Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polsek Deli Tua)
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi di Polsek Deli Tua)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DAYANA YOKSI RAFIKA 110200508
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi di Polsek Deli Tua)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DAYANA YOKSI RAFIKA NIM : 110200508
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr.M.Hamdan,SH.M.H NIP.195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
NIP : 196110241989032002 NIP :197503072002122002 Liza Erwina S.H.,M., HUMDr.Marlina S.H M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
ABSTRAKSI
Dayana Yoksi Rafika1
Liza Erwina2
Marlina3
1
Penulis Skripsi
2
Dosen Pembimbing I
3
Dosen Pembimbing II
Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan, hal ini tergambar jelas dengan menempatkan keterangan saksi di urutan pertama diatas alat bukti lainnya. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana narkotika, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat yang tertangkap. Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak mau atau enggan menjadi saksi, dengan alasan tidak adanya perlindungan hukum yang jelas khususnya saksi pelapor tindak pidana narkotika sehingga sering kali tidak terungkapnya tindak pidana narkotika terjadi yang di masyarakat.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, timbul suatu ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih luas masalah perlindungan saksi pelapor dengan permasalahannya diantaranya adalah bagaimana pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika, bagaimana pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidananarkotika di polsek delitua dan bagaimana upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di polsek delitua. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan.
Hasil penelitian dari skripsi ini dapat diketahui bahwa telah ada Undang-undang No. 31 Tahun 2014 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban di Indonesia.Mengenai pelaksanaan perlindungan saksi pelapor di Polsek Delitua telah ada tindakan-tindakan dari pihak kepolisian terkait dengan melaksanakan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika serta upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan perlindungan adalah dengan upaya preventif (pencegahan) dan upaya reprensif (penindakan).
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya yang melimpah sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunyan tanpa kekurangan satu apapun.Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul skripsi
yang Penulis angkat adalah “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Polsek Delitua)”
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efesien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materiil. Kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf-staf pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibu Liza Erwina, S,H., M.Hum, Selaku sekretaris sekaligus selaku Dosen
(5)
Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan yang sangat membangun demi terselesaikannya skripsi ini.
3. Ibu DR. Marlina, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing Penulis dengan sabarnya selama penulisan skripsi ini.
Kepada yang teristimewa khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia baik
kesehatan dan rejeki sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Untuk kedua orang tua tercinta, ayahanda Danurik S.H., dan Ibunda
Ngena Kenca Surbakti (Almh), yang telah memberikan motivasi, doa, pengorbanan, dukungan semangat, kasih sayang serta kebutuhan materil selama ini.
3. Untuk Ibunda Ani, Ibunda Herlina Ginting dan Ibunda Nurainun yang
telah banyak membantu dan memberi dorongan semangat , perhatian dan kasih sayangnya.
4. Abangku tersayang Dicky Bandawasa atas perhatiannya dan
bimbingannya, serta adik-adikku tercinta Deyoksen, Yola, Debur, Devit, Dcholish atas segala bantuan dan perhatiaannya dan buat dua adik kecilku yang imut : Fristy dan Mici yang selalu menemani dan membuat kelucuan dirumah. Semoga kita bisa akrab terus-terusan dan jangan ribut-ribut, akrab sampai beranak cucu.
5. Untuk Apri sinulingga terkasih yang setiap harinya memberi
(6)
6. Untuk sahabatku yang teristimewa yaitu Happy, edak (marni), cristy, icha, selly dan bang bang rasyid yang selama ini memberikan kasih sayang , pertolongan dan kekompakan kita yang tidak ternilai oleh apapun. Kalian penyumbang terbesar dalam canda tawa selama di kampus. Penulis berdoa semoga ikatan kita ini utuh untuk selama-lamanya.
7. Seluruh sahabat-sahabat baikku di stambuk 2011 yaitu ime,
rahmansyah, yani, nopi, chacha, ifa, mala, febri, susan,arius, kak rika, esra, stella, maruli, ardi, hendro, melani, mutia, togar, dan yang lain walau tanpa disebutkan, telah berbekas dihati penulis, atas pertolongan dan kekompakannya, semoga di kemudian hari kita tetap bersama dan saling membantu.
8. Untuk sahabat karibku yaitu tanti, bang angga, fitri, poniatik, dan desi
yang selama ini terus memberi semangat dan bersedia mendengar keluh kesah serta tetap menjaga persahabatan kita.
9. Untuk seluruh teman-teman Alumni SMA Negeri 1 Pancur Batu,
khususnya kelas IPA 2 (Waspada) yang telah memberi semangat dan motivasi.
Penulis, juli 2015
(7)
DAFTAR ISI
Abstraksi Kata Pengantar Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...1
B. Perumusan Masalah ...6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7
D. Keaslian Penulisan ...8
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tentang Tindak Pidana Narkotika ...9
2. Tentang Saksi dan Pelapor ...13
3. Tentang Kepolisian Republik Indonesia ...20
F. Metode Penelitian ...23
G. Sistematika Penulisan ...25
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 29
B. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
(8)
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban...45
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI POLSEK DELITUA
A. Gambaran Umum Polsek Delitua ...57 B. Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua ...66 C. Pelaksanaan Perlindungan Saksi Pelapor dalam Tindak
Pidana Narkotika oleh Pihak Kepolisian...69
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLSEK DELITUA
A. Upaya- Upaya Yang Dilakukan Untuk Melindungi Saksi
Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua ...77
B. Hambatan (Masalah)Perlindungan Saksi Pelapor dalam
Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua ...84 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...89 B. Saran ...91 DAFTAR PUSTAKA ...
(9)
ABSTRAKSI
Dayana Yoksi Rafika1
Liza Erwina2
Marlina3
1
Penulis Skripsi
2
Dosen Pembimbing I
3
Dosen Pembimbing II
Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan, hal ini tergambar jelas dengan menempatkan keterangan saksi di urutan pertama diatas alat bukti lainnya. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana narkotika, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat yang tertangkap. Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak mau atau enggan menjadi saksi, dengan alasan tidak adanya perlindungan hukum yang jelas khususnya saksi pelapor tindak pidana narkotika sehingga sering kali tidak terungkapnya tindak pidana narkotika terjadi yang di masyarakat.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, timbul suatu ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih luas masalah perlindungan saksi pelapor dengan permasalahannya diantaranya adalah bagaimana pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika, bagaimana pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidananarkotika di polsek delitua dan bagaimana upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di polsek delitua. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan.
Hasil penelitian dari skripsi ini dapat diketahui bahwa telah ada Undang-undang No. 31 Tahun 2014 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban di Indonesia.Mengenai pelaksanaan perlindungan saksi pelapor di Polsek Delitua telah ada tindakan-tindakan dari pihak kepolisian terkait dengan melaksanakan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika serta upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan perlindungan adalah dengan upaya preventif (pencegahan) dan upaya reprensif (penindakan).
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peranan saksi dalam setiap perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim.Berdasarkan hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapatkan perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.Oleh karena itu, saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap
kebenaran materil.4
Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan,
Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana.
4
Muhadar, Dkk. Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana.Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010, hlm 1.
(11)
keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.5
Masalah narkotika merupakan masalah nasional dan internasional, karena penyalah gunaannya akan berdampak negatife terhadap kehidupan
Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka bangsa Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang, khususnya bidang hukum, meliputi penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum ke arah tegaknya hukum, ketertiban, dan kepastian hukum.
Hukum di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan, baik di mata masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional.Masyarakat melihat dan menilai sistem hukum di negeri kita sangat lemah.Salah satu yang dianggap lemah adalah dalam permasalahan perlindungan saksi.Saksi di Indonesia kurang mendapat perhatian dan perlindungan hukum, sehingga seorang saksi dapat dengan mudah dipengaruhi, diteror, bahkan mungkin dibunuh agar tidak dapat bersaksi guna mengungkap suatu tindak pidana. Suatu tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi individu, masyarakat, bangsa, maupun negara, tidak terkecuali permasalahan narkotika.
5
Surastini Fitriasih, “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju ProsesPeradilan(Pidana)YangJujurAdil”,http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarti cle&artid, diakses pada tanggal 8 maret 2015.
(12)
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal yang sama dirasakan di Indonesia dimana hampir setiap hari peredaran narkoba dan penyalahgunaannya, mulai dari tertangkapnya pengedar ataupun ditemukannya pabrik-pabrik narkotika hingga berita generasi muda yang tewas karena mengkonsumsi narkotika, tiada henti-hentinya diberitakan di media cetak maupun media elektronik.
Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun mengalami peningkatan bahkan prediksi pada 2015 diperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan mencapai 5,8 juta jiwa. Hal ini karena jumlah pengguna narkotika untuk saat ini telah mencapai 4 juta jiwa.
Angka penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya terus meningkat di mana pada 2015 jumlah korban penyalahgunaan narkoba akan mencapai angka 5,8 juta jiwa dan saat ini jumlah pengguna atau korban penyalahgunaan narkoba sudah mencapai 4,2 juta orang. Kemudian di Indonesia saat ini sangat minim tempat rehabilitasi yang hanya bisa menampung 18 ribu orang sedangkan
korban yang ada saat ini sebanyak 4,2 juta orang.6
Memperhatikan hal-hal di atas tampaknya besar kemungkinan, bahwa para bandar narkotika yang beroperasi di negara kita merupakan kepanjangan dan binaan dari jaringan organisasi-organisasi kejahatan Internasional. Sebagaimana diakui oleh beberapa pejabat Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), bahwa salah satu sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran narkotika ini agak sulit diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan
(13)
internasional yang bersifat tertutup dan ekslusif.7
Berbagai tindakan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika yang timbul dalam masyarakat, yaitu dengan cara :
Dengan demikian, setiap gangguan keamanan, utamanya yang merupakan suatu tindak pidana, harus ditanggulangi dengan sekuat tenaga dan sedini mungkin.
8
Berdasarkan fakta yang ada, aparat penegak hukum hanya mampu menjebloskan pelaku yang sifatnya hanya “pemain kecil”, yakni pengedar pengedar yang sifatnya hanya menyalurkan narkotika tersebut, itupun dengan barang bukti yang hanya sedikit, tetapi tidak mampu untuk menjerat tokoh di balik jaringan besar ini. Hal ini di dasarkan dengan semakin meningkatnya kejahatan ini.
1. pre-emptiveadalah pencegahan secara dini atau lebih awal, belum ada tanda-tanda kriminogen (faktor pencetus tindak kriminal);
2. Tindakan preventif adalah tindakan sebelum terjadinya kejahatan atau
perbuatan yang melanggar hukum;
3. Tindakan represif adalah tindakan ini dimulai dari suatu adanya
pelanggaran sampai pada suatu proses pengusutan, penuntutan dan penjatuhan pidana serta pelaksanaan pidana yakni menjerat pelaku dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
9
7
O.C Kaligis, 2002, Narkotika dan Peradilannya Di Indonesia, Bandung: Alumni Bandung,hlm. 273
8
Wresniworo, 2002, Masalah Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya, Jakarta: Mitra Bintimar, hlm. 33.
9
Daan Sabadah dan Kunarto, 1999, Kejahatan Berdimensi Baru, Jakarta: Cipta Manunggal,hlm. 302.
(14)
Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana narkotika ini, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat yang tertangkap.Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau.
Membantu aparat penegak hukum dalam hal mengungkap adanya tindak pidana narkotika yang terjadi merupakan suatu kewajiban setiap warga negara, namun di lain pihak apabila melaporkan peristiwanya tidak tertutup kemungkinan orang-orang yang terlibat peristiwa itu merasa tidak senang atau marah kepada orang yang bersaksi. Pada umumnya orang yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak bertindak sendirian, mereka berkawan, berkelompok atau diperkirakan tindak pidana ini juga terorganisasi, dimana ada yang bertindak sebagai pemasok bahan bakunya, ada yang bertindak sebagai produsen, bandar dan pengedar. Kalau sampai dilaporkan dan merasa akan terbongkar seluruh kegiatannya, besar kemungkinan mereka yang terlibat bukan hanya tidak senang dan marah saja, akan tetapi lebih dari itu, mereka akan main hakim sendiri dengan mengambil tindakan yang berakibat
nasib buruk bagi saksi yang diketahuinya.10
Berdasarkan tindakan-tindakan yang akan mengancam keselamatan saksi tersebut, maka perlu adanya suatu jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang. Untuk itu tanpa diminta saksi, pihak yang
10
(15)
berwenang harus memberikan jaminan keamanan dan perlindungan sebaik-baiknya terhadap saksi jika nantinya mengalami ancaman maupun intimidasi dari sindikat narkotika.Seperti dikatakan Leden Marpaung bahwa, “Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam
bentuk apapun’’.11
Berdasarkan paparan tersebut diatas betapa seriusnya masalah perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika tersebut, dan hangat untuk menjadi isu penting yang menjadi perbincangan para praktisi hukum, kalangan mahasiswa, dan terutama aparat penegak hukum. Karena timbulnya ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih dalam masalah perlindungan saksi pelapor dalam skripsi yang berjudul “
Pentingnya jaminan keamanan dan perlindungan itu agar orang tidak merasa takut untuk melaporkan kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika, dan dengan jaminan yang nyata dan dapat dirasakan oleh seorang saksi, maka akan semakin banyak orang yang berani untuk menjadi saksi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan pelapor yang berintikan pada keadilan dan kebenaran serta mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum bagi saksi serta menghargai Hak Asasi Manusia yang menjadi hak bagi seorang saksi sehingga membantu dalam membuka tabir kejahatan perkara pidana dan mengungkap suatu kebenaran dari tindak pidana yang telah terjadi.
11
Leden Marpaung, 1992, Proses Penangaan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyidikan danPenyelidikan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 81.
(16)
Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polsek Delitua)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam masalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Perlindungan Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana
Narkotika?
2. Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Saksi dalamTindak Pidana
Narkotika di Polsek Delitua?
3. Bagaimana Upaya yang Dilakukan Untuk Melindungi Saksi Pelapor dalam
Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dari tujuan penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam Tindak
Pidana Narkotika.
2. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap saksi
(17)
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Polsek Delitua.
Adapun manfaat penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu secara teoritis dan praktis, yakni :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai perlindungan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia terhadap saksi dan pelapor.
b. Menambah khazanah ilmu pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum
pidana yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan saksi dan pelapor. Juga diharapkan akan bermanfaat menambah dan memperkaya litelatur-litelatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan saksi dan pelapor serta dapat menjadi acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum memberikan
perlindungan saksi dan pelapor dalam menyelesaikan perkara pidana khususnya tindak pidana narkotika.
b. Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di lingkungan institusi
penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga peyidik tindak pidana (umum / khusus) yang mempunyai wewenang melakukan tindakan penyidikan dan menciptakan suasana koedatif dan
(18)
meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengungkap fakta kebenaran dalam suatu tindak pidana narkotika.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polsek Delitua)” ini adalah merupakan hasil pemikiran yang ide penulisannya murni hasil karya penulis sepenuhnya ditambah literature-literatur lain baik buku-buku milik penulis sendiri maupun buku-buku perpustakaan serta melakukan riset ke Polsek Delitua guna memperoleh data-data yang dapat mendukung skripsi ini. Setelah telah melakukan daftar penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukannya judul ataupun permasalahan yang sama. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan karya asli dari penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.
(19)
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tentang Tindak Pidana Narkotika
Undang- undang Narkotika tidak membahas mengenai pengertian tindak pidana narkotika, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tentang tindak pidana diatas, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak pidana narkotika yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Narkotika. Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukum dan pidana. Menurut system hukum, bahwa hukum atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana, jika tidak ada Undang- Undang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum
Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenale “, yang pada intinya
menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Artinya adalah bahwa pidana itu harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukum lebih luas pengertiannya.
Guna memahami lebih jauh tentang pidana, hukum dan hukum pidana maka perlu dicermati defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum, diantaranya adalah:
(20)
1. Pendapat Sudarto, tentang pidana, beliau menyatakan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.12
2. Simorangkir, merumuskan definisi hukum, sebagai peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu hukuman yang tertentu.13
3. Chaerudin, memberikan defenisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :14
a. Hukum pidana adalah hukum sanksi, defenisi ini diberikan berdasarkan
ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain.
b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai:
1) Perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi
pelanggannya.
2) Dalam keadaan apa terhadap pelanggar dapat dijatuhi hukuman
3) Bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya
Defenisi tersebut diatas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu, antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar
12
Sudarto, Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1975, hlm. 75.
13
Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta : Gunung Agung, 1962, hlm. 6.
14
Chaerudin, Materi Pokok Asas-asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam As Syafiyah,1996, hlm. 1.
(21)
belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus ditaati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai Tindak Pidana dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah :15
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Golongan I.
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Produksi
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ekspor dan Impor
5. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penyaluran dan
Pengedaran
6. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Label dan
Publikasi
7. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penggunaan Narkotika
dan Rehabilitasi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
dianggap sebagai tindak pidana adalah :16
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika;
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika.
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika;
15
Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 172.
16
H. Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Uu Nomor 35 Tahun 35 Tahun 2009), Cetakan Pertama, Pt Rineka Cipta, Jakarta : 2012, hlm. 256.
(22)
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang membawa, mengangkut, dan mentransit narkotika dan prekursor narkotika;
5. Tindak Pidana Narkotika bagi orang tua/wali dari pecandu Narkotika yang
belum cukup umur dan yang telah cukup umur yang sengaja tidak melaporkannya;
6. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang tidak melaporkan adanya
tindak pidana narkotika;
7. Tindak Pidana Narkotika terhadap percobaan atau permufakatan jahat
melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor;
8. Tindak Pidana Narkotika bagi menyuruh, member, membujuk, memaksa
dengan kekerasan, tipu muslihat dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika;
9. Tindak Pidana Narkotika bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan
dirinya;
10. Tindak Pidana Narkotika bagi hasil-hasil dari tindak pidana narkotika
dan/atau prekursor narkotika;
11. Tindak Pidana Narkotika bagi orang yang menghalangi atau mempersulit
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara;
12. Tindak Pidana Narkotika bagi nahkoda atau kapten penerbangan tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28;
13. Tindak Pidana Narkotika bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang
tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti;
14. Tindak Pidana Narkotika bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1);
15. Tindak Pidana Narkotika bagi petugas laboraturium yang memalsukan
hasil pengujian;
16. Tindak Pidana Narkotika bagi saksi yang member keterangan yang tidak
benar;
17. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di Luar Wilayah Negara RI;
18. Tindak Pidana Narkotika bagi pimpinan rumah sakit, pimpinan lembaga
ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi, pimpinan pedagang farmasi yang melakukan tindak pidana narkotika.
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.Pidana juga dapat dijatuhkan pada korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha dan/ atau pencabutan status badan hukum.
(23)
2. Tentang Saksi dan Pelapor
Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi pertama mengenai sutu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (mis. Penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan
pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.17
Ketentuan Pasal 1 angka 25 RUU KUHAP menentukan:
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian sebagai berikut : “Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui berbagai-bagai arti seperti: orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya bilamana perlu dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi atau orang yang mengetahui suatu kejadian atau orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa dan terdakwa.”
Defenisi saksi dalam perkara pidana tercantum dalam pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang menyatakan bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
18
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri.”
18
Ditjenpp.kemenkumham.go.id/rancangan/inc/buka.php, RUU KUHAP 2010, diakses pada tanggal 02 maret 2015.
(24)
Pengertian saksi dalam RUU KUHAP ini menegaskan bahwa aturan dalam RUU KUHAP hanya berlaku bagi saksi dalam ruang lingkup perkara pidana dan status saksi sudah dimulai dalam tahap penyelidikan, dibandingkan dengan KUHAP status saksi dimulai dari tahap penyelidikan.Pengertian saksi dalam undang-undang ini pun sedikit lebih maju, karena berupaya memasukkan atau memperluas perlindungan terhadap orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus pelapor atau pengadu. Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang diintrodusir KUHAP, dimana saksi tersebut harus memberikan keterangan mengenai perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Doktrin ini sebenarnya berelasi kuat
dengan kekuatan nilai pembuktian.19
Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan sampaidengan pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah diharapkan.Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasuspidana yang dimaksud. Tanpa kehadiran dan peran dari
saksi, dapat dipastikansuatu kasus akan menjadi ”dark number” mengingat
dalam system hukum yangberlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari
para penegak hukum adalahtestimony yang hanya diperoleh dari saksi atau
ahli.Berbeda dengan sistem hukumyang berlaku di Amerika yang lebih
mengedepankan ”silent evidence” (barangbukti).20
19
Supriyadi Widodo Eddyono, Makalah, UU Perlindungan Saksi, Belum Progresif (Catatan Kritis TerhadapUndang-undang No 13 TAHUN 2006), (Jakarta :Koalisi
Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006) hlm.3.
20
(25)
Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi. Keterangansaksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan, dimanaketerangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalahterhadap perbuatan yang didakwakan padanya (Unnus Testis Nullus) dan saksiharus memberikan keterangan mengenai apa yang ia lihat, dengar, ia alami sendiritidak boleh mendengar dari orang lain
(Testimonium De Auditu). Pasal 185ayat 1-7 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan :
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabilaketerangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi.
f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
(26)
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lai
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keteranganyang tertentu
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnyadapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai denganketerangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahanalat bukti sah yang lain.
Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah : 1. Syarat objektif saksi
a. Dewasa telah berumur 15 tahun/sudah kawin.
b. berakal sehat
c. Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah /
perkawinandengan terdakwa 2. Syarat subjektif saksi
Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri.
1. Syarat formil
Saksi harus disumpah menurut agamanya.21
21
(27)
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian menjadi saksitercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu :
1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibuatau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karenaperkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-samasebagai terdakwa.
Hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat ataujabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan darikewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau tidaknya alas an yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harusmerahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya.yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri misalnya adalah pastor
(28)
agamaKatolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” berarti jika orang-orang itu bersedia menjadi saksi , dapat diperiksa oleh hakim. Berdasarkan hal itulah kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.
Pasal 171 KUHAP yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpahialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali
Penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belastahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopath, mereka ini tidak dapat ditanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana makamereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja.
Kekuatan alat bukti saksi atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat buktiterhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor.Salah satu fungsihukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak suatu perilaku manusia,sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi
(29)
terhadap hukumsecara ilmiah.Kekuatan pembuktian keterangan saksi tergantung pada dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dikatakan dalam menilai keterangan saksi, hakim harus
Sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan
keterangan tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat memepengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya. Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak memberikankesaksian dipersidangan. Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak pidana itusendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 point 1 ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidanayang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan poit 4 “Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.”
(30)
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yangmemadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Berdasarkan jaminan perlindungan hukum dan keamanantersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidaklagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepadapenegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
c. Kepolisian Republik Indonesia
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi, sejak itu Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat dalam pertempuran melawan penjajahan dari berbagai operasi militer bersama-sama kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relative lebih lengkap pada saat ini.
Sebelum terjadinya gerakan reformasi, kelembagaan kepolisian masih berada satu atap dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), akan tetapi mulai tanggal 18 agustus 2002, polisi secara kelembagaan terpisah dari TNI setelah sidang tahunan MPR melalui Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR No.VII/MPR/2000, kedudukan polisi saat ini langsung dibawah Presiden.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut:
(31)
1) Pasal 1 ayat (1); Kepolisian Negara adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.
2) Pasal 3; Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata
Pengertian keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.22
a) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
Adapun tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 adalah sebagai berikut:
b) Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit
masyarakat ;
c) Mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara;
d) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara;
e) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan Negara;
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum;
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat;
Melaksankan tugas pokoknya tersebut diatas, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Melaksanakan tugas
22
H. Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Cetakan I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 113.
(32)
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI jo Pasal 5 ayat (1) huruf (a) butir (4), yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilaksanakan.
c. Harus patut, masuk akal, dan termaksud dalam lingkungan
jabatannya.
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia
Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi kepolisian) (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia).
Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menuju pada pembaharuan dari masa Orde Baru baik pada organisasi kepolisian, namun hal ini masih belum mencapai tingkat polisi ideal yang diharapkan masyarakat.
Adapun kreteria polisi ideal menurut RE. Baringbing adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui batas-batas wewenangnya;
2) Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum;
3) Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya;
(33)
Perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya menguasai keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi terlihat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun antar bangsa, sebagaimana ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termaksud Indonesia untuk ikut dalam berbagai operansi kepolisian.
F. Metode Penelitian
Penelitian adalah sebagai usaha untuk mengemukakan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis berarti dengan menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk suatu karya ilmiah.Ilmu yang mempelajari metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan disebut metodologi penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:23
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini merupakan penelitian hukum deskriptif yakni jenis penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menggambarkan tentang suatu peristiwa yang lebih luas dan umum.Sehinggga peneltian ini mencoba untuk menggambarkan dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di Polsek Delitua.
2. Sumber Data
23
M. Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum(online), Balikpapan,2010, diakses pada 10 maret 2015.
(34)
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan yang meliputi wawancara.Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai sumber lainnya. Data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Adalah semua data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Data hukum primer penulisan skripsi ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Adalah Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian mengenai masalah perlindungan saksi pelapor seperti makalah, jurnal, karya ilmiah, Koran, karya tulis dan sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan Hukum Tersier
Adalah semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data sekunder, seperti kamus dan lain-lain.
(35)
Pengumpulan data ini, metode pengumpulan yang digunakan adalah
Studi Lapangan (field research) dan Penelitian Kepustakaan (library
research). Studi Lapangan (field research) yaitu suatu cara memperoleh data dengan langsung ke lapangan yang menjadi objek penelitian, yaitu Polsekta Delitua. Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat primer, dimana data tersebut diperoleh dengan cara wawancara. Penelitian
Kepustakaan (library research) adalah dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai sumber bacaan, yakni buku, pendapat sarjana, artikel, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah diatas.
4. Analisis Data
Berdasarkan hal untuk menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan, maka penulis menggunakan teknik analisis data adalah kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan dari objek yang diteliti dilapangan. Kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan ditinjau dan dianalisis secara mendalam dengan didasarkan pada teori-teori kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh suatu kesimpulan akhir yang ditarik secara komprehensif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya.Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya dapat dilihat sebagai berikut :
(36)
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan daan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Dalam bab ini dibahas mengenai perlindungan saksi pelapor sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang yang mengatur tentang adanya perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika.
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI
PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI POLSEK DELITUA
Dalam bab ini dibahas mengenai pelaksanan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika berupa gambaran umum Polsek Delitua,tindak pidana narkotika, serta tindakan kepolisian didalam melakukan perlindungan terhadap saksi pelapor di Polsek Delitua.
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI
SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLSEK DELITUA
(37)
Dalam bab ini dibahas mengenai upaya-upaya serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melindungi saksi pelapor di Polsek Delitua.
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini, dan bab ini merupakan bentuk kesimpulan dan saran. Tidak lupa penulis mencantumkan daftar pustaka .
Demikianlah sistematika penulisan dari skripsi ini, dimana rangkaian dari sub-sub bab tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
(38)
BAB II
PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang terjadi terutama dalam perkara-perkara yang besar. Maksud adanya keterkaitan yaitu karena sebagian besar tindak pidana dapat terpecahkan dengan kesaksian yang diberikan saksi. Jadi walau bagaimanapun seorang saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan agar saksi tersebut dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun persidangan.
Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan kaitannya dengan saksi, falsafah yang harus lebih dahulu diketahui adalah mengapa justru
(39)
seorang mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus mau menjadi saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi.
Seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. saksi berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
memberantas kejahatan dalam masyarakat.24
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Terkait dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang harus diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku karena seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara Indonesia adalah Negara Hukum.Sejalan dengan itu dalam Pasal 28 huruf g UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah mengamanatkan pentingnya perlindungan saksi dan korban ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka dari negara lain.
Perlindungan saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka dalam posisinya diproses
tanggal 2 maret.
(40)
peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan amanat undang-undang tersebut, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK).25
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Masalah perlindungan saksi dan/atau korban di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberian perlindungan terhadap saksi, korban dan pelapor. Sebelum Undang RI No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir, telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, namun masih belum lengkap dan kurang dalam mengatur perlindungan saksi pelapor terhadap tindak pidana narkotika. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :
KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus, rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi korban dan atau pelapor dalam proses pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum tersebut tidak ada ketentuan semacam itu. Adapun beberapa Pasal dalam KUHAP yang dianggap
memberikan perlindungan pada saksi dan korban adalah :26
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 117:
maret 2015.
, perlindungan
saksi dan korbansebagai sarana menuju peradilan (pidana) yang jujur dan adil, diakses 5 maret 2015.
(41)
(2)Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak
boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini berkaitan erat dengan Pasal 52 KUHAP.Pasal ini memberikan jaminan terhadap seorang saksi untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.Apabila terjadi pemeriksaan terhadap diri saksi dengan tekanan maka berita acara pemeriksaan penyidikan tersebut adalah batal demi hukum, sesuai dengan
Pasal 422 KUHP.27
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang member keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
Pasal 118:
(2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan
tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Saksi dalam hal tidak mau menandatangani berita acara, ia harus memberikan alasan yang kuat dan mengenai berita acara, berkaitan dengan
Pasal 75 KUHAP.28
Menurut penjelasan Pasal 166 KUHAP disebutkan, jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang demikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Ini sesuai dengan prinsip
27
Hari Sasangka & Rosita Lily, KUHAP dengan Komentar, Bandung : Cv. Mandar Maju, 2000, hlm. 139.
28
(42)
bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas disemua tingkat pemeriksaa.Sebenarnya larangan dalam mengajukan pertanyaan, tidak hanya terhadap pertanyaan menjerat saja, tetapi juga terhadap pertanyaan
yang mengarahkan, memberikan alternative, atau menyebut kualifikasi.29
(1)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim
ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
Pasal 178:
(2)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menuli, hakim
ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
Pasal ini berhubungan dengan Pasal 53 KUHAP mengenai hak untuk mendapat juru bahasa (penjelasan).Pembacaan pertanyaan hakim dan jawaban terdakwa yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) KUHAP adalah
memenuhi asas keterbukaan dalam pemeriksaan persidangan (fair trial).30
(1)Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan disemua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 229:
(2)Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi
atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
29
Ibid, hlm. 193.
30
(43)
Selain dalam KUHAP, ditemukan pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengaturan implicit mengenai perlindungan saksi itu, yakni ketentuan Pasal 334 KUHAP. Ketentuan itu mengancam dengan pidana perbuatan yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau perbuatan lain atau perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Akan tetapi KUHAP ternyata lebih menitikberatkan pengaturan mengenai kewajiban saksi, yang tentunya membebankan saksi dengan berbagai ancaman apabila tidak memberikan kesaksian, misalnya:
Pasal 224:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 522:
Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,
(44)
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada aparat penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui dan menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberikan perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
(45)
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan hal itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan asas kesamaan dihadapan hukum (equality before the
law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:
1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;
2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
4. Ketentuan pidana.31
Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini bukan hanya melegakan para anggota DPR yang mengusulkan pada bulan juni 2002 silam. Namun Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana korupsi sangat minim.
Selain itu keberadaan Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini diharapkan dapat menjadi terobosan di dunia peradilan pidana Indonesia. Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum acara pidana atau peraturan perundang-undangan lainnya belum memberikan
31
Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
(46)
perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Seharusnya pembahasan Undang-undang ini kelar pada april 2006, tetapi molor hingga 13 juli 2006. Pembahasan pertama RUU ini di Panja dimulai pada januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi pasal-pasal, pada 13 juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU Perlindungan
Saksi dan Korban.32
Berdasarkan proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.
Masalah krusial yang muncul selama pembahasan diantaranya mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan tidak dengan etikad baik.Artinya, “Saat memberikan kesaksian, yang bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan jahat,”jelasnya.
33
Perlindungan Saksi dan Korban, diakses pada tanggal 15 maret 2015.
Muhammad Yusuf, diakses pada tanggal 15 maret 2015.
(47)
Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 3 yaitu perlindungan saksi dan korban berasaskan pada :
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b. Rasa aman;
c. Keadilan;
d. Tidak diskriminatif; dan
e. Kepastian hukum;
Penghargaan atas harkat dan martabat manusia berarti bahwa peran saksi dan korban selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai dari penegak hukum, walaupun saksi dan korban yang bersangkutan berperan besar mengungkap suatu tindak pidana.
Rasa aman adalah suatu hak dalam hal ini termaksud pula hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, sesuai dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Tersangka atau terdakwa yang telah diberikan seperangkat hak dalam KUHAP dan seharusnya saksi dan korban mendapat keadilan pula.
Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif” adalah asas yang membuka diri terhadap hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi.
(48)
Tujuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada Pasal 4 yaitu perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana.34
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa di sidang pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Ketentuan dari Pasal tersebut adalah dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa :
(1)Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara dari ancaman yang membehayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
pada tanggal 17 maret 2015.
(49)
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dilakukan tidak hanya secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan penggunaan modus operandi semakin berkembang sehingga perlu penanganan khusus agar pencegahan meluasnya korban penyalahgunaan terutama dikalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya memerlukan upaya tindakan yang efektif serta efesien dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika. Kewajiban penyediaan kebutuhan masyarakat serta perlindungan keamanan terhadap warga Negara Republik Indonesia sebagai cita-cita bangsa menjadi tanggungjawab Negara.
Berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan adanya peran masyarakat dalam memberantas tindak pidana narkotika.Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106:
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
(50)
1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum atau BNN;
5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan
melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. Pasal 107:
Mayarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak pidana narkotika kepada aparat penegak hukum.Disamping kewajiban itu, masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan dari aparat penegak hukum.
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas peredaran gelap narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka segala
(51)
usaha, upaya dan kegiatan penegak hukum akan mengalami kegagalan. Hal ini membuat pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian
masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan narkotika.35
4. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dilakukan pencegahan serta pemberantasan peredaran gelap narkotika yang merupakan zat bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika tersebut sesungguhnya dapat bermanfaat serta menjadi keperluan pengobatan penyakit tertentu, perlu diatur antara transaksi yang tidak syah secara ketat, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang dapat mengganggu kesehatan perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Upaya mencegahan dan memberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, Negara, telah diatur pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang kemudian mendelegasikan lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 sebagai peraturan pelaksana yang terdapat pada ketentuan Pasal 32, Pasal 62, Pasal 89 ayat (2), Pasal 90 ayat (2), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (3).
(52)
Kondisi peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas Negara. Sehingga diperlukan suatu hubungan bersifat bilateral, regional, maupun internasional, untuk memerangi modus operandinya yang semakin canggih dengan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika dibutuhkan suatu instansi kementrian/lembaga agar berperan aktif untuk hal tersebut.
Berdasarkan hal guna tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, untuk mengatur lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 mengatur penanganan khusus tindak pidana narkotika dalam hal transito narkotika, pengelolaan narkotika sitaan (dalam hal barang bukti), perlindungan hukum (dalam hal perlindungan terhadap saksi, pelapor, peyidik, penuntut umum dan hakim), penggunaan hasil rampasan aset tindak
pidana narkotika.36
36
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pembahasan-ruu/63-rancangan-peraturan-pemerintah/2295-rancangan -peraturan-pemerintah-tentang-pelaksanaan-undang-undang-nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika, diakses pada tanggal 20 maret 2015.
Bentuk dan tata cara perlindungan hukum yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan :
(53)
(1)Perlindungan wajib diberikan oleh negara kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2)Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi ahli
dan petugas laboratorium beserta keluarganya. Pasal 36:
Dalam hal Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) didatangkan dari luar wilayah negara Republik Indonesia, perlindungan Saksi tersebut dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan pejabat kepolisian yang berwenang di negara tersebut.
Pasal 37:
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diberikan dalam bentuk:
1. pengamanan terhadap diri pribadi, keluarganya, dan hartanya;
2. kerahasiaan identitas Saksi dan Pelapor; dan/atau
3. pemberian keterangan Saksi dan Pelapor dalam proses pemeriksaan
perkara tanpa bertatap muka dengan tersangka atau
terdakwa.hukumonline.com
Pasal 38:
(1)Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 wajib dilakukan oleh
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/tempat kerja Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.
(2)Dalam hal persidangan dilaksanakan di luar tempat terjadinya tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlindungan diberikan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat sidang pengadilan dilaksanakan.
(54)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib diberitahukan kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya dalam waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum perlindungan diberikan.
Pasal 40:
(1)Dalam hal perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 belum ,
Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)Permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Saksi, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.
(3)Dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan oleh Saksi, tembusan permohonan tersebut disampaikan kepada penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, dan hakim yang menangani proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(4)Dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak permohonan perlindungan diterima, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan klarifikasi atas kebenaran permohonan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
B. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
(55)
Dalam undang-undang ini memberikan pengaturan lebih luas tentang saksi, saksi pelaku, korban dan pelapor dalam tindak pidana.
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 didalamnya terdapat 3 (tiga) hal pokok yang patut diberikan perhatian khusus, Yakni :
1. Pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta bentuk-bentuk
perlindungan yang diberikan kepada saksi/saksi pelapor, termaksud didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan kepada saksi.
2. Aspek-aspek kelembagaan LPSK. Aspek ini menyangkut kewenangan dan
cakupan tugas dari LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya.
3. Ketentuan mengenai pemberian perlindungan dan bantuan. Ketentuan ini
menyangkut aspek mekanisme procedural bekerjanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pemberian bantuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang akan diberikan oleh LPSK. Pemahaman yang demikian itulah oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, konsep pemberian bantuan dibatasi sedemikian rupa misalnya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014, yang dimaksudkan dengan bantuan oleh undang-undang ini hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 memberikan penjelasan mengenai tata caranya mengajukan permohonan pemberian bantuan dan bagaimana LPSK menentukan diterimanya atau tidaknya permohonan dan menentukan besaran biaya serta jangka waktu pemberian bantuan.
(56)
Syarat pemberian perlindungan bantuan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 :
1. Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau korban diberikan dengan
syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau korban;
b. Tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
dan
d. Rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau
Korban.
2. Perlindungan LPSK terhadap Saksi Pelaku diberikan dengan syarat
sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam
kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
b. Sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam
mengungkapkan suatu tindak pidana;
c. Bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang
diungkapkannya;
d. Kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang
dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis;dan
e. Adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya
Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
3. Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan ahli diberikan dengan syarat
sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Pelapor dan ahli; dan
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Pelapor dan ahli.
Tata cara pemberian perlindungan diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 yang menyebutkan:
Pasal 29:
(1)Tata cara memperoleh Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(1)
B. Saran
1. Agar penerapan undang-undang perlindungan saksi di semua Sektor Kepolisian dapat berjalan efektif dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku saat ini. Sehingga seseorang didalam masyarakat tidak merasa takut untuk menyampaikan suatu informasi kepada pihak Kepolisian mengenai adanya peredaran atau penyalahgunaan narkotika secara gelap. 2. Sehubungan dengan adanya kendala-kendala yang dihadapi oleh Polsek
Delitua dalam pemberian perlindungan saksi pelapor, terutama saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika, maka perlu kiranya dilakukan sosialisasi Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara berkala oleh aparatur yang terkait. Saksi pelapor bukan hanya untuk dilindungi tetapi lebih dari itu ia layak untuk diberikan penghargaan yang dapat lebih membuat masyarakat perduli terhaadap tindak pidana yang terjadi di sekelilingnya. Pelapor wajib diberikan perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara yang di dilaporkan berkekuatan hukum. Dengan demikian suatu tindak pidana akan cepat terungkap karna adanya laporan langsung dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Adi, Kusno, 2009. Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak
(2)
Agsya, F, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta.
Dirjosisworo, Soedjono, 1990, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Masyarakat, Grafika, Bandung.
Daan Sabadah dan Kunarto, 1999, Kejahatan Berdimensi Baru, Cipta Manunggal, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2008, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Hari Sasangka & Rosita Lily, 2000, KUHAP dengan Komentar, Cv. Mandar Maju, Bandung.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Kaligis, O.C, 2002, Narkotika dan Peradilannya Di Indonesia, Bandung Alumni Bandung.
Karjadi, M, 1998, Polisi, Filsafat dan Perkembangan Hukumnya, Politeia, Bogor.
Muhadar ,dkk. 2010. Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem
Peradilan Pidana, Surabaya, Putra Media Nusantara.
Muhdar, M, 2010, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum(online), Balikpapan.
Mulyadi, Lilik, 2008, Bungan Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung.
(3)
R.Wahyudi dan B. Wiriodiharjo, 1997, Pengantar Ilmu Kepolisian, Akabri. Pol, Sukabumi.
Soehato, H, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban
Tindak Pidana Terorisme, Replika Aditama, Bandung.
Supramono, Gatot, 2009, Hukum Narkoba Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Siswanto, 2012 ,Politik Hukum Dalam Undang-undang Narkotika(UU no. 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta.
Soesilo, R, 1983, Taktik dan Tehnik Penyidikan Perkara Kriminal, Politea, Bogor.
Thaib, Dahlan, 1999, Jazim Hamidi dan Nimatul Huda, Teori dan Hukum Konsitusi,RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Wresniworo, 2002, Masalah Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya, Jakarta, Mitra Bintimar.
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,2010, Fokus Media, Bandung.
UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(4)
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
INTERNET
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada tanggal 4 februari 2015.
, diakses pada tanggal
28 februari 2015.
http://bestlagu.com/arti-perlindungan -hukum, Arti Perlindungan Hukum, diakses pada tanggal 28 februri 2015.
http:/lexomnibus.woedpress.com/2011/05/04/perlindungan-saksi-dan-korban/, Perlindungan Saksi danKorban, diakses pada tanggal 28 februari 2015.
Ditjenpp.kemenkumham.go.id/rancangan/inc/buka.php, RUU KUHAP 2010,
diakses pada tanggal 02 maret 2015.
Supriyadi Widodo Eddyono, Makalah, UU Perlindungan Saksi, Belum
Progresif (Catatan Kritis TerhadapUndang-undang No 13
TAHUN 2006) , (Jakarta :Koalisi Perlindungan Saksi & Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, 2006) hal.3.
(5)
Pelapor” Haruslah Diperluas, Juni 2006, diakses pada tanggal 3 maret 2015.
Tinjauan Yuridis
Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris sebagai Saksi Dalam
Peremian Akta, diakses pada tanggal 3 maret 2015.
pada 5 maret 2015.
Fitrianisah, perlindungan saksi dan korban sebagai sarana menuju peradilan (pidana) yang jujur dan adil, diakses maret 2015.
6 maret 2015.
http://RUUtentangAntiKekerasanDalamRumahTangga_artikel_download002 54.3 2-Diakses pada 8 maret 2015.
Advokasi RUUKUHP Seri# Perdagangan Manusia dalam Rancangan
KUHP, Diakses pada tanggal 8 maret 2015.
Harian Seputar Indonesia, Artikel :Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor, dan Korban oleh Yunus Husein, 15 mei 2006.
WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak AIPTU.D.P.Ginting, penyidik pembantu pada satuan Polsek Delitua, pada tanggal 13 Maret 2015.
(6)
Wawancara dengan Bapak Martualesi Sitepu SH, Kanit Reskrim Polsek Delitua. pada tanggal 5 mei 2015.