Dasar Dasar Ilmu Pemerintahan

BAB I
PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PEMERINTAHAN
Pada hakikatnya pemerintahan merupakan suatu gambaran tentang
bagaimana pada permulaan pemerintahan setelah terbentuk dan bagaimana
pemerintahan itu telah berkembang melalui perkembangan dari 3 tipe masyarakat
yaitu masyarakat setara, masyarakat bertingkat dan masyarakat berlapis.
Perkembangan pemerintahan itu juga ditentukan oleh perkembangan
masyarakatnya yang disebabkan oleh faktor-faktor lain yang melandasinya seperti
pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang dan penjarahan yang
dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang
lain dan telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan pemerintahan
yaitu penguasaan oleh suatu pemerintah atau negara.
Pemerintahan di zaman purba misalnya ditandai oleh banyaknya sistem
pemerintahan dan sistem yang lebih dikenal adalah polis Yunani. Selain polis
Yunani, kerajaan Inka yang berdiri antara tahun 1200-1500 Masehi telah memiliki
sistem pemerintahan yang despotisme yaitu suatu bentuk pemerintahan yang
ditandai oleh kekuasaan sewenang-wenang dan tak terbatas dari pihak penguasa.
Plato dan Aristoteles lah yang memperkenalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang
baik dan buruk dengan alasan pembagian tersebut. Konsep-konsep tentang
pemerintahan yang baik dan buruk menurut Plato dan Aristoteles masih terefleksi
sepanjang sejarah pemerintahan di dunia hingga dewasa ini.

Awal pemerintahan Romawi merupakan suatu wujud dari kombinasi
bentuk pemerintahan baik menurut konsep Plato dan Aristoteles. Pada abad

pertengahan pengaruh agama Kristen masuk ke dalam sistem pemerintahan yang
lebih dikenal dengan teori dua belah pedang.
Di zaman baru sekalipun pemerintahan tidak menjadi jelas setelah
runtuhnya polis Yunani serta konflik antara Paus dan Raja berkepanjangan namun
pada akhir abad pertengahan muncul pemerintahan di zaman baru dengan
pengalaman perjalanan sejarah yang panjang dari masing-masing negara sehingga
lahirlah konsep tentang adanya kemandirian serta kekuatan pemerintahan.
begitupula Machiavelli mengajarkan tentang bagaimana seorang raja harus
mempertahankan serta memperbesar kekuasaan pemerintah sebagai tujuannya
melalui menghalalkan segala cara. Bagi Machhiavelli yang penting dalam politik
pemerintahan negara adalah kekuasaan, dia mengahalalkan segala cara untuk tetap
berkuasa. Jadi yang dianjurkan bukan bagaimana seseorang atau sekelompok
orang dapat merebut kekuasaan dan mempertahankannya (Syafiie, 2010:102).
Machiavelli lebih jauh berpendapat bahwa dalam praktik kekuasaan yang
nayata, tidak ada hubungan antara kekuasaan tersebut dengan etika bernegara,
karena negara itu bagi Machiavelli bersifat sekuler termasuk didalamnya berbagai
perebutan kekuasaan sedangngkan etika berkaitan dengan norma yang berkenaan

dengan peraturan tuhan yang trasedental, yaitu dianggap berorientasi pada dunia
gaib.
Hal serupa kemudian muncul dalam praktik pemerintahan khususnsya
Indonesia, seperti halnya dalam perkembangan politik pemerintahan yang disertai
dengan hadirnya berbagai partai politik hingga era reformasi yang gerakannya
sudah tak terelakkan lagi, pasalnya pro dan kontra antara pejabat politik dengan

pejabat pemerintahan. Lebih konkrit bahwa rangkap jabatan yang dimaksud jelas
memberi efek bagi bangsa dan negara. Bentuk kekuasaan seperti rangkap jabatan
berpeluang

besar untuk menciptakan embrio- embrio yang korup dan

menyimpang dari kekuasaan yang oleh Mifta Toha dalam bukunya yang berjudul
Birokrasi Politik dan Pemilihan Umum Indonesia (2014: 3) menyebutnya sebagai
gajal anomali dalam sistem penyelenggaraan administrasi pemerintahan negara.
Sementara dalam kajian analisis gejala- gejala seperti telah terurai diatas
penulis kemudian menganggapnya bahwa sebenarnya lingkup pemerintahan
ternyata tidak hanya bercerita persoalan pemenuhan dan pelayanan seperti pada
pembahasan berikutnya nanti, namun jauh daripada itu masalah dan gejala

pemerintahan juga bercerita tentang kekuasaan. Lebih jelanya akan diauraikan
pada pembahasan berikut
A. MUNCULNYA MASALAH DAN GEJALA PEMERINTAHAN
Dari sudut pandang (focus of interest), munculnya masalah dan gejala
pemerintahan tentunya tidak terlepas dari kondisi sosial dimana pemerintahan
sebagai suatu gejala sosial telah muncul sejak lahirnya manusia di muka bumi,
telah dikenal dalam tatanan keluarga atau rumah tangga antara orang tua dan
anaknya, dimana adanya kepala keluarga yang mempunyai beban moril terhadap
istri dan anaknya baik menyangkut kebutuhan primer, sekunder begitupula dalam
merencanakan masa depan mereka. Dalam sebuah keluarga yang anaknya tidak
atau kurang afeksi dari seorang kepala keluarga maka pertumbuhan,
perkembangan dan kedewasaan si anak tersebut serba kekurangan. Ibaratnya
kepala keluarga adalah kemudi kapal yang mengarungi samudera dimana kapal

diarahkan oleh sang nahkoda maka disitulah penelusuran yang dilalui untuk
sampai ke tujuan yang dikehendakinya.
Asumsi tersebut mengantar penulis untuk menyedot sejauh mana multitafsir
dari asal kata pemerintahan. Misalnya dalam metodologi ilmu pemerintahan oleh
Taliziduhu Ndraha menganggap bahwa lambang pemerintahan itu berbentuk
kemudi kapal.

“Dalam bahasa Inggris, pemerintahan disebut government (latin gubernare,
greek Kybernan, artinya to steer, mengemudikan dan mengendalikan,
sehingga semula lambang pemerintahan itu berbentuk kemudi kapal”
(Talisiduhu Ndraha, 2010: 7).
Namun tidak jarang muncul pertanyaan misalnya adakah kemungkinan kapal
tersebut selalu sampai pada arah dan tujuan yang dikehendakinya?. Jawabannya
ialah tentu saja bergatung dari nurani, moral dan kesanggupan atas amanah yang
dijalankan. Maka seperti itupula bentuk perumpamaan sederhana guna mengenal
lebih dalam tentang pemerintahan.
Dilain hal, Armansyah salah seorang aktivis

NGO (Non Governmental

Organizaton) dalam materinya di acara pendidikan politik pembebasan pada
Tanggal 17 Agustus 2015 yang bertempat di Baruga Adat Pemuda Turungan Baji
Kab. Sinjai menyampaikan bahwa mustahil sebuah tujuan sejati akan tercapai
manakala tujuan antara sebagai proses di abaikan begitu saja.
“Ada dua kecenderungan yang kerap muncul sebagai paradigma seorang
pimpinan dalam mengendalikan organisasi atau lembaganya yang pertama
Memprogramkan sesuatu yang abstrak untuk mencapai tujuan sejati dan

kedua paradigma yang memprogramkan sesuatu yang konkrit namun jelas
input- proses- output serta outcomenya”

Artinya dapat dipahami bahwa kebutuhan seorang manusia menjadi objek
vital bagi pemerintah untuk mengakomodir tujuan yang lebih konkrit dimana
tujuan berpemerintahan tepat sasaran.
Sementara dalam pandangan kybernology bahwa manusia senantiasa
mempunyai indikator kebutuhan. Indikator tersebut menyangkut jasa publik dan
layanan civil dalam hubungan pemerintahan. Kybernologi sebagai platform dalam
mengkaji gejala pemerinatahan relasinya senantiasa berkaitan dengan sosiologi,
dalam mana suatu gejala dipelajari bersama oleh sosiologi dan kybernologi
begitupula dengan masalah pemerintahan dipelajari oleh sosiologi. Mencermati
definisi Rose, lihat Taliziduhu Ndraha (Kyernologi: 364) sosiologi kemudian
memusatkan perhatiannya pada proses sosial yang spesifik termasuk menyangkut
bentuk, kekuatan yang menggerakkannya dan dampaknya terhadap kehidupan
manusia. Sehingga dapat dipahami bahwa gejala sejenis itu disebut pula sebagai
gejala sosiologikal yang terorganisir artinya artinya memiliki legalitas formal dan
struktur kelembagaan yang sistematis.
Dalam daripada itu, gejala dan peristiwa pemerintahan dalam paradigma
psikologi merupakan commom platform melalui objek material antara pemerintah

dan yang diperintah dengan hubungan pemerintahan dengan lingkungan
pemerintahan (lihat, Taliziduhu Ndraha, Kybernolog 2, hal: 456-459). Peristiwa
pemerintahan terjadi di dalam hubungan pemerintahan. Oleh karena itu baik
pemerintah maupun yang diperintah bersama- sama atau sendiri- sendiri,
mempengaruhi hubungan tersebut secara psikologikal, fisiologikal, dan sosial.
Dari aspek pemerintahan, pihak yang pemerintah disebabkan oleh beberapa

faktor, misalnya wewenang, hak, kepentingan, kompetensi, hukum dan
sebagainya. Sementara dari pihak yang diperintah faktor psikologikal itu misalnya
ketidakberdayaan, kekecewaan, HAM, kebutuhan, budaya, dan lain hal. Dengan
demikian

dapat

dikonstruk

paradigma

psikologi


pemerintahan

menurut

pendekatan lintas disiplin, sebagai berikut:
Psikologi

1. Faktor psikologikal
pemerintah: kewenangan, hak,
kompetensi, kepentingan,
kesempatan, hukum, dsb.
2. Faktor psikologikal pihak yang
diperintah: ketidakberyaan ,
kekecewaan, budaya, HAM,
kebutuhan, dsb.

Ilmu pemerintahan

1. Proses (input, throughput,
output, outcome, evaluasi,

feedback)
2. Struktur
3. Lingkungan
4. tekhnologi

Paradigma Psikologi Pemerintahan (Taliziduhu Ndraha, 2002: 457)
Secara detail Ndraha menjabarkan bahwa empat kekuatan di pihak
pemerintahan berhadapan dengan drivers dari pihak lingkungan kejiwaan
manusia, sementara pelaku pemerintahan selaku alat organisasional
berhadapan dengan dirinya sendiri (pelaku pemerintahan) sebagai SDM
yang berkepentingan. Kepentingan SDM bisa berbeda atau konflik dengan
kepentingan organisasi. Sebagai fokus bahwa yang dimaksud dengan
pelaku pemerintahan adalah pemerintah dalam hubungan pemrintahan,
yang terkontaminasi terus- menerus antara pemerintah dengan yang
diperintah, baik dalam hubungan interaksional yang memiliki posisi dan
kekuatan tawar- menawar antara pemerintah dengan yang diperintah guna

mencapai

kesepakatan


maupun

dalam

hubungannya

secara

transformasional.
Sejalan dengan paradigma tersebut Taliziduhu Ndraha menambahakan
dalam bukunya Metodologi Ilmu Pemerintahan mengemukakan bahwa:
“Gejala sosial terjadi didalam hubungan antar anggota masyarakat,
baik individu dengan individu, kelompok dengan kelompok
maupun antar individu dengan kelompok. Gejala ini terdapat pada
suatu saat didalam sebuah masyarakat” (Ndraha, 2010: 6).
Gejala pemerintahan sebagai gejala sosial khusus (spesific) juga berawal
dari definisi pemerintahan dan ilmu pemerintahan yang sekali lagi mengemukakan
bahwa pemerintahan adalah proses pemenuhan (penyediaan) kebutuhan pihak
yang diperintah akan jasa publik yang tidak diprivatisasikan dan layanan civil

kepada setiap orang pada saat diperlukan. Sehingga pemerintahan selalu
menyangkut dua belah pihak, pertama pemerintah dengan kekuasaannya dan
kedua yang diperintah dengan tuntutannya. Lembaga yang didesigh khusus dan
berkewajiban memenuhi kebutuhan yang dimaksud disebut pemerintah.
Para filosof sebelum abad masehi seperi Socrates, Plato dan Aristoteles
telah mencoba berpikir dan memformulasikan gejala- gejala pemerintahan itu
secara lebih sistematis, universal dan radikal.
Misalnya Aristoteles dalam Inu Kencana Syafiie (Etika Pemerintahan,
ed_2010; 99), mendukung adanya sebagian masyarakat yang dianggap budak
karena sejalan dengan garis hukum alam, bahkan beliau pun menjustise, adanya
perbedaan gender antara kaum laki-laki dengan perempuan. Menurutnya
perbedaan tersebut dipengaruhi oleh budaya yang berkembang kala itu.
Radikalismenya bahkan nampak kearah sekuler yang berusaha memisahkan
perenungan kerohanian yang trasedental dengan kehidupan keduniawian. Dengan

analogi ketuhannya ia menganggap bahwa Tuhan muncul karena kadar intelektual
manusia belaka, bila alam semesta bermula dari Tuhan maka awalnya juga dapat
diusut dengan mengetahui tuhan itu sendiri.
Dengan kajian teologi seperti yang telah Aristotelas kemukakan itu, lalu
disandingkan dengan masalah dan gejala pemerintahan maka paradigma

pemerintahan secara rasional sifatnya normatif dan formal yang aktualisasinya
menitik beratkan pada legitimate powernya yang transparan dan akuntabel.
Berangkat dari uraian tersebut menurut hemat penulis bahwa kultul yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat tentunya menjadi suatu peristiwa yang
menarik dan memerlukan perhatian baik oleh kaum akademisi maupun perilaku
para penguasa, karena dalam perkembangannya emansipasi terhadap warga
negara adalah suatu keharusan untuk mencari formulasi kebijakan guna
meminimalisir peristiwa- peristiwa semacam itu. Sehingga masalah pemerintahan
muncul sebagai akibat dari praktek pemerintahan yang merupkan peristiwa dari
pemerintahan.
Uraian di atas pun diperkuat oleh pandangan S. Pamudji (1987:23),
menurutnya bahwa pemerintahan secara etimologi berasal dari kata pemerintah,
sementara pemerintah berasal dari kata perintah. Dengan indikator uraian bahwa:
1. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan
sesuatu perbuatan.
2. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (Daerah
Negara) atau badan tertinggi yang memerintah suatu dalam suatu
negara, misalnya kabinet yang merupakan suatu pemerintah.
3. Pemerintahan adalah perbuatan dalam artian bahwa cara, hal urusan
dan sebagainya untuk memerintah.

Demikian pula Bayu Suryaningrat (1981: 1) menegaskan bahwa disipin ilmu
tertua adalah ilmu pemerintahan karena dipelajari sejak sebelum masehi oleh para
filsuf yaitu Plato dan Aristoteles.
B. PEMERINTAHAN SEBAGAI KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA
Manusia secara universal mempunyai karakteristik dan nilai- nilai/ values
yang berbeda- beda, sebagai bentuk keberagaman misalnya mulai dari ras, warna
kulit, kultur dan keyakinan merupakan aspek tepenting dalam menganalisa sejauh
mana peranan pemerintahan sebagai salah satu indikator kebutuhan manusia.
Sebagai langkah untuk mendalami paradigma itu maka urgensi tugas dan
Aristoteles hidup antara tahun 322-384 SM (Kelahiran Nabi Isa A.S). Dalam suatu sistem
pemerintahan Aristoteles mendukung adanya segelintir masyarakat yang dianggap sebagai budak
belian karena dianggap sejalan dengan garis hukum alam, dan dia bahkan percaya kerendahan
martabat wanita dibandingkan kaum laki- laki, ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya yang
berlaku kala itu. Kemiskinan adalah bapakanya revolusi, atau dia mengatakan bahwa barang siapa
sudah merenungi arti memerintah sesama manusia pasti yakin bahwa nasib suatu imperium
tergantung pada pendidikan dari generasi penerusnya.

fungsi pokok pemerintah menjadi telah lebih lanjut. Berdasarkan literature
maupun fakta di lapangan, maka penulis mencoba menguraikan lebih sederhana
tugas dan fungsi pokok pemerintah sebagai berikut:
1.

Tugas Pemerintah
a. Mengadirkan kesejahteraan bagi masyarakat (Public Welfare
b. Melindungi dan mengayomi masyarakat
c. Mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat
d. Pengendalian atas keseluruhan tindakan warga
e. Mengatur kehidupan bersama warga agar tercipta keteraturan

2.

Fungsi Pokok Pemerintah

a.

Pengaturan/ regulation, adalah pemerintah melakukan perumusan
dan implementasi kebijakan, misalnya peraturan perundangundangan, agar tercipta keteraturan dalam masyarakat.

b.

Pembangunan/ development, adah pemerintah memiliki fungsi
perencanaan dan implementasi program pembangunan. Hal ini
dimaksud agar tercipta suatu kondisi masyarakat yang sejahtera.

c.

Pemberdayaan/ empowerment, adalah pemerintah merencanakan dan
melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarkat. Hal ini dimaksud
agar tercipta suatu kondisi masyarakat yang mandiri.

d.

Pelayanan/

services,

adalah

pemerintah

merencanakan

dan

melaksanakan pelayanan kepada masyarakat/ public service.
Relasi pemerintah dengan manusia terjabarkan melalui uraian tugas dan
fungsi pemerintah dengan relasinya dengan manusia yang mempunyai kebutuhan,
sebagaimana skema berikut:
NEGARA

PEMERINTAH
Horizontal
TUGAS & FUNGSI

KEBUTUHAN
Vertikal

MANUSIA
Skema Relasi Pemerintah dan Manusia

Ilustrasi yang penulis gunakan diatas jelas mempertajam pisau analisa
pembaca untuk menarik benang merah bahwa pemerintahan bukanlah sematamata unsur negara sebagaiman yang akan di jabarkan di bab pembahasan
selanjutnya tetapi pemerintahan adalah kebutuhan urgen bagi manusia selaku
masyarakat atau warga negara, baik dalam hubungannya secara vertikal misalnya
kepengurusan akte kelahiran (AK), kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga
(KK), maupun dalam hubungannya secara horisontal, sebagiamana tugas dan
fungsi pemerintah yang telah diuraikan sebelumnya.
Dilain sisi dengan perspektif kenegaraan, syarat berdirinya suatu negara
salah satunya adalah adanya penduduk. Rasionalitas inilah kemudian memperjelas
bahwa eksitensialis manusia secara umum merupakan penduduk disetiap negara
yang tidak hanya memerlukan pengakuan tetapi dalam dari pada itu setiap orang
salaku penduduk dan warga negara mempunya mutualisme dalam pengemabngan
dirinya. Misalnya pendidikan, pekerjaan , kesehatan, keamanan dan sebagainya.
Sehingga kontrol dan peran pemerintah selaku kemudi dalam kehidupan
bernegara begitu penting, baik ditingkat pusat, regional maupun lokal.
Memberi ruang kepada pemerintah untuk menerapkan kewajibannya jelas
tidak ambiguistik karena secara yuridis telah termaktub dalam beberepa item
konstitusi negara.(lihat UUD 1945 Amandemen Ke-4 yang telah disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2002, Pasal 27, 28- 29).
C. MUNCULNYA PEMERINTAHAN SEBAGAI ILMU DAN SENI
Merujuk pada induk ilmu yaitu filsafat maka orientasi pengembangan ilmu
tidak terlepas dari ide dan teori terhadap fakta maupun fenomena yang ada.

Konstruk idealisme ilmuan memberi sumbangsih terhadap pengembangan dan
cabang ilmu begitu pula dengan teori yang nota benenya merupakan konstruk atau
UUD 1945 Bab X Warga Negara Dan Penduduk. Pasal 27, ayat (1). Segala warga negara
bersamaan dengan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, (2). Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, (3). Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara. Bab XA Hak Asasi Manusia. Pasal 28A: Setiap orang berhak
untk hidup dan berumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengn undang- undang. Pasal 28C, ayat (1). Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidunya dan demi kesejahteraan umat manusia, (2). Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya. Pasal 28D, Ayat (1). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yag adil serta serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, (2). Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja, (3). Setiap warga negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan,
(4). Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28I, ayat (3). Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, (4)
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah. Bab XI Agama, pasal 29 ayat (1). Negara berdasar atas Ketuhanan
yang Maha Esa

konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis
tentang fenomena dengan merinci hubungan- hubungan antar variabel yang
bertujuan menjelaskan dan memprediksi suatu gejala sebagaiman halnya dengan
munculnya masalah dan gejala pemerintahan.
Sejalan dengan paradigma itu, Muh Nasir (1988) pun mengemukakan bahwa
teori adalah alat dari ilmu (tool of science),sebagai formulasi fakta-fakta.
Berdasarkan analisa yang sebelumnya telah diuraikan esensi antara
pemerintah dengan manusia dalam relasinya secara vertikal dan horizontal. Maka
penulis kemudian mencoba mengembangkan uraian tersebut dengan kaitannya
antara teori dan fakta dengan perspektif induktif dan deduktif sehingga
melahirkan suatu ilmu. Karena secara realistis dan rasional praktik pemerintahan
selaku suprastruktur politik dalam mengelola dan mengontrol keberlangsungan
negara mengacu pada hak dan kewajibannya. Misalanya dalam proses

pengambilan keputusan (decision marking), kelihaian dan kepiawaian pemerintah
untuk memutuskan sesuatu perlu memperhatikan berbagai aspirasi dari bawah
dalam hal ini adalah masyarakat. Legitimate Power pemerintah sebelum
mengambil keputusan adalah keliru ketika tidak menggunakan rasionya. Sehingga
hal mendasar dapat dilakukan adalah aspiarasi dari bawah itu kemudian diperoleh
fakta- fakta dan selanjutnya di observasi agar mempermudah adanya ramalan dan
penjelasan terhadap situasi dan kondisi yang ada. Sehingga posisi pemerintah
sebagai legitimate power dapat melakukan decision marking yang super natural.
Asumsi ini sebagai ilustrasi dalam

konseptualisasi teori sebagi cikal bakal

lahirnya pemerintahan sebagai suatu disiplin ilmu, sebagaimana skema berikut:
Teori Pemerintahan

Induktif

Deduktif

1. Fakta
2. Observasi

1. Ramalan
2. Penjelasan

Pemerintahan Sebagai Ilmu
Skema konseptualisasi teori pemerintahan sebagai ilmu
Secara parsial dari skema diatas berkorelasi dengan paradigma kita bahwa
ilmu adalah seperangkat pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis,
mempunyai objek/ sasaran tertentu yang menjadi pokok pembahasan, adanya
pusat perhatian tertentu sebagai sudut pandang (focus of interets) dalam
membahas objeknya, menggunakan metode- metode ilmiah tertentu, memiliki

kebenaran (vehicle) yang objektif dan dan mempunyai tujuan tertentu. Demikian
halnya dengan munculnya pemerintahan sebagai ilmu. Sementara dalam konteks
pengetahuan, pemahaman penulis bahwa segala sesuatu yang kita ketahui
berdasarkan penangkapan panca indra baik melalui tangan, mulut, hidung, telinga
terlebih lagi dengan melalui mata.
Kendati pun, objektifitas disiplin ilmu utamanya pemerintahan lebih
rasional lagi manakala teori dan fakta dapat dijabarkan berdasarkan teori relasi,
seperti berikut:
Melamalakan
Memperkecil jangkauan
Memformulasikan fakta
Memperjelas jangkauan pengetahuan

FAKTA

TEORI

Sumber lahirnya
Menolak
Merubah orientasi
Mendefinisikan kembali
Memberi jalan mengubah
Skema Relasi Teori dan Fakta Pemerintahan.........
Dari ke- 2 (dua) penjabaran skema diatas baik dalam perspektif ilmu dan
pengetahuan maupun dalam perspektif fakta dan teori berdasarkan realasi dan
realitasnya, maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa munculnya
pemerintahan sebagai ilmu karena tersusun secara sistematis dan terdiri dari

konsep- konsep, dimana konsep yang satu dengan lainnya saling berkaitan.
Konsep- konsep yang diambil dari lapangan empirik ini telah tersusun, oleh
karena itu munculnya pemerintahan sebagai ilmu disebabkan karena adanya
sistematika sendiri. Walaupun pada dasarnya umurnya masih cukup muda
dibanding dengan ilmu- ilmu lainnya, misalnya hukum, politik dan administarsi
tetapi dalam perkembangannya ilmu pemerintahan sebagai ilmu perbendaharaan
dapat lebih meyakinkan sebagaimana telah di kemukakan sebelumnya.
Pemerintahan Sebagai Ilmu
Ilmu pemerintahan berciri modern pertama kali lahir di Prusia dan Austria
pada abad ke-18. Pada masa itu ilmu pemerintahan dikenal dengan nama
Kameralwissenchaften, dengan landasan pemikiran bahwa pada masa itu
diperlukan sekelompok ilmu yang dipandang berkaitan dengan fungsi pejabat
pemerintah. Pada masa pemerintahan Frederik Willem I (1713-1740), mata kuliah
Kameralistik diajarkan di Universitas Frandfurk dan Universitas Hale. Mata
kuliah tersebut terdiri dari subjek- subjek yang dipandang esensial bagi
pengelolaan secara efisien suatu negara yang diperintah secara sentralistis,
berbudaya paternalistis dan menganut mahzab ekonomi merkentalisme. Terutama
meliputi apa yang sekarang ini berkembang menjadi public finance, termasuk
administrasi penerimaan dan pembelanjaan negara, ilmu kepolisian, statistic,
stelsel perpajakan, struktur birokrasi dan ketatausahaannya, juga ilmu ekonomi
dengan penekanan khusus di bidang pertanian. Hal ini tentunya dilihat dengan
mempergunakan ukuran- ukuran keilmuan modern, maka kameralistik itu baik

secara empiris maupun metodologis belum memenuhi persyaratan- persyaratan
yang diperlukan.
Numun kameralistik sebagai suatu sistem pemikiran dan sebagai suatu
metode untuk mendidik mereka yang ingin bekerja di lingkungan birokrasi maka
secara berangsur- angsur dan hampir sepenuhnya digantikan oleh studi di bidang
hukum pada abab ke-18 dan awal abad ke -19, di Jerman dan Austria, pergeseran
dari kameralistik ke cara pendekatan hukum itu berlangsung demikian cepat dan
sempurna, sehingga kameralistik dipandang tidak perlu lagi diajarkan di
universitas- universitas.
Menurut Carl Fredrich bahwa faktor penyebab bergesernya studi
kameralistik pada studi hukum karena perkembangan spirit pemerintahan negara
kala itu, negara berdasakan konstitusionalisme dan legalisme yang mengatur
hubungan- hubungan antara penguasa dengan rakyat dan melindungi kebebasan
dan hak milik individu- individu. Termasuk pertama : gerakan kodifikasi hukum,
mula- mula di Austria, kemudian di Jerman dan dan selanjutnya di sebagian besar
eropa pada waktu napoleom berkuasa; kedua, tumbuhnya lembaga- lembaga
peradilan administrasi; serta selera pribadi dari para raja yang ingin mengambil
hati dari rakyatnya (Carl Fredrick, 1993).
Sebagai akibat dari perubahan tersebut, maka sebagian besar dari isi
program pendidikan bagi mereka yang dipersiapkan untuk menduduki jabatanjabatan tinggi pemerintahan itu lalu terdiri dari aneka studi tentang hukum,
sehingga orientasinya tidak lagi tertuju kepada pengelolaan secara efisien dari
“estate” milik raja, melainkan tertuju kepada perepan hukum secara tepat dan

benar, khususnya yang mengtur hubungan dengan antara penguasa dengan rakyat.
Sampai pada pertengahan abad ke – 20, banyak negara di eropa daratan yang
sebagian besar pejabat tingginya terdiri dari ahli-ahli ilmu hukum yang nota
benenya memiliki bahan- bahan dari statistik mempunyai nilai besar dan dapat ia
andalkan.
Dengan demikan maka semenjak bagian terakhir dari abad ke-18,
kameralisme tidak lagi berkembang di Eropa. Merosotlah kameralistik seraya
memberikan perkembangan hukum pemerintah.
Hampir di seluruh daratan Eropa Barat perkembangan studi negara dan
ajaran negara menjadi abad ke-19 dan pada abad ke-20 menambahkan nama studi
hukum administrasi. Pada bidang ilmu pemerintahan Burke dan Benthan
menganjurkan perlu diadakan perbaikan terhadap kelalaian dari dinas pemerintah,
kelebihan staf, inaktif dan inkompeten.
Di Amerika Serikat ilmu pemerintahan berkembang sebagai suatu bidang
otonom yang dipelopori oleh Profesor Wodroow Wilson (kemudian menjadi
Presiden Amerika Serikat). Ia menganjurkan adanya studi khusus tentang
masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang
berhasilguna dan berdayaguna. Sementara ilmu yang mempengaruhi prograsitas
Ilmu pemerintahan yaitu ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi, psikologi,
psikologi-sosial, antropologi, ekonomi, politikologi dan ditandai dengan
penanganan antar disiplin, dengan pendayagunaan dari teori-teori, istilah-istilah
serta metode-metode dari semua ilmu tadi, selain dipercaya dengan filsafat juga di

ilhami dengan lahirnya teori pemerintahan liberal dari John Locke pada tahun
1690 yaitu ajaran tentang pemerintahan demokrasi modern.
John Locke memandang kekuasaan legislatif sebagai yang tertinggi dan
eksekutif berada di bawahnya.
“Kekuasaan pemerintahan mesti dibatasi oleh kewajiban menunjang hakhak azasi manusia antara lain: hak atas keselamatan pribadi, hak
kemerdekaan dan hak milik.”
Sebaliknya di Amerika Serikat kurang lebih 100 tahun kemudian, tumbuh
ilmu yang sejenis dengan kameralisme tersebut. Ilmu ini di rintis oleh orangorang yang pernah belajar di Jerman dan terkesan hasil- hasil kameralisme pada
masa lalu. Berbeda halnya dengan di Erope, maka demokratisasi Amerika Serikat
sudah tidak lagi menjadi permasalahan pelaksanaannya bahkan dipandang sudah
berlebihan, sehingga menimbulkan dampak negativ yang berupa inefisiensi
dilingkungan

birokrasi.

Rekrutmen

untuk

kantor-

kantor

pemerintah

mempergunakan system spoil, dengan mekanisme rotation of office yang
dilakukan segera setelah sesuatu partai menang dalam pemilihan umum. Sistem
ini telah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun, yaitu semenjak Andrew Jackson
terpilih sebagai presiden Amerika Serikat pada tahun 1828. Yang menjadi
landasan pemikiran adalah filsafat egalitarian, yang dijabarkan menjadi sistem
pemerintahan oleh rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan hasil pemilihan umum
yang bebas. Dibentuklah kemudian administrasi pemerintah oleh orang- orang
yang merupakan wakil- wakil rakyat. Sistem ini kemudian dipandang akan
membuka kehidupan publik bagi rakyat biasa, yang sampai pada tingkatan
tertentu selalu dikecualikan dari organisasi pemerintahan, disebabkan karena

masih berlakunya norma- norma yang aristokratis. Para pendukung spoils System
bisanya mengacu kembali kepada pidato tahunan presiden Andrew Jackson
dimuka kongres pada tahun 1829, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Hanya dengan sistem rotasi pada kantor- kantor pemerintah sesuai dengan
hasil-hasil pemilihan umum, maka kita dapat mengamankan negara dari
bahaya dimana pegawai- pegawai pemerintah mempunyai kebiasaan
melihat secara acuh taka acuh terhadap kepentingan rakyat serta mentolerir
perbuatan- perbuatan yang dapat menguntungkan diri mereka. Saya tidak
dapat berpendirian lain kecuali percaya, bahwa lebih banyak yang hilang
di sebabkan oleh berlama- lamanya seseorang di dalam jabatan publik
dibandingkan dengan apa yang diperoleh dari pengalaman mereka pada
umumnya. Tugas- tugas dari semua pegawai pemerintah itu adalah
sedimikian lugas dari sederhananya, sehingga setiap orang yang
mempunyai intelegensi akan segera mempuanyai kemampuan untuk
melaksanakannya” (leonard D. White, 1954)
Spoil system tersebut ternyata kemudian menimbulkan berbagai akses.
Terutama banyak sekali orang yang sesungguhnya tidak mempunyai kecakapan,
namun diangkat menduduki jabatan- jabatan penting. Oleh sebab itu, secara
berangsur- angsur timbul reaksi dari para guru besar, penulis, pendeta, editor surat
kabar, bahkan dari politisi itu sendiri. Mereka menghendaki informasi para
pendukung system spoil tentu saja bertahan sekuat- kuatnya. Namun praktek spoil
sistem menimbulkan amarah bagi rakyat kemudian memuncak setelah
terbunuhnya Presiden Garfield pada tahun 1883 yang membuka akses penyusunan
Undang- Undang Pendleton (Pendleton Act). Ditahun yang sama juga merupakan
awal pemberlakuan merit sistem dalam merekrut para jabatan pemerintahan,
(Leonard D.White, 1958).
Penekanan utama dari undang- undang pandleton itu, sebagaimana yang
diantara lain dikemukakan konsiderannya, adalah : System merit itu merupakan
langkah kearah moral reform. Reform kepegawaian dengan demikian di pandang

bukanlah sekedar seleksi dan ujian- ujian bagi calon pegawai, namun terutama
merupakan koreksi terhadap korupsi didalam kehidupan politik. Oleh seorang
pendukung, undang- undang tersebut, sytem rotasi jabatan dikatakan telah
menyalahgunakan kepercayaan rakyat denga menggatikannya menjadi party spoil
yang menghacurkan kehormatan diri dari pada pegawai, menghacurkan pula
berfungsinya partai sebagai sarana demokrasi, melacurkan pemilu sehingga
menjadi perjuangan yang serakah bagi keuntungan pribadi, dan menegradasi waak
nasional dengan cara merendahkan standar dan suasana moral negara. (Leonard
D. White, 1958)
Namun mereka yang ingin mempertahankan sytem spoil tidak pula kurang
alasannya. Seorang pendukung system spoil yang bernama Williams Martin
Dicson, pada tahun 1882 mengemukakan sebagai berikut: dengan sistem ratasi
yang masuk akal, maka setiap warga negara yang mempunyai aspirasi politik dn
berpengalaman, serta yang sudah mencapai usia pertengahan, akan dapat berharap
untuk meningkatkan harkat keluarganya dengan kehormatan yang diberikan oleh
pemerintah dalam bentuk menduduki jabatan. Prospek ini merupakn motif bekerja
baik. Ini merupkan kehormatan peerge yang diberikan oleh republik, tidak kapada
suatu kelas yang khusus, akan tetapi kepada setiap warga yang mengabdi
kepadanya, (Leonard D. White, 1954)
Mereka selanjutnya mengemukakan jika system Merit benar- benar
dilaksankan, maka jabatan- jabatan pemerintah akan dikuasai dan hanya menjadi
milik sekelompok warga tertentu. Alasan tentang terjadinya korupasi sebagai
akaibat system Spoil tidaklah tepat. Oleh karena korupsi itu pada umumnya hanya

merupakan akses. Dengan demikian jika benar terdapat penyalahgunaan dalam
pelaksanaan rotasi jabatan, maka korekasinya tidaklah harus dengan penghapusan
system

rotasi

itu

sendiri.

Sebab

pergantian

pejabat-

pejabat

setelah

diselenggarakan pemilihan umum, bagaimanapun juga merupakan satu- satunya
system personalia yang sesuai dengan demorasi.
Apabila korupsi itu bersifat ineherent, dalam rotation in office, maka
demokrasi itu tentunya juga korup, padahal rakyat amerika sudah sepakat
menerima demokrasi itu sebagai nilai tertinggi yang melandasi kehidupan
kenegaraannya. Orang- orang yang menerima system Merit dengan demikian
adalah anti demokrasi, merupakan orang- orang yang berusaha menggoyahkan
sendi atheis yang paling dari negara dan masyarakat Amerika.
Dalam perdebatan yang seru tersebut, dimana mereka yang menginginkan
dilaksanakannya system Merit berhasil dipojokkan dengan tuduhan orang- orang
yang anti demokrasi, beruntung ada salah seorang dewa penolong yang bernama
Woodrow Willson, seorang maha guru dalam ilmu politik dengan argumenargumen ilmiahnya, Woodrow Willson berhasil mempertahankan pandangan,
bahwa reformasi kepegawaian denga menerapakan sytem Merit adalh tetap sesuai
dengan demokrasi sebagai nilai kebajikan sosial tertinggi di Amerika Serikat.
Woodrow

Willson

membedakan

antara

politic

dengan

administration.demokrasi sebagai sistem politik adalah masuk lingkup politik,
berkaitan dengan politik dan tidak berkaitan dengan administrasi.
Adminstrasi adalah ilmu, yang prinsip- prinsipnya dapat diajarkan dan
diterapkan pada setiap rezim, baik rezim yang demokratis maupun rezim- rezim

yang lain. Kemudian administrasi juga merupakan science, profession, tekhnik,
yang secara politics adalah netral. Dalam hal ini, upaya untuk membebaskan
pagawai- pegawai pemerintah dari politik, dengan demikian bukan sikap anti
demokrasi.
Pandangan Willson ini dikemukakan pada waktu yang tepat ketika
munculnya gerakan yang dinamakan Scientific Management Movement bersamaan
dengan dikembangkannya ajaran Karl Max tentang The Ideal Type Bureaucracy.
Di organisasi- organisasi pemerintah, menurut Willson sudah perlu dilaksanakan
cara pendekatan bisnis dalam hal pengelolaannya Business- like sppoarch to
government. Sebab memang terdapat prinsip- prinsip yang bersamaan pada setiap
ornaisasi, sehingga organisasi- organisasi pemerintah pun harus dikelola secara
ekonomis dan efisien dalam rangka mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan
oleh the administrative political superiors, yang dipilih oleh rakyat. (Leonard D.
White, 1958)
Samapai tahun 1930- 1940an, dikotomi politik administrasi dari Willson
ini merupakan doktrin dikalangan negara- negara demokrasi yang melaksanakan
System Merit. Pemahamannya tentang administrasi sebagai suatu science, yang
bebas dari politik dan tidak tergantung kepada variabel- variabel kultural dan oleh
karena itu dapat diajarkan sebagaimana ilmu- ilmu lainnya, telah melahirkan
sejenis kameralistik versi Amerika, yaitu ilmu administrasi negara public
administration.
Karena administrasi itu, menurut Willson, tidak tergantung kepada
variabel- variabel cultural, maka orang tidak perlu takut mengimpor system

administrasi yang diciptakan dan dikembangakan pada sistem budaya yang
berbeda. Oleh karena itu, kita dapat memanfaatkan administrasitive skills dari
kerajaan Prusia dengan tidak harus mengalami sejarah politik Prusia.
Ketakutan terhadap Officialism yang bersifat domineeringi dan illiberal,
menurut pendapatnya juga tidak beralasan selama para pegawai itu mempunyai
pendidikan yang cukup dan benar- benar memahami aspirasi- aspirasi dari
masyarakatnya. Dengan memenuhi persyaratan tersebut, maka administrasi
pemerintah di Amerika Serikat pada setiap seginya pastilah sensitifterhadap
kepentingan rakyat dan terhadap public opinion.
Jadi perlu korp pegawai yang terdidik dan terlatih, berperilaku baik,
menghayati demokrasi sebagai, nilai sosial tertinggi di Amerika Serikat,
mempunyai kehormatan diri, sehingga mereka akan selalu tanggap terhadap
kepentingan rakyat dan mampu memecahkan permasalahan- permasalahan
rakayat itu secara profesional.
Dalam hubungannya dengan administrasi yang bebas dari nilai- nilai
kultural itu memang ada pendapat dari Woodrow Willson yang bersifat mendua,
karena ia juga mengemukakan sebagai berikut: sebelum kita melaksanakan sistem
administrasi yang kita impor dari luar maka terlebih dahulu kita harus mengAmerika-kannya, baik dalam pikiran, prinsip-prinsip maupaun dalam tujuan. Kita
harus terlebih dahulu memahai dan menghayati konstitusi kita. Juga kita harus
selalu waspada akan penyakit birokrasi yang sewaktu waktu dapat menghinggapi
kita. Hal ini hanya mungkin, jika kita dapat selalu bersyukur dan merasa bahagia
karena dapat menghirup sebanyak- banyakanya udara Amerika yang bebas.

Sementara itu di Inggris pada sekitar tahun 1700 berdirilah pemerintahan
monarki parlementer di mana kedaulatan negara berada di tangan perwakilan
rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Revolusi Amerika pada
tahun 1776 dan Revolusi Perancis pada tahun 1789 mempercepat proses
demokratisasi dan pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia.Terhadap itu semua
muncul lagi reaksi konservatisme terutama dari Burke dan Hegel.
Birokrasi lahir di istana raja dan merupakan perwujudan dari orang-orang
kepercayaan yang memerintah bersama raja yang diberikan pembagian tugas satu
sama lain didasarkan pada selera pribadi dan tradisi.
Sehingga pada awal abab 19 di Eropa terdapat kecenderungan untuk
menghidupkan kembali pendekatan kameralistik bagi mereka yang dipersiapkan
untuk menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan. Atas dasar itu, dibutuhkan
sehimpunan ilmu tertentu untuk mengelola penyelenggaraan pemerinatahan
negara secara efisien dan efektif.
Sementara di Indonesia sendiri pemerintahan berawal dari pembentukan
pemerintahan swasta pada tahun 1602 oleh Belanda yang bernama VOC terutama
di pulau Jawa lebih dikenal dengan Kompeni. VOC kemudian runtuh pada tahun
1795 dan didirikanlah pemerintahan Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal
yang pertama adalah Deandels.
Sejarah modern ilmu pemerintahan dan politik berawal dalam abad ke-19.
Pemerintahan negara berkembang menjadi suatu pemerintahan yang memberikan
pelayanan dan pemeliharaan terhadap para warganya. Pemerintah lebih banyak
mengurusi kesejahteraan dan penghidupan, pendidikan dan perawatan kesehatan

serta kesempatan kerja dan tunjangan sosial atau jaminan hidup bagi warga yang
menganggur.
Perkembangan pemerintahan secara berawal mulai dari tahap prasejarah
hingga tahun 1993, Ilmu pemerintahan telah menjadi ilmu yang multi disiplin dan
mono disiplin dengan penekanan pada umum, organisasi dan pengambilan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan serta prinsip swastanisasi dalam
pemerintahan.
Pada tahun 1903, pemerintahan kerajaan Belanda menerapkan kebijakan
Decentralizatie Wett yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan di
Hindia Belanda dengan menganut pemerintahan lokal yang diberi kewenangan
untuk mengurus pemerintahan sendiri dalam pembinaan dan pengawasan
kolonial. Kemudian tahun 1920 dinegeri belanda, dibentuklah program studi
Indologie di Universitas Laiden pada Fakultas Hukum, Sastra, dan Fakultas
Filsafat untuk mempersiapkan tenaga yang bertugas mengurus pemerintahan
Hindia Belanda dalam waktu yang bersamaan di bentuk pula pendidikan Pamong
Praja “Opleidings School Voor Inlansche Ambtenaren (Mosvia)” di Hindia
Belanda. Lulusan Mosvia dipergunakan untuk memperkuat penyelenggaraan
pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh kelompok Binnenlands Bestuur
Corps.
Dengan dibentuknya program Indologie, keluarlah keputusan pemerintah
yang mengatur pendidikan para pegawai pemerintahan di Hindia Belanda yang
dikenal dengan nama Besluit op de indische Bestuursopleiding 1922. Berdasarkan
besluit IB 1922, para pejabat Binnenlands Bestuur mulai pangkat Adminstratif

Ambtenar, Aspirant Controleur, Controleur, Geweselijk Secretaris, Assistent
Resident, Resident, sampai Gouverneur adalah lulusan Indologie.
Pada pertengahan abad ke- 20 pembelajaran Indologie berkembang pesat
dan

timbul

kesadaran

para

ilmuan

Eropa

khususnya

Belanda

untuk

mengembangkan ilmu untuk memerintah (Bestuurkunde), yang ditandai dengan
munculnya karya Van Poelje pada tahun 1942 tentang Bestuurkunde yang
membahas

pemerintahan

sebagai

ilmu

(scince).

Bestuurkunde

(Ilmu

Pemerinatahan) berkembang menjadi Bestuurschap (Ilmu-Ilmu pemerintahan),
Bestuurwetenschapen (Ilmu- Ilmu pembantu Ilmu Pemerintahan).
Pemerintahan Sebagai Seni
Dalam keseharian, manusia dan segala elemen yang ada tentu saja tidak
terlepas dari yang namanya seni. Ketika ditelaah seni dipahami sebagai nilai dasar
kebebasan kreatif, hal ini mendukung adanya sudut pandang keyakinan/ focus of
trust untuk memilih dan menentukan sesutu yang berbeda dengan konstruk
formalitas dan material sebelumnya, sehingga tercipta terobosan baru yang lebih
inovatif. Ini tentu saja memiliki sinkronisasi dari definisi seni bahwa seni
dianggap sebagai padanan kata art (Inggris, dari kata latin ars, artinya skill), atau
kunst dalam bahasa belanda disebut Kunde, artinya kepandaian.
Pendapat bahwa pemerintahan suatu seni, yaitu bagaimana kemampuan
menggerakan organisasi-organisasi dalam kharismatis retorika, administrator dan
kekuasaan

kepemimpinan,

serta

bagaimana

kemampuan

menciptakan,

mengkarsakan dan merasakan surat-surat keputusan yang berpengaruh, atau juga

bagaimana kemampuan mendalangi bawahan serta mengatur lakon yang harus
dimiliki pemerintah sebagai penguasa.
Menurut Gerge R. Terry dalam Inu Kecana Syafiie Seni adalah Art is
personal creative power plus skill in performance. Maksudnya seni adalah
kekuatan pribadi seseorang kreatif, ditambah dengan keahlian yang bersangkuan
dalam menampilkan tugas pekerjaannya. Menurutnya bahwa seni merupakan
kemampuan dan kemahiran seseorang untk menciptakan rasa dan karsa yang
dimiliki dan bersangkutan terhadap tugas dan fungsinya sebagai seniman.
Dalam perenungan sesaat betapa indahnya tubuh seekor kuda berlari dan
debu yang mengempul di belakangnya, betapa indahnya burung berkicau dan
perloncatan sepanjang pagi inililah kemudian yang membuat para seniman lukis,
seniman film, seniman ukir dan seniman suara dalam melukiskannya dan
mengiaskan. Demikian Inu Kecana menimpulkan bahwa:
“Sebenarnya manusia menikmati apa yang disuguhkan oleh yang
Mahakuasa kepada kita dan manusia menangkapnya dengan naluri
seninya, bila demikian melihat bagaimana indahnya pimpinan bersama
rakyatnya bekerja sama membangun negeri dapat memancing para
pemimpin negara untuk dengan bangga menggerakkan tangannya
memerintah kepada hal yang baik dan benar agar jalannya roda
pemerintahan sesuai dengan keindahan seni pemerintahan, (Inu Kencana,
2010: 24)”
Dari keseluruhan pandangan lebih konkrit penulis menyimpulkan bahwa
dalam khasanah pemerintahan seni merupakan bagian terpenting dalam
mengartikulasikan perencanaan, pelaksanaan maupun evalusasi terhadap berbagai
gerakan dalam praktik pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna.

BAB II
PENGERTIAN, OBJEK DAN RUANG LINGKUP ILMU PEMERITAHAN
Wajah kusam pemerintahan dalam ranah publik sepertinya menjadi santapan
pahit sehari- hari. Ada yang menganggap bahwa kultur yang berlaku utamanya
dalam tatanan sosial lebih mengedepankan hajat untuk pemenuhan kebutuhan
personal semata ketimbang upaya pemuasan kolektif. Hal ini menjadi pijakan bagi
khalayak untuk merekontruksi hierarki pemerintahan seperti pada sediakala yang
memcoba untuk berada disetiap sudut kegalauan bangsa. Sebagai contoh budak
tunduk terhadap sang raja yang memiliki legitimasi kekuasaan dalam kubu
istanah, bagaimana seorang Karaeng dalam adat lokal lebih di hormati dengan
derajat kekuasaan pangkat yang secara turun- temurun mengakar pada
generasinya dan bagaimana seorang

tokoh masyarakat kampung diangkat

menjadi Kepala Desa dengan derajat ketokohonnya.

Demikian dalam pandangan akademisi, jelas terbantahkan dengan analogi
bahwa seorang pengembala kerbau misalnya yang hanya pandai mengembala
dengan

indikator

bagaimana

pertumbuhan

dan

generasi

kerbau

hasil

peliharaannya dapat berkembang, tanpa memperhatikan bagaiman daya dan upaya
agar kerbau tersebut dalam jangka panjang dapat membangun sebuah istana yang
nilai jualnya sesuai dengan keringat dan jeripaya selama mengembala.
Demikian pula ketika kita berbicata ilmu pemerintahan. Aparatur negara, baik
birokrat, politisi maupun praktisi ketika hanya mampu menilai calah negatif
pemerintah tampa memberi solusi lewat pendalaman hakikat akan sesuatu yang di
kritisi, maka pastinya juga lalu, kadang kala menimbulkan istilah menyerang butabuta.
Asumsi dan analogi tersebut mengetuk nurani penulis untuk menyampaikan
bahwa sangat mustahil sebuah objek dapat memenuhi kesenangan, ketika dasar
dan dimensinya tidak dipahami secara pasti. Demikian deskripi ini menjadi
asupan awal dalam menyerap poin- poin pembahasan berikutnya.
A. PENGERTIAN ILMU PEMERINTAHAN
Bergelut dalam dunia pemerintahan secara praktis tidak cukup hanya
menggunakan alat dan tenaga untuk bekerja, tetapi bagaimana kemampuan teoritis
untuk meneropong dimensi subjek yang akan dipraktekkan. Dengan demikian
koherensi ilmu pemerintahan perpijak pada 3 (tiga) pendekatan yaitu:
1. Ontologi Ilmu Pemerintahan

Ontologi adalah subjec matter, focus interest, hakekat yang dikaji. Artinya
apa sebenarnya yang dikaji oleh ilmu pemerintahan, hal ini meliputi definisi,
batasan dan ruang lingkup ilmu pemerintahan itu sendiri.
Lebih dalam ontologi dipahami sebagai tentang ada dan realitas, meninjau
persoalan secara ontologis melalui penyelidikan terhadap sifat dan lealitas
dengan refleksi rasional serta analisis dan sintetis logika. (Inu Kencana
Syafiie 2010: 11)
Dari sisi ontoligacal ini imu pemerintahan terlihat sebagai body of
knowledge yang berkembang dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempatke tempat.
Sebagai contoh perbandingan praktik pemerintahan di berbagai birokrasi
pemerintahan secra formal, sebut saja aparatur Eksekutif mulai presiden dan
jajarannya yang melakukan sudy banding kenegara lain, kemeudian bagaiman
lembaga legislatif yang meliputi DPR, DPD, dan MPR melakukan study
banding daerah- daerah diluar ruang lingkup representatifnya, demikian juga
pemerintah daerah mulai dari bupati, camat, Desa, dan Lurah mencoba
melakukan

penyesuaian

terhadap

rencana

program

yang

akan

dilaksanakannya.
Dan terkait ruang lingkup ilmu pemerintahan seperti pada pembahasan
berikutnya nanti, secara eksplisit penulis munegaskan bahwa seyogyanya
ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang serba bisa, kenapa demikian?
Karena ruang lingkup ilmu pemerintahan mencakup segala aspek dan dimensi
disiplin ilmu sebagai contoh, gejala dan peritiwa pemerintahan memilik

keterkaitan erat dengan ilmu- ilmu lainnya seperti sosiologi, politik, hukum
adaministrasi dan negara seperti yangh terseusun rapi di bab pembahasan
berikutnya.
2. Epistemologi Ilmu Pemerintahan
Epistemologi ilmu pemerintahan meneropong bagaimana sebenarnya ilmu
pemerintahan itu didapat, metode apa yang digunakan. Ilmu pemerintahan
didapat melalui data- data empiris lapangan berupa fakta- fakta pemerintahan
mulai dari tingkat internasional, nasional, regional dan lokal, mulai dari
tingkat pusat sampai tingkat Desa. Sementara metode penelitian yang
digunakan berupa deduktif, induktif, deskriptif, historis atau eksperimen.
Pendekatan analisanya berupa kelembagaan, perilaku, dsb.
Pemerintahan yang berbasis ilmu pengetahuan sejatinya bersifat eklektik
artinya pemicu lahirnya ilmu pemerintahan dengan pendekatan yang yang
ideolografik- normatif dengan metode yang terbaik dari segala metode yang
ada.
Sebgaimana G. A. Van Polje dalam Talisiduhu Ndaha mengembukakan
sebgai berikut:
“Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang bertujuan untuk memimpin hidup
bersma manusia ke arah kebahagiaan setinggi- tingginya tnpa merugikan
orang lain secra tidak sah, (G. A. Van Poeje: 13)
Mencermati persoalan ini maka, dari sudut pandang epistemologi,
pemerintahan mengutamakan segi penggunaan atau aplikasi sebagai bahan
acuan sampai ilmu pemerintahan dikategorikan sebagai ilmu terpanan.
Namun lebih dari itu, perkembangan ilmu ini, seraya disadari secra umum,

betapa pentinggnya dalam kehidupan sehari- hari yang tadinya hanya hanya
mengacu pada persoalan penggunaan atau aplikasi benrkembang menjadi
sebuah kaeharusan untuk menjadi bahan edukasi yang mandiri ti tengahtengah- tengah banyaknya disiplin ilmu. (Lihat Kybernology 1)
3. Aksiologi Ilmu Pemerintahan
Aksiologi ilmu pemerintahan berbicara penerapan ilmu, manfaat ilmu dan
kegunaan ilmu. Pertama, penerapan ilmu pemerintahan itu dapat dari tingkat
bawah samapi tingkat atas. Kedua, manfaat ilmu pemerintahan dapat berupa
kognitif, yaitu peningkatan nalar dan gagasan pemerintahan dan psikomotor
yaitu, dapat meningkatkan keterampilan birokrat dan pelayanan publik.
Sementara yang ke tiga, persoalan kegunaan ilmu pemerintahan dapat
mengacu pada affektif, yaitu bagaimana meningkatkan penghayatan dan
kesadaran berpemerintahan.
Berikut para pakar mengemukakan teorinya mengenai ilmu pemerintahan
yaitu:
1. Menurut D. G. A. Van Poelje, de bestuurkunde leert, hoe men de
openbare dienst en leidt, maksudnya ialah ilmu pemerintahan
mengajarkan bagaiman dinas umum disusun dan dipimpin dengan
sebaik- baiknya.
2. Menurut U. Rosenthal, de bestuurswetenschap is de wetenschap die
zich uitsluintend bezighought med de stuidevan internen eksterne
warking van de structurenen prosessen. Maksudnnya adalah

ilmu

pemerintahan adalah ilmu yang mengeluti studi tentang penunjukan

cara kerja kedalam

dan keluar strukur dan

proses pemerintahan

umum.
3. Menurut H. A. Brasz, de bestuurswetenschap waaronder het veerstat
de wetenschap de zich bez