Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)
ASPEK YURIDIS PEMBERIAN PEMBIAYAAN MODAL KERJA PADA PERBANKAN SYARIAH DENGAN MENGGUNAKAN AKAD
MUDHARABAH
(STUDI PADA BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN UTAMA) SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
AMANDA NANDATAMA 090200072
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
ASPEK YURIDIS PEMBERIAN PEMBIAYAAN MODAL KERJA PADA PERBANKAN SYARIAH DENGAN MENGGUNAKAN AKAD
MUDHARABAH
(STUDI PADA BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN UTAMA) SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
AMANDA NANDATAMA 090200072
Mengetahui:
Ketua Departemen Hukum Perdata
NIP. 196603034885081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum
NIP. 196603034885081001 NIP. 197501142002122002 Dr. Utary Maharany, SH, M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah “Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini.
(4)
6. Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Sinta Uli, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata Dagang
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Dr. Utary Maharany, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini.
9. Deni Amsari Purba, S.H., LL.M., selaku Dosen Penasehat Akademik.
10.Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah mencurahkan ilmunya dan membantu selama menjalani perkuliahan.
11.Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
12.Seluruh staf pegawai Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama yang
telah memberikan izin serta membantu dalam proses riset dalam penulisan skripsi ini.
13.Kedua orang tua tercinta secara istimewa yaitu ayahanda Ahmad Usman
(alm) dan ibunda Ir. Hj. Wijiarti Pujiati yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang besar dan juga memberikan dukungan moril dan materil yang tak ternilai.
14.Adik Penulis Anindya Hapsari dan Ahmad Hizrian yang telah banyak
membantu dan memberikan semangat kepada Penulis selama ini.
15.Kakanda Donny Irawan, S.H., Dearma Sinaga, S.H., Anggi P. Harahap,
S.H., Fajar Soefany, S.H., dan Ratu Jushabella, S.H., yang telah memberikan banyak bantuan dan masukan serta semangat kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
16.Sahabat-sahabat Penulis, Yolanda Regina Purba, Winda Imoyati Manik,
Sharin Alfi Putri, Lia Hartika, Sari Mariska Srg, Julia Agnetha Barus, Putri Indah Sari, dan Mauliana yang telah bersama-sama Penulis menjalani perkuliahan dari semester awal hingga akhir.
17.Teman-teman satu stambuk, Anggia Putri Rambe, Taufik Nuariansyah, Ar
Rahman, Abdul Hadi Putra, Septia Maulid Srg, Sari Ramadhani Lubis, Dila Kristy Sitepu, M. Dipo Syahputra Lubis, Avry Khairunnisa Hrp, serta
(5)
kawan-kawan stambuk 2009 lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
18.Teman-teman seperjuangan di HMI, adinda-adinda Izma, Nurul, Martina,
Triana, Siti Fitrya, Tiesa, Mutiara, Dian, Hary, Yusuf, beserta seluruh Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam dan Korps HMI-Wati Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
19.Seluruh pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan namanya satu-persatu
yang telah membantu dan mendukung Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di negara Indonesia.
Medan, Oktober 2013 Hormat Saya
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Perumusan Masalah ... 7
C.Tujuan Penulisan ... 8
D.Manfaat Penulisan ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Metode Penulisan ... 10
G.Sistematika Penulisan ... 12
BAB II KREDIT PEMBIAYAAN DALAM PERBANKAN………… A.Tinjauan Umum tentang Kredit ... 15
B.Jenis Kredit Pembiayaan dalam Perbankan ... 23
C.Tujuan dan Fungsi Kredit Pembiayaan Perbankan ... 27
D.Berakhirnya Perjanjian Kredit Pembiayaan Perbankan……… 32
BAB III PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH ... A. Latar Belakang Lahirnya Perbankan Syariah di Indonesia……... 36
B. Bank Syariah dan Prinsip Bagi Hasil………. 40
C. Pembiayaan Pada Perbankan Syariah………... 55
(7)
2. Syarat-syarat Pembiayaan ……….... 58
3. Jenis-jenis Pembiayaan Pada Perbankan Syariah …………... 62
BAB IV PEMBIAYAAN MODAL KERJA DENGAN MENGGUNAKAN AKAD MUDHARABAH DI BANK SYARIAH MANDIRI ...
A. Pembiayaan Modal Kerja Dengan Akad Mudharabah Menurut
Peraturan Perundang-Undangan ……… 69
B. Mekanisme Pembiayaan Modal Kerja Dengan Akad Mudharabah pada
PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama………... 74
C. Hambatan dan Cara Penanggulangan dalam Pelaksanaan Pembiayaan
Modal Kerja dengan Akad Mudharabah…………... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...
A. Kesimpulan………... 86
B. Saran……… 88
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(8)
ABSTRAK
Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum. *) Dr. Utary Maharany, S.H., M.Hum. **)
Amanda Nandatama ***)
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan, yaitu ulama, akademisi, dan praktisi untuk mengembangkan sistem perbankan tersebut. Salah satu kegiatan usaha perbankan syariah yang terpenting adalah proses pembiayaan dengan sistem bagi hasil atau pembiayaan dengan akad mudharabah, yang salah satu jenisnya adalah pembiayaan modal kerja. Pembiayaan modal kerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja yang biasanya habis dalam satu siklus usaha.
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non Islami dan Islam adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah, sehingga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.
Dalam pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah ini terdapat banyak kelemahan maupun hambatan, baik dari faktor internal (bank) maupun eksternal (debitur). Landasan hukum mengenai perbankan syariah dinilai sudah cukup mengakomodir, namun pelaksanaannya dilapangan masih kurang. Selain itu mekanisme pembiayaan modal kerja dengan menggunakan akad mudharabah khususnya di Bank Syariah Mandiri perlu dan layak untuk diketahui.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif. Yaitu sebuah prosedur metode penelitian ilmiah yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yang juga disandarkan pada logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Alat pengumpulan data yang digunakan
yaitu melalui studi pustaka (library research) dengan mengumpulkan
sumber atau bahan-bahan antara lain dari buku-buku, artikel maupun
sumber-sumber lain yang mendukung, serta melalui penelitian lapangan (field research)
dengan tinjauan langsung di PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta fungsi pengawasan oleh Dewan Syariah Nasional, diharapkan sistem perbankan syariah di Indonesia akan semakin baik lagi.
Kata Kunci : Bank Syariah, Pembiayaan, Akad Mudharabah *) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
(9)
ABSTRACT
Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum. *) Dr. Utary Maharany, S.H., M.Hum. **)
Amanda Nandatama ***)
The development of Islamic banking in Indonesia is currently undergoing a very rapid progression, this state is characterized by high spirits from various circles, namely the clerics, academics, and practitioners to develop the banking system. One of the most important Islamic banking business is the process of the financing systems with the profit sharing contract or financing with mudharabah contract, one of its kind is working capital financing. Working capital financing is used to meet the needs of working capital which is usually exhausted within one business cycle.
The fundamental thing that distinguishes between non-Islamic financial institutions and Islam is located on returns and profit sharing provided by customer to financial institutions and/or provided by financial institutions to the customer, so that there is interest and term for the results.
In the implementation of the working capital financing with mudharabah contract is the many shortcomings and barriers, both internal factors (the bank) and external (customers). Legal basis of Shariah banking votes is enough accommodate, but its implementation is still lacking in field. In addition to working capital financing mechanisms by using mudharabah contract specifically in Syariah Mandiri Bank need and deserve to know.
Research methods used in the writing of this is juridical normative research. That was a procedure of scientific research method based on primary and secondary legal materials that also rely on scientific logic of the law of the normative. Data collection tools used through library research by gathering sources or materials among other things from books, articles or other sources that support, as well as through field research with direct views of PT. Bank Syariah Mandiri branches of the Medan Utama.
With the birth of Act No. 21 of 2008 about Islamic banking and functions of oversight by the National Council of Sharia, the Islamic banking system expected in Indonesia will be getting better again.
Keywords: Islamic Banking, Financing, Mudharabah Contract *) Lecturer Supervisor I
**) Lecturer Supervisor II
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Di dalam perkembangannya, banyak pemikir-pemikir Islam yang mempunyai gagasan untuk menciptakan suatu lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat Islam untuk terbentuknya sistem ekonomi Islami. Salah satunya adalah adalah dengan mendirikan bank-bank Islam. Sampai saat ini, lembaga perbankan dan lembaga keuangan islam lainya telah menyebar
ke 75 negara termasuk ke negara barat.1
Sebenarnya aksi maupun pemikiran tentang ekonomi berdasarkan Islam memiliki sejarah yang amat panjang. Pada sekitar tahun 1911 telah berdiri organisasi Syarikat Dagang Islam yang beranggotakan tokoh-tokoh atau intelektual muslim saat itu, serta ekonomi Islam ini sesuai dengan pedoman
seluruh umat Islam di dunia yaitu di dalam Al-Qur’an2
Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional, muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur,
.
Dari golongan-golongan pemikir tersebut, ada yang berpendapat bahwa bunga uang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bank, sementara golongan lain menginginkan agar bunga dihindarkan dari bank.
1
Blog komunitas perbankan, Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia,
http://banking.blog.gunadarma.ac.id/2010/03/31/perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia-dan-dunia/ , di akses tanggal 3 April 2013
2
Vhara, Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia,
2013
(11)
Malaysia pada bulan April 1969, yang diikuti 19 negara peserta. Konferensi
tersebut menghasilkan beberapa hal, yaitu:3
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika
tidak ia termasuk dalam riba dan riba itu sedikit/banyak haram hukumnya;
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem
riba secepat mungkin.
3. Sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang
menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.
Kemudian tonggak sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB). Pendiriannya diawali dengan sidang menteri luar negeri negera-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970, di mana Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah internasional. Maka pada tahun 1975 berdirilah IDB yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Lembaga ini kemudian berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dana negara-negara Islam untuk pembangunan dan secara aktif memberi pinjaman bebas bunga
berdasarkan partisipasi modal negara tersebut.4
Di negara Indonesia sendiri perkembangan perbankan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan, yaitu ulama, akademisi, dan praktisi untuk mengembangkan perbankan tersebut. Dari sekitar pertengahan abad ke 20 bank syariah atau yang kita kenal dengan bank Islam sedang menjadi pilihan bagi pelaku bisnis perbankan sampai dengan pertengahan tahun 2001. Di Indonesia telah berdiri 10
3
Hendra Kholid, Bank Syariah, http://hendrakholid.net/blog/2010/04/06/bank-syariah-3/ , tgl akses 3 April 2013
4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm 54
(12)
bank syariah umum yaitu (BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII, BPD DKI, dan lainnya), dengan sekitar 106 kantor cabang,
ditambah lagi dengan 94 bank syariah.5
Sesungguhnya bank syariah memiliki core product pembiayan berupa
produk bagi hasil yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Meskipun jenis produk pembiayaan dengan akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna’) dan sewa (ijarah dan ijarah muntahia bittamlik) juga dapat dioperasionalkan, kenyataan bank syariah tingkat dunia maupun Indonesia, produk pembiayaannya masih didominasi oleh produk pembiayaan dengan akad jual beli. Sebagaimana dinyatakan oleh Karim, bahwa hampir semua bank syariah didunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah, sedangkan sistem bagi hasil sangat sedikit diterapkan, kecuali di dua negara yaitu Iran (48%) dan Sudan (62%). Disamping itu Warde menggambarkan bahwa perkembangan pembiayaan bagi hasil baru mencapai 15% per tahun. Pertumbuhan share keuangan perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2000 untuk pembiayaan mudharabah sebesar 14,33%, pembiayaan musyarakah sebesar
2,86%, sementara pembiayaan murabahah 72.21%.6
Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa ada beberapa keuntungan yang membuat orang lebih memilih menabung di bank syariah yaitu antara lain:
7
1. Keadilan dan kesamaan. Karakteristik utama dari model Islam adalah
didasarkan prinsip pembagian keuntungan dimana adanya pembagian resiko antara bank dengan konsumen atau nasabah. Sistem keuangan
5
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 1
6
Ibid hlm 1-2
7
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 40
(13)
ini memberikan kontribusi untuk pemerataan pendapatan dan kekayaan.
2. Liquidity. Mengikuti prinsip pembagian keuntungan dan kerugian, dibutuhkan jumlah mnimum sumber daya untuk menjaga agar tetap liquid. Oleh karena itu dibutuhkan jumlah minimum untuk menjaga likuiditas yang tinggi.
3. Better customer relations. Pembiayaan dan penyimpanan diatur berdassarkan pembagian keuntungan dan kerugian. Bank harus tahu bagaimana mengelola dana yang ada agar digunakan untuk tujuan produktif dan menguntungkan investor sehingga mengembangkan relasi yang baik antar bank dan konsumen. Hal ini juga sangat mendorong aktivitas ekonomi yang produktif dan keadilan sosial ekonomi.
4. No fixed obligations. bank syariah tidak memiliki tanggung jawab yang tetap seperti pembayaran bunga kepada nasabah. Oleh karena itu, bank bisa mengalokasikan sumber daya untuk aktivitas yang menguntungkan.
5. Transparency. Transparan kepada pemilik tabungan terhadap investasi-investasi yang dilakukan dan bisa melihat keuntungan dari investasi tersebut. Keuntungan dibagi berdasakan presentase yang disetujui.
6. Ethical and moral dimensions. Dimensi etika dan moral dalam menjalankan bisnis dan memilih aktivitas bisnis yang akan dibiayai memegang peranan penting untuk membangun perilaku masyarakat yang suka berinvestasi.
7. Destabiliship speculations. Sebagian besar institusi non-Islam adalah masuk kedalam pasar keuangan yang memiliki tingkat spekulasi dalam transaksi yang dilakukan. Transaksi ini dengan ketidakstabilan dan hasil investasi yang sangat tinggi populasinya. Aktivitas tersebut bertentangan dengan bank syariah
8. Banking for all. Meskipun didasarkan pada prinsip syariah untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari kaum muslim tapi tidak hanya terbatas pada kaum muslim saja tetapi juga pada kaum non muslim.
Sistem ekonomi syariah di Indonesia menekankan kepada konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang lebih luas, bukan hanya pada manfaat disetiap akhir kegiatan melainkan pada setiap proses transaksi. Setiap kegiatan proses transaksi dimaksud harus selalu mengacu kepada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas-asas keadilan. Selain itu prinsip dimaksudkan menekankan bahwa para pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung tinggi etika dan norma hukum dalam
(14)
kegiatan ekonomi. Realisasi dari konsep syariah pada dasarnya sistem ekonomi
atau perbankan syariah memiliki tiga ciri mendasar yaitu:8
1. Prinsip keadilan
2. Menghindar kegiatan yang dilarang
3. Memperhatikan aspek kemanfaatan
Ketiga ciri sistem perbankan syariah yang demikian tidak hanya memfokuskan pada diri sendiri untuk menghindari praktek bunga tetapi juga kebutuhan untuk menerapkan semua prinsip syariah dalam sistem ekonomi secara seimbang. Oleh karena itu keseimbangan antara memaksimalkan keuntungan dan pemenuhan prinsip syariah menjadi hal mendasar bagi kegiatan operasional bank syariah. Hal inilah yang menunjukkan peran dan pentingnya adanya perbankan syariah sebagai lembaga keuangan dalam menjembatani para penabung dengan para investor. Tabungan dimaksud akan bermanfaat bila diinvestasikan oleh bank kepada pengusaha yang mebutuhkan dana. Sedangkan para penabung tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola dan/atau melakukan bisnis.
Para penabung mempercayai sektor perbankan untuk melaksanakan fungsi yang bermanfaat kepada warga masyarakat pada umumnya dan khususnya warga masyarakat Islam yang membutuhkan dana. Hal ini dimaksudkan sebagai contoh sistem perbankan syariah yang mengaplikasikan sistem mudharabah sebagai
berikut:9
1. Di dalam praktik perjanjian dilaksanakan dalam bentuk perjanjian
baku (standard contract). Hal ini bersifat membatasi atas kebebasan
berkontrak. Adanya pembatasan dimaksud berkaitan dengan
8
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 20
9
(15)
kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau setidak-tidaknya diawasi oleh pihak Dewan Pengawas Syariah Nasional.
2. Bentuk akad produk tabungan mudharabah di bank syariah dimaksud
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang disebut perjanjian bagi hasil.
3. Dalam perjanjian tertulis akad perjanjian tabungan mudharabah
disebutkan nisbah bagi hasil pemilik dana (shahibul mal) dan untuk
mengelola dana (mudharib). Nisbah bagi hasil ini berlaku sampai
berakhirnya perjanjian. Perjanjian ini mengikat dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan syarat-syarat ketentuan umum.
4. Pelaksanaan akad tabungan mudharabah terjadi apabila ada calon
nasabah yang akan menabung atau meminjam modal dari bank syariah. Dalam akad perjanjian tertulis tersebut sebelum ditanda tangani oleh calon nasabah, kreditor atau penabung terlebih dahulu mempelajari dan apabila calon nasabah menyetujui perjanjian dimaksud, maka calon nasabah menandatangani perjanjian.
5. Nasabah yang meminjam uang kemudian terlambat dalam membayar,
pihak bank tidak memberi denda tetapi memberi peringatan.
6. Sistem amanah (kepercayaan) seseorang memeperoleh kredit karena
pihak bank mempunyai kepercayaan kepada peminjam. Karena itu kredit tanpa kepercayaan tidak mungkin terjadi karena dikuatirkan dana yang diserahkan pihak bank disalahgunakan oleh pihak nasabah dan/ atau tidak bayar/ dikembalikan pada pihak bank pinjaman yang dimaksud.
Selain menggunakan sistem yang disebutkan di atas, pihak perbankan syariah berpedoman pada Undang-Undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Bahwa yang dimaksud dengan Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan
dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:10
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
10
(16)
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Adapun beberapa jenis aplikasi pembiayaan perbankan syariah adalah; pembiayaan modal kerja syariah, pembiayaan investasi syariah, pembiayaan konsumtif syariah, pembiayaan sindikasi, pembiayaan berdasarkan take over, dan
pembiayaan letter of credit (L/C).11
B. Perumusan Masalah
. Maka penulisan skripsi ini akan
membahasnya dengan judul : “Aspek Yuridis Pemberian Pembiayaan Modal
Kerja pada Perbankan Syariah dengan Menggunakan Akad Mudharabah (Studi pada Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama)”.
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil dengan kegiatan yang tidak mengenal suku bunga perlu dan menarik untuk diteliti. Oleh karena itu dapatlah dirumuskan permasalahan dalam penulisan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pembiayaan modal kerja dengan
akad mudharabah dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana mekanisme pembiayaan modal kerja dengan Akad
Mudharabah di Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama?
3. Apa saja hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan pembiayaan
modal kerja dengan akad mudharabah dan upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut?
11
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 231
(17)
C. Tujuan Penulisan
Disamping untuk melengkapi dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Sesuai dengan masalah yang dibahas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan pembiayaan modal kerja dengan akad
mudharabah dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui mekanisme dan penerapan pembiayaan modal
kerja dengan Akad Mudharabah di Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama.
3. Mengetahui hambatan-hambatan dalam pembiayaan modal kerja
dengan akad mudharabah dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.
D. Manfaat Penulisan
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis :
1. Secara teoritis, penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan kajian
ataupun masukan terhadap pemberian pembiayaan terutama pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah pada bank syariah dan menambah ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai pembiayaan perbankan.
(18)
2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pembuat undang-undang dan pejabat yang berwenang dalam membuat isi perjanjian ataupun sumbangan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, memberi manfaat bagi dunia perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya. Selain itu diharapkan agar tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penulisan
Penulis telah menelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Perdata, akan tetapi penulis tidak menemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang penulis angkat yaitu tentang “ASPEK YURIDIS PEMBERIAN PEMBIAYAAN MODAL KERJA PADA PERBANKAN SYARIAH DENGAN MENGGUNAKAN AKAD MUDHARABAH (STUDI PADA BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN UTAMA)”. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan buah karya asli penulis yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa skripsi yang penulis susun ini merupakan karya asli penulis dan tidak meniru dari kepunyaan orang lain. Penulis berani bertanggung jawab apabila ditemukan adanya kesamaan judul
(19)
dan permasalahan skripsi penulis dengan skripsi yang sebelumnya yang terdapat di perpustakaan Departemen Hukum Perdata.
F. Metode Penulisan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis, Sifat, dan Pendekatan Penelitian
Penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain itu juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kantor Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama. Alasan pemilihan lokasi penelitian di kantor Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama adalah berkenaan dengan Bank Syariah Mandiri sebagai Bank Syariah terbesar di Indonesia, dan keberadaan kota Medan yang termasuk kota dengan tingkat perkembangan ekonomi yang pesat, dimana kebutuhan masyarakatnya akan pembiayaan, khususnya pembiayaan modal kerja secara mudharabah sangat tinggi. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang menghasilkan gambaran pelaksanaan pembiayaan mudharabah oleh Bank Syariah Mandiri.
(20)
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan kegiatan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, catatan kuliah, tulisan-tulisan, dan referensi lainnya yang ada kaitannya langsung dengan skripsi ini, serta Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber dalam hukum Islam yang digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian, yang disebut sebagai data sekunder.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Yaitu penelitian yang didasarkan pada tinjauan langsung pada objek yang akan diteliti untuk mempermudah data-data primer, melalui riset dengan melakukan pendekatan-pendekatan langsung seperti :
1) wawancara, yaitu melakukan komunikasi langsung baik
dengan pertanyaan yang bersifat terbuka atau bersifat tertutup kepada pegawai di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Medan Utama, dalam pengumpulan informasi, yang berkaitan dengan pelaksanaan pembiayaan modal kerja mudharabah oleh Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Medan Utama.
(21)
2) pengamatan, yaitu dengan mengadakan pengamatan secara langsung dalam objek penelitian yaitu proses pembiayaan pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama..
4. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi pustaka, pengamatan, dan wawancara dikumpulkan, diatur urutannya, lalu diorganisir dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Data yang diperoleh akan dikualitatifkan karena keseluruhan data ini akan dianalisis secara kualitatif induktif yang akan diuraikan secara deskriptif analitis, yaitu pendapat narasumber serta perlakuannya diteliti dan dipelajari secara menyeluruh (komprehensif). Berdasarkan pemikiran tersebut, metode kualitatif bertujuan untuk menginterpretasikan secara kualitatif tentang pendapat atau tanggapan responden dan narasumber, kemudian mendeskripsikannya secara lengkap dan mendetail aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis untuk mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
(22)
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya memuat mengenai gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Uraian tentang Kredit Pembiayaan dalam Perbankan
Didalam bab ini diuraikan mengenai kredit pembiayaan secara keseluruhan. Diawali dengan membahas tentang pengertian kredit pembiayaan secara umum dan menurut hukum Islam. Bentuk kredit pembiayaan dalam perbankan. Tujuan dan fungsi kredit pembiayaan perbankan. Dan berakhirnya kredit pembiayaan perbankan.
BAB III : Pembiayaan Pada Perbankan Syariah
Dalam bab ini dibahas mengenai pembiayaan itu sendiri yaitu latar belakang lahirnya perbankan syariah di Indonesia, lalu uraian tentang bank syariah dan prinsip bagi hasil. Kemudian membahas tentang pembiayaan pada perbankan syariah, meliputi pengertian pembiayaan, jenis pembiayaan pada perbankan syariah serta syarat pembiayaan.
BAB IV : Pembiayaan Modal Kerja dengan Menggunakan Akad Mudharabah di Bank Syariah Mandiri
(23)
Dalam bab ini terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah menurut peraturan perundang-undangan. Lalu penjelasan mengenai mekanisme pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama. Dilanjutkan dengan menguraikan hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah serta usaha-usaha untuk mengatasi hambatan yang ada.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berhasil guna berdaya guna.
(24)
BAB II
KREDIT PEMBIAYAAN DALAM PERBANKAN
A. Tinjauan Umum Tentang Kredit
Istilah kredit maupun pembiayaan sudah bukan kata yang asing lagi bagi masyarakat awam pada umumnya. Karena sebagian besar orang sudah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan saat ini jarang sekali orang melakukan tindakan pembelian secara tunai apabila harga dari kebutuhan itu terbilang mahal. Seorang ibu rumah tangga menggunakan kredit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seorang pegawai melakukan atau memperoleh kredit untuk membeli kendaraan bermotor dan sebagainya. Sebagian besar orang menganggap kata kredit sebagai suatu sarana untuk memperoleh barang kebutuhan dengan cara menyicil atau mengangsur, tidak secara tunai. Mempunyai suatu ketetapan harga angsuran dan jangka waktu pembayaran. Pengertian tersebut tidaklah salah.
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang
berarti kepercayaan.12
12
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 57
Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditor (yang memberi kredit, lazimnya bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitor (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitor dalam waktu dekat dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan.
(25)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau
pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.13
Dalam perjanjian ini, pihak yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum jangka waktu yang diperjanjikan terakhir.
Makna kredit yang di pahami tersebut sesungguhnya sangat bermuatan hukum. Masalah kredit ini dikenal sebagai perjanjian pinjam pengganti yang diatur dalam buku ketiga bab ketiga belas tentang pinjam-meminjam. Dalam pasal 1754 KUH Perdata, disebutkan pengertian dari pinjam-meminjam yaitu :
Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
14
Selanjutnya pula si peminjam berkewajiban membayar bunga, karena undang-undang memperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang
atau lain barang yang menghabis karena pemakaian.15
Dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang tentang Perbankan) dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
13
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, M2S Bandung, Bandung, 2000, hlm. 285
14
Pasal 1759 KUH Perdata
15
(26)
Berdasarkan pengertian diatas menunjukkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwasanya dalam perbankan syariah sistem bunga bank dihindari untuk menjauhkan dari riba yang hukumnya jelas-jelas haram. Karena itu perbankan syariah menyebut kredit dengan istilah pembiayaan. Pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Bisnis adalah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui
proses penyerahan jasa, perdagangan, atau pengolahan barang (produksi)16
Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
. Jika pelaku tidak memiliki modal secara cukup, maka ia akan berhubungan dengan pihak lain, seperti bank, untuk mendapat suntikan dana, dengan melakukan pembiayaan.
17
16
Veithzal Rivai, Op.Cit, hlm. 681
17
Ibid
Istilah kredit disebutkan pada pasal 1 angka 11 dan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah disebutkan pada pasal 1 angka 12 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu:
(27)
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu.
Dari rumusan kedua istilah kredit tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontra-prestasi yang akan diberikan nasabah peminjam dana (debitor) kepada bank (kreditor) atas pemberian kredit atau pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontra prestasinya berupa bunga, sedangkan bank syariah kontra prestasinya dapat berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama.
Baik kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sama-sama menyediakan uang atau tagihan atas dasar persetujuan atau kesepakatan bersama antara pihak bank dan pihak lain dengan kewajiban pihak peminjam atau pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya atau mengembalikannya beserta bunga,
imbalan, atau bagi hasil dalam tenggang waktu yang telah disepakati bersama.18
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kreditor yaitu:
19
1. Kepercayaan; yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi
yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu;
2. Waktu; adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dan
pelunasannya; jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu
18
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm 237
19
(28)
disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan nasabah peminjam dana;
3. Prestasi; yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontra prestasi
pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian pemberian kredit antara bank dan nasabah peminjam dana berupa uang dan bunga atau imbalan;
4. Risiko; yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka
waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana, maka diadakanlah pengikatan jaminan dan agunan.
Dari pengertian-pengertian kredit yang telah disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu perjanjian kredit terdapat beberapa unsur, antara lain:
1. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur,
yang disebutkan sebagai perjanjian kredit.
2. Adanya para pihak yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan
pinjaman, seperti bank, dan pihak debitur yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman barang atau jasa
3. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur mau dan
mampu membayar dan mencicil kreditnya.
4. Adanya kesanggupan dan janji membayar utang dari pihak debitur.
5. Adanya pemberian sejumlah uang atau barang atau jasa oleh pihak
kreditur kepada pihak debitur
6. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang atau barang atau jasa oleh
pihak debitur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan atau bunga atau pembagian keuntungan
(29)
7. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur.
8. Adanya risiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu
tadi, semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula risiko tidak terlasananya pembayaran kembali suatu kredit
Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap pelbagai aspek. Berdasarkan penjelasan pasal 8 Undang-Undang Perbankan, yang mesti dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor, yang kemudian dikenal
dengan sebutan “the five C of credit analysis” atau prinsip 5 C’s.
Pada sasarannya konsep 5 C’s ini akan dapat memberikan informasi
mengenai itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to
pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.20
1. Penilaian watak (character)
Penilaian watak atau kepribadian calon debitor dimaksudkan untuk mngetahui kejujuran dan itikad baik calon debitor untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank dikemudian hari
20
(30)
2. Penilaian kemampuan (capacity)
Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitor dalam bidang usahanyadan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debitornya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
3. Penilaian terhadap modal (capital)
Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitor dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitor yang bersangkutan.
4. Penilaian terhadap agunan (collateral)
Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitor umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya.
5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitor (condition of
economy)
Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitor yang dibiayai bank dapat diketahui.
(31)
Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut asas “mengambil risiko sekecil mungkin”. Risiko yang dimaksud adalah risiko terhadap kemungkinan kredit itu tidak dapat dibayar kembali oleh debitornya. Risiko itu dapat dibatasi antara lain bila suatu bank tidak terlalu banyak memberikan kredit kepada nasabah tertentu saja atau kepada pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan bank tersebut. Untuk itu perlu adanya ketentuan
tentang penentuan batas maksimum pemberian kredit atau legal lending limit yang
harus dipatuhi oleh setiap bank. Batas maksimum pemberian kredit adalah batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan untuk dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam tertentu.
Berdasarkan Pasal 11 UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka ketentuan batas maksimum pemberian kredit dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Jenis batas maksimum 30%
Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang lebih rendah dari 30% dari modal bank, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang bersangkutan.
2. Jenis batas maksimum 10%
Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang lebih rendah dari 10%, tetapi tidak boleh melebihi 10% dari modal bank yang bersangkutan. Batas maksimum pemberian kredit ini ditujukan kepada:
a. Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal
(32)
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak pemegang saham, anggota dewan komisaris,
dan anggota direksi;
e. Pejabat bank lainnya; dan
f. Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan
dari pihak-pihak pemegang saham, anggota dewan komisaris, anggota direksi, keluarga pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi, dan pejabat bank lainnya.
Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan batas maksimum pemberian kredit apabila pada saat pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
B. Jenis Kredit Pembiayaan dalam Perbankan
Kredit dalam perbankan terdiri dari beberapa jenis. Banyaknya jenis kredit ini tergantung dari kriteria yang diberikan. Pada mulanya kredit berdasarkan kepercayaan murni, yaitu berbentuk kredit perorangan karena kedua belah pihak saling mengenal, seiring dengan berkembangnya waktu maka akhirnya berkembang pula unsur-unsur lain yang menjadi landasan suatu kredit, sehingga
selanjutnya berkembang pula jenis kredit yang ada seperti sekarang.21
21
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 234
(33)
Secara umum jenis-jenis kredit ini dapat dilihat dari :22
1. Penggolongan menurut jangka waktunya
Dari segi jangka waktunya terdapat tiga macam kredit yaitu :
a. Kredit jangka pendek, adalah kredit yang berjangka waktu paling
lama satu tahun.
b. Kredit jangka menengah, adalah kredit yang berjangka waktu
antara satu tahun sampai dengan tiga tahun.
c. Kredit jangka panjang, adalah kredit yang jangka waktunya lebih
dari tiga tahun.
2. Penggolongan menurut kegunaannya
Apabila dilihat dari segi kegunaannya maka kredit digolongkan menjadi :
a. Kredit investasi, kata investasi artinya adalah penanaman modal.
Dengan demikian kredit investasi adalah kredit yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan penanaman modal yang bersifat ekspansi, modernisasi, rehabilitasi perusahaan, dan tahan lama. Seperti tanah, mesin, dll. Karenanya pula kredit investasi ini sering disebut sebagai kredit bantuan proyek.
b. Kredit modal kerja, adalah kredit yang diberikan untuk
kepentingan kelancaran modal kerja nasabah. Jadi kredit ini sasarannya untuk membiayai biaya operasi usaha nasabah. Kredit tersebut dipergunakan untuk membiayai pembelian dan modal
22
(34)
lancar yang habis dalam pemakaian, seperti barang dagangan, bahan baku, dll.
c. Kredit profesi, kredit ini diberikan bank kepada nasabah
semata-mata untuk kepentingan profesinya. Sebenarnya kredit tersebut tidaklah berbeda dari kredit investasi, yang berbeda hanya terletak pada kedudukan atau status nasabah.
3. Penggolongan menurut pemakaiannya
Apabila kredit dilihat dari sudut pemakaiannya maka kredit dapat digolongkan dalam :
a. Kredit konsumtif, adalah kredit yang diberikan kepada nasabah
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seperti kredit yang diberikan untuk membeli alat-alat rumah tangga. Dengan kata lain jenis kredit konsumtif ini adalah kredit yang tidak memberikan tambahan hasil dari jenis produk atau barang yang dibeli dengan uang kredit tersebut.
b. Kredit produktif, merupakan kebalikan dari kredit konsumtif, sebab
pada kredit produktif, pembiayaan bank ditujukan untuk keperluan usaha nasabah agar produktifitas bertambah meningkat. Bentuk kredit produktif dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja, karena kedua kredit tersebut diberikan untuk meningkatkan produktifitas usahanya.
c. Kredit likuiditas, diberikan kepada debitur dengan tujuan untuk
(35)
kredit likuiditas Bank Indonesia yang diberikan kepada bank-bank yang memiliki likuiditas dibawah minimal tertentu.
4. Penggolongan berdasaran waktu pencairannya
Apabila suatu kredit dilihat dari sudut pandang waktu pencairannya, maka kredit jenis ini dapat dibagi atas :
a. Kredit tunai (cash credit). Adalah kredit yang pencairan dananya
dilakukan secara tunai, hal ini dapat dilakukan dengan cara memindah bukukan ke dalam rekening debitur.
b. Kredit tidak tunai (non cash credit). Adalah merupakan kredit yang
pembayarannya tidak dilakukan saat perjanjian selesai dibuat, akan tetapi pembayaran baru dilakukan oleh kreditur kepada debitur apabila debitur telah melakukan suatu pekerjaan tertentu. Yang termasuk ke dalam jenis kredit yang tidak tunai diantaranya :
1) Garansi bank atau Standby L/C, dalam hal ini bank akan
membayarkan jumlah tertentu kepada debitur apabila debitur telah melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya jika pada suatu saat pihak pemohon garansi tidak melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain. Dalam keadaan demikian, maka pihak bank-lah yang akan membayarnya.
2) Letter of credit, adalah merupakan jaminan kepada penjual atau pengirim barang dimana bank akan membayar sejumlah uang tertentu jika semua dokumen-dokumen tertentu telah dipenuhi oleh pihak penjual atau pengirim barang.
(36)
5. Penggolongan berdasarkan jaminan (collateral)23
a. Kredit dengan jaminan (secured loan)
b. Kredit dengan tanpa jaminan (unsecured loan)
Hal diatas merupakan beberapa jenis kredit perbankan yang pembagian jenis-jenis itu masih dapat dilakukan lagi berdasarkan cara bagaimana melihatnya yang kurang lebih sama, namun hanya sedikit berbeda tergantung cara melihatnya. Jenis-jenis kredit diatas adalah merupakan jenis kredit yang terdapat di bank umum. Ciri utamanya adalah sistem pembagian keuntungan berdasarkan
bunga (interest) dan terdapatnya sistem agunan sebagai jaminan atas kredit yang
diberikan bank selaku kreditur kepada debitur atau nasabah.
Sejalan dengan perkembangan perbankan di Indonesia, maka jenis kredit perbankan ini menjadi bertambah dengan diperkenalkannnya sistem perbankan berdasarkan prinsip syariah Islam dengan ciri utamanya pembagian keuntungan
berdasarkan bagi hasil (profit sharing).
C. Tujuan dan Fungsi Kredit Pembiayaan Perbankan
Tujuan dan fungsi kredit merupakan bagian penting dari kredit. Yaitu untuk apa kredit tersebut digunakan, dan apa fungsi dari pemberian kredit tersebut. Inti dari pemberian kredit adalah pemberian pinjaman kepada nasabah yang memerlukan pinjaman untuk kebutuhannya. Penyimpangan terhadap penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan saat aplikasi merupakan tindakan yang dilarang oleh perjanjian kredit.
23
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan (Edisi Ketiga), Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 166
(37)
Di negara kita Indonesia yang berfalsafah pancasila maka tujuan kredit tidak hanya semata-mata mencari keuntungan, melainkan disesuaikan dengan tujuan negara yaitu untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit harus dapat menujukkan prestasi yang lebih tinggi dari kemajuan usahanya itu sendiri, atau mendapatkan pemenuhan kebutuhannya.
Suatu kredit mencapai fungsinya, apabila secara sosial ekonomis, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh yang lebih baik. Bagi pihak debitur dan kreditur, mereka memperoleh keuntungan, juga mengalami peningkatan kesejahteraan, sedangkan bagi negara mengalami tambahan penerimaan negara dari pajak, juga kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.
Sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian, dan perdagangan
mempunyai fungsi :24
1. Meningkatkan daya guna uang.
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, deposito, ataupun tabungan. Uang tersebut kemudian diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan produksinya, perdagangan, maupun untuk usaha-usaha rehabilitasi ataupun usaha memulai yang baru.
24
(38)
2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
Seperti halnya meningkatkan daya guna uang, kredit juga mampu meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang. Uang yang disimpan oleh para penabung tidaklah diam mengendap di bank melainkan disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat baik bagi pengusaha maupun bagi masyarakat.
3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang.
Dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat. Disamping itu juga dapat meningkatkan peredaran barang dari satu tempat yang kegunaannya kurang, ketempat yang lebih bermanfaat. Seluruh barang-barang yang dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain yang kemanfaatannya lebih terasa pada dasarnya meningkatkan daya guna dari barang itu, pemindahan barang-barang tersebut tidaklah dapat diatasi oleh keuangan para distributor saja, karena itu mereka memerlukan bantuan yang berupa kredit dari bank.
4. Salah satu alat stabilitas ekonomi.
Dalam keadaan ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah stabilisasi ekonomi pada dasarnya diarahkan pada usaha-usaha antara lain dengan pengendalian inflasi, peningkatan ekspor, dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Untuk menekan arus inflasi dan terutama untuk usaha pembangunan ekonomi, kredit bank memegang peranan yang sangat penting. Arah kredit harus berpedoman pada segi-segi
(39)
pembatasan kualitatif, dijalankan secara selektif untuk menutup usaha-usaha yang bersifat spekulatif, yaitu mengarah ke sektor-sektor yang produktif dan prioritas yang secara langsung berpengaruh pada hajat hidup masyarakat. Seperti di Indonesia diarahkan pada sektor-sektor pertanian, industri, sandang pangan, produksi barang-barang ekspor, dan lain-lain.
5. Meningkatkan kegairahan berusaha.
Setiap orang dan badan hukum yang berusaha, selalu ingin meningkatkan usahanya, namun adakalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Dengan bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan mengatasi kekurangmampuan para pengusaha di bidang permodalan tersebut, sehingga mereka dapat meningkatkan volume usahanya dan produktifitasnya.
6. Meningkatkan pemerataan pendapatan.
Dengan bantuan kredit dari bank, maka para pengusaha akan dapat memperluas usahanya dengan mendirikan proyek-proyek baru. Dengan pendirian proyek ini akan membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan proyek tersebut, dan berarti mereka akan memperoleh
pendapatan (income). Jika perusahaan usaha dan pendirian
proyek-proyek baru tersebut telah selesai, maka mengoperasikannya diperlukan pengelolaan yang membutuhkan tenaga kerja pula. Dengan tertampungnya tenaga kerja tersebut, maka berarti terjadilah peningkatan pemerataan pendapatan.
(40)
7. Meningkatkan hubungan internasional.
Bank sebagai lembaga kredit tidak saja bergerak di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Bank-bank besar di luar negeri dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Negara-negara yang kuat ekonominya, demi persahabatan antar Negara-negara banyak memberikan bantuan kepada negara-negara yang sedang berkembang dalam bentuk bantuan kredit dengan syarat ringan yaitu bunga yang relative murah dan waktu penggunaan yang lama. Memulai bantuan ini dapat mempererat hubungan antar negara yang bersangkutan, yaitu dengan bantuan kredit antar negara atau yang dikenal dengan kredit G
to G (government to government).
Dalam kasus tertentu, kegunaan kredit sebenarnya adalah untuk melunasi
kredit. Misalnya jika nasabah memerlukan bridging loan yaitu kredit yang
mendesak dalam jangka pendek serta sudah adanya kepastian dana sebagai
pelunasannya, maka bridging loan tersebut dapat dipenuhi antara lain dengan
adanya kepastian pelunasan bridging loan dari hasil pencairan kredit investasi
yang disetujui. Oleh karena itu, kredit investasi tersebut dalam persyaratan penarikannya perlu menyebutkan klausula yang intinya bahwa pencairan kredit
tersebut digunakan untuk melunasi bridging loan yang bersangkutan.25
Sedang dalam hal tujuan kredit, kredit multiguna atau konsumtif, penggunaannya dapat dilakukan secara bebas, tetapi perlu diingatkan bahwa
25
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hlm. 263
(41)
kredit tersebut hanya dapat digunakan dalam kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum (public
policy).
Di samping itu, kredit juga dapat digunakan untuk pembiayaan kembali (refinancing). Istilah refinancing mempunyai beberapa pengertian, tetapi yang
terpenting dari istilah refinancing adalah sebelumnya telah terdapat pembiayaan
atas barang yang dijadikan objek kredit.26
D. Berakhirnya Perjanjian Kredit Pembiayaan Perbankan
Kredit juga dapat digunakan untuk take over atau pelunasan kredit pada
lembaga lain, baik melalui lembaga novasi atau subrogasi atau cessie, dengan
suatu pola yang dalam praktik perbankan dikenal dengan istilah take over,
transfer balance atau asset buying.
Berakhirnya kredit pembiayaan seiring dengan berakhirnya perjanjian kredit pembiayaan. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, perjanjian kredit atau perjanjian persetujuan akan pembiayaan dibuat secara kontraktual berdasarkan pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga Bab XIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karenanya pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Umumnya
perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal dibawah ini:27
1. Pembayaran
26
Ibid, hlm. 264
27
(42)
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitor, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitor. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitor melunasi kreditnya
secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).28
2. Subrogasi (subrogatie)
Pasal 1382 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditor), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditor oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrogasi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditor lama oleh kreditor baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrogasi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai oleh kreditor lama beralih kepada pihak ketiga. Berdasarkan pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau demi undang-undang, diatur lebih lanjut dalam pasal 1401 dan pasal 1402 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Pembaruan utang (novasi)
Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru, dan kreditor lama dengan kreditor baru. Dalam hal ini bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah
28
(43)
penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debitornya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu kreditornya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif
aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.29
a. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan
perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;
Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku lagi. Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu:
b. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitor lama dengan debitor
baru;
c. mengganti debitor lama dengan debitor baru sebagai akibat suatu
perjanjian baru yang diadakan.
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang
ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang
atau pihak secara timbal balik, di mana masing-masing pihak
29
(44)
berkedudukan baik sebagai kreditor maupun debitor terhadap orang lain,
sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut.30 Dasar
kompensasi ini disebutkan dalam pasal 1425 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi demikian ini dijalankan oleh bank dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitor dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan yang diambil alih tersebut.
30
(45)
BAB III
PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH
A. Latar Belakang Lahirnya Perbankan Syariah Di Indonesia
Latar belakang pendirian bank syariah di Indonesia tidak terlepas dari adanya wacana yang terus bergulir tentang pendirian bank-bank syariah di negara-negara Islam. Ide pendirian perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai Undang-Undang maupun keputusan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun pandangan dari para intelektual Islam di Indonesia. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang banyak memusatkan perhatian pada kondisi sosial, pendidikan, dan ekonomi umat Islam pernah mengeluarkan seruan untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Didirikannya bank syariah dilatarbelakangi oleh keinginan umat Islam untuk menghindari riba dalam kegiatan muamalahnya; memperoleh kesejahteraan lahir batin melalui kegiatan muamalah yang sesuai dengan perintah agamanya; sebagai alternatif lain dalam menikmati jasa-jasa perbankan yang dirasakannya lebih sesuai, yaitu bank yang berusaha sebisa mungkin untuk beroperasi berlandaskan kepada hukum-hukum Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terbesar di dunia juga telah merasakan kebutuhan akan adanya bank yang diharapkan dapat memberikan kemudahan-kemudahan dan jasa-jasa perbankan kepada semua umat Islam dan penduduk di
Indonesia yang beroperasi tanpa riba.31
31
Edy Wibowo dan Untung Hendy Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah?, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm 10
(46)
Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an, namun ada beberapa alasan yang
menghambat terealisasinya ide ini yaitu:32
1. Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur,
dan karena itu, tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku yakni UU No. 14 Tahun 1967
2. Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis, merupakan
bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara Islam dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
3. Masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam
ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama pada waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satupun perangkat hukum yang bisa dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.
Industri perbankan yang pertama menggunakan sistem syariah adalah PT Bank Muamalat Indonesia Tbk yang didirikan pada tahun 1991 dan memulai kegiatan operasionalnya pada bulan Mei 1992. Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya. Pendirian
32
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, 2005, hlm 30
(47)
Bank Muamalat juga mendapat dukungan dari warga masyarakat yang dibuktikan dengan komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp.84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian perseroan. Selanjutnya pada acara silaturahim peringatan pendirian bank tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari warga masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp.106
miliar.33
Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh perkembangan bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), namun demikian adanya dua jenis bank-bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Kemudian diikuti dengan kemunculan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana Perbankan Bagi Hasil diakui. Dalam UU tersebut pada Pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.
34
Terbitnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 memiliki hikmah tersendiri bagi dunia perbankan nasional di mana pemerintah membuka lebar kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip syariah. Hal ini guna menampung
33
Zainuddin Ali, Op.Cit, hlm. 11
34
(48)
aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip bank syariah ini, termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvensional menjadi pola syariah.
Dengan undang-undang ini, sistem perbankan ganda diterapkan karena bank konvensional dan bank Islam diakui keberadaannya dan keduanya sama-sama diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia. Bank umum maupun BPR dapat beroperasi berdasarkan prinsip Islam dan bank umum konvensional, melalui suatu suatu mekanisme perizinan tertentu dari Bank Indonesia, dapat melakukan
kegiatan usaha perbankan Islam dengan membuka Unit Usaha Syariah (UUS).35
Sebagai kelanjutannya Bank Indonesia pada tahun 1999 membentuk tim peneliti untuk perbankan Islam. Hasilnya, satu bank umum Islam lagi, yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) berdiri dan UUS mulai bermunculan. Bank Syariah Mandiri merupakan konversi dari Bank Susila Bakti, yang merupakan bank konvensional yang dibeli oleh Bank Dagang Negara, kemudian dikonversi menjadi Bank Syariah Mandiri, bank syariah kedua di Indonesia. Pendirian Bank Syariah Mandiri (BSM) menjadi pertaruhan bagi bankir syariah. Bila BSM
berhasil, maka bank syariah di Indonesia dapat berkembang.36
Perbaikan dan penyempurnaan terus dilakukan agar perkembangan perbankan Islam selalu berada pada relnya yang benar sesuai dengan blueprintnya. Untuk itu pada tahun 2004 Bank Indonesia melakukan penyempurnaan peraturan perbankan Islam dengan melakukan kajian dalam
35
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Op.Cit, hlm. 151
36
(49)
rangka mempersiapkan beberapa peraturan pendukung, seperti standarisasi akad, tingkat kesehatan, dan lembaga penjamin simpanan.
Dan akhirnya tahun 2008 diterbitkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah sebagai landasan hukum khusus untuk Bank Islam di Indonesia.
B. Bank Syariah dan Prinsip Bagi Hasil 1. Pengertian Bank Syariah
Pengertian Bank Syariah dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terdapat dalam Pasal 1 butir 7, yaitu Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000, Pasal I, Bank Syariah adalah “bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariat Islam, termasuk unit usaha syariah, dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariat Islam”. Adapun yang dimaksud dengan unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah.
Bank syariah atau bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank ini tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Bank yang beroperasi sesuai dengan
(50)
prinsip-prinsip syariah Islam maksudnya adalah bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tata cara bermuamalah itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur riba, untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan atau praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau
bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak dilarang oleh beliau.37
Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank, dan syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Penggabungan kedua kata dimaksud menjadi “bank syariah” sehingga berarti suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan
kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Bank syariah biasa disebut Islamic
Bank atau Interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan Dalam kegiatannya, bank syariah tidak mengenal sistem bunga, baik bunga yang diperoleh dari nasabah yang meminjam uang atau bunga yang dibayar kepada penyimpan dana di bank syariah.
37
(51)
operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan
ketidakpastian atau ketidakjelasan (gharar).38
Definisi bank Islam yang disetujui oleh General Secretariat of the
Organization of the Islamic Conference (OIC), sebagai berikut “…Bank Islam adalah institusi keuangan yang memiliki hukum, aturan dan prosedur sebagai wujud dari komitmen kepada prinsip syariah dan melarang menerima dan membayar bunga dalam proses operasi yang dijalankan …”
Bank syariah sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai mekanisme dasar, yaitu menerima deposito dari pemilik modal dan mempunyai kewajiban untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola dan/atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Falsafah dasar beroperasinya bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efisiensi, keadilan, dan kebersamaan.
39
2. Fungsi dan Peran Bank Syariah
Dalam operasionalnya bank syariah mempunyai fungsi dan peran yang menonjol dalam masyarakat. Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution), sebagai
berikut:40
a. Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana
nasabah.
38
Zainuddin Ali, Op.Cit, hlm. 1
39
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Op.Cit, hlm. 31
40
(52)
b. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya.
c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat
melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
d. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas
keuangan syariah, bank islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dan-dana sosial lainnya.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, beberapa fungsi dan peran bank syariah tentunya banyak yang langsung berhubungan dengan masyarakat, terutama umat Islam yang dapat dengan leluasa menjalankan muamalahnya tanpa bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun tiga fungsi utama bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi, menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana dari bank, dan
memberikan pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah.41
3. Tujuan Bank Syariah
Tujuan atau sasaran utama pendirian bank syariah adalah untuk menyebarkan kemakmuran ekonomi dalam struktur Islam. Beberapa poin tujuan
bank syariah diantaranya sebagai berikut:42
a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara
Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar
41
Ismail, Op.Cit, hlm. 39
42
(53)
terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan
lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), di mana jenis-jenis
usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menibulkan dampak negative terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan
meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
c. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka
peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.
d. Untuk menggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya
merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah didalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.
e. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktifitas bank
(54)
adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
f. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank
non-syariah.
Tujuan pendirian bank syariah pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam ke
dalam transaksi keuangan, perbankan, dan bisnis-bisnis yang terkait.43
4. Ciri-Ciri Bank Syariah
Bank syariah mempunyai ciri-ciri berbeda dengan bank konvensional, walaupun secara umum mempunyai banyak kesamaan, adapun ciri-ciri bank
syariah adalah:44
a. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
b. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.
c. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak
menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang
43
Muhammad, Op.Cit,hlm. 18
44
(55)
ditetapkan dimuka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata.
d. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh
penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadiah) sedangkan bagi bank
dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.
e. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi
operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam.
f. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak
pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya.
5. Kegiatan Usaha, Produk dan Jasa Perbankan Syariah
Pengaturan mengenai kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah ditetapkan pada Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal-pasal tersebut memberikan daftar legitimasi kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah secara lebih khusus dan rinci. Walaupun sebelumnya pengaturan mengenai kegiatan usaha bank syariah
(1)
permohonan, analisa, komite persetujuan, pengikatan, pencairan, dan monitoring. Contoh pembiayaan modal kerja yang dapat dibiayai oleh BSM adalah PKPA (Pembiayaan Koperasi untuk Para Anggota). Namun tidak dapat digunakan pada perusahaan yang menjual produk bersifat jual-lepas. Untuk pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah BSM lebih membatasi pada perusahaan yang produktif dan jangka panjang yang bisa menghasilkan lagi sehingga bisa berbagi keuntungan (mudharabah) seperti koperasi, leasing, ataupun perusahaan
multifinance syariah.
3. Beberapa hambatan ataupun masalah yang biasa dihadapi atau timbul dalam pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah antara lain: Laporan pendapatan yang seharusnya secara rutin diberikan kepada bank, jarang diberikan kepada bank; Debitur tidak mempunyai itikad baik untuk membayar; Dikarenakan akad mudharabah pembiayaan bank sebesar 100% kepada debitur, dan debitur hanya memiliki skill atau keahlian dalam mengelola keuangan tersebut, sehingga apabila debitur memiliki itikad tidak baik maka pembiayaan tersebut rentan terhadap risiko macet; Debitur jarang melaporkan pendapatan yang sebenar-benarnya atas usaha yang dikelola bersama bank. Dalam menghadapi masalah yang timbul BSM terlebih dahulu tetap akan menjalankan aktifitas yang seharusnya seperti penagihan, lalu apabila masih bermasalah akan melakukan analisa lanjutan terhadap nasabah tersebut, dicari sumber permasalahannya setelah itu melakukan musyawarah, dimana didiskusikan bagaimana kesanggupan nasabah untuk melanjutkan akad pembiayaan tersebut kedepannya, disitulah
(2)
dijalankan proses retrukturisasi pembiayaan. Apabila masih bermasalah juga barulah dijalankan upaya terakhir yaitu eksekusi jaminan dari nasabah tersebut.
B. Saran
1. Melihat perkembangan semakin pesatnya kebutuhan akan pembiayaan modal kerja dengan menggunakan akad mudharabah bagi pelaku usaha, maka perlu dibuat suatu peraturan secara khusus mengenai pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah pada perbankan syariah di Indonesia. Selanjutnya, fungsi pengawasan DSN terhadap lembaga-lembaga keuangan syariah serta pengawasan terhadap fatwa yang telah dikeluarkan khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah perlu ditingkatkan agar sistem perbankan syariah semakin baik kedepannya.
2. Pembiayaan modal kerja yang dapat dibiayai oleh BSM adalah bentuk usaha yang produktif dan jangka panjang, seperti koperasi, perusahaan multifinance ataupun leasing. Diharapkan kedepannya BSM dapat memberikan pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah kepada usaha-usaha kecil menengah perorangan, karena sesungguhnya hal itu akan lebih bermanfaat dan lebih mengembangkan sistem perbankan syariah hingga masyarakat lapisan bawah.
3. Sebagian besar hambatan ataupun masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembiayaan dengan akad mudharabah berasal dar faktor eksternal bank (nasabah). Menghadapi masalah tersebut diharapkan tingkat kehati-hatian bank dalam memberikan pembiayaan lebih ditingkatkan.
(3)
Bank perlu melakukan perhitungan secara tepat atas kebutuhan modal kerja yang diajukan oleh nasabah. Akurasi dalam perhitungan pembiayaan modal kerja merupakan antisipasi bagi bank agar pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan atas kebutuhan danat. Secara internal, kalangan perbankan belum memahami secara baik tentang baik tentang konsep dan praktik produk mudharabah, sehingga pemahaman mengenai pembiayaan dengan akad mudharabah perlu ditingkatkan. Selain itu tingkat kejujuran dan amanah masyarakat dalam menjalankan produk mudharabah perlu ditingkatkan pula, sebab pembiayaan mudharabah harus didukung dengan kondisi masyarakat yang jujur dan amanah.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007
Buku:
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010
Ali, Zainudin, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Karim, Adiwarman A., Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, M2S Bandung, Bandung, 2000 Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2001
Djumhana, Muhamad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta, 1995 Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan (Edisi Ketiga), Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
Widiyono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006
Wibowo, Edy dan Untung Hendy Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah?,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2005
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, 2005
(5)
Karim, Adiwarman A., Bank Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003 Antonio, M. Syafi’I [et al.], Bank Syariah Analisis Kekuatan Kelemahan Peluang
dan Ancaman, Ekonisia, Yogyakarta, 2006
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2004
Munawar, A.W., Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, edisi kedua
Z., A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012
Machmud, Amir dan Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010
Yusup, Deni K. [et al.], BMT & Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004
Hamid, M. Arfin, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia: Aplikasi dan Prospektifnya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003, tentang Penjelasan dan Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Syariah
Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah
Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah
(6)
Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah berikut perubahannya dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qirad)
Fatwa DSN No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah
Fatwa DSN No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Internet: