Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi

33

BAB II
PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEWENANGAN DENSUS 88
DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORIMSE
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “Negara
Indonesia adalah Negara hukum”. Dalam Negara yang berdasarkan hukum
mewajibkan semua tindakan Negara dan pemerintah senantiasa didasarkan pada
asas-asas dan aturan hukum tertentu baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Oleh
karena itu, makna inti dari prinsip ini adalah bahwa semua tindakan harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk seluruh tindakan yang dilakukan
oleh Pejabat Publik. 43
Pasca kasus peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 dan melihat
Semakin

merajalelanya

aksi-aksi

terorisme


melalui

serentetan

aksi-aksi

pembomannya yang meresahkan banga Indonesia, pemerintah segera melakukan
langkah-langkah darurat serta reaksi cepat untuk merespon aksi terorisme. Pada
tanggal 18 Oktober 2002, Pemerintah Indonesia segera memasukkan agenda
pemberantasan tindak pidana terorisme ke dalam kebijakan politik dan keamanan
nasional dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan
Pemerintah

Pengganti

Undang-Undang

Nomor


2

Tahun

2002

tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, dan instruksi Presiden
43

Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011 Halaman 204.

Universitas Sumatera Utara

34

Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, diikuti dengan Penetapan

Surat Keputusan Menko Polkam Nomor Kep 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang
Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang bekerja di level
nasional sebagai satuan Pelaksana Tugas di bawah Presiden.
Pada Tahun 2003 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tertanggal 4 April 2003, tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang.
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut, Presiden
Republik Indonesia segera meminta Kapolri untuk membentuk satuan khusus
guna menanggulangi aksi terorisme di Indonesia yaitu dengan dibentuknya
Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri atau yang biasa disebut dengan Densus 88
AT dengan Skep Kapolri No. Pol: Kep/30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk
melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu
No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi
Undang-Undang.
Pembentukan Densus 88 Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian
Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus
2004. Adapun secara struktural, Densus 88 Anti Teror tingkat pusat berada
dibawah Badan Reserse Kriminal (BARESKRIM) Mabes Polri dipimpin oleh

Komandan Detasemen berpangkat Brigjen Polisi dan dibantu wakil detasemen
(waden). Sedangkan pada tingkat Polda, Densus 88 berada dibawah Direktorat

Universitas Sumatera Utara

35

Serse (Dit Serse) dipimpin oleh komandan berpangkat Perwira menengah Polisi
(Pamen Pol). Dalam menjalankan operasinya, komandan densus 88 memiliki
empat pilar pendukung setingkat Sub-Detasemen, yakni Subden bantuan yang
bekerja dibawah naungan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berbicara tentang tindakan Densus 88 dalam pemberantasan serta
penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia telah diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang berisikan wewenang-wewenang Densus 88. Selain itu dalam hal
proses beracara dalam kasus pidana dipakai juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Secara struktural Densus 88 Anti Teror adalah bagian integral dari
Kepolisian


RI

yang

mempunyai

fungsi

dan

tugas

pokok

di

bidang

penanggulangan kejahatan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1)

dan (2) Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 yang berbunyi: 44
a. Detasemen Khusus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang
penanggulangan kejahatan terorisme yang berada dibawah Kapolri.
b. Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas
menyelenggarakan fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan,
dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana terorisme.

44

PP Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara
Republik Indonesia pasal 23 ayat (1) dan (2).

Universitas Sumatera Utara

36

Berdasarkan fungsi dan tugas pokok tersebut maka Densus 88 AT
memiliki kewenangan melakukan penangkapan sebagaimana ketentuan Pasal 18
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:

“Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.
Hal tersebut disebabkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme
tidak mengatur kewenangan penangkapan oleh Densus 88 Anti Teror sehingga
landasan yuridis penangkapan tersangka Tindak Pidana Terorisme didasarkan
pada KUHAP sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) UndangUndang Tindak Pidana Terorisme yang berbunyi :
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini.
Dengan demikian penangkapan tersangka tindak pidana terorisme oleh
Densus 88 Anti teror pada prinsipnya telah memiliki landasan hukum (legalitas) ,
walaupun secara empiris (praktek) terdapat fakta berupa meninggalnya ataupun
menyebabkan luka-luka pada tersangka tindak pidana terorisme yang kini
dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM)..

Bila merujuk lagi pada Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni

2003 maka kita dapat melihat kembali bahwa tugas dan fungsi dari Densus 88 AT
Polri secara spesifik adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan
terorisme di Indonesia, khususnya aksi teror dengan modus peledakan bom.

Universitas Sumatera Utara

37

Dengan penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas
penanggulangan teror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2.1 Kewenangan densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Diterbitkannya undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang, menjadikan
upaya pemberantasan terorisme di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat
serta memiliki kepastian hukum, tentunya tanpa mengabaikan prinsip supremasi
hukum, non-diskirminasi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. 45

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Tindak pidana terorisme
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Sedangkan
yang dimaksud dengan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1 ayat (1) Undangundang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di
atas adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan
maksud menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan
bagi kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut

45

Mardenis, Op.cit halaman 421

Universitas Sumatera Utara

38

terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban secara masal, dengan
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,

atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. 46
Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat di dalam rumusan Pasal 6
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang dikualifikasikan sebagai delik materil. Disebutkan dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 bahwa tindakan tersebut diancam dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 6 Undang-Undang No.
15 Tahun 2003 memberikan penekanan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya
nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran. Adapun yang
dimaksudkan dengan kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup adalah
tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana

Terorisme

membagi


perbuatan-perbuatan

yang

melanggar

dan

berhubungan dengan tindak pidana terorisme dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :
a. Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam Bab III, dari Pasal 6 sampai
dengan Pasal 19.

46

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 6 dan Pasal 7

Universitas Sumatera Utara

39

b. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme, diatur
dalam Bab III, dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 24.

Mengenai delik formil Tindak Pidana Terorisme terdapat dalam Pasal 7
sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bunyi rumusan Pasal 7 adalah:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancama
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau
untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau internasional, dipidana
dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Dalam hal ini perbuatan yang dilarang yang dikategorikan sebagai
kegiatan terorisme adalah bermaksud melakukan perbuatan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan itu dapat menimbulkan
suasana teror di tengah-tengah masyarakat.
Undang-undang No. 15 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme membatasi atau mengecualikan tindak pidana selain yang
bermotif politik. Pengaturannya dirumuskan dalam Pasal 5 yang menyatakan
bahwa:
tindak pidana terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini dikecualikan dari
tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik,
tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik yang
menghambat proses Ekstradiksi.
Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjelaskan bahwa Ketentuan ini

Universitas Sumatera Utara

40

dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar
belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap
pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain. 47
Mengenai subyek hukum pelaku tindak pidana terorisme dari perumusan
Pasal 17 dan Pasal 18 dapat diketahui bahwa undang-undang terorisme:
a. Mengakui subyek hukum korporasi (legal person), disamping pribadi
alamiah (natural person).
b. Terorisme yang dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dijatuhkan kepada:
1) Korporasi saja;
2) Korporasi dan pengurusnya;
3) Pengurusnya saja.
c. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana terorisme yang
dilakukan oleh orang / atau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun
bersamasama tidak hanya berdasarkan hubungan kerja, tetapi juga atas
dasar hubungan lain. Korporasi sudah dapat dipertanggungjawabkan atas
tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang/atau orang-orang baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama apabila dapat dibuktikan adanya
hubungan kerja atau hubungan lain.
47

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme
bagian Penjelasan pasal 5

Universitas Sumatera Utara

41

d. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda yaitu paling
banyak satu triliun rupiah. Namun demikian korporasi juga dapat
dibekukan atau dicabut atas izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi
terlarang. 48
Pasal 17 dan 18 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme menjelaskan bahwa disamping orang
secara pribadi, kejahatan terorisme dapat juga dilakukan oleh badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Akan tetapi dalam Undangundang pemberantasan tindak pidana terorisme ini tidak mengatur tentang
pertanggungjawaban pengurus dan pimpinan korporasi. Meskipun pasal 17 sudah
menentukan pertanggungjawaban pengurus namun tidak disebutkan sanksinya.
Seharusnya pengurus korporasi sebagai pengambil keputusan juga dikenai pidana
badan karena mengetahui dan memutuskan hal yang berkaitan dengan tindak
pidana terorisme. 49
Densus 88 dalam hal penangkapan memiliki kewenangan melakukan
penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun
selama 7 kali 24 jam. Hal ini sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 28. 50 Bukti
Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:

48

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 178
Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik Atas Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009,
Hal 120.
50
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Pasal 26 dan Pasal 28
49

Universitas Sumatera Utara

42

a. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap Laporan Intelijen.
b. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan
oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
c. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
d. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri
segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan
Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan
Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan secara tertutup. Hal itu
mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk
melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu
Tindak Pidana Terorisme.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (1)
diatas menyebutkan bahwa:
yang dimaksud dengan laporan intelejen adalah laporan yang berkaitan
dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelejen
dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri,
Departemen Pertanahan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen
Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia,
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelejen Negara, atau instansi
lainya yang terkait. Jadi pasal ini memberikan kewenangan khusus kepada
penyidik dalam hal ini Densus 88 untuk menggunakan setiap laporan intelejen
sebagai bukti permulaan yang cukup.
Terkait batas waktu penangkapan yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
merupakan penyimpangan dari ketentuan KUHAP Pasal 19 ayat (1) yang

Universitas Sumatera Utara

43

menetapkan batas waktu penangkapan paling lama 1 x 24 jam.51 Sementara itu,
Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dalam Pasal 28 menetapkan batas
waktu penangkapan 7 x 24 jam.
Jangka Waktu Penangkapan yang diatur dalam Pasal 28, menyebutkan: 52
“Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan
yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x
24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.”
Pasal ini memberikan wewenang kepada penyidik (Densus 88) dalam hal
jangka waktu penangkapan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 19 Ayat (1)
paling lama satu hari (1 x 24 jam) di perpanjang menjadi satu minggu atau (7 x 24
jam). Tujuan dilakukannya penangkapan tentu saja adalah demi kepentingan
penyelidikan dan penyidikan.
Mengenai kewenangan untuk melakukan Penahanan diatur dalam Pasal 25
Ayat (2) Undang-Undang nomor 15 Tahun 2003, yang menyebutkan“Untuk
kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.” 53 Jangka
waktu penahanan dalam proses penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah 20 (dua
puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum sampai 40 (empat puluh)
hari, maka jangka waktu penahanan selama proses penyidikan adalah 60 hari dan
51

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 19

ayat 1
52

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Pasal 28
53
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme
Pasal 25

Universitas Sumatera Utara

44

penahanan selama proses penuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah 20 (dua puluh)
hari dan dapat diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri hingga 30 (tiga puluh)
hari, jadi jumlah penahanan selama proses penuntutan adalah 50 hari sehinggah
total jangka waktu penahanan selama proses penyidikan dan penuntutan adalah
110 (seratus sepuluh) hari. Sedangkan Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 jangka waktu penahanan adalah 6 (enam) bulan yang artinya 180 (seratus
delapan puluh) hari.

Perluasan Alat Bukti diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 yang berbunyi,Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme
meliputi :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau
yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.

Ketentuan ini memberikan wewenang yang lebih luas kepada penyidik
yang adalah Densus 88 dalam hal alat bukti. Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dimaksud
dengan alat bukti hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

Universitas Sumatera Utara

45

keterangan terdakwa, namun dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 alat
bukti diperluas dengan bukti elektronik bahkan gambar, peta, suara, foto atau
sejenisnya.

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus
Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan
Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum
Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya,
terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang
berbeda dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Karena
sifatnya sebagai

Undang-Undang yang khusus, maka hal tersebut bukanlah

merupakan penyimpangan asas, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya
menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuanketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus
tersebut.

Ditinjau dari optik yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kekhususan lain
meliputi: 54

54

Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Penerbit Djmabatan, Jakarta, 2007, Halaman 14-15

Universitas Sumatera Utara

46

1. Sebagai ketentuan payung hukum terhadap peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
Juga bersifat ketentuan khusus yang di perkuat sanksi pidana dan sekaligus
koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan
perundang-undangan lainnya.
2. Adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut
“safe guarding rules”. Kemudian, adanya lembaga hukum baru yang
berfungsi sebagai lembaga pelaku “legal audit” terhadap seluruh dokumen
atau laporan intelijen dari penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau
tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme.
3. Adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari
tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak
pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah
kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakakn secara lebih
efektif.
4. Ketentuan undang-undang memberi kemungkinan Presiden membentuk
satuan tugas antiteror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan
akuntabilitas publik (sunshine principle) dan/ atau prinsip pembatasan
waktu efektif (sunset principle). Kemudian adanya yurisdiksi kepada asas
terirorial, ekstraterirorial, dan asas nasional aktif sehingga diharapkan
dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana
terorisme.

Universitas Sumatera Utara

47

5. Adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai
tindak pidana terorisme, kemudian ketidakberlakuan tindak pidana
terorisme bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, baik
melalui unjuk ras, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat
advokasi. Apabila dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut
terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana maka diberlakukan kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundangundangan diluar kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6. Dikenal, diakui, dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan
minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para
pelaku tindak pidana terorisme.
Dikaji dari perspektif jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort),
maka Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme ada secara alternatif menganut eksistensi pidana mati dalam ketentuan
pasal 6, pasal 9, dan pasal 14. 55
Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana terorisme dalam draf revisi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme mengalami beberapa perubahan-perubahan. Seperti yang disampaikan
oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli ada beberapa usulan yang masuk
ke dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Seperti usulan pencabutan paspor bagi
WNI yang berpergian ke Suriah atau Negara Konflik. Selanjutnya, penetapan
55

Ibid, Halaman 42

Universitas Sumatera Utara

48

barang bukti untuk menindak terduga teroris tidak harus mendapatkan izin dari
hakim ketua pengadilan, tetapi cukup hakim saja. Selanjutnya, point usulan draf
revisi Undang-Undang No 15 Tahun 2003 juga menampung untuk melibatkan
peran serta kepala daerah dan masyarakat mencegah aksi terorisme. Kemudian,
penahanan masa tahanan bagi terduga terorisme. 56

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar
Pandjaitan juga mengatakan, ada beberapa isi pasal yang menjadi bahan revisi
dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana terorisme. Adapun draf revisi UU Terorisme itu terdiri atas tujuh
poin penting. Berikut penjelasan Luhut di setiap poin tersebut:
1. soal perluasan definsi dari terorisme dan kekerasan. Dalam revisi UndangUndang Terorisme, di sana diperjelas apa itu terorisme dan bentuk
kekerasan, seperti ancaman dan perbuatan yang merugikan Negara.
2. pada revisi Undang-Undang Terorisme tersebut juga dijelaskan bahwa
polisi sudah bisa menangkap orang yang terlibat dalam jaringan terorisme.
Indikator orang tersebut bisa ditangkap apabila ia berkumpul dan
melakukan pertemuan dengan membahas aksi-aksi teror dan menyerempet
pada aksi radikalisme.
3. dari perkumpulan tersebut, polisi bisa menahan mereka dengan maksimal
masa tahanan 30 hari. Selain itu, pada saat penuntutan, akan ditambah 120
hari masa penahanan sebelum perkaranya diputuskan.
4. polisi juga bisa menahan mereka dengan berbekal minimal dua alat bukti.
Jika sebelumnya alat bukti harus berupa aksi dan bentuk ancaman, saat ini
jika para pelaku terduga teror melakukan komunikasi via surat elektronik
dan alat elektronik lainnya bisa dijadikan alat bukti. Selain itu, analisis
transaksi keuangan juga menjadi salah satu alat bukti.
5. poin kelima adalah soal deradikalisasi. Jika selama ini aksi pencegahan
dan deradikalisasi tidak masuk dalam Undang-Undang Terorisme, dalam
revisi ini dimasukkan. Di sana, disebutkan deradikalisasi bersifat holistis
dan melibatkan tujuh kementerian terkait. Pendekatan dilakukan secara
soft approach dengan pendekatan agama, psikologi, pendidikan dan
vocational.
56

http://www.Merdeka.com/peristiwa/ini-poin-poin-dalam-draf-revisi-uu-terorisme.html
diakses pada hari rabu tanggal 22 Juni pukul 21.14

Universitas Sumatera Utara

49

6. Para narapidana terorisme nantinya akan dibedakan selnya. tidak ada lagi
pencampuran tahanan. Semuanya dikelompokan menjadi kelompok
berbeda. Mana yang otak pelaku, mana yang jadi aktor lapangan, dan
mana yang hanya ikut-ikutan.
7. tidak ada poin penambahan kewenangan pada Badan Intelijen Negara
(BIN) atau TNI. Nantinya, dua lembaga yang sebelumnya digembargemborkan akan ditambah kewenangannya ini tetap bekerja sesuai
tupoksinya.
Luhut menegaskan, Undang-Undang ini tidak hanya berlaku pada gerakan
radikal yang kerap menyasar para umat Muslim. Bagi siapa saja yang masuk
dalam kategori membahayakan Negara, bisa dikenakan pasal ini. 57

2.2

Kewenangan densus 88 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme merupakan lex specialis yang menangani atau mengatur
perkara-perkara tindak pidana terorisme, sedangkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana merupakan lex generalis. Akan tetapi, bukan berarti bahwa segala
sesuatu atau yang bersifat khusus harus meniadakan atau menghapus yang
sifatnya umum, sebab ada kalanya bahwa yang bersifat khusus itu masih
membutuhkan hal-hal yang bersifat umum untuk memperoleh suatu kejelasan
tertentu. 58 Oleh sebab itu, ketentuan pada pasal 103 KUHP menyebutkan
bahwa: 59

57

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/02/02/olvrxi361-ini-7-poin-drafrevisi-uu-terorisme-part3 diakses pada hari rabu tanggal 25 Mei 2016 Pukul 14.36
58
Muzakkir Samidan prang, op.cit, halaman 138
59
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 103

Universitas Sumatera Utara

50

“ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai BAB VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain.

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci
jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut
stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok
dengan pidana tambahan.
Adapun pidana pokok meliputi:
a. pidana mati
b.

pidana penjara

c. pidana kurungan
d. pidana denda
sedangkan pidana tambahan meliputi:
a. pidana pencabutan hak-hak tertentu
b.

pidana perampasan barang-barang tertentu

c.

pidana pengumuman putusan hakim

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis alasan
penghapus pidana yakni: 60
a. Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan.
b. Pasal 48: daya paksa.

60

Serjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, 2008, Jakarta Halaman 124

Universitas Sumatera Utara

51

c. Pasal 49: Ayat (1) pembelaan terpaksa.
d. Pasal 49: Ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
e. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah.
f. Pasal 51: Ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang.
g. Pasal 51: Ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang
jika bawahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan
sebagai berwenang.
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan
pidana ini dibeda-bedakan menjadi alasan, pembenar, alasan pemaaf, alasan
penghapus tuntutan. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pemaaf yaitu alasan yang
menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak
dipidana, karena tidak ada kesalahan. Alasan penghapus penuntutan disini
persoalannya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada
pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan
perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau
kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, yang
menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Jika perkaranya tidak
dituntut tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana.
Alasan-alasan peniadaan pidana (Straf Uitsluitings Gronden) adalah
alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang

Universitas Sumatera Utara

52

memenuhi rumusan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana. 61 Pertama dilihat
dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan pidana dibagi atas dua kelompok,
yaitu yang tercantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar
undang-undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin. Tercantum di
dalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam
ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas semua rumusan delik. Yang
khusus, tercantum di dalam Pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumusan
delik itu saja. 62
Kedua istilah “dasar pembenar (rechtvaardigingsgronden), dan dasar
pemaaf” (schulduitsluitingsgronden) sangat penting bagi acara pidana, sebab
apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum,
sedangkan “melawan hukum” itu merupakan bagian inti (bestanddeel) delik,
maka putusannya ialah bebas sedangkan kalau kesalahan tidak ada atau dasar
pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum. Pembedaan
antara dasar pembenar dan dasar pemaaf ini berasal dari sarjana Jerman Von Liszt
dan sarjana Perancis Mariauel. 63
Mengenai Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam Pasal 48 KUHP.
Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang
melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Menurut
penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak

61

Prodjodikoro, Wiryoono; Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Jakarta, 2003 Halaman 67
62
Ibid 68
63
Bambang Abimanyu, Teror Bom Di Indonesia, Grafindo, Jakarta, 2005, halaman 69.

Universitas Sumatera Utara

53

dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang
orang tidak dapat memberikan perlawanan.
Berdasarkan literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua
yang pertama daya paksa yang absolut atau mutak, bisa disebut vis absoluta.
Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, disini pembuat
sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan
lain sama sekali. Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa
adalah berlebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu
sebenarnya tidak berbuat. Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa
(overmacht) itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal yang seseorang
karena ancaman terpaksa melakukan delik. Yang disebut Van Bemmelen ini
adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa
relatif atau vis compul siva. 64
Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa
dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa disebut keadaan
darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti sempit ialah yang disebabkan oleh
orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di muka) sedangkan daya paksa yang
berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan oleh bukan manusia. Serangan
tidak boleh melampaui batas keperluan atau keharusan. Asas ini disebut asas
subsidiaritas (subsidiariteit).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan Perlindungan
hukum kepada Densus 88 AT dalam pelaksanaan tugasnya, tidak hanya terbatas

64

Prodjodikoro Wiryono, op.cit, Halaman 75

Universitas Sumatera Utara

54

pada sanksi pidana bagi setiap orang yang berupaya menghalang-halangi tugas
polisi, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 212 KUHP dan Peraturan Perundangundangan lainnya, tetapi juga meluas sampai dengan diberikannya jaminan untuk
tidak dipidana atas apa yang telah diperbuatnya, sepanjang perbuatannya dalam
rangka melaksanakan perintah jabatan (Negara). 65
Dikaitkan dengan tugas seorang anggota Densus 88, umumnya anggota
Densus 88 tidak berkuasa untuk mengunakan kekuatan senjata api atau melakukan
tembak ditempat begitu saja pada seorang. Namun dalam keadaan tertentu dan
sangat memaksa dapat dilakukan sebagaimana tercantum dalam pasal 48 KUHP.
Misalnya, apabila Densus 88 tidak menembak sasaran penjahat kelas kakap
seperti teroris yang sangat meresahkan masyarakat, tentu akan mengakibatkan
pelaku lolos dari kejaran. Jika penjahat atau teroris yang sangat berbahaya lolos,
akan menimbulkan keresahan pada masyarakat, sehingga aparat kepolisian
dianggap gagal dalam memberikan keamanan pada masyarakat. Dengan kondisi
demikian, aparat kepolisian diperkenankan menggunakan kekuatan senjata, dan
apabila akibat penggunaan senjata tersebut menimbulkan kerugian, baik jiwa
maupun harta benda, maka berdasarkan pasal 48 KUHP, aparat kepolisian harus
dibebaskan dari melakukan tindak pidana. Pasal 48 KUHP selengkapnya
berbunyi: barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu
kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. 66

65

Dikdik M. Arief Mansur,op.cit Halaman 38

66

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 48

Universitas Sumatera Utara

55

Dasar pemberian hak kekebalan kepada anggota Densus 88 dapat juga
diberikan berdasarkan pada pasal 49 KUHP jika kedudukan atau situasi anggota
Densus 88 sudah sangat terjepit oleh suatu keadaan yang diciptakan oleh orang
yang hendak ditangkap misalnya adanya suatu keadaan dimana anggota Densus
88 harus melakukan pembelaan diri karena si pelaku tindak Pidana Terorisme
telah mengancam jiwa dan raganya atau orang lain. Pasal 49 KUHP ini dikenal
dengan “pembelaan diri dengan terpaksa, yang menentukan sebagai berikut: 67
a. barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk
mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari
serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu
juga, tidak boleh dihukum
b. Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan
sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera
pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.
Pasal lain dalam KUHP yang memberikan kewenangan bebas kepada
anggota Densus 88 untuk melaksanakan tugasnya tanpa dapat dipidana adalah
Pasal 50 KUHP yang menyatakan: “Barang siapa yang malakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Terhadap pasal 50
KUHP ini, R. Soesilo memberikan pendapat bahwa dalam pasal 50 KUHP
diletakkan suatu prinsip bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh
suatu undang-undang tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undangundang yang lain. 68

67

Kitab Undang-Undang hukum Pidana Pasal 49
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
Penjelasan Resmi dan Komentar, Politea, Bogor 1997, Halaman 25
68

Universitas Sumatera Utara

56

Selanjutnya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 51
menyatakan:
a. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
b. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana,
kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenag dan pelaksanaannya termasuk dalam
lingkungan pekerjaan.

Perintah jabatan itu dikatakan sah, apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberi
perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi.
Hubungan itu harus bersifat hukum publik.
b. Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan
jabatannya yang bersifat publik tersebut.
c. Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan
kewenangan jabatannya.

Menurut Vos, mengenai ketentuan Ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah
jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan,
harus memenuhi dua syarat:

a. Syarat subjektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa
perintah itu datang dari yang berwenang.
b. Syarat objektif: pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup
pembuat sebagai bawahan.

Universitas Sumatera Utara

57

2.3

Kewenangan densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Status atau eksistensi kepolisian dalam perspektif Sistem Peradilan pidana
(SPP) yaitu sebagai bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana. Status Polri
sebagai komponen/unsur/subsistem dari SPP sudah jelas terlihat dalam
perundang-undangan yang berlaku saat ini baik dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu sebagai “Penyelidik
dan Penyidik”. 69 Susunan dan kedudukan kepolisian negara republik Indonesia
juga dapat kita ketahui dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri yang tercantum pada BAB II Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Pasal 9
dan Pasal 10 UU No.2 Tahun 2002.
Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan
asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap Polisi memiliki kewenangan
diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan
penilaian sendiri.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia pada bagian menimbang menyebutkan bahwa pemeliharaan
keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang
69

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Halaman 48

Universitas Sumatera Utara

58

meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam hal ini Densus
88 yang juga merupakan satuan tugas dari markas besar Polri berada pada
naungan setiap peraturan Polri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan
umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. 70

Pencegahan terjadinya kejahatan sebenarnya merupakan salah satu tugas
yang diamanatkan kepada Polri dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002, yang menyatakan tugas pokok kepolisian Republik Indonesia adalah: 71
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan
masyarakat.

pelayanan

kepada

Polri dalam rangka menyelenggarakan tugasnya sebagai bagian dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: 72
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
70

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 29
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan,
2009, Halaman 31
72
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 15
ayat (1)
71

Universitas Sumatera Utara

59

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Dalam Kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, pada diri setiap
anggota Polri melekat beberapa kewenangan khusus kepolisian di bidang proses
pidana, yang mana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2002
meliputi kewenangan untuk:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;

Universitas Sumatera Utara

60

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki
wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada Pasal 16
Ayat 1 diatas kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledaan,
dan penyitaan ataupun melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki
tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan seperti dalam Pasal 16
Ayat 1 huruf b, ataupun membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik
dalam rangka penyidikan, hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pasal 16 Ayat 1 huruf (l) memberikan wewenang kepada Densus 88 untuk
melakukan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum. Lebih jelasnya
Pasal 16 Ayat (1) huruf l berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.” Ketentuan dalam pasal ini memberikan peluang kepada
kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak atau melakukan sesuatu
yang tidak tertulis dalam ketentuan hukum namun harus memperhatikan unsur
“bertanggung jawab” dengan kata lain undang-undang memberikan kekuasaan
atau kewenangan kepada kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan
tindakan lain yang dianggap perlu.

Universitas Sumatera Utara

61

Pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang mengatur hal yang hampir sama dengan Pasal 16
Ayat (1) huruf l adalah Pasal 18 Ayat (1), dimana pasal ini mengatur tentang
“dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal 18 Ayat (1) undang-undang
kepolisian juga memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada pejabat
kepolisian untuk melakukan sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang
seperti yang terdapat dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 18 Ayat (1)
berbunyi: Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
Pasal 16 Ayat (1) huruf l mengatur tentang “tindakan lain” yang dapat
dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam proses
penyelidikan dan penyidikan, sedangkan dalam Pasal 18 Ayat (1) mengatur
tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri” dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya untuk kepentingan umum. Dengan Pasal 18 Ayat (1)
memberikan kekuasaan atau wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan
Pasal 16 Ayat (1) huruf l. Pasal 18 inilah yang menjadi dasar dari diskresi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian ini ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan” bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan
yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya

Universitas Sumatera Utara

62

dan betul-betul untuk kepentingan umum. Dari perkataan “umtuk kepentingan
umum” ini, seorang anggota polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri
serta dapat diketahui bahwa anggota tersebut memiliki kebebasan untuk menilai
apakah dalam keadaan tertentu ia harus bertindak atau tidak.
Kebebasan dalam pengertian ini tidak berarti bahwa seorang anggota
kepolisian bebas sepenuhnya tanpa suatu batasan dalam bertindak, tetapi dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi kepolisian. Dalam
pelaksanaan Tugas Densus 88 Misalnya, pertimbangan untuk menggunakan
senjata api yang ada padanya harus didasarkan kepada suatu keadaan yang sangat
perlu atau bersifat darurat. Keadaan yang sangat perlu dan darurat dapat diartikan,
bahwa tidak ada lagi tindakan lain yang dapat dilakukan oleh anggota Densus 88
untuk menghadapi situasi atau keadaan yang sedang dialami atau yang harus
diatasinya, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang untuk memberantas
Tindak Pidana terorisme. 73

Kewenangan untuk menggunakan senjata api memang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan dimiliki oleh
setiap aparat penegak hukum (yustisia), tak terkecuali aparat Densus 88. Namun
kewenangan tersebut hanya boleh dilakukan ketika polisi (termasuk aparat Densus
88) berada dalam kondisi genting dan terdesak sebagaimana yang disyaratkan
dalam

aturan

kepala

kepolisian

dan

standard

operasional

prosedure

(SOP).Kemendesakan ini harus menjadi tolak ukur setiap aparat Densus 88.
73

Dikdik M. Arief Mansur, op.cit, Halaman 313-314

Universitas Sumatera Utara

63

Jangan sampai kewenangan khusus yang melekat pada institusi anti-teror ini
digunakan secara semena-mena.

Dalam code of conduct for law enforcement officials 1979, hal melakukan
perbuatan untuk mempertahankan dirinya, khususnya dengan penggunaan senjata
api untuk alasan membela diri telah diatur. Bahkan, code of conduct menguraikan
secara lengkap keadaan-keadaan yang mana penggunaan senjata api dibolehkan,
yaitu:
a. senjata api hanya boleh dipakai dalam keadaan keadaan khusus
b. senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang
lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka berat
c.

untuk mencegah terjadinya kejahatan berat yang melibatkan ancaman
terhadap nyawa; atau

d. untuk menahan atau mencegah larinya seseorang yang membawa,
mengancam

dan

yang

sedang

berupaya

melawan

usaha

untuk

menghentikan ancaman tersebut; dan
e. dalam setiap kasus, hanya jika tindakan-tindakan yang lebih lunak terbukti
tidak memadai
f. penggunaan kekerasan dan sejata api dengan s