Kajian Perubahan Elemen Fasade Arsitektur Kolonial (Studi Kasus : Stasiun Kereta Api Medan)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arsitektur Kolonial
2.1.1. Pengertian Arsitektur Kolonial
Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan
di Indonesia selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar abad 17
sampai tahun 1942 (Sidharta, 1987 dalam Samsudi)
Menurut Muchlisiniyati Safeyah (2006) Arsitektur kolonial merupakan
arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir
melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang
tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan.Arsitektur yang hadir pada
awal masa setelah kemerdekaan sedikit banyak dipengaruhi oleh arsitektur
kolonial disamping itu juga adanya pengaruh dari keinginan para arsitek untuk
berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada (arsitektur jengki).
Arsitektur kolonial Belanda berupa aspek fisik, bergaya kemaharajaan (the
empire style) yang disesuaikan dengan kondisi setempat, bangunan menekankan
pada fungsi (Huib Akihary, 1988:12 dalam Samsudi). Tentu saja arsitektur
tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang baru karena proses-proses adaptasi
dan akulturasi dengan konteks lingkungan dan budaya Indonesia
Wujud atau bentuk pada arsitektur kolonial Belanda adalah terdapat

dinding tembok dari pasangan batu bata tebal dua batu atau lebih, kolom bulat
gaya neo klasik bahan dari besi tuang, pintu dan jendela yang lebar dan tinggi.

5

Asitektur kolonial banyak terdapat di negara-negara lain di luar Indonesia
karena arsitektur kolonial merupakan arsitektur cangkokan dari negeri Eropa ke
daerah koloni. Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena yang
unik karena tidak terdapat di lain tempat juga pada negara-negara bekas koloni,
kaena terdapat pencampuran budaya penjajah dengan budaya Indonesia. (Haris,
Cyil M dalam Samsudi)

2.1.2. Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia
Awalnya kota Kolonial Belanda berada di daerah pesisir yang dulunya
merupakan kota perdagangan yang telah terjadi sejak masa Hindu dan Islam
seperti kota Ambon, Batavia, Banten, Cirebon, Palembang, Surabaya, Semarang,
Ujung Pandang. Kemudian beberapa kota baru terbentuk selama masa kolonial
Belanda seperti kota Bandung, Medan, Balikpapan, Malang (Fitri, 2006)
Sejarah kolonisasi Belanda di Nusantara secara garis besar dapat dibagi
menjadi 7 bagian yaitu (Samuel Hartono dan Handinoto) :

a. datangnya Belanda (abad ke 17) - 1800 : Masa VOC.
b. 1800-1811: Masa kekacauan yang timbul akibat perang dengan Napoleon di
Eropa
cc. 1811-1816: Masa pemerintahan Inggris dibawah Sir Thomas Stamford Raffles
d. 1816-1830: Masa restorasi kekuasaan Belanda dan masa mencari keuntungan
ekonomi
e. 1830-1870: Masa Cultuurstelsel, untuk menghasilkan komoditi eksport.

6

f. 1870-1900: Era liberalisme yang ditandai dengan tumbuh suburnya
perdagangan swasta dalam skala besar
g. 1900-1942: Masa politik Etis, yang diwarnai dengan effisiensi, kesejahteraan
dan otonomi.

Helen Jessup:2, kutipan dari Ir. Handinoto dalam Isnen Fitri membagi
periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke
16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:
1. Abad 16 sampai tahun 1800-an
Waktu itu daerah-daerah tertentu di Indonesia khususnya di pulau Jawa dikuasai

oleh Belanda kemudian disebut dengan Nedherlands Indische, di bawah
kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie).
Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk
yang jelas.Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan
untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.
2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan
dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 18111815.Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.Indonesia

7

waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri
Belanda.
Pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan
membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung
dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya
berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
3. Tahun 1902-1920-an

Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan
politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang
Belanda tumbuh dengan cepat.Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische
architectuur” menjadi terdesak dan hilang.Sebagai gantinya, muncul standar
arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya
arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun
internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di
Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara
langsung,

tetapi

kadang-kadang

juga

muncul


gaya

yang

disebut

sebagai ekletisisme (gaya campuran).

8

Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk
memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda.Mereka ini menggunakan
kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya.

2.1.3 Arsitektur Kolonial Belanda di Kota Medan

Awal mula Belanda menguasai Medan yang dulunya merupakan Tanah
Deli mulai dari tahu 1864 sampai 1942. Pada tahun 1860-an Medan tidak
mengalami perkembangan yang pesat sehingga pedagang tembakau asal Belanda
mempelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli.

Daun tembakau yang dihasilkan di tanah Deli memiliki kuliatas tinggi
untuk bahan cerutu sehingga melambungkan nama Deli di Eropa sebagai
penghasil bungkus cerutu terbaik. Dengan melambungnya nama Deli di Eropa
menjadikan tanah deli atau Medan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan
perdagangan sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan
di Indonesia bagian barat. Sejak saat itu Medan berkembang semakin pesat dan
ditandai dengan semakin banyaknya dilakukan pembangunan di kota Medan.
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Medan)
Beberapa tahun setelah pembentukan perkebunan tembakau dan pabrik,
kota berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dengan populasi cosmpolitan
yang berkembang pesat. Medan dinyatakan sebagai ibukota Sumatera Utara pada
tahun 1886. Pada tahun yang sama "Witte Societeit" didirikan di sebelah kantor
pos untuk memenuhi kebutuhan rekreasi masyarakat Eropa. Hotel De Boer

9

dibangun pada tahun 1896, tanda proses transformasi perkotaan yang cepat
sehingga Medan menjadi kota bisnis modern.
The City Hall dibangun pada tahun 1908, dirancang oleh Hulswit &
Fermont Weltevreden + Ed Cuypers Amsterdam. Hal ini diikuti oleh

pembangunan Kantor Pos di 1909-1911, yang dirancang oleh Snuyf, Kepala
Dinas Pekerjaan Umum. Pada tahun 1910 Javasche Bank (dirancang oleh Hulswit
& Fermont Weltevreden + Ed Cuypers Amsterdam) didirikan. Pada tahun 1930an banyak kantor-kantor perusahaan yang didirikan di Medan, sebagian besar dari
mereka berada di daerah Kesawan.
Pada tahun 1929 Kantor Belanda Trading Company (itu kemudian
dilikuidasi Bank Exim) selesai (bangunan itu digunakan oleh Gunseikanbu selama
pendudukan Jepang). Kesawan menjadi "Wall Street" Medan - dan kota itu
berkembang menjadi perdagangan regional yang penting dan pariwisata di Asia
Tenggara.
(Sumber : http://medan.m-heritage.org/about_medan/2.html )
Menurut Utami, dkk (2004). Beberapa bangunan sampai saat ini masih
terlihat kontinuitasnya dan persistensinya di kota Medan misalnya Gedung
London Sumatera, Kantor Pos, Stasiun Kereta Api dan beberapa bangunan yang
mempunyai histori yang kuat yang ikut membentuk Lapangan Merdeka sebagai
kawasan kolonial saat itu. Keberadaan bangunan yang berada di sekitar Lapangan
Merdeka dipertegas dengan beberapa lorong yang ada di sekitar Lapangan
Merdeka dengan kekentalan style kolonialnya.

10


Kontinuitas bangunan yang ada di Lapangan Merdeka dilihat dari segi
fungsi pada beberapa bangunan masih bertahan dengan fungsi aslinya namun ada
juga beberapa bangunan yang masih bertahan namun telah berubah fungsi.

2.1.4

Ciri-ciri Arsitektur Kolonial
Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di

Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni (1) facade simetris, (2) material
dari batu bata atau kayu tanpa pelapis, (3) entrance mempunyai dua daun pintu,
(4) pintu masuk terletak di samping bangunan, (5) denah simetris, (6) jendela
besar berbingkai kayu, (7) terdapat dormer (bukaan pada atap) Wardani, (2009).

Bentuk bangunan berarsitektur Kolonial ini memiliki kekhasan bentuk
bangunan terutama pada fasade bangunannya. Diantara ciri-ciri bangunan
Kolonial yaitu:
1. Penggunaan gewel (gable) pada fasade bangunan yang biasanya berbentuk
segitiga.


11

Gambar 2.1. Bentuk Gable pada bangunan kolonial
2. Penggunaan tower pada bangunan.
3. Penggunaan dormer pada atap bangunan yaitu model jendela atau bukaan lain
yang letaknya di atap dan mempunyai atap tersendiri.

Gambar 2.2. Bentuk dormer pada bangunan kolonial

12

4. Model denah yang simetris dengan satu lantai atas.
5. Model atap yang terbuka dan kemiringan tajam serta memiliki detail arsitektur
pada teritisan atap.

Gambar 2.3. Bentuk ornament atap pada bangunan kolonial

6. Mempunyai pilar di serambi depan dan belakang yang menjulang ke atas
bergaya Yunani.
7. Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga berkesan megah.

8. Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun
jendela), dan tanpa overstek (sosoran).

13

2.2 Perubahan dan berkelanjutan (Change and Continuity)

2.2.1 Pengertian Perubahan dan Berkelanjutan (Change and Continuity)
Change dapat diartikan sebagai perubahan. Perubahan merupakan suatu
perkembangan atau pegeseran suatu bentuk atau objek yang diakibatkan oleh
perkembangan suatu kebutuhan, baik berupa perkembangan zaman, ekonomi dan
peubahan budaya. Hal itu dapat menyebabkan suatu objek menjadi berubah.
Continuity dapat diartikan sebagai berkelanjutan yang berasal dari kata
kontinuitas. Berkelanjutan dalam arsitektur adalah sebuah konsep yang berakar
pada kontektualisme, yaitu menganalisa dan memahami sifat dan kualitas tempat
atau kawasan perkotaan untuk mengembangkan unsure-unsur baru tetapi tetap
mempertahankan sifat dan karakter dari kawasan tersebut. Stone (2012).

Fram dan Weiler (continuity with change 1984) mengatakan bahwa
manusia memegang perubahan yang mempengaruhi dan mengubah perubahan

tersebut untuk keuntungan manusia itu sendiri. Kualitas kehidupan sangat
bergantung pada kemampuan manusia untuk mempertahankan, dalam konteks
melanjutkan perubahan, rasa tempat, rasa waktu, dan kelayakannya. Banyak
bangunan dan lanskap dari kawasan ini yang kita warisi menunjukkan seberapa
baik para leluhur. Sekarang, ketika perubahan lebih cepat dan biaya yang jauh
lebih tinggi, manusia harus bekerja lebih keras untuk merawat apa yang terbaik
dari masa lalu yang telah ditinggalkan oleh leluhur.

14

2.2.1 Peranan Perubahan dan Berkelanjutan (Change and Continuity)
Fram dan Weiler (continuity with change 1984) menjelaskan bahwa
continuity and change bukanlah sesuatu yang saling berlawanan. Mereka
memiliki peranan yang sangat penting satu sama lain. Perubahan dan
berkelanjutan ini memiliki peran penting terhadap upaya pelestarian bangunan
bersejarah. Dalam beberapa kasus kita harus menjaga agar tidak terjadi perubahan
akan budaya yang dibawa oleh leluhur kita, namun dalam hal lain kita juga harus
mempertimbangkan akan suatu perubahan yang memberikan keuntungan bagi
kita.
Change and continuity dapat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk
mempertahankan bangunan atau budaya lama yang mana budaya tersebut telah
mengalami pembaruan atau perkembangan akibat semakin meningkatnya
kebutuhan. Upaya mempertahankan bangunan lama juga dapat diartikan sebagai
suatu upaya konservasi. Ir. Eko Budiharjo, 1997 menjelaskan bahwa apabila suatu
bangunan atau kawasan bersejarah dikonservasi, bukan lagi berarti bahwa
bangunan tersebut sekedar dikembalikan ke bentuk dan fungsi asli namun bisa
saja bangunan itu mengalami perubahan bentuk atau perubahan fungsi. Namun,
skala dan penampilan dari perubahan bangunan tersebut jangan sampai
mengerdilkan atau melecehkan keunikan bangunan yang asli. Disini change and
continuity berperan sebagai penerus dari bangunan lama agar nilai sejarah
bangunan itu tidak hilang begitu saja, namun diberi perubahan agar bangunan
tersebut tetap hidup namun masih memiliki ciri dari bangunan lama.

15

Perubahan pada bangunan menurut Ismudiyanto dan Haryadi, M.Arch
(1988-1989) dibagi menjdi dua bagian yaitu bagian pertama adalah bagian yang
konstan, yaitu bagian core atau inti bangunan yang tidak berubah atau mengalami
perubahan yang sangat perlahan.Bagian kedua adalah bagian bangunan yang lain,
yang disebut periphery atau nir inti adalah bagian dari bangunan yang mengalami
perubahan cepat.

Change and continuity sejati hanya dapat dipahami pada saat independen
suatu objek yang baru beserta kondisi-kondisi serta tuntutan-tuntutannya yang
baru dapat dipertahankan. Hubungan antara yang lama dan yang baru pada setiap
kasus dapat diumpamakan sebagai sebuah dialog, percakapan antara masa lampau
dan masa kini.

2.3 Teori Fasade

Menurut Krier, 2001. Fasade berasal dari kata ‘fasad’ (fasade) diambil dari
kata latin ‘facies’ yang merupakan sinonim dari kata-kata ‘face’ (wajah) dan
‘appearance’ (penampilan). Komposisi suatu fasade, dengan mempetimbangkan
semua persyaratan fungsionalnya (jendela, bukaan pintu, pelindung matahari,
bidang atap) pada dasarnya berkaitan dengan penciptaan kesatuan harmonis antara
proposi yang baik, penyusunan struktur vertical dan horizontal, bahan, warna, dan
elemen dekoratif.

16

Fasade masih tetap menjadi elemen arsitektur terpenting yang mampu
menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan. Fasade tidaklah semata-mata
sebagai pemenuhan persyaratan alami yang ditentukan oleh suatu susunan
organisasi ruang, namun fasade menyampaikan keadaan budaya pada saat
bangunan itu dibangun, fasade mengungkap kriteria tatanan dan penataan dan
berjasa dalam memberikan kemungkinan dan kreativitas dalam ornamentasi dan
dekorasi. Suatu fasade juga menceritakan kepada kita mengenai penghuni suatu
gedung, memberikan semacam informasi identitas kolektif sebagai suatu
komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan representasi komunitas
tersebut dalam publik.

2.3.1 Komposisi Fasade
Komposisi

suatu

fasade dengan

mempertimbangkan

semua persyaratan

fungsionalnya pada dasrnya berkaitan dengan penciptaan kesatuan harmonis
antara proporsi yang baik, penyusunan struktur vertikal dan horizontal, bahan,
warna, dan elemen dekoratif.

Komposisi fasade terdiri dari:
a. Jendela
b. Pintu
c. Dinding
d. Atap
e. Sun Shading

17

2.3.2 Elemen Fasade
Sebagai suatu keseluruhan, fasade tersusun atas elemen tunggal, yaitu suatu
kesatuan tersendiri dengan kemampuan untuk mengekspresikan diri mereka
sendiri. Namun demikian, komposisi suatu fasade terdiri dari penstrukturan disatu
sisi dan penataan pada sisi lainnya.

a. Proporsi
Proporsi merupakan hubungan antar bagian dari suatu desain atau hubungan
antara bagian dengan keseluruhan.

b. Irama
Irama adalah pergerakan yang bercirikan pada unsur-unsur atau motif berulang
yang terpola dengan interval yang beratur ataupun tidak teratur. Irama terdiri dari
irama progresif, irama terbuka, dan irama tertutup.

c. Ornamen

Ornamen berfungsi untuk menambah nilai estetis dari suatu bangunan yang
akhirnya akan menambah nilai finansial dari bangunan tersebut.

18

d. Bentuk

Dalam arsitektur, bentuk selalu dihubungkan dengan wujud, yaitu sisi luar
karakteristik atau konfigurasi permukaan suatu bentuk tertentu.

e. Material

Material atau bahan adalah zat atau bnda dimana sesuatu dapat dibuat darinya,
atau barang yang dibutuhkan untuk membuat sesuatu.

f. Warna

Warna dapat mempengaruhi bobot visual suatu bentuk. Warna dapat berpera
untuk memperkuat bentuk dan memberikan ekspresi kepada pikiran atau jiwa
manusia. Warna menentukan karakter. Warna dapat menciptakan suasana yang
kita harapkan.

g. Tekstur

Tekstur adalah pola struktur 3 (tiga) dimensi permukaan. Tekstur dapat
mempengaruhi berbagai kesan warna dan bahan atau material.

19

2.3.3 Pola Fasade

Pola fasade dikelompokkan dalam:
a. Fasade dengan pola dominasi garis murni
b. Fasade dengan pola permainan garis
c. Fasade dengan pola dominasi bidang
d. Fasade dengan pola permainan bidang
e. Fasade dengan dominasi permainan struktur
f. Fasade dengan penampilan ornamen estetika

2.3.4 Karakterstik Fasade

Tiga macam karakter penampilan yang bisa diciptakan bagi sebuah bangunan:
a. Karakter netral
b. Karakter kuat menonjol
c. Karakter eksklusif

20