan dijauhkan dari bencana.

Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah siwaluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu (dua belas keluarga) yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan rumah adat yang terbesar adalah Rumah adat Sepuluenem Jabu(enam belas keluarga) yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi.


(28)

Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebutDesa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Karo (Rumah Siwaluh Jabu) :

1. Jabu Bena Kayu

Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.

2. Jabu Ujung Kayu

Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu Ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.


(29)

Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-SungkunBerita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh.Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu.

4. Jabu Lepar Ujung Kayu

Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.

5. Jabu Sedapuren Bena Kayu

Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.


(30)

Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.

7. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu

Merupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.

8. Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu

Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebutJabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan


(31)

upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu.

Demikian nama, posisi dan peran masing-masing kedelapan Jabu dalam Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu. Walau peran dan tugas masing-masing Jabu berbeda-beda dan telah dibagi menurut kedudukannya tetapi keseluruhan Jabu dalam Rumah Adat merupakan suatu kesatuan yang utuh dan saling terikat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Karo adalah masyarakat sosial yang memiliki ikatan yang sangat erat satu dengan yang lainnya dan memiliki sifat kekeluargaan saling membantu dan saling melengkapi (gotong-royong) yang tercermin dari Rumah Adat Siwaluh Jabu.

Selain banyaknya makna simbolis yang terdapat di rumah Siwalu Jabu tersebut, ternyata terdapat pula kisah menarik lainnya mengenai para penghuni Siwalu Jabu. Abdiman Ginting (50 tahun) merupakan salah seorang yang dulu keluarganya pernah menempati rumah Siwalu Jabu. Bapak Abdiman mengatakan bahwa dahulu masyarakat Karo yang menempati rumah Siwalu Jabu harus melakukan hubungan seksual di luar rumah. Hal ini terjadi karena kondisi yang tidak memungkinkan karena rumah Siwalu Jabu memiliki bentuk dalam yang tidak bersekat. Sehingga apabila ada Jabu (keluarga) yang melakukan hubungan seksual sudah pasti akan diusir karena sudah melakukan hal yang sangat memalukan, walaupun setatusnya suami isteri.

Abdiman menjelaskan tidak mungkin ada anggota keluarga pada masa itu yang melakukan hubungan seksual di dalam rumah. Maka para Jabu tersebut melakukan hubungan seksualnya di luar rumah dalam hal ini di ladang. Menyikapi maraknya fenomena pasutri yang


(32)

saat ini melakukan hubungan seksual di ladang, menurut bapak Abdiman hal itu biasa-biasa saja. Sebab menurutnya catatan sejarah juga pernah menunjukan hal yang serupa, namun bedanya pada saat ini Pasutri melakukan hubungan seksual karena setatusnya sedang berada di pengungsian. Menurut bapak Abdiman ngeseks di ladang juga bukan hanya dilakukan oleh keluarga yang tinggal di Siwalu jabu ataupun pengungsi, tetapi juga dilakukan oleh pengantin baru yang belum Njayo (masih tinggal bersama orang tua). Biasanya beberapa pengantin baru yang masih harus tinggal seatap dengan orang tuanya juga akan melakukan hubungan seksual di ladang, karena takut bila melakukannya di rumah akan membuat rasa malu.

3.6. Pegangan Hidup Yang Disebut Cikapen Silima

Masyarakat Karo memiliki pegangan hidup yang disebut “Cikapen SiLima” (Lima Pegangan Hidup). Tentu saja terdapat berbagai variasi dari kampung ke kampung mengenai “Cikapen SiLima” ini di Tanah Karo. Namun, tujuannya tetap sama yaitu memberi pegangan hidup kepada sang anak atau anggota masyarakat. Salah satu variasi tersebut adalah Tek man Dibata (percaya pada Tuhan), Keteken (percaya pada diri sendiri), Kehamaten (sopan santun), Megenggeng (sabar), dan metenget (cermat/hati-hati). Variasi yang lainnya adalahbujur, nggitnampati, merawa ibas sibujur, megenggeng ibas nggeluh, ola relem-elem yang artinya jujur, mau menolong, berani dalam benar, sabar/tabah, jangan mendendam (Bangun, 1994:hal 139).

Masyarakat Karo percaya bahwa kelima marga/klan tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan marganya. Sitepu (2006) dalam “Biak-Biak Si Lima Marga” mendeskripsikan perbedaan karakter kelima marga tersebut adalah, pertama, Karo-Karo (cerdik Karo-Karo); dikatakan demikian karena Karo-Karo pada umumnya adalah orang yang pintar dan


(33)

sarjana pertama, tidak heran jika orang-orang berpendidikan tinggi awalnya berasal dari marga ini.

Kedua, Ginting (Jembua Ginting); Jamin Ginting merupakan salah satu tokoh yang menggambarkan marga ini. Ginting yang terkenal dengan keberaniannya dan jiwa pemimpinnya. Ketiga, Sembiring(Mejeret Sembiring); orang dengan marga Sembiring biasanya agak diplomat, tidak banyak bicara namun memiliki banyak ide yang berguna bagi orang lain. Keempat, Tarigan (Perbual Tarigan); Tarigan terkenal dengan kemampuannya dalam mengolah kata-kata, pandai berbicara dan ahli didalam bidang perekonomian. Kelima, angin (Kecek Perangin-angin); marga Perangin-angin terkenal dengan kemampuannya untuk menghibur hati dengan perkataannya.

Demikian juga seperti yang sering dibicarakan dan dipercaya oleh masyarakat Karo yaitu sifat dan tabiat orang Karo disimbolkan dengan kelima jari tangan. Karo-Karo disimbolkan dengan ibu jari dengan sifatnya yang “top”, Ginting disimbolkan dengan jari telunjuk dengan sifatnya sebagai pemimpin, Tarigan yang disimbolkan dengan jari tengah dengan sifatnya yang bijaksana sebagai penengah, Sembiring yang disimbolkan dengan jari manis dengan sifatnya yang “jegir” ( orang yang sangat mementingkan penampilan) tetapi baik sebagai bendahara, dan Perangin-angin yang digambarkan dengan jari kelingking dengan sifatnya yang “metenget” (senang menilik, memperhatikan dengan saksama)(Tarigan, 1994: 124).

Kaitan aspek kulturla Cikapen SiLima ini terhadap kehidupan seksual pengungsi erupsi Gunung Sinabung adalah pada Kehamaten (sopan santun). Sopan santu merupakan hal yang sangat diutamakan oleh masyarakat Karo, pada masyrakat Karo terdapat kepercayaan bahwa lebih baik tidak memiliki harta daripada tidak memiliki Kehamaten (sopan santun). Masyarakat


(34)

yang menggunakan bilik asmara dan ketahuan oleh saudaranya ataupun tatangganya di tempat pengungsian akan dianggap tidak memiliki sopan santun, dan lebih buruk daripada segala yang buruk.

Maka dalam hal ini masyarakat Karo tidak akan berani dekat-dekat dengan lokasi bilik asmara tersebut. Kemudian aspek berikutnya dalam Cikapen SiLima yang mempengaruhi hubungan seksual pengungsi adalah Megenggeng (sabar). Walaupun kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang alamiah dan sulit untuk ditahan, namun orang karo harus dituntut bersabar dan menjauhi segala hal yang membuat dirinya celaka atau merugi. Sifat Megenggeng ini bukan hanya sifat sabar ketika menghadapi bencana seperti menjadi korban erupsi Gunung Sinabung. Tetapi, juga bersabar ketika diterpa segala musibah dan harus berusaha untuk keluar dari masalah tersebut.

3.7. Daliken Sitelu

Dalam mencari nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan manusia yang bersumber dari adat istiadat masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia banyak mempunyai pilihan. Banyaknya pilihan ini dikarenakan bangsa Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, dan tiap suku bangsa memiliki adatnya masing-masing. Di dalam adat ini banyak terkandung variabel-variabel pendukung adat yang juga masing-masing mempunyai nilai. Nilai-nilai ini mendukung kelanggengan adat istiadat.

Salah satu variabel pendukung dan penggerak adat istiadat dalam masyarakat Karo adalah daliken si telu. Nilai-nilai yang dominan yang terdapat di dalam daliken si telu ini adalah nilai gotong royong dan kekerabatan. Secara etimologis daliken si telu berarti "tungku yang tiga". daliken = batu tungku, si = yang, telu = tiga. Realita ini menunjuk kepada fungsi batu


(35)

tungku sebagai tempat untuk menyalakan api (memasak). Namun ada pula yang mengartikannya rakut si telu (ikatan yang tiga).

Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Konsep ini tidak hanya dimiliki oleh suku Karo saja, tetapi juga dimiliki oleh suku Batak dengan nama yang berbeda. Dalam Batak Toba dan Mandailing dikenal istilah dalihan na tolu, dalam masyarakat NTT dikenal lika telo (Wirateja, 1985).Unsur daliken si telu atau rakut si telu atau sangkep nggeluh adalah kalimbubu (Karo) hula-hula (Toba) mora (Mandailing dan Angkola) todong(Simalungun), sembuyak/senina (Karo) dongan sabutuha (Toba) kahanggi (Mandailing\dan Angkola) Sanina (Simalungun), dan anakberu (Karo) boru (Toba, Mandailing dan Angkola) anak boru (Simalungun).Daliken si telu ini merupakan alat pemersatu masyarakat Karo, sekaligus dapat mengikat atau terikat kepada hubungan perkerabatan yang sekaligus pula sebagai dasar gotong royong, dan saling hormat menghormati, maka di dalam segenap aspek kehidupan masyarakat Karo, daliken si telu ini sangat berperan penting, dia merupakan dasar bagi sistem kekerabatan dan menjadi landasan untuk semua kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat dan juga interaksi dengan sesama masyarakat Karo.

Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si telu semua masyarakat Karo saling berkerabat, kalau tidak berkerabat karena hubungan darah, berkerabat karena hubungan klen. Jadi daliken si telu adalah landasan sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi semua kegiatan, khususnya kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat Karo. Daliken si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anakberu).Atau dengan bahasa lain, daliken si telu adalah suatu jaringan kerja sosial-budaya yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Karo.


(36)

Aspek sistem kekerabatan dalam daliken si telu dapat dilihat berdasarkan unsur pendukung daliken si telu itu yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sistem kekerabatan, sifatnya terbuka. Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina sembuyak, bergantung kepada situasi dan kondisi.

Sistem kekerabatan seperti bersifat sangat demokratis. Berdasarkan fungsinya, kalimbubu dalam struktur daliken si telu adalah sebagai pemegang keadilan dan kehormatan, ini diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang, atau sebagai dewan pertimbangan agung, yang siap memberikan saran kalau diminta. Saran yang diberikannya, walaupun dia dekat dengan salah seorang dari yang meminta saran, sarannya tetap bersifat obyektif konstruktif. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan).

Senina atau sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif,kekuasaan pemerintahan. Mereka bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar, dan bila perlu mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang sesubklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sedangkan anakberu diumpamakan sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, anakberu menjadi juru pendamaibagi perselisihan yang ada.

Dengan gambaran dari daliken sitelu ini maka kita dapat pahami mengapa para pasutri di tempat pengungsian di Universitas Quality Karo sangat menjaga jarak dengan bilik asmara. Seperti bapak Darwis Sitepu yang merupakan anak pertama laki-laki di keluarganya, adik-adiknya yang juga telah menikah juga tinggal di tempat pengungsian yang sama dengannya.


(37)

Tingginya harkat martabat anak laki-laki pertama di masyarakat Karo membuat bapak Darwis Sitepu harus menjaga harkat dan martabat keluarganya dalam hal ini yang tergabung dalam daliken sitelu.

Tidak dapat bisa dibayangkan apabila bapak Darwis Sitepu yang merupakan anak pertama dan anak laki-laki yang memimpin keluarga besarnya masuk ke dalam bilik asmara. Tentu adik-adiknya yang masuk dalam kelompok senina akan merasa malu, karena perbuatan Darwis tersebut sangat lah memalukan. Pihak adik-adik dari Darwis Sitepu juga harus melakukan yang sama, seorang adik juga harus menjaga kehormatan keluarganya.

Hal ini juga lah yang terjadi pada ibu Megaa dimana dirinya merupakan anak terkecil dari tiga bersaudara. Ibu Mega merupakan anak ketiga, dirinya memiliki abang dan juga kakak yang juga sudah menikah. Rasa tanggungjawab untuk menjaga harkat dan martabat keluarga ditanamkan dalam-dalam oleh ibu Mega. Dirinya tidak mau masuk ke bilik asmara karena takut akan membuat malu pihak keluarganya dalam hal ini Kalimbubu, Senina dan anakberu. Ibu Mega memiliki kewajiban yang sama dengan abang dan kakaknya untuk menjaga harga diri keluarga dengan menjauhi bilik asmara tersebut.

BAB IV

ADAPTASI KEHIDUPAN SEKSUAL PENGUNGSI SINABUNG

4.1. Dampak Stres Terhadap Hasrat Seksual Pasutri Di Pengungsian

Gangguan hasrat/keinginan seksual (SDD) pada pria dapat diakibatkan oleh yang berhubungan dengan libido. Gangguan hasrat seksual ini dapat disebabkan karena faktor usia.


(38)

Gangguan ini bisa jadi merupakan bagian dari gangguan psikologis, seperti depresi, gangguan ketakutan, dan efek samping narkoba. Memahami problem gangguan hasrat seksual pria dari sisi ini sangatlah kompleks karena melibatkan aspek biologis, psikologis, dan antarpersonal (Setiadji, 2006).

Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal maupun eksternal. Sedangkan stresor adalah kejadian, situasi, seseorang atau suatu objek yang dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stres dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya (Suyono, 2002).

Smet dalam Umam (2010) menyimpulkan bahwa stres dapat bersumber dari:

1) Penilaian kognitif (cognitive appraisal) Stres adalah pengalaman subyektif yang didasarkan atas persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan.

2) Pengalaman (experience) Suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban dengan situasi, keterbukaan semula (previous exposure), proses belajar, kemampuan nyata dan konsep reinforcement.

3) Tuntutan (demand) Tekanan, keinginan, atau rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat diterima.

4) Pengaruh interpersonal (interpersonal influence) Ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan perilaku coping. Hal ini dapat menimbulkan akibat positif dan negatif. Kehadiran orang lain dapat menimbulkan sumber kekacauan dan kegalauan yang tidak diinginkan, tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang dapat memberikan dukungan, meningkatkan harga diri, memberikan konfirmasi nilai-nilai


(39)

dan identitas personal. Melalui pengalaman belajar dapat dicapai peningkatan kesadaran dan pemahaman akibat stres yang potensial.

5) Keadaan stres (a state of stress) Ini merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk menemukan tuntutan tersebut. Proses yang mengikuti keadaan stres ini merupakan proses coping serta konsekuensi dari penerapan strategi coping. Coping sendiri diartikan sebagai usaha meningkatkan sumber daya pribadi dalam mengendalikan dan mengurangi situasi yang menekan. (Heiman et al., 2005).

Bencana alam yang masih terjadi sampai tahun 2016 ini di Indonesia adalah letusan Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo, di Provinsi Sumatera Utara (Muhammad, 2011). Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan pengungsi adalah kebijakan pemerintah dalam pembuatan “bilik asmara” bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri (Kurniawan, 2010).

Seringkali bencana datang secara mendadak danberkepanjangan sehingga hal tersebut menimbulkan situasi stres berat yang datang bersamaan, antara lain ketidakberdayaan individu, hancurnya struktur kehidupan sehari-hari, kerusakan materi, dan kehilangan sanak keluarga. Tidak jarang orang-orang ini harus mengungsi dan beradaptasi dengan tempat yang baru. Keadaan ini menimbulkan stres pada para pengungsi yang harus mengalami berbagai macam masalah (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Masyarakat yang menjadi korban letusan Gunung Sinabung akan menghadapi stressor sosioekonomi yang besar, seperti kehilangan tempat tinggal, keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Kondisi tersebut yang berlangsung lama dapat menimbulkan stres kronis di kalangan korban bencana alam. Secara fisiologis, hampir semua jenis stres ditandai dengan adanya


(40)

peningkatan hormon kortisol di dalam darah. Stres kronis akan memberikan dampak pada kesehatan dikarenakan adanyapeningkatan kadar kortisol sebagai hormon stres tubuh yang utama dalam waktu lama (Guyton dan Hall, 2007).

Darwis Sitepu yang merupakan pengungsi di tempat pengungsian bekas kampus Universitas Quality Karo menuturkan keadaan yang dialaminya. Walaupun dirinya telah beradaptasi dengan keadaan yang ada di tempat pengungsian. Namun, stress yang dialaminya dan isterinya ternyata sangat mempengaruhi aktifitas hubungan seksualnya. Terkadang keinginan untuk melakukan hubungan seksual bisa menghilang seiring dengan keadaan yang dialami oleh keluarganya di pengusngsian. Walaupun sebenarnya dirinya bisa saja menyewa penginapan, namun ketika dirinya memikirkan nasib anak-anaknya yang tinggal di pengungsian, maka hasrat tersebut pun hilang.

“ . . . keadaan saya dan isteri waktu pertama kali di pengungsian itu parah kali. Karena waktu itu saya dan isteri sampai stress mikirin ini semua, rumah hilang, ladang hilang. Jadi dengan keadaan begitu hasrat untuk melakukan hubungan seksual itu pun otomatisnya menghilang . . .”

Keadaan yang dialami oleh bapak Darwis tersebut merupakan satu diantara sekian banyak kasus yang membuat para pengungsi enggan untuk berhubungan seksual dengan pasangannya, terlebih lagi bila harus pergi ke bilik asmara. Hal ini harus diantisipasi lebih lanjut oleh berbagai pihak untuk memberikan pelayanan psikis pasca terjadinya bencana pada para pengungsi.


(41)

Individu akan berusaha menyesuaikan diri dengan stres untuk mencapai keseimbangan dalam semua dimensi kehidupan secara holistik atau menyeluruh. Individu yang adaptif akan mampu mengatasi stres yaitu mempertahankan tingkat kesejahteraan yang tinggi dibandingkan dengan yang respon inefektif (DeLaune & Ladner, 2011). Individu yang mempunyai kemampuan adaptasi secara kejiwaan akan cepat mengatasinya dan tidak akan mengalami penyakit fisik maupun gangguan mental. Sedangkan seseorang yang tidak mampu melawan stress yang berkepanjangan dapat mengalami kelelahan, hipertensi, gangguan emosianal dan penyakit lainnya.

Hasil penelitian pola adaptasi konsep diri menunjukkan sebagian besar secara adaptif. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Galea, Nandi dan Vlahov (2004) menyebutkan akibat psikologis dapat menyebabkan terjadinya trauma korban langsung dari bencana pada populasi umum 5-10%. Hopper, Bassuk dan Olivet (2010) menyebutkan reaksi trauma bukan satu-satunya masalah kejiwaan yang dihadapi, banyak juga yang menderita depresi, dan penyakit mental parah.

Meskipun efek psikologis bencana bervariasi dari situasi ke situasi tetapi menunjukkan bahwa tanggapan emosi terhadap bencana secara umum di dunia adalah mirip atau hampir sama. Korban dapat menunjukkan setidaknya beberapa gangguan psikologis trauma dan depresi pada jam-jam segera atau awal setelah bencana. Sebagian besar, gejala secara bertahap mereda selama berikut minggu sampai dengan dua belas minggu setelah bencana, namun, 20-50 % atau bahkan lebih mungkin masih menunjukkan tanda-tanda bermakna. Secara umum menunjukkan gejala umumnya terus menurun (Ehrenreich, 2001).


(42)

Namun, dalam penelitian ini gangguan stress tersebut hanyalah satu faktor diantara banyak factor-faktor lainnya yang mengakibatkan berkurangnya intensitas para pengungsia dalam melakukan hubungan seksual. Darwis Sitepu mengatakan bahwa dirinya tidak mengalami stress yang terlalu sehingga menyebabkan gangguan kesehatan dan seksual. Namun, dirinya tidak memungkiri keinginannya untuk melakukan hubungan seksual berkurang dengan keadaan yang dialaminya saat ini.

“ . . . sedikit banyaknya berpengaruh, karena keadaan pun sekarang udah serba kekurangan. Nasib kita di sini juga enggak jelas karena banyak juga yang bilang kita mau dipindahkan ke daerah Siosar, tapi belum jelas juga. Tambah stress lah kalau kami ini di pengungsian . . .”

Stres menghadapi bencana dipengaruhi oleh persepsi, keyakinan atau nilai, budaya, pengalaman dan tingkat dukungan sosial terhadap individu. Faktor- faktor ini apabila mampu menunjang kearah perilaku yang positif akan mampu berpengaruh adaptasi secara adaptif. Santanu (2010), menjelaskan bahwa umumnya manusia 82% dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar yang meliputi memory atau ingatan, self image atau citra diri, personality atau kepribadian, dan habits atau kebiasaan. Individu yang mampu menggabungkan pikiran bawah sadarnya secara positif akan mempunyai kekuatan dalam menghadapi stres pasca bencana.

Ibu Mega mengaku sempat mengalami stress yang cukup parah ketika awal terjadinya musibah erupsi Gunung Sinabung. Ibu Mega sempat dirawat dan harus berkonsultasi ke Psikolog karena stress yang dialaminya. Keluarga ibu Mega dalam hal ini suaminya juga sempat sedih melihatnya. Pada awal ibu Mega mengalami stress tersebut dirinya dan suami sudah sempat tidak melakukan hubungan seksual selama 4 bulan. Namun, menurut ibu Mega dirinya bersyukur karena suaminya tetap bersabar dengan keadaan yang dialaminya.


(43)

“ . . . waktu pertama kali bencana Sinabung itu rumah kami kan hancur, saudara-saudara pun terpencar-pencar. Itu lah yang bikin saya sempat stress, nangis terus sampe berhari-hari. Akhirnya suami saya nyuruh berobat ke posko yang ada di tempat pengungsian. Dari situ lah saya dirujuk ke Psikolog, konsultasi saya sampe rutin tiap minggu. Waktu saya stress itu pun udah sempat saya enggak ngelakuin sama suami saya selama 4 bulan. Tapi untung lah suami saya sabar dan selalu dukung saya . . .”

Pendapat Stuart (2009), menyatakan bahwa semua nilai, keyakinan dan ide seseorang yang mencakup persepsi, perasaan tentang ukuran dan bentuk tubuh, fungsi, penampilan dan potensi tubuh mempengaruhi perilaku seseorang. Individu yang mempunyai konsep diri adaptif akan menerima dirinya sebagai seorang yang berharga dan berbeda dengan orang lain. Penerimaan berbagai keadaan hidup merupakan keyakinan atau pandangan positif yang dapat menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting untuk membentuk koping seseorang dalam menghadapi keadaannya (Muktadin, 2002, dalam Hariana & Ariani, 2007).

Adanya aktifitas erupsi Gunung Sinabung yang terus-menerus terjadi membuat masyarakat di lereng gunung sudah terbiasa dengan keadaan tersebut dan persepsi suami atau isteri bahwa bencana Gunung Sinabung dianggap sesuatu yang biasa juga turut mempengaruhi konsep adaptif pada informan di lapangan. Kecemasan yang merupakan dampak dari akumulasi pengalaman menghadapi bencana alam membuat kondisi pengungsi mengarah ke arah stress..Citra tubuh juga berhubungan dengan harga diri. Citra tubuh dapat menimbulkan gejala depresi dan kecemasan pada laki-laki dan perempuan (Davison & McCabe, 2005). Individu yang mempunyai citra tubuh yang tinggi akan mempunyai harga diri yang baik dan akan mampu


(44)

melakukan adaptasi secara adaptif. Perbedaan penelitian ini disebabkan karena keunikan manusia dalam merespon terhadap bencana.

Hasil penelitian padakehidupan seksual pengungsi erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo menunjukkan beberapakeluarga yang tinggal di pengungsian beradaptasi terhadap kehidupan seksualnya secara adaptif. Peran mengacu pada seperangkat perilaku yang diharapkan yang ditentukan oleh norma-norma keluarga, budaya, dan sosial. Setiap pasangan suami isteri mempunyai kewajiban untuk memenuhi perannya masing-masing. Peran selalu menyertai tanggung jawab. Setiap kali seseorang dapat memenuhi tanggung jawab akan mampu mengatasi masalahnya (DeLaune & Ladner, 2011).

Peneliti berpendapat bahwa bencana akan menimbulkan suatu respon pada individu untuk menyesuaikan dirinya seperti yang diharapkan sosialnya. Suami atau isteri akan melakukan adaptasi dengan saling mendukung dalam melaksanakan perannya secara adaptif. Suami atau isteri dituntut kemampuannya untuk menyadari perasaan dirinya dan perasaan suami dan kemudian memotivasi diri, mengelola emosi dengan baik dalam diri sendiri maupun dalam berhubungan dengan orang lain.

Hubungan intim pasangan suami isteri juga diperlukan kemampuan-kemampuan kesadaran diri, kontrol diri, empati, komunikasi terbuka, komitmen dan penyelesaian konflik sehingga mampu beradaptasi secara adaptif terhadap stres (Novianti, 2009). Suami atau isteri yang menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya akan mampu memecahkan masalahnya dengan baik. Kontrol diri diantara pasangan suami isteri secara adaptif sangat dibutuhkan untuk mengendalikan stres.


(45)

Dukungan suami atau isteri melalui sikap saling mendengar dan merasakan apa yang dirasakan diantara pasangan akan mampu membantu mengatasi stres. Pasangan suami isteri yang selalu menjaga rasa keterbukaan dalam memecahkan permasalahannya akan mampu mencegah dan mengatasi masalah. Konflik dalam keluarga apalagi dalam kondisi pasca bencana adalah sesuatu yang normal tetapi yang terpenting adalah bagaimana komitmen pasangan suami isteri memecahkan secara bijaksana.

Peneliti membandingkan hasil penelitian yang hampir serupa tentang pola adaptasi interdependensi akibat bencana pada keluarga di hunian sementara pasca bencana Merapi Kabupaten Magelang menunjukkan sebagian besar secara adaptif. Roy (2009) menyebutkan bahwa pola adaptasiinterdependensi yang adaptif ditunjukkan dengan kasih sayang, cinta, kemandirian komunikasi yang efektif, perhatian, keamanan dan sistem pendukung yang cukup. Ketika ketetanggaan dan kekerabatan lumpuh akibat bencana Merapi, pengungsi dengan cepat membangun sistem sosial dan berkonsolidasi. Di dalam kerja sosial masyarakat Jawa mengenal filosofi sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak mementingkan diri, giat bekerja). Ungkapan kunci lain adalah mengedepankan sikap nrimo atau pasrah, sabar, waspada-eling atau selalu hati-hati dan ingat, andhap asor dan prasaja atau sederhana (Zamroni, 2011). Filosofi inilah yang dapat menjadi kekuatan kebersamaan suami isteri selama tinggal di hunian sementara untuk beradaptasi secara adaptif.

Hasil penelitian Lestari (2007), menunjukkan adanya hubungan yang positif antara dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan jaringan sosial dengan pengembalian akibat bencana. Individu yang mendapatkan dukungan keluarga yang tinggi dapat membantu mengatasi stres dan menimbulkan koping adaptif terhadap stres selanjutnya tercipta keberhasilan dalam beradaptasi (Taylor, 1995 dalam Hariana & Ariani, 2007). Interaksi yang


(46)

terjadi secara berulang-ulang terbukti penting bagi kesehatan psikologis pada saat stres (Friedman, 2010). Peneliti berpendapat bahwa interaksi, dukungan dan kebersamaan pasangan suami isteri pada saat menghadapi bencana akan mampu beradaptasi interdependensi secara adaptif.

Hasil penelitian secara umum suami atau isteri di tempat pengungsian pasca bencana Gunung Sinabung Kabupaten Karo ini menunjukkan respons yang adaptif. Hasil penelitian ini sesuai Roy (2009) yang menyatakan bahwa setiap individu untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dengan melakukan adaptasi secara fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi. Pola adaptasi yang terpenuhi dengan baik maka menghasilkan perilaku adaptif dan bila tidak terpenuhi dengan baik sebaliknya akan menghasilkan respon perilaku inefektif.

4.3. Kebutuhan Seksual Pengungsi

Hasil penelitian pada suami atau isteri di tempat pengungsiandi bekas kampus Universitas Quality Karo, Kabupaten Karo sebagian besar kebutuhan seksualnya terpenuhi tetapi masih ada sebanyak 46,3% yang belum terpenuhi kebutuhan seksualnya. Responden yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya ditemukan sebanyak 33,7% pola adaptasinya inefektif dan 12,6% pola adaptasinya adaptif. Aday (2001) menyebutkan bahwa populasi korban bencana merupakan kelompok yang vulnerable (Aday, 2001). Kerentanan berhubungan dengan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan sosial dari beragam dampak berkaitan masalah kesehatan dan bencana. Faktor- faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap dampak psikologis merugikan tidak semua orang sama-sama terkena dampak bencana, dan tidak semua bencana sama-sama menghancurkan dari segi psikologis (Ehrenreich, 2001).


(47)

Kelompok rentan yang mampu mengatasi perubahan sosial yang terjadi baik berupa kesehatan personal maupun perubahan extreme di lingkungannya akan mampu mengatasi dampak bencana (Lindsay, 2003, dalam Yustiningrum 2010). Sedangkan kelompok rentan yang tidak mampu mengatasi pengaruh lingkungan psikososial akibat bencana akan menghambat dalam pemenuhan kebutuhan seksual.

Dampak bencana erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan situasi kehilangan atau berduka karena fisik, psikologis maupun sosial ekonomi yang dapat terjadi secara terus menerus terutama pada individu yang mengalami kerentanan. Chronic Sorrow Teory menjelaskan bahwa kehilangan akan menimbulkan ketidakseimbangan antara yang diharapkan dengan kenyataan. Kejadian ini akan memicu timbulnya kesedihan atau dukacita berkepanjangan atau mendalam. Individu dengan pengalaman kesedihan tersebut biasanya akan menggunakan metode managemen internal dan eksternal dalam mengatasinya. (Gordon, 2009). Kemampuan managemen mempengaruhi pola adaptasi adaptif atau inefektif yang dapat mempengaruhi pemenuhan seksualnya.

Metode managemen internal atau koping personal dengan cara: pengalihan perhatian, berpikir positif, ikhlas menerima, melakuka n curhat, menangis dan mengekspresikan emosi. Strategi menejemen ini semua dianggap efektif bilaindividu mengaku terbantu untuk menurunkan perasaan kembali berduka. Sedangkan manajemen eksternal yaitu dukungan yang dilakukan oleh profesional kesehatan khususnya perawat komunitas.

Hasil pengamatan peneliti memperlihatkan dukungandari tenaga profesional kesehatan masih kurang dibuktikan dalam memberikan pelayanan kesehatan lebih menekankan upaya akomodir, bukan jemput bola, pada awal bencana tenaga Psikolog memang ada namun,


(48)

kemudian dengan seiring berjalannya waktu layanan tersebut dihentikan. Akibat yang dapat terjadi adalah proses adaptasi dapat mengalami pemulihan secara lambat dan bahkan bisa terjadi adaptasi inefektif lagi. Badan penelitian dan pengembangan Provinsi Sumatera Utara (2013), melaporkan bahwa upaya pelayanan yang menyentuh kesehatan mental hanya bersifat incidental (kegiatan dilakukan beberapa hari saja setelah kejadian bencana), tidak berkesinambungan dan kegiatan ini di masa rehabilitasi dan recovery ternyata tidak ada.

Menurut teori Engle’s bahwa tahap proses berduka dibagi menjadi 3 yaitu: syok dan ketidakpercayaan, mengembangkan kesadaran, restitusi dan resolusi. Syok dan ketidakpercayaan ditandai dengan disorientasi, tidak berdaya, penolakan dan tidak mampu menghadapi kenyataan. Tahap ini berlangsung dari menit sampai berhari-hari. Pengembangan kesadaran ditandai dengan meningkatnya realitas kerugian, merasa berdaya, mampu mengatasi kesalahan, kesedihan, dan kesendirian. Tahap ini dapat berlangsung dari 6 sampai 12 bulan. Tahap Restitusi dan resolusi menandai awal proses penyembuhan dan bisa memakan waktu hingga beberapa tahun (DeLaune & Ladner, 2011). Peneliti berpendapat bahwa individu yang mampu melalui tahap berduka dengan cepat akan mampu memenuhi kebutuhan seksualnya tetapi sebaliknya yang tidak mampu melalui tahapan ini dapat menghambat pemenuhan kebutuhan seksualnya.

Kubler-Ross (2005) mengenalkan 5 tahap dalam menghadapi proses berduka yaitu: penolakan atau denial, kemarahan atau anger, penawaran atau bargaining, depresi, dan penerimaan atau acceptance. Tahap awal Individu dalam menghadapi bencana biasanya marah pada dirinya sendiri atau orang lain bahkan bisa menyalahkan Tuhan. Tahap selanjutnya individu akan mengalami negosiasiantara menerima dan menolak kejadian bencana dengan mengatakan seandainya bencana tidak terjadi maka saya tidak kehilangan rumah tetapi individu juga


(49)

mengatakan mungkin ini memang kehendak Tuhan. Selanjutnya individu dapat menjadi diam, menolak, menangis dan berduka. Tahap terakhir individu akan menerima keadaannya dan mampu melakukan pola adaptasi secara adaptif. Semua tahapan berduka ini dapat dialami pasangan suami isteri yang tinggal di tempat pengungsiansementara akibat bencana erupsi Gunung Sinabung secara berulang-ulang tetapi juga terkadang tidak semua tahapan ini dialaminya.

Informan tinggal di tempat pengungsian bekas Kampus Universitas Quality Karo, Kabupaten Karo sudah lebih dari satu tiga tahun sehingga memungkinkan keluarga sudah mampu mengatasi tahapan berduka yang diakibatkan bencana. Hasil penelitian Maryam (2007), menyebutkan bahwa setelah setahun gempa dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagian besar (88,4%) mengalami stres tingkat minor, strategi koping yang dlakukan keluarga berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi. Faktor yang mempengaruhi strategi koping berdasarkan masalah adalah masalah kesehatan, stres kognitif, dukungan sosial dan tipologi keluarga. Strategi koping berfokus pada emosi dipengaruhi kepribadian, umur kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, dan dukungan sosial.

Seksual adalah merupakan kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipuaskan lebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya (Maslow 2000, dalam Baihaqi et al., 2007). Individu akan menekan dahulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya terpenuhi (Goble, 2010). Hasil wawancara peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa kebutuhan seksual adalah kebutuhan yang penting dan harus dipenuhi meskipun pada keadaan bencana. Peneliti mempunyai keyakinan bahwa individu yang tinggal di hunian sementara pasca bencana tetap berusaha memenuhi kebutuhan seksualnya.


(50)

Alasan lain suami atau isteri mampu terpenuhi kebutuhan seksualnya didukung hasil penelitian Virginasari (2011) yang menunjukkan bahwa hubungan seksual dapat menurunkan stres. Suami isteri yang mempunyai keyakinan bahwapemenuhan kebutuhan seksual merupakan suatu rekreasi akan memenuhinya ketika dirinya merasa stres. Alasan lain sesuai karakteritik responden sebagian besar adalah usia dewasa muda sesuai aspek perkembangan seksual lebih mementingkan kuantitas seksual. Individu akan mempunyai persepsi bahwa terpenuhinya kebutuhan seksual dipengaruhi seberapa sering melakukan hubungan seksual.

Keluarga dewasa awal biasanya jumlah anggota keluarganya juga lebih sedikit sehingga dapat mengatasi rasa malu ketika melakukan aktivitas seksual karena tidak terdengar anak atau tetangganya. Dorongan seksual membuat individu akan berusaha memenuhi kebutuhan seksualnya melalui pola frekuensi seksual. Suami atau isteri dewasa tengah memungkinkan tetap mampu memenuhi kebutuhan seksualnya meskipun tinggal di tempat pengungsian yang belum menjamin kenyamanan dan privasinya.

Meskipun sebagian besar dewasa awal tetapi juga didapatkan keluarga yang tinggal bersama dengan jumlah anggota yang banyak atau keluarga besar. Suami atau isteri yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan mengatur waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan seksual dapat mempengaruhi tidak terpenuhinya kebutuhan seksual. Hasil dari data lapangan peneliti menunjukkan bahwa terdapat dua keluarga yang mengatakan tidak mampu memenuhi kebutuhan seksualnya di tempat pengungsian karena kuatir terdengar atau dilihat anggota saudara, tetangga, keluarga atau anaknya.

Galea, Nandi dan Vlahov (2004), melaporkan bahwa perempuan memiliki prevalensi lebih tinggi terjadi trauma pasca bencana dibandingkan laki-laki. Kuffel dan Haiman (2006),


(51)

menemukan bahwa gairah suasana hati perempuan secara signifikan lebih berpengaruh terhadap seksual dibandingkan dengan ketika kondisi mengendalikan kecemasan. Perempuan yang mengalami kecemasan bahkan terjadi trauma seperti yang dialami ibu Mega akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan seksualnya. Menurut peneliti bahwa faktor yang mempengaruhi sebagian informan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual karenapola adaptasi inefektif disebabkan sebagian besar responden adalah perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan setelah 11 bulan gempa Hanshin Jepang menunjukkan lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki yang mengalami masalah kesehatan memburuk karena tinggal di tempat penampungan sementara: privasi tidak dijamin dan mengeluh tidak adanya privasi di tempat penampungan (Takeuchi & Shaw, 2008). Faktor lingkungan hunian sementara yang tidak memberikan kenyamanan dan menjaga privasi penghuninya juga mempengaruhi dalam pemenuhan kebutuhan seksual.

Hasil pengamatan dari peneliti di lokasi pengungsian di bekas Kampus Universitas Quality Karo menunjukkan bahwa bangunan rumah: atap seng sedikit bocor di beberapa bagian, dinding kamar mandi dari anyaman bambu yang berlubang, kemudian kualitas sanitasi lingkungan yang masih sangat buruk. Faktor bangunan dan prasarana ini membuat sebagian informan mengeluh kedinginan pada malam hari dan merasa sangat tidak nyaman ketika harus mandi, bahkan beberapa penghuni memutuskan untuk menumpang rumah warga sekitar untuk mandi.

Mengutip hasil survei pada salah satu responden setelah 11 bulan gempa di Hanshin Jepang menunjukkan bahwa seorang isteri sering melakukan pertengkaran dengan suaminya karena ketidakmampuannya memenuhi tuntutan pemenuhan seksual suaminya. Responden


(52)

mengatakan bahwa ia merasa sangat menghambat untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya karena hunian sementara yang tidak dapat melindungi privasinya (Takeuchi & Shaw, 2008). Peneliti berkeyakinan bahwa faktor hunian sementara yang tidak dapat memberikan kenyamanan dan menjaga privasi dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seksual di tempat pengungsiandi bekas Kampus Universitas Quality Karo di Kabupaten Karo. Individu akan merasa kuatir terdengar atau terlihat oleh tetangganya dan merasa tidak nyaman.

Dua informan dari dua keluarga melakukan pola adaptasi adaptif tetapi tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Faktor yang menyebabkannya adalah rasa ketidaknyamanan tempat pengungsian, himpitan ekonomi yang dialami dan juga masalah intern dari masing-masing pasutri. Penyebab lainnya adalah karena faktor komunikasi dan faktor ekonomi (Setiati, 2006 dalam Chandrasari, 2009).

Dzara (2011), menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual untuk memuaskan seksual laki-laki berbeda dengan perempuan. An-Nu’aimi (2011), menjelaskan bahwa perempuan mempunyai tabiat yang berbeda dengan laki-laki. Laki-laki cepat dibangkitkan hasrat seksualnya dan bisa mencapai orgasme dalam waktu yang singkat. Dipihak lain, perempuan mempunyai pola atau irama yang lebih lamban.

Kebutuhan seksual berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaan melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama sexual dan perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerak tubuh, berpakaian, dan kata-kata (Potter & Perry, 2005). Peneliti berpendapat bahwa suami atau isteri yang tidak memperhatikan faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan seksual baik saat kondisi bencana atau kondisi normal dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan seksualnya.


(53)

4.4. Hubungan Pola Adaptasi Akibat Bencana dan Pemenuhan Kebutuhan Seksual

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna pola adaptasi dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan yang istimewa karena mencakup kebutuhan fisiologis dan kebutuhan dicintai dan mencintai (Maslow 2000, dalam Baihaqi et al., 2007). Secara biologis kebutuhan seksual juga dapat meredakan ketegangan fisik dan secara psikologis sangat penting bagi pemuasaan kebutuhan-kebutuhan suami atau isteri. Kebutuhan seksual dapat terpenuhi bagi suami isteri sangat bersifat perseorangan atau pribadi. Alasan inilah sering menyebabkan kebutuhan seksual sesuatu yang unik dan biasanya dipengaruhi oleh adanya dorongan seksual melalui gabungan dari kenangan, gairah, dan fantasi. Kemampuan dalam menciptakan danmengendalikan dorongan seksual secara adaptif pada saat menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan seksual karena menghasilkan aktifitas seksual yang terorganisasi (Baihaqi et al., 2007).

Suami isteri yang mengalami adaptasi secara adaptif menyebabkan kondisi tubuh menjadi stabil sehingga mampu memenuhi kebutuhan seksualnya dengan baik. Sebaliknya stres juga sering membuat individu berpikir bagaimana cara melaluinya dengan baik sehingga sedikit sekali yang sampai sempat terpikir untuk melampiaskannya melalui kegiatan yang menyenangkan, salah satunya bercinta. Sementara jika terus-menerus stres, kondisi hormon kortisol secara keseluruhan menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan hormon kortisol akan berpengaruh terhadap penurunan libido (Rudolph, 2011). Peneliti berpendapat bahwa penurunan libido akan mempengaruhi suami isteri dalam memenuhi kebutuhan seksualnya.


(1)

hidup, lokasi pengungsian dan aspek kultural sangat berpengaruh dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan seksual pengungsi.

Bab IV deskripsi mengenai adaptasi kehidupan seksual pengungsi. Pada bagian ini peneliti memaparkan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kegiatan pemenuhan kebutuhan seksual pengungsi yakni kondisi stress yang dialami pengungsi. Beberapa Pasutri yang mengalami stress mengaku sangat terganggu dengan kondisi tersebut sehingga kegiatan seksualnya sangat terganggu.

Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian mengenai kehidupan seksual pengungsi erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Mei 2016 Penulis


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tinjaun Pustaka ... 7

1.3 Perumusan Masalah ... 15

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.5 Metode Penelitian ... 16

1.6 Analisis Data ... 19

1.7 LokasiPenelitian ... 20

BAB IIGAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 21

2.2 Profil Kecamatan Kabanjahe ... 25

2.3 Profil Letusan Gunung Sinabung ... 32

2.4 Data Persebaran Pengungsi Gunung Sinabung ... 33

2.5 Penanganan Pengungsi ... 35

2.6 Antisipasi Lebih Lanjut ... 39

2.7 Lokasi Pengungsian Di Bekas Kampus Universitas Quality Karo .... 41

BAB III KEHIDUPAN SEKSUAL PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG 3.1 Kehidupan Pengungsi ... 45

3.2 Aktifitas Pemenuhan Seksual Pengungsi ... 52

3.2.1 Pergi Ke Tempat Penginapan ... 52

3.2.2 Berhubungan Seks Di Kebun ... 60

3.3 Bilik Asmara Yang Tidak Terpakai ... 60


(3)

3.5. Siwalu Jabu Dan Aktifitas Seks Penghuninya ... 67 3.6 Pegangan Hidup Yang Disebut Cikapen Silima ... 74 3.7 DalikenSitelu ... 76 BAB IV ADAPTASI KEHIDUPAN SEKSUAL PENGUNGSI SINABUNG

4.1 Dampak Stres Terhadap Hasrat Seksual Pasutri Di Pengungsian ... 80 4.2 Adaptasi Pemenuhan Kebutuhan Seksual Akibat Bencana ... 83 4.3 Kebutuhan Seksual Pengungsi ... 89 4.4 Hubungan Pola Adaptasi Akibat Bencana dan Pemenuhan

Kebutuhan Seksual ... 97 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan... 105 5.2 Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Statistik Geografi Kecmatan Kabanjahe ... 26

Tabel 2. Statistik Pemerintahan Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 27

Tabel 3. Komposisi Jumlah Penduduk Kabanjahe Tahun 2014 ... 28

Tabel 4. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2014 ... 29

Tabel 5. Sejarah Letusan Gunung Sinabung ... 33

Tabel 6. Data Pengungsi Yang Tinggal Di Bekas Universitas Quality Karo Tahun 2015 ... 42


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 :Persentase PNS Kecamatan Kabanjahe Tahun 2014 ... 27 Gambar 2 : Denah Lokasi Pengungsian Bekas Kampus Universitas Quality Karo Tahun 2016 ... 44


(6)

DAFTAR FOTO

Foto 1 : Gerbang Masuk Pengungsian Bekas Kampus Universitas Quality Karo 42

Foto 2 : Lahan Pertanian Kol Milik Warga Di Dalam Kampus ... 43

Foto 3 : Lahan Pertanian Yang Digarap Oleh Beberapa Keluarga Pengungsi ... 47

Foto 4 : Sarana MCK Di Lokasi Pengungsian Yang Memperihatinkan ... 49

Foto 5 : Barak Pengungsian Di Bekas Kampus Universitas Quality Karo ... 50

Foto 6 : Salah Satu Penginapan Yang Sering Digunakan Oleh Pengungsi Untuk Melakukan Hubungan Seksual... 53

Foto 7 : Sapo Yang Berada Di Puncak Bukit ... 58

Foto 8 : Suasana Sapo Di Ladang ... 59

Foto 9 : Bilik Asmara Yang Berada Di Tengah Tempat Pengungsian Yang Sudah Tidak Dipakai ... 62