Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Perilaku Delinkuen Pada Remaja Laki-Laki

(1)

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP

PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA LAKI-LAKI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

Yunita Zahra

041301042

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2007/2008


(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan. Adapun judul skripsi ini adalah: “Pengaruh Kecerdasan Emosional tehadap Perilaku Delinkuen pada Remaja Laki-laki”.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A (K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psi, selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing penulis dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Sukaesi Marianti, M.Si, selaku dosen penguji seminar dan dosen eksperimen yang telah bersedia meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi dan memberi motivasi dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.


(3)

5. Ibu Hasnida, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan ibu selama penulis berada di psikologi.

6. Dosen-dosen Psikologi USU atas semua ilmu yang telah diberikan, mudah-mudahan ilmu-ilmu ini dapat berguna dan diterapkan dengan baik. Kepada seluruh staf pegawai Psikologi USU yang membantu penulis dalam hal administrasi.

7. Terima kasih yang tak terkira kepada kedua orangtua yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tak pernah putus. Terima kasih kepada papa tersayang Prof. Dr. Muhammad Zarlis dan mama tercinta Nurma atas dukungan, cinta, kasih sayang dan doa yang diberikan sepanjang waktu yang tiada henti. Skripsi ini sebagai persembahan untuk papa dan mama tersayang.

8. Abang, kakak dan adik terbaik yang penulis miliki; Bang Hakim, I’an dan Rivi yang terus memberi semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih untuk dukungan dan doa yang selalu menemani saat merampungkan skripsi ini.

9. Sahabat yang selalu menjadi tempat berbagi ketika senang dan sedih, tempat menumpahkan kekesalan, selalu menemani dengan tawa, yang selalu memberikan nasehat, dukungan, semangat, sehingga dapat kembali tersenyum dalam mengerjakan tugas akhir ini hingga selesai.

10. Kepala Sekolah SMP Negeri 23 Medan beserta para guru, staf dan siswa. 11. Kepala Sekolah SMP Swasta An-Nizam Medan beserta para guru, staf dan


(4)

iii

12. Kepala Sekolah SMP Swasta Kebangsaan Medan beserta para guru, staf dan siswa.

13. Kepala Sekolah SMP Swasta Kesatria Mandiri Medan beserta para guru, staf dan siswa.

14. Para pelajar SMP yang telah bersedia untuk menjadi subjek dalam uji coba alat ukur penelitian ini.

15. Teman-teman penulis, Alfarisi, Je, Yuni yang telah cukup banyak membantu dalam merampungkan skripsi ini.

16. Misbah, teman yang selalu siap memberikan bantuannya. Semoga pertemanan semakin erat terjaga.

17. Bang Mardian dan bang Manaf yang dengan sabar dan meluangkan waktu dan tenaga dalam mendukung merampungkan skripsi ini.

18. Kak Aci (03), kak Ika (02), Renny, Sukma, Sumitro, Nesya yang telah membantu memberi bahan-bahan tambahan dalam penyusunan skripsi ini. 19. Teman-teman seperjuangan angkatan 2004 lainnya dan seluruh mahasiswa

Psikologi USU

20. Teman-teman yang pernah dekat dengan penulis, penulis ucapkan terimakasih atas kebaikan dan pengertian yang pernah diberikan.

21. Semua pihak yang terlibat di dalam penelitian ini dan orang-orang yang telah banyak membantu namun tidak tersebutkan namanya, terima kasih atas semuanya.


(5)

Selain itu penulis juga memohon maaf bila dalam usaha menyelesaikan skripsi ini, penulis telah melakukan kesalahan dan menyakiti perasaan pihak yang terkait.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik ALLAH SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juni 2008

Yunita Zahra


(6)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional... 12

1. Pengertian kecerdasan emosional ... 12

2. Komponen-komponen kecerdasan emosional ... 13

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ... 19

B. Perilaku Delinkuen ... 19

1. Pengertian perilaku delinkuen ... 19

2. Wujud perilaku delinkuen ... 22

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen ... 22

C. Remaja ………...………….. 25

1. Pengertian remaja ..……….……….. 25


(7)

3. Perkembangan emosi remaja ………..…. 27

D. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Delinkuen pada Remaja Laki-laki ... 29

E. Hipotesa ... 32

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 33

B. Defenisi Operasional ... 33

1. Kecerdasan emosional ... 33

2. Perilaku delinkuen ... 37

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 38

1. Populasi dan sampel ... 38

2. Teknik pengambilan sampel ... 39

D. Alat Pengumpulan Data ... 40

1. Skala kecerdasan emosional ... 40

2. Skala perilaku delinkuen ... 42

E. Validitas Reliabilitas Alat Ukur, dan Uji Daya Beda Aitem ... 44

1. Uji validitas ... 44

2. Reliabilitas ... 45

3. Uji daya beda aitem ... 45

4. Hasil uji coba alat ukur ……… 46


(8)

vii

b. Skala perilaku delinkuen ……… 48

F. Prosedur Penelitian ... 50

1. Tahap persiapan penelitian ... 50

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 52

3. Tahap pengolahan data ... 52

G. Metode Analisa Data ... 52

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 55

1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 55

2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan kelas ... 56

B. Hasil Penelitian ... 56

1. Uji asumsi ... 56

a. Uji normalitas sebaran ………. 56

b. Uji linieritas hubungan ………. 57

2. Hasil analisa data ... 58

a. Hasil perhitungan korelasi ………... 58

b. Hasil perhitungan regresi ………. 58

3. Deskripsi data penelitian ... 59

a. Variabel kecerdasan emosional ……….. 60

b. Variabel perilaku delinkuen ……… 62

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 64


(9)

C. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Cara Penilaian Skala Kecerdasan Emosional 41 Tabel 2 Distribusi aitem-aitem skala kecerdasan

emosional sebelum uji coba 42

Tabel 3 Cara Penilaian Skala Perilaku Delinkuen 43 Tabel 4 Distribusi aitem-aitem skala perilaku delinkuen

sebelum uji coba 44

Tabel 5 Distribusi aitem-aitem skala kecerdasan emosi setelah uji coba 47 Tabel 6 Distribusi aitem-aitem skala kecerdasan emosional

yang digunakan saat penelitian 48 Tabel 7 Distribusi aitem-aitem skala perilaku delinkuen

setelah uji coba 49

Tabel 8. Distribusi aitem-aitem skala perilaku dellinkuen

yang digunakan saat penelitian 50 Tabel 9 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia 55 Tabel 10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Kelas 56 Tabel 11 Uji Sebaran Normal Variabel dengan

Tes Kolmogorov-Smirnov 57

Tabel 12 Skor Emprik dan Skor Hipotetik Kecerdasan Emosional 60 Tabel 13 Kategorisasi Kecerdasan Emosional

Berdasarkan Mean Hipotetik 61 Tabel 14 Kategorisasi Kecerdasan Emosional

Berdasarkan Mean Empirik 61

Tabel 15 Skor Emprik dan Skor Hipotetik Perilaku Delinkuen 62 Tabel 16 Kategorisasi Perilaku Delinkuen Berdasarkan Mean Hipotetik 62 Tabel 17 Kategorisasi Perilaku Delinkuen Berdasarkan Mean Empirik 63


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Linieritas Hubungan Kecerdasan Emosional


(12)

Abstraksi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Juni 2008 Yunita Zahra : 041301042

Judul : Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Delinkuen pada Remaja Laki-laki

69 halaman; 17 tabel; 1 gambar + lampiran Bibliografi : 1982 – 2007

Isi  Kata kunci : kecerdasan emosional, perilaku delinkuen

Masalah kenakalan remaja, saat ini sudah cukup banyak terjadi, baik di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Kenakalan remaja merupakan perilaku remaja yang melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukkan bagi mereka. Kenakalan remaja ini dikenal dengan istilah perilaku delinkuen. Kenakalan remaja ini terkait pada kemampuan remaja dalam mengelola emosi. Hal inilah yang dikenal dengan kecerdasan emosional.

Penelitian menggunakan pendekatan korelasional yaitu untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode cluster random sampling dengan jumlah subjek sebanyak 155 orang remaja laki-laki berusia 12 – 15 tahun. Metode pengumpulan data dengan menggunakan dua buah skala yaitu skala kecerdasan emosional yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bar-On dan skala perilaku delinkuen berdasarkan teori Bynum&Thompson.

Hasil pengujian hipotesa menunjukkan hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku delinkuen dengan nilai r=-0,566. sumbangan efektif variabel kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen sebesar 32%.


(13)

Abstraksi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Juni 2008 Yunita Zahra : 041301042

Judul : Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Delinkuen pada Remaja Laki-laki

69 halaman; 17 tabel; 1 gambar + lampiran Bibliografi : 1982 – 2007

Isi  Kata kunci : kecerdasan emosional, perilaku delinkuen

Masalah kenakalan remaja, saat ini sudah cukup banyak terjadi, baik di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Kenakalan remaja merupakan perilaku remaja yang melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukkan bagi mereka. Kenakalan remaja ini dikenal dengan istilah perilaku delinkuen. Kenakalan remaja ini terkait pada kemampuan remaja dalam mengelola emosi. Hal inilah yang dikenal dengan kecerdasan emosional.

Penelitian menggunakan pendekatan korelasional yaitu untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode cluster random sampling dengan jumlah subjek sebanyak 155 orang remaja laki-laki berusia 12 – 15 tahun. Metode pengumpulan data dengan menggunakan dua buah skala yaitu skala kecerdasan emosional yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bar-On dan skala perilaku delinkuen berdasarkan teori Bynum&Thompson.

Hasil pengujian hipotesa menunjukkan hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku delinkuen dengan nilai r=-0,566. sumbangan efektif variabel kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen sebesar 32%.


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Berkaitan dengan masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung sekitar masa di mana individu duduk di bangku sekolah menengah (Ali&Asrori, 2004). Monks (1999) membagi masa remaja awal dalam rentang 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan dalam rentang 15 – 18 tahun dan masa remaja akhir dalam rentang 18 – 21 tahun. Umumnya di Indonesia usia 12-15 tahun merupakan usia bagi pelajar Sekolah Menengah Pertama.

Monks (1999) menyatakan bahwa masa awal perkembangan remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi dan peralihan. Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih pada sebuah peralihan dari tahap perkembangan sebelumnya ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, dan pada masa ini individu mengalami perubahan-perubahan jasmani, kepribadian, intelektual, dan peranan di dalam keluarga maupun di lingkungan. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan sebagai konsekuensi dari masa peralihan atau masa transisi ini (Gunarsa, 2003). Dengan kata lain, terjadi gejolak dalam diri remaja.


(15)

Perubahan-perubahan selama masa awal masa remaja terjadi dengan pesat, salah satunya adalah meningginya emosi. Hurlock (1999) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode badai dan tekanan (storm and stress) yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena para remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi dan harapan baru. Keadaan ini menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga masa remaja sering dikatakan sebagai usia bermasalah. Masalah-masalah yang terjadi pada remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi juga dikarenakan para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan keluarga, orangtua dan guru. Selain itu, remaja juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pengendalian perilaku sosialnya sendiri, sesuai dengan harapan sosial (Hurlock, 1999). Jadi, dengan kata lain dapat dikatakan bahawa dalam berperilaku remaja dipengaruhi oleh emosi dan lingkungan sekitarnya.

Perkembangan emosi pada remaja awal menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa ataupun situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (Yusuf, 2001). Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang


(16)

3 dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan

waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, seperti tawuran dan lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya (Mu’tadin, 2002).

Menurut Feldman & Elliot (1990), pada saat remaja berhubungan dengan lingkungannya, remaja banyak dihadapkan pada hal-hal yang penuh resiko dan godaan. Hal tersebut lebih banyak terjadi dan lebih kompleks pada remaja dewasa ini daripada sebelumnya. Terdapat sebagian remaja yang dapat bertahan dengan lingkungan yang penuh bahaya dan godaan. Walaupun demikian, terdapat remaja yang tidak dapat bertahan dari godaan-godaan tersebut sehingga mereka putus sekolah, hamil di luar nikah, dan terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang (Santrock, 1998). Keadaan- keadaan seperti ini sering dianggap oleh orang dewasa sebagai kenakalan remaja atau delinkuensi.

Kenakalan remaja yang dalam bahasa ilmiah diistilahkan sebagai delinkuensi remaja, menurut Mulyono merupakan persoalan masyarakat luas dan telah menjadi masalah banyak pihak seperti orangtua, pendidik dan petugas negara. Kenakalan remaja bahkan telah menjadi masalah nasional karena remaja adalah tiang negara dan generasi penerus (Kurniawan, 1998). Bynum & Thompson (1996), mengartikan perilaku delinkuen sebagai perilaku ilegal serta pelanggaran yang berat, perilaku pelanggaran tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan (deviant) yang sangat serius. Perilaku menyimpang


(17)

tersebut diartikan sebagai perilaku yang diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak dan harapan tersebut telah dilegitimasi oleh masyarakat luas.

Perilaku delinkuen menurut Bynum dan Thompson (1996) dapat dibatasi dalam beberapa kategori yaitu, bolos sekolah, membeli atau mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan, bergaul dengan orang-orang yang suka melanggar peraturan, lari dari rumah, melawan aturan orang tua dan melanggar jam malam. Menurut Santrock (1998) kenakalan remaja merupakan masalah perilaku yang luas mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (acting out in school), status offenses (running away), sampai pada perbuatan kriminal (pencurian). Menurut Kartono (2006), delinkuen lebih mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil. Maka dari itu kenakalan-kenakalan seperti itu sering dilakukan oleh para remaja.

Saat masyarakat dunia semakin maju dengan meningkatnya kesejahteraan, kejahatan yang dilakukan remaja juga semakin marak. Telah tercatat di Indonesia, pada tahun 1970-an kenakalan remaja sudah menjurus pada kejahatan seperti tindak kekerasan, penjambretan secara terang-terangan di siang hari, perbuatan seksual dalam perkosaan beramai-ramai sampai melakukan pembunuhan, dan perbuatan kriminal lainnya yang berkaitan dengan kecanduan bahan narkotik. Kenakalan dan kejahatan remaja itu tidak hanya melibatkan anak-anak remaja putus sekolah saja, akan tetapi juga berjangkit di kalangan anak-anak remaja yang


(18)

5 masih aktif belajar di sekolah-sekolah lanjutan, akademi, dan perguruan tinggi

(Kartono, 2006).

Sekitar tahun 1980-an ke atas gejala kenakalan remaja semakin meluas, baik dalam frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatannya. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peredaran dan penggunaan ganja serta bahan-bahan psikotropika di tengah masyarakat yang juga memasuki kampus dan ruang sekolah, dan semakin meningkatnya jumlah remaja yang terbiasa meminum minuman keras, penjambretan dan keberandalan di jalan, tindakan kekerasan oleh kelompok remaja, penganiayaan berat, perkosaan, pembunuhan, pemerasan atau pengkompasan di sekolah-sekolah terhadap murid yang lemah, juga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma-norma susila lewat praktek seks bebas, gadis yang melacurkan diri tanpa imbalan uang, serta perkelahian massal antar kelompok dan antar sekolah. Bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja ini merupakan wujud dari perilaku delinkuen atau delinkuensi (Kartono, 2006).

Survei yang dilakukan Federasi Kesehatan Mental Indonesia (Fekmi) menemukan bahwa para remaja telah mengenal tempat maksiat, perilaku minum minuman keras, merokok, dan narkoba dan sudah muncul pada remaja awal. Hasil survei pada tahun 2003 yang diadakan di 10 kota besar Indonesia, yaitu di Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan Ujung Pandang menunjukkan bahwa 54 persen remaja mengaku pernah berkelahi, 87 persen berbohong, 8,9 pernah mencoba narkoba, 28 persen merasa kekerasan sebagai hal yang biasa, dan 24 persen pernah membaca buku porno. Terdapat juga keluhan dari seorang guru sebuah SLTP di Jakarta yang


(19)

mengeluh tentang kecemasan yang dirasakan. Dua tahun belakangan guru tersebut melihat peningkatan pelajar yang tidak betah di rumah. Mereka betah di sekolah, tetapi tidak untuk belajar. Pelajar-pelajar seperti ini biasa ditemui di depan sekolah atau di kios rokok dekat sekolah (dalam Indonesian Nutrition Network, 2007). Para guru dan kepala sekolah menganggap remaja berperilaku buruk bila remaja tersebut mengganggu pelajaran di kelas, melanggar aturan sekolah, mengancam keamanan sekolah dan para siswa, seperti merusak dan mencuri (Kelly et al., 1997).

Perilaku delinkuen pada remaja dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor penyebabnya yaitu identitas diri negatif, pengendalian diri yang rendah, usia, jenis kelamin (laki-laki), harapan terhadap pendidikan (rendah dan sedikit komitmen), tingkat sekolah ( prestasi yang rendah di tingkat awal), pengaruh teman sebaya, status sosial ekonomi (rendah), peran orangtua, dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal (Santrock, 1998).

Berdasarkan data statistik, jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku delinkuen lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal lari dari rumah (Bynum & Thompson, 1996). Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50:1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al.,


(20)

7 (1997) yang menyatakan bahwa anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar

untuk munculnya perilaku merusak (dalam Gracia, et al., 2000).

Perilaku delinkuen pada remaja dapat terjadi karena gagalnya mengembangkan pengendalian diri. Remaja tersebut gagal untuk memilih perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, atau mereka gagal untuk membuat kontrol yang tepat dalam perbuatan mereka. Perilaku delinkuen juga berkembang dari standard perilaku yang tidak tepat. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri (self-control) memainkan peranan yang penting dalam perilaku delinkuen. Berkaitan dengan hal tersebut, pengasuhan orangtua yang efektif diasosiakan dengan kemahiran dalam kemampuan pengaturan diri (self-regulatory). Terdapatnya kemampuan pengaturan diri yang merupakan sifat internal berhubungan dengan rendahnya perilaku delinkuen yang dilakukan oleh remaja (Santrock, 1998). Selain itu, perilaku delinkuen juga merupakan hasil dari pergolakan emosi yang sangat labil (Kartono, 2006).

Munculnya bentuk perilaku seperti yang telah disebutkan diatas menurut Goleman (2001) merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendali, mencerminkan meningginya ketidakseimbangan emosi. Menurut Goleman (1995), emosi memainkan peranan penting dalam perilaku individu (Ali&Asrori, 2004). Emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas individu, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian untuk bertindak (Goleman, 2001). Bila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya,


(21)

individu yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri (Goleman, 2001). Sehingga diperlukan adanya suatu kemampuan dalam manajemen emosi. Hal inilah yang dikenal dengan emotional intelligence (selanjutnya dalam penelitian ini hanya digunakan istilah kecerdasan emosional). Berkaitan dengan kecerdasan emosional ini, Bar-On menggunakan istilah pengendalian impuls yaitu kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak (dalam Goleman, 2000). Sehingga dengan adanya kecerdasan emosional, individu lebih mudah mengendalikan diri dan dorongan-dorongan dalam diri individu tersebut dalam melakukan suatu tindakan.

Pengendalian diri merupakan bagian dari pengaturan diri, yaitu kemampuan mengelola emosi dan impuls merusak dengan efektif. Pengaturan diri berarti pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Bar-On yang telah dijelaskan sebelumnya.

Bar-On (dalam Goleman, 2000) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,


(22)

9 untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk

memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik serta untuk memimpin.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang terpenting dari kecerdasan emosional adalah pengaturan diri yang di dalamnya terdapat pengendalian diri ataupun pengendalian impuls. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku delinkuen yang dilakukan oleh remaja. Hal ini sesuai dengan penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa remaja yang cerdas emosinya akan menerima perasaan-perasaan mereka sendiri, mampu memecahkan masalahnya sendiri, lebih banyak mengalami sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan rekan-rekan sebaya, dan terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang juga tindak kriminal (dalam Sari, 2005). Cooper dan Sawaf menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu fenomena manusiawi yang secara mendasar ada dalam diri manusia. Seseorang dapat mencapai keberhasilan hidup semaksimal mungkin melalui kecerdasan emosional, oleh karena itu kecerdasan emosional sangat diperlukan terutama pada remaja yang sangat rentan dengan segala tindakan negatif (dalam Djuwarijah, 2002).

Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengetahui besarnya pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki.


(23)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung sesuai dengan permasalahan di atas yaitu mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan wacana dalam pengetahuan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan.

b. Memperkaya kajian empiris mengenai kecerdasan emosional dalam kaitannya dengan perilaku delinkuen.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi orangtua dan guru dalam mendidik anak dan remaja yang ditujukan dalam perkembangan perilaku dan emosi mereka.

b. Diharapkan remaja dapat lebih menyadari pentingnya kecerdasan emosional dalam kaitannya dengan perbuatan mereka.


(24)

11 E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori kecerdasan emosional , perilaku delinkuen, remaja, pengaruh antara kecerdasan emosional dan perilaku delinkuen serta mengemukakan hipotesa penelitian.

Bab III: Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV: Analisa data dan Interpretasi

Bab ini menguraikan gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.

Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan penelitian, diskusi dan saran praktis sesuai hasil dan masalah penelitian.


(25)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian kecerdasan emosional

Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (dalam Goleman, 2000).

Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional lebih kepada kemampuan mental daripada kompetensi sosial dalam arti luas. Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan maknanya, dan untuk mengarahkan emosi secara reflektif sehinga menuju pada perkembangan emosi dan intelektual (dalam Prawitasari, 1998).

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Cooper & Sawaf (1998), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk mengindera, memahami dan secara efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi (dalam Yudiani, 2005)


(26)

13 Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik serta untuk memimpin.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan atau mengelola emosi baik pada diri sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain, dan menggunakannya secara efektif untuk memotivasi diri dan bertahan pada tekanan, serta mengendalikan diri untuk mencapai hubungan yang produktif.

2. Komponen-komponen kecerdasan emosional

Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosional menjadi lima kemampuan pokok yaitu :

a. Kemampuan intrapersonal, meliputi : 1. Kesadaran diri emosional

Yaitu kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya

2. Asertivitas


(27)

a. kemampuan untuk mengungkapkan perasaan

b. kemampuan mengungkapkan keyakinan dan gagasan secara terbuka c. kemampuan mempertahankan kebenaran dengan cara yang tidak

destruktif 3. Harga diri

Yaitu kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek positif dan kemampuan yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada pada diri dan tetap menyukai diri sendiri

4. Aktualisasi diri

Yaitu kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan dan bakat secara maksimal

5. Kemandirian

Yaitu kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara emosional

b. Kemampuan interpersonal, meliputi : 1. Empati

Yaitu kemampuan menyadari, memahami, menghargai perasaan orang lain dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain


(28)

15 2. Hubungan interpersonal

Yaitu kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan menerima kasih sayang

3. Tanggungjawab sosial

Yaitu kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen-komponen kecerdasan emosional ini meliputi bertindak secara bertanggungjawab, meskipun tidak mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi

c. Penyesuaian diri, meliputi : 1. Pemecahan masalah

Yaitu kemampun mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah tetapi dapat menghadapi masalah dengan baik

2. Uji realitas

Yaitu kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang diinginkan atau diharapkan

3. Fleksibilitas

Yaitu kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk mengubah situasi dan kondisi sikap fleksibilitas ini juga mencakup seluruh


(29)

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dinamis

d. Penanganan stres, meliputi : 1. Ketahanan menanggung stres

Yaitu kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi stres dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stres tersebut. Ketahanan menanggung stres ini berkaitan dengan kemampuan untuk tetap tenang dan sabar

2. Pengendalian impuls

Yaitu kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak

e. Suasana hati, meliputi : 1. Kebahagiaan

Yaitu kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan, menikmati kebersamaan dengan orang lain dan bersenang-senang

2. Optimisme

Yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap positif sekalipun dihadapkan dengan kesulitan. Optimisme mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan


(30)

17 Goleman (2001) membagi kecerdasan emosi atas lima komponen, yang dapat menjadi pedoman untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

a. Kesadaran diri

Kesadaran diri adalah kemampuan dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri dikuasai oleh perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya dan akhirnya berakibat dalam pengambilan keputusan yang salah. Kesadaran diri terdiri atas tiga kecakapan yaitu kesadaran emosional, penilaian diri secara akurat, dan percaya diri.

b. Pengaturan diri

Pengaturan diri berarti pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri. Pengaturan diri terdiri atas lima kecakapan, yaitu pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.


(31)

c. Motivasi

Dengan kemampuan memotivasi diri sendiri yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

d. Empati

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi diri sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia terampil membaca emosi orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

e. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Keterampilan sosial yaitu mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari lima komponen yaitu kemampuan intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian diri, penanganan stres dan suasana hati.


(32)

19 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

Menurut Goleman (dalam Ifham, 2002) terdapat dua faktor yanng mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:

1. Faktor internal, merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.

2. Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.

B. Perilaku Delinkuen

1. Pengertian perilaku delinkuen

Menurut Kartono, (2006) delinkuen mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil. Menurut Santrock (1998) perilaku delinkuen merupakan masalah perilaku yang luas mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (acting out in school), status offenses (running away), sampai pada perbuatan kriminal (pencurian).


(33)

a. Index offenses, adalah perbuatan kriminal yang dilakukan oleh remaja ataupun orang dewasa, seperti pencurian, penyerangan, perkosaan dan pembunuhan.

b. Status offenses, perbuatan seperti lari dari rumah (running away), bolos, meminim minuman keras, pelacuran dan perbuatan yang tidak terkontrol yang merupakan masalah yang tidak terlalu serius. Perbuatan ini dilakukan oleh pelaku di bawah umur, yang dikategorikan sebagai remaja.

Bynum & Thompson (1996) membuat delinkuen dalam tiga kategori : 1. The Legal Definition

Secara legal definisi delinkuen adalah segala perilaku yang dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang dianggap tidak sesuai oleh pengadilan anak dan anak tersebut dapat dianggap melakukan perilaku delikuan berdasarkan larangan yang diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah pusat, negara dan pemerintah daerah. Untuk remaja, perlaku delinkuen didefinisikan sebagai perilaku yang melanggar peraturan yang diberlakukan bagi anak seusianya, seperti bolos sekolah, atau mengkonsumsi alkohol di mana perilaku tersebut ilegal

2. The Role Definition

Definisi perilaku delinkuen berdasarkan peran labih berfokus pada pelaku tindakan antisosial daripada perilaku antisosial. Definisi ini mengacu pada individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuen dalam periode waktu yang cukup panjang, dan kehidupan serta identitasnya terbentuk dari perilaku menyimpang. Konsep sosiologis yang berhubungan dengan role definition dalam


(34)

21 mendeskripsikan perilaku delinkuen yaitu status sosial dan peran sosial. Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial merupakan perilaku yang memiliki status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.

3. The Societal Response Definition

Definisi social response menekankan pada konsekuensi sebagai akibat kelanjutan dari suatu tindakan seorang pelaku yang merupakan suatu bentuk menyimpang atau delinkuen, di mana audience mengamati dan memberi penilaian terhadap perilaku menjadi anggotanya atau ingin menjadi anggota.

Berdasarkan tiga kategori definisi tersebut, maka Bynum & Thompson (1996) mendefinisikan perilaku delinkuen dengan mengkombinasikan tiga definisi tersebut.

Perilaku delinkuen merupakan tindakan ilegal yang merefleksikan adanya peran delinkuen (role delinquent) dan berakibat pada anggapan masyarakat bahwa pelaku (offender) sebagai penyimpangan (deviant) yang serius.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuen adalah suatu bentuk perilaku yang menyimpang dan ilegal yang melanggar norma dan hukum yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa (remaja) dan merupakan perilaku yang dianggap tidak pantas, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan peran dan status sosial pada usia pelaku.


(35)

2. Wujud perilaku delinkuen

Menurut Bynum & Thompson (1996) yang termasuk dalam status offenses meliputi school truancy (bolos sekolah), alcoholic beverages (mengkonsumsi alkohol), running away (pergi dari rumah), ungovernability (ketidakpatuhan, menentang aturan dan perintah orangtua/figur otoritas), curfew violation (melanggar jam malam), crimes (bergaul dengan penjahat dan terlibat, melakukan tindakan kriminal seperti penyerangan dan mencuri).

National Center for Juvenile Justice (NCJJ) mengidentifikasikan beberapa status offenses yaitu runaway, truancy, perilaku tidak terkendali (ungovernable behavior), liquor law violation (minum minuman keras), melanggar jam malam (miscellaneos offenses and curfew violation) (dalam Steinhart, 1996).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen

Santrock (1998), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen pada remaja, yaitu:

a. Identitas negatif

Erikson yakin bahwa perilaku delinkuen muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran. Remaja yang mempunyai pengalaman masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peran sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan bagi mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan. Maka, Erikson berpendapat


(36)

23 kenakalan (delinkuensi) adalah suatu usaha untuk membangun suatu identitas, walaupun identitas tersebut adalah negatif.

b. Pengendalian diri rendah

Perilaku delinkuen yang dilakukan para remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa remaja gagal dalam mengembangkan pengendalian diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen. Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak. Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998).


(37)

c. Usia

Tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak) berhubungan dengan perilaku delinkuen yang lebih serius di masa remaja. Namun, tidak semua anak bertingkah laku seperti itu nantinya akan menjadi pelaku delinkuen d. Jenis kelamin (laki-laki)

Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50 : 1. Berdasarkan data statistik, jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku delinkuen lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal lari dari rumah (Bynum & Thompson, 1996). Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al., (1997) yang menyatakan anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak (dalam Gracia, et al., 2000). e. Harapan dan nilai yang rendah terhadap pendidikan

Remaja pelaku delinkuen seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah

f. Pengaruh orangtua dan keluarga

Para pelaku delinkuen seringkali berasal dari keluarga di mana orangtua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberi sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anak mereka sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga


(38)

25 g. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.

h. Status sosial ekonomi

Penyerangan lebih sering dilakukan oleh laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Terdapat di mana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk untuk berperilaku baik atau buruk.

C. Remaja

1. Pengertian remaja

Masa remaja sering disebut adolesensi yang berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere dan adultus yang berarti menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Monks,1999).

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja adalah masa individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, masa pada individu tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa,


(39)

yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Lazimnya masa remaja dianggap dimulai pada saat secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia menjadi matang secara hukum.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan masa remaja merupakan masa dimana individu mulai berada dalam perkembangan menjadi dewasa, ditandai dengan kematangan secara seksual dan matang secara hukum.

2. Pembagian usia remaja

Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu :

1. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai 15 tahun 2. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai 18 tahun 3. Fase remaja akhir : usia 18 tahun sampai 21 tahun

Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah antara 11-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, dan individu yang sudah menikah, dianggap dan diperlakukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja ( Sarwono, 2003 ). Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut di atas, kiranya peneliti mengambil batasan rentang usia remaja untuk penelitian ini antara 12 – 15 tahun, atau usia remaja awal menurut Monks.


(40)

27 3. Perkembangan emosi remaja

Menurut Ali dan Asrori (2004) masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung pada masa individu duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga atau lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian.

Perkembangan emosi individu pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada individu tersebut. Sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja, yaitu :

a. Perubahan jasmani

Perubahan jasmani yanng ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan kondisi tubuh yang seperti itu. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan sering sekali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.


(41)

b. Perubahan pola interaksi dengan orangtua

Pola asuh orangtua terhadap anak termasuk remaja sangat bervariasi. Perbedaan pola asuh orangtua dapat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.

c. Perubahan interaksi dengan teman sebaya

Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebaya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Pada masa ini para anggotanya biasanya membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritaas atau melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama.

d. Perubahan pandangan luar

Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Terkadanng mereka dianggap dewasa dan terkadang dianggap sebagai anak kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan ini dapat berubah menjadi tingkah laku emosional. Selain itu, pihak luar yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan kekosongan remaja dengan melibatkan remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak diri seperti penggunaan obat terlarang, minum minuman keras, serata bertindak kriminal dan kekerasan. e. Perubahan interaksi dengan sekolah

Guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan remaja karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa dengan figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada


(42)

29 peserta didiknya. Peristiwa semacam ini sering tidak disadari oleh para guru. Hal seperti ini akan memberikan stimulus negatif bagi perkembangan emosi remaja.

D. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Perilaku Delinkuen pada Remaja Laki-laki

Masalah kenakalan remaja, saat ini sudah cukup banyak terjadi, baik di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Menurut Hadisuprapto (1997), kenakalan remaja (juvenile delinquency) merupakan perilaku remaja yang melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukkan bagi mereka.

Saat masyarakat dunia semakin maju dengan meningkatnya kesejahteraan, kejahatan anak-anak dan remaja juga ikut meningkat. Kejahatan remaja justru menjadi semakin berkembang dengan pesat, dan ada pertambahan yang sangat banyak dari kasus-kasus berhubungan dengan hal tersebut. Telah tercatat di Indonesia, pada tahun 1970-an kenakalan remaja sudah menjurus pada kejahatan seperti tindak kekerasan, penjambretan secara terang-terangan di siang hari, perbuatan seksual dalam perkosaan beramai-ramai sampai melakukan pembunuhan, dan perbuatan kriminal lainnya yang berkaitan dengan kecanduan bahan narkotik. Kenakalan dan kejahatan remaja itu tidak hanya melibatkan anak-anak remaja putus sekolah saja, akan tetapi juga berjangkit di kalangan anak-anak-anak-anak


(43)

remaja yang masih aktif belajar di sekolah-sekolah lanjutan, akademi, dan perguruan tinggi (Kartono, 2006).

Sekitar tahun 1980-an ke atas gejala kenakalan remaja semakin meluas, baik dalam frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatannya. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peredaran dan penggunaan ganja serta bahan-bahan psikotropika di tengah masyarakat yang juga memasuki kampus dan ruang sekolah, dan semakin meningkatnya jumlah remaja yang terbiasa meminum minuman keras, penjambretan dan keberandalan di jalan, tindakan kekerasan oleh kelompok remaja, penganiayaan berat, perkosaan, pembunuhan, pemerasan atau pengkompasan di sekolah-sekolah terhadap murid yang lemah, juga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma-norma susila lewat praktek seks bebas, gadis yang melacurkan diri tanpa imbalan uang, serta perkelahian massal antar kelompok dan antar sekolah. Bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja ini merupakan wujud dari perilaku delinkuen atau delinkuensi (Kartono, 2006).

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perilaku delinkuen remaja, salah satunya adalah jenis kelamin (Santrock, 1998). Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50:1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al., (1997) yang menyatakan anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak (dalam Gracia, et al., 2000).


(44)

31 Perilaku delinkuen pada remaja dapat terjadi karena kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang tepat dalam perbuatan mereka. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri (self control) mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen. Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak. Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998). Selain itu, perilaku delinkuen tersebut merupakan hasil dari pergolakan emosi yang sangat labil (Kartono, 2006).

Munculnya bentuk perilaku seperti yang telah disebutkan diatas menurut Goleman (2001) merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendali, mencerminkan meningginya ketidakseimbangan emosi. Menurut Goleman (1995), emosi memainkan peranan penting dalam perilaku individu (Ali&Asrori, 2004). Bila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, individu yang


(45)

buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri (Goleman, 2001). Sehingga dapat dikatakan bahwa diperlukan adanya suatu kemampuan dalam manajemen emosi. Dalam hal ini, Bar-On menggunakan istilah pengendalian impuls yaitu kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak (dalam Goleman, 2000). Kemampuan ini merupakan hal yang berkaitan erat dengan emotional intelligence (selanjutnya dalam penelitian ini hanya digunakan istilah kecerdasan emosional). Dapat dikatakan bahwa dengan adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu lebih mudah mengendalikan diri dan dorongan-dorongan dalam diri individu tersebut dalam melakukan suatu tindakan.

E. Hipotesa

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional memberikan pengaruh terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki.


(46)

33 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Metode penelitian merupakan unsur yang paling penting dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatf dengan metode korelasional, dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap perilaku delinkuen pada remaja laki-laki.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas : Kecerdasan Emosional 2. Variabel Tergantung : Perilaku Delinkuen

B. Definisi Operasional 1. Kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mempunyai kemampuan intrapersonal dan kemampuan interpersonal


(47)

34

yang baik, dapat menyesuaikan diri dengan baik, mampu menangani stres dan mampu mengelola suasana hati dengan baik.

a. Kemampuan intrapersonal, meliputi : 1. Kesadaran diri emosional

Merupakan kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya

2. Asertivitas

Merupakan kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, kemampuan mengungkapkan keyakinan dan gagasan secara terbuka, dan kemampuan mempertahankan kebenaran dengan cara yang tidak destruktif

3. Harga diri

Merupakan kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek positif dan kemampuan yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada pada diri kita dan tetap menyukai diri sendiri

4. Aktualisasi diri

Merupakan kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan dan bakat secara maksimal

5. Kemandirian

Merupakan kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara emosional


(48)

35

b. Kemampuan interpersonal, meliputi : 1. Empati

Merupakan kemampuan menyadari, memahami, menghargai perasaan orang lain dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain

2. Hubungan interpersonal

Merupakan kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan menerima kasih sayang

3. Tanggungjawab sosial

Merupakan kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen-komponen kecerdasan emosional ini meliputi bertindak secara bertanggungjawab, meskipun kita tidak mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi

c. Penyesuaian diri, meliputi : 1. Pemecahan masalah

Merupakan kemampun mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah tetapi dapat menghadapi masalah dengan baik


(49)

36

Merupakan kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang diinginkan atau diharapkan

3. Fleksibilitas

Merupakan kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk mengubah situasi dan kondisi sikap fleksibilitas ini juga mencakup seluruh kemampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dinamis

d. Penanganan stres, meliputi : 1. Ketahanan menanggung stres

Merupakan kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi stres dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stres tersebut. Ketahanan menanggung stres ini berkaitan dengan kemampuan untuk tetap tenang dan sabar

2. Pengendalian impuls

Merupakan kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak

e. Suasana hati, meliputi : 1. Kebahagiaan

Merupakan kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan, menikmati kebersamaan dengan orang lain dan bersenang-senang


(50)

37

2. Optimisme

Merupakan kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap positif sekalipun dihadapkan dengan kesulitan. Optimisme mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan Kecerdasan Emosional akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Goleman, 2000).

2. Perilaku delinkuen

Perilaku delinkuen merupakan suatu bentuk untuk berperilaku ilegal yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa (remaja) dan merupakan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau masyarakat, tidak pantas dan tidak sesuai dengan peran sosial dan status sosial pada usia tersebut. Individu yang delinkuen melakukan perilaku seperti membolos, mabuk-mabukan, lari dari rumah, suka berkeliaran pada malam hari dan melakukan tindakan kriminal dan tidak dapat dikendalikan.

a. School truancy

Membolos jam pelajaran, membolos sekolah, keinginan rendah untuk berada di sekolah, tidak betah berada di kelas untuk mengikuti pelajaran dan mendengarkan guru

b. Alcoholic beverages


(51)

38

c. Running away

Keinginan yang rendah untuk berada di rumah, pergi dari rumah tanpa pamit dan tanpa batas yang wajar untuk seusianya

d. Ungovernability

Tidak dapat dikontrol, ketidakpatuhan, menentang aturan dan perintah orangtua/figur otoritas

e. Curfew violation

melanggar jam malam, keluar malam tanpa orangtua f. Crimes

Bergaul dengan penjahat dan ikut terlibat, melakukan tindakan kriminal seperti penyerangan dan mencuri.

Perilaku delinkuen akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan pengkategorian perilaku delinkuen yang dikemukakan oleh Bynum & Thompson (1996).

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Dalam suatu penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi


(52)

39

yang dinamakan sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Remaja laki-laki.

b. Berusia 12-15 tahun. c. Bersekolah

d. Kecamatan Medan Denai Kota Medan 2. Teknik pengambilan sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal, baik yang bersifat teoritis dimaksudkan untuk memperoleh derajat kecermatan statistik yang maksimal. Sedangkan pertimbangan yang bersifat praktis didasarkan pada keterbatasan peneliti, antara lain keterbatasan waktu dan dana.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik pengambilan sampel dengan random secara berkelas (cluster random sampling). Pengambilan sampel menurut kelasnya dan bukan diambil per individu, melainkan dari kelompok-kelompok individu atau cluster. Teknik pengambilan sampel ini dipandang ekonomis, lebih mudah dan lebih murah, serta semua subjek memiliki peluang yang sama besar untuk terpilih menjadi sampel (Hadi, 2000).

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa


(53)

40

sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Sedangkan menurut Siegel (1997) tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian.

Prosedur random pertama sekali dilakukan terhadap 21 buah sekolah yang ada di Kecamatan Medan Denai dengan mengambil tiga buah sekolah. Selanjutnya dilakukan prosedur random terhadap kelas-kelas yang ada pada sekolah-sekolah yang telah terpilih.

D. Alat Pengumpulan Data

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala.

Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2006).

Dalam penelitian ini menggunakan dua skala yaitu dan skala kecerdasan emosional dan skala perilaku delinkuen.

1. Skala kecerdasan emosional

Skala kecerdasan emosional disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bar-On (dalam Goleman 2000), yaitu kemampuan intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian diri, penanganan stres dan suasana hati.

Skor kecerdasan emosional menunjukkan kemampuan dalam menggunakan dan mengelola emosi. Skor yang tinggi mengidentifikasikan


(54)

41

seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, begitu juga sebaliknya, skor yang rendah mengidentifikasikan seseorang memiliki kecerdasan emosional yang rendah.

Skala ini menggunakan skala Likert. Skala terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable (mendukung aspek yang diukur) dan unfavorable (tidak mendukung aspek yang diukur).

Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Cara Penilaian Skala Kecerdasan Emosional BENTUK PERNYATAAN

Favorable Unfavorable

Respon Skor Respon Skor STS 1 SS 1

TS 2 S 2 S 3 TS 3 SS 4 STS 4

Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-4, skor untuk setiap respon pada pernyataan favorable yaitu SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk skor pernyataan unfavorabel yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, dan STS = 4.

Skala kecerdasan emosional disusun berdasarkan aspek-aspek dari teori Bar-On, berikut bentuk blueprint dan distribusi aitem-aitemnya:


(55)

42

Tabel 2. Distribusi aitem-aitem skala kecerdasan emosional sebelum uji coba No Aspek Indikator

Aitem Jumlah %

Favorable Unfavorable Nomor Jumlah Nomor Jumlah

1. Kemampuan Intrapersonal

a. Kesadaran

diri emosional 1, 11, 12 3 2 1

24 33,3

b. Asertivitas 13, 24 2 23,33,43 3

c. Harga diri 15, 35 2 26,27,38 3

d. Aktualisasi

diri 25,34,44 3 36,37 2

e. Kemandirian 6,7 2 5,16,17 3

2. Kemampuan Interpersonal

a. Empati 31,32,42 3 21,22 2

14 19,4

b. Hubungan

interpersonal 4,14 2 18,29 2

c. Tanggung

jawab sosial 3,8,19 3 28,39 2

3.

Penyesuaian Diri

a. Pemecahan

masalah 30,41,45 3 9,10 2

16 22,2

b. Uji realitas 20,40 2 46,55 2

c. Flexibilitas 52,62,63 3 56,64,

66,67 4

4. Penanganan Stres

a. Ketahanan menanggung stres

51,53 2 61,71,72 3

10 13,9

b.Pengendalian

impuls 47,57,58 3 54,65 2

5. Suasana Hati a. Kebahagiaan 48,49 2 59,68 2

8 11,1

b. Optimisme 50,60 2 69,70 2

Total 72 100

2. Skala perilaku delinkuen

Menurut Bynum & Thompson(1996) yang termasuk dalam pengkategorian perilaku delinkuen meliputi: school truancy (bolos sekolah), alcoholic beverages (mengkonsumsi alkohol), running away (pergi dari rumah), ungovernability (tidakpatuh), curfew violation (melanggar jam malam), crimes (melakukan tindakan kriminal).

Semakin tinggi skor yang dicapai oleh subjek penelitian berarti semakin tinggi tingkat perilaku delinkuennya. Sebaliknya semakin rendah skor yang


(56)

43

dicapai oleh subjek penelitian berarti semakin rendah tingkat perilaku delinkuennya.

Skala ini menggunakan skala Likert. Skala terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable (mendukung aspek yang diukur) dan unfavorable (tidak mendukung aspek yang diukur).

Untuk lebih jelasnya, cara penilaian skala perilaku delinkuen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Cara Penilaian Skala Perilaku Delinkuen BENTUK PERNYATAAN

Favorable Unfavorable

Respon Skor Respon Skor STS 1 SS 1

TS 2 S 2 S 3 TS 3 SS 4 STS 4

Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-4, skor untuk setiap respon pada pernyataan favorable yaitu SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk skor pernyataan unfavorabel yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, dan STS = 4.

Skala perilaku delinkuen disusun berdasarkan pengkategorian perilaku delinkuen menurut Bynum &Thompson (1996), berikut bentuk blueprint dan distribusi aitem-aitemnya:


(57)

44

Tabel 4. Distribusi aitem-aitem skala perilaku delinkuen sebelum uji coba No

Aspek-Aspek

Aitem

JUMLAH % Favourable Unfavourable

Nomor Jumlah Nomor Jumlah 1. School

truancy

24,32,33,53, 55

5 2,13,22,57 ,58

5 10 16,67 2. alcoholic

beverages

23,25,27,28, 29

5 5,34,35,51 4 9 16,67 3. Running

away

12,48,49,52, 56

5 6,16,26,36 ,46

5 10 16,67 4. Ungoverna

bility

10,20,30,40, 50

5 1,11,21,31 4 9 16,67 5. Curfew

violation

7,14,15,45,4 7

5 3,4,44,54 4 9 16,67 6 Crimes 9,17,19,37,4

2,43

6 8,18,38,39 ,41

5 11 16,67

Total 58 100

E. Validitas, Reliabilitas Alat Ukur dan Uji Daya Beda Aitem 1. Uji validitas

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk menguji coba alat ukur dalam menjalankan fungsinya. Dalam penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan tujuan adalah : pertama, seberapa jauh alat ukur skala kecerdasan emosional dan skala perilaku delinkuen mengukur atau mengungkap dengan tepat pada remaja laki-laki. Kedua, seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya (Azwar, 1997).

Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional dan melalui professional judgement (Azwar, 2004). Dalam penelitian ini, peneliti meminta professional judgement dari dosen eksperimen dan dosen pembimbing peneliti di Fakultas Psikologi USU.


(58)

45

2. Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat reliabilitas alat ukur yang menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 1997).

Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan pendekatan reliabilitas konsistensi internal yaitu single trial administration dimana skala psikologi hanya diberikan satu kali saja pada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 1997). Metode konsistensi internal yang digunakan dalam penelitian ini untuk menguji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach yaitu tes dibelah menjadi bagian-bagian sebanyak jumlah aitem.

3. Uji daya beda aitem

Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian yaitu skala kecerdasan emosional dan skala perilaku delinkuen. Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur


(59)

46

tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan. (Azwar, 2004).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor aitem dikorelasikan dengan skor total tes. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks diskriminasi aitem (Azwar, 2004). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 13.0 for Windows.

4. Hasil uji coba alat ukur a. Skala kecerdasan emosional

Uji coba skala kecerdasan emosional dilakukan terhadap 69 orang subjek remaja laki-laki yang bersekolah. Adapun distribusi hasil uji coba skala akan dijelaskan pada tabel 5.


(60)

47

Tabel 5. Distribusi aitem-aitem skala kecerdasan emosi setelah uji coba No Aspek Indikator

Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable Nomor Jumlah Nomor Jumlah

1. Kemampuan Intrapersonal

a. Kesadaran

diri emosional 0 2 1

8

b. Asertivitas 0 0

c. Harga diri 35 1 38 1

d. Aktualisasi

diri 25,34 2 36,37 2

e. Kemandirian 0 16 1

2. Kemampuan Interpersonal

a. Empati 0 0

3

b. Hubungan

interpersonal 0 18 1

c. Tanggung

jawab sosial 3,19 2 0

3.

Penyesuaian Diri

a. Pemecahan

masalah 30,41,45 3 10 1

9

b. Uji realitas 0 46,55 2

c. Flexibilitas 52 1 64,67 2

4. Penanganan Stres

a. Ketahanan menanggung stres

51 1 71,72 2 6

b.Pengendalian

impuls 57 1 54,65 2

5. Suasana Hati a. Kebahagiaan 48,49 2 68 1

5

b. Optimisme 50 1 70 1

Total 31

Berdasarkan blue-print di atas, diketahui setelah uji coba dari 72 aitem skala kecerdasan emosional dengan 69 orang subjek terdapat 31 aitem yang memiliki koefisien korelasi yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r ≥0.275) dengan reliabilitas alpha (α) sebesar 0.876. Koefisien determinasi aitem-aitem yang reliable berkisar antara 0.285 – 0.647

Pada skala ini dilakukan perubahan tata letak urutan nomor aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang gugur tidak diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Distribusi aitem-aitem yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:


(61)

48

Tabel 6. Distribusi aitem-aitem skala kecerdasan emosional yang digunakan saat penelitian

No Aspek Indikator

Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable Nomor Jumlah Nomor Jumlah

1. Kemampuan Intrapersonal

a. Kesadaran

diri emosional 0 1 1

8

b. Asertivitas 0 0

c. Harga diri 11 1 14 1

d. Aktualisasi

diri 7,10 2 12,13 2

e. Kemandirian 0 4 1

2. Kemampuan Interpersonal

a. Empati 0 0

3

b. Hubungan

interpersonal 0 5 1

c. Tanggung

jawab sosial 2,6 2 0

3.

Penyesuaian Diri

a. Pemecahan

masalah 9,15,16 3 3 1

9

b. Uji realitas 0 17,24 2

c. Flexibilitas 22 1 26,28 2

4. Penanganan Stres

a. Ketahanan menanggung stres

21 1 31,8 2 6

b.Pengendalian

impuls 25 1 23,27 2

5. Suasana Hati a. Kebahagiaan 18,19 2 29 1

5

b. Optimisme 20 1 30 1

Total 31

b. Skala perilaku delinkuen

Uji coba skala kecerdasan emosional dilakukan terhadap 69 orang subjek remaja laki-laki yang bersekolah. Adapun distribusi hasil uji coba skala akan dijelaskan pada tabel 7.


(62)

49

Tabel 7. Distribusi aitem-aitem skala perilaku delinkuen setelah uji coba No

Aspek-Aspek

Aitem

JUMLAH Favourable Unfavourable Nomor Jumlah Nomor Jumlah 1. School

truancy

24,32,33,53, 55

5 22,57,58 3 8 2. alcoholic

beverages

23,25,28, 29 4 0 4 3. Running

away

12,48,52, 56 4 6,16,26,36 ,46

5 9 4. Ungoverna

bility

10,40, 50 3 11,31 2 5 5. Curfew

violation

14,47 2 0 2

6 Crimes 19,43 2 8,38,39,41 4 6

Total 34

Berdasarkan blue-print di atas, diketahui setelah uji coba dari 58 aitem skala perilaku delinkuen dengan 69 orang subjek terdapat 34 aitem yang memiliki koefisien korelasi yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r ≥0.275) dengan reliabilitas alpha (α) sebesar 0.894. Koefisien determinasi aitem-aitem yang reliable berkisar antara 0.291 – 0.629

Pada skala ini dilakukan perubahan tata letak urutan nomor aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang gugur tidak diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Distribusi aitem-aitem yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini:


(63)

50

Tabel 8. Distribusi aitem-aitem skala perilaku dellinkuen yang digunakan saat penelitian

No Aspek-Aspek

Aitem

JUMLAH Favourable Unfavourable Nomor Jumlah Nomor Jumlah 1. School

truancy

10, 17, 18, 30, 31

5 8, 33, 34 3 8 2. alcoholic

beverages

9, 11,13, 14 4 0 4 3. Running

away

4, 27, 29, 32 4 1,6 ,12, 19, 25

5 9 4. Ungoverna

bility

15, 22, 28 3 3,16 2 5 5. Curfew

violation

5, 26 2 0 2

6 Crimes 7, 24 2 2, 20,

21,23

4 6

Total 34

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan penelitian a. Persiapan alat ukur

Pada tahapan ini yang dilakukan oleh peneliti adalah membuat alat ukur dan mengujicobakan alat ukur tersebut. Penelitian ini menggunakan dua skala yang disusun oleh peneliti. Skala yang pertama yaitu skala kecerdasan emosional yang disusun berdasarkan teori aspek-aspek kecerdasan emosional dari (Bar-On). Skala yang kedua yaitu skala perilaku delinkuen disusun berdasarkan teori pengkategorian perilaku delinkuen dariBynum & Thompson (1996). Penyusunan skala ini didahului dengan membuat blue print yang kemudian dilanjutkan dengan operasionalisisasi dalam bentuk aitem-aitem pernyataan yang jumlah aitemnya masing-masing 72 aitem dan 58 aitem.


(1)

67

produk dari pengamatan dari pengalaman individu dengan lingkungan, orang tua, saudara-saudara, serta pergaulan sosial yang lebih luas, sebagai produk lingkungan baik internal maupun eksternal. Kebiasaan remaja (dengan latihan) menguasai emosi-emosi negatif atau yang tidak menyenangkan dapat membuat remaja sanggup mengontrol emosi dalam banyak situasi (Mappiere, 1982). Remaja yang secara emosional cerdas akan mengalami lebih banyak sukses di sekolah dan dalam hubunngan dengan rekan-rekan sebaya. Dengan adanya faktor pelindung tersebut, remaja akan terlindung dari risiko-risiko yang dikhawatirkan oleh orangtua sewaktu individu memasuki masa remaja, seperti obat terlarang, kenakalan, juga kekerasan (Gottman & Declaire, 2003).

C. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran. Saran–saran ini diharapkan dapat berguna untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kecerdasan emosional ataupun perilaku delinkuen.

1. Saran Metodologis

a. Mengacu pada nilai koefisien determinasi, menunjukkan perilaku delinkuen dipengaruhi oleh kecerdasan emosional sebesar 31,7% selebihnya perilaku delinkuen pada remaja laki-laki dibentuk oleh variabel lain yang dalam penelitian ini tidak diteliti. Sehubungan dengan hal itu, maka disarankan kepada peneliti berikutnya yang berminat untuk meneliti perilaku delinkuen


(2)

68

dengan mengkaji faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi perilaku delinkuen, seperti peran orangtua ataupun kualitas tempat tinggal.

b. Sebaiknya bagi penelitian selanjutnya berani mencoba dengan metode kualitatif untuk menyelidiki kecerdasan emosional dan perilaku delinkuen ini, supaya didapatkan hasil yang lebih kaya dan lebih mendalam.

2. Saran Praktis

a. Mengingat ternyata kecerdasan emosional memberi pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku delinkuen, diharapkan orangtua dapat memberikan empati dan dapat membantu remaja mengatasi perasaan- perasan negatif, yang juga merupakan latihan bagi remaja dalam menangani emosi.

b. Diharapkan agar orangtua dapat menjaga kualitas hubungan dengan remaja karena hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dan orangtua yang berkualitas memungkinkan remaja untuk mengembangkan potensi dirinya terutama dalam hal ini kecerdasan emosional remaja.

c. Diharapkan guru senantiasa mengingatkan siswa untuk selalu menjaga perilaku dan pergaulan agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif dan membina siswa untuk menjadi seorang yang cerdas secara emosi, misalnya dengan tidak melakukan kekerasan terhadap siswa.

d. Sebaiknya guru tidak hanya melakukan transfer pengetahuan, atau mengembangkan intelek siswa saja, akan tetapi dapat menjadi contoh dan sahabat bagi siswa misalnya dengan menampilkan perilaku yang baik seperti berkata-kata yang sopan, menjaga wibawa, dan lain sebagainya.


(3)

69

e. Diharapkan remaja dapat menjaga sikap dan perilaku agar terhindar dari perbuatan-perbuatan negatif, seperti mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah yang mengarah pada hal positif misalnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dari sekolah atau bergaul dengan teman-teman yang bisa saling mendukung dan menguatkan dalam kebaikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., & Asrori, M. (2004). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Azwar, S. (2004). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. (2006). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________ (2004). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. (1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bynum, J. E., & Thompson, W. E. (1996), Juvenile Delinquency: A Sociological Approach (3rd ed.). Boston: Allyn & Bacon.

Djuwarijah (2002). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Agresivitas Remaja. Psikologika (Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia No. 13 Tahun VII.

Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosional ; alih bahasa, T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

___________ (2001). Walking Through Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

___________ (2000). Working With Emotional Intelligence : Kecerdasan Emosi untuk Meraih Puncak Prestasi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Hadi, S. (2000). Metodology Research. (Jilid 1). Yogyakarta : Andi Offset

______ (2000). Metodology Research (Jilid 2). Yogyakarta: Andi Offset.


(5)

Hurlock, E. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Ifham, A. (2002). Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kewirausahaan pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, 3 (2), 89-111. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Kartono, K. (2006). Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kelly, B. T., Loeber, R., Keenan, K. & DeLamatre, M. (1997). Developmental Pathways in Boys’ Discruptive and Delinquent Behavior. Office of Juvenille Justice and Delinquency Prevention. diakses pada tanggal 5 nopember 2007, dari http://www.ncjrs.gov/pdfflies/165692.pdf

Kurniawan, I. N. (1998). Kecenderungan Berperilaku Delinkuen pada Remaja ditinjau dari Orientasi Religius dan Jenis Kelamin. Psikologika, 6 (III), 55-65.

Mappiere, (1982). Psikologi Remaja. Surabaya : Penerbit Erlangga.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1999). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mu’tadin, Z. (2002) Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. diakses pada tanggal 21 nopember 2007, dari http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm

Prawitasari, J. E. (1998). Kecerdasan emosi. Buletin Psikologi, 3 (1), 21-31.

Indonesian Nutrition Network. (2007). Perilaku Bermasalah Remaja Muncul Lebih Dini. Diakses pada tanggal 22 september 2007, dari http://www.duniaguru.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id =229


(6)

Saman, A. (2004). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Penyesuaian Sosial Remaja di Sekolah. Jurnal Intelektual, 2 (1).

Santrock, J. W. (1998). Adolescence. (7th ed). Boston: McGraw-Hill.

Sari, M. Y. (2005). Kecerdasan Emosi dan Kecenderungan Psikopatik pada Remaja Delinquen di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Psikodinamik Vol. 7, No. 1. (54-67).

Sarwono, S. W. (2003), Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Siegel, S. (1997). Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT. Gramedia.

Steinhart, D. J. (1996). Status Offenses. 6 (3). diakses pada tanggal 5 nopember 2007, dari http://www.futureofchildren.org/usr_doc/vol6no3ART7.pdf.

Sugiarto, Siagian D., Sunaryanto, L.T., Oetomo, D.S. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Suryabrata, S. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Yudiani, E. (2005). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Masa Kerja dengan Penjualan Adaptif. Psikologika. No. 19

Yusuf, S (2001). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.