Etika Bisnis dalam islam (2)

MAKALAH
ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Desy Dwi Murjianti
Karina Chandra Dewi
Febri Candra W
Chandra Buana
Yusuf Afandi

7311414087
7311414103
7311414167
7311414129
7311414211


JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
BAB I PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG

Bisnis telah menjadi aspek penting dalam hidup manusia. Sangat wajar jika Islam
memberi tuntunan dalam bidang usaha. Usaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya
bahkan ditempuh dengan cara tidak etis telah menjadi kesan bisnis yang tidak baik. Etika
bisnis sangat urgen untuk dikemukakan dalam era globalisasi yang terjadi di berbagai
bidang dan kerap mengabaikan nilai-nilai etika dan moral. Oleh karenanya, Islam sangat
menekankan agar aktivitas bisnis tidak semata-mata sebagai alat pemuas keinginan tetapi
lebih pada upaya menciptakan kehidupan seimbang disertai perilaku positif bukan
destruktif. Penulisan makalah ini bertujuan mengkaji etika bisnis dari sudut pandang Al
Qur’an dalam upaya membangun bisnis Islami menghadapi tantangan bisnis di masa
depan. Kesimpulannya, Bisnis dalam perspektif Al Qur’an disebut sebagai aktivitas yang
bersifat material sekaligus immaterial. Suatu bisnis bernilai jika secara seimbang

memenuhi kebutuhan material dan spiritual, jauh dari kebatilan, kerusakan dan
kezaliman. Akan tetapi mengandung nilai kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas,
pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan kejujuran.
Al Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk
mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an khususnya
dalam bidang bisnis. Awalnya, etika bisnis muncul ketika kegiatan bisnis kerap menjadi
sorotan etika. Menipu, mengurangi timbangan atau takaran, adalah contoh- contoh
konkrit kaitan antara etika dan bisnis. Fenomena-fenomena itulah yang menjadikan etika
bisnis mendapat perhatian yang intensif hingga menjadi bidang kajian ilmiah yang berdiri
sendiri. (George, 1986: 43). Bisnis telah ada dalam sistem dan struktur dunianya yang
baku untuk mencari pemenuhan hidup. Sementara, etika merupakan disiplin ilmu yang
berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau salah, yang baik atau buruk,
sehingga

dianggap

tidak

seiring


dengan

sistem

dan

struktur

bisnis

(Rahardjo,1995:2).Kesangsian-kesangsian inilah yang melahirkan mitos bisnis amoral
atau tak beretika.

1.2.

RUMUSAN MASALAH
a. Apa saja sumber islam yang dijadikan sebagai landasan etika bisnis?
b. Bagaimana hubungan islam dan etika bisnis serta tanggung jawab sosial?
c. Bagaimana aturan bisnis yang beretika dalam islam?
d. Apa saja prinsip-prinsip etika bisnis dalam islam?


1.3.

TUJUAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dengan
baik tentang etika bisnis dalam islam yang menyangkut:
1. Sumber islam.
2. Islam dan etika bisnis serta tanggung jawab social.
3. Penegasan-penegaasan dalam Islam sehubungan dengan aturan dalam
berbisnis.
4. Prinsip-prinsip etika bisnis dalam islam.

BAB II PEMBAHASAN
2.1.

Sumber Islam
Konsep tatanan ekonomi islam disusun berdasarkan sumber dari Al Qur’an,
Hadist, Qyas, dan Ijma’ para ulama. Al Qur’an diturunkan kedunia melalui perantara
Nabi Muhammmad SAW, maka dengan begitu Al Quran redaksinya langsung
berasala darai Allah SWT. Karena Al Qur’an dan Hadist dijadikan dasar rujukan

kedalam kehidupan umat muslimin diseluruh dunia, maka segala sesuatunya
disesuaikan isi dalam Al Qur’an dan Hadist itu sendiri.
Sehingga sangat penting bagi seorang muslim untuk bias memahami isi Al Qur’an
atau mampu menafsirkannya degan baik atau jika belum mampu maka itu dapat
ditanyakan pada ahli tafsir

2.2.

Islam dan Etika Bisnis serta Tanggung Jawab Sosial
Ada perbedaan mendasar dalam model ekonomi Islam dan ekonomi lainnya,yaitu
ekonomi Islam memadukan antara ilmu dan etika, atau juga seperti tidak memisahkan
antara ilmu-ilmu yang lain dengan etika apakah itu politik, teknik, antropologi,
militer, kedokteran dll. Islam merupakan risalah yang diturunkan Allah melalui rasul
untuk membenahi akhlak manusia. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW
bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”
Sistem ekonomi islam lebih bertujuan untuk menciptakan keadaan yang lebih baik
bagi umat manusia dalam berkehidupan. Yaitu dengan cara memahami alquran dan
hadits tersebut serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari hari. Posisi manusia
sangat penting ini seperti firman Allah SWT “sesungguhnya aku hendak menjadikan
khalifah di atas muka bumi” (QS Al-Baqarah:30), dan yang di tunjuk sebagai khalifah

diatas muka bumi ini adalah manusia yang diberi hak untuk mengelola isi bumi ini.

2.3.

Aturan Bisnis yang Beretika dalam Islam
Jika berbicara mengenai etika, apalagi jika dihubungkan dengan agama, maka hal
yang terlintas dalam benak kita adalah apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.
Sehingga pasti ada aturan aturan dalam bisnis yang akan dilakukan agar sesuati
dengan etika yang ada dalam islam. Aktivitas bisnis yang tidak islami yang
hendaknya dapat dihindari oleh pelaku bisnis antara lain:
1. Melakukan
transaksi
bisnis
yang
diharamkan

agama

Islam.


Seorang muslim harus komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang

dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan
kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah. Dan seorang
pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan
kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak
halal, minuman keras, narkoba, pelacuran, suguhan minuman dan makanan tak
halal dan lain-lain adalah kegiatan bisnis yang diharamkan. Allah berfirman:
Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang
berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”.
2. Menyembunyikan harga kini.
Maksud menyembunyikan harga adalah menyebutkan harga yang tidak sesuai
dengan harga yang berlaku secara umum. Dalam perdagangan sering kita jumpai
pedagang yang menyebutkan harga modal yang tidak sesuai dengan maksud
meyakinkan pembeli akan harga yang dia tawarkan, sehingga dia bisa
memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Memperoleh keuntungan dalam
suatu perdagangan memang tidak dilarang, namun keuntungan tersebut harus
sesuai dengan modal. Janganlah seorang pedagang meraup keuntungan berkalikali lipat dan tidak wajar dari harga modalnya, sehingga si pembeli tertipu dengan
harga


tersebut.

Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya: “Dari Thowus, dari Ibnu Abbas
RA berkata: Bersabda Rasullullah SAW “Janganlah kamu menjemput para
pedagang yang membawa dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran dan
janganlah orang kota menjual barang yang diketahui orang desa”. Aku bertanya
kepada Ibnu Abbas: “Apa yang dimaksud dari sabda Rasulullah tersebut? Jawab
Ibnu Abbas, ”Maksudnya, janganlah orang kota menjadi perantara bagi orang
desa”.

3. Melakukan Praktik Riba.
Dalam berbisnis hendaklah harus bersih dari unsur-unsur riba yang telah jelasjelas dilarang oleh Allah. Maka sebaliknya lebih menggalakkan jual beli dan
investasi ketimbang kegiatan riba. Menghindari cara memperoleh dan
menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar
dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat.
4. Melakukan Penipuan.
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktivitas manusia, termasuk dalam
kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan informasi yang tidak benar, mencampur
barang yang baik dengan buruk termasuk dalam kategori penipuan. Selain itu,

Islam juga melarang transaksi spekulatif, yakni kegiatan bisnis yang tidak
transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar
kemungkinan akan merugikan.

2.4.

Prinsip-prinsip Etika Bisnis dalam Islam
1. Kesatuan (Unity)
Kesatuan yang dimaksud terefleksikan pada konsep tauhid yang memadukan
keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep
konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan.
Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal
maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam
sistem Islam (Naqvi, 1993: 50-51).
2. Keseimbangan (Keadilan)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Surat Al-Maidah:8. Keseimbangan atau keadilan menggambarkan

dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni
pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita lihat pada alam semesta
mencerminkan keseimbangan yang harmonis. (Beekun, 1997: 23.) Dengan

demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderatan merupakan prinsip etis
mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis.
3. Kehendak Bebas
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka
lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk
aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Sampai pada
tingakat tertentu, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk memberi arahan dan
membimbing kehidupannya sendiri sebagai khalifah di mukabumi (QS. AlBaqarah, 2:30). Berdasarkan prinsip kehendak bebas ini, manusia mempunyai
kebebasan untuk membuat suatu perjanjian termasuk menepati janji atau
mengingkarinya. Tentu saja seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah
akan memuliakan semua janji yang dibuatnya. (Beekun,1997: 24).
4. Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal mustahil, lantaran tidak menuntut
tanggung jawab. Menurut Al-Ghozali, konsep adil meliputi hal bukan hanya
equilibrium tapi juga keadilan dan pemerataan. Untuk memenuhi tuntutan

keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan tindakannya.
Allah menekankan konsep tanggung jawab moral tindakan manusia, (QS. 4:123124).) Menurut Sayyid Qutub prinsip pertanggungjawaban Islam adalah
pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya.
Antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu
masyarakat dengan masyarakat lainnya. (Beekun, 1997: 103)
5. Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari
kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam
konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar
yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas
pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
Adapun kebajikan adalah sikap ihsan,yang merupakan tindakan yang dapat
memberi keuntungan terhadap orang lain (Beekun, 1997: 28). Dalam al-Qur’an
prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari
penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis.

Termasuk ke dalam kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaandan
keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini
ditekankan untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta
mencintai antar mitra bisnis. Adapun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua
proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam
khazanah Islam dapat dimaknai dengan amanah. Dengan prinsip kebenaran ini
maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap
kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi,
kerjasama atau perjanjian dalam bisnis. Dari sikap kebenaran, kebajikan dan
kejujuran demikian maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan
persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan, tanpa adanya kerugian
dan penyesalan.

2.5.

Contoh Kasus Mengenai Etika Bisnis dalam Islam
Jaringan rumah makan siap saji asal Indonesia
Restoran ini menyajikan makanan khas Indonesia seperti nasi goreng, mi goreng,
kwetiau goreng, dan masih banyak lagi. Saat ini sudah terdapat lebih dari 50 gerai
di kota-kota di Indonesia.
Isu mengenai penggunaan angciu (arak) dan minyak babi di restoran “S” ternyata
masih merebak. Meskipun sudah dibantah oleh manajemen “S”, kabar fiktif itu
terus bergulir di media sosial.
Inilah kisah dosen akuntansi salah satu universitas negeri tentang restoran “S”
yang tidak memiliki sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
“Ada kerabat yang mau beli franchise “S”. Tapi ketika mau bikin kontrak
perjanjian, ternyata pihak pemilik franchise mewajibkan penggunaan angciu
(arak) dan minyak babi dalam beberapa masakan,” ujarnya.
Hal itu dikomentari oleh teman saya yang ikut saat mau bikin kontrak perjanjian.
“Lho, itu kan haram?” protesnya.
Tapi, kata Prof, jawaban pemilik franchise sungguh arogan dan mencengangkan.
Menurut pemilik franchise, “S” mewajibkan menunya menggunakan minyak babi
dan angciu. ”Di sini (“S”) wajib pakai itu. Lagian kita gak pakai label halal kok.

Kalau gak mau ya sudah,” ujar pihak “S” sebagaimana diungkap Prof. Sementara
PT “SS” selaku perusahaan yang membawahi restoran ini membantah hal
tersebut.
“Isu yang berkembang itu tidak benar. Minyak-minyak kami memakai brandbrand halal. Semua makanan kami halal,” kata Operational Manager “S”, Namun
ia membenarkan bahwa sampai saat ini perusahaan belum mempunyai sertifikasi
halal dari MUI.
Saat ini perusahaan sedang mengumpulkan sertifikat-sertifikat dari para supplier.
“Supplier kita kan banyak, kita sedang kumpulkan sertifikatnya sebagai syarat
mengurus ke MUI,” katanya.
Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) membenarkan restoran “S”
belum mengantongi sertifikat halal.
“Maka, bersama ini disampaikan bahwa MUI melalui Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia belum pernah
melakukan pemeriksaan atas produk makanan/minuman dan atau mengeluarkan
sertifikat halal untuk restoran “S” dimanapun,” tulis MUI disitus resminya.
Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemilik bisnis “S” salah?
Yang salah utamanya adalah bila ada pebisnis Muslim yang tutup mata dan tetap
mengambil bisnis ini. Lebih salah lagi adalah para Muslim yang sudah tahu info
ini tetapi juga tutup mata dan makan di sana. Karena itu, informasi ini hendaknya
tidak untuk diri sendiri. Kabarkan kepada saudara Muslim di seluruh Nusantara
dan Internasional akan haramnya “S”. Dalam hubungan itu, ada sebuah kisah
nyata. Dikisahkan ada seorang ustadz senior dari Indonesia duduk di rumah
makan di negara Singapura. Dia kemudian didatangi oleh pelayan rumah makan
tersebut. Melihat jenggot panjang tamunya, pelayan menyapa, “Apakah bapak
Muslim?” tanya pelayan kepada tamunya.“Ya, saya Muslim,” jawab ustadz.
“Maaf, di sini restoran pakai bahan bahan yang mengandung babi. Bapak
sebaiknya makan di restoran sebelah yang halal 100%,” saran si pelayan. “Terima
kasih,” jawab ustadz yang kemudian berdiri dan pindah ke restoran sebelah.

Kembali ke negeri kita. Meski Muslim di negeri ini mayoritas, tetap tidak bisa
memaksa pihak pengusaha rumah makan harus memakai label halal dan atau
harus seperti yang kaum Muslimin inginkan.
Umat Islam sendiri yang harus mawas diri, saling menasihati, mana halal dan
mana haram (juga meragukan karena bercampur antara yang halal dengan yang
haram) sebagai tanda kedewasaan keimanan kita.
Sementara itu untuk para pengusaha restoran yang menggunakan barang-barang
yang

haram

dalam

pandangan

Islam,

hendaklah

mencantumkan

label

mengandung babi atau mengandung arak dan seterusnya pada rumah makannya.
ANALISIS KASUS
Dari kasus yang ada menunjukkan bahwa etika bisnis belum dijalankan
secara maksimal dilihat dari etika promosi maupun keadilan konsumen. Sebagai
pebisnis harusnya memenuhi prinsip-prinsip bisnis yang baik. Keadilan dalam
konsep pemenuhan hak konsumen berkaitan dengaan transaksi antara pebisnis
dengan konsumen harus menerapkan berbagai norma moral dan etika yang
berlaku dalam masyrarakat yang meliputi kebenaran, kejujuran, dan keadilan
sehingga kalau tidak terjadi keadilan kepada konsumen, pebisnis harus
bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Konsumen pun haarus jeli dalam
memilih makanan untuk dikonsumsi, perhatikan predikat halal apakah tertera
dalam produk tersebut atau masih belum mendapat sertifikat halal dari MUI.
Guna melindungi konsumen yang muslim, MUI juga harus menghimbau restoran
atau rumah makan yang belum mengantongi sertifikat halal agar segera
mengajikan sertifikat halal. Untuk masyarakat muslim sebaiknya lebih berhatihati dan menahan diri terlebih dahulu sampai sertifikat halal dikeluarkan.