Strategi Kampung Budaya Sindang Barang d

TUGAS UAS
MATA KULIAH : KOTA DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Strategi Kampung Budaya Sindang Barang dalam Mempertahankan Nilai
Luhur Budaya terhadap Pengaruh Kapitalisme Global

Oleh :

Nama : Dimas Ario Nugroho
NIM
: 1606948625

Kajian Pengembangan Perkotaan
Program Pascasarjana Multidisiplin
Universitas Indonesia
2016

1

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Kebudayaan adalah suatu pedoman bagi kehidupan sebuah masyarakat atau komuniti
yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat atau komuniti yang bersangkutan, yang
digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi, dan
untuk menghasilkan tindakan-tindakan yang relevan sesuai dengan lingkungannya guna
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya (Suparlan, 2004). Budaya Sunda merupakan budaya
lokal yang dianut oleh sebagian besar penduduk di wilayah Jawa Barat dan Banten termasuk
Kabupaten Bogor. Namun etnis Sunda yang merupakan mayoritas di wilayah Bogor terancam
eksistensinya akibat pengaruh dari budaya luar yang semakin mengikis eksistensi dari budaya
lokal (tradisional). Untuk itu perlu ada upaya dari masyarakat dan pemerintah dalam
pelestarian budaya sunda. Salah satu upayanya adalah dengan keberadaan Kampung Budaya
yang merupakan etalase dan manifestasi keberadaan budaya lokal. Kampung Budaya Sindang
Barang hadir merupakan cerminan bentuk partisipasi komuniti yang peduli akan kelestarian
budaya sunda. Pelestarian budaya sunda di Kampung Budaya Sindang Barang dicerminan
dalam pembentukan ruang, ornamen, dan kegiatan yang merupakan cerminan budaya dan
tradsi sunda sehingga bisa melestarikan sekaligus memperkenalkan budaya sunda ke
khalayak ramai.
Kampung Budaya Sindang Barang adalah suatu kampung adat Sunda yang terletak di
Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. Menurut sejarahnya Kampung
Sindang Barang sudah ada sejak abad ke XII dan terpapar dalam Babad1 Pajajaran dan tertulis
juga dalam pantun2 Bogor. Kebudayaan Sunda yang masih kental tercermin dalam perilaku

kehidupan masyarakatnya sehari-hari terutama direfleksikan dalam pelaksanaan acara
Serentaun yang rutin dilaksanakan di Kampung Sindang Barang. Menurut penjelasan Prasetyo
(2011) Kampung Budaya Sindang Barang adalah salah satu kampung adat dari 20 kampung
adat yang ada di Jawa Barat. Kampung Budaya Sindang Barang adalah salah satu komunitas

1 Babad adalah cerita yang bertalian dengan sesuatu tempat atau kerajaan yang dipercaya sebagai sejarah. Sebagai pengaruh

dari jawa, kebanyakan Babad ditulis dalam bentuk Wawacan, misalnya Babad Godog, Babad Panjalu, Babad Cirebon, Babad
Banten, Babad Sumedang dan Babad Pakuan. Ditinjau dari ilmu sejarah, Babad bukanlan bukti yang dapat dijadikan sumber
sejarah, paling bisa hanya hanya sebagai perbandingan (Ensiklopedi Sunda, 2000 dalam Dahlan, 2009).
2 Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog dan seringkali
dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang
dimainkannya sendiri.Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun
Bogor.(Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Pantun_Sunda dalam Dahlan, 2009)

2

yang hingga kini mempertahankan aspek kebudayaan lokal kerajaan Pajajaran, dimana
terdapat 78 lokasi situs sejarah Pakuan Sindangbarang, upacara tradisional (upacara adat
Serentaun, upacara adat Neteupken, upacara adat Pabeasan, dan berbagai upacara adat

lainnya), dan berbagai kesenian tradisional Sunda.
Salah satu ritual tradisi Sunda yang menjadi ciri khas Kampung Budaya Sindang Barang
adalah Serentaun. Serentaun merupakan suatu bentuk penjelmaan rasa syukur warga atas
rezeki hasil panen mereka. Serentaun telah ada pada zaman Kerajaan Pajajaran pada abad ke
16 dan masih berlangsung hingga sekarang. Serentaun dilaksanakan tiap tahun dan dipimpin
oleh ketua adat, namun sebagai catatan pada tahun 1971 setelah ketua adat terakhir Etong
Sumawijaya wafat dan tidak ada regenerasi, maka gelaran Serentaun tidak dilaksanakan
secara akbar dan terpusat, namun diadakan sendiri-sendiri oleh masyarkat yang masih
mempercayainya. Kemudian pada tahun 2006 Serentaun kembali dilaksanakan terpusat
setelah adanya pengakuan kembali ketua adat karena inisiatif beberapa kelompok adat yang
ingin melestarikan budaya Sunda di Sindang Barang yang tergabung dalam Padepokan Giri
Sunda Pura Sindang Barang. Pelaksanaan Serentaun pada waktu itu mendapat respon positif
dari masyarakat (walau sempat ada penolakan terutama dari kalangan Islam yang tidak pro
tradisi). Kesuksesan pelaksanaan Serentaun itu juga menarik perhatian pemernitah karena
berkaitan dengan perhatian pada pelestarian budaya Sunda. Dengan dukungan pemerintah
provinsi dan kabupaten dan masyarakat kawasan Sindang Barang, mereka dapat membuat
suatu kawasan budaya Kampung Budaya Sindang Barang3.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui pembentukan Kampung Budaya Sindang
Barang yang terbentuk atas inisiatif masyarakat yang masih ingin melestraikan budaya lokal.
Hal ini menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang masih mempunyai kepedulian

akan budaya lokal di tengah perkembangan kota yang semakin pesat dan gencaran budaya
luar yang mengancam keberadaan budaya lokal. Lokasi Kampung Budaya Sindang Barang
yang tidak jauh dari pusat kota (sekitar 5 km dari pusat Kota Bogor) tidak menjadikan
masyarakat di Kampung Budaya Sindang Barang berubah menjadi masyarakat yang bercirikan

3

Pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan inisiatif kelompok adat yang tergabung dalam Sanggar Seni
Padepokan Giri Sundapura, setelah tanggapan positif masyarakat setelah terbentuknya Sanggar Seni Giri Sundapura pada
tahun 2004 dan acara serentaun akbar pertama pada tahun 2006 yang sukses diselenggakan. Kampung budaya dibutuhkan
untuk mengakomodasi kegiatan tradisi lama Sunda Bogor salah satunya untuk pelaksanaan Serentaun. Kebutuhan dana
pembangunan Kampung Budaya Sindang Barang sekitar Rp. 1,3 Miliar, dengan penyandang dana dari Pemerintah Provinsi
Jawa Barat sebersar Rp 750 juta dan Pemeritah Kabupaten Bogor Rp. 25 juta dan sisanya dari kelompok adat (Sumber :
wawancara Abah Ukat, 2016)

3

pola-pola kehidupan perkotaan yang antara lain bersifat individualisme, egosentrik,
menomorsatukan uang, bersaing dalam perebutan rezeki dan memetingkan hak milik
(Suparlan, 2004).

Perkembangan Kampung Budaya Sindang Barang saat ini telah berkembang menjadi
kawasan wisata budaya dengan daya tarik kampung adat sunda beserta aktivitas dan fasilitas
yang ditawarkannya sehingga dapat menarik minat para wisatawan domestik dan
mancanegara. Budaya dan adat yang dijadikan komoditas dalam hal ini telah menjadikannya
suatu proses komodifikasi4 yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi eksistensi kebudayaan
tradisional.

I.2. Perumusan Masalah
Dari penjelasan di atas dapat diteliti lebih lanjut bagaimana fenomena yang terjadi
dalam pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang yang bersifat tradisional bisa
berkompromi dengan globalisasi. Keunikan yang terdapat dalam Budaya sunda tradisional
yang dicerminkan dalam aktivitas yang dijalankan di Kampung Budaya Sindang Barang,
ditambah dengan upacara Serentaun yang sudah dilaksanakan secara turun temurun
merupakan suatu komoditas yang bernilai ekonomis. Kreativitas pengelola dalam
membentuk budaya sebagai komoditas dengan membuat paket wisata budaya dan strategi
pemasaran dengan melalui internet merupakan strategi dalam membentuk komoditi yang
lebih mempunyai daya tarik.
Walaupun terdapat penelitian yang dilakukan oleh Susamto (2008)5 yang
menyimpulkan bahwa terkait rekonstruksi Serentaun yang dilakukan oleh Kampung Budaya
Sindang Barang telah kehilangan keaslian dan kesakralannya karena budaya lokal yang telah

menjadi komoditas pariwisata global dengan teknologi informasi telah berubah menjadi tidak
orisinil budaya lokal. Namun menurut saya upaya yang telah dilakukan oleh komunitas
ataupun kokolot (sesepuh) patut diapresiasi karena mereka masih mempunyai kepedulian
akan kelestarian kebudayaan Sunda yang telah mengalami degradasi.

4

Berdasarkan penjelasan Surbakti (2009) dalam Prasetyo (2011) komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan
kapitalisme dimana objek, kualitas dan simbol dijadikan sebagai komoditas yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di
pasar
5 Penelitian yang sangat mendalam yang dilakukan oleh Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
yang bernama Dina Amalia Susanto pada tahun 2008 mengenai upacara Serentaun rekonstruktif di Kampung Budaya
Sindang Barang yang dituangkan dalam tesisnya yang berjudul Hibrida Lokal-Global pada Politik Komodifikasi Budaya
Serentaun Rekonstruktif, Upacara Tahunan Masyarakat Sunda, di Sindang Barang Kabupaten Bogor.

4

Hal ini menunjukkan masih adanya warga kota ataupun komunitas kota yang masih
mempunyai rasa memiliki yang besar akan budaya lokalnya yang mempunyai niat mulia akan
kelestarian budayanya. Walaupun terdapat motif untuk meraih keuntungan dalam

pemebentukan ruang dan kegiatan dalam Kampung Budaya Sindang Barang, hal tersebut
semata-mata untuk menutupi biaya operasional dan pemeliharaan Kampung Budaya Sindang
Barang6. Hal ini berbeda dengan salah satu contoh Kampung Budaya, yaitu Perkampungan
Budaya Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan yang dibentuk dan dikelola oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta. Dukungan ekonomi dan payung hukum yang menaungi Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan membuatnya leluasa dalam menjalankan operasional dan
pemeliharaannya. Bahkan mereka bisa membuat aturan yang mengintervensi bentuk
arsitektur yaitu penggunaan aksen rumah betawi dan penggunaan lahan untuk perumahan
yang berada di dalam kawasan budaya betawi untuk mendukung pelestarian Budaya Betawi7.
Dukungan pemerintah dalam mendukung perkembangan Kampung Budaya Sindang
Barang hanya pada saat pemberian bantuan dana dalam tahap pembangunan Kampung
Budaya Sindnag Barang, sedangkan pada saat tahap pemeliharaan dan operasional
diserahkan kepada pengelola termasuk untuk pembiayaannya. Sehingga pengelola Kampung
Budaya Sindang Barang perlu melamgsungkan keberadaannya dengan membuat suatu usaha
wisata budaya yang bisa menghasilkan uang sekaligus mengenalkan budaya sunda ke
masyrakat luas.
Hal ini menimbulkan suatu proses komodifikasi budaya Sunda baik dalam bentuk
ruang, dan aktivitas. Dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2011)8 yang
menyimpulkan bahwa terjadi hubungan antara komodifikasi upacara tradisional Serentaun
dengan pembentukan identitas komunitas Kampung Budaya Sindang Barang menunjukan

hubungan yang signifikan. Semakin rendah proses komodifikasi upacara tradisional Serentaun
maka semakin kuat pembentukan identitas komunitas Kampung Budaya Sindangbarang. Hal

6

Berdasarkan informasi wawancara dengan Abah Ukat, Kepala Adat dan kokolot maupun pengelola tidak mendapatkan
keuntungan dari Kampung Budaya Sindang Barang, bahkan kepala adat sering menegluarkan biaya untuk pemeliharaan
dan operasional
7 Penjelasan lebih mendetail bisa dilihat pada artikel yang sangat menarik mengenai pembentukan Kampung Budaya Betawi
yang ditulis oleh Prof. Gunawan Tjahjono pada 2003 untuk International Association for The Study of Traditional
Environments yang berjudul Reviving the Betawi Tradition : The Case of Setu Babakan, Indonesia (Sumber :
http://iaste.berkeley.edu/pdfs/15.1e-Fall03tjahono-sml.pdf diakses pada tanggal 22 Desember 2016, Pukul 09.01 WIB)
8 Penelitian Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor yang bernama Untung Prasetyo pada tahun 2011 dalam skripsinya yang berjudul Komodifikasi Upacara
Tradisional Srentaun dalam Pembentukan Identitas Komunitas (Kasus : Kampung Budaya Sindangbarang, Desa Pasireurih,
Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat).

5

ini dapat dijelaskan karena terdapat hubungan yang signifikan pula antara komodifikasi

upacara tradisional Seren Taun dengan motif dan perilaku melaksanakan upacara tradisional
Seren Taun.
Proses pembentukan ruang dalam bentuk kampung budaya dan komodifikasi budaya
yang mereka lakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap globalisasi dengan
menciptakan wisata budaya yang mempunyai nilai ekonomi yang menurut pengelola atau
kokolot Kampung Budaya Sindang Barang bukan untuk tujuan komersial melainkan digunakan
untuk menutupi biaya pemeliharaan dan operasional Kampung Budaya Sindang Barang9.
Untuk itu pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah : Bagaimana strategi yang
ditempuh oleh Pengelola Kampung Budaya Sindang Barang dalam mempertahankan nilai
luhur budaya ditengah arus kapitalisme global?

I.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : Menganalisis terjadinya pembentukan
Kampung Budaya Sindang Barang dan strategi Kampung Budaya Sindang Barang dalam
mempertahankan nilai luhur budaya ditengah arus kapitalisme global berdasarkan teori
kreativitas sosial dan teori lain yang terkait.

I.4. Anggapan Awal dan Temuan
Dalam pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang terlihat bagaimana suatu

bentuk partisipasi masyarakat yang aktif dalam membangkitkan dan melestariakan tradisi dan
budaya lokal sunda. Hal ini menunjukkan masih adanya warga kota ataupun komunitas kota
yang masih mempunyai rasa memiliki yang besar akan budaya lokalnya yang mempunyai niat
mulia akan kelestarian budayanya. Namun kebangkitan tersebut ternyata tidak terlepas dari
adanya motif ekonomi. Hal ini wajar ditengah terpaan globalisasi dan kapitalisme yang
menerpa Indonesia sehingga untuk bertahan hidup mereka membutuhkan uang. Hal ini
karena dalam semua aspek kehidupan Bangsa Indonesia segala hal dihitung berdasarkan
untung dan rugi. Bahkan dalam awal terbentuknya Kampung budaya Sindangbarang,
dibutuhkan uang yang cukup besar yang didapatkan dari pemerintah dan kelompok adat

9

http://kp-sindangbarang.com/?page_id=20 diakses pada tanggal 22 Desember 2016 Pukul 03.00 WIB

6

dalam merekonstrusi Kampung Budaya tersebut. Menarik bahwa bagaimana komunitas
kelompok adat ini dengan segala niat luhurnya ingin melestarikan budaya dan kearifan lokal
sunda bernegosisasi dengan tuntutan globalisasi dan kapitalisme yang ada. Proses
pembentukan ruang dalam bentuk kampung budaya dan komodifikasi budaya yang mereka

lakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap globalisasi dengan menciptakan wisata
budaya yang mempunyai nilai ekonomi yang menurut pengelola atau kokolot Kampung
Budaya Sindang Barang bukan untuk tujuan komersial melainkan digunakan untuk menutupi
biaya pemeliharaan dan operasional Kampung Budaya Sindang Barang10.
Keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang yang telah berjalan selama 10
tahun hingga sekarang menunjukkan kesuksesan pengelola dalam menjalankan usahanya.
Namun perlu juga diperhatikan tantangan dan kendala yang sekarang dihadapi oleh Kampung
Budaya Sindang Barang. Belum adanya payung hukum yang melindungi Kampung Budaya
Sindang Barang membuatnya rentan akan intervensi masalah hukum. Kekuatan hukum
mereka sebatas legitimasi yang bersifat tidak resmi mengenai dukungan pemerintah provinsi
dan kabupeten akan keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang. Selain itu komoditas
seperti lahan pertanian dan situs-situs budaya perlu dukungan dari pemerintah dan
masyarakat setempat karena beberapa situs terlihat tidak terawat.

10

Informasi dari http://kp-sindangbarang.com/?page_id=20 diakses pada tanggal 22 Desember 2016 Pukul 03.00 WIB
kemudian ditegaskan dalam penyataan Abah Ukat pada saat wawancara.

7

II.

METODOLOGI DAN LOKASI PENELITIAN

II.1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat exploratory. Penelitian yang bersifat
exploratory adalah penelitian yang memecahkan masalah, isu atau topik baru yang sangat
sedikt diketahui sehngga gagasan penelitian pada umumnya tidak dapat diformulasikan
dengan baik pada tahap awal. Penelitian ini diperlukan untuk menguji teori dan konsep yang
tepat, mengembangkan suatu teori/konsep baru, atau apakah metodologi yang ada dapat
diterapkan (Kustiwan, 2010). Penelitian ini menjelaskan pembentukan suatu kawasan dalam
kota yang dilatarbelakangi oleh kebangkitan budaya. Selain itu juga dijelaskan bagaimana
keterkaitan antara pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang dengan startegi kampung
budaya dalam mempertahankan nilai luhur budaya ditengah arus kapitalisme global.
Penelitian ini akan menjelaskan berbagai unsur dan aspek yang berkaitan dengan teori
perkembangan kota serta partisipasi masyrakata dalam membentuk identitas kota. Selain itu
juga dalam strategi kampung budaya dalam mempertahankan nilai luhur budaya akan
dijelaskan dalam dengan teori kreativitas sosial dalam perkembangan kota.
Dengan demikian maka penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis data
dengan pendekatan deduktif untuk menemukan hubungan antara teori dan penelitian
dengan menempatkan pengujian teori (Silalahi, 2006 dalam Kustiwan, 2010). Kemudian
berdasarkan tujuan penelitian bersifat eksplanatori yakni menjelaskan hubungan kausal
antara variabel-variabel memlalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 1995 dalam
Prasetyo, 2011). Adapun hubungan kausal yang dijelaskan adalah antara varaibel-variabel
yang berpengaruh terhadap strategi Kampung Budaya Sindang Barang untuk bisa
mempertahankan budaya lokal ditengah kapitalisme global, yaitu : (1) sejarah terbentuknya
Kampung Budaya Sindang Barang; (2) komodifikasi budaya dan ritual Sunda.

II.2. Lokasi Penelitan
Penelitian dilakukan di Kampung Budaya Sindang Barang yang terletak di Desa
Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Meskipun berada di wilayah Kabupaten
Bogor, hubungan yang terjalin lebih intens dengan Kota Bogor karena jaraknya lebih dekat,
dan akses menuju Kampung Desa Pasireurih melalui Kota Bogor. Jika dilihat dari segi jarak

8

maka jarak antara Kota Bogor dengan Desa Pasireurih hanya 5 Km dibandingkan dengan jarak
dengan kabupaten bogor sekitar 15 km. Secara administratif Desa Pasireurih berbatasan
dengan Desa Parakan Kecamatan Ciomas di sebelah utara, Desa Taman Sari sebelah Selatan,
Desa Sirnagalih di sebelah Timur dan Desa Sukaresmi di sebelah barat. Ketiga desa yakni Desa
Sukaresmi, desa Sirnagalih dan Desa Taman sari masih berada di kecamatan Taman sari,
sedangkan Desa Parakan berada di Kecamatan Ciomas sehingga Desa Pasireurih merupakan
desa perbatasan antara Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Taman Sari.

Gambar 1. Peta Administrasi Desa Pasir Eurih
Sumber : Dahlan (2009)

II.3. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan
berdasarkan hasil survei dan wawancara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder
diperoleh dari data yang pernah dipublikasikan sebelumnya, baik dari hasil penelitian,
literatur maupun situs internet. Dari pengembangan data sekunder ini saya dapatkan
penelitian-penlitian ayng terkait Kampung Budaya Sindang Barang. Penelitian-penelitian yang
sejauh ini saya ketahui adalah :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia yang bernama Dina Amalia Susamto pada tahun 2008 yang
9

menghasilkan tesis yang berjudul Hibrida Lokal-Global pada Politik Komodifikasi
Budaya Serentaun Rekonstruktif, Upacara Tahunan Masyarakat Sunda, di Sindang
Barang Kabupaten Bogor
2. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Departeman Arsitektur Lanskap Institut
Pertanian Bogor yang bernama Mohammada Zaini Dahlan pada tahun 2009 yang
terdapat pada skripsi ayng berjudul Perancanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya di
Kampung Budaya Sindang Barang, Desa Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten
Bogor.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Departeman Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor yang bernama Untung Prasetyo
pada tahun 2011 yang terdapat pada skripsi yang berjudul Komodifikasi Upacara
Tradisional Serentaun dalam Pembentukan Identitas Komunitas (Kasus : Kampung
Budaya Sindangbarang, Desa Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat)
4. Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
yang bernama Anugrah P.F. Halim pada tahun 2008 yang terdapat pada skripsi yang
berjudul Identifikasi Bangunan Berundak Pasir Karamat di Kampung Sindangbarang
Desa Pasireurih Bogor Jawa Barat.
Penelitian-penelitian tersebut mempunyai pendekatan yang berbeda dengan makalah
ini, yang mana secara garis besar penelitian-penelitian di atas lebih mempelajari mengenai
budaya, lanskap, dan pembentukan identitas. Sedangkan pembuatan makalah ini lebih
mengacu pada pengaruh terhadap perkembangan kota. Penelitian-penelitian diatas memberi
masukan berupa data maupun penjelasan yang sangat berguna dalam penulisan makalah ini.

10

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1. Kondisi umum
Kampung Sindang Barang merupakan suatu bagian dari wilayah adminsitratif Desa
Pasireurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Meskipun berada di wilayah Kabupaten
Bogor, hubungan yang terjalin lebih intens dengan Kota Bogor karena jaraknya lebih dekat,
dan akses menuju Kampung Desa Pasireurih melalui Kota Bogor. Jika dilihat dari segi jarak
maka jarak antara Kota Bogor dengan Desa Pasireurih hanya 5 Km dibandingkan dengan jarak
dengan Kabupaten Bogor sekitar 15 km. Desa Pasireurih berada pada ketinggian 350-500
mdpl. Secara administratif Desa Pasireurih berbatasan dengan Desa Parakan Kecamatan
Ciomas di sebelah utara, Desa Taman Sari sebelah Selatan, Desa Sirnagalih di sebelah Timur
dan Desa Sukaresmi di sebelah barat. Ketiga desa yakni Desa Sukaresmi, Desa Sirnagalih dan
Desa Taman Sari masih berada di kecamatan Taman Sari, sedangkan Desa Parakan berada di
kecamtaan Ciomas sehingga Desa Pasireurih merupakan desa perbatasan antara Kecamatan
Ciomas dan Kecamatan Taman Sari.
Akses menuju Desa Pasireurih cukup baik dengan tersedianya jalan yang menuju Desa
Pasireurih dari utara maupun selatan. Fasilitas jalan menuju ke Desa Pasireurih cukup baik
dan ditambah adanya kendaraan umum seperti angkutan kota maupun ojek, memudahkan
untuk menuju Desa Pasireurih.
Terdapat dua gerbang utama bagi penduduk dari luar Kota Bogor untuk menuju Desa
Pasireurih yaitu melalui Stasiun Bogor dan Terminal Bogor. Jarak terdekat dari stasiun Bogor
menuju Desa Pasireurih sekitar 9,9 km dengan jarak tempuh sekitar 33 menit (Gambar 2),
sedangkan jarak terdekat dari terminal Bogor sekitar 8,4 km dengan jarak tempuh sekitar 36
menit (gambar 3)

11

Gambar 2. Akses menuju Kampung Budaya Sindang Barang dari Stasiun Bogor
(Sumber : Google Maps)

Gambar 3. Akses menuju Kampung Budaya Sindang Barang dari Terminal Bogor
(Sumber : Google Maps)

Desa Pasireurih sangat kental dengan kondisi perdesaan yang mana nuansa alaminya
masih sangat terasa. Menurut Dahlan (2009) Karakter lanskap alam yang khas dari Desa
Pasireurih yaitu melimpahnya sumber daya alam mineral (material batuan) hasil letusan
Gunung Salak. Tata guna lahan yang didominasi oleh lahan pertanian menjadikan Desa
Pasireurih sebagai desa yang kegiatan penduduknya didominasi oleh kegiatan agraris.
Berdasarkan penjelasan Dahlan (2009) bahwa penggunaan lahan di wilayah Desa Pasireurih
secara umum terdiri dari lahan terbangun (93,11 ha/29%) dan lahan terbuka (223,26 ha/71
12

%) . Untuk lahan terbangun penggunaannya terdiri dari rumah penduduk, masjid, bangunan
bale pertemuan, madrasah, sekolah dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan untuk lahan
terbuka penggunaannya untuk lahan pertanian (sawah dan ladang), pemakaman
umum,makam leluhur, sungai dan hutan keramat (leuweung tutupan) (gambar 5.)

Gambar 4. Lahan pertanian di Desa Pasireurih
(Sumber : Dokumentasi pribadi)

Kelestarian alam di Desa Pasireurih didukung oleh pola kehidupan beberapa masyarakat
setempat yang masih menganut kepercayaan kearifan lokal. Sebagaimana yang dijelaskan
Dahlan (2009) bahwa kepercayaan terhadap keramatnya yang masih mengakui adanya
leuweung tutupan (hutan lindung) menjadikan mereka tidak dengan mudah merubah fungsi
lahan yang dipercaya sebagai leuwueng tutupan.

Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Desa Pasir Eurih
(Sumber : Dahlan, 2009)

13

Mata pencaharian penduduk Desa Pasireurih didominasi oleh pekerjaan yang
berhubungan dengan bidang pertanian. Dalam tabel 1. dapat diketahui mata pencaharian
penduduk Desa Pasireurih yang heterogen namun petani mendominasi dengan presentase
sebesar 69,13%. Menurut Prasetyo (2011) kategori petani dibedakan menjadi 3 jenis yaitu
petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Petani menanam padi dan palawija sebagai
selingan ke waktu tanam berikutnya.
Tabel 1. Presentase Penduduk Desa Pasir eurih berdasarkan Mata Pencaharian

No

Jenis Pekerjaan

Persentase

1

Petani

69,13

2

Pengrajin

9,70

3

Pedagang

8,57

4

Pengemudi/Jasa

6,12

5

Pegawai Negeri Sipil

5,00

6

TNI

0,34

7

Pensiunan

1,22

Jumlah (%)

100

Sumber : Monografi Desa Pasireurih 2009, dalam Prasetyo, 2011

Selain bertani, penduduk disana juga bermata pencaharian sebagai pengrajin.
Pengrajin disini adalah yang bergerak di sektor home industry sepatu dan sendal. Menurut
Dahlan (2009) Sejak masuknya industri tersebut banyak penduduk yang beralih profesi
menjadi pedagang dan pengrajin. Berdasarkan data profil desa diketahuin bahwa terjadi
perubahan profesi yang sangat signifikan pada profesi di bidang pertanian menjadi
perdagangan dan industri dengan tingkat perubahan 23% atau sekitar 134 jiwa pertahun yang
beralih profesi.

III.2. Sejarah Kawasan Sindang Barang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2009) terdapat dua sumber yang
menerangkan mengenai sejarah dari Sindang Barang, yaitu menurut Babad Pakuan dan
Pantun Bogor. Nama Sindang Barang telah dikenal dan tercatat dalam Babad Pakuan sebagai
salah satu daerah penting kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan di
kawasan Sindang Barang terdapat salah satu keraton kerajaan yang merupakan tempat
tinggal salah satu istri dari Prabu Siliwangi/Pamanah Rasa/Sri Baduga yang bernama Dewi
14

Kentring Manik Mayang Sunda. Adapun penguasa Sindang Barang saat itu adalah Surabima
Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Bahkan Putra Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang
Sunda yang bernama Guru Gantangan lahir dan dibesarkan di Sindang Barang. Adapun pusat
dari kerajaan Pajajaran sendiri berada di wilayah Cipaku, Batu Tulis dan Lawang Gintung.
Menurut Pantun Bogor sejarah Sindang Barang dikenal dengan nama Lembur Taman
yang dibangun pada tahun 1611 oleh Mbah Camplang dan hingga saat ini masih ada bukti
keberadaannya. Pada jaman Prabu Wisnu Barata, Lembur Taman dijadikan sebagai pusat
perkembangan agama Sunda dan di kawasan tersebut dibangun punden (bukit berundak)
untuk sarana beribadah menurut agama Sunda. Oleh karena itu tidak mengherankan saat ini
di Sindang Barang terdapat 94 titik sebaran situs purbakala dan baru 54 situs yang telah
teridentifikasi dengan 33 buah situs berupa punden berundak11.
Nama Sindang Barang, memiliki arti yaitu Sindang (berhenti atau mampir) dan Barang
(urusan duniawi) jika digabung menjadi menghindari dari segala urusan dunia atau menyepi12.
Menurut Dahlan (2009) Hal tersebut juga sesuai dengan Pantun Bogor yang mengartikan
bahwa Sindang Barang adalah tempat untuk meninggalkan kebisingan dunia (menyepi).
Pennyataan ini juga sesuai dengan banyaknya situs-situs punden berundak pada Kawasan
Sindang Barang yang berfungsi sebagai tempat bersemedi.

III.3. Sejarah Terbentuknya Kawasan Kampung Budaya Sindang Barang
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang
yaitu Abah Ukat, Kampung Budaya ini terbentuk atas inisiatif beberapa sesepuh (kokolot)
yang gelisah akan keberlangsungan budaya Sunda yang lambat laun akan semakin hilang.
Abah Ukat sebagai pengelola dan salah satu pengagas Kampung Budaya Sindang Barang
bercerita kegelisahan beliau memuncak pada tahun 2000 melihat bahwa Serentaun yang
merupakan tradisi yang sudah dijalankan sejak zaman Kerajaan Pajajaran selama 30 tahun
belakangan dilaksanakan secara terpecah-pecah13 (dalam lingkup keluarga atau tingkatan RT)
sehingga menjadi sedekah rumahan saja, nilai-nilai tradisi budaya sunda tidak tercermin

11

Hasil penelitian DR. Agus Arismunandar dari Fakultas Ilmu dan Bahasa Universitas Indonesia (Sumber: http://kpsindangbarang.com dalam Dahlan, 2009).
12 berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang yaitu Abah Ukat pada tanggal 16
Desember 2016
13 Pada tahun 1971, Kepala Adat Terakhir yang bernama Etong Sumawijaya meninggal dan tidak ada regenerasi setelahnya.
Hal tersebut menyebabkan kekosongan kepala adat dan Serentahun akbar kawasan Sindang Barang berhenti karena
kekosnongan kepala adat.

15

dalam pelaksanaan serentaun tersebut. saat ini pelaksanaannya tidak sesuai esensinya karena
dilaksanakan secara terpecah-pecah tanpa ada kepala adat.
Kemudian pada tahun 2002 Abah Ukat berinisiatif untuk mencari dan menemui salah
satu keturunan Alm. Etong Sumawijaya, kepala adat terdahulu, untuk mengisi kekosongan
posisi kepala adat. Akhirnya beliau menemui Achmad Mikami Sumawijaya (Maki) di Jakarta
dan pada awalnya Abah Ukat megalami penolakan karena kondisi Maki yang sedang sakit.
Namun pada akhirnya pada setelah pendekatan yang dilakukan oleh Abah Ukat pada tahun
2003 Maki bersedia menjadi kepala adat dan pada tahun 2004 mulai merintis dengan
membangun sanggar seni yang bernama Giri Sundapura.
Menurut Dahlan (2009) keberadaan sanggar tersebut menjadikan seni Sunda yang
terancam punah kembali terangkat dan kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Banyak anak-anak dan remaja dari masyarakat setempat yang mengikuti program sanggar
dan puncaknya pada saat peringatan HUT RI ke-59 dimana masyarakat mulai mengenali dan
mencintai kembali kesenian warisan leluhur yang hampir punah14. Pada tahun 2004 juga pada
saat terbentuknya sanggar, kepala adat mulai diakui dengan terpilihnya Maki sebagai kepala
adat Kampung Sindang Barang.
Kemudian setelah respon positif masyarakat tersebut, para sesepuh mulai mencari
dan menggali kembali nilai dan budaya lain yang pernah dilaksanakan di kawasan Sindang
Barang. Hingga akhirnya beberapa sesepuh menrekomendasikan Upacara Sedekah Guru
Bumi (Serentaun) dan berbagai tradisi, seni, dan kebudayaan lainnya untuk direvitalisasi
(Dahlan, 2009). Selama prosesnya terdapat pihak yang setuju dan ada pula yang kontra
terhadap perkembangan tersebut. Mereka yang menolak, beranggapan bahwa dengan
adanya upacara Serentaun akan berakibat munculnya aliran kepercayaan yang tidak sesuai
dengan tradisi yang bukan berasal dari Islam, mengingat mayoritas penduduk Sindang Barang
beragama Islam. Namun setelah pendekatan dan diskusi bersama dengan sesepuh, tokoh
masyarakat dan agama di Sindang Barang, akhirnya dapat ditemukan solusi dan dipahami
bersama bahwa pelaksanaan upara Serentaun sebagai bentuk pelestarian budaya dan tradisi
Sunda.
Acara Serentaun dapat dilaksanakan secara akbar pada tahun 2006, pertama kali
setelah Serentaun akbar terakhir pada tahun 1971. Hal ini mendapat perhatian dari
14

Abah Ukat dengan bangga bercerita bahwa pada saat ulang tahun salah satu stasiun televisi swasta, anak-anak asuhnya
dari sanggar Giri Sundapura tampil pada acara tersebut menari Jaipong mendampimgi artis cilik Sandrina.

16

masyarakat setempat dan juga masyarakat luar bahwa masih adanya tradisi yang sunda yang
masih dipertahankan di Kampung Budaya Sindang Barang. Kemudian terdorong dengan
prinsip pelestarian budaya yang sejalan dengan program pemerintah provinsi Jawa Barat,
kemudian Achmad Mikami Sumawijaya (ketua adat) diundang oleh Gubernur Jawa Barat
Danny Setiawan untuk koordinasi mengenai kegiatan budaya di Sindang Barang. Pertemuan
tersebut berakhir dengan penawaran dana oleh pihak Provinsi Jawa Barat kepada sesepuh
Sindang Barang untuk mengembangkan kawasan Sindang Barang sebagai kawasan wisata
budaya (Dahlan, 2009).
Kemudian dengan dana yang mereka dapatkan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Pemerintah Kabupaten Bogor, dan dana dari sumbangan ketua adat, dibangunlah Kampung
Budaya Sindang Barang yang dibangun diatas tanah adat yang awalnya berupa sawah. Luas
tanah yang dibangun sekitar 8.600 m2 dengan fasilitas berupa 1 unit Imah Gede (rumah ketua
adat), 1 unit Girang Seurat (sekretariat), 2 unit Imah Kokolot (rumah sesepuh adat), 6 unit
Imah Warga (rumah penduduk), 1 unit Bale Pangriungan (aula), 1 unit Imah Talu (tempat
kesenian), 6 unit Saung Leuit (lumbung padi), 1 unit Saung Lisung (tempat menumbuk padi),
1 unit Pawon (dapur), 2 Tampian unit (kamar mandi), dan fasilitas penunjang lainnya seperti
jalan beraspal (Dahlan, 2009). Menurut Dahlan (2009), dalam penentuan letak Kawasan
Kampung Budaya Sindang Barang dan pembangunan fisik bangunan-bangunan adat
didasarkan pada tuntunan dari Anis Djatisunda yang bersumber dari Pantun Bogor. Dalam
tata letak kawasan diharuskan tempat yang akan dijadikan sebagai kawasan Kampung Budaya
Sindang Barang adalah tempat yang berada di daerah tinggi sebagai penghormatan bagi ketua
adat.
Dalam penjelasan lebih lanjut oleh Dahlan (2009) tempat yang akan dijadikan sebagai
kawasan kampung adat harus berada diantara dua aliran sungai dan tentunya memiliki
keterkaitan yang kuat dengan sejarah Sunda tempo dulu. Dengan ketentuan demikian, maka
ditetapkan desa Pasir Eurih sebagai kawasan Kampung Budaya Sindang Barang karena berada
di daerah yang tinggi dan diapit oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Ciapus dan Sungai Ciomas
selain memang sebagian besar tanah milik keluarga Sumawijaya berada di daerah Sindang
Barang terutama desa Pasir Eurih.
Dalam proses pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang tidak terlepas dari
keberadaan dua kampung adat yang masih terjaga kelestraiannya yaitu Kampung Adat Lebak
Banten dan Kmapung Adat Cipta gelar Sukabumi (Dahlan, 2009). Kedua kampung tersebut
17

memberikan referensi akan bentuk bangunan dan pelaksanaan upacara Serentaun karena
kedua kampung adat tersebut masih menggunakan adat istiadat dan kebudyaaan sunda
dalam kehidupan masyarakatnya.

Saung Leuit

Bale Pangriungan

Imah Warga

Saung Lisung

Gambar 6. Bangunan yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang
Sumber : Dokumentasi pribadi

Menurut Dahlan (2009) Keberadaan Kampung Budaya Sindang Barang saat ini
merupakan upaya revitalisasi dan pembangunan fisik berupa replikasi dan imitasi untuk
menampilkan periode setting dari perkampungan tradisional Sunda tempo dulu yang pernah
ada di Sindang Barang Kabupaten Bogor. Adapun untuk upaya revitalisasi, dilakukan terhadap
pelestarian dan pengembangan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tinggi dari kawasan
Sindang Barang.
Kota merupakan cerminan dari tindakan penduduknya. Dalam Evers dan Korff (2002)
untuk dapat menilai dinamika sebuah kota yang sedang berkembang dan melacak proses
perkembangannya maka digunakan sudut pandang partisipan yang ikut dalam proses itu.
Dalam hal ini bagaimana suatu komunitas yang terdiiri dari para sesepuh dan kokolot
Kampung Sindang Barang berusaha membangkitkan budaya Sunda yang terdegradasi akibat
18

pengaruh budaya luar dan moderinisasi akibat perkembangan kota. Artinya bahwa komunitas
sesepuh tersebut menganggap bahwa kota membawa dampak buruk akibat proses
modernisasi dan budaya globalnya sehingga perlu adanya suatu upaya pelestarian budaya
sebagai pengingat jati diri masyarakat Sunda.
Pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang juga tidak terlepas dari corak kapitalis
untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Lafebvre (1976) dalam Evers dan Korff (2002)
bahwa dengan adanya globalisasi yang berbasis pada aliran informasi ruang telah berubah
menjadi bersifat abstrak dan lokalitas menjadi komoditas. Namun corak kapitalisme yang ada
pada Kampung Budaya Sindang Barang masih dalam tahap pencarian keuntungan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar dalam menjamin keberlangsungan Kampung Budaya Sindang
Barang karena terbentur nilai-nilai luhur budaya lokal sunda yang masih dipegang tegun oleh
pengelola Kampung Budaya Sindang Barang.
Kemudian dalam prosesnya pembentukan Kampung Budaya Sindang Barang ini juga
terdapat dinamika antara pihak yang pro dan kontra akan pembentukan Kampung Budaya
Sindang Barang dengan segala aktivitasnya. Hal ini relevan dengan penjelasan Evers dan Korff
(2002) bahwa kota-kota dibuat dan digeluti oleh penduduknya tidak dalam bentuk kerjasama
yang harmonis, melainkan melalui berbagai konflik antara pihak yang mendominasi dan
mendesakkan pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang mereka dominasi. Disini
terdapat pertentangan dari kalangan elite agama Islam terutama dalam upacara Serentaun
yang menjadi domain Kampung Budaya Sindang Barang. Resistensi mereka karena mereka
beranggapan bahwa dengan adanya uoacara Serentaun akan berakibat munculnya aliran
kepercayaan yang tidak sesuai dengan tradisi yang bukan berasal dari Islam, mengingat
mayoritas penduduk Sindnag Barang beragama Islam. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Susamto (2008) diketahui bahwa menurut elit agama Islam pembaharu terdapat beberpa
ritual yang dikhawatirkan akan merusak ajaran Islam sperti penguburan kepala kerbau ketika
dipotong, penggunaan dupa ketika mengadakan upacara meskipun membaca doa-doa dalam
agama Islam sebagai pengganti mantera, mngadakan ziarah ke makam leluhur, dan
kepercayaan terhadap Dewi Sri yang memberi berkah terhadap tanaman. Namun setelah
pendekatan dan diskusi bersama dengan elit tradisi yang akhirnya dapat ditemukan solusi dan
dipahami bersama bahwa pelaksanaan upara serentaun sebagai bentuk pelestraian budaya
dan tradisi sunda sekaligus sarana memperkenalkan budaya Sunda dalam kesempatan
pariwisata. Hal tersebut dibarengi penyesuaian Upacara Serentaun yang mengurangi atau
19

memodifikasi ritual Serentaun demi menghindari perbuatan syirik seperti pada ritual
penyembelihan kepala kerbau tidak dikuburkan. Penguburan bagian-bagian dari hewan
kurban yang tidak dapat dimakan lagi oleh manusia.
Hal tersebut relevan dengan pandnagan Evers dan Korf (2002) bahwa pihak yang
mendominasi dalam hal ini elit agama Islam berusaha memaksakan pemahaman mereka
terhadap uepacara serentaun namun hal ini bisa tercapai kesepakatan dengan negosiasi demi
mencapai tujuan bersama.

III.4. Elemen Sejarah dan Budaya Kampung Budaya Sindang Barang
Kampung Budaya Sindnag Barang merupakan suatu kawasan yang mempunyai nilai
sejarah dan budaya yang kuat. Hal ini menyebabkan kawasan ini mempunyai daya tarik
tersendiri karena sehingga dapat dijadikan komoditi wisata. Dari aspek sejarah, kawasan ini
erat kaitannya dengan kerajaan Pajajajran yang karena keberadaan salah satu istana kerajaan
Pakuan Pajajaran yang didiami oleh salah satu istri Prabu Siliwangi. Selain cerita
bersejarahnya, kawasan ini memiliki benda-benda peninggalan sejarah yang masuk dalam
benda cagar budaya. Saat ini di Sindang Barang terdapat 94 titik sebaran situs purbakala dan
baru 54 situs yang telah teridentifikasi dengan 33 buah situs berupa punden berundak.
beberapa situs yang sudah teridentifikasi diantaranya adalah Batu Karut, Batu Meja, Batu
Kursi, Jalantunda, Punden Majusi, Punden Surawisesa, Leuweung Tutupan dan sebagainya.
Dari aspek budaya, kawasan Sindang Barang mempunyai keragaman budaya yang
terbagi dalam segi ritual, adat, dan kesenian. Menurut Dahlan (2009) Sebelum Kampung
Budaya Sindang Barang dibangun dan direvitalisasi, kondisi budaya di kawasan Sindang
Barang tidak begitu mendapatkan perhatian dari mayarakat setempat. Hal ini akibat pengaruh
budaya luar dan perkembanagn teknologi dan informasi yang serta modernisasi yang
perlahan-lahan memepenagruhi khasanah budaya lokal, berdampak pada hilangnya
karakteristik budaya khas Sindang Barang. Padahal banyak terdapat budaya lokal yang
menjadi ciri khas Sindang Barang, diantaranya upacara Serentaun (Sedekah Guru Bumi
Sindang Barang) dan Parebut Seeng (berebut seeng). Adat Parebut Seeng merupakan adat
yang khas dari masyarakat Sindang Barang yang digunakan pada acara pernikahan. Sedangkan
Serentaun merupakan adat yang masih lestari yang dilaksanakan setelah panen raya sebagai
ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang telah diberikan.
Selain itu masih terdapat beberapa ritual yang dari dulu hingga saat ini masih dilaksanakan
20

oleh masyaraat Sindnag Barang diantaraya Runjakeun, Majikeun Pare, Sebet Kasep,
Rengkong, dan Angklung Gurak. (Dahlan, 2009). Di Kampung Budaya Sindang Barang upacara
dan ritual-ritual tersebut direkonstruksi dan direvitalisasi sebgai bentuk pelestarian budaya
dan komoditas wisata budaya.
Selain upacara dan ritual, teredapat kesenian yang unik dan khas yang terdapat di
kampung Budaya Sindnag Barang yaitu Angklung Gubrag dan Pencak Silat Cimande. Keduanya
merupakan obyek dan daya tarik kesenian yang unik dan khas dan dapat disuguhkan sebagai
atraksi yang menarik.
Secara fisik Kampung Budaya Sindang Barang memiliki keunikan dan kekhasan
tersendiri. Seperti pada pola tata ruang kawasan, pola tata ruang bangunan baik luar
(outdoor) maupun dalam (indoor), atau pola tata ruang antar bangunan (neigborhood). Selain
itu nilai budaya tercermin pula pada arsitektur dan struktur bangunan di Kampung Budaya
Sindang Barang. Dengan filosofi yang kuat dari sejarah Sunda di Sindang Barang menghasilkan
karakter arsitektur Sunda yang unik dan khas, hal ini akan memberikan daya tarik bagi
wisatawan untuk berkunjung.
Begitu juga keunikan dan keberagaman perkakas yang biasa digunakan oleh
masyarakat untuk berbagai aktifitas menjadi obyek wisata yang unik bagi wisatawan.
Peralatan dapur seperti Hawu (tungku), Suluh (kayu bakar), Seeng (tempat masak air),
Aseupan (tempat masak nasi), Dulang (tempat menanak nasi), Hihid (kipas untuk menanak
nasi), Boboko (tempat menyimpan nasi) dan sebagainya.

III.V. Komodifikasi Budaya sebagai Strategi Keberlangsungan Kampung Budaya Sindang
Barang
Komodifikasi budaya di Kampung Buaya Sindang Barang tidak terelakan lagi terjadi
karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Niat luhur dalam membangkitkan
keberadaan budaya lokal Sunda dan pelestraiannya terbentur masalah finansial. Motif
ekonomi yang dijalankan Kampung Budaya Sindang Barang merupakan suatu strategi
mempertahankan diri dari globalisasi dan kapitalisme. Prinsip budaya tradisional yang
berasaskan gotong royong sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang yang mana uang
adalah segalanya. Bahkan dalam awal terbentuknya Kampung budaya Sindangbarang,
dibutuhkan uang yang cukup besar yang didapatkan dari pemerintah dan kelompok adat
dalam merekonstrusi Kampung Budaya tersebut.
21

Menarik bahwa bagaimana komunitas kelompok adat ini dengan segala niat luhurnya
ingin melestarikan budaya dan kearifan lokal sunda bernegosisasi dengan tuntutan globalisasi
dan kapitalisme yang ada. Proses pembentukan ruang dalam bentuk kampung budaya dan
komodifikasi budaya yang mereka lakukan merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap
globalisasi dengan menciptakan wisata budaya yang mempunyai nilai ekonomi yang menurut
pengelola atau kokolot Kampung Budaya Sindang Barang bukan untuk tujuan komersial
melainkan digunakan untuk menutupi biaya pemeliharaan dan operasional Kampung Budaya
Sindang Barang15. Karena budaya sendiri dalam perkembangannya bisa dijadikan suatu
komoditas yang menghasilkan keuntungan ekonomi dimana hal ini disebut sebagai
komodifikasi. Berdasarkan penjelasan Surbakti (2009) dalam Prasetyo 2011 komodifikasi
adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas dan simbol
dijadikan sebagai komoditas yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. Berdasarkan
pe dapat tersebut, Uta a 2009 dala

Prasetyo

e u jukka

bahwa

ilai ti ggi

kebudayaan tidak sekedar diukur dengan menunjuk pada kandungan filosofis atau kearifan
tradisional tetapi dapat dilihat pula dari nilai rupiah atau harga jualnya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa keunikan suatu budaya mempunyai daya tarik tersendiri sehingga
meningkatkan nilai jual dari produk-produk budaya yang sudah ada ataupun menginisiasi
reproduksi budaya yang telah ada dan diciptakan ulang.
Menurut hasil wawancara dengan Abah Ukat, pada awal terbentuknya Kampung
Budaya Sindang Barang tidak terpikirkan niat untuk mencari uang. Namun setelah beberapa
bulan berjalan dan tidak ada bantuan dana dari pemerintah untuk pemeliharaan dan
operasional Kampung Budaya Sindang Barang maka pengelola pun mencari cara menjaga
kebelangsungan Kampung Budaya Sindang Barang dengan cara komersial. Hal ini juga
mendapat dukungan dari pemerintah asalkan idak merubah esensi budaya dan tradisi yang
dipegang oleh Kampung Budaya Sindang Barang. Biaya pemeliharaan Kampung Budaya
Sindang Barang untuk membayar tenaga kerja yang membersihkan dan merawat bangunanbangunan di Kampung Budaya Sindang Barang. Sedangkan biaya operasional ditujukan untuk
membayar penngajar di sanggar seni Giri Sundapura yang terdapat dalam Kampung Budaya
Sindang Barang.

15

Informasi dari http://kp-sindangbarang.com/?page_id=20 diakses pada tanggal 22 Desember 2016 Pukul 03.00 WIB
kemudian ditegaskan dalam penyataan Abah Ukat pada saat wawancara.

22

Apa yang dilakukan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang menrupakan suatu
bentuk Kreativitas sosial sebagaimana yang dijelaskan Evers dan Korff dalam bukunya yang
berjudul Urbanisme di Asia Tenggara (2002). Kerativitas sosial adalah suatu definisi kehidupan
yang cukup serta upaya-upaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang dapat menghasilakn
kecukupan hidup itu. Dalam hal ini pengelola Kampung Budaya Sindang Barang sebagai pihak
yang mempunyai kekuasaan atas simbol-simbol budaya sunda mencoba mengerahkan
sumberdayanya dalam bentuk komodifikasi budaya sunda. Akan tetapi proses komodifikasi
budaya yang mereka lakukan bukan merupakan usuran ekonomi murni melainkan menjadi
urusan yang ditata oleh hubungan-hubungan sosial berupa nilai-nilai budaya dan tradisi sunda
tradisional. Motif ekonomi yang mereka lakukan dilakukan merupakan suatu pemenuhan
kebutuhan dasar yang bertujuan untuk keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang.
Menurut Abah Ukat pemasukan dari wisata budaya di Kampung Budaya Sindang
Barang bukan semata-mata tujuan utama. Pemasukan yang mereka dapatkan hanya cukup
untuk kebutuhan keberlangsungan Kampung Budaya Sindang Barang. Dalam hal ini dapat
dilihat dari cakupan wisata yang Kampung Budaya Sindang Barang tentukan yaitu merupakan
wisata minat sejarah dan budaya yang masuk ke dalam kelompok obyek dan daya tarik wisata
budaya. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, telah
diamanatkan bahwa pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya adalah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan bangsa, baik dari segi kebudayaan, pendidikan, pariwisata
dan sebagainya. Dengan demikian Benda Cagar Budaya baik yang bergerak maupun yang
tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dengan tetap memperhatikan
pelestariannya (Dahlan, 2009).
Pengembangan wisata budaya yang mereka lakukan adalah dengan membuat paketpaket aktivitas berupa paket belajar kesenian, paket upacara Serentaun, paket menginap
dengan aktifitas tradisional sunda, outbond dan penjelajahan yang masih selaras dengan
konteks budaya tradisional sunda dan sejarah Sindang Barang. Menurut Abah Ukat jika hanya
bertujuan mendapatkan keuntungan yang besar, maka Kampung Budaya Sindang Barang bisa
saja membangun kolam renang atau tempat bermain anak yang bersifat modern, namun hal
tersebut meleceng dari esensi dibangunnya Kampung Budaya Sindang Barang sebagai tempat
pelestarian budaya Sunda tradisonal.
Menurut Evers dan Korff (2002) dampak dari kreativitas sosial terhadap ekonomi
adalah terciptnya differensiasi yang luas dalam ekonomi pasar, dan munculnya tantangan
23

terhadap bisnis-bisnis besar melalui spekulasi dan diperolahnya segmen-segmen ekonomi
yang dengan adanya kondisi-kondisi baru mungkin menjadi menguntungkan. Hal ini sejalan
dnegan tindakan pengelola Kampung Budaya Sindang Barang dalam mengolah komodifikasi
budaya dengan pembuatan paket-paket wisata budaya.
Kreativitas sosial juga berdampak pada masyarakat secara keseluruhan karena
mempenagruhi terhadap perubahan norma-norma dan nilai-nilai serta terciptanya bentukbentuk hubungan sosial, komunikasi, dan interaksi baru (Evers dan Korff, 2002). Pada awal
terbentuknya Kampung Budaya Sindang Barang. Pengunjung Kampung Budaya Sindang
Barang pada waktu itu masih sedikit dan dalam rangka menarik minat wisatawan, Pengelola
Kampung Budaya Sindang Barang membuat proposal dan penawaran secara tertulis ke
sekolah-sekolah. Kemudian setelah adanya liputan mengenai wisata budaya di Kampung
Budaya Sindang Barang oleh stasiun televisi, kemudian dibarengi dengan informasi mengenai
Kampung Budaya Sindang Barang di media elektronik membuat eksistensi Kampung Budaya
Sindang Barang diketahui masyarakat luas sehingga berdampak pada meningkatnya
pengunjung Kampung Budaya Sindang Barang. Selain itu pengelola Kampung Budaya Sindang
Barang juga membuat situs internet yang berisi informasi profil Kampung Budaya Sindang
Barang dan paket-paket wisata yang ditawarkan. Ditambah dengan adanya informasi dari
situs internet milik pemerintah daerah dan blog pribadi dari pengunjung menmbagikan
pengalamannya setelah berkunjung ke Kampung Budaya Sindang Barang memudahkan
masyarakat dalam mengakses informasi mengenai Kampung Budaya Sindang Barang.
Menurut Susamto (2008) situs dalam internet menjadi penanda berpindahnya ruang
lokalitas yang semula hanya lokalitas secara harfiah menjadi lokalitas imajiner. Lokalitas
secara geografis Sindang Barang sebagai masyarakat trasnsisi yang sehari-harinya bertemu
secara bertatapan muka, terikat kekeluargaan yang kuat, jarang berpindah ke wilayah lain,
menjadi potret masyarakat sindang barnag yang dapat dilihat orang lain dari jarak yang telah
kabur. Masuknya lokaslitas secara geografis ini dalam ruang global teknologi informasi
menjadikan keberadaan Sindnag Barang yang kampung dalam posisi hibrida16.

16

Homi Bhabha (1994) dalam Hajad (2014) mengajukan sebuah dasar dalam identitas hibrida yaitu konsep mimikri untuk
menggambarkan proses peniruan atau peminjaman ber