Tinjauan Yuridis Terhadap Akad Ijarah (Studi Pengurusan Haji Dan Umrah Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan)

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika manusia melakukan kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
dalam hidupnya, maka selalu membutuhkan rambu-rambu hukum yang mengaturnya,
termasuk dalam aspek ekonomi, Islam mengatur serangkaian pedoman dan aturan
finansial yang berbeda dari sistem perbankan konvensional modern non islam yang
tentunya di desain agar selaras

dan tidak bertentangan dengan berbagai prinsip

Hukum Islam.1
Pada sistem ekonomi Islam yang memiliki serangkaian konsep transaksi
ekonomi riil yang memfasilitasi pertukaran, penjualan, perdagangan komoditas dan
jasa yang didasarkan kepada perdagangan jual beli barang dengan harga tertentu, jual
beli dengan hutang atau pertukaran komoditas dengan komoditas lainnya. 2
Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan bank syariah masih terfokus
pada produk-produk murabahah (prinsip jual-beli). Pembayaran murabahah
sebenarnya memiliki kesamaan dengan pembiayaan ijarah. Keduanya termasuk

dalam kategori natural certainty contracts, dan pada dasarnya adalah kontrak jual
beli. Yang membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan
tersebut. Dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi yang

1

Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 1.
Zamir Iqbal & Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik Kencana,
Jakarta, hlm 15.
2

1

Universitas Sumatera Utara

2

diperjual belikan tersebut yaitu pembiayaan murabahah yang menjadi obyek
transaksinya adalah barang, misalnya rumah, mobil, dan sebagainya. Sedangkan
dalam pembiayaan ijarah, obyek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang/

jasa maupun manfaat atas tenaga kerja. Dengan pembiayaan murabahah, bank syariah
hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah
yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijarah, bank syariah dapat
pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.3
Salah satu bentuk pembiayaan melalui transaksi jual beli yang berdasarkan
prinsip ijarah atau penyewaan (leasing) yaitu artinya memberikan sesuatu dengan
dasar sewa menyewa dengan jangka waktu tertentu.
Konsep sewa mulai diterapkan dan dijadikan sebagai faktor bisnis sejak
zaman kehidupan nabi dan kemudian dikembangkan lagi ketika masa khalifah Umar
bin Khattab. Konsep sewa dimulai ketika adanya sistem pembagian tanah dan adanya
larangan untuk pemberian tanah bagi kaum muslimin di wilayah yang dikuasai, dan
serta alternatif untuk membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharraj dan
jizyah4.
Perkembangan zaman saat ini, maka tidaklah ada alasan lain untuk
menganggap bahwa sewa hanya dipautkan dengan tanah saja karena satuan khusus
faktor produksi lainnya seperti tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan dapat juga

3

Karim, Adirmawan, Bank Islam : Analisis fiqh dan Keuangan, PT Rajagrafindo Persada,

Jakarta, 2006, hlm 137
4
Arisson Hendry, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi ,Muamalat Institute, Jakarta, 1999,
hlm, 92

Universitas Sumatera Utara

3

memperoleh sewa. Dipandang dari Hukum Islam, tampaknya pembayaran sewa
tidaklah bertentangan dengan etika dan ekonomi islam, karena adanya perbedaan
besar antara sewa dan bunga. sewa adalah atas tanah ataupun harta benda, sedangkan
bunga atas modal, yang mempunyai potensi untuk dialihkan ke harta benda atau
kekayaan apa saja.
Lafal al- ijarah bahasa Arab berarti upah, jasa, atau imbalan. Al-ijarah dalam
fiqh Islam merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah, dalam memenuhi
keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa
perhotelan dan lain-lain.5
Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para
ulama fiqh. Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan transaksi terhadap

suatu manfaat dengan imbalan. Kedua, ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan
transaksi terhadap suatu manfaat yng dituju, tertentu, bersifat mu bah dan boleh
dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah
mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu
tertentu dengan suatu imbalan.6
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi
oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil
buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya
ditunjukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh

5
6

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm 228
Ibid hlm 228

Universitas Sumatera Utara

4


dijadikan objek al-ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena susu atau bulu
kambing termasuk materi.
Para ulama fiqh, tidak membolehkan al-ijarah terhadap nilai tukar uang,
seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan
materinya, sedangkan dalam al-ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda.
Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, pakar fiqh hanbali, menyatakan bahwa
pendapat jumhur pakar fiqh itu, tidak didukung oleh Al-Quran, sunnah, ijmak, dan
qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syariat Islam adalah bahwa suatu
materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya sama dengan manfaat, seperti
buah pada pepohonan, susu dan bulu pada kambing, Oleh sebab itu, Ibn Qayyim alJauziyyah menyamakan antara manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya,
manfaat pun boleh diwakafkan, seperti mewakafkan manfaat rumah untuk ditempati
dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya.
Dengan demikian, menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan
al-ijarah suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan asalnya tetap utuh, seperti
susu kambing, bulu kambing, dan manfaat rumah, karena kambing dan rumah itu
tetap utuh.7
Hukum ijarah adalah terdapat dalam firman Allah SWT dalam Surah AlBaqarah ayat 233 sebagai berikut yang terjemahannya :
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
7


Nasrun Haroen Op.cit., hlm, 229-230

Universitas Sumatera Utara

5

Ayat diatas menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam hukum Islam,
seperti yang diungkapkan dalam ayat bahwa seseorang itu boleh menyewa orang lain
untuk menyusukan anaknya, tentu saja ayat ini akan berlaku umum terhadap segala
bentuk sewa-menyewa.8
Para ulama fiqh mengatakan bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya akad al-ijarah
diantaranya dalam firman Allah dalam surat az-zukhruf ayat 32 yang terjemahannya:9
“Apakah mereka yang membagi – bagi rahmat tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan
kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain”.
Disamping itu, para ulama fiqh juga beralasan kepada firman Allah SWT
dalam surat ath- thalaq ayat 6 yang artinya:
“Jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah upah

kepada mereka”
Selanjutnya firman Allah SWT dalam Surat al- Qashash, ayat 26 yang
terjemahannya:10
“Salah seorang dari dua wanita itu berkata: Wahai bapakku ambillah dia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah yang kuat lagi
dapat di percaya”
Para ulama fiqh juga mengemukakan alasan yang terdapat dalam hadist Nabi
Muhammad S.A.W yang artinya:

8

Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 43
Ibid hlm 230
10
Veithzal Rivai,dkk , Islamic Financial Management , Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm
9

503.


Universitas Sumatera Utara

6

“Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering
keringat mereka”
Dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang terdapat dalam
hadits Nabi Muhammad S.A.W yang artinya:
“Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya.
Selanjutnya dalam riwayat Abdullah ibn’Abbas ialah Rasulullah Sallallahu
‘alahi wasallam berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang
yang membekamnya”
Menurut Sayyid Sabiq,11 ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil
manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah
penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna manfaat atas suatu barang dan jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Manfaat yang diambil tidak berbentuk
zatnya melainkan sifatnya, ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, atau kontrak.
Ulama fiqh membolehkan adanya akad ijarah. Akad ijarah tidak ada

perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.
Dalam tata hukum Perbankan Indonesia dikenal dua sistem perbankan
nasional yaitu bank yang berdasarkan prinsip konvensional dan bank yang
berdasarkan prinsip syariah, didalam perkembangan industri keuangan syariah secara
informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai
11

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid 3, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1983, hlm. 177.

Universitas Sumatera Utara

7

landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dimaksud karena secara
yuridis empiris telah diakui keberadaannya oleh warga masyarakat Islam di Indonesia
sebagai salah satu kegiatan usaha bank umum yaitu dengan pemberian atau
penyaluran kredit pada Bank Konvensional dan pembiayaan pada Bank Syariah.
Dalam Peraturan Bank Indonesia nomor : 4/1/PBI/2002 tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan

Prinsip Syariah serta Mekanisme Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah oleh Bank Umum Konvensional, dalam peraturan ini disebutkan tentang
definisi kegiatan bank yang berdasarkan prinsip syariah, kantor cabang dan unit
usaha. Bab II mengatur tentang perizinan perubahan kegiatan usaha bank umum
konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah, Pada Bab III
mengatur Unit Usaha Syariah dan pembukaan kantor cabang syariah. Bab IV
pembukaan kantor di bawah kantor cabang syariah dan kegiatan kas di luar kantor
bank di dalam negeri. Bab V tentang penutupan kantor.
Undang-Undang No. 21 tahun 2008 pasal 1 angka 12 tentang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan dibidang syariah. Bank syariah merupakan salah satu
lembaga perbankan yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam struktur
perekonomian Indonesia, karena ikut serta menyerap dana masyarakat dalam bentuk
tabungan maupun deposito dan menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui
pembiayaan, sedemikian strategisnya peranan bank dalam perekonomian suatu

Universitas Sumatera Utara

8


Negara yaitu dengan berusaha untuk menciptakan suatu sistem perbankan yang sehat,
tangguh dan memelihara kepercayaan masyarakat.
Salah satu produk Bank Syariah ialah ijarah, yang terdapat pada pasal 1 angka
25 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya
disebut UU Bank Syariah) disebutkan bahwa transaksi sewa- menyewa dalam bentuk
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli
dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna, transaksi pinjam-meminjam
dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank
Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan.
Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik ma’jur (obyek sewa) dan
musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang
disewakannya.
Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah,12 yaitu Pertama ijarah yang
berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah
sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir,
pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah dan Kedua ijarah
yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk
memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya
12

Ascarya, Akad dan Produk Syari’ah, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2007, hlm .99

Universitas Sumatera Utara

9

sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak
yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut
mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan
syariah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau
pembiayaan di perbankan syariah.13
Dalam teknis perbankan makna ijarah adalah akad yang tetap antara Bank
(muajir) dengan nasabah (musta’jir) untuk memanfaatkan sesuatu (barang) atau jasa
dalam waktu tertentu dengan harga yang telah disepakati.
Kegiatan ijarah (leasing) termasuk dalam kegiatan perbankan syariah, karena
leasing konvensional harus dilakukan oleh lembaga tersendiri, untuk membedakan
dengan perbankan konvensional, maka ijarah dibagi dua. Pertama didasarkan atas
periode/masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam
hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal dengan operating ijarah. Kedua,
ijarah muntahiyyah bittamlik di beberapa Negara Islam menyebutnya sebagai ijarah
wa iqtina yang artinya sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh
penyewa (finance lease).14
Karena aktivitas perbankan umum tidak diperboleh melakukan leasing, maka
perbankan syariah hanya mengambil jenis ijarah muntahiyah bittamlik, yang artinya
perjanjian untuk memanfaatkan sewa barang antara bank dengan nasabah dan pada
13

Tatang sutardi, (Ijarah Aplikasinya pada lembaga keuangan Syari’ah) www.patanahgrogot.net, diakses tanggal 2, maret, 2012
14
Ibid

Universitas Sumatera Utara

10

akhir masa sewa, maka nasabah wajib membeli barang yang telah disewanya. Pada
ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah, akan tetapi obyek ijarah
tetap menjadi milik yang menyewakan.
Prinsip sewa (ijarah), yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa
yang memperbolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan
membayar sewa sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak. Setelah masa sewa
berakhir maka barang akan dikembalikan kepada pemilik.15
Prinsip ijarah dalam Perbankan Syariah yang dibedakan menjadi tiga bagian
yaitu : 16
1. Ijarah mutlaqah (leasing) adalah proses sewa- menyewa yang biasa kita
temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari.
2. Ba’i ut ta’ijri (hire purchase) adalah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan
penjualan, dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga sebagian dari padanya merupakan pembelian
terhadap barang secara berangsur.
3. Musyarakah mutanasiqah (decreasing participation) adalah kombinasi antara
musyarakah dengan ijarah/per-kongsian dengan sewa.
Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank syariah dan/unit syariah dan pihak lain yang mewajibkan
15

Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan Peluang , Tantangan dan Ancaman.
Ekonisia, Yogyakarta, 2002, hlm 9.
16
M.Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakta Wakaf,
1997, hlm1.

Universitas Sumatera Utara

11

pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau ujrah tanpa imbalan bagi hasil.
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu
manfaat dengan imbalan jasa.17
Dalam Al-Quran sendiri setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan
perjanjian yaitu kata akad al-aqdu dan kata akad al-ahdu, Al-Quran memakai kata
pertama dalam perikatan atau perjanjian,18 sedangkan kata yang kedua dalam berarti
masa, pesan penyempurnaan dan janji atau perjanjian. Oleh karenanya kata akad
disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis sedangkan kata al-ahdu dapat
dikatakan dengan istilah perjanjian atau overenkomst yang diartikan sebagai suatu
pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau mengerjakan sesuatu.19
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan
baik ikatan yang Nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). Kamus almawrid, menterjemahkan al-aqdu sebagai contract and agreement atau kontrak dan
perjanjian.20
Secara terminologi fiqih, akad didefinisikan dengan pertalian ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak

17

Habib Nazir & Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan S yari’ah, Kaki Langit,
Bandung, 2004, hlm, 246
18
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2001, hlm 247.
19
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media,
Yogyakarta, 2006, hlm 19.
20
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah,
Jurnal Ekonomi Islam, Vol.1. Juli 2009, Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub. al-Qamus alMuhit, jilid 1. Beirut : Djayl, hal.327.

Universitas Sumatera Utara

12

syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan yang sesuai dengan kehendak syariat
adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak
dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak. misalnya kesepakatan untuk
melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.
Sedangkan pencantuman kalimat berpengaruh pada obyek perikatan maksudnya
adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari suatu pihak (yang melakukan ijab)
kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).21
Secara harfiah ijarah berarti memberikan sesuatu dengan sewa, dan secara
teknis bank memberikan ongkos sewa yang berdasarkan perjanjian, sebagai penyewa
yaitu dengan membayar uang sewa tertentu untuk jangka waktu tertentu,
transaksi terhadap suatu manfaat yang bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu.
Ijarah disimpulkan untuk manfaat atau jasa bukan materi/benda, ijarah dapat
berupa manfaat/nilai akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atau barang ataupun
jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka
disebut sebagai sewa-menyewa, sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan
manfaat tenaga kerja, maka disebut dengan upah. Sedangkan ju’alah adalah akad
ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja objek yang disewa/diupah.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasianal al-ijarah adalah akad pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui

21

M. Hasballah Thaib, , Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank
Sistem Syari’ah, PPS, USU, Medan, 2005, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

13

pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri.22 Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan,
tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Salah satu produk akad pembiayaan di Perbankan Syariah adalah ijarah
(sewa, upah atau jasa) pembiayaan ijarah terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional No:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah terdapat dalam
Rukun dan Syarat Ijarah :23
a.

Sighat ijarah, yaitu ijab dan Kabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.

b.

Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa,
dan penyewa/pengguna jasa.

c.

Obyek akad ijarah, yaitu:
1. Manfaat barang dan sewa; atau
2. Manfaat jasa dan upah.
Bahwa adanya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu

barang atau jasa sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah yaitu akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.

22

Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah. yogyakarta: UPP Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN 2005, hlm, 147
23
Nurul Huda dan Mohamad Heykal , Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta, Kencana, 2010, hlm 81

Universitas Sumatera Utara

14

Adanya manfaat dalam pembiayaan ijarah tersebut maka dibenarkan oleh
syariah/tidak diharamkan yang dapat dinilai/diperhitungkan, dan manfaatnya dapat di
berikan kepada penyewa. Objek manfaatnya adalah dari penggunaan atas barang dan
atau/jasa yang diberikan oleh bank syariah sehingga manfaat tersebut harus bisa
dinilai dan dilaksanakan dalam kontrak.
Aplikasi ijarah yang berhubungan dengan pembiayaan antara lain terdapat
dalam pengurusan haji bagi nasabah yang terdapat pada Lembaga Keuangan Syariah
yang memperoleh imbalan jasa (ujrah) yaitu dengan pembiayaan ijarah diterapkan
sesuai ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No : 9/DSN-MUI/VI/2002 dengan
menggunakan prinsip al-ijarah mengenai pembiayaan pengurusan haji dan
pembiayaan umrah sesuai ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional No : 44/DSNMUI/VII/2004 tentang pembiayaan multijasa 24
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengetahui
sampai sejauh mana tinjauan yuridis atas pelaksanaan akad ijarah pada bank syariah
maka penulis menyusun penelitian tesis ini dengan judul: “Tinjauan Yuridis
Terhadap Akad Ijarah” (Studi Pengurusan Haji dan Umrah di Bank Syariah
Mandiri Cabang Medan)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam tesis ini adalah :

24

Wawancara dengan T.Abdullah Sani, Account Officer di Bank Syariah Mandiri Cabang
Medan, 26 Januari 2011.

Universitas Sumatera Utara

15

1.

Bagaimana ketentuan akad ijarah berdasarkan hukum Islam dibandingkan yang
ada di Bank Syariah Mandiri cabang Medan?

2.

Bagaimana pelaksanaan akad ijarah tentang pengurusan haji dan umrah di Bank
Syariah Mandiri cabang Medan ?

3.

Apa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembiayaan akad ijarah tentang
pengurusan haji dan umrah di Bank Syariah Mandiri cabang Medan ?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan
tujuan dari penelitian ini adalah :
1.

Untuk mengetahui ketentuan akad ijarah berdasarkan hukum Islam dibandingkan
yang ada di Bank Syariah Mandiri cabang Medan.

2.

Untuk mengetahui pelaksanaan akad ijarah tentang pengurusan haji dan umrah
di Bank Syariah Mandiri cabang Medan.

3.

Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembiayaan akad
ijarah tentang pengurusan haji dan umrah di Bank Syariah Mandiri cabang
Medan.

D. Manfaat Penelitian
a.

Secara teoritis
Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi manfaat untuk

perkembangan ilmu hukum dan dapat menambah pengetahuan dalam hal “Tinjauan

Universitas Sumatera Utara

16

Yuridis terhadap Akad Ijarah” (Studi pengurusan haji dan umrah pada Bank Syariah
Mandiri Cabang Medan).
b.

Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat

hukum dan masyarakat serta mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan bagi para pihak, dapat memberi masukan bagi profesi Notaris, akademisi,
pengacara dan mahasiswa..
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan,

ditemukan

beberapa penelitian yang menyangkut produk bank syariah antara lain:
1. Judul Penelitian “perjanjian pembiayaan murabahah pada bank dengan
prinsip-prinsip syariah Islam” oleh Rifki Suryadi, yang pembahasannya
mengenai jaminan dalam pembiayaan murabahah dan penyelesaian terhadap
pembiayaan macet yang diikat dengan perjanjian murabahah
2. Judul Penelitian “Penerapan akad al-qardh dalam produk pembiayaan
perbankan syariah (suatu penelitian pada bank BPD Aceh Syariah di Banda
Aceh)” oleh Oti Pertiwi, yang pembahasannya mengenai Bank BPD Aceh
Syariah menerapkan akad al-qardh, pelaksanaan pengikatan jaminan, dan
kendala yang dihadapi pihak bank dan nasabah.

Universitas Sumatera Utara

17

3. Judul Penelitian “Pelaksanaan pemberi pembiayaan mudharabah kepada
koperasi (study pada PT. Bank Muamalat cabang medan)” yang membahas
tentang tata cara pemberian pembiayaan mudharabah kepada koperasi,
hambatan yang dihadapi dan penyelesaian sengketa terjadi wanprestasi.
4. Judul Penelitian “Tinjauan yuridis terhadap dana talangan haji berdasarkan
Hukum Islam (Studi Kasus di Bank Sumut Syariah cabang Medan)” oleh Fitri
Andriani pembahasannya mengenai konsep pengelolaan dana talangan haji di
Bank Sumut Syariah, bentuk pengawasan terhadap dana talangan haji di Bank
Sumut Syariah cabang Medan, pendapat para ulama tentang pembiayaan
talangan haji yang ada di bank-bank syariah di kota Medan.
Dari keempat penelitian diatas sejauh yang diketahui tidak ada kesamaan
dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian tentang “Tinjauan Yuridis
Terhadap Akad Ijarah” (Studi Pengurusan Haji dan Umrah Pada Bank Syariah
Mandiri Cabang Medan) belum pernah dilakukan. Oleh karena itu judul tesis ini
dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan seperti
diuraikan diatas. Hal ini juga menambah keyakinan bahwa penelitian ini akan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara

18

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi25 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya26. Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis27. Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk
bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi hasil-hasil

penelitian dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa maksud kerangka teori
adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita
sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang
bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk proses penyusunan
maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul.
Kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu kerangka
teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum, kalau tidak ada acuan
hukumnya, maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang

25

J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, FE UI, Jakarta,
1996, hlm. 203.
26
Ibid, hlm. 16.
27
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara

19

relevan bagi ilmu hukum.28 Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial.29
Oleh karena itu, hukum tidak bersifat statis melainkan hukum bersifat dinamis sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Hukum adalah ketentuan yang lahir dari dalam
dan karena pergaulan hidup manusia, seperti juga lahir dan berkembangnya
pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Syariah yang terdapat dalam Undang-Undang
Perbankan Syariah.
Lahirnya peraturan hukum positif menunjukkan bahwa hukum akan selalu
berkembang dan akan sebagai sarana pendukung perubahan dalam masyarakat.
Menurut John Austin dalam Lectures on Jurisprudence, sebagaimana dikutip oleh
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, bahwa:
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari
pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari
mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap,
dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas
dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian
baik-buruk. 30
Hukum positif merupakan aliran yang berpandangan bahwa studi tentang
hukum yang benar-benar terdapat dalam sistem hukum dan bukan hukum yang
seyogianya ada dalam norma-norma moral. Jhon Austin, eksponen terbaik dari aliran
ini, mendefinisikan hukum sebagai perintah dari otoritas yang berdaulat di dalam
masyarakat. Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan

28

Ibid, hlm 127.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, 1984, hlm 99.
30
Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Pengantar filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,
29

hlm. 55.

Universitas Sumatera Utara

20

oleh otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orang-orang untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya ancaman
kejahatan, yang akan dipaksakan berlakunya jika perintah itu tidak ditaati31. Dasardasar hukum positif inilah yang dijadikan bagi pihak bank Islam di Indonesia dalam
mengembangkan produk-produk dan operasionalnya. Berdasarkan hukum positif
tersebut, bank islam di Indonesia yang memiliki keleluasaan dalam mengembangkan
produk dan aktivitas operasionalnya.
Jadi kerangka teori yang dijadikan sebagai fisio analisis dalam penelitian
akad ijarah ( sewa, upah atau jasa) ini adalah teori Al-ta’awun adalah prinsip yang
diberlakukan dalam akad ijarah yaitu prinsip untuk saling membantu dan bekerja
sama antara Bank syariah dengan masyarakat dalam suatu kebaikan yang berdasarkan
ta’awun atau tolong menolong. Kenyataan ini membuktikan, bahwa suatu pekerjaan
atau apa saja yang membutuhkan dengan pihak lain, pasti tidak akan dapat dilakukan
sendirian oleh seseorang, meskipun dia memiliki kemampuan dan pengetahuan
tentang hal itu.
Ada empat klasifikasi manusia di dalam tolong-menolong, yaitu:32
1. Al-mu’in wal Musta’in.
Orang yang memberi pertolongan dan juga minta tolong. Orang ini memiliki
sikap timbal balik dan inshaf (seimbang). Ia melaksanakan kewajibannya dan
ia juga mengambil apa yang menjadi haknya. Ia seperti orang yang berutang
31
32

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, hlm. 48
Administrator, 2 maret 2007, Ta’awun sebuah keharusan, www.Wahdah.or.id. diakses 23

maret 2012

Universitas Sumatera Utara

21

ketika sangat butuh, dan mengutangi orang lain ketika sedang dalam
kecukupan.
2. La Yu’in wa la Yasta’in.
Orang yang tidak mau menolong dan juga tidak minta tolong. Ia ibarat orang
yang hidup sendirian dan terasing, tidak mendapatkan kebaikan, namun juga
tidak mendapat kejelekan orang. Dia tidak dicela karena tidak pernah
mengganggu, namun tidak pernah mendapatkan kebaikan dan ucapan terima
kasih karena tidak melakukan sesuatu untuk orang lain. Namun posisinya
lebih dekat pada posisi tercela.
3. Yasta’in wa la Yu’in.
Orang yang maunya minta tolong saja, namun tidak pernah mau menolong. Ia
adalah orang yang paling tercela, terhina dan terendah. Ia sama sekali tidak
punya semangat berbuat baik dan tidak punya perasaan khawatir mengganggu
orang. Tidak ada kebaikan yang diharapkan dari orang bertipe ini, maka
cukuplah seseorang dianggap hina jika ketidakberadaannya membuat orang
lain lega dan merdeka. Ia tidak mendapatkan loyalitas di masyarakat, ia
bahkan sering menjadi penyakit yang membuat orang terganggu.
4. Yu’in wa la Yasta’in
Orang yang selalu menolong orang lain, namun dia tidak meminta balasan
pertolongan mereka. Ini merupakan orang yang paling mulia dan berhak
mendapatkan pujian. Dia telah melakukan dua kebaikan dalam hal ini, yaitu
memberi pertolongan dan menahan diri dari mengganggu orang, tidak pernah

Universitas Sumatera Utara

22

merasa berat di dalam memberi bantuan dan tidak pernah mau berpangku
tangan ketika ada orang lain butuh pertolongan.
Dalam teori ta’awun banyak sekali manfaat yang dapat diambil

dengan

tolong-menolong maka pekerjaan akan dapat terselesaikan dengan lebih sempurna.
Sehingga jika di satu sisi ada kekurangan, maka yang lain dapat menutupinya.
Dengan tolong-menolong, maka telah terealisasi salah satu pokok ajaran Islam,
dengan saling menolong dan kerja sama, maka akan memperlancar pelaksanaan
perintah Allah, membantu terlaksananya amar ma’ruf dan nahi munkar dengan saling
merangkul dan bergandeng tangan akan menguatkan antara satu dengan yang lain,
sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alahi wasallam.
Ta’awun melahirkan cinta dan belas kasih antara orang yang saling menolong
dan menepis berbagai macam fitnah. Ta’awun mempercepat tercapainya target
pekerjaan, dengannya pula waktu dapat dihemat. Sebab waktu amat berharga bagi
kehidupan seorang muslim.
Ta’awun akan memudahkan pekerjaan, memperbanyak orang yang berbuat
baik, menampakkan persatuan dan saling membantu. Jika dibiasakan, maka itu akan
menjadi modal kehidupan sebuah umat.
Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu adalah
keharusan dalam hidup manusia. Allah SWT telah berfirman, dalam Al- Quran surat
al-maidah ayat 2 yang terjemahannya:
“Tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

Universitas Sumatera Utara

23

Dalam hadits Rasullah bersabda : 33
“Allah akan senantiasa menolong hambanya sepanjang ia menolong
saudaranya, perumpamaan kaum muslim dalam kecintaan dan kasih sayang
mereka seperti jasad yang satu, jika salah satu tubuh anggota tubuh sakit,
seluruh anggota badan ikut merasakan dan tidak bisa tidur”
Ayat ini memberikan pengertian dengan saling tolong menolong dan bekerja
sama untuk saling membantu dalam berbuat kebajikan dan takwa sehingga
berdasarkan dengan tolong menolong tersebut adanya saling mengenal dan
menasehati satu sama lain.
Konsep ta’awun bisa diartikan dengan bertemunya individu yang memiliki
kemampuan dan keahlian yang berbeda, untuk bekerja sama saling membahu
mencapai tujuan yang ingin diwujudkan bersama. Sebuah sistem ekonomi yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, sistem sosial yang dibentuk untuk
menyebarkan ilmu diantara orang yang bergabung, dan masyarakat pada umumnya,
saling mempersaudarakan satu sama lainnya dan berkorban demi kepentingan
bersama. (al ta’awuniyyah fi al Islam, Murad Muhammad Ali). Ta’awun merupakan
konsep dasar yang dijadikan asas untuk mengaplikasikan teori Islam atas harta,
dengan tanpa adanya ta’awun, maka teori tersebut tidak dapat diwujudkan, dan tanpa
adanya pemahaman yang benar tentang makna ta’awun dan keimanan yang
mendalam, maka kehidupan masyarakat Islam tidak akan pernah terbangun, dan
konsep ekonominya hanya sebatas retorika.34

33

Abdul Sami Al Mishri, Pilar-pilar ekonomi islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,

34

Ibid hlm 239

hlm.238

Universitas Sumatera Utara

24

Bila dikaitkan dengan pemberian pembiayaan oleh Bank Syariah kepada
penerima pembiayaan merupakan salah satu kebijakan perbankan syariah sebagai
konsekuensi semakin tinggi berkembangnya lembaga perbankan syariah di Indonesia.
Dengan demikian, dapat dipahami Bank Syariah adalah suatu lembaga
keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana
dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya
sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, Bank Syariah biasa disebut Islamic banking
atau Interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan
operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba). Spekulasi (maisir), dan
ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar).35 Dari segi asset. Bank Syariah adalah
segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai dengan prinsip atau
standar syariah.
2.

Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang

akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian konsepsi atau defenisi
operasional sebagai berikut :
1. Tinjauan yuridis

35

Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika Jakarta 2008, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

25

Tinjauan yuridis adalah suatu pendekatan yang dilakukan atau digunakan
untuk menjadi acuan dalam memahami permasalahan berdasarkan aspek
hukum yang berlaku yaitu dari sisi pendekatan normatif digunakan untuk
menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
syariah yang mempunyai korelasi dengan permasalahan.
2. Akad
Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masingmasing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
3. Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang/jasa itu sendiri.
4. Produk pembiayaan
Produk pembiayaan adalah produk penyaluran dana yang disalurkan melalui
perbankan syariah.
5. Perbankan syariah
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara
dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
6. Pengurusan Haji

Universitas Sumatera Utara

26

Pengurusan Haji adalah Pengurusan Haji bagi Nasabah yang terdapat pada
Lembaga Keuangan Syariah yang memperoleh imbalan jasa (ujrah) yaitu
dengan diterapkan sesuai ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:29/DSN-MUI/VI/2002 dengan menggunakan prinsip al-ijarah.
7. Umrah
Umrah adalah berjiarah ke Baitullah Al-Haram dan melakukan tawaf di
sekeliling ka’bah sebanyak tujuh putaran dan melakukan sa,i antara shafa dan
marwah dengan niat umroh dan ihramnya.
8. Bank Syariah
Bank Syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai
perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan
dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam.
Selain itu, Bank Syariah biasa disebut Islamic banking atau Interest fee
banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak
menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakpastian atau
ketidakjelasan (gharar).
9. Bank Syariah Mandiri
Bank Syariah Mandiri adalah lembaga perbankan di Indonesia. Bank ini
berdiri pada tahun 1973 dengan nama Bank Susila Bakti dan tahun 1999, bank
ini terpengaruhi krisis moneter. Saat itu pula, Bank Dagang Negara, Bank
Pembangunan Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank Ekspor Impor
Indonesia merger membentuk Bank Mandiri. Bank ini diambil alih oleh Bank

Universitas Sumatera Utara

27

Mandiri menjadi Bank Syariah Sakinah Mandiri, sejak tanggal 8 September
1999 berubah menjadi Bank Syariah Mandiri. Resmi menjadi Bank Syariah
tanggal 1 November 1999. Pada tahun 2002 mendapat status Bank Devisa.
G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian

deskriptif analitis yang diarahkan untuk mengetahui secara lebih mendalam serta
menganalisa pelaksanaan akad ijarah pada Bank Syariah Mandiri.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yang di
lengkapi dengan yuridis empiris guna melihat penerapan ketentuan yang diteliti di
lapangan.
Sedangkan Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditunjukan atau
dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek
normatif. Dalam penelitian ini juga digunakan yuridis empiris yaitu merupakan cara
prosedur yang di pergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti
data sekunder terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian
terhadap data primer di lapangan.36

36

Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10

Universitas Sumatera Utara

28

Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku suatu
aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan pemikiran
masyarakat.
2.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Medan, tepatnya/khususnya di Bank Syariah

Mandiri cabang Medan. Karena kota Medan adalah termasuk salah satu kota besar di
Indonesia, ibukota Sumatera Utara ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat
perekonomian, sehingga pembangunannya berkembang cukup pesat, termasuk juga di
bidang perekonomian terhadap pembiayaan akad ijarah mengenai pengurusan haji
dan umrah.
3.

Sumber Data
Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan

berasal dari data primer, yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen
terhadap bahan kepustakaan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.37 Adapun yang menjadi data sekunder dalam
penelitian ini adalah :
a) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar,
dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang terdiri dari :
1) Al-Quran, Hadits.

37

Burhan Bungin, “Metodologi Penelitian Sosial, Format -Format Kuantitatif dan Kualitatif,
Airlanggga University Press, Surabaya, 2001, hlm 101-102

Universitas Sumatera Utara

29

2) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perbankan Syariah
yaitu Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008.
3) Fatwa Majelis Ulama Indonesia No:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan ijarah.
4) Fatwa Majelis Ulama Indonesia No:29/DSN-MUI/VI/2002 tentang
pembiayaan pengurusan haji lembaga keuangan syariah.
5) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 44/DSN-MUI/VII/2004 tentang
pembiayaan multijasa untuk pembiayaan umrah.
6) Akad ijarah mengenai pengurusan haji dan umrah di Bank Syariah
Mandiri cabang Medan.
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang berupa buku buku perbankan syariah yang
ada kaitannya dengan akad ijarah seperti hasil-hasil penelitian, laporanlaporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang
relevan dengan penelitian ini.
c) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga
penjelasan terhadap yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
kamus fiqh, majalah, surat kabar, internet, dan jurnal ilmiah, seperti bahanbahan hukum primer, sekunder, dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum,

Universitas Sumatera Utara

30

misalnya yang berasal dari bidang teknologi dan informasi dan ilmu
pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai
data penunjang dari penelitian ini.
4.

Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa

yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai, untuk mendapatkan hasil penelitian
yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan
hasilnya. Maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data.
Alat pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu dengan
memakai penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh data primer,
yaitu pengumpulan data primer baik berupa peraturan perundang-undangan yang
berlaku, buku-buku, hasil penelitian dan dokumen lain yang

ada berhubungan

dengan akad ijarah, agar penelitian mendapatkan deskripsi yang jelas maka dilakukan
wawancara kepada informan yaitu staf pegawai bank syariah mandiri cabang Medan
satu orang dan nasabah bank syariah mandiri cabang Medan tiga orang dengan cara
dilakukan wawancara terbuka artinya wawancara yang subyeknya mengetahui bahwa
mereka sedang diwawancarai dan mengetahui maksud dan tujuan wawancara
tersebut.
5.

Analisis Data
Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul, kemudian dilakukan

pemeriksaan terhadap data baik melalui wawancara dan inventarisasi data tulis yang
ada. Kemudian data diolah dan disusun secara sistematis. Jika sifat data yang

Universitas Sumatera Utara

31

dikumpulkan hanya sedikit, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus, sehingga
tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasisfikasi, analisis yang dipakai adalah
kualitatif.38 Menguraikan data dalam bentuk kalimat yang baik dan benar, sehingga
mudah di baca dan diberi arti (diinterpretasikan) bila data itu kualitatif. Jadi analisis
data dalam penelitian ini dilakukan analisis secara kualitatif. Dengan demikian
kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menjawab rumusan permasalahan dan
menghasilkan kesimpulan permasalahan serta tujuan penelitian dapat terpenuhi.

38

Amirudin, et.al, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, RajaGrafindo Prasada, Jakarta,
2006 hlm 168

Universitas Sumatera Utara