Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional Dan Tingkat Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Limau Manis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Kajian-kajian mengenai pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap
kinerja karyawan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Melalui penelusuran
literatur hasil penelitian jurnal online/internet dan penelitian jurnal cetakan, kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritual yang dihubungkan dengan kinerja karyawan.
Trihandini (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kecerdasan
Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus
di Hotel Horison Semarang)”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa seluruh hipotesis dalam
penelitian ini telah terbukti secara signifikan. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan
kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Variabel yang
memiliki pengaruh paling besar adalah kecerdasan emosi. Implikasi pada penelitian ini adalah
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual memiliki peran yang sama
penting baik secara individu atau secara bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Penelitian terdahulu di atas, mempunyai persamaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis. Persamaannya adalah pada variabel bebas dan variabel terikatnya, yaitu sama-sama
meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sedangkan
perbedaannya adalah terletak di lokasi penelitian, yaitu Hotel, sedangkan penelitian ini lokasinya
di perusahaan daerah air minum (PDAM).
Nasution (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kecerdasan
Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan (Studi
Kasus di Bank Rakyat Indonesia Cabang Bengkulu)”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa
bahwa kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia (Cabang Bengkulu) dipengaruhi oleh Kecerdasan
Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ).
Penelitian terdahulu di atas, mempunyai persamaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis. Persamaannya adalah pada variabel bebas dan variabel terikatnya, yaitu sama-sama
meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sedangkan
perbedaannya adalah terletak di lokasi penelitiann, yaitu industri perbankan, sedangkan penelitian
ini lokasinya di perusahaan daerah air minum (PDAM).
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang merupakan efektifitas
operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan standar dan kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia maka
5
5
Universitas Sumatera Utara
6
kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam memainkan peran yang mereka lakukan
di dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar
membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan.
Kinerja karyawan secara umum merupakan hasil yang dicapai oleh karyawan dalam
bekerja yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Robins (2001) lebih lanjut mendefinisikan
kinerja sebagai fungsi hasil interaksi antara kemampuan dan motivasi. Menurut (Simamora, 2001),
maksud dan tujuan kinerja adalah menyusun sasaran yang berguna, tidak hanya bagi evaluasi
kinerja pada akhir periode tertentu, melainkan hasil proses kerja sepanjang periode tersebut.
Menurut Mangkunegara (2001) bahwa, kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Jadi dengan demikian kinerja ( performance)
adalah suatu hasil yang telah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang
dilaksanakan secara legal, tidak melanggar hukum serta sesuai dengan moral dan tanggung jawab
yang
dibebankan kepadanya. Menurut Dharma (2003) bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan
atau produk/jasa yang dihasilkan dan diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang. Mathis dan
Jackson (2002) berpendapat bahwa, kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka
memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk: (1) kuantitas output, 2) kualitas
output, (3) jangka waktu output, (4) kehadiran di tempat kerja, dan (5) sikap kooperatif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan
merupakan hasil yang dicapai karyawan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan yang diberikan
kepadanya baik secara kuantitas maupun kualitas melalui prosedur yang berfokus pada tujuan
yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya standard pelaksanaan.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja yang dicapai karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjamin
kelangsungan hidup organisasi. Dalam mencapai kinerja yang tinggi ada beberapa faktor yang
mempengaruhi untuk menjadi pemicu apakah kinerja karyawan tinggi atau rendah. Faktor yang
mempengaruhi pencapaian kinerja yang baik, menurut Mathis dan Jackson (2001) diantaranya
adalah : “Kemampuan, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka
lakukan dan hubungan mereka dengan organisasi.
Sedangkan menurut Mangkunegara (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah :
a.
Faktor Motivasi
Universitas Sumatera Utara
7
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai
tujuan organisasi.
b.
Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Knowledge+ skill). Artinya, karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata
(IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Oleh sebab itu karyawan perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya.
Selanjutnya Stern dalam Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja karyawan adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi.
a.
Faktor Individu
Secara psikologis, individu yang normal yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi
psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi
psikis dan fisik, maka inidividu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi
yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan
mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas
kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya
konsentrasi yang baik dari individu dalam bekerja, maka mimpi pimpinan mengharapkan
mereka dapat bekerja produktif dalam mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam
bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran/ Intelegensi
Quotiont (IQ) dan kecerdasan emosi/Emotional Quotiont (EQ).
b.
Faktor Lingkungan Organisasi
Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja.
Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas
yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja
harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif
memadai. Sekalipun, jika faktor lingkungan organisasi kurang mendukung, maka bagi
individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan kecerdasan emosi baik,
sebenaranya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini bagi individu tersebut,
lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan dapat diciptakan oleh dirinya serta
merupakan pemacu (pemotivator), tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasinya.
Timple dalam Mangkunegara (2006) menyatakan faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor
internal dan eksternal.
a.
Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang.
Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan
Universitas Sumatera Utara
8
seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan
orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upayaupaya untuk memperbaiki kemampuannya.
b.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari
lingkungan. Seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau
pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.
Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja seorang karyawan
dipengaruhi oleh individu (internal) dan faktor yang ada di lingkungan kerja karyawan (faktor
eksteral). Kinerja yang optimal selain didorong oleh motivasi seseorang dan tingkat kemampuan
yang memadai, oleh adanya kesempatan yang diberikan, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun
seorang individu bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang jadi penghambat.
Kinerja karyawan setiap periodik perlu dilakukan penilaian. Hal ini karena penilaian
kinerja karyawan tersebut nantinya dapat digunakan sebagai analisis untuk kebutuhan
dilaksanakannya pelatihan (Ivancevich, 2001). Penilaian kinerja adalah proses evaluasi seberapa
baik karyawan mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standar dan
kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan (Mathis dan Jackson, 2002).
2.2.3 Penilaian Kinerja
Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian
kinerja.
Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu proses
penilaian kinerja karyawan yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan
pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan
yang dilakukan manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara
membandingkan kinerja atas kinerja uraian/deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu
biasanya setiap akhir tahun. Menurut Hasibuan (2005) bahwa: “Penilaian kinerja adalah menilai
hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap karyawan.
Menempatkan kebijaksanaan berarti, apakah karyawan akan dipromosikan, didemosikan, dan atau
balas jasanya dinaikkan.”
Berdasarkan pendapat di atas, penilaian kinerja adalah suatu proses penilaian kinerja
karyawan yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya. Masalah penilaian kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting, karena
penilaian kinerja mempunyai banyak manfaat, baik bagi karyawan maupun perusahaan. Penilaian
kinerja sangat perlu diperhatikan karyawan untuk pengembangan karier karyawan tersebut lebih
lanjut.
Menurut Mangkunegara (2000) unsur-unsur yang dinilai dari kinerja adalah kualitas
kerja, kuantitas kerja, keandalan dan sikap. Kualitas kerja terdiri dari ketepatan, ketelitian,
Universitas Sumatera Utara
9
keterampilan, kebersihan. Kuantitas kerja terdiri dari output dan penyelesaian kerja dengan ekstra.
Keandalan terdiri dari mengikuti instruksi, inisiatif, kehati-hatian, kerajinan. Sedangkan sikap
terdiri dari sikap terhadap perusahaan, karyawan lain dan pekerjaan serta kerjasama. Sedangkan
Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian kinerja antara lain :
kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa dan
kepemimpinan.
Bernardin dan Russel dalam Rosyidi (2007) menyebutkan adanya enam kriteria untuk
mengukur kinerja seorang karyawan, yaitu:
a.
Quality, sejauh mana kemampuan menghasilkan sesuai dengan kualitas
standar yang
ditetapkan perusahaan.
b.
Quantity, sejauh mana kemampuan menghasilkan sesuai dengan jumlah
standar yang
ditetapkan perusahaan.
c.
Timeleness, tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki
dengan memperhatikan koodinasi out put lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain.
d.
Cost of effectiveness, sejauh mana tingkat penerapan sumberdaya
manusia, keuangan,
teknologi, dan material yang mampu dioptimalkan.
e.
Need of supervision , sejauh mana tingkatan seorang karyawan untuk bekerja dengan teliti
tanpa adanya pengawasan yang ketat dari supervisor.
f.
Interpersonal input, sejauh mana tingkatan seorang karyawan dalam pemeliharaan harga diri,
nama baik dan kerjasama, diantara rekan kerja dan bawahan.
Keseluruhan unsur/komponen penilaian kinerja di atas harus ada dalam pelaksanaan
penilaian agar hasil penilaian dapat mencerminkan kinerja dari para karyawan. Secara umum,
penilaian kinerja bertujuan untuk memberikan feedback kepada karyawan dalam upaya
memperbaiki tampilan kerjanya dan upaya meningkatkan produktifitas organisasi, dan secara
khusus dilakukan dalam kaitannya dengan berbagai kebijaksanaan terhadap karyawan, seperti
tujuan promosi (pengembangan karier), kenaikan gaji, pendidikan dan pelatihan.
2.2.4 Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Agar tercapainya tujuan perusahaan, maka diharapkan terjadinya hubungan yang
harmonis pada pihak atasan dan bawahan. Dengan adanya penilaian kinerja karyawan dan
pimpinan akan melakukan tugasnya seperti dalam hal berjalannya promosi jabatan terhadap
karyawan, begitu pula sebaliknya. Tujuan penilaian kinerja karyawan menurut Hasibuan (2005),
sebagai berikut :
a.
Sebagai dasar pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian
dan penempatan besarnya balas jasa.
b.
Untuk mengukur kinerja yaitu sejauh mana karyawan dapat sukses dalam pekerjaannya.
c.
Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dari dalam pekerjaannya.
Universitas Sumatera Utara
10
d.
Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja dan peralatan
kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan peralatan kerja.
e.
Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada
didalam organisasi.
f.
Sebagai alat untuk mendapatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai tujuan untuk
mendapatkan performance kerja yang baik.
g.
Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan dan kelebihan dimasa lampau dan
meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.
h.
Sebagai kriteria didalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.
i.
Sebagai alat memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
j.
Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian pekerjaan.
Sedangkan menurut Sastrohadiwirjo (2002) penilaian kinerja dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut :
a.
Sumber data untuk perencanaan ketenaga kerjaan dan kegiatan pengembangan jangka panjang
bagi perusahaan yang bersangkutan.
b.
Nasihat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja dalam perusahaan.
c.
Alat untuk memberikan umpan balik yang mendorong kearah kemajuan dan kemungkinan
memperbaiki/meningkatkan kualitas kerja bagi para tenaga kerja.
d.
Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang dihadapkan dari seorang pemegang tugas dan
pekerjaan.
e.
Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang ketenagakerjaan baik
promosi, mutasi maupun kegiatan ketenagakerjaan lainnya.
Menilai perilaku dan kinerja karyawan untuk kebijakan masa yang akan datang oleh
pimpinan sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang promosi, mutasi, demosi dan lainnya
adalah hal yang wajib dilakukan. Keselarasan hubungan yang baik antara pimpinan dengan
bawahan adalah suatu akses yang diinginkan oleh perusahaan.
Menurut Handoko (2000) manfaat atau kegunaan-kegunaan penilaian kinerja antara lain
adalah :
a. Perbaikan kinerja.
Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia
dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka demi perbaikan kinerja.
b. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi
Evaluasi pretasi kerja membantu pada pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah,
pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.
c. Keputusan-keputusan penempatan
Promosi, transfer dan demosi (penurunan jabatan) biasanya didasarkan pada kinerja masa lalu
atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap kinerja masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
11
d. Kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan
Kinerja yang jelek mungkin menunjukan kebutuhan latihan. Demikian juga, kinerja yang baik
mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.
e. Perencanaan dan pengembangan karier.
Umpan balik kinerja seseorang karyawan dapat mengarahkan keputusan-keputusan karier,
yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus diteliti.
f. Penyimpangan-penyimpangan proses staffing.
Kinerja yang baik atau yang jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing
departemen personalia.
g. Ketidakakuratan informasional.
Kinerja yang jelek mungkin menunjukan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisa jabatan,
rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen sistem informasi
manajemen personalia lainnya. Menggantungkan diri pada informasi yang tidak akurat dapat
mengakibatkan keputusan-keputusan personalia yang diambil menjadi tidak tepat.
h. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.
Kinerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan.
Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
i. Kesempatan kerja yang adil
Penilaian kinerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal
diambil tanpa diskriminasi.
j. Tantangan-tantangan ekstenal.
Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti :
keluarga, kesehatan, kondisi financial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian
kinerja tersebut departemen personalia dimungkinkan untuk dapat menawarkan bantuan
kepada semua karyawan yang membutuhkan atau yang diperkirakan memerlukan.
2.2.5 Pengertian Kecerdasan Emosi
Kecerdasan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan.
Kecerdasan merujuk pada suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbegai tugas dalam suatu
pekerjaan. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukan pendapat para ahli tentang pengertian
kecerdasan diantaranya menurut Robbins (2001) yang menyatakan: “Kecerdasan adalah suatu
kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.” Hasibuan (2005:
“Kemampuan/kecerdasan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan pekerjaan.” Menurut
Kreitner dan Kinicki (2003) : Kecerdasan adalah kapasitas berfikir, bernalar dan memecahkan
persolan konstruktif.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan mempunyai
cakupan yang lebih komprehensif yaitu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam
Universitas Sumatera Utara
12
tugas/pekerjaan tertentu dan keterampilan (skill) kecerdasan teknis untuk melakukan sesuatu
dengan baik.
Sebelum membahas kecerdasan emosi terlebih dahulu diberikan pengertian emosi
tersebut. Kata emosi berasal dari bahasa latin yang berarti movere yang diartikan
bergerak/menggerakkan dan menjauh. Lebih lanjut dalam Kamus Bahasa Inggiris Oxford
mendefenisikan emosi sebagai suatu kegiatan atau pergolakan pikiran, suatu keadaan biologis dan
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Salah satu definisi akurat tentang emosi diungkap Lazarus dalam Kreitner dan Kinicki
(2003): Emosi adalah reaksi-reaksi organisme yang rumit dan terpola mengenai bagaimana kita
berpikir mengenai apa yang kita lakukan sepanjang hidup untuk bertahan hidup dan memeriahkan
hidup serta untuk mencapai apa yang kita inginkan untuk diri kita sendiri.
Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak mau melakukan perubahan. Ada
perasaan takut dengan apa yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah
karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak
mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini
sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya kelewat puas
dengan kondisinya, lantas takut melangkah. Berikutnya mereka menjadi orang yang gagal.
Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi
yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata
maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini
terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress
dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu
menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Tak hanya soal
kemampuan logika, kini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan
berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan
kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress
pekerjaan. Semakin tepat kita mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan kita.
Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan kita menjadi akrab dan mampu bersahabat,
berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Istilah kecerdasan emosi (EQ) baru
dikenal secara luas pada pertengahan tahun 1990 dengan diterbitkannya buku Daneil Goleman
Emotional Intelligence . Goleman (2005), menjelaskan bahwa : “Kecakapan emosi adalah
kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosi dan karena itu menghasilkan
kinerja menonjol dalam pekerjaan. Lebih Lanjut Goleman (2005) menyatakan : “Kecerdasan
emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.”
Universitas Sumatera Utara
13
Dapat disimpulkan kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali,
mengelola dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang individu
mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri
serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesahatan mental yang baik.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan keputusan
dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi
itu memperkaya; model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan model yang
miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan,
pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu
lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah
berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak
sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
2.2.6. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan yang dimiliki seorang ternyata tidak hanya sebatas kecerdasan intelektual
(IQ) semata seperti yang selama ini kita kenal. Ada beberapa kecerdasan yang ikut mempengaruhi
jalan keberhasilan dan kebahagiaan kita. Menurut Goleman (2005) terdapat lima dimensi atau
komponen kecerdasan emosional (EQ) yang keseluruhannya diturunkan menjadi dua puluh lima
kompetensi. Kelima dimensi atau komponen tersebut adalah:
a.
Pengenalan diri, artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih disukai, dan intuisi.
Kompetensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan
dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri.
b.
Pengendalian diri, artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri.
Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan negatif, menjaga norma
kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan,
dan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.
c.
Motivasi, artinya dorongan yang membimbing atau membantu peraihan sasaran atau tujuan.
Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan
sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan
dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.
d.
Empati, yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatinan
orang. Dimensi
keempat terdiri dari kompetensi understanding others, developing others, customer service ,
menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan
dengan berbagai macam orang,
membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.
e.
Keterampilan sosial, artinya kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki oleh
orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi
Universitas Sumatera Utara
14
pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan
kooperasi, serta team building.
2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Secara fisik, bagian yang paling menentukan dan berpengaruh terhadap Kecerdasan
Emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain yaitu otaknya. Bagian yang
digunakan untuk berpikir yaitu: korteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang
mengurus emosi yaitu sistem limbik.
Tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan Kecerdasan
Emosi seseorang. Shapiro (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan kecerdasan emosi, yaitu:
a.
Fisik, secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap
perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata
lain bagian otaknya. Bagian-bagian otak yang
digunakan untuk berpikir yaitu korteks
(kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang
mengurusi emosi yaitu sistem limbik, tetapi sesungguhnya hubungan antara keduanya inilah
yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.
b.
Psikis, kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan
diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir.
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan
diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang menurut Goleman
(2005), yaitu:
a.
Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang
perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari
kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan
contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi
anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan
bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan
menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam
menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak
memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.
b.
Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan
penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental
anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain
Universitas Sumatera Utara
15
peran. Anak berperan sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertainya
sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kecerdasan emosi seseorang antara lain lingkungan keluarga dan non keluarga, faktor fisik dan
psikis.
2.2.8 Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan seseorang tidak hanya dilihat dari kecerdasan intelektualnya saja
akan tetapi juga dari kecerdasan emosinya dan kecerdasan spiritualnya. Setelah kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosi maka ditemukan kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan
spiritual yang diyakini sebagai kecerdasan yang mampu memfungsikan kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosi secara efektif dan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar
dan Marshall, 2007).
Pengertian kecerdasan spiritual menurut Zohar (2001) adalah kecerdasan yang bertumpu
pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar.
Kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosi dan
spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Kecerdasan spiritual dapat membantu
manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Menurut Gunawan (dalam
Yusup, 2005), kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan
tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta
lebih bermakna.
Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara
lebih efektif, baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosi. Jadi, kecerdasan spiritual
berkaitan dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi. Mujib & Mudzakir (2001)
mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan
bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan
kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari
makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).
Covey & Meril (dalam Aziz & Mangestuti, 2006), menjelaskan bahwa kehidupan yang
bermakna bukan perkara kecepatan atau efisiensi saja tetapi merupakan perkara apa dan mengapa
seseorang melakukan sesuatu. Apa dan mengapa inilah yang menjelaskan bahwa dalam melakukan
sesuatu seseorang harus mengetahui secara jelas mengenai tujuan dan jalan hidup yang akan
ditempuh. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membedakan kebermaknaan tindakan atau
jalan hidup seseorang dari yang lain. Menurut Aziz & Mangestuti (2006) kecerdasan spiritual
adalah suatu bentuk kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang dicirikan dengan adanya
kemampuan yang bersifat internal dan eksternal.
Universitas Sumatera Utara
16
Kecerdasan spiritual tidak selalu berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang,
kecerdasan spiritual diungkapkan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi. Agama formal adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang
dibebankan secara eksternal, bersifat top down, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau
ditanamkan melalui keluarga dan tradisi (Zohar dan Marshall, 2007). Kecerdasan spiritual seperti
yang telah dijelaskan di atas, merupakan kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia yang
sumber terdalamnya adalah alam semesta itu sendiri, yang memungkinkan otak untuk menemukan
dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan dalam hidupnya.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan yang membangun manusia secara utuh untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna hidup untuk menilai bahwa tindakan yang dilakukan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
2.2.9. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai. Menurut Zohar & Marshall (2007), tanda-tanda kecerdasan spiritual
yang telah berkembang baik dalam diri seseorang mencakup hal-hal berikut:
a.
Kemampuan bersikap fleksibel
Kemampuan seseorang untuk bersikap adaptif secara spontan dan aktif, memiliki
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat mengalami dilematis.
b.
Tingkat kesadaran diri yang tinggi
Kemampuan seseorang yang mencakup usaha untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman
untuk dirinya, yang mendorong seseorang untuk merenungkan apa yang dipercayai dan apa
yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam kejadian dan peristiwa
dengan berpegang pada agama yang diyakininya.
c.
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
Kemampuan seseorang dalam menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang
dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
d.
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
Kemampuan seseorang dimana di saat dia mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan
dirinya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan
memberikan kesembuhan.
e.
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai- nilai
Kualitas hidup seseorang yang didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada
nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut.
f.
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
17
Seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi mengetahui bahwa ketika dia
merugikan orang lain, maka berarti dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan
untuk melakukan kerugian yang tidak perlu.
h.
Berpikir secara holistik
Kecenderungan seseorang untuk melihat keterkaitan berbagai hal.
i.
Kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban-jawaban
yang mendasar
j.
Menjadi pribadi mandiri
Kemampuan seseorang yang memilki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan tidak
tergantung dengan orang lain.
Emmons (dalam Rakhmat, 2007) menyatakan bahwa komponen dari kecerdasan spiritual
adalah:
a.
Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material.
b.
Kemampuan untuk mensucikan pengalaman sehari-hari.
c.
Kemampuan untuk mengalami kondisi-kondisi kesadaran puncak.
d.
Kemampuan untuk menggunakan potensi-potensi spiritual untuk memecahkan masalah.
e.
Kemampuan untuk terlibat dalam berbagai kebajikan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Aziz dan Mangestuti (2006),
kecerdasan spiritual adalah suatu bentuk kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang
dicirikan dengan adanya kemampuan yang ersifat internal dan eksternal. Komponen-komponen
dari kemampuan tersebut adalah :
a.
Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang berhubungan antara diri dengan
Tuhan, cirinya adalah kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, adanya visi yang bersifat
spiritual, dan kemampuan untuk mngambil hikmah dari penderitaan.
b.
Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan yang berhubungan dengan sesama
manusia, cirinya adalah keengganan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain dan
kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan.
Dari beberapa penjelasan di atas, dalam penelitian ini penulis mengambil aspek-aspek
kecerdasan spiritual (SQ) dari Zohar dan Marshall (2007) meliputi kemampuan bersikap fleksibel,
tingkat kesadaran diri yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, kualitas hidup yang diilhami oleh visi
dan nilai- nilai, keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, berpikir secara
holistik, kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawabanjawaban yang mendasar, serta menjadi pribadi mandiri.
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.10. Faktor-faktor Penghambat Kecerdasan Spiritual
Otak manusia selalu berkembang untuk menuju perubahan yang bermanfaat bagi
kehidupannya, begitu juga dengan adanya perkembangan kecerdasan spiritual dalam diri manusia.
Terdapat beberapa hal yang menghambat kecerdasan spiritual untuk berkembang, diantaranya
adalah (Zohar & Marshall, 2007):
a.
Adanya ketidakseimbangan id, ego, dan superego.
b.
Adanya orang tua yang tidak cukup menyayangi anaknya.
c.
Mengharapkan terlalu banyak.
d.
Adanya ajaran yang mengajarkan menekan insting.
e.
Adanya aturan moral yang menekan insting alamiah.
f.
Adanya luka jiwa yang menggambarkan pengalaman menyangkut perasaan terbelah, terasing,
dan tidak berharga.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas, melahirkan perilaku-perilaku yang dapat
disimpulkan menjadi tiga sebab yang membuat seseorang terhambat secara spiritual yaitu (Zohar
& Marshall, 2007):
a.
Tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sama sekali.
b.
Telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang
negatif atau destruktif.
c.
Bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.
2. 3 Kerangka Konseptual
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, dan
mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan
konstruktif, yang berupaya bekerja sama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan
pada konflik. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca
perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaikbaiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin.
Sistem kompetensi berdasarkan kecerdasan emosi untuk setiap posisi yang telah dibuat
sebenarnya bisa dikembangkan untuk banyak fungsi dalam SDM, mulai dari rekruitmen, pelatihan
dan pengembangan karir hingga penilaiaan kinerja. Bisa dibayangkan betapa hebatnya jika bisa
dibangun suatu sistem manajemen sumber daya manusia yang mampu memotivasi karyawannya
untuk mengembangkan kecerdasan emosinya, sehingga bukan hanya kompetensi teknis yang
berkembang tetapi juga produktivitas dan kinerjanya ikut meningkat ( Martin, 2000).
Universitas Sumatera Utara
19
Kehadiran kecerdasan emosi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang telah mengundang pro dan kontra dikalangan para ahli (focus online, 2004). Gordon
(dalam focus_online, 2004) adalah salah satu yang menentang pendapat tersebut. Ia berpendapat
bahwa kecerdasan emosi lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan mood (suasana hati),
sedangkan cara terbaik untuk meningkatkan kinerja para pekerja adalah dengan kemampuan
analisis dan kemampuan kognitif dalam hal ini yang berperan adalah kecerdasan intelektualnya.
Pendapat tersebut didukung oleh Carruso (1999). Carrusso dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa walaupun ia mendukung keberadaan kecerdasan emosi tetapi pada kenyataannya
kecerdasan intelektual yang diukur dengan IQ masih merupakan hal yang penting dalam
kesuksesan kerja. Tulisan mengenai masalah tersebut menyebutkan bahwa para ahli masih
mempercayai jika seseorang memiliki skor IQ yang tinggi maka ia akan dapat lebih berhasil dalam
pekerjaannya.
Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence atau spiritual quotient (SQ) ialah suatu
intelegensi atau suatu kecerdasan dimana kita berusaha menyelesaikan masalah - masalah hidup
ini berdasarkan nilai-nilai spiritual atau agama yang diyakini. Kecerdasan spiritual ialah suatu
kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam
suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual
merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence
Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI ).
Zohar dan Marshal (2001) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual mampu menjadikan
manusia sebagai mahluk yang lengkap secara intelektual, emosional dan spiritual. Hal tersebut
seperti juga yang ditulis oleh Mudali (2002) bahwa menjadi pintar tidak hanya dinyatakan dengan
memiliki IQ yang tinggi, tetapi untuk menjadi sungguh-sungguh pintar seseorang haruslah
memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Penelitian yang dilakukan Wiersma (2002) memberikan bukti
tentang pengaruh kecerdasan spiritual dalam dunia kerja. Ia meneliti tentang bagaimana pengaruh
spiritualitas dalam perilaku pengembangan karir. Penelitian ini dilakukan selama tiga tahun
dengan melakukan studi kualitatif terhadap 16 responden. Hasil penelitian yang dilakukannya
ternyata menunjukan bahwa kecerdasan spiritual mempengaruhi tujuan sesorang dalam mencapai
karirnya di dunia kerja. Seseorang yang membawa makna spiritualitas dalam kerjanya akan
merasakan hidup dan pekerjaannya lebih berarti. Hal ini mendorong dan memotivasi dirinya untuk
lebih meningkatkan kinerja yang dimilikinya, sehingga dalam karir ia dapat berkembang lebih
maju.
Universitas Sumatera Utara
20
Dari uraian di atas maka, kerangka berpikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
Kecerdasan Emosi
(X1)
Kinerja Karyawan
(Y)
Kecerdasan Spiritual
(X2)
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut : “Kecerdasan
Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan operator bagian produksi di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Limau
Manis”.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Kajian-kajian mengenai pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap
kinerja karyawan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Melalui penelusuran
literatur hasil penelitian jurnal online/internet dan penelitian jurnal cetakan, kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritual yang dihubungkan dengan kinerja karyawan.
Trihandini (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kecerdasan
Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus
di Hotel Horison Semarang)”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa seluruh hipotesis dalam
penelitian ini telah terbukti secara signifikan. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan
kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Variabel yang
memiliki pengaruh paling besar adalah kecerdasan emosi. Implikasi pada penelitian ini adalah
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual memiliki peran yang sama
penting baik secara individu atau secara bersama-sama dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Penelitian terdahulu di atas, mempunyai persamaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis. Persamaannya adalah pada variabel bebas dan variabel terikatnya, yaitu sama-sama
meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sedangkan
perbedaannya adalah terletak di lokasi penelitian, yaitu Hotel, sedangkan penelitian ini lokasinya
di perusahaan daerah air minum (PDAM).
Nasution (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Kecerdasan
Intelektual, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan (Studi
Kasus di Bank Rakyat Indonesia Cabang Bengkulu)”. Hasil penelitiannya menemukan bahwa
bahwa kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia (Cabang Bengkulu) dipengaruhi oleh Kecerdasan
Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ).
Penelitian terdahulu di atas, mempunyai persamaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis. Persamaannya adalah pada variabel bebas dan variabel terikatnya, yaitu sama-sama
meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sedangkan
perbedaannya adalah terletak di lokasi penelitiann, yaitu industri perbankan, sedangkan penelitian
ini lokasinya di perusahaan daerah air minum (PDAM).
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang merupakan efektifitas
operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan standar dan kriteria
yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia maka
5
5
Universitas Sumatera Utara
6
kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam memainkan peran yang mereka lakukan
di dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar
membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan.
Kinerja karyawan secara umum merupakan hasil yang dicapai oleh karyawan dalam
bekerja yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Robins (2001) lebih lanjut mendefinisikan
kinerja sebagai fungsi hasil interaksi antara kemampuan dan motivasi. Menurut (Simamora, 2001),
maksud dan tujuan kinerja adalah menyusun sasaran yang berguna, tidak hanya bagi evaluasi
kinerja pada akhir periode tertentu, melainkan hasil proses kerja sepanjang periode tersebut.
Menurut Mangkunegara (2001) bahwa, kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Jadi dengan demikian kinerja ( performance)
adalah suatu hasil yang telah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang
dilaksanakan secara legal, tidak melanggar hukum serta sesuai dengan moral dan tanggung jawab
yang
dibebankan kepadanya. Menurut Dharma (2003) bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan
atau produk/jasa yang dihasilkan dan diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang. Mathis dan
Jackson (2002) berpendapat bahwa, kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka
memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk: (1) kuantitas output, 2) kualitas
output, (3) jangka waktu output, (4) kehadiran di tempat kerja, dan (5) sikap kooperatif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan
merupakan hasil yang dicapai karyawan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan yang diberikan
kepadanya baik secara kuantitas maupun kualitas melalui prosedur yang berfokus pada tujuan
yang hendak dicapai serta dengan terpenuhinya standard pelaksanaan.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja yang dicapai karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjamin
kelangsungan hidup organisasi. Dalam mencapai kinerja yang tinggi ada beberapa faktor yang
mempengaruhi untuk menjadi pemicu apakah kinerja karyawan tinggi atau rendah. Faktor yang
mempengaruhi pencapaian kinerja yang baik, menurut Mathis dan Jackson (2001) diantaranya
adalah : “Kemampuan, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka
lakukan dan hubungan mereka dengan organisasi.
Sedangkan menurut Mangkunegara (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah :
a.
Faktor Motivasi
Universitas Sumatera Utara
7
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam menghadapi situasi kerja.
Motivasi merupakan kondisi menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai
tujuan organisasi.
b.
Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Knowledge+ skill). Artinya, karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata
(IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Oleh sebab itu karyawan perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya.
Selanjutnya Stern dalam Mangkunegara (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja karyawan adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi.
a.
Faktor Individu
Secara psikologis, individu yang normal yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi
psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi
psikis dan fisik, maka inidividu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi
yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan
mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas
kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya
konsentrasi yang baik dari individu dalam bekerja, maka mimpi pimpinan mengharapkan
mereka dapat bekerja produktif dalam mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam
bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran/ Intelegensi
Quotiont (IQ) dan kecerdasan emosi/Emotional Quotiont (EQ).
b.
Faktor Lingkungan Organisasi
Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja.
Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas
yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja
harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif
memadai. Sekalipun, jika faktor lingkungan organisasi kurang mendukung, maka bagi
individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan kecerdasan emosi baik,
sebenaranya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini bagi individu tersebut,
lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan dapat diciptakan oleh dirinya serta
merupakan pemacu (pemotivator), tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasinya.
Timple dalam Mangkunegara (2006) menyatakan faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor
internal dan eksternal.
a.
Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang.
Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan
Universitas Sumatera Utara
8
seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan
orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upayaupaya untuk memperbaiki kemampuannya.
b.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari
lingkungan. Seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau
pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.
Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja seorang karyawan
dipengaruhi oleh individu (internal) dan faktor yang ada di lingkungan kerja karyawan (faktor
eksteral). Kinerja yang optimal selain didorong oleh motivasi seseorang dan tingkat kemampuan
yang memadai, oleh adanya kesempatan yang diberikan, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun
seorang individu bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang jadi penghambat.
Kinerja karyawan setiap periodik perlu dilakukan penilaian. Hal ini karena penilaian
kinerja karyawan tersebut nantinya dapat digunakan sebagai analisis untuk kebutuhan
dilaksanakannya pelatihan (Ivancevich, 2001). Penilaian kinerja adalah proses evaluasi seberapa
baik karyawan mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standar dan
kemudian mengkomunikasikannya dengan para karyawan (Mathis dan Jackson, 2002).
2.2.3 Penilaian Kinerja
Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian
kinerja.
Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu proses
penilaian kinerja karyawan yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan
pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan
yang dilakukan manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara
membandingkan kinerja atas kinerja uraian/deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu
biasanya setiap akhir tahun. Menurut Hasibuan (2005) bahwa: “Penilaian kinerja adalah menilai
hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan setiap karyawan.
Menempatkan kebijaksanaan berarti, apakah karyawan akan dipromosikan, didemosikan, dan atau
balas jasanya dinaikkan.”
Berdasarkan pendapat di atas, penilaian kinerja adalah suatu proses penilaian kinerja
karyawan yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya. Masalah penilaian kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting, karena
penilaian kinerja mempunyai banyak manfaat, baik bagi karyawan maupun perusahaan. Penilaian
kinerja sangat perlu diperhatikan karyawan untuk pengembangan karier karyawan tersebut lebih
lanjut.
Menurut Mangkunegara (2000) unsur-unsur yang dinilai dari kinerja adalah kualitas
kerja, kuantitas kerja, keandalan dan sikap. Kualitas kerja terdiri dari ketepatan, ketelitian,
Universitas Sumatera Utara
9
keterampilan, kebersihan. Kuantitas kerja terdiri dari output dan penyelesaian kerja dengan ekstra.
Keandalan terdiri dari mengikuti instruksi, inisiatif, kehati-hatian, kerajinan. Sedangkan sikap
terdiri dari sikap terhadap perusahaan, karyawan lain dan pekerjaan serta kerjasama. Sedangkan
Sastrohadiwiryo (2002) menyatakan unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian kinerja antara lain :
kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa dan
kepemimpinan.
Bernardin dan Russel dalam Rosyidi (2007) menyebutkan adanya enam kriteria untuk
mengukur kinerja seorang karyawan, yaitu:
a.
Quality, sejauh mana kemampuan menghasilkan sesuai dengan kualitas
standar yang
ditetapkan perusahaan.
b.
Quantity, sejauh mana kemampuan menghasilkan sesuai dengan jumlah
standar yang
ditetapkan perusahaan.
c.
Timeleness, tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki
dengan memperhatikan koodinasi out put lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain.
d.
Cost of effectiveness, sejauh mana tingkat penerapan sumberdaya
manusia, keuangan,
teknologi, dan material yang mampu dioptimalkan.
e.
Need of supervision , sejauh mana tingkatan seorang karyawan untuk bekerja dengan teliti
tanpa adanya pengawasan yang ketat dari supervisor.
f.
Interpersonal input, sejauh mana tingkatan seorang karyawan dalam pemeliharaan harga diri,
nama baik dan kerjasama, diantara rekan kerja dan bawahan.
Keseluruhan unsur/komponen penilaian kinerja di atas harus ada dalam pelaksanaan
penilaian agar hasil penilaian dapat mencerminkan kinerja dari para karyawan. Secara umum,
penilaian kinerja bertujuan untuk memberikan feedback kepada karyawan dalam upaya
memperbaiki tampilan kerjanya dan upaya meningkatkan produktifitas organisasi, dan secara
khusus dilakukan dalam kaitannya dengan berbagai kebijaksanaan terhadap karyawan, seperti
tujuan promosi (pengembangan karier), kenaikan gaji, pendidikan dan pelatihan.
2.2.4 Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Agar tercapainya tujuan perusahaan, maka diharapkan terjadinya hubungan yang
harmonis pada pihak atasan dan bawahan. Dengan adanya penilaian kinerja karyawan dan
pimpinan akan melakukan tugasnya seperti dalam hal berjalannya promosi jabatan terhadap
karyawan, begitu pula sebaliknya. Tujuan penilaian kinerja karyawan menurut Hasibuan (2005),
sebagai berikut :
a.
Sebagai dasar pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian
dan penempatan besarnya balas jasa.
b.
Untuk mengukur kinerja yaitu sejauh mana karyawan dapat sukses dalam pekerjaannya.
c.
Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dari dalam pekerjaannya.
Universitas Sumatera Utara
10
d.
Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja dan peralatan
kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan peralatan kerja.
e.
Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada
didalam organisasi.
f.
Sebagai alat untuk mendapatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai tujuan untuk
mendapatkan performance kerja yang baik.
g.
Sebagai alat untuk bisa melihat kekurangan atau kelemahan dan kelebihan dimasa lampau dan
meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.
h.
Sebagai kriteria didalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.
i.
Sebagai alat memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
j.
Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian pekerjaan.
Sedangkan menurut Sastrohadiwirjo (2002) penilaian kinerja dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut :
a.
Sumber data untuk perencanaan ketenaga kerjaan dan kegiatan pengembangan jangka panjang
bagi perusahaan yang bersangkutan.
b.
Nasihat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja dalam perusahaan.
c.
Alat untuk memberikan umpan balik yang mendorong kearah kemajuan dan kemungkinan
memperbaiki/meningkatkan kualitas kerja bagi para tenaga kerja.
d.
Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang dihadapkan dari seorang pemegang tugas dan
pekerjaan.
e.
Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang ketenagakerjaan baik
promosi, mutasi maupun kegiatan ketenagakerjaan lainnya.
Menilai perilaku dan kinerja karyawan untuk kebijakan masa yang akan datang oleh
pimpinan sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang promosi, mutasi, demosi dan lainnya
adalah hal yang wajib dilakukan. Keselarasan hubungan yang baik antara pimpinan dengan
bawahan adalah suatu akses yang diinginkan oleh perusahaan.
Menurut Handoko (2000) manfaat atau kegunaan-kegunaan penilaian kinerja antara lain
adalah :
a. Perbaikan kinerja.
Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia
dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka demi perbaikan kinerja.
b. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi
Evaluasi pretasi kerja membantu pada pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah,
pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.
c. Keputusan-keputusan penempatan
Promosi, transfer dan demosi (penurunan jabatan) biasanya didasarkan pada kinerja masa lalu
atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap kinerja masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
11
d. Kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan
Kinerja yang jelek mungkin menunjukan kebutuhan latihan. Demikian juga, kinerja yang baik
mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.
e. Perencanaan dan pengembangan karier.
Umpan balik kinerja seseorang karyawan dapat mengarahkan keputusan-keputusan karier,
yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus diteliti.
f. Penyimpangan-penyimpangan proses staffing.
Kinerja yang baik atau yang jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing
departemen personalia.
g. Ketidakakuratan informasional.
Kinerja yang jelek mungkin menunjukan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisa jabatan,
rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen sistem informasi
manajemen personalia lainnya. Menggantungkan diri pada informasi yang tidak akurat dapat
mengakibatkan keputusan-keputusan personalia yang diambil menjadi tidak tepat.
h. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.
Kinerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan.
Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
i. Kesempatan kerja yang adil
Penilaian kinerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal
diambil tanpa diskriminasi.
j. Tantangan-tantangan ekstenal.
Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti :
keluarga, kesehatan, kondisi financial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian
kinerja tersebut departemen personalia dimungkinkan untuk dapat menawarkan bantuan
kepada semua karyawan yang membutuhkan atau yang diperkirakan memerlukan.
2.2.5 Pengertian Kecerdasan Emosi
Kecerdasan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan.
Kecerdasan merujuk pada suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbegai tugas dalam suatu
pekerjaan. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukan pendapat para ahli tentang pengertian
kecerdasan diantaranya menurut Robbins (2001) yang menyatakan: “Kecerdasan adalah suatu
kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.” Hasibuan (2005:
“Kemampuan/kecerdasan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan pekerjaan.” Menurut
Kreitner dan Kinicki (2003) : Kecerdasan adalah kapasitas berfikir, bernalar dan memecahkan
persolan konstruktif.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan mempunyai
cakupan yang lebih komprehensif yaitu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam
Universitas Sumatera Utara
12
tugas/pekerjaan tertentu dan keterampilan (skill) kecerdasan teknis untuk melakukan sesuatu
dengan baik.
Sebelum membahas kecerdasan emosi terlebih dahulu diberikan pengertian emosi
tersebut. Kata emosi berasal dari bahasa latin yang berarti movere yang diartikan
bergerak/menggerakkan dan menjauh. Lebih lanjut dalam Kamus Bahasa Inggiris Oxford
mendefenisikan emosi sebagai suatu kegiatan atau pergolakan pikiran, suatu keadaan biologis dan
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Salah satu definisi akurat tentang emosi diungkap Lazarus dalam Kreitner dan Kinicki
(2003): Emosi adalah reaksi-reaksi organisme yang rumit dan terpola mengenai bagaimana kita
berpikir mengenai apa yang kita lakukan sepanjang hidup untuk bertahan hidup dan memeriahkan
hidup serta untuk mencapai apa yang kita inginkan untuk diri kita sendiri.
Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak mau melakukan perubahan. Ada
perasaan takut dengan apa yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah
karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak
mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini
sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya kelewat puas
dengan kondisinya, lantas takut melangkah. Berikutnya mereka menjadi orang yang gagal.
Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi
yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata
maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini
terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress
dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu
menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Tak hanya soal
kemampuan logika, kini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan
berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan
kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress
pekerjaan. Semakin tepat kita mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan kita.
Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan kita menjadi akrab dan mampu bersahabat,
berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Istilah kecerdasan emosi (EQ) baru
dikenal secara luas pada pertengahan tahun 1990 dengan diterbitkannya buku Daneil Goleman
Emotional Intelligence . Goleman (2005), menjelaskan bahwa : “Kecakapan emosi adalah
kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosi dan karena itu menghasilkan
kinerja menonjol dalam pekerjaan. Lebih Lanjut Goleman (2005) menyatakan : “Kecerdasan
emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.”
Universitas Sumatera Utara
13
Dapat disimpulkan kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali,
mengelola dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang individu
mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri
serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesahatan mental yang baik.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan keputusan
dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi
itu memperkaya; model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan model yang
miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan,
pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu
lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah
berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak
sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
2.2.6. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan yang dimiliki seorang ternyata tidak hanya sebatas kecerdasan intelektual
(IQ) semata seperti yang selama ini kita kenal. Ada beberapa kecerdasan yang ikut mempengaruhi
jalan keberhasilan dan kebahagiaan kita. Menurut Goleman (2005) terdapat lima dimensi atau
komponen kecerdasan emosional (EQ) yang keseluruhannya diturunkan menjadi dua puluh lima
kompetensi. Kelima dimensi atau komponen tersebut adalah:
a.
Pengenalan diri, artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih disukai, dan intuisi.
Kompetensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan
dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri.
b.
Pengendalian diri, artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri.
Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan negatif, menjaga norma
kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan,
dan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.
c.
Motivasi, artinya dorongan yang membimbing atau membantu peraihan sasaran atau tujuan.
Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan
sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan
dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.
d.
Empati, yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatinan
orang. Dimensi
keempat terdiri dari kompetensi understanding others, developing others, customer service ,
menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan
dengan berbagai macam orang,
membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.
e.
Keterampilan sosial, artinya kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki oleh
orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi
Universitas Sumatera Utara
14
pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan
kooperasi, serta team building.
2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Secara fisik, bagian yang paling menentukan dan berpengaruh terhadap Kecerdasan
Emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata lain yaitu otaknya. Bagian yang
digunakan untuk berpikir yaitu: korteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang
mengurus emosi yaitu sistem limbik.
Tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan Kecerdasan
Emosi seseorang. Shapiro (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan kecerdasan emosi, yaitu:
a.
Fisik, secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap
perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau dengan kata
lain bagian otaknya. Bagian-bagian otak yang
digunakan untuk berpikir yaitu korteks
(kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang
mengurusi emosi yaitu sistem limbik, tetapi sesungguhnya hubungan antara keduanya inilah
yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.
b.
Psikis, kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan
diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir.
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan
diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang menurut Goleman
(2005), yaitu:
a.
Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama yang
perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari
kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan
contoh-contoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi
anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan hidup disiplin dan
bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan
menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam
menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak
memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.
b.
Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan
penduduk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental
anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain
Universitas Sumatera Utara
15
peran. Anak berperan sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertainya
sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kecerdasan emosi seseorang antara lain lingkungan keluarga dan non keluarga, faktor fisik dan
psikis.
2.2.8 Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan seseorang tidak hanya dilihat dari kecerdasan intelektualnya saja
akan tetapi juga dari kecerdasan emosinya dan kecerdasan spiritualnya. Setelah kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosi maka ditemukan kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan
spiritual yang diyakini sebagai kecerdasan yang mampu memfungsikan kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosi secara efektif dan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar
dan Marshall, 2007).
Pengertian kecerdasan spiritual menurut Zohar (2001) adalah kecerdasan yang bertumpu
pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar.
Kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosi dan
spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Kecerdasan spiritual dapat membantu
manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Menurut Gunawan (dalam
Yusup, 2005), kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan
tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta
lebih bermakna.
Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara
lebih efektif, baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosi. Jadi, kecerdasan spiritual
berkaitan dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi. Mujib & Mudzakir (2001)
mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan
bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan
kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari
makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).
Covey & Meril (dalam Aziz & Mangestuti, 2006), menjelaskan bahwa kehidupan yang
bermakna bukan perkara kecepatan atau efisiensi saja tetapi merupakan perkara apa dan mengapa
seseorang melakukan sesuatu. Apa dan mengapa inilah yang menjelaskan bahwa dalam melakukan
sesuatu seseorang harus mengetahui secara jelas mengenai tujuan dan jalan hidup yang akan
ditempuh. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membedakan kebermaknaan tindakan atau
jalan hidup seseorang dari yang lain. Menurut Aziz & Mangestuti (2006) kecerdasan spiritual
adalah suatu bentuk kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang dicirikan dengan adanya
kemampuan yang bersifat internal dan eksternal.
Universitas Sumatera Utara
16
Kecerdasan spiritual tidak selalu berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang,
kecerdasan spiritual diungkapkan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi. Agama formal adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang
dibebankan secara eksternal, bersifat top down, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau
ditanamkan melalui keluarga dan tradisi (Zohar dan Marshall, 2007). Kecerdasan spiritual seperti
yang telah dijelaskan di atas, merupakan kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia yang
sumber terdalamnya adalah alam semesta itu sendiri, yang memungkinkan otak untuk menemukan
dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan dalam hidupnya.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan yang membangun manusia secara utuh untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna hidup untuk menilai bahwa tindakan yang dilakukan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
2.2.9. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai. Menurut Zohar & Marshall (2007), tanda-tanda kecerdasan spiritual
yang telah berkembang baik dalam diri seseorang mencakup hal-hal berikut:
a.
Kemampuan bersikap fleksibel
Kemampuan seseorang untuk bersikap adaptif secara spontan dan aktif, memiliki
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat mengalami dilematis.
b.
Tingkat kesadaran diri yang tinggi
Kemampuan seseorang yang mencakup usaha untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman
untuk dirinya, yang mendorong seseorang untuk merenungkan apa yang dipercayai dan apa
yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam kejadian dan peristiwa
dengan berpegang pada agama yang diyakininya.
c.
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
Kemampuan seseorang dalam menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang
dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
d.
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
Kemampuan seseorang dimana di saat dia mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan
dirinya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan
memberikan kesembuhan.
e.
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai- nilai
Kualitas hidup seseorang yang didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada
nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapai tujuan tersebut.
f.
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
17
Seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi mengetahui bahwa ketika dia
merugikan orang lain, maka berarti dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan
untuk melakukan kerugian yang tidak perlu.
h.
Berpikir secara holistik
Kecenderungan seseorang untuk melihat keterkaitan berbagai hal.
i.
Kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawaban-jawaban
yang mendasar
j.
Menjadi pribadi mandiri
Kemampuan seseorang yang memilki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan tidak
tergantung dengan orang lain.
Emmons (dalam Rakhmat, 2007) menyatakan bahwa komponen dari kecerdasan spiritual
adalah:
a.
Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material.
b.
Kemampuan untuk mensucikan pengalaman sehari-hari.
c.
Kemampuan untuk mengalami kondisi-kondisi kesadaran puncak.
d.
Kemampuan untuk menggunakan potensi-potensi spiritual untuk memecahkan masalah.
e.
Kemampuan untuk terlibat dalam berbagai kebajikan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Aziz dan Mangestuti (2006),
kecerdasan spiritual adalah suatu bentuk kecerdasan dalam memahami makna kehidupan yang
dicirikan dengan adanya kemampuan yang ersifat internal dan eksternal. Komponen-komponen
dari kemampuan tersebut adalah :
a.
Kemampuan yang bersifat internal yaitu kemampuan yang berhubungan antara diri dengan
Tuhan, cirinya adalah kesadaran terhadap sesuatu yang transenden, adanya visi yang bersifat
spiritual, dan kemampuan untuk mngambil hikmah dari penderitaan.
b.
Kemampuan yang bersifat eksternal yaitu kemampuan yang berhubungan dengan sesama
manusia, cirinya adalah keengganan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain dan
kecenderungan untuk mengajak pada kebaikan.
Dari beberapa penjelasan di atas, dalam penelitian ini penulis mengambil aspek-aspek
kecerdasan spiritual (SQ) dari Zohar dan Marshall (2007) meliputi kemampuan bersikap fleksibel,
tingkat kesadaran diri yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, kualitas hidup yang diilhami oleh visi
dan nilai- nilai, keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, berpikir secara
holistik, kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari jawabanjawaban yang mendasar, serta menjadi pribadi mandiri.
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.10. Faktor-faktor Penghambat Kecerdasan Spiritual
Otak manusia selalu berkembang untuk menuju perubahan yang bermanfaat bagi
kehidupannya, begitu juga dengan adanya perkembangan kecerdasan spiritual dalam diri manusia.
Terdapat beberapa hal yang menghambat kecerdasan spiritual untuk berkembang, diantaranya
adalah (Zohar & Marshall, 2007):
a.
Adanya ketidakseimbangan id, ego, dan superego.
b.
Adanya orang tua yang tidak cukup menyayangi anaknya.
c.
Mengharapkan terlalu banyak.
d.
Adanya ajaran yang mengajarkan menekan insting.
e.
Adanya aturan moral yang menekan insting alamiah.
f.
Adanya luka jiwa yang menggambarkan pengalaman menyangkut perasaan terbelah, terasing,
dan tidak berharga.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas, melahirkan perilaku-perilaku yang dapat
disimpulkan menjadi tiga sebab yang membuat seseorang terhambat secara spiritual yaitu (Zohar
& Marshall, 2007):
a.
Tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sama sekali.
b.
Telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang
negatif atau destruktif.
c.
Bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.
2. 3 Kerangka Konseptual
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, dan
mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan
konstruktif, yang berupaya bekerja sama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan
pada konflik. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca
perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaikbaiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin.
Sistem kompetensi berdasarkan kecerdasan emosi untuk setiap posisi yang telah dibuat
sebenarnya bisa dikembangkan untuk banyak fungsi dalam SDM, mulai dari rekruitmen, pelatihan
dan pengembangan karir hingga penilaiaan kinerja. Bisa dibayangkan betapa hebatnya jika bisa
dibangun suatu sistem manajemen sumber daya manusia yang mampu memotivasi karyawannya
untuk mengembangkan kecerdasan emosinya, sehingga bukan hanya kompetensi teknis yang
berkembang tetapi juga produktivitas dan kinerjanya ikut meningkat ( Martin, 2000).
Universitas Sumatera Utara
19
Kehadiran kecerdasan emosi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang telah mengundang pro dan kontra dikalangan para ahli (focus online, 2004). Gordon
(dalam focus_online, 2004) adalah salah satu yang menentang pendapat tersebut. Ia berpendapat
bahwa kecerdasan emosi lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan mood (suasana hati),
sedangkan cara terbaik untuk meningkatkan kinerja para pekerja adalah dengan kemampuan
analisis dan kemampuan kognitif dalam hal ini yang berperan adalah kecerdasan intelektualnya.
Pendapat tersebut didukung oleh Carruso (1999). Carrusso dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa walaupun ia mendukung keberadaan kecerdasan emosi tetapi pada kenyataannya
kecerdasan intelektual yang diukur dengan IQ masih merupakan hal yang penting dalam
kesuksesan kerja. Tulisan mengenai masalah tersebut menyebutkan bahwa para ahli masih
mempercayai jika seseorang memiliki skor IQ yang tinggi maka ia akan dapat lebih berhasil dalam
pekerjaannya.
Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence atau spiritual quotient (SQ) ialah suatu
intelegensi atau suatu kecerdasan dimana kita berusaha menyelesaikan masalah - masalah hidup
ini berdasarkan nilai-nilai spiritual atau agama yang diyakini. Kecerdasan spiritual ialah suatu
kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam
suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual
merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence
Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI ).
Zohar dan Marshal (2001) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual mampu menjadikan
manusia sebagai mahluk yang lengkap secara intelektual, emosional dan spiritual. Hal tersebut
seperti juga yang ditulis oleh Mudali (2002) bahwa menjadi pintar tidak hanya dinyatakan dengan
memiliki IQ yang tinggi, tetapi untuk menjadi sungguh-sungguh pintar seseorang haruslah
memiliki kecerdasan spiritual (SQ). Penelitian yang dilakukan Wiersma (2002) memberikan bukti
tentang pengaruh kecerdasan spiritual dalam dunia kerja. Ia meneliti tentang bagaimana pengaruh
spiritualitas dalam perilaku pengembangan karir. Penelitian ini dilakukan selama tiga tahun
dengan melakukan studi kualitatif terhadap 16 responden. Hasil penelitian yang dilakukannya
ternyata menunjukan bahwa kecerdasan spiritual mempengaruhi tujuan sesorang dalam mencapai
karirnya di dunia kerja. Seseorang yang membawa makna spiritualitas dalam kerjanya akan
merasakan hidup dan pekerjaannya lebih berarti. Hal ini mendorong dan memotivasi dirinya untuk
lebih meningkatkan kinerja yang dimilikinya, sehingga dalam karir ia dapat berkembang lebih
maju.
Universitas Sumatera Utara
20
Dari uraian di atas maka, kerangka berpikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
Kecerdasan Emosi
(X1)
Kinerja Karyawan
(Y)
Kecerdasan Spiritual
(X2)
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir, maka dihipotesiskan sebagai berikut : “Kecerdasan
Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan operator bagian produksi di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengolahan Air Limau
Manis”.
Universitas Sumatera Utara