Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

12

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dua dekade terakhir ini menunjukkan bahwa globalisasi
mempunyai pengaruh kepada perubahan negara-negara di dunia. Melalui
globalisasi di bidang ekonomi misalnya, terjadi pertumbuhan yang menjadikan
terintegrasinya ekonomi dunia. Dengan perkataan lain, terjadi interdependensi
yang meningkat dalam perekonomian di berbagai belahan dunia.1 Kegiatan
perekonomian suatu negara telah menyebar melewati batas-batas negara (crossborder ).2

Namun, dapat disadari pula bahwa kata globalisasi itu sendiri merupakan
kata yang banyak disalahartikan dan saat ini banyak para sarjana dari berbagai
disiplin ilmu mendefinisikan kata globalisasi menurut pandangan dan disiplin
ilmu mereka masing-masing. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, globalisasi
adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia.3 Dalam hal ini kecenderungan
arus globalisasi telah mengarah pada penduniaan dalam arti “peringkasan” atau
“perapatan” dunia (compression of the world) di berbagai bidang kehidupan.4


1

Christine greehalgh dan Mark Rogers, Innovation, Intellectual Property, and Economic
Growth, (Princeton: Princeton University Press, 2010), hal. 243.
2
John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York:
Cambridge University Press, 2000), hal. 24-25.
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal 366
4
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library,
2007), hal. 28.

1

Universitas Sumatera Utara

13


Sejalan dengan itu Anthony Giddens dan John Tomlinson mengatakan
bahwa globalisasi bersifat multidimensi dan kompleks. Di dalam globalisasi
terkait bidang-bidang seperti ekonomi, politik, budaya, teknologi dan lain-lain.5
Dapat dipahami bahwa definisi mengenai globalisasi sangat beragam
bergantung

kepada

para

ahli

memandang,

misalnya

seorang

politikus


mendefinisikan globalisasi dengan menekankan pada pengurangan hak-hak dari
negara, bangsa dan masyarakat secara teritori yang dibentuk berdasarkan suatu
unit analisis dari ilmu politik modern, sosiologi dan hubungan internasional.
Sedangkan secara ekonomi definisi globalisasi ditekankan kepada kapitalisme dan
perluasan dari sistem pasar bebas sebagai kunci dari proses globalisasi.
Dalam perspektif ekonomi, globalisasi ekonomi merupakan integrasi
menyeluruh dari ekonomi nasional ke dalam ekonomi global tanpa batas yang
meliputi perdagangan internasional yang bebas (Free International Trade).6
Perdagangan internasional yang menjadi salah satu peranan penting dalam arus
globalisasi ekonomi merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat tua dan
penting sepanjang sejarah. Dari penggalian (excavation) di desa Catal Hüyük di
barat daya Anatolia (Turki), didapati bukti-bukti bahwa pada masa antara tahun
6.700 SM sampai dengan tahun 5.700 SM penduduk di kawasan itu yang pada
mulanya terdiri atas para pemburu, kemudian berkembang dengan melakukan
kegiatan peternakan, bertani dan perdagangan jarak jauh. Perdagangan
internasional telah berkembang di Mesir pada sekitar tahun 1400 SM,

5

An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum

Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal , (Bandung : PT. Alumni, 2011), hal 86
6
Ibid, hal 114

Universitas Sumatera Utara

14

perdagangan berlangsung antara Mesir dengan wilayah sekitar Laut Tengah
(Mediterranean Sea ), seperti Crete, Kepulauan Aegean, dan Assyria . Di Eropa,
aktivitas perdagangan internasional telah tercatat sejak abad keduabelas, tetapi
perdagangan internasional mulai berkembang pada awal abad keenambelas.7
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum
(pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang Internasional. Fakta
yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang
punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah
banyak terbuka dalam sejarah perkembangan dunia.
Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang Internasional ini juga telah
cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak abad ke-17.
Salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang sadar akan

pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku
Bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil
telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah
Singapura dan Malaysia).8 Esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah dasar
filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini merupakan suatu
“Kebebasan fundamental” (Fundamental Freedom). Dengan kebebasan ini, siapa
saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh

7

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO , (Bandung :
PT. Alumni, 2010), hal 20
8
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional , (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2011), hal 2

Universitas Sumatera Utara

15


dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum,
dan lain-lain.9
Globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, memerlukan pengaturan yang bersifat internasional yang
akan mengatur perdagangan internasional. Seperti yang dikemukakan oleh mantan
Direktur Jenderal GATT dan WTO, Peter Sutherland pada tahun 1997
menyatakan bahwa tantangan yang dunia hadapi adalah tantangan untuk
membentuk suatu sitem (ekonomi) internasional yang dapt meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara maksimal, tetapi juga dapat menciptakan keadilan
(equality). Sistem seperti ini adalah sistem yang dapat mengintegrasikan negaranegara yang kuat dan yang lemah dalam upaya mereka memperluas tingkat
pertumbuhan ekonomi. Menurut Sutherland, sistem yang dicita-citakan tersebut
juga harus dapat menciptakan perdamaian dan kemakmuran di masa yang akan
datang dan sistem tersebut hanya dapat terwujud melalui terciptanya suatu kerja
sama

internasional

untuk

mencari


pendekatan-pendekatan

dan

lembaga

internasional yang efektif.10
Setidak-tidaknya terdapat empat alasan utama akan pentingnya pengaturan
hukum yang mengatur perdagangan internasional, yaitu:11
1. Negara-negara harus menahan diri dan mencegah untuk melakukan
tindakan-tindakan

pembatasan

terhadap

perdagangan

baik


bagi

kepentingan negara yang bersangkutan maupun bagi ekonomi dunia.

9

Ibid, hal 3
An An Chandrawulan, op cit, hal 118
11
Ibid, hal 119

10

Universitas Sumatera Utara

16

Pengaturan perdagangan internasional dapat mencegah negara-negara
untuk melakukan tindakan-tindakan pembatasan terhadap perdagangan.

Negara-negara juga harus menyadari bahwa apabila mereka mengambil
dan melakukan tindakan-tindakan yang membatasi perdagangan, negaranegara lainpun akan melakukan hal yang serupa. Hal ini akan
menimbulkan banyaknya tindakan pembatasan dan hal tersebut dapat
mendatangkan

atau

menimbulkan

bencana

bagi

perkembangan

perdagangan internasional dan bagi kesejahteraan ekonomi global,
pengaturan perdagangan internasional membantu untuk menghindari
lonjakan terjadinya tindakan-tindakan yang membatasi perdagangan.
2. Adanya kebutuhan dari para pedagang dan penanam modal akan
keamanan dan kepastian untuk melakukan usaha. Peraturan perdagangan

internasional menawarkan dan menyediakan keamanan dan kepastian.
Para pedagang dan penanam modal terikat oleh ketentuan atau peraturanperaturan hukum yang dapat menentukan dan mempengaruhi usaha-usaha
para pedagang dan penanam modal di negara yang bersangkutan.
Kepastian dan keamanan yang dihasilkan dari adanya pengaturanpengaturan perdagangan internasional akan mendorong penanaman modal
dan perdagangan dan akhirnya akan mendorong kesejahteraan global.
Seperti yang dikemukakan oleh John Jackson bahwa:
At least in the context of economic behavior . . . and
particularly when the behavior is set in circumstances of
decentralized decision-making, as in a market economy,
rules can have important operational functions. They may
provide the only predictability and stability to a potential
investment or trade development situation. Without such

Universitas Sumatera Utara

17

predictability or stability, trade or investment flows might
be even more risky and therefore more inhibited than
otherwise…To put it another way, the policies which tend

to reduce some risks, lower the ―risk premium‖ required by
entrepreneurs to enter into international transactions. This
should result in a general increase in the efficiency of
various economic activities, contributing to greater welfare
for everyone.

3. Pemerintah nasional sendiri tidak akan dapat menghadapi tantangantantangan yang timbul dari globalisasi ekonomi. Perlindungan dari
pentingnya nilai-nilai yang berkaitan dengan kemasyarakatan (societal
values) misalnya kesehatan publik, lingkungan yang bersih, keamanan

konsumen, identitas kebudayaan (culture identity) dan standar minimum
upah pekerja. Faktor-faktor tersebut merupakan hasil dari berkembangnya
perdagangan barang dan jasa, dan tidak lagi merupakan urusan nasional
semata tetapi malah lebih merupakan suatu masalah yang mempunyai
akibat atau pengaruh internasional. Upaya untuk melindungi nilai-nilai
dalam masyarakat pada tingkat nasional dan hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah nasional itu sendiri tidak akan efektif dan sia-sia atau tidak
berguna. Tindakan-tidakan ini walaupun sering secara tidak langsung atau
tidak

secara

terang-terangan

berkaitan

dengan

pengaturan

dari

perdagangan, tetapi kenyataannya bahwa tindakan yang berbeda dari
negara satu dengan negara yang lain merupakan suatu yang merusak
perdagangan internasional. Peraturan-peraturan perdagangan internasional
bertugas untuk menjamin bahwa negara-negara tetap melakukan tindakantindakan atau membuat peraturan nasional hanya apabila memang perlu
untuk perlindungan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat seperti yang

Universitas Sumatera Utara

18

dikemukakan diatas. Lebih jauh lagi peraturan-peraturan perdagangan
internasional

memperkenalkan

suatu

harmonisasi

pengaturan domestik yang membolehkan

hukum

antara

suatu negara melakukan

tindakan untuk melindungi kepentingan masyarakatnya dan perlindungan
internasional terhadap nilai-nilai tersebut.
4. Adanya kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
akan kebersamaan hal dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional .
Tanpa peraturan-peraturan perdagangan internasional, pengikatan dan
pelaksanaan peraturan serta peraturan-peraturan yang khusus diperlukan
bagi negara-negara berkembang, beberapa negara tidak akan dapat
melakukan integrasi secara penuh dalam sistem perdagangan internasional
dan

memperoleh

suatu

keuntungan-keuntungan

dari

perdagangan

internasional.
Ada beberapa definisi yang disampaikan oleh para sarjana mengenai
hukum perdagangan internasional, seperti definisi Schmitthoff. Definisi ini
sebenarnya merupakan definisi buatan seorang guru besar ternama dalam hukum
dagang internasional dari City of London College, yaitu Profesor Clive M.
Schmitthoff. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional
sebagai: ―…the body of rules governing commercial relationship of a private law
nature involving different nations‖.12

Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:

12

Huala Adolf, op cit, hal 4

Universitas Sumatera Utara

19

1. Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang
mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata,
2. Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda
negara.
Definisi diatas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut
bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum
perdata (private law nature) dan hukum publik. Dalam definisinya itu,
Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk
hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk
dalam bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku
atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang
mempengaruhi wilayahnya. Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah
hukum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan
hukum internasional publik yang mengatur hubungan-hubungan komersial.13
Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah
sarjana Australia, Sanson. Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan
pengertian kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan
internasional (dengan kata dasar nation atau negara). Hukum perdagangan
Internasional menurut definisi Sanson ―can be defined as the regulation of the
conduct of parties involved in the exchange of goods, services and technology

between nations‖14

13
14

Ibid, hal 5
Ibid, hal 8

Universitas Sumatera Utara

20

Terlihat bahwa definisi diatas mengandung makna yang sederhana. Karena
Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum privat,
publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini
adalah the regulation of the conduct of parties. Para pihaknya pun dibuat samar,
hanya disebut parties. Sementara itu, objek kajiannya agak jelas yaitu jual beli
barang, jasa dan teknologi. Meskipun ia memberi definisi yang mengambang
tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua
bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public international
trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international
trade law). Public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku

dagang antarnegara. Sementara itu, private international trade law adalah hukum
yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di
negara-negara yang berbeda.15
Peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan perdagangan antar
negara adalah bagian dari hukum ekonomi internasional. Hukum perdagangan
internasional, dalam hal ini peraturan-peraturan internasional dalam bidang
perdagangan barang dan jasa, membentuk batang tubuh hukum ekonomi
internasional. Bidang hukum ini terdiri atas:16
1. Perjanjian-perjanjian perdagangan bilateral,
2. Perjanjian-perjanjian perdagangan regional,
3. Perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral.

15

Ibid, hal 8-9
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi (ed),
Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization) , (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010),
hal 2
16

Universitas Sumatera Utara

21

Ada banyak perjanjian perdagangan bilateral, sebagai contoh Agreement
on Trade in Wine between the European Union and Australia , juga Trade
Agreement between the Unied States and Israel. Perjanjian perdagangan regional

seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA), perjanjian dalam
daerah perdagangan bebas (free trade area ) Antara Kanada, Meksiko, dan
Amerika Serikat, dan MERCOSUR Agreement, perjanjian custom union Antara
Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, dan Venezuela.
Perjanjian multilateral yang paling penting dan yang paling besar dari
semua perjanjian perdagangan internasional adalah Perjanjian Marrakesh
mengenai pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang dibentuk pada
tanggal 15 April 1994. Perjanjian perdagangan yang multilateral ini merupakan
hukum dari perjanjian dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). WTO
membentuk struktur organisasi yang dikembangkan berdasarkan ketentuan GATT
pada awal tahun 1990. GATT yang aslinya yang merupakan negosiasi-negosiasi
untuk menciptakan suatu Organisasi Perdagangan Internasional (International
Trade Organization atau ITO) gagal setelah perang dunia kedua. Negosiasi-

negosiasi pembentukan organisasi tersebut berhasil dituangkan dalam Havana
Charter pada tahun 1948, tetapi hasil negosiasi ini tidak sampai kepada

pembentukan Organisasi Perdagangan Internasional karena kongres Amerika
Serikat menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut.17

17

An An Chandrawulan, op cit, hal 121

Universitas Sumatera Utara

22

Berdirinya WTO dalam Uruguay Round tahun 1994 tersebut,18 telah
menjadi salah satu organisasi internasional yang berpengaruh dalam kerangka
rezim internasional dan globalisasi ekonomi. Melalui WTO

dalam Uruguay

itu,19 membuat negara-negara yang menandatangani perjanjian WTO

Round

telah masuk dalam ekonomi global yang wajib mengikuti rezim internasional
tersebut.20 Karena sistem perdagangan dalam kerangka WTO itu merupakan suatu
rule

based system dengan perjanjian-perjanjian multilateral yang disepakati

bersama yang sifatnya terintegrasi dan single undertaking.21
Salah satu elemen yang paling penting dari rules-based sistem
perdagangan multilateral dalam kerangka WTO itu adalah sistem penyelesaian
sengketa.22 Karena hukum yang mengatur tentang perdagangan internasional
tersebut dapat juga berguna dalam hal penyelesaian sengketa di bidang
perdagangan yang melewati lintas batas negara. Sengketa internasional
(international dispute) terjadi dikarenakan adanya perselisihan diantara negara
dengan negara, negara dengan individu-individu, atau negara dengan badanbadan/lembaga yang menjadi subjek hukum internasional. Disamping itu, terdapat
kegiatan perdagangan internasional yang melibatkan subjek-subjek hukum
internasional yang berpotensi dapat memicu terjadinya perselisihan ataupun
18

Raj Bhala, International trade law, Theory and Practice, (New York: Lexis Publishing,
2001), hal. 201.
19
Uruguay Round Trade Agreement, Statement of Administrative Action, Agreement
Establishing the World Trade Organization , H.R. Doc. No. 316, 103d Cong., 2d Sess, 656-667
(September 27, 1994)
20
James E. Darton, “The Coming of The Global Trademark: The Effect of Trips On The
Well-Known Marks Exception To The Principle of Territoriality”, Michigan State International
Law Review, (Volume 11, 2011), hal. 2.
21
Peter van den Bossche, dkk, Op. Cit, hal. xi
22
Rufus Yerxa, “The Power of the WTO Dispute Settlement System”, dalam Rufus
Yerxa dan Bruce Wilson, ed, Key Issues In WTO Dispute Settlement The First Ten Years,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

23

sengketa. Sejalan dengan hal tersebut, untuk menciptakan iklim perdagangan
internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta menciptakan
liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan.
Walaupun mengenai sistem penyelesaian sengketa telah diatur sebelum
adanya WTO, yaitu melalui General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
yang bertujuan sebagai rules-based sistem perdagangan internasional. Juga
komponen dari sistem GATT tersebut menyangkut dispute settlement atau
penyelesaian sengketa.23
Namun, sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT itu belum
lengkap dan belum sempurna, walaupun cakupannya dapat dipahami bersifat
komprehensif. Oleh karena itu, sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka
WTO telah memperkokoh dengan penyempurnaan prosedur dan pengembangan
institusional dari sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT. Karena
dalam proses perundingan Uruguay Round telah ditentukan cara untuk melakukan
perundingan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa yang ada
dalam GATT.24
Sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT tersebut bertujuan
dan mempunyai prosedur untuk melakukan perundingan sebagaimana dinyatakan
dalam deklarasi Punta del Este. Mengikuti pedoman tersebut maka perundingan

23

H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang,
(Jakarta: UI-Press, 2000), hal. 7.
24
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

24

Uruguay Round akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menyempurnakan

sistem penyelesaian sengketa. 25
Dengan berdirinya WTO, maka berkenaan dengan sistem penyelesaian
sengketa telah diterapkan Understanding on Rules Procedures Governing the
Settlement of Disputes (DSU).26 Lebih dari lima belas tahun pertama

pengoperasiannya, DSU yang dimiliki WTO telah mengambil peran yang penting
di dalam penegakan dan implementasi dari komitmen-komitmen yang dimiliki
oleh WTO. DSU menyediakan mekanisme yang sangat efektif dimana anggotaanggota WTO dapat mencari implementasi penuh dari konsesi perdagangan yang
dinegosiasikan sebelumnya. Namun, anggota-anggota WTO tidak diposisikan
sama rata untuk mengakses dan menggunakan hal tersebut secara efektif,
khususnya mempengaruhi negara-negara berkembang.27
Perbedaan sistem penyelesaian sengketa dalam GATT dengan WTO
tersebut menjadi menarik untuk dikaji. Oleh karena itu penulis mengkajinya
melalui penulisan skripsi yang berjudul, “Sistem Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional: Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization

(WTO)”.

25

Ibid.
“Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes”
(Annex 2) Final Act Embondying the Results of the Uruguay Round of Multilateral trade
Negotiations (Marakesh: GATT Secretariat, 15 April, 1994). Doc. TNC/UR-94-0083. Hal. 353-77.
27
David Evans dan Gregory C. Shaffer, “Introduction”, dalam Gregory C. Shaffer dan
Ricardo Melendez-Ortiz, ed, Dispute Settlement at the WTO The Developing Country Experience ,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), hal. 1.
26

Universitas Sumatera Utara

25

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, yang dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.

Apa saja bentuk penyelesaian sengketa Internasional (International Dispute
Settlement)?

2.

Bagaimana perkembangan sistem perdagangan Internasional dalam kerangka
GATT dan WTO?

3.

Bagaimana sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan dalam
GATT jika dibandingkan dengan WTO?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, maka
yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Tujuan Umum:
Untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal
perbandingan sistem penyelesaian sengketa perdagangan Internasional
antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade
Organization (WTO)

b. Tujuan Khusus:
1. Untuk

mengetahui

bentuk-bentuk

dari

penyelesaian

sengketa

Internasional (International Dispute Settlement)

Universitas Sumatera Utara

26

2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan
Internasional dalam perspektif GATT dan WTO
3. Untuk memahami perbandingan sistem penyelesaian sengketa
Internasional dalam bidang perdagangan antara sistem penyelesaian
sengketa di bawah GATT dan sistem penyelesaian sengketa di bawah
WTO

2. Manfaat
Tulisan ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua
manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Secara Teoritis
Tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi awal dalam bidang
ilmu hukum bagi kalangan akademis guna mengetahui lebih lanjut tentang sistem
penyelesaian sengketa perdagangan Antara GATT dan WTO.
b. Secara Praktis
Tulisan ini secara praktis dapat memberikan bahan masukan bagi para
pihak yang berkaitan dengan sengketa internasional di bidang perdagangan dalam
kaitannya dengan bentuk-bentuk proses baru di dalam menyelesaikan sengketa
perdagangan Internasional di bawah WTO yang tidak ada dalam GATT.

Universitas Sumatera Utara

27

D. Keaslian Judul
Skripsi ini berjudul “Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional: Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)”.

Sehubungan dengan keaslian judul Skripsi ini, penulis melakukan
pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat
di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.
Namun, terdapat penelitian dalam bentuk tesis di Program Pascasarjana F.
Hukum Universitas Indonesia, yang ditulis oleh Tomy Prihananto dengan judul
“Studi Perbandingan Hukum

Mengenai Peranan Private Party Dalam

Penyelesaian Sengketa Di World Trade Organization (WTO) dan North American
Free Trade Agreement (NAFTA) dan Implementasinya di Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN). Rumusan permasalahan dan sunstansi tesis
tersebut berbeda jauh dengan permasalahan dan substansi skripsi yang penulis
teliti.
Selanjutnya, terdapat penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Kajian Yuridis Tentang Proses Penyelesaian Sengketa di World Trade
Organization (WTO) Menurut Perspektif Negara Berkembang”, pada Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya oleh Listya Anggraeni. Rumusan permasalahan dan
sunstansi tesis tersebut berbeda jauh dengan permasalahan dan substansi skripsi
yang penulis teliti.

Universitas Sumatera Utara

28

Apabila dikemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah
ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat maka hal
tersebut dapat diminta pertanggungjawaban dikemudian hari.

E. Tinjauan Kepustakaan
John Braithwaite dan Peter Drahos mengamati, bahwa implikasi
globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak bisa dihindarkan. Pranata hukum
suatu negara “tidak bisa tidak” harus mengikuti arus globalisasi ekonomi, dalam
arti, substansi dari berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar
melewati batas-batas negara (cross-border ).28
Pengamatan di atas tersebut sejalan pula dengan apa yang telah diuraikan
Lawrence M. Friedman. Ia mengatakan, bahwa hukum itu tidak bersifat otonom,
tetapi sebaliknya hukum itu bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengarus
luar.29
Berdirinya WTO telah memberikan konsekuensi bagi Indonesia sebagai
salah satu diantara 125 negara yang ikut menandatangani perjanjian WTO dan
elah meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November
1994. Dengan ratifikasi ini maka seluruh ketentuan dalam WTO wajib
dilaksanakan oleh Indonesia. Pelaksanaan ketentuan WTO tersebut dilakukan

28

Op-cit.
Lawrence M. Friedman, Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society – An
Introduction, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 89.
29

Universitas Sumatera Utara

29

dengan

menyesuaikan

seluruh

ketentuan

yang

berlaku

di

bidang

perdagangan/perekonomian dengan ketentuan-ketentuan WTO tersebut.30
Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru
dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS),
Perdagangan yang terkait dengan Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam
Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (TRIPS).31 Adapun prinsip-prinsip yang dijalankan oleh GATT antara
lain sebagai berikut:32
1) Prinsip non diskriminasi yang meliputi:
a. Prinsip Most Favored Nation (MFN), prinsip ini diatur dalam pasal I
ayat (1) GATT 1947 yang berjudul general favored nation treatment,
prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus
dilaksanakan atas dasar non diskriminatif, keringanan tarif impor yang
diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk
impor dan mitra dagang negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama
tersebut harus dijalankan dengan segera tanpa syarat terhadap produk
yang berasal / yang diajukan kepada semua anggota GATT.
b. Prinsip perlakuan nasional (national treatment / NT principle)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1947, berjudul national
treatment on international taxation and regulation , prinsip ini

30

Zulkarnain Sitompul, Dilema Investasi Asing , (Bandung: Books Terrace & Library,
2008), hal 22
31
Huala Adolf, op cit, hal 97
32
http://zaenalmuttaqin-enal.blogspot.com/2013/07/general-agreement-on-tariffs-andtrade.html diakses pada tanggal 06 Januari 2014 pukul 17.27 WIB

Universitas Sumatera Utara

30

menyatakan bahwa, “this standard provides for inland parity that is say
equality for treatment between nation and foreigners”.

2) Prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip ini diatur di dalam pasal II
GATT 1947. prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT,
prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam
perundingan-perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik
dan saling menguntungkan kepada kedua belah pihak, yaitu perlakuan
yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra
datangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.
Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang
antara dua negara secara timbal balik yang menghendaki adanya
kebijaksanaan / konsensi yang seimbang dan saling menguntungkan
antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan
internasional.
3) Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif yang menjadi
ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang
merupakan rintangan terbesar terhadap GATT terhadap ekspor impor
dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor / ekspor, retriksi
penggunaan lisensi impor dan ekspor pengawasan pembayaran produkproduk impor / ekspor), pada umumnya dilarang (pasal IX) hal ini
disebabkan karena praktek perdagangan yang demikian mengganggu
praktek perdagangan yang normal.

Universitas Sumatera Utara

31

4) Prinsip perdagangan yang adil (fairness), prinsip fairness dalam
perdagangan internasional yang melarang dumping (pasal VI) dan
subsidi (pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu
negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan
tersebut, justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam
perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk
menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek
subsidi dan dumping.
5) Prinsip perlindungan melalui tariff (tariff binding principle), setiap
anggota Negara WTO harus mematuhi berapapun besarnya tariff yang
telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tariff mengikut, prinsip
ini diatur dalam pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995. Pada prinsipnya
GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industry
domestic melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak

melalui

upaya-upaya

perdagangan

lainnya

sehingga

masih

memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
Dalam prakteknya pada GATT, penyelesaian sengketa yang diterapkan
menggunakan ketentuan yang ada pada perjanjian GATT sendiri. Dalam berbagai
perjanjian komersial seringkali terdapat ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa dengan menggunakan arbitrase. Namun seringkali pula perjanjian
tersebut mengandung ketentuan yang samar-samar mengenai aspek enforcement.
Demikian pula dalam GATT, yang juga mengandung elemen yang agak samarsamar mengenai enforcement. Seperti yang akan dilihat dibawah tujuannya bukan

Universitas Sumatera Utara

32

untuk melakukan enforcement dalam arti ”punitif” dan menghukum satu pihak
yang melanggar tetapi untuk mencabut tindakan yang melanggar dan
mengembalikan atau melakukan ”restorasi” kembali keuntungan yang diperoleh
dari perjanjian yang telah diganggu akibat tindakan dari salah satu anggota.33
Dalam GATT, sistem penyelesaian sengketa yang berkembang merupakan
elemen yang cukup khas yang tidak terdapat pada lembaga multilateral lainnya.
Penyelesaian sengketa ini merupakan salah satu jenis kegiatan yang lambat laun
telah melembaga dalam GATT. Hal ini berarti bahwa khusus dalam bidang
penyelesaian sengketa,

berdasarkan

atas pengalaman institusional

sejak

didirikannya GATT, telah tersusun suatu sistem dan tata cara yang semakin
berbentuk. Dalam kata lain, dengan telah berjalannya sistem tata cara yang telah
tersusun sejak 40 tahun lamanya, maka telah tercipta suatu insitutional memory
yang menjadi landasan dalam melaksanakan kegiatan penyelesaian sengketa.34
Dalam proses perundingan Uruguay Round telah ditentukan cara untuk
melakukan perundingan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian yang ada
dalam GATT. Tujuan dan prosedur untuk melakukan perundingan tersebut
ditentukan dalam Deklarasi Punta del Este. Mengikuti pedoman tersebut maka
perundingan Uruguay Round akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk
menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa. Dengan berhasilnya perundingan
Uruguay Round, maka di bidang dispute settlement, sebagai salah satu hasil

adalah diterapkannya Understanding on Rules Procedures Governing the
Setlement of Disputes (DSU). Perjanjian ini memperjelas lagi arah dari
33
34

H.S. Kartadjoemena, Op cit, hal 125-128
Ibid, hal 128

Universitas Sumatera Utara

33

mekanisme penyelesaian sengketa yang akan diterapkan pada tahun-tahun
mendatang.35
Mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disepakati sebagai hasil
Uruguay Round tersebut akan semakin memperkuat prosedur GATT yang sudah

ada. Prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati pada Mid-term Review
Uruguay Round di Montreal, Desember 1988 sebagai hasil interim¸ telah

memperketat prosedur yang berlaku dan penunjukan panel, kerangka acuan, dan
komposisi panel, tidak lagi ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Dengan berbagai penyempurnaan tambahan maka telah disepakati suatu
perjanjian yang lengkap di bidang penyelesaian sengketa.36

F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.37 Dengan
metode penelitian normatif tersebut, penelitian ini akan menganalisis hukum baik
yang tertulis dalam literatur - literatur, maupun hukum yang diputuskan oleh
hakim melalui proses pengadilan. Adapun data yang digunakan dalam menyusun
penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yaitu teknik
pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan

35

Ibid, hal 177
Ibid, hal 177-178
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hal. 15.
36

Universitas Sumatera Utara

34

perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, serta sumber data sekunder
lainnya.

2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskritif analitis. Deskritip berarti bahwa penelitian
ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan
pelaksanaannya.

3. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan

cara

studi

kepustakaan.

Studi

kepustakaan

dilakukan

untuk

mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap literatur, tulisan-tulisan para
pakar hukum, bahan kuliah, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan
hakim yang berkaitan dengan peneltian ini.

4. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori,
asas-asas, norma-norma, doktrin terpenting yang relevan dengan permasalahan.
Membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan
klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian
secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian

Universitas Sumatera Utara

35

dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari 5 bab dan sub – sub
bab yang diuraikan sebagai berkut:
1. BAB I

: Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat
D. Keaslian Judul
E. Tinjauan Pustaka
F. Metode Penelitian

2. BAB II

: Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional
(International Dispute Settlement)
A. Pengertian

Penyelesaian

Sengketa

Internasional
1. Pengertian

Sengketa

Internasional,

Penyebab Sengketa Internasional, dan
Penyelesaian Sengketa Internasional
2. Bentuk-Bentuk Sengketa Internasional
B. Upaya

Penyelesaian

Sengketa

Internasional

Universitas Sumatera Utara

36

1. Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara Damai
2. Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara Paksa
C. Sengketa

Internasional

di

Bidang

Perdagangan
1. Globalisasi Ekonomi
2. Pengertian Perdagangan Internasional
dan Sengketa Internasional di Bidang
Perdagangan
3. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa
Internasional Bidang Perdagangan
D. Bentuk-Bentuk

Penyelesaian

Sengketa

Internasonal di Bidang Perdagangan
1. Konsultasi dan Negosiasi
2. Mediasi
3. Arbitrase
4. Retaliasi
3. BAB III

:

Perkembangan

Sistem

Penyelesaian

Sengketa

dan

Mekanisme
Perdagangan

Internasional dalam Perspektif GATT dan
WTO

Universitas Sumatera Utara

37

A. Perkembangan GATT dan WTO Sebagai
Sistem Perdagangan Internasional
1. Sejarah Singkat GATT dan WTO
2. Hubungan GATT dan WTO
3. Tujuan dan Fungsi GATT dan WTO
4. Prinsip-Prinsip

Perdagangan

Internasional dalam GATT dan WTO
5. Perkembangan

Perdagangan

Internasional Hasil Uruguay Round
C. Perkembangan Sistem dan Mekanisme
Penyelesaian

Sengketa

Perdagangan

Internasional dalam GATT
1. Konsep Sistem Penyelesaian Sengketa
GATT
2. Kelemahan Sistem Penyelesaian GATT
3. Upaya

Penyempurnaan

Sistem

Penyelesaian Sengketa
D. Perjanjian
Perdagangan

Penyelesaian
Internasional

Sengketa
Hasil

Perundingan Uruguay Round
1. Perundingan Uruguay Round
2. Deklarasi Punta del Este

Universitas Sumatera Utara

38

3. Perjanjian

Penyelesaian

Perdagangan

Sengketa

Internasional

Hasil

Perundingan Uruguay Round
4. BAB IV

: Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional antara GATT dan WTO
A. Hubungan

Penyelesaian

Sengketa

Perdagangan Internasional antara GATT
dan WTO
B. Sistem

Penyelesaian

Sengketa

Perdagangan Internasional dalam GATT
1. Dasar Penyelesaian Sengketa dalam
GATT
2. Alasan-Alasan

Mengajukan

Penyelesaian Sengketa
3. Kelembagaan Penyelesaian Sengketa
GATT
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa
C. Sistem

Penyelesaian

Sengketa

Perdagangan Internasional dalam WTO
1. Dasar Penyelesaian Sengketa dalam
WTO
2. Alasan-Alasan

Mengajukan

Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

39

3. Kelembagaan Penyelesaian Sengketa
WTO
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa
5. Ketentuan Bagi Negara Berkembang
5. BAB V

: Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
B. Saran

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)

4 40 0

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

10 128 151

Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kerangka GATT Dan WTO

9 48 135

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 9

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 2

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 38

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 2 4

Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kerangka GATT Dan WTO

0 0 8

AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION

0 0 11

Implementasi Pasal XX (b) dan (g) General Agreement on Tariffs and Trade dalam Penyelesaian Sengketa di World Trade Organisation

0 0 19