Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polsek Deli Tua)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peranan saksi dalam setiap perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim.Berdasarkan hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapatkan perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.Oleh karena itu, saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materil.4

Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan,

Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana.

4

Muhadar, Dkk. Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana.Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010, hlm 1.


(2)

keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.5

Masalah narkotika merupakan masalah nasional dan internasional, karena penyalah gunaannya akan berdampak negatife terhadap kehidupan

Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka bangsa Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang, khususnya bidang hukum, meliputi penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum ke arah tegaknya hukum, ketertiban, dan kepastian hukum.

Hukum di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan, baik di mata masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional.Masyarakat melihat dan menilai sistem hukum di negeri kita sangat lemah.Salah satu yang dianggap lemah adalah dalam permasalahan perlindungan saksi.Saksi di Indonesia kurang mendapat perhatian dan perlindungan hukum, sehingga seorang saksi dapat dengan mudah dipengaruhi, diteror, bahkan mungkin dibunuh agar tidak dapat bersaksi guna mengungkap suatu tindak pidana. Suatu tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi individu, masyarakat, bangsa, maupun negara, tidak terkecuali permasalahan narkotika.

5

Surastini Fitriasih, “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju ProsesPeradilan(Pidana)YangJujurAdil”,http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarti cle&artid, diakses pada tanggal 8 maret 2015.


(3)

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal yang sama dirasakan di Indonesia dimana hampir setiap hari peredaran narkoba dan penyalahgunaannya, mulai dari tertangkapnya pengedar ataupun ditemukannya pabrik-pabrik narkotika hingga berita generasi muda yang tewas karena mengkonsumsi narkotika, tiada henti-hentinya diberitakan di media cetak maupun media elektronik.

Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun mengalami peningkatan bahkan prediksi pada 2015 diperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan mencapai 5,8 juta jiwa. Hal ini karena jumlah pengguna narkotika untuk saat ini telah mencapai 4 juta jiwa.

Angka penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya terus meningkat di mana pada 2015 jumlah korban penyalahgunaan narkoba akan mencapai angka 5,8 juta jiwa dan saat ini jumlah pengguna atau korban penyalahgunaan narkoba sudah mencapai 4,2 juta orang. Kemudian di Indonesia saat ini sangat minim tempat rehabilitasi yang hanya bisa menampung 18 ribu orang sedangkan korban yang ada saat ini sebanyak 4,2 juta orang.6

Memperhatikan hal-hal di atas tampaknya besar kemungkinan, bahwa para bandar narkotika yang beroperasi di negara kita merupakan kepanjangan dan binaan dari jaringan organisasi-organisasi kejahatan Internasional. Sebagaimana diakui oleh beberapa pejabat Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), bahwa salah satu sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran narkotika ini agak sulit diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan


(4)

internasional yang bersifat tertutup dan ekslusif.7

Berbagai tindakan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika yang timbul dalam masyarakat, yaitu dengan cara :

Dengan demikian, setiap gangguan keamanan, utamanya yang merupakan suatu tindak pidana, harus ditanggulangi dengan sekuat tenaga dan sedini mungkin.

8

Berdasarkan fakta yang ada, aparat penegak hukum hanya mampu menjebloskan pelaku yang sifatnya hanya “pemain kecil”, yakni pengedar pengedar yang sifatnya hanya menyalurkan narkotika tersebut, itupun dengan barang bukti yang hanya sedikit, tetapi tidak mampu untuk menjerat tokoh di balik jaringan besar ini. Hal ini di dasarkan dengan semakin meningkatnya kejahatan ini.

1. pre-emptiveadalah pencegahan secara dini atau lebih awal, belum ada tanda-tanda kriminogen (faktor pencetus tindak kriminal);

2. Tindakan preventif adalah tindakan sebelum terjadinya kejahatan atau perbuatan yang melanggar hukum;

3. Tindakan represif adalah tindakan ini dimulai dari suatu adanya pelanggaran sampai pada suatu proses pengusutan, penuntutan dan penjatuhan pidana serta pelaksanaan pidana yakni menjerat pelaku dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

9

7

O.C Kaligis, 2002, Narkotika dan Peradilannya Di Indonesia, Bandung: Alumni Bandung,hlm. 273

8

Wresniworo, 2002, Masalah Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya, Jakarta: Mitra Bintimar, hlm. 33.

9

Daan Sabadah dan Kunarto, 1999, Kejahatan Berdimensi Baru, Jakarta: Cipta Manunggal,hlm. 302.


(5)

Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana narkotika ini, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat yang tertangkap.Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau.

Membantu aparat penegak hukum dalam hal mengungkap adanya tindak pidana narkotika yang terjadi merupakan suatu kewajiban setiap warga negara, namun di lain pihak apabila melaporkan peristiwanya tidak tertutup kemungkinan orang-orang yang terlibat peristiwa itu merasa tidak senang atau marah kepada orang yang bersaksi. Pada umumnya orang yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak bertindak sendirian, mereka berkawan, berkelompok atau diperkirakan tindak pidana ini juga terorganisasi, dimana ada yang bertindak sebagai pemasok bahan bakunya, ada yang bertindak sebagai produsen, bandar dan pengedar. Kalau sampai dilaporkan dan merasa akan terbongkar seluruh kegiatannya, besar kemungkinan mereka yang terlibat bukan hanya tidak senang dan marah saja, akan tetapi lebih dari itu, mereka akan main hakim sendiri dengan mengambil tindakan yang berakibat nasib buruk bagi saksi yang diketahuinya.10

Berdasarkan tindakan-tindakan yang akan mengancam keselamatan saksi tersebut, maka perlu adanya suatu jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang. Untuk itu tanpa diminta saksi, pihak yang

10


(6)

berwenang harus memberikan jaminan keamanan dan perlindungan sebaik-baiknya terhadap saksi jika nantinya mengalami ancaman maupun intimidasi dari sindikat narkotika.Seperti dikatakan Leden Marpaung bahwa, “Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun’’.11

Berdasarkan paparan tersebut diatas betapa seriusnya masalah perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika tersebut, dan hangat untuk menjadi isu penting yang menjadi perbincangan para praktisi hukum, kalangan mahasiswa, dan terutama aparat penegak hukum. Karena timbulnya ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih dalam masalah perlindungan saksi pelapor dalam skripsi yang berjudul “

Pentingnya jaminan keamanan dan perlindungan itu agar orang tidak merasa takut untuk melaporkan kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika, dan dengan jaminan yang nyata dan dapat dirasakan oleh seorang saksi, maka akan semakin banyak orang yang berani untuk menjadi saksi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan pelapor yang berintikan pada keadilan dan kebenaran serta mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum bagi saksi serta menghargai Hak Asasi Manusia yang menjadi hak bagi seorang saksi sehingga membantu dalam membuka tabir kejahatan perkara pidana dan mengungkap suatu kebenaran dari tindak pidana yang telah terjadi.

11

Leden Marpaung, 1992, Proses Penangaan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyidikan danPenyelidikan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 81.


(7)

Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polsek Delitua)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam masalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Perlindungan Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika?

2. Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Saksi dalamTindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua?

3. Bagaimana Upaya yang Dilakukan Untuk Melindungi Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dari tujuan penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika.

2. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di Wilayah Hukum Polsek Delitua.


(8)

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Polsek Delitua.

Adapun manfaat penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu secara teoritis dan praktis, yakni :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai perlindungan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia terhadap saksi dan pelapor.

b. Menambah khazanah ilmu pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan saksi dan pelapor. Juga diharapkan akan bermanfaat menambah dan memperkaya litelatur-litelatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan saksi dan pelapor serta dapat menjadi acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum memberikan perlindungan saksi dan pelapor dalam menyelesaikan perkara pidana khususnya tindak pidana narkotika.

b. Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di lingkungan institusi penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga peyidik tindak pidana (umum / khusus) yang mempunyai wewenang melakukan tindakan penyidikan dan menciptakan suasana koedatif dan


(9)

meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengungkap fakta kebenaran dalam suatu tindak pidana narkotika.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polsek Delitua)” ini adalah merupakan hasil pemikiran yang ide penulisannya murni hasil karya penulis sepenuhnya ditambah literature-literatur lain baik buku-buku milik penulis sendiri maupun buku-buku perpustakaan serta melakukan riset ke Polsek Delitua guna memperoleh data-data yang dapat mendukung skripsi ini. Setelah telah melakukan daftar penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukannya judul ataupun permasalahan yang sama. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan karya asli dari penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.


(10)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tentang Tindak Pidana Narkotika

Undang- undang Narkotika tidak membahas mengenai pengertian tindak pidana narkotika, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tentang tindak pidana diatas, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak pidana narkotika yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Narkotika. Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukum dan pidana. Menurut system hukum, bahwa hukum atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana, jika tidak ada Undang- Undang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.

Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum

Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenale “, yang pada intinya

menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Artinya adalah bahwa pidana itu harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukum lebih luas pengertiannya.

Guna memahami lebih jauh tentang pidana, hukum dan hukum pidana maka perlu dicermati defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum, diantaranya adalah:


(11)

1. Pendapat Sudarto, tentang pidana, beliau menyatakan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.12

2. Simorangkir, merumuskan definisi hukum, sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu hukuman yang tertentu.13

3. Chaerudin, memberikan defenisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :14 a. Hukum pidana adalah hukum sanksi, defenisi ini diberikan berdasarkan

ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain.

b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.

c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai:

1) Perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi pelanggannya.

2) Dalam keadaan apa terhadap pelanggar dapat dijatuhi hukuman 3) Bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya

Defenisi tersebut diatas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu, antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar

12

Sudarto, Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1975, hlm. 75. 13

Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta : Gunung Agung, 1962, hlm. 6.

14

Chaerudin, Materi Pokok Asas-asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam As Syafiyah,1996, hlm. 1.


(12)

belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus ditaati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.

Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah :15

1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Golongan I. 2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Produksi

3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan 4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ekspor dan Impor

5. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penyaluran dan Pengedaran

6. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Label dan Publikasi

7. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penggunaan Narkotika dan Rehabilitasi.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang dianggap sebagai tindak pidana adalah :16

1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika;

2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika.

3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika;

15

Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 172. 16

H. Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Uu Nomor 35 Tahun 35 Tahun 2009), Cetakan Pertama, Pt Rineka Cipta, Jakarta : 2012, hlm. 256.


(13)

4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang membawa, mengangkut, dan mentransit narkotika dan prekursor narkotika; 5. Tindak Pidana Narkotika bagi orang tua/wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan yang telah cukup umur yang sengaja tidak melaporkannya;

6. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika;

7. Tindak Pidana Narkotika terhadap percobaan atau permufakatan jahat melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor;

8. Tindak Pidana Narkotika bagi menyuruh, member, membujuk, memaksa dengan kekerasan, tipu muslihat dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika;

9. Tindak Pidana Narkotika bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan dirinya;

10. Tindak Pidana Narkotika bagi hasil-hasil dari tindak pidana narkotika dan/atau prekursor narkotika;

11. Tindak Pidana Narkotika bagi orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara;

12. Tindak Pidana Narkotika bagi nahkoda atau kapten penerbangan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28;

13. Tindak Pidana Narkotika bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti;

14. Tindak Pidana Narkotika bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1);

15. Tindak Pidana Narkotika bagi petugas laboraturium yang memalsukan hasil pengujian;

16. Tindak Pidana Narkotika bagi saksi yang member keterangan yang tidak benar;

17. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Luar Wilayah Negara RI;

18. Tindak Pidana Narkotika bagi pimpinan rumah sakit, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi, pimpinan pedagang farmasi yang melakukan tindak pidana narkotika.

Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.Pidana juga dapat dijatuhkan pada korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha dan/ atau pencabutan status badan hukum.


(14)

2. Tentang Saksi dan Pelapor

Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi pertama mengenai sutu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (mis. Penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.17

Ketentuan Pasal 1 angka 25 RUU KUHAP menentukan:

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian sebagai berikut : “Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui berbagai-bagai arti seperti: orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya bilamana perlu dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi atau orang yang mengetahui suatu kejadian atau orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa dan terdakwa.”

Defenisi saksi dalam perkara pidana tercantum dalam pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang menyatakan bahwa:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

18

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri.”

18

Ditjenpp.kemenkumham.go.id/rancangan/inc/buka.php, RUU KUHAP 2010, diakses pada tanggal 02 maret 2015.


(15)

Pengertian saksi dalam RUU KUHAP ini menegaskan bahwa aturan dalam RUU KUHAP hanya berlaku bagi saksi dalam ruang lingkup perkara pidana dan status saksi sudah dimulai dalam tahap penyelidikan, dibandingkan dengan KUHAP status saksi dimulai dari tahap penyelidikan.Pengertian saksi dalam undang-undang ini pun sedikit lebih maju, karena berupaya memasukkan atau memperluas perlindungan terhadap orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus pelapor atau pengadu. Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang diintrodusir KUHAP, dimana saksi tersebut harus memberikan keterangan mengenai perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Doktrin ini sebenarnya berelasi kuat dengan kekuatan nilai pembuktian.19

Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan sampaidengan pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah diharapkan.Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasuspidana yang dimaksud. Tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikansuatu kasus akan menjadi ”dark number” mengingat dalam system hukum yangberlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari para penegak hukum adalahtestimony yang hanya diperoleh dari saksi atau ahli.Berbeda dengan sistem hukumyang berlaku di Amerika yang lebih mengedepankan ”silent evidence” (barangbukti).20

19

Supriyadi Widodo Eddyono, Makalah, UU Perlindungan Saksi, Belum Progresif (Catatan Kritis TerhadapUndang-undang No 13 TAHUN 2006), (Jakarta :Koalisi

Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006) hlm.3. 20


(16)

Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi. Keterangansaksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan, dimanaketerangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalahterhadap perbuatan yang didakwakan padanya (Unnus Testis Nullus) dan saksiharus memberikan keterangan mengenai apa yang ia lihat, dengar, ia alami sendiritidak boleh mendengar dari orang lain (Testimonium De Auditu). Pasal 185ayat 1-7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan :

a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabilaketerangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:


(17)

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lai

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keteranganyang tertentu

d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnyadapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai denganketerangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahanalat bukti sah yang lain.

Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah : 1. Syarat objektif saksi

a. Dewasa telah berumur 15 tahun/sudah kawin. b. berakal sehat

c. Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah / perkawinandengan terdakwa

2. Syarat subjektif saksi

Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri.

1. Syarat formil

Saksi harus disumpah menurut agamanya.21

21


(18)

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian menjadi saksitercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu :

1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa, saudara ibuatau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karenaperkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

3. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-samasebagai terdakwa.

Hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat ataujabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan darikewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau tidaknya alas an yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harusmerahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya.yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri misalnya adalah pastor


(19)

agamaKatolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” berarti jika orang-orang itu bersedia menjadi saksi , dapat diperiksa oleh hakim. Berdasarkan hal itulah kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.

Pasal 171 KUHAP yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpahialah :

a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin

b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali

Penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belastahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopath, mereka ini tidak dapat ditanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana makamereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja.

Kekuatan alat bukti saksi atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat buktiterhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor.Salah satu fungsihukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak suatu perilaku manusia,sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi


(20)

terhadap hukumsecara ilmiah.Kekuatan pembuktian keterangan saksi tergantung pada dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dikatakan dalam menilai keterangan saksi, hakim harus

Sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain. 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan keterangan tertentu.

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memepengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.

Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak memberikankesaksian dipersidangan. Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak pidana itusendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 point 1 ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidanayang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan poit 4 “Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.”


(21)

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yangmemadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Berdasarkan jaminan perlindungan hukum dan keamanantersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidaklagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepadapenegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

c. Kepolisian Republik Indonesia

Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi, sejak itu Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat dalam pertempuran melawan penjajahan dari berbagai operasi militer bersama-sama kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relative lebih lengkap pada saat ini.

Sebelum terjadinya gerakan reformasi, kelembagaan kepolisian masih berada satu atap dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), akan tetapi mulai tanggal 18 agustus 2002, polisi secara kelembagaan terpisah dari TNI setelah sidang tahunan MPR melalui Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR No.VII/MPR/2000, kedudukan polisi saat ini langsung dibawah Presiden.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut:


(22)

1) Pasal 1 ayat (1); Kepolisian Negara adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.

2) Pasal 3; Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata

Pengertian keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.22

a) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

Adapun tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 adalah sebagai berikut:

b) Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat ;

c) Mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara; d) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan Negara;

e) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara;

Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian adalah:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat;

Melaksankan tugas pokoknya tersebut diatas, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Melaksanakan tugas

22

H. Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Cetakan I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 113.


(23)

Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI jo Pasal 5 ayat (1) huruf (a) butir (4), yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilaksanakan.

c. Harus patut, masuk akal, dan termaksud dalam lingkungan jabatannya.

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia

Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi kepolisian) (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia).

Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menuju pada pembaharuan dari masa Orde Baru baik pada organisasi kepolisian, namun hal ini masih belum mencapai tingkat polisi ideal yang diharapkan masyarakat.

Adapun kreteria polisi ideal menurut RE. Baringbing adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui batas-batas wewenangnya;

2) Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum; 3) Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya; 4) Mempunyai kebanggaan terhadap profesinya;


(24)

Perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya menguasai keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi terlihat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun antar bangsa, sebagaimana ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termaksud Indonesia untuk ikut dalam berbagai operansi kepolisian.

F. Metode Penelitian

Penelitian adalah sebagai usaha untuk mengemukakan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis berarti dengan menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk suatu karya ilmiah.Ilmu yang mempelajari metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan disebut metodologi penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:23

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini merupakan penelitian hukum deskriptif yakni jenis penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menggambarkan tentang suatu peristiwa yang lebih luas dan umum.Sehinggga peneltian ini mencoba untuk menggambarkan dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di Polsek Delitua.

2. Sumber Data

23

M. Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum(online), Balikpapan,2010, diakses pada 10 maret 2015.


(25)

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan yang meliputi wawancara.Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai sumber lainnya. Data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Adalah semua data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Data hukum primer penulisan skripsi ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Adalah Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian mengenai masalah perlindungan saksi pelapor seperti makalah, jurnal, karya ilmiah, Koran, karya tulis dan sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan Hukum Tersier

Adalah semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data sekunder, seperti kamus dan lain-lain.


(26)

Pengumpulan data ini, metode pengumpulan yang digunakan adalah Studi Lapangan (field research) dan Penelitian Kepustakaan (library research). Studi Lapangan (field research) yaitu suatu cara memperoleh data dengan langsung ke lapangan yang menjadi objek penelitian, yaitu Polsekta Delitua. Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat primer, dimana data tersebut diperoleh dengan cara wawancara. Penelitian Kepustakaan (library research) adalah dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku, pendapat sarjana, artikel, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah diatas.

4. Analisis Data

Berdasarkan hal untuk menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan, maka penulis menggunakan teknik analisis data adalah kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan dari objek yang diteliti dilapangan. Kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan ditinjau dan dianalisis secara mendalam dengan didasarkan pada teori-teori kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh suatu kesimpulan akhir yang ditarik secara komprehensif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya.Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya dapat dilihat sebagai berikut :


(27)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan daan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Dalam bab ini dibahas mengenai perlindungan saksi pelapor sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang yang mengatur tentang adanya perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika.

BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI

PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI POLSEK DELITUA

Dalam bab ini dibahas mengenai pelaksanan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika berupa gambaran umum Polsek Delitua,tindak pidana narkotika, serta tindakan kepolisian didalam melakukan perlindungan terhadap saksi pelapor di Polsek Delitua.

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI

SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLSEK DELITUA


(28)

Dalam bab ini dibahas mengenai upaya-upaya serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melindungi saksi pelapor di Polsek Delitua.

BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini, dan bab ini merupakan bentuk kesimpulan dan saran. Tidak lupa penulis mencantumkan daftar pustaka .

Demikianlah sistematika penulisan dari skripsi ini, dimana rangkaian dari sub-sub bab tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.


(1)

Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI jo Pasal 5 ayat (1) huruf (a) butir (4), yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilaksanakan.

c. Harus patut, masuk akal, dan termaksud dalam lingkungan

jabatannya.

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.

e. Menghormati hak asasi manusia

Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi kepolisian) (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia).

Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menuju pada pembaharuan dari masa Orde Baru baik pada organisasi kepolisian, namun hal ini masih belum mencapai tingkat polisi ideal yang diharapkan masyarakat.

Adapun kreteria polisi ideal menurut RE. Baringbing adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui batas-batas wewenangnya;

2) Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum;

3) Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya;


(2)

Perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya menguasai keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi terlihat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun antar bangsa, sebagaimana ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termaksud Indonesia untuk ikut dalam berbagai operansi kepolisian.

F. Metode Penelitian

Penelitian adalah sebagai usaha untuk mengemukakan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis berarti dengan menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk suatu karya ilmiah.Ilmu yang mempelajari metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan disebut metodologi penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:23

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini merupakan penelitian hukum deskriptif yakni jenis penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menggambarkan tentang suatu peristiwa yang lebih luas dan umum.Sehinggga peneltian ini mencoba untuk menggambarkan dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di Polsek Delitua.

2. Sumber Data

23

M. Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum(online), Balikpapan,2010, diakses pada 10 maret 2015.


(3)

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan yang meliputi wawancara.Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai sumber lainnya. Data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Adalah semua data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Data hukum primer penulisan skripsi ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Adalah Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian mengenai masalah perlindungan saksi pelapor seperti makalah, jurnal, karya ilmiah, Koran, karya tulis dan sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan Hukum Tersier

Adalah semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data sekunder, seperti kamus dan lain-lain.


(4)

Pengumpulan data ini, metode pengumpulan yang digunakan adalah

Studi Lapangan (field research) dan Penelitian Kepustakaan (library

research). Studi Lapangan (field research) yaitu suatu cara memperoleh data dengan langsung ke lapangan yang menjadi objek penelitian, yaitu Polsekta Delitua. Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat primer, dimana data tersebut diperoleh dengan cara wawancara. Penelitian

Kepustakaan (library research) adalah dengan melakukan penelitian terhadap

berbagai sumber bacaan, yakni buku, pendapat sarjana, artikel, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah diatas.

4. Analisis Data

Berdasarkan hal untuk menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan, maka penulis menggunakan teknik analisis data adalah kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan dari objek yang diteliti dilapangan. Kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan ditinjau dan dianalisis secara mendalam dengan didasarkan pada teori-teori kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh suatu kesimpulan akhir yang ditarik secara komprehensif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya.Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya dapat dilihat sebagai berikut :


(5)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan daan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Dalam bab ini dibahas mengenai perlindungan saksi pelapor sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang yang mengatur tentang adanya perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika.

BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI

PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI POLSEK DELITUA

Dalam bab ini dibahas mengenai pelaksanan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika berupa gambaran umum Polsek Delitua,tindak pidana narkotika, serta tindakan kepolisian didalam melakukan perlindungan terhadap saksi pelapor di Polsek Delitua.

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI

SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLSEK DELITUA


(6)

Dalam bab ini dibahas mengenai upaya-upaya serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melindungi saksi pelapor di Polsek Delitua.

BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini, dan bab ini merupakan bentuk kesimpulan dan saran. Tidak lupa penulis mencantumkan daftar pustaka .

Demikianlah sistematika penulisan dari skripsi ini, dimana rangkaian dari sub-sub bab tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.