Tangis Beru Si Jahe Di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan, Kajian Tekstual Dan Musikal

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah
Manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari pastinya berdasar

kepada kebudayaan. Budaya yang dimiliki akan menjadi ciri utama kelompokkelompok individu yang menggunakannya. Kebudayaan tersebut hadir sebagai
salah satu bentuk untuk meregenerasikan kepada keturunan yang baru.
Kebudayaan sebagaimana halnya mengatur tentang siklus perjalanan hidup
manusia mulai dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, dewasa, tua, sampai
meninggal dunia. Demikian halnya dengan yang terjadi dalam kebudayaan
Pakpak.
Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik dari kelompok etnis Batak
maupun etnis lainnya pastinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang
masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan setiap kebudayaan tersebut tidak
dapat dibandingkan mana yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan etnis
Pakpak, masyarakat Pakpak memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun
temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Kesenian pada
masyarakat Pakpak diantaranya terdiri atas seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni

musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus untuk mengkaji tentang aspek
musiknya. 1

1

Skripsi Sarjana Saridin Tua Sinaga

Universitas Sumatera Utara

Seni musik dalam masyarakat Pakpak dibagi kedalam tiga kategori: vokal,
instrumen yang terdiri atas dan gabungan antara vokal dengan instrumen. Dalam
hal ini penulis tertarik mengkaji tentang salah satu vokal Pakpak.
Masyarakat Pakpak memiliki alat musik yang dapat dimainkan secara
ensambel maupun secara solo. Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya secara
folk taxonomies yang berdasar pada bentuk penyajian yang masih dibagi dalam
dua kelompok yaitu: Gotchi dan Oning-oning.dan cara memainkan yang terdiri
atas Sipaluun, Sisempulen, dan Sipiltiken.
Sedangkan untuk semua jenis musik vokal masyarakat Pakpak memberi
nama ende-ende. Kemudian untuk membedakan jenis nyanyian yang satu dengan
yang lain, dibelakang kata ende-ende tersebut dicantumkan nama nyanyian yang

dimaksudkan. Misalnya; ende-ende merkemenjen yaitu nyanyian mengambil
kemenyan; ende-ende memuro yaitu nyanyian pada saat menjaga padi dan
tanaman-tanaman diladang. Selain nyanyian tersebut ada juga yang disebut endeende tangis milangi yang mana disebut juga sebagai tangis-tangis yang
merupakan kategori nyanyian ratapan(lamenta) yang disajikan dengan gaya
menangis yang terdiri atas Tangis beru si jahe, Tangis anak melumang yaitu
nyanyian ratap seorang anak ketika terkenang pada salah satu atau kedua orang
tuanya yang sudah meningal, dan tangisi mate yaitu nyanyian ratapan kaum
wanita ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Selain itu ada juga
yang disebut dengan ende-ende mendedah yaitu sejenis nyanyian lullaby yang
dipakai oleh sipendedah(pengasuh) baik pria ataupun wanita, yang terdiri atas
orih-orih yaitu nyanyian untuk menidurkan anak dimana sianak digendong dan
sambi dinina bobokan dengan nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat,

Universitas Sumatera Utara

harapan, cita-cita, ataupun curahan kasih sayang terhadap si anak tersebut.
Berikutnya ada juga disebut oah-oah(kodeng-kodeng) yang merupakan jenis
nyanyian dimana teksturnya sama dengan orih-orih. Yang membedakan adalah
cara dalam menina bobokan si anak. Oah-oah disajikan dengan mengayunkan si
anak pada ayunan yang digantungkan pada sebatang kayu dirumahmaupun

digubuk. Ada juga yang disebut dengan cido-cido yaitu nyanyian untuk mengajak
si anak bermain. Selanjutnya ada yang disebut dengan Nangan yaitu nyanyian
yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten (dongeng atau ceritera rakyat). Dan
yang terakhir ada yang disebut dengan ende-ende merdembas merupakan bentuk
nyanyian permainan dikalangan anak-anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada
malam hari di halaman rumah saat terang bulan purnama. Mereka menari
berbentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara bersama-sama
berpegangan tangan, sambil melantunkan lagu-lagu secara koor (chorus) maupun
nyanyian solo yang disambut koor(solo chorus).

2

Dalam hal ini penulis lebih terfokus untuk mengkaji tentang nyanyian
Tangis Beru Si Jahe.
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisi tentang
ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya dengan
tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Secara tekstual nyanyian ini banyak

menggunakan bahasa-bahasa simbolis yang mengandung makna-makna tertentu,
2

Drs.Torang Naiborhu, M.Hum. “Music Pakpak Dairi-Sumatera Utara” dalam
buku Pluralitas Music Etnik(147-163)

Universitas Sumatera Utara

sebagai gambaran dari sesuatu hal ataupun representasi dari situasi sosial
kemasyarakatan pemilik budaya ini. Digarap dengan nuansa kesedihan (Pakpak:
lolo ate) melalui teknik sillabis dan melismatis yang dituangkan dalam melodi
lagu dalam bentuk strofic logogenic yaitu mengutamakan pesan melalui teks
daripada garapan melodi lagunya, melalui teks yang selalu berubah sedangkan
melodi cenderung diulang-ulang 3 . Namun dalam perkembangannya beberapa
tahun belakangan ini tangis beru si jahe bukan lagi disajikan untuk upacara adat
namun menjadi salah satu bentuk hiburan dan telah difestivalkan.
Tangis beru si jahe hanya dinyanyikan oleh perempuan. Tangis beru si
jahe disajikan dan ditujukan kepada orangtua beru si jahe, kerabat terdekat
dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Selain itu, orang-orang
yang didatangi oleh beru si jahe tersebut akan memberi dia makan(nakan

pengindo tangis) dimana tinggi rendahnya status sosial adat beru si jahe tersebut
ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah kepala ayam yang nantinya akan
dibawa menuju tempat mertuanya. Semakin banyak kepala ayam yang diterima
oleh beru si jahe, maka akan semakin tinggi pula status sosial adatnya dihadapan
keluarga suaminya 4.
Pada umumnya teks dari tangis beru si jahe berisikan tentang kiasan dan
perumpamaan. Yang dinyanyikan pada umumnya kebalikan dari kenyataan karena
si gadis merasa bahwa seolah-olah orang tuanya sudah tidak perduli bahkan
mencampakkan dia. Selain itu dia nantinya tidak bisa merasakan kebahagiaan
seperti apa yang dirasakan selama ini di lingkungan keluarganya.

3

Tesis Strata-2 Drs. Torang Naiborhu, M.Hum
Skripsi sarjana Monang Butar-Butar tentang Analisis tekstual dan musikologi tangis
beru sijahe Pakpak Dairi di desa Silima Kuta Kecamatan Salak.
4

Universitas Sumatera Utara


Mengapa harus menangis? Hal tersebut dikarenakan si beru jahe merasa
takut jika nantinya dikeluarganya yang baru dia tidak akan merasakan
kebahagiaan seperti yang selama ini diterima dilingkungan keluarganya. Dia
khawatir jika nantinya dia akan dijadikan budak dan dianggap hanya untuk alat
penyambung keturunan keluarga suaminya.
Pada saat sekarang, nyanyian ini telah mengalami perubahan konsep
penyajian. Sampai tahun 1960-an tangis beru si jahe masih disajikan untuk
upacara adat.

Berbeda halnya dengan

masa sekarang,

sesuai

dengan

perkembangan zaman dan faktor pendukung lainnya, nyanyian tersebut sudah
menjadi suatu bentuk hiburan dan telah dipertunjukkan didepan khalayak umum.
Namun urutan penyajian nyanyian tetap sama dengan yang sebenarnya. Ungkapan

perasaan yang dinyanyikan si gadis berbeda-beda kepada setiap anggota keluarga
yang disebutkan diatas. Dengan kata lain isi teks nyanyian nya berbeda kepada
setiap orang yang ditujukan namun melodinya tetap sama.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, Maka penulis tertarik untuk
meneliti, mengkaji, serta menuliskannya kedalam sebuah tulisan ilmiah yang dibe
ri judul : ” Tangis Beru Si jahe Di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat: Kontinuitas Dan Perubahan Penyajian, Kajian
Tekstual Dan Musikal”

1.2

Pokok Permasalahan
1. Hal-hal apa sajakah yang melatar belakangi terjadinya perubahan tangis
beru si jahe?
2. Perubahan apa saja yang terjadi dari nyanyian tersebut?

Universitas Sumatera Utara

3. Bagaimana kajian tekstual dan musikal tangis beru si jahe?


1.3.

Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui hal-hal yang melatar belakangi terjadinya perubahan
penyajian nyanyian tangis beru si jahe
2) Untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dari nyanyian tangis
beru si jahe
3) Untuk mengetahui kajian tekstual dan musikal tangis beru sijahe

1.4

Manfaat Penelitian
1) Menjadi salah satu sarana dalam memperluas ilmu pengetahuan tentang
tangis beru si jahe dari kesenian masyarakat Pakpak
2) Menjadi salah satu bahan dokumentasi tambahan tentang informasi tangis
beru si jahe
3) Sebagai suatu perwujudan tentang ilmu yang telah diperoleh penulis
selama menjalani perkuliahan di Departemen Etnomusikologi

1.5


Konsep
Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari

peristiwa kongkrit(Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun
1988,

kata

‘kontinuitas’

memiliki

arti

kelanjutan,

kelangsungan


dan

kesinambungan. Pada penjelasan ini berkaitan dengan masih adanya hal-hal yang
masih tetap eksis dipertahankan dan berkelanjutan sampai saat ini.

Universitas Sumatera Utara

Kata ‘perubahan’ memiliki arti situasi dan keadaan yang berubah serta
peralihan dan pertukaran. Dalam hal ini terjadi perubahan penyajian tangis beru si
jahe menjadi sebuah sarana hiburan/dipertunjukkan kepada khalayak umum.
‘Penyajian’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id)
merupakan proses, cara, perbuatan menyajikan
Sedangkan ‘nyanyian’ merupakan bagian dari seni musik, dimana secara
umum seni musik dibagi kedalam tiga bagian: 1) musik vokal, 2) musik
instrumental, dan 3) gabungan dari musik vokal dan instrumental.
Beru adalah anak gadis, sedangkan si jahe adalah yang akan dinikahkan (i
pejahekan) Beru sijahe merupakan sebutan kepada seorang gadis yang akan
berpisah dengan keluarganya disebabkan perkawinan.
Tangis beru si jahe merupakan nyanyian ratapan seorang gadis yang akan
dipinang dan dinyanyikan menjelang pernikahannya. Nyanyian ini berisikan

tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya
dengan tujuan agar anggota keluarga yang mendengarkan merasa iba dan terharu
kemudian mereka akan memberikan nasihat-nasihat dan bantuan berupa materi
kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Dengan demikian tulisan ini
bertujuan untuk memperoleh hasil dari kelanjutan dan perubahan yang terjadi dari
penyajian tangis beru si jahe.
Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari
suatu nyanyian. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu
makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari
suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna
konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang

Universitas Sumatera Utara

terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak
mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,
1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang berarti bersifat musik,
memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika,
interval, frasa, serta pola ritem.

1.6

Kerangka Teori
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk

menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992;21). Suatu kebudayaan tidaklah
bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab
kebudayaan bukanlah sesuatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987:32).
Demikian halnya dengan nyanyian tangis beru si jahe yang mengalami perubahan
penyajian sesuai dengan kemajuan zaman.
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil
dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan.
Perubahan-perubahan dari penyajian tangis beru si jahe tersebut terjadi
karena berbagai hal yang berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar. Dari
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan
adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur kebudayaan,
termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat kehidupan.
Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan seperti,
pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi, merupakan faktor-faktor

Universitas Sumatera Utara

penyebab terjadinya perubahan pada berbagai aspek sosial lainnya. Perubahan
sosial dan kebudayaan, disamping itu juga harus diperhatikan situasi dan kondisi
dari tempat atau lokasi dimana suatu perubahan terjadi.
Alan P. Merriam dalam bukunya yang berjudul’The Anthropology of
Music’(1964:16), mengatakan bahwa:
“the ultimate interest of man himself, and music is part of what he
does and part and part of what he studies about himself”.
Yang artinya bahwa perhatian manusia yang utama/pokok adalah manusia
itu sendiri, dan musik yang termasuk didalamnya merupakan bagian yang
dikerjakannya sebagai dirinya sendiri.
Merriam juga mengatakan bahwa dalam aspek musikal terdapat dua unsur
pokok yang dominan---maksudnya nyanyian---yaitu teks lagu dan melodinya.
Berkaitan dengan studi teks nyanyian, isi dari teks nyanyian tersebut adalah hal
yang penting lainnya untuk dipelajari (Echols dan Shadily, 1986:369). 5
William P.Malm dalam bukunya yang berjudul’Music Cultures Of The
Pasific, The Near, and Asia’(1977:9) juga mengatakan bahwa:
“in vocal music, another important characteristik is the relation
of music to text, the style is’Syllabic’, if one Syllable is used with
many notes, the style is’Melismatic’”.
Dalam pembahasan tangis beru sijahe budaya Pakpak yang berada di Desa
Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat ini, penulis
menggunakan teori fungsionalisme. Dalam disiplin ilmu etnomusikologi, Merriam
dalam bukunya (1964: 7-18) menyatakan bahwa dalam studi Etnomusikologi,
5

Skripsi Sarjana Monang Butar-Butar tentang Kajian Tekstual dan Musikologis Tangis
Beru Sijahe Pakpak Dairi di desa Silima Kuta Kecamatan Salak.

Universitas Sumatera Utara

maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara keseluruhan.
Untuk memahami fungsi musik dalam tangis beru sijahe, penulis mengacu kepada
pendapat Alan P. Merriam dalam bukunya “The Anthropology of Music“(1964:
209-226) yang menyatakan tentang penggunaan musik yang meliputi perihal
pemakaian musik dan konteks pemakainya atau bagaimana musik itu digunakan.
Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan oleh Alan P.Merriam (1964:
217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan
musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan musik dengan kelembagaan
sosial, (3) penggunaan musik dengan manusia dan alam, (4) penggunaan musik
dengan nilai-nilai estetika, (5) penggunaan musik dengan bahasa.
Untuk menemukan jawaban dari fungsi musik dalam tangis beru sijahe,
Merriam menyebutkan ada sepuluh fungsi musik dalam Ilmu Etnomusikologi
yakni: 1) fungsi pengungkapan emosional, 2) fungsi pengungkapan estetika, 3)
fungsi hiburan, 4) fungsi komunikasi, 5) fungsi perlambangan, 6) fungsi reaksi
jasmani, 7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, 8) fungsi pengesahan
lembaga sosial, 9) fungsi kesinambungan kebudayaan, 10) fungsi pengintegrasian
masyarakat.
Dalam mengkaji strukstur dan makna tekstual tangis beru sijahe, penulis
menggunakan teori semiotika. Dimana teori ini digunakan untuk memahami
bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang
membangun sebuah peristiwa seni. Ada dua tokoh perintis semiotika yakni
Ferdinand de Sausurre ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, filosof
berkebangsaan Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang
membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau

Universitas Sumatera Utara

signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai
lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: 1) representatum, 2) pengamat
(interpretant), 3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman, pelaku, dan penonton sebagai pengamat dari lambanglambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang kedalam tiga kategori: pertama
simbol, kedua indeks dan yang terakhir simbol. Apabila lambang itu menyerupai
yang dilambangkan seperti foto, maka disebut sebagai ikon. Jika lambang itu
menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api disebut
dengan indeks. Apabila lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti
burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan
simbol.
Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Defenisi yang sama
dikemukakan pula oleh seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari
Swiss Ferdinand De Sausurre. Menurut beliau semiotika adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”
Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh pleh filosof Inggris pada abad ke17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu,
dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi,
baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika

Universitas Sumatera Utara

munculnya karya-karya Saussure dan karya-karya seorang filosof Amerika
Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukkan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefenisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai
tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: 1) ikon, yang disejajarkan dengan ikonnya
(misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan; 2) indeks, yang
disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan 3) simbol, yang
berkaitan referennya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal
grafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji teks tangis
beru sijahe. 6
Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan
dengannya:

cara

berfungsinya,

hubungannya

dengan

tanda-tanda

lain,

pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering
disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan
tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen) berdasarkan makna
denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya. 7 Dalam melakukan analisis
semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang berkaitan
dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik (paralinguistics);

6
7

Skripsi sarjana Marliana Manik
Tesis Torang Naiborhu

Universitas Sumatera Utara

bahasa alam (natural language); komunikasi visual (visual communication);
kode-kode musik (musical codes); kode rahasia; sistim objek; dan lain-lain. 8
Dalam pengerjaan tulisan, penulis lebih berpedoman pada teori yang
dikemukakan oleh William P.Malm (1977:3) yang dikenal dengan teori weighted
scale. Dimana dikatakan bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pendeskripsian melodi, adalah: tangga nada (scale), nada dasar (pitch center),
wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of note), jumlah interval, pola
kadensa, formula melodi (melody formula), dan kontur (contour).
Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dari nyanyian tangis beru
sijahe, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan P Merriam
(1964:303) yang dikemukakan dalam tulisannya tentang Music and Culture is
Dynamic dalam buku The anthropology of Music yang mengatakan “culture
change begins with the processes of innovation. Type of innovation is variation,
invention, tentation, dan culture borrowing”.
Menurut Carol R. Ember (1987 : 32), suatu kebudayaan tidaklah pernah
bersifat statis, melainkan selalu berubah. Walaupun pada kenyataan perubahan itu
bukan atas gangguan yang datangnya dari luar, suatu kebudayaan pasti akan
mengalami perubahan. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi
serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.
Alan P. Merriam mengemukakan bahwa perubahan berasal dari dalam
lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar
kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal meurpakan perubahan yang
timbul didalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan juga

8

Tesis Torang Naiborhu

Universitas Sumatera Utara

disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup budaya
tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan
suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang
melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori
kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi
dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi
dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964: 305).

1.7

Metode Penelitian
Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan

agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki
melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang telah ditentukan(Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka 2005). Sementara penelitian merupakan kegiatan dalam
mengumpulkan, mengolah, menganalisis serta menyajikan data yang dilakukan
secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji
suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum(Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005).
Untuk memperoleh data secara sistematis, maka penulis menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian yang bersifat
deskriptif bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekwensi atau

Universitas Sumatera Utara

penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat
(Koentjaraningrat 1990:29).
Menurut Whitney (1960) metode deskriptif analitis merupakan metode
pengumpulan fakta melalui interpretasi yang tepat. Dengan tujuan untuk
mempelajari permasalahan yang timbul dalam masyarakat dalam situasi tertentu,
termasuk didalamnya hubungan masyarakat, kegiatan, sikap, opini, serta proses
yang tengah berlangsung dan pengaruhnya terhadap fenomena tertentu dalam
masyarakat. Selain itu menurut Soegiyono(2009) metode deskriptif analitis
bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek
penelitian yang diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan
membuat kesimpulan yang berlaku umum.

1.7.1

Studi Kepustakaan
Untuk mendukung keseluruhan data yang disertakan penulis, maka penulis

juga terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data-data
yang mendukung tulisan. Mulai dari menelaah berbagai buku seperti: Theory and
Method In Ethnomusicology, The Anthropology of Music, Music Culture of
Pasific, the Near East and Asia, Masyarakat Kesenian Di Indonesia, dan juga
membuka situs-situs internet yang berhubungan dengan data penelitian,
mengumpulkan beberapa referensi, buku dan skripsi-skripsi terdahulu yang
berhubungan dengan topik penelitian. Data diperoleh melalui literatur berupa
catatan dan informasi lain yang berkaitan dengan penulisan

Universitas Sumatera Utara

Studi pustaka diperlukan untuk melengkapi teori-teori yang berhubungan
dengan topik penelitian penulis sehingga dapat menambah data yang kongkrit
terhadap kebenaran penelitian.
Nyanyian tangis beru si jahe pada awalnya sudah pernah dikaji oleh
alumni Etnomusikologi. Salah satunya oleh Monang Butar-Butar pada tahun
1992. Beliau mengkaji tekstual dan musikologis dari tangis beru si jahe. Namun
beliau belum menyebutkan bahwa dalam penelitiannya telah terjadi perubahan
penyajian dari nyanyian ini. Maka oleh sebab itu, penulis memutuskan untuk
meneliti serta menuliskan tentang bagaimana proses perubahan dan kelanjutan
dari penyajian nyanyian tangis beru si jahe dan hal-hal yang melatar belakangi
terjadinya perubahan dalam nyanyian tangis beru sijahe pada masa sekarang.

1.7.2. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi merupakan metode yang
dipakai dengan menggunakan pengamatan dan pengindraan untuk menghimpun
data penelitian. Menurut Bungin(2007:115) metode observasi merupakan kerja
pancaindera mata dengan dibantu pancaindera lainnya.
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka
penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah penulis
ketahui sebelumnya yang berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat.

Universitas Sumatera Utara

1.7.3. Wawancara
Salah satu teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara
berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap
pokok permasalahan. Selain itu penulis juga melakukan wawancara bebas (free
interview) yaitu membuat pertanyaan yang tidak hanya terfokus pada pokok
permasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang terhadap pokok permasalahan
lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (koentjaraningrat,
1985:139). Dalam hal ini penulis tidak hanya berpatokan terhadap hal-hal yang
akan diteliti, namun penulis juga melakukan wawancara bebas untuk mengetahui
bagaimana kehidupan informan sehari-hari.

1.7.4

Kerja Laboratorium
Seluruh data yang penulis peroleh berasal dari berbagai sumber yaitu dari

hasil pengamatan langsung di lapangan. Hasil wawancara tersebut kemudian akan
diolah dalam kerja laboratorium. Selain itu penulis juga akan mentranskripsikan
nyanyian tersebut sebagai sesuatu yang baru.
Setelah penulis melakukan kerja laboratorium, penulis membuatnya
menjadi sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan aturan penulisan
sebuah karya ilmiah. Maka dengan demikian, tulisan ini diharapkan memiliki
manfaat dan dapat menambah wawasan pengetahuan di bidang Etnomusikologi
dan bermanfaat untuk seluruh kalangan

Universitas Sumatera Utara

1.8

Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka

penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah penulis
ketahui sebelumnya yang berlokasi di desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan,
Kabupaten Pakpak Bharat. Alasan penulis memilih lokasi ini dikarenakan masih
banyak yang mengalami peristiwa ini dan di Sukarami sudah berkali-kali
dilakukan festival Tangis Beru Si Jahe. Bahkan masih banyak di daerah ini
tinggal seniman-seniman yang mengetahui tentang budaya Pakpak.

Universitas Sumatera Utara