Hubungan Negara dan Agama pada Era Refor

Hubungan Negara dan Agama pada Era Reformasi
Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998,
tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil
presiden BJ Habibie.
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat
itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot
setelahTragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari
setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang
besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya. Pukul 01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Raisdan
cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari menyatakan, "Selamat tinggal
pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru". Pukul 9.00 WIB, Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB. Wakil Presiden B.J. Habibiemenjadi
presiden baru Indonesia.
Pada tanggal 22 Mei tahun 1998 presiden BJ. Habibi mengumukan Kabinet
Reformasi, Letjen Prabowo Subiyanto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Di Gedung
DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbol-simbol
dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR.
Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru. Tentara

mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Universitas Atma Jaya. Di akhir 1998,
Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia
akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Pada tanggal 23 Juni 2009 22:34:05 WIB Calon wakil presiden Wiranto menyebut Boediono kurang tajam
dalam menjabarkan hubungan negara dengan agama, dalam debat cawapres yang digelar KPU, Selasa (23/6/2009)
malam.
Menurut Boediono, agama begitu mulia dan seharusnya tidak dijadikan elemen politik praktis. "Jadi harus
di
atas
politik
praktis,"
kata
pendamping
Susilo
Bambang
Yudhoyono
ini.
Boediono berpendapat, negara bertanggungjawabn memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama,
dan melindungi mereka dalam beribadah. "Undang-undang yang dikeluarkan negara harus undang-undang yang
melindungi maupun yang memberikan jaminan kepada masing-masing warga negara, memberi kebebasan," katanya.

Dalam menyelesaikan persoalan sistem sosial, negara harus mengambil posisi tak boleh merugikan salah satu warga
negara. "Keharmonisan adalah tugas negara, agar semua pemeluk agama bisa hidup tenang dan damai," kata
Boediono.
Wiranto berpendapat Boediono kurang tajam. "Apa yang disampaikan Pak Boediono masih normatif, tapi dalam
nilai
praktisnya
membingungkan,"
katanya.
Menurut mantan jenderal TNI itu, agama memang berbeda wilayah dengan politik. Jika agama diformalkan dalam
politik juga akan rancu. "Ada kaitan agama dan politik, tapi substansial. Nilai-nilai moral agama untuk membangun
etika politik. Ada politik yang santun, dan tidak menyerang, dan hubungan harmonis antar kita," katanya.

Wiranto menyerukan agar substansi agama diserap politik. "Marilah berpolitik dengan gunakan susbtansi agama dan
moral yang baik," katanya
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak cukup lagi
mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di
zaman Orde Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan negara sekuler” tidak cukup
kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar
negara.

Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Negara agamis
adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan
berbangsa dan negara. Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang mempertegas bahwa
Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1.
Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha

Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2.
Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
3.
Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di
bawah Mahkamah Agung.
4.
Pasal 28J UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5.

Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
6.
Pasal 31 ayat 3 UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”.
7.
Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui pernyataan putusan hakim
bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui
pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU
Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang
secara implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan lain sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan semangat dasar UUD
justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUUVI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD, Mahkamah Konstitusi berpandangan
bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk
agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan
tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama,
negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang
tidak tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa,
sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah
negara yang juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan
lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab
mempertahankan agama formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat
mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler menolak segala macam
bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara agamis justru
sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara.


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24